Ceritasilat Novel Online

Pedang Awan Merah 9


Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



"Aku mau kembali akan tetapi dengan satu syarat bahwa engkau tidak akan bicara lagi tentang cinta."

   "Baiklah, aku tidak akan bicara lagi tentang cinta yang hanya akan menimbulkan penasaran dan kedukaan di hatiku."

   Mereka lalu berjalan perlahan kembali ke rumah penginapan. Karena tadi keduanya menggunakan ilmu berlari cepat, maka letak rumah penginapan itu sudah cukup jauh. Akan tetapi setelah mereka tiba di sana, tidak nampak Leng Si. Cin Mei memasuki kamarnya dan menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan Leng Si.

   Sumoi dan Han Lin,

   Karena suatu urusan penting,

   Aku terpaksa tidak dapat ikut

   Pergi ke kota raja. Sumoi, engkau mewakili aku,

   Pergilah dengan Han Lin ke kota raja menyerahkan pedang itu kepada kaisar,

   Dan mohonlah kepada kaisar agar ayahku dibebaskan. Aku sangat berterima kasih

   Kepada kalian.

   Dari: Cu Leng Si

   "Siauw-moi, apakah enci Leng Si berada di kamarmu?"

   Tanya Han Lin dari luar kamar.

   Cin Mei keluar dan tanpa berkata apa-apa ia menyerahkan surat itu kepada Han Lin. Pemuda ini membacanya dengan alis berkerut, di dalam hatinya merasa gembira sekali akan tetapi tentu saja hal ini tidak diperlihatkan kepada Cin Mei walaupun dia tidak dapat menyembunyikan perasaan gembira itu dari suaranya yang terdengar mantap.

   "Bagaimana pendapatmu dengan ini, siauw-moi?"

   "Maksudmu?"

   "Sudikah engkau pergi bersamaku ke kota raja untuk menyerahkan Ang-in Po-kiam kepada kaisar dan mohon pengampunan bagi ayah enci Leng Si?"

   "Apa boleh buat, suci menghendaki demikian dan aku harus menghormati permintaannya itu. Kapan kita berangkat?"

   "Besok pagi-pagi sekali."

   "Baiklah, twako. Sekarang, selamat tidur."

   "Selamat tidur, siauw-moi."

   Malam itu Han Lin tidur dengan nyenyaknya, mulutnya tersenyum, agaknya mimpi yang indah-indah menjadi bunga tidur malam itu. Berbeda dengan Cin Mei yang tidur gelisah di atas pembaringannya. Terjadi pertentangan dalam batinnya. Ia harus mengakui diri sendiri bahwa ia juga mencinta pemuda itu, akan tetapi iapun merasa iba kepada Mulani, juga kepada Bi Lan. Ia akan mengalah kepada wanita manapun juga dalam hal cinta. Baginya, cinta tidak harus menjadi suami-isteri. Ia dapat mencinta Han Lin, walaupun tidak menjadi isterinya atau kekasihnya.

   "Twako, kita singgah dulu di Nan-yang. Aku ingin menengok guruku,"

   Kata Cin Mei kepada Han Lin. Kini mereka menunggang dua ekor kuda karena Han Lin membeli seekor kuda lagi untuk gadis itu dan mereka telah melakukan perjalanan jauh. Hari itu mereka tiba di luar kota Nan-yang dan Cin Mei mengusulkan untuk singgah di situ.

   "Tentu saja, siauw-moi, kita tidak tergesa-gesa. Ah, jadi gurumu, Thian-te Yok-sian, tinggal di kota ini?"

   Jawab Han Lin senang. Dia merasa betapa bahagia hidupnya melakukan perjalanan bersama Cin Mei. Seolah-olah pemandangan alam menjadi jauh lebih cantik menarik dari pada biasanya. Sinar matahari lebih cerah, kicau burung di pagi hari lebih merdu, bahkan ketika mereka makan bersama, makanan apapun yang dimakannya terasa lebih nikmat. Dia tahu bahwa semua itu terjadi karena cintanya kepada Cin Mei dan berdekatan dengan orang yang dicinta memang merupakan kenikmatan yang tiada taranya. Biarpun sikap Cin Mei biasa saja dan tidak pernah memperlihatkan perasaannya, namun dia dapat merasakan pula bahwa Cin Mei merasa tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakannya, yaitu berbahagia dan gembira sekali.

   Cin Mei yang menunggang kuda coklat, memasuki kota lebih dulu karena Han Lin mengikuti di belakangnya. Gadis itu langsung saja menuju ke rumah gurunya, sebuah rumah Thian-te Yok-sian itu karena setiap hari ada saja orang mencarinya untuk bertobat. Akan tetapi Dewa Obat ini mempunyai suatu kebiasaan. Kalau yang datang itu menderita penyakit biasa saja, dia tidak mau mengobati dan mengusirnya untuk pergi saja ke tabib lain. Barulah apa bila ada orang sakit yang amat parah, yang tidak dapat disembuhkan oleh tabib-tabib biasa, dia mau mengobatinya dan kalau sudah mengobatinya, dia tidak pernah minta bayaran. Mereka yang disembuhkan itu dengan suka rela lalu mengirim bahan makanan atau pakaian kepada Dewa Obat ini, dan kalau demikian halnya, diapun tidak menolak. Akan tetapi, jangan ditanya berapa biayanya karena dia akan marah sekali dan mengusir orang itu. Baginya perjuangan yang berbahaya dan berat, dan kemenangannya atau penyakit yang berat itulah yang menjadi sumber kebahagiaannya. Usianya sudah tujuh puluh tahun, namun dia masih nampak sehat dan cekatan kalau memeriksa pasien.

   Ketika dua orang penunggang kuda itu tiba di depan rumah Yok-sian, mereka merasa heran melihat pintu rumah itu tertutup. Pada hal hari telah cukup siang sehingga tidak mungkin kalau Dewa Obat itu masih tidur. Selagi mereka termangu, seorang anak-anak berusia dua belas tahun menghampiri dan melihat Cin Mei, dia segera berseru girang.

   "Suci....!!"

   "Ah, engkau ini, Kun Tek? Di mana suhu dan mengapa rumahnya ditutup? Cin Mei melompat turun dari kudanya diikuti oleh Han Lin.

   "Aih, panjang ceritanya, suci. Mari silakan masuk, kita bicara di dalam saja."

   Han Lin melihat bahwa anak itu, biarpun masih kecil namun sudah nampak cerdik. Anak itu membuka daun pintu dengan kunci yang diambilnya dari saku bajunya dan mereka bertiga memasuki rumah itu setelah mengikat kendali kuda pada pohon di depan rumah.

   Setelah duduk di ruangan dalam tiba-tiba Kun Tek menjatuhkan di depan Cin Mei sambil menangis. Sekarang barulah dia benar-benar nampak bahwa dia masih kanak-kanak.

   "Huushh, Kun Tuk. Jangan menangis, ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi,"

   Kata Cin Mei menghibur dan mengangkat anak itu disuruh bangkit dan duduk kembali di kursi.

   Kun Tek menyusut air matanya.

   "Baru lima hari ini terjadinya, suci. Tadinya ada lima orang perajurit utusan Panglima Kwan dari Lok yang minta agar suhu ikut mereka untuk mengobati keluarga Panglima Kwam. Tentu saja suhu menolak karena suhu tidak pernah pergi mengunjungi pasien. Harus pasien yang datang untuk berobat dan bagi suhu, peraturan ini berlaku untuk semua orang. Bahkan suhu pernah berkata, bahwa biar kaisar sendiri kalau membutuhkan pertolongannya, harus datang ke sini. Maka dia menolak keras dan menuntut bahwa apa bila pasien keluarga Panglima Kwan itu benar-benar sakit keras dan membutuhkan pertolongannya, harus dibawa ke sini. Lima orang itu lalu pergi dengan penasaran."

   "Lalu bagaimana?"

   Tanya Cin Mei dengan suara tenang.

   "Kemudian kemarin datang sebuah kereta dan Panglima Kwan sendiri datang, marah-marah dan memaki-maki suhu lalu memaksa suhu untuk ikut dengannya. Suhu menolak, akan tetapi para pengawal Panglima Kwan itu lalu menggunakan kekerasan, mereka menyeret suhu ke dalam kereta yang kemudian meninggalkan kota ini dan sampai sekarang belum ada kabarnya. Ah, suci, tolonglah suhu, aku khawatir suhu mendapat celaka di sana."

   "Tenanglah, Kun Tek. Biar aku yang urus suhu dan engkau jaga saja rumah ini, rawat yang bersih agar kalau suhu pulang keadaannya tetap bersih."

   "Baik, suci."

   "Twako, mari kita menyusul suhu ke Lok-yang!"

   Kata gadis itu dan Han Lin mengangguk. Mereka lalu keluar lagi, menunggang kuda dan keluar dari kota Nan-yang menuju ke Lok-yang dengan cepat.

   "Panglima itu sungguh bertindak sewenang-wenang terhadap suhumu, siauw-moi. Biar kita hajaran kepadanya!

   "Ah, jangan begitu, twako. Pertama, dia adalah seorang panglima yang tentu mempunyai pasukan yang puluhan ribu orang banyaknya. Kedua, semua perbuatan itu tentu ada sebabnya dan sebelum mengetahui sebabnya dia memaksa suhu, tidak baik kalau kita bertindak, apa lagi dengan kekerasan. Biarkan aku yang menangani persoalan ini, twako."

   Pada keesokan harinya, barulah mereka memasuki kota Lok-yang yang besar karena Lok-yang merupakan kota raja kedua setelah Tiang-an. Tidaklah sukar bagi kedua orang muda itu untuk memberi tahu di mana tempat tinggal Panglima Kwan. Dia adalah seorang di antara banyak panglima di Lok-yang dan rumahnya merupakan gedung besar yang di luarnya dijaga oleh pasukan pengawal. Cin Mei dan Han Lin merasa lega bahwa panglima itu tidak tinggal di dalam benteng karena kalau demikian halnya tentu akan lebih sukar bagi mereka untuk menemuinya dan berusaha untuk membebaskan Yok-sian yang dipaksa mengobati keluarga panglima itu.

   "Berhenti! Siapakah kalian dan ada keperluan apakah datang ke sini?"

   Bentak opsir penjaga yang bertugas jaga di depan gedung megah itu.

   Biarpun pertanyaan itu diajukan kepada Han Lin, namun karena Cin Mei yang akan menangani persoalan itu, Han Lin tidak menjawab melainkan menoleh kepada Cin Mei.

   "Kami datang untuk menghadap Kwan ciangkun. Saya bernama Lie Cin Mei dan sahabatku ini bernama Sia Han Lin. Aku adalah seorang ahli pengobatan, dan mendengar bahwa ada keluarga Kwan-ciangkun yang menderita sakit keras, maka akan saya coba untuk mengobatinya."

   Mendengar ucapan itu, berubah sikap opsir itu.

   "Ah, kalau begitu, akan kami laporkan kepada ciangkun. Harap ji-wi (kalian berdua) menanti sebentar."

   Tak lama kemudian, opsir itu datang lagi dan mempersilakan dua orang muda itu masuk. Mereka diterima oleh seorang panglima yang bertubuh tinggi besar bermuka merah. Setelah dipersilakan duduk, panglima itu mengamati Cin Mei dan bertanya dengan suara meragu.

   "Apakah nona yang mengatakan pandai mengobati orang sakit?"

   "Benar, ciangkun. Saya mendengar bahwa ada keluarga ciangkun yang sedang sakit, maka kalau boleh, saya akan mencoba untuk memeriksa dan mengobatinya."

   "Apakah engkau berani tanggung bahwa engkau akan dapat menyembuhkan puteraku yang menderita sakit itu, nona?"

   "Ciangkun, bagaimana saya dapat menentukan sebelum memeriksanya?"

   "Baik, mari kau periksa dia dan beri obat sampai sembuh, nanti akan besar hadiahnya untukmu kalau engkau dapat menyembuhkannya."

   Dikawal oleh selosin perajurit, panglima itu lalu mengajak Cin Mei dan Han Lin masuk ke kamar di bagian belakang gedung yang besar itu.

   Baru tiba di depan kamar saja sudah tercium bau tidak enak sekali dari dalam kamar. Seperti bau bangkai.

   "Nah, yang sakit adalah puteraku dan dia di dalam kamar ini. silakan periksa dia, nona,"

   Kata panglima itu. Agaknya panglima itu perhatiannya tercurah kepada puteranya yang sakit sehingga dia tidak lagi menanyakan siapa nama kedua orang tamunya, walaupun tadi sudah dilaporkan oleh opsir.

   Dengan menahan kemuakan oleh bau yang busuk itu, Cin Mei menghampiri pembaringan di mana rebah seorang pemuda yang berusia baru dua puluh tahun, akan tetapi seluruh tubuh pemuda itu timbul bisul kecil-kecil yang mengeluarkan bau busuk. Melihat Cin Mei, pemuda itu hendak bangkit dan menjulurkan kedua lengannya.

   "Aduh, cantik manis! Marilah, manis, tidur bersamaku....!"

   Suaranya lemah akan tetapi dia hendak bangkit untuk merangkul Cin Mei. Han Lin cepat menggunakan tongkatnya menotok jalan darah pemuda itu sehingga rebah kembali dengan lemas.

   Cin Mei lalu memeriksa nadinya. Tak lama kemudian ia menggelengkan kepala dan memberi isarat kepada Han Lin untuk keluar dari kamar. Han Lin menotokkan tongkatnya membebaskan pemuda itu dan mereka keluar dari kamar itu. Di belakang mereka, pemuda yang sakit itu memanggil-manggil Cin Mei.

   "Ke sinilah, manis. Jangan tinggalkan aku, sayang...!"

   Gila, pikir Han Lin. Sudah sakit demikian hebat, masih saja bersikap mata keranjang. Pantasnya orang macam itu mati saja.

   Setelah gadis itu keluar dari dalam kamar si sakit, panglima itu lalu mengajaknya ke ruangan tadi dan setelah duduk, dia bertanya.

   "Bagaimana, nona. Bagaimana keadaannya dan dapatkah engkau menyembuhkan?"

   Han Lin melihat bahwa ruangan itu terjaga oleh belasan orang pengawal, dan ketika dia memandang kepada panglima itu, dia melihat wajah yang merah itu diliputi penuh kegelisahan.

   "Ciangkun, puteramu itu terkena penyakit berat. Mungkin timbul karena dia terlalu banyak bergaul dengan pelacur-pelacur dan darahnya sudah keracunan. Bahkan saya melihat racun sudah menjalar sampai ke otak."

   "Hemm, cocok dengan ucapan tabib itu!"

   Kata Kwan-ciangkun.

   "Dan saya me lihat bahwa dia telah mendapat obat penahan dan pengurang rasa nyeri. Kalau tidak mendapat obat itu, tentu dia tidak akan tahan sakitnya dan akan berteriak-teriak."

   "Kembali cocok, nona. Engkau memang pandai dan kuharap engkau akan dapat mengobatinya sampai sembuh betul tidak seperti tabib itu yang hanya dapat memberi obat penahan rasa nyeri saja."

   "Ciangkun, sebelum saya menjawab dan memberi obat, saya ingin bertanya di mana tabib yang sudaha memeriksa dan memberinya obat itu?"

   "Di kamar tahanan! Dia mengaku sebagai Dewa Obat, akan tetapi dia mengatakan bahwa dia tidak dapat menyembuhkan anakku. Maka dia kumasukkan tahanan dan kalau sampai anakku mati, dia akan ikut mati!"

   Kata panglima itu dengan gemas.

   "Harap ciangkun suka suruh panggil dia ke sini, karena saya perlu bertukar pikiran dengan dia untuk dapat mengobati puteramu."

   "Ah, benarkah engkau dapat menyembuhkan puteraku?"

   Tanya panglima itu penuh harapan.

   "Mudah-mudahan saja, akan tetapi saya perlu bertukar pikiran dan pendapat dengan tabib itu."

   "Baik!"

   Panglima Kwan lalu memanggil kepala pengawal dan memerintahkan agak membawa tawanan tabib itu datang ke situ.

   Tak lama kemudian, pengawal itu datang kembali sambil mengiringkan seorang kakek tinggi kurus. Melihat suhunya, Cin Mei lalu memberi hormat dan berkata.

   "Saya mohon mendapat lo-cian-pwe untuk menentukan obat bagi putera Kwan-ciangkun."

   Tentu saja Thian-te Yok-sian mengenal muridnya. Dia tahu bahwa tidak seperti dia yang hanya tahu ilmu pengobatan, muridnya itu memiliki ilmu silat tinggi dan tentu datangnya untuk menolongnya. Dia khawatir sekali akan keselamatan muridnya itu, maka dia berkata.

   "Mau bertanya apa lagi? Penyakit Kwan-kongcu sudah amat berat. Semua karena ulahnya sendiri bermain-main dengan para pelacur. Kini penyakit itu sudah menjalar ke otak."

   "Kalian harus dapat menyembuhkannya. Kalau tidak, kalian bertiga tidak akan kuperkenankan meninggalkan tempat ini!"

   Bentak Kwan-ciangkun.

   Han Lin yang sejak tadi diam lalu berkata.

   "Kami tahu mengapa ciangku menghendaki demikian. Tentu ciangkun khawatir kalau kami di luaran akan menceritakan tentang keadaan penyakit Kwan-kongcu, bukan?"

   "Tutup mulutmu, orang muda!"

   Kwan-ciangkun membentak marah.

   "Pendeknya kalian harus dapat menyembuhkannya!"

   Kini dengan suara tenang penuh kesabaran Cin Mei berkata.

   "Ciangkun, kami hanya manusia biasa dan bukan Tuhan. Yang menentukan mati hidup hanyalah Thian. Saya kira penyakit putera ciangkun itu sudah terlalu parah. Dan andaikata obat kami menyelamatkan nyawanya, tidak mungkin dapat menyelamatkan otaknya. Dia dapat sembuh, akan tetapi akan menjadi....maaf, gila."

   "Apa...??"

   Bentak Kwan-ciangkun sambil berdiri dari tempat duduknya, mukanya pucat dan matanya terbelalak.

   "Ohhh, saya sudah tahu akan hal itu, akan tetapi tidak berani mengatakan kepada ciangkun. Saya kira, keadaan Kwan-kongcu sudah demikian parah. Hiduppun akan menderita hebat, maka satu-satunya yang terbaik baginya adalah kematian yang akan membebaskan dari semua rasa nyeri dan ancaman gila."

   "Tidak! Tidak, kalian harus menyembuhkannya sama sekali atau kalau tidak, kalian akan kutahan dan kalau dia mati, kalian akan ikut mati!"

   mendadak Han Lin meloncat dan biarpun panglima itu menyambutnya dengan pukulan, tetap saja dia sudah dapat menotok panglima itu sehingga panglima itu menjadi lumpuh.

   "Kwan-ciangkun, engkau keterlaluan,"

   Bisik Han Lin.

   Sementara itu, belasan orang pengawal yang melihat ini sudah menyerbu dengan golok dan tombak di tangan. Akan tetapi ketika mereka menyerang ke arah Cin Mei dan Yok-sian, mereka melihat bayangan putih berkelebat dan berturut-turut mereka roboh tertotok, suara golok dan tombak yang terlempar berkerontangan. Melihat lima orang roboh oleh wanita berpakaian putuh itu, para pengawal lain tertegun dan jerih.

   Sementara itu Han Lin, menekan leher Kwan-ciangkun.

   "Ciangkun, perintahkan pengawalmu untuk mundur, kalau tidak terpaksa aku akan membunuhmu sekarang juga."

   Karena tidak berdaya dan nyawanya di tangan orang, Kwan-ciangkun lalu berteriak.

   "Kalian semua mundur!"

   Dan para pengawal itu pun tidak ada yang berani bergerak.

   "Biarkan kami pergi dari sini dengan aman, ciangkun."

   "Buka jalan dan biarkan mereka pergi!"

   Bentak pula Kwan-ciangkun.

   Cin Mei menghampiri meja dan menuliskan sebuah resep dengan cepat, lalu berkata kepada panglima itu.

   "Ciang-kun, resep ini adalah obat untuk membuat puteramu merasa tenang dan tidak menderita nyeri, akan tetapi sama sekali bukan untuk menyembuhkan. Hanya kalau Thian menghendaki, puteramu dapat sembuh. Mudah-mudahan saja."

   Mereka bertiga lalu melangkah keluar, dan Han Lin masih tetap memegangi lengan panglima itu yang dibawanya keluar sehingga tidak ada seorang pengawal berani mengganggu mereka.

   "Siauw-moi, kau pergi dulu bersama suhumu, tunggu di luar kota,"

   Bisik Han Lin kepada Cin Mei. Gadis itu mengangguk, sebenarnya ia tidak menyukai jalan kekerasan yang diambil Han Lin akan tetapi ia maklum bahwa itulah satu-satunya jalan untuk dapat lolos dengan selamat. Ia lalu membawa suhunya keluar dari situ dengan cepat, pulang dan menunggang kedua ekor kuda keluar dari kota dan menanti Han Lin.

   Setelah menanti sampai beberapa lama, barulah Han Lin melepaskan panglima itu.

   "Jangan mengejar kami, ciang-kun. Kami sudah bersikap baik kepadamu, bahkan meninggalkan obat untuk puteramu. Ingat, kalau engkau mengirim pasukan mengejar, dengan mudah saja aku akan datang untuk mencabut nyawamu."

   Setelah berkata demikian, diapun pergi dengan cepat. Sekali berkelebat diapun lenyap dari situ.

   Karena sibuk dengan puteranya panglima itupun tidak melakukan pengejaran, melainkan menyuruh orang membeli obat dengan resep yang ditinggalkan oleh Cin Mei.

   Cin Mei mengajak Thian-te Yok-sian dan Kun Tek untuk mengungsi ke sebuah dusun yang menjadi kampung halaman Thian-te Yok-sian, sebuah dusun nelayan di tepi Huang-ho, di mana Thian-te Yok-sian masih mempunyai sebuah rumah dan selanjutnya dia hidup di situ, dilayani oleh Kun Tek dan kehidupannya ditunjang oleh keluarga nelayan di dusun itu karena merekapun membutuhkan pertolongan Yok-sian untuk mengobati mereka yang menderita sakit.

   Pemuda yang bercaping lebar itu tidak menarik perhatian orang, walaupun pedang yang berada di punggungnya menunjukkan bahwa dia seorang yang biasa menggunakan ilmu silat untuk menjaga diri. Dia seorang laki-laki muda berusia dua puluh dua tahun, wajahnya tampan dan periang, akan tetapi pada saat itu sinar matanya muram. Ketika memasuki rumah makan di kota Souw-ciu itu, dia melihat bahwa di situ sudah ada seorang pemuda lain yang nampak gagah berpakaian serba putih dan wajahnya tampan. Juga pemuda ini mempunyai sebatang pedang di punggungnya dan usianya sekitar dua puluh lima tahun.

   
Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka berdua hanya saling lirik saja akan tetapi tidak saling menegur karena memang tidak saling mengenal. Pemuda yang bercaping lebar itu adalah Souw Kian Bu. Seperti telah kita ceritakan di bagian depan, Souw Kian Bu dengan hati panas penuh cemburu telah meninggalkan isterinya. Putera Souw Hui San dan Yang Kui Lan ini pergi dengan hati remuk karena dia menduga bahwa isterinya tentu dahulu menjadi kekasih suheng isterinya yang bernama Gu San Ki itu. Dia merasa telah dicurangi dan ditipu oleh isterinya! Semenjak pergi meninggalkan isterinya, dia merasa berduka dan kesepian sekali. Dia kehilangan isterinya, kehilangan kemesraan dan keramahan isterinya. Harus diakuinya bahwa isterinya bersikap ramah dan mesra, akan tetapi bayangan bahwa isterinya telah bergaul dengan pria lain sebelum menikah dengannya, selalu menggerogoti dan meracuni hatinya dengan rasa cemburu.

   Cemburu timbul apa bila kita menganggap orang yang kita cinta sebagai milik kita. Seperti kalau kita memiliki suatu benda yang indah dan kita sayang, maka kita selalu cemburu dan tidak ingin orang lain memilikinya, menjaganya agar benda itu selalu menjadi milik kita. Benarkah bahwa tanpa cemburu bukalah cinta namanya? Ataukah sebaliknya, kalau ada cemburu maka bukanlah cinta sejati? Yang jelas, cemburu adalah sakitnya hati yang merasa miliknya diambil orang. Cinta yang sifatnya memiliki dan dimiliki, tentu mengandung cemburu. Padahal, cinta berarti kepercayaan mutlak kepada yang dicinta. Kalau dua orang sudah saling mencinta, tentu ada kepercayaan yang tulus. Karena cinta tidak mungkin bertepuk tangan sebelah. Kalau ada keraguan, ketidak percayaan, maka percuma saja orang mengaku cinta. Dan cemburu merupakan racun yang amat berbahaya bagi kehidupan suami isteri.

   Kian Bu sedang diamuk cemburu. Dan orang yang cemburu selalu membayangkan yang bukan-bukan, segala kemungkinan yang tidak-tidak, yang dianggapnya mungkin dilakukan oleh orang yang dicinta dicemburuinya. Kian Bu mencinta Ji Kiang Bwe, akan tetapi dia ingin memiliki isterinya secara mutlak, baik sekarang maupun masa lalu dan masa mendatang. Dia mencinta bayangan, yaitu bayangan wanita yang sempurna, tidak ternoda, dan bayangan itu diharapkan akan dapat terwujud dalam bentuk tubuh isterinya.

   Kian Bu sadar dari lamunannya ketika pelayan menghampirinya dan bertanya apa yang dipesannya. Dia memesan arak dan masakan mi.

   Pada saat itu, terdengar suara keras orang menggebrak meja dan seorang yang baru saja memasuki rumah makan itu menggebrak meja dan mengeluarkan teriakan nyaring.

   "Cepat pelayan! Cepat sediakan arak, aku sudah haus sekali!"

   Bergegas pelayan mendatangi meja itu dan membawa seguci arak. Orang itu lalu membuka tutup guci, menuangkan arak dari guci begitus aja ke mulutnya, tidak mau menggunakan cawan lagi. Souw Kian Bu memperhatikan. Orang itu berusia lima puluh satu tahun, tubuhnya jangkung kurus, jangkung sekali lebih tinggi sekepala dibandingan orang lain dan pinggangnya dililit rantai baja yang nampaknya berat. Tentu seorang yang kuat, pikirnya dan melihat cara dia minum arak dapat diduga bahwa dia tentulah seorang kang-ouw yang terkenal pula.

   Kian Bu baru saja makan mi-nya ketika dia melihat pemuda berpakaian putih itu menggerakkan tangannya dan sebatang sumpit meluncur seperti anak panah cepatnya, tepat mengenal guci yang sedang dituangkan isinya ke mulut kakek jangkung itu.

   "Pyarr...!"

   Guci itu pecah dan isinya berhamburan membasahi pakaian si jangkung.

   Tentu saja si jangkung ini marah bukan main. Dia bangkit berdiri dan matanya memandang ke kana dari mana sumpit tadi menyambar gucinya. Dia bukan lain adalah Thian-kui, orang tertua dari Thian Te Siang-kui dan ketika dia melihat pemuda baju putih, dia marah sekali. Dia segera mengenal Can Kok Han, pemuda dari Pek-eng Bu-koan yang sudah pernah bertanding dengannya buhkan nyaris pemuda itu tewas oleh dia dan adiknya kalau saja tidak muncul Mulani melarang dia membunuhnya. Kini Mulani tidak ada, dan tidak ada orang yang akan melarangnya, maka tentu saja kemarahannya memuncak.

   "Bocah sombong, berani engkau mengganggu mulut harimau? Tempo hari engkau lolos dari tanganku, sekarang agaknya engkau memang sudah bosan hidup!"

   "Thian-kui, manusia iblis, justeru aku yang akan membunuhmu sekali ini!"

   Kata Kok Han, pemuda yang tidak mau merasa kalah oleh siapapun juga itu.

   Pada saat itu, pemilik rumah makan tergopoh menghampiri pemuda baju putih itu. Dia agaknya sudah tahu siapa Thian-kui, seorang datuk yang sakti dan tidak berani dia minta kepada Thian-kui agar tidak berkelahi di tempat itu. Akan tetapi Kok Han adalah seorang pemuda tampan dan pakaiannya bersih, gerak-geriknya sopan, maka kepada pemuda inilah dia bermohon.

   "Taihiap, kami mohon agar tai-hiap tidak berkelahi di tempat kami dan merusakkan perabot rumah makan kami, juga membikini takut para tamu kami."

   Sementara itu para tamu memang sudah ketakutan dan siap meninggalkan meja masing-masing agar jangan terlibat perkelahian itu.

   "Thian-kui, aku menantangmu untuk bertanding di luar rumah makan kalau engkau memang berani!!"

   Kata Kok Han yang lalu melompat keluar dari dalam rumah makan itu.

   "Pemuda tolol, engkau sudah bosan hidup!"

   Kata Thian-kui dan dengan marah sekali dia lalu menyusul keluar.

   Melihat ini, Souw Kian Bu yang tadi terkejut mendengar julukan Thian-kui, diam-diam ikut pula keluar. Tentu saja dia pernah mendengar julukan Thian-te Siang-kui dan dia khawatir sekali akan nasib pemuda tampan itu. Dia pernah mendengar bahwa sepasang iblis itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Biarpun dia belum tahu urusannya, tidak tahu mengapa kedua orang ini bermusuhan, akan tetapi karena dia tahu bahwa Thian-kui adalah seorang datuk sesat yang jahat, tentu saja pemuda itu berada di pihak benar yang patut untuk dibantunya kalau terancam bahaya.

   Selain Kian Bu, banyak juga yang keluar untuk menonton perkelahian walaupun mereka itu tidak takut dan menonton sambil bernyanyi.

   Kok Han sudah berhadapan dengan Thian-kui.

   "Bocah ingusan, engkau sudah gila barangkali. Sudah beberapa kali engkau masih hendak mengantarkan nyawa? Sekali ini jangan harap engkau akan dapat meloloskan diri dari tanganku!"

   "Thian-kui, tidak perlu banyak cakap lagi. Sekali ini engkaulah yang akan mampus di tanganku untuk menebus semua kejahatanmu!"

   Kata pemuda itu dengan lagak gagah dan dia sudah mencabut pedangnya. Gerakannya ketika melompat keluar rumah makan dan ketika mencabut pedang memang meyakinkan, sehingga Kian Bu merasa agak lega karena agaknya pemuda ini memang seorang pendekar perkasa.

   Thian-kui melolos rantai baja dari pinggangnya. Rantai baja itu kurang lebih dua meter panjangnya dan ketika dia gerakkan, terdengar suara berciutan, tanda bahwa senjata itu berat dan tenaga yang menggerakkannya besar. Namun dengan lincahnya Kok Han meloncat ke belakang dan membalas dengan serangan yang dilakukan sambil meloncat seperti burung menyambar. Pedangnya menusuk ketika tubuhnya menukik. Kian Bu kagum. Pemuda ini memang boleh juga, akan tetapi dia meragukan apakah pemuda itu tangguh untuk menandingi Thian-kui yang senjatanya lebih panjang dan gerakannya demikian kuat.

   Segera setelah pertandingan berlanjut, tahulah Kian Bu bahwa seperti dikhawatirkan, pemuda itu bukan tandingan Thian-kui. Dia jauh kalah kuat tenaganya, dan hanya karena memiliki kegesitan seperti seekor burung saja yang membuat pemuda itu masih dapat bertahan setelah mereka bertanding selama dua puluh jurus lamanya. Namun pemuda itu sudah terdesak hebat dan tinggal menanti saat robohnya saja.

   Kian Bu sudah bersiap-siap untuk membantu pemuda itu ketika tiba-tiba Kok Han melompat jauh ke belakang dan tangan kirinya bergerak melempar benda ke dekat Thian-kui. Terdengar ledakan keras dan asap tebal mengepul. Thian-kui mengeluarkan gerengan parau dan diapun terhuyung lalu roboh!

   Setelah asap menghilang, Kian Bu melihat Thian-kui sudah roboh terlentang, dan Kok Han menghampirinya dengan pedang di tangan, agaknya siap untuk membunuhnya. Sebetulnya melihat ini, Kian Bu merasa tidak senang. Kemenangan pemuda itu adalah kemenangan curang, apa lagi kini pemuda itu hendak membunuh musuhnya yang sudah pingsan, perbuatan yang sama sekali tidak dapat dibilang gagah.

   Akan tetapi pada saat itu, seorang yang pendek kurus, mengeluarkan teriakan melengking dan sudah menerjang kepada Kok Han dengan sepasang goloknya. Dia adalah Tee-kui yang hampir saja terlambat menolong kakaknya.

   "Bocah sombong dan curang, rasakan tajamnya golokku!"

   Tee-kui menyerang dengan dahsyat sehingga repot Kok Han harus memutar pedangnya untuk menangkis. Kini dia tidak sempat lagi untuk menyerang dengan bahan peledak karena Tee-kui sudah mengetahui akan kelihaian senjata rahasia itu, makaa tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk menjauhkan diri. Sepasang goloknya berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengurung Kok Han sehingga pemuda ini terdesak hebat.

   Melihat keadaan itu, Kian Bu tidak dapat tinggall diam saja. Tidak bisa dia melihat pemuda baju putih itu terbunuh oleh Tee-kui yang demikian tangguh. Dia melompat cepat sambil mencabut pedangnya dan menyerang Tee-kui dari samping. Mendengar suara pedang berdesing menyerangnya, Tee-kui terkejut dan ketika dia menangkis dengan golok kirinya, dia merasa betapa tangan kirinya tergetar hebat, tanda bahwa penyerangnya memiliki tenaga sin-kang yang tangguh. Hal ini membuat dia menjadi jerih karena harus menghadapi pengeroyokan dua orang, maka dia mengeluarkan gerengan dahsyat dan sepasang goloknya menyerang sedemikian hebatnya sehingga Kok Han dan Kian Bu terpaksa melangkah mundur untuk menghindarkan diri dari sambaran sinar golok.

   Kesempatan ini dipergunakan oleh Tee-kui untuk meloncat ke dekat rekannya dan dia memondong tubuh Thian-kui yang masih pingsan itu, lalu meloncat jauh untuk melarikan diri.

   Kok Han memandang kepada Kian Bu. Dasar dia seorang yang congkak, apa lagi setelah dia berhasil merobohkan Thian-kui, maka dia tidak merasa akan kelemahan diri sendiri, tidak maun mengerti bahwa sebenarnya dia tadi terancam bahaya di tangan Tee-kui. Dengan muka cemberut dia bukan berterima kasih kepada Kian Bu, malah menegur.

   "Siapa minta engkau membantuku?"

   Tentu saja Kian Bu mendongkol bukan main. Kalau dia tidak menyabarkan hatinya, tentu sudah diserangnya pemuda baju putih itu. Melihat sikap congkak itu, dia memutar tubuh hendak meninggalkan begitu saja.

   Pada saat itu terdengar seruan wanita.

   "Ah, engkau kiranya pemilik bahan peledak yang mengandung racun pembius itu, Kok Han?"

   Kok Han menoleh dan melihat munculnya Mulani, dia terkejut bukan main.

   "Apa... apa maksudmu, Mulani?"

   Tanyanya dan nampak olehnya betapa cantiknya gadis Mongol itu.

   "Jadi, dahulu yang meledakkan racun pembius sehingga aku dan Sia Han Lin menjadi pingsan adalah engkau? Mengakulah, karena peledaknya sama benar dengan yang kaulepaskan untuk merobohkan Thian-kui tadi."

   Kok Han menggigit bibirnya. Dia tidak dapat mengelak lagi.

   "Benar, Mulani. Panas hatiku melihat engkau dengan Han Lin... karena aku cinta padamu..."

   "Jadi engkau... engkau yang melakukan... terhadap diriku..."

   Kok Han adalah seorang yang biasanya melakukan kegagahan, menganggap diri sebagai pendekar, hanya cinta dan cemburu telah meracuninya. Kini dia merasa bahwa dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya terhadap Mulani.

   "Terus terang saja, Mulani, aku tidak ingin engkau menjadi isteri Sia Han Lin..."

   Tiba-tiba Mulani tersenyum manis dan mendekati Kok Han.

   "Kalau begitu, engkaulah suamiku yang sesungguhnya. Apakah engkau cinta benar kepadaku, Kok Han?"

   Bukan main girangnya hati Kok Han.

   "Kalau tidak mencinta padamu, untuk apa aku melakukan semua itu, Mulani? Aku cinta padamu, aku tergila-gila pada..."

   Tiba-tiba saja ucapan Kok Han itu terhenti, matanya terbelalak, mulutnya terbuka lebar dan saat itu Mulani sudah melompat ke belakang.

   "Mulani, kau... kau...!"

   Pada saat itu, terdengar bentakan melengking.

   "Perempuan iblis, engkau bunuh kakakku?"

   Dan sebuah benda meledak dekat Mulani yang tidak sempat menghindar sehingga ia terbatuk-batuk dan terhuyung-huyung dan pada saat itu, Bi Lan sudah menyerangnya dengan sebatang pedang. Ia tidak mampu menghindar lagi dan lambungnya tertembus pedang sehingga ia roboh mandi darah, tak jauh dari tubuh Kok Han yang dadanya tertembus pedang yang ditusukkan Mulani.

   Setelah asap membuyar, Bi Lan berlutut dekat tubuh kakaknya.

   "Han-ko, Han-ko... engkau tidak apa-apa...?"

   "Lan-moi, ah, kenapa engkau lakukan itu? Mulani... tidak... berdosa... aku yang bersalah... aku telah memperkosanya selagi ia pingsan... aku... ahh..."

   Ia terkulai dan tewas.

   Sementara itu, mendengar betapa tadi wanita itu menyebut nama Sia Han Lin, kakak misannya, Kian Bu juga sudah melompat dekat dan berlutut di dekat tubuh Mulani yang sekarat.

   "Nona, aku adalah anggauta keluarga dari Sia Han Lin. Ada urusan apa dengan dia dan di mana dia sekarang?"

   Mulani membuka matanya.

   "...katakan kepada Han Lin, aku... aku minta maaf, dia tidak bersalah, dia bukan pelakunya, pelakunya adalah Can Kok Han... ahh, dia... dia boleh bebeas sekarang... katakan aku... aku cinta padanya..."

   Dan Mulani juga terkulai, tewas.

   Kian Bu dan Bi Lan saling pandang, tidak saling mengenal, akan tetapi Bi Lan dapat mendengar percakapan antara Kian Bu dan Mulani.

   "Aku... menyesal sekali telah membunuh Mulani... melihat kakakku dibunuhnya..."

   Mendadak datang serombongan orang yang berpakaian seperti orang asing, jumlah mereka dua puluh orang lebih. Kian Bu sudah melompat bangun dan siap siaga menjaga segala kemungkinan, demikian pula Bi Lan. Akan tetapi orang-orang itu tidak menggangu mereka, hanya mengangkat jenazah Mulani dan pergi dengan cepat dari tempat itu dan terdengar suara mereka menangis.

   Biarpun menjadi saksi utama dari serangkaian peristiwa tadi, Kian Bu dapat menduga bahwa Bi Lan bukanlah orang jahat. Kalau gadis ini tadi membunuh si wanita, adalah karena ia melihat kakaknya terbunuh dan dia tidak dapat menyalahkannya. Dia merasa kasihan juga melihat gadis itu menangis tanpa suara.

   "Nona, mari kubantu engkau mengurus jenazah kakakmu ini,"

   Katanya dan ketika dia mengangkat jenazah itu, si gadis tidak mencegah dan memandang kepadanya berterima kasih. Dara ini tadi juga mendengar pengakuan pemuda ini sebagai saudara misan Han Lin. Mereka berdua lalu pergi ke luat kota membawa jenazah itu.

   Bi Lan menangis di depan makam yang baru itu. Makam yang sederhana sekali, di lereng sebuah bukit di luar kota Souw-ciu. Kian Bu juga berada di situ, dan orang muda itu membiarkan saja Bi Lan menangisi kematian kakaknya. Setelah tangis Bi Lan mereda, gaids itu meboleh dan agaknya baru teringat bahwa di situ ada orang lain.

   "Maafkan aku. Betapa hatiku tidak akan sedih melihat kakak dibunuh orang dan bagaimana aku kelak harus memberitahukan ayah ibu?"

   "Wajar saja kalau engkau bersedih, nona. Akupun ikut bersedih menyaksikan itu semua. Akan tetapi apa artinya semua ini? Bukan aku ingin mengetahui urusan orang lain, akan tetapi karena di sini agaknya tersangkut saudaraku Han Lin, aku jadi ingin sekali mengetahuinya."

   "Aku sendiri juga tidak tahu. Tadi melihat betapa kakakku dibunuh secara curang oleh wanita itu, tentu aku tidak dapat menerimanya dan aku menggunakan obat peledak untuk membunuhnya. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, hanya mendengar pengakuan kakakku tadi, ahh, sungguh sukar untuk dipercaya bahwa dia telah memperkosa wanita itu. Sekarang tidak ada lagi yang dapat ditanya karena keduanya telah meninggal dunia, ahh, aku menyesal sekali..."

   "Kurasa kita masih dapat menanyakan kepada seseorang..."

   "Maksudmu, Lin-koko?"

   "Eh, nona, apakah engkau juga mengenal Sia Han Lin?"

   "Mengenal? Dia adalah seorang sahabat baikku!"

   Kata BI Lan penuh semangat dan mukanya berubah kemerahan.

   "Tadi aku mendengar bahwa engkau adalah saudara..."

   "Maksudku, bukan aku, melainkan ibuku yang masih enci dari ibu kakak Sia Han Lin."

   "Ah, begitukah? Kalau begitu aku harus memperkenalkan diri padamu. Aku bernama Can Bi Lan dan yang meninggal ini kakakkku bernama Can Kok Han. Kami adalah anak-anak dari ketua Pek-eng Bu-koan."

   "Nona Bi Lan, aku bernama Souw Kian Bu. Tahukah engkau di mana adanya kakak Sia Han Lin sekarang?"

   "Aku tidak tahu, sudah beberapa pekan kami berpisah dan aku sedang hendak pulang ketika lewat di sini dan melihat peristiwa tadi. Aku sekarang harus cepat pulang untuk mengabarkan kepada ayah ibuku."

   Ia memandang kepada gundukan tanah dan kembali matanya menjadi basah.

   "Ketika aku bertemu dengan Lin-koko, dia sedang hendak menuju ke Souw-ciu. Karena itu ketika aku tidak menemukan jejak kakakku di utara, akupun menuju ke Souw-ciu dengan harapan dapat bertemu dengan Lik-koko, tidak tahunya aku malah bertemu dengan kakakku. Pada waktu aku bertemu dengannya, dia melakukan perjalanan bersama Kwan Im Sianli Lie Cin Mei."

   Kian Bu melihat betapa ketika menyebutkan nama Kwan Im Sianli, wajah gadis itu menjadi muram dan pandang matanya membayangkan kekeruhan, tanda bahwa ia tidak senang dengan wanita itu. Cemburu! Apa lagi kalau bukan cemburu? Diapun sudah dapat mendengar nama Kwan Im Sianli yang kabarnya selain tinggi ilmu silatnya dan pandai mengobati orang, juga cantik jelita dan masih belum menikah.

   "Ah, kalau begitu aku akan pergi ke Souw-ciu. Barangkali saja aku akan dapat bertemu dengan dia di sana,"

   Kata Kian Bu.

   "Baiklah, saudara Souw Kian Bu, selamat berpisah, aku hendak pulang melapor kepada orang tuaku. Tolong sampaikan salamku kepada Lin-koko kalau engkau bertemu dengan dia, dan sekali lagi aku mintakan maaf kalau mendiang kakakku bersalah kepadanya."

   Mereka berpisah dan Souw Kian Bu cepat-cepat pergi memasuki kota Souw-ciu lagi. Akan tetapi kalau saja dia datang lima hari yang lalu, tentu dia dapat bertemu dengan Han Lin. Dia sudah terlambat dan setelah selama beberapa hari menanti dan mencari-cari tanpa hasil, diapun meninggalkan kota itu. Maka dia lalu mengambil keputusan untuk pergi ke Wu-han, ke rumah orang tuanya yang membawa toko kain di kota itu. Urusan dengan isterinya itu sebaiknya dia mintakan pendapat atau nasihat ayah ibunya agar hatinya tidak menderita seperti sekarang in. Semenjak meninggalkan isterinya, hidupnya terasa hampa tidak ada artinya. Setiap saat yang dirasakan hanyalah kesepian, duka dan penyesalan. Akan tetapi bagaimana mungkia dia dapat pulang kepada isterinya? Bayangan Gu San Ki selalu nampak di depan matanya. Tidak, dia tidak akan kembali kepada isterinya. Biar dia menderita kalau perlu sampai mati. Dia tidak akan kembali kepada isterinya, seperti seorang pengemis, mengemis cinta. Betapapun dia mencinta isterinya, kalau isterinya mencinta orang lain, untuk apa dia merendahkan diri? Pikiran ini, biarpun terasa menyedihkan, namun memberinya semangat untuk membusungkan dada, mendatangkan harga diri dan keangkuhan, dan mungkin menjadi penunjang hidupnya agar dia tidak putus asa.

   Pemuda itu memang ganteng dan menarik perhatian orang ketika dia memasuki rumah makan itu. Akan tetapi pemuda yang tinggi tegap dan berpembawaan gagah itu tidak mempergulikan pandangan orang, dia melangkah dengan tegap dan mencari meja yang masih kosong. Akan tetapi semua meja sudah penuh, bahkan setiap meja sudah penuh, bahkan setiap meja sudah dikelilingi tiga atau empat orang. Kecuali sebuah meja di sudut yang hanya dihadapi seorang wanita saja. Wanita cantik berpakaian serba hijau.

   Pemuda itu dengan langkah tegap menghampiri meja itu dan mengangkat kedua tangan di depan dada.

   "Mohon maaf, nona. Karena tempat ini sudah penuh sekali, kalau sekiranya nona tidak keberatan dan menaruh kasihan kepada seorang yang sudah hampir kelaparan, bolehkan aku menumpang duduk di sini untuk makan?"

   Wanita itu mengangkat mukanya memandang. Mula-mula alisnya berkerut karena dianggapnya pria itu tidak sopan dan terlalu lancang berni minta menumpang duduk bersamanya satu meja, padahal sama sekali belum mengenalnya. Akan tetapi ketika melihat laki-laki yang gagah itu, yang wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kekurang ajaran, bahkan sepasang mata itu memandang jujur, ia tidak menjadi marah.

   "Boleh saja, ini memang tempat untuk umum, bukan?"

   Kata wanita itu dengan dingin dan ia tidak memandang lagi.

   "Terima kasih. Nona ternyata bijaksana dan berbudi baik sekali,"

   Kata pria itu yang lalu duduk di seberang. Seorang pelayan menghampiri dan pemuda itu berkata.

   "Aku memesan makanan dan minuman, dan karena kami semeja, maka pesananku sama dengan apa yang dipesan oleh nona ini."

   Wanita itu sama sekali tidak memperlihatkan bahwa ia memperhatikan atau mengambil perduli. Dan pemuda itupun tidak berani bicara lagi karena melihat sikap orang seolah tidak ingin diajak bicara. Dia hanya memandang dengan sopan, tidak langsung. Ternyata wanita itu memang cantik jelita. Usianya nampak baru sekitar dua puluh tahun walaupun kalau melihat sikapnya tentu sudah lebih banyak lagi. Wajahnya bulat telur, dan kulit mukanya putih kemerahan. Sepasang matanya tajam dan indah seperti mata burung Hong. Rambutnya hitam panjang sampai ke pinggul diikat pita kuning. Hidungnya mancung, dan mulutnya menantang dengan bibir merah basah. Dagunya runcing, ada tahi lalat di dagu itu. Alisnya kecil panjang melengkung. Tubuhnya padat, ramping dengan lekuk lengkung sempurna. Sungguh seorang wanita cantik sekali, dan pakaiannya juga dari sutera mahal. Ketika duduk di depan wanita itu, ada bau semerbak harum datang dari wanita itu. Diam-diam pemuda itu kagum, sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal sekali, yaitu Jeng I Sianli (Dewi Baju Hijau) Cu Leng Si! Pendekar wanita berhati baja yang menjadi murid pendeta wanita sakti Wi Wi Siankouw.

   Sementara itu, dari sudut matanya, beberapa kali Leng Si memperhatikan pemuda itu. Tinggi tegap gagah. Usianya paling tidak tentu sudah dua puluh lima tahun. Wajahnya jantan, hidungnya besar mancung dan dagunya berlekuk. Mata itu tajam akan tetapi menyinarkan kejujuran dan pedang di punggungnya menunjukkan bahwa dia juga seorang ahli silat. Leng Si tidak pernah mimpi bahwa dia berhadapan dengan Gu San Ki, murid dari Pek Mau Siankouw bibi gurunya sendiri karena Pek Mau Siankouw adalah sumoi (adik seperguruan) Wi Wi Siankouw. Mereka memang tidak pernah saling jumpa, seperti juga guru mereka yang tidak pernah saling jumpa atau berhubungan.

   Makanan yang dipesan Leng Si datang lebih dulu. Sebelum makan, ia hanya mengangguk kepada San Ki. Pemuda inipun hanya mengangguk dan membuang muka agar jangan kelihatan bahwa dia memandangi orang yang sedang makan. Akan tetapi mendengar wanita itu makan, mau tidak mau jakunnya naik turun karena beberapa kali dia menelan ludah. Perutnya sudah lapar, tenggorokannya sudah haus. Dan Leng Si juga mengetahui hal ini, akan tetapi ia hanya melanjutkan makan sambil mulutnya mengembang ke arah senyum ditahan. Setelah makanan untuk San Ki datang, makanan yang sama, diapun mengangguk kepada Leng Si dan mulailah dia makan dengan lahapnya.

   Melihat ini, Leng Si merasa geli.

   "Lahap benar makanmu,"

   Tegurnya.

   San Ki hampir tersedak. Dia cepat minum untuk mendorong makanan yang mengganjal di tenggorokannya dan mukanya berubah merah oleh teguran teman semeja yang tidak dikenalnya itu.

   "Ah, maafkan aku, nona. Sejak kemarin aku belum sempat makan."

   Mereka melanjutkan makan dan tidak bicara lagi. Akan tetapi keduanya maklmu bahwa di meja sebelah, seorang berpakaian sebagai opsir pasukan bersama tiga orang perajuritnya sedang makan minum pula. Dan mereka itu seperti orang berpesta saja. Makanan termahal dipesannya, dan mereka sudah banyak minum arak sehingga dari kepala yang bergoyang-goyang itu dapat diketahui bahwa mereka tentulah sudah setengah mabok.

   Empat orang yang setengah mabok itu nampak berbisik-bisik, akan tetapi baik Leng Si maupun San Ki yang memiliki pendengaran terlatih dan tajam dapat menangkap perintah opsir itu kepada bawahannya untuk mengundang "gadis cantik berbaju hijau"

   Itu untuk makan bersama di mejanya. Akan tetapi mereka berpura-pura tidak mendengar saja dan melanjutkan makan minum dengan tenang.

   Seorang di antara perajurit itu kini bangkit berdiri dan dengan langkah yang gontai menghampiri meja Leng Si.

   "Nona, kapten kami minta kepada nona untuk makan bersamanya di meja sana, dan biarlah saya yang menemani saudara ini makan minum."

   Kalau menuruti wataknya, Leng Si tentu sudah mengamuk. Akan tetapi karena di mehanya duduk pemuda itu, ia menahan dirin dan cawan tehnya yang masih setengah itu tiba0tiba ia siramkan kepada perajurit itu. Biarpun hanya air teh, akan tetapi karena yang menyiramkan adalah Jeng I Sianli yang melakukannya dengan tenaga sin-kang, maka perajurit itu merasa seperti wajahnya ditusuk-tusuk jarum. Dia berteriak dan terhuyung ke belakang sambil menutupi muka dengan kedua tanannya karena matanya tidak dapat dibukanya. Pedas dan perih rasanya.

   Kapten itu bangkit berdiri dan marah sekali.

   "Berani engkau memukul perajuritku?"

   Leng Si sudah menyambar poci tehnya, akan tetapi sebuah tangan yang lembut namun kuat sekali telah menangkap tangannya dan ketika dengan marah ia memandang ke depannya, pemuda itu menggeleng kepala dan berkata lirih.

   "Nona, poci teh ini akan dapat membunuhnya. Tidak baik membunuh perajurit, apa lagi seorang kapten."

   Leng Su teringat, lalu tangannya memegang sumpit, dengan cepat disumpitnya sepotong bakso. Pada saat itu, sang perwira sdah memerintahkan dua orang perajuritnya yang lain.

   "Tangkap wanita itu, Tang..."

   Belum habis dia bicara, sepotong bakso meluncur bagaikan peluru dan tepat memasuki mulutnya yang sedang erbuka dan bakso itu terus menyelonong ke dalam kerongkongannya. Dua bakso lain menyambar ke arah muka dua orang perajurit. Yang seorang terkena mata kirinya sehingga mata itu menjadi hitam, dan seorang lagi terkena hidungnya dan bocorlah hidung itu keluar darahnya.

   Biarpun mereka sendiri kesakitan, melihat atasan mereka terbatuk-batuk karena ada bakso mengganjal kerongkongan, dua orang itu menolongnya dan menepuk-nepuk punggungnya sampai akhirnya bakso itu dapat tertelan.

   Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tentu saja perwira itu marah bukan main. Dia lari keluar diikuti tiga orang perajuritnya dan di luar dia berteriak-teriak memanggil pasukannya yang terdiri dari tiga losing orang yang segera berlari-lari menghampiri kapten mereka yang memanggil mereka.

   "Tangkap perempuan setan itu! Tangkap! Cepat!"

   "Nona, sebaiknya kita keluar. Tidak baik kalau ribut di sini merusakkan prabot rumah makan."

   San Ki berkata lembut dan sungguh aneh sekali. tidak biasanya Leng Si yang berhati baja itu mau menurut kata-kata orang. Akan tetapi sekarang, untuk kedua kalinya iapun mengangguk dan mereka berdua melangkah keluar dengan tenangnya. Sampai di luar, mereka dihadapi oleh puluhan orang perajurit yang sudah mencabut golok. Akan tetapi tiga losin perajurit itu tentu saja merasa ragu. Mereka disuruh mengeroyok seorang gadis yang demikian cantik?

   "Tangkap perempuan setan itu!"

   Kembali si perwira berseru sambil menundingkan telunjuknya ke arah leng Si. Kini tidak ragu lagi para perajurit itu dan mereka berbondong seperti hendak berlumba menghampiri Leng Si dengan golok di tangan untuk menakut-nakuti. Mereka lebih senang kalau disuruh menangkap hidup-hidup, ada kesempatan bagi mereka untuk memeluk dan menggerayangi tubuh yang denok itu.

   Akan tetapi begitu mereka dekat, Leng Si menggerakkan kaki tangannya dan robohlah empat orang yang berada paling depan. Semua orang yang berada paling depan. Semua orang yang menjadi kaget dan marah, dan kini mereka menyerang dengan golok merka. Leng Si mengamuk, dengan tnagan kosong saja karena ia memandang rendah pada pengeroyoknya. Melihat gadis itu dikeroyok begitu banyak orang, San Ki memandang penuh perhatian dan terkejutlah dia. Tentu saja dia mengenal gerakan wanita itu. Itulah jurus kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Serbu Ratusan Golok) yang amat dikenalnya karena itu merupakan suatu jurus ampuh dari perguruannya untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang yang bersenjata golok atau pedang! Karena wanita itu menggunakan jurus dari perguruannya ini, timbullah rasa akrab di hati San Ki dan diapun terjun ke dalam pertempuran, juga menggunakan jurus yang sama menghadapi para perajurit yang bergolok itu.

   Gerakan mereka persis sama. Bahkan cara memutar tubuh menendang dengan kedua kaki bergantian dan sekaligus merobohkan lima enam orang juga tidak berbeda. Leng Si juga melihat ini dan iapun tertegun. Jelas bahwa pria itu menggunakan ilmu silat yang sama dengan ilmu silatnya. Ia sengaja mengubah jurus-jurusnya dan semua jurusnya ditiru oleh pria itu dengan sempurna!

   Leng Si bergerak mendekati pria itu. Para pengeroyok mulai jeri akan tetapi karena jumlah mereka banyak, mereka masih mengepung dengan mengamang-amankan golok. Kesempatan selagi mereka tidak menyerang itu dipergunakan Leng Si untuk bicara.

   "Sobat, engkau tentu murid bibi guru Pek Mau Siankouw, bukan?"

   "Dan engkau tentu murid bibi guru Wi Wi Siankouw!"

   "Benar, mari kita hajar mereka ini!"

   "Akan tetapi jangan membunuh perajurit, bisa gawat!"

   San Ki memperingatkan. Mereka lalu mencabut senjata masing-masing. Biarpun tanpa senjata, mereka dapat menandingi pengeroyokna tiga puluh lebih orang itu, akan tetapi bagaimanapun juga menghadapi banyak orang yang memegang senjata dapat berbahaya bagi mereka. Setelah kini mreka memegang pedang, maka dengan mudah mereka dapat membabati golok mereka sehingga banyak golok beterbangan atau patah-patah. Dua orang itu, setelah mengetahui keadaan masing-masing sebagai saudara seperguruan, menjadi semakin gembira dan bersemangat. Dalam waktu kurang dari seperempat jam, semua golok sudah dapat mereka patahkan atau terbangkan.

   Mendadak sebuah kereta berhenti dekat situ dan terdengar suara dari dalam kereta.

   "Berhenti, jangan srang lagi!"

   Semua perajurit menengok dan ketika melihat siapa orangnya yang memberi aba-aba, mereka lalu mundur dengan memegang golok buntung atau bahkan sudah tidak memegang senjata lagi. Mereka bahkan mereasa lega disuruh berhenti menyerang karena mereka memang sudah merasa jerih sekali terhadap kedua orang itu. Para penonton yang menyingkir jauh-jauh juga merasa kagum abhwa dua orang dapat memorak-porandakan tiga losin perajurit.

   Leng Si dan San Ki sudah menyimpan kembali pedang mereka dan kini mereka memandang pria yang berdiri di ambang pintu keretanya itu. Seorang pembesar dengan pakaian kebesarannya yang gemerlapan, dijaga oleh selosin pengawal yang kelihatannya kuat dan angker. Pembesar itu tinggi kurus, berusia kurang lebih lima puluh tahun dan nampak wajahnya cerah dan dia tersenyum sambil memandang kagum.

   Dengan sikap bersahabat, pembesar itu mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Leng Si dan San Ki! Dua orang ini tentu saja merasa heran dan cepat merekapun balas memberi hormat. Aneh rasanya pembesar yang kelihatannya berkedudukan tinggi itu memberi hormat lebih dahulu kepada mereka.

   "Taihiap dan lihiap, harap maafkan pasukan yang berlaku keras dan lancang terhadap ji-wi (kalian berdua). Sebetulnya, apakah yang menyebabkan dua orang pendekar seperti ji-wi sampai ribut dengan pasukan ini?"

   Karena Leng Si nampaknya segan menjawab, San Ki yang mewakilinya menjawab.

   "Bukan kesalahan kami, taijin. Ketika kami sedang makan di rumah makan, ada seorang perwira hendak memaksa adik saya ini untuk menemaninya makan. Adik saya menolak dan terjadilah pengeroyokan ini."

   Pembesar itu kelihatan marah sekali dan dia menoleh ke arah pesukan.

   "Perwira mana yang melakukan kekurang ajaran itu? Hayo cepat maju ke sini!"

   Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar perwira yang dijejali bakso oleh Leng Si tadi maju, diikuti oleh tiga orang perajuritnya. Mereka menghadap pemberas itu dan sang perwira memberi hormat diikuti tiga anak buahnya.

   "Harap maafkan kami berempat, taijin. Kami tadinya hanya bermaksud main-main saja."

   "Keparat! Main-main dengan seorang pendekar wanita? Hayo kalian minta maaf kepada mereka dan siap menerima hukuman cambuk masing-masing dua puluh kali!"

   Perwira itu lalu menghampiri Leng Si dan San Ki, memberi hormat dan berkata.

   

Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini