Si Walet Hitam 3
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Lengan di mana jarum rumput merah itu mengeram telah mulai terasa sakit ketika ia berhasil mengurut jarum itu dan mendorongnya mundur dan kembali ke luka di pergelangan tangannya. Jarum-jarum rumput yang melukainya ada dua buah dan dengan tekanan dua buah jari telunjuk dan jari tengah, perlahan-lahan ia dapat mendorong dua benda itu keluar.
Jidat gadis itu sampai berpeluh karena menahan sakit dan peluhnya bercampuran dengan air hujan turun membasahi mukanya. Akhirnya nampak ujung jarum yang warnanya merah itu tersembul keluar dari lubang kecil di pergelangan tangannya.
Lee Ing merasa girang bercampur gemas dan menggunakan kukunya untuk mencabut keluar jarum-jarum itu. Dengan hati-hati sekali ia membungkus kedua batang jarum rumput merah itu dengan sehelai saputangan dan menyimpannya. Kemudian turunkan kembali lengan bajunya yang tadi digulung ke atas.
Pada saat itu terdengar suara kaki kuda mendatangi dari jauh. Lee Ing cepat bersembunyi di balik batang pohon. Di dalam gelap ia melihat seorang penunggang kuda datang cepat sekali. Dan tiba-tiba dari jurusan lain datang pula dua orang penunggang kuda lain.
Terkejutlah Lee Ing ketika melihat bahwa penunggang kuda yang dua orang ini bukan lain ialah Hek Li Suthai dan muridnya, Bi Mo-li! Hati Lee Ing berdebar, penuh rasa kuatir dan gemas, akan tetapi ia tidak berani memperlihatkan diri dan hanya mengintai di antara daun-daun pohon.
Juga kedua to-kouw itu melihat kedatangan penunggang kuda yang melarikan kudanya cepat sekali itu. Mereka menahan kuda mereka dan menanti di tengah jalan.
Ketika penunggang itu telah datang dekat, Lee Ing melihat bahwa ia adalah seorang pemuda berpakaian hitam yang gagah sekali. Pemuda ini juga merasa heran melihat dua orang to-kouw yang naik kuda dan menghadang di tengah jalan itu maka dari jauh ia memperlambat larinya kuda dan segera menegur,
"Jiwi suthai diharap suka minggir!"
Hek Li Suthai waktu itu sedang marah dan mendongkol sekali karena kekalahan yang dideritanya dari suami isteri pendekar yang baru saja dikunjunginya, maka melihat pemuda ini ia bermaksud hendak mengganggunya untuk melampiaskan rasa mendongkolnya.
Sebaliknya Bi Mo-li ketika melihat wajah pemuda yang tampan sekali dan tubuhnya yang gagah, timbul pula keinginannya untuk mempermainkan. Akan tetapi ketika dua to-kouw itu melihat perhiasan kepala pemuda itu, mereka menjadi terkejut berbareng girang. Hek Li Suthai lalu bertanya.
"Pemuda di depan bukankah Ouw-yan-cu si Walet Hitam dan putera Ang Lian Lihiap?"
Pemuda ini memang benar Lo Sin yang baru saja kembali dari perjalanannya mencari Kong Sin Ek dan telah tertimpa hujan badai di jalan hingga ingin buru-buru sampai ke rumah. Mendengar pertanyaan ini, ia memandang dengan lebih teliti.
Ketika melihat sikap kedua to-kouw ini dan melihat bahwa to-kouw yang tua mempunyai tai lalat di ujung hidungnya, hatinya bercekat.
"Apakah siauwte berhadapan dengan Hek Li Suthai?"
Tanyanya.
"Ha-ha-ha! Kebetulan sekali, agaknya Thian (Tuhan) telah membantu kami hingga kebetulan sekali pinni bertemu dengan kau! Ha-ha! Ouw-yan-cu, bersedialah untuk mati di tangan pinni!"
Sambil berkata demikian, to-kouw tua itu meloloskan pedang dan kebutannya, juga Bi Mo-li mencabut pedangnya!
Lee Ing ketika mendengar bahwa pemuda ini adalah putera Ang Lian Lihiap, memandang dengan penuh perhatian dan hatinya tertarik sekali. Jadi inikah putera mereka itu? Kelihatannya memang gagah perkasa! Akan tetapi dapatkah pemuda itu melawan Hek Li Suthai yang lihai?
Diam-diam ia merasa kuatir sekali akan keselamatan pemuda itu, akan tetapi apa dayanya? Kalau ia keluar membantu, itu berarti hanya akan mencari bencana saja, maka ia hanya menonton dan tak terasa lagi keluar dari balik pohon.
Lo Sin maklum bahwa musuh orang tuanya ini tentu takkan memberi ampun, maka iapun cepat mencabut pedang yang tergantung di punggungnya, lalu berkata dengan gagah.
"Hek Li Suthai, kaukira aku yang muda takut kepadamu?"
Hek Li Suthai didahului oleh muridnya oleh karena Bi Mo-li hendak membalas kekalahannya terhadap Ang Lian Lihiap tadi dan ia kira bahwa betapapun juga pemuda ini tak mungkin memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi ia salah duga karena ketika ia memajukan kudanya menyerang, terdengar Ouw-yan-cu berseru keras dan tahu-tahu tubuh pemuda itu telah melayang dari atas kudanya dan siap sedia menghadapi pertempuran mati-matian!
Melihat gerakan pemuda ini, Hek Li Suthai maklum bahwa muridnya bukanlah lawan pemuda itu yang memiliki kegesitan dan gin-kang seperti ibunya, maka to-kouw tua itupun lalu melompat turun diikuti oleh Bi Mo-li.
03.07. Gadis Kehujanan di Bawah Pohon
Sekali lagi Bi Moli menerjang dengan pedangnya, akan tetapi sekali memutar pedang menangkis, Bi Mo-li merasa telapak tangannya sakit sekali dan hampir saja pedangnya terlepas! Ia terkejut dan jerih, lalu mundur membiarkan gurunya menghadapi pemuda yang gagah perkasa itu.
Hek Li Suthai tidak tahu bahwa Lo Sin telah mewarisi kepandaian kedua orang tuanya hingga kepandaian pemuda ini lihai sekali, oleh karena dari ayah dan ibunya ia mendapat gemblengan secara bergantian hingga ia memiliki tenaga besar dan ketenangan ilmu silat ayahnya dan memiliki kelincahan dan gin-kang dari ibunya. Bahkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut telah ia pelajari dengan sempurna, hingga kalau hendak dibandingkan dengan kepandaian ayah atau ibunya, mungkin ia takkan berada di bawah tingkat mereka.
Hal ini tentu saja sama sekali tak pernah disangka oleh Hek Li Suthai, dan setelah ia menyerang dan bentrok dengan pemuda itu, barulah ia mengeluh di dalam hati karena ternyata bahwa gerakan pemuda ini gesit luar biasa dan tenaga lweekangnya amat dahsyat.
Mereka berdua bertempur dengan sengit dan ramainya di dalam hujan badai itu dan perlahan-lahan Lo Sin dapat mendesak lawannya dan mengurung to-kouw tua itu dengan ilmu pedangnya. Diam-diam pemuda ini berpikir bahwa to-kouw ini tentu telah bertemu dengan orang tuanya dan telah dikalahkan, kalau tidak, tentu ia takkan meninggalkan Tit-lee. Kalau orang tuanya melepaskan to-kouw ini tanpa melukainya, maka iapun tidak mau menurunkan tangan jahat.
Setelah berpikir demikian, ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Naga Sakti Mandi di Api, yakni ilmu pedang yang tadi telah digunakan oleh Ang Lian Lihiap dan yang membuat Hek Li Suthai merasa pusing dan bingung. Kini menghadapi pemuda yang menjalankan ilmu pedang itu sama baiknya dengan permainan Ang Lian Lihiap, untuk kedua kalinya Hek Li Suthai dibikin pusing dan bingung hingga gerakannya menjadi lemah dan ilmu pedangnya kalang kabut.
Pada saat yang tepat, Lo Sin mengirim tendangan ke arah pergelangan tangan kanan to-kouw itu hingga pedang yang dipegangnya terlempar ke atas tanah. Hek Li Suthai memang tidak mempergunakan sepasang pedangnya, oleh karena tadinya ia memandang ringan kepada Lo Sin.
"Hek Li Suthai, pungutlah pedangmu dan jangan mengganggu aku lebih jauh. Kau mempunyai urusan dengan kedua orang tuaku, kalau kau memang berani, mari ikut aku dan bertemu dengan mereka!"
Kata Lo Sin sambil melompat ke atas kudanya pula.
Hek Li Suthai tidak menjawab, dan dengan hati panas terbakar ia menyuruh muridnya mengambil pedangnya yang terlempar itu, kemudian tanpa berkata sesuatu ia lalu melompat ke atas kudanya, diturut oleh muridnya dan kedua pendeta wanita itu mengaburkan kuda cepat-cepat dari tempat itu. Hati dan perasaan mereka pada saat itu hanya setan yang tahu!
Lo Sin tertawa bergelak, lalu memajukan kudanya hendak melanjutkan perjalanan pulang. Akan tetapi, tiba-tiba ia melihat Lee Ing yang masih berdiri di bawah pohon. Melihat seorang gadis muda yang cantik berdiri dengan pakaian basah, kuyup di bawah pohon, Lo Sin merasa heran dan menghentikan kudanya lalu maju mendekati.
"Eh, nona kau sedang bekerja apa di situ?"
Tegurnya karena mengira bahwa gadis itu tentu gadis kampung di dekat situ.
Akan tetapi setelah datang dekat Lo Sin tercengang melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya dengan pakaian yang indah pula, sayang bahwa pakaian dan rambutnya basah kuyup, walaupun hal ini tidak mengurangi kecantikannya.
"Aku""
Sedang berteduh dari hujan,"
Jawab Lee Ing gagap karena tak menyangka akan terlihat dan akan ditanya.
Lo Sin merasa kasihan.
"Kalau kau suka, mari kuantar pulang, nona."
Ucapan ini sebenarnya adalah sewajarnya, timbul dari hati yang mengandung iba dan kuatir kalau-kalau gadis itu yang berada seorang diri di situ akan bertemu dengan orang jahat dan akan terserang penyakit karena kehujanan dan kedinginan.
Akan tetapi, bagi Lee Ing ucapan ini terdengar kurang ajar sekali, dan berubahlah pandangannya terhadap Lo Sin. Pemuda ini memang gagah perkasa dan pantas menjadi putera Ang Lian Lihiap, akan tetapi mengapa sikapnya begini ceriwis? Apalagi kalau diingat bahwa dia sudah beristeri!
Marahlah hati Lee Ing dan ia menjawab dengan ketus.
"Apakah kau hendak menggunakan kegagahanmu untuk menghina seorang gadis?"
Melihat kegalakan gadis ini, Lo Sin tersenyum dan ia bahkan melompat turun dari kudanya karena merasa penasaran.
"Eh, eh, mengapa menjadi marah? Kau siapakah, nona?"
Kini ia melihat makin jelas wajah gadis itu, biarpun keadaan di situ gelap.
"Perlu apa kau tahu siapa aku? Akupun tidak perduli seujung rambut siapa adanya kau! Pergilah dan jangan mengganggu aku!"
Lo Sin makin merasa penasaran, bahkan agak marah karena melihat sikap permusuhan yang tiada alasan dari gadis itu, Maka tertarik hatinya untuk mengetahui siapa adanya orang ini.
"Nona, aku hanya bermaksud menolongmu. Kau kedinginan dan pakaianmu basah kuyup, mari kuantar pulang agar kau tidak menderita sakit. Pulanglah dan berganti pakaian kering."
Melihat desakan Lo Sin, makin teballah sangkaan Lee Ing bahwa pemuda ini benar-benar ceriwis dan mata keranjang. Hatinya makin gemas dan marah, bercampur kecewa yang entah disebabkan oleh apa, dia sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba hatinya menjadi tidak karuan dan ingin marah kepada putera Ang Lian Lihiap yang tampan, gagah, dan berkepandaian tinggi ini.
"Keadaanku mempunyai sangkut-paut apakah dengan kau? Biar aku mati kedinginan di sini, kau tak perlu ikut campur!"
Setelah berkata demikian, Lee Ing lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi.
Lo Sin tiba-tiba merasa terkejut karena baru sekarang ia melihat sebatang pedang tergantung di pinggang nona itu. Ia hendak mengejar dan belajar kenal karena menyangka bahwa gadis itu tentulah seorang gagah, akan tetapi Lee Ing telah melompat dan berlari cepat sekali di dalam gelap!
Lo Sin menghela napas. Ia merasa sayang sekali tak dapat berkenalan dengan dara jelita itu yang secara aneh sekali telah dapat menarik perhatiannya.
Padahal biasanya ia tidak mengacuhkan gadis cantik, bahkan kalau orang tuanya membicarakan tentang gadis-gadis cantik untuk dipilih sebagai isterinya, ia merasa sebal dan marah. Kini, gadis yang berdiri seorang diri di bawah pohon dan yang muncul secara aneh sekali, telah berhasil menarik hatinya.
Ia lalu melompat ke atas kudanya dan berlari pulang. Lian Hwa dan Cin Han, kedua suami isteri pendekar itu menyambutnya dengan girang dan ketika mendengar penuturan Lo Sin tentang Hek Li Suthai, Cin Han menghela napas.
"Hm, to-kouw itu tentu akan melatih diri lebih hebat lagi. Siapa tahu, ia akan bersekutu dengan orang-orang pandai yang berhati jahat untuk mencari permusuhan dengan kita."
"Biar dia mendatangkan bala bantuan, asal kita berada di pihak benar, mengapa harus takuti dia?"
Kata Ang Lian Lihiap dengan penuh semangat, hingga Lo Sin memandang kepada ibunya dengan kagum.
"Lo Sin, bagaimana dengan keadaan si Dewa Arak?"
Cin Han bertanya setelah Lo Sin mengganti pakaiannya dengan pakaian kering.
Lo Sin lalu menceritakan pengalaman dan perjalanannya. Agar supaya lebih jelas, baiklah kita ikuti sendiri perjalanan Lo Sin ketika mengunjungi Kong Sin Ek si Dewa Arak di Bukit Pek-ma-san di daerah utara.
Ketika menerima surat dari Nyo Tiang Pek yang mengabarkan bahwa Kong Sin Ek telah meninggal dunia karena sesuatu penyakit, hati Lo Sin berkuatir sekali. Ia belum mau mempercayai berita ini dan hatinya yang amat sayang kepada orang tua itu membuat ia tak dapat menahan diri lagi dan atas perkenan orang tuanya, pada keesokan harinya ia lalu berangkat ke utara.
Lo Sin mempunyai seekor kuda yang berbulu putih dan bagus sekali, akan tetapi juga tinggi besar dan kuat hingga dapat berlari cepat tanpa berhenti untuk setengah hari lamanya. Kuda ini adalah pemberian ayahnya dan diberi nama Pek-liong atau Naga Putih.
Lo Sin menunggang kudanya ini dalam perjalanannya menuju ke utara, kalau ia melarikan kudanya terus tanpa ada aral melintang, paling lama tiga hari saja ia sudah bisa sampai di Pek-ma-san tempat tinggal Si Dewa Arak. Akan tetapi, terjadi sebuah peristiwa di tengah jalan yang memperlambat perjalanannya.
Ketika pada keesokan harinya ia tiba di kota Long-men di waktu senja, Lo Sin yang melarikan kudanya cepat sekali, hampir saja bertabrakan, di sebuah tikungan dengan tiga orang penunggang kuda lain.
Pertemuan antara kudanya dan kuda orang yang berada di tengah, terjadi demikian tiba-tiba dan tabrakan hampir tak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi Pek-liong adalah seekor kuda yang tangkas dan kuat. Tiba-tiba saja karena kedutan kendali yang dilakukan oleh lo Sin, kuda itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya sambil meringkik keras.
Kuda yang menubruk dari depan tidak mampu menahan kelajuan larinya dan terus menyeruduk ke depan, akan tetapi Lo Sin telah membungkuk dan mengulurkan tangan kanannya dan dengan tangkas dan cepat ia berhasil mendorong dada kuda yang hendak menubruk itu.
Dorongan ini kuat dan hebat sekali hingga kuda yang menubruk itu seakan-akan menabrak palang besi hingga terguling ke kiri. Penumpangnya, seorang laki-laki berusia kurang-lebih empatpuluh tahun, ternyata pun bukan orang sembarangan. Dengan gerak tipu Burung Hong Terbang Melayang, ia dapat melompat turun dari kudanya dan berdiri di atas tanah dengan selamat, akan tetapi wajahnya menjadi pucat, oleh karena kalau ia sampai ikut terbanting di atas kudanya, tentu setidaknya ia akan mendapat luka.
Lo Sin cepat melompat turun dari kudanya dan dengan hormat ia menjura kepada tiga orang itu yang kesemuanya juga sudah melompat turun dari atas kuda.
"Sam-wi twako, harap maafkan padaku yang tidak sengaja telah mengagetkan sam-wi (tuan bertiga)."
Tiga orang itu berpakaian sebagai piauwsu (tukang pengawal barang berharga yang dikirimkan). Orang yang hampir terbanting dari kudanya itu dengan muka merah memandang kepada Lo Sin yang berpakaian seperti anak sekolah.
Lo Sin memang memakai sebuah pakaian yang panjang dan lebar seperti yang biasa dipakai oleh para pelajar. Hanya pakaian pelajar dan pakaian ringkas warna hitam yang disukai dan sering dipakai oleh Lo Sin. Di waktu siang, apabila tak sedang mengurus sesuatu yang memerlukan tenaganya, ia lebih suka berpakaian sebagai seorang siucai (pelajar).
Orang itu menuding dengan marah.
"Siucai! Kalau aku tadi sampai terbanting dan mendapat luka, kau harus mengganti dengan jiwamu!"
Lo Sin tersenyum dan menjura kepada orang itu "Twako, harap kau memberi maaf karena aku tidak sengaja."
Orang itu masih marah dan hendak membuka mulut pula, akan tetapi orang pertama dari ketiga piauwsu itu yang berusia kurang lebih limapuluh tahun dan berwajah sabar, mengangkat tangan dan berkata.
"Sun-te (adik Sun), bersabarlah."
Kemudian ia membalas pemberian hormat Lo Sin dan berkata.
"Harap kau sama-sama memaafkan kami, kongcu (tuan muda). Sebetulnya kami juga bersalah karena jalan kecil ini penuh oleh kuda kami yang lari berendeng. Baiknya kau lihai sekali dan gerakanmu It-chiu-pai-san (Dengan Satu tangan Mendorong Bukit) tadi sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali."
Lo Sin terkejut. Tidak tahunya piauwsu tua ini bermata tajam dan dapat melihat gerakan tangannya yang mendorong dada kuda itu.
"Lopeh, aku adalah seorang siucai yang lemah, mana aku mengerti tentang segala gerakan mendorong bukit."
Piauwsu tua itu tersenyum dan ketika melihat perhiasan di kepala Lo Sin yang berupa burung walet hitam, wajahnya menjadi terheran dan jelas kelihatan bahwa ia terkejut. Dengan sangsi ia lalu berkata,
"Kongcu, kalau mataku yang sudah tua ini tidak salah melihat, bukankah kau ini Ouw-yan-cu si Walet Hitam yang termashur?"
Lo Sin makin tercengang, akan tetapi ia lalu teringat akan perhiasan di atas kepalanya, maka dengan hati sebal ia lalu mencabut perhiasan itu dan dimasukan ke dalam saku bajunya yang lebar!
Piauwsu tua itu tertawa bergelak lalu menjura dengan hormat sekali.
"Tai-hiap, terhadap kami, kau tak perlu menyembunyikan dirimu yang sebenarnya! Bolehkah bertanya, taihiap hendak pergi kemanakah?"
"Lo-enghiong, tak kusangka bahwa kau memiliki pandangan mata yang luar biasa tajamnya. Memang benar, aku adalah Lo Sin yang disebut orang Ouw-yan-cu, dan aku hendak pergi ke Pek-ma-san mengunjungi seorang sahabat tua."
"Taihiap bukankah kau hendak mengunjungi si Dewa Arak?"
"Eh, bagaimana lo-enghiong dapat mengetahui? Memang benar, aku hendak menengok orang tua itu. Kenalkah kau kepadanya?"
Piauwsu tua itu menghela napas.
"Taihiap, perkenalkanlah kami adalah tiga piauwsu dari Long-men dan aku sendiri adalah ketuanya. Perusahaanku adalah Sam-eng Piauwkiok dan kami bertiga dikenal sebagai Long-men Sam-eng (Tiga Pendekar dari Long-men). Aku kenal baik pada Kong-cianpwe (Orang Tua Gagah she Kong), bukan kenal saja bahkan sehingga kini aku dapat memimpin perusahaanku adalah berkat pertolongan Kong-cianpwe yang berkali-kali."
"Tiap kali aku mendapat kesukaran di jalan, selalu Kong-cianpwe yang membantuku. Kali inipun kami bertiga mengharapkan bantuannya dan baru saja kami kembali dari Pek-ma-san, akan tetapi celaka, orang tua itu tak dapat membantu."
Piauwsu tua itu menghela napas dan wajahnya menjadi berduka sekali.
"Kali ini, aku Lie Kwan, dan kedua adikku ini, Lie Sun dan Lie Tiong, terpaksa mengerahkan tenaga sendiri untuk menjaga nama piauwkiok kami.".
Lo Sin terkejut sekali mendengar ini dan ia tidak pedulikan urusan mereka bertiga karena perhatiannya dicurahkan kepada keadaan Kong Sin Ek.
"Dia kenapakah? Bagaimana keadaannya?"
Tanyanya dengan penuh kuatir.
Lie Kwan kembali menghela napas.
"Entahlah, taihiap ketika kami datang di sana, kami melihat Kong-cianpwe duduk di dalam guanya sambil bersamadhi. Tubuhnya Kurus kering, pakaiannya tak karuan macamnya, compang-camping wajahnya pucat sekali. Kami bertanya mengapa keadaannya demikian rupa, akan tetapi ia hanya menggelengkan kepala saja.
"Ketika kami menawarkan bantuan untuk memanggil ahli obat, iapun menggelengkan kepala. Akhirnya kami menyatakan tentang kesukaran kami, dan dia membuka matanya dan berkata bahwa menyesal sekali dia tidak dapat menolong kami dan selanjutnya menyuruh kami segera pergi."
Mendengar ini teringatlah Lo Sin bahwa ketiga piauwsu yang menjadi kenalan baik Kong Sin Ek ini sedang menghadapi kesukaran, maka bertanyalah dia.
"Sam-wi kesukaran apakah yang kalian hadapi? Mungkin aku dapat mewakili Kong-lopek untuk menolongmu."
Biarpun kedua adiknya masih memperlihatkan muka sangsi dan ragu-ragu karena mereka belum percaya akan kelihaian Lo Sin, namun Lie Kwan nampak gembira sekali dan sebelum menceritakan kesukarannya, berkali-kali ia menjura dan mengangguk-anggukkan kepala menyatakan terima kasihnya.
"Apalagi kesukaran yang timbul bagi seorang piauwsu?"
Akhirnya ia mulai menuturkan dengan singkat.
"Seperti biasa, kali inipun barang antaran yang dipercayakan kepada kami telah dirampas orang jahat. Yang mengawal adalah adikku Lie Tiong ini. Akan tetapi kali ini yang merampas bukanlah orang sembarangan, karena dia adalah perampok wanita tunggal yang berjuluk Kim-gan-eng (Garuda Bermata Emas) dan bernama Coa Bwee Hwa."
Lo Sin mengangguk-angguk.
"Sudah lama aku mendengar nama ini, akan tetapi selanjutnya bagaimana?"
"Celakanya bahwa perampok wanita ini bukan sengaja menginginkan harta benda yang kami kirimkan, akan tetapi sengaja mengganggu kami oleh karena seorang sahabatnya, yakni kepala perampok yang bernama Giam Cong pada sebulan yang lalu pernah merampok kami dan dapat kami lukai. Dia sengaja datang hendak membalaskan sakit hati kawannya itu.
"Kami pernah bertemu dengan Kim-gan-eng dan pernah menyaksikan kelihaiannya, maka kami tahu bahwa kami bertiga takkan dapat menangkan dia. Dia tidak mengganggu adikku, hanya memesan bahwa apabila kami menghendaki kembalinya barang-barang itu kami harus datang bertiga mengambilnya sendiri dalam hutan di selatan itu.
"Kami hendak minta pertolongan Kong-cianpwe, akan tetapi karena orang tua itu tak dapat membantu, terpaksa kami memberanikan diri dan pergi sendiri. Maka kalau taihiap sudi mencapaikan diri membantu kami, alangkah girangnya hati kami dan budi ini tentu takkan kami lupakan oleh karena barang berharga itu adalah milik seorang pembesar dan kalau tidak dapat dirampas kembali, akan berarti hancurnya perusahaan kami bahkan kami tentu ditangkap dan dijatuhi hukuman!"
"Kalau begitu, marilah kita berangkat sekarang juga,"
Kata Lo Sin.
Mereka berempat lalu menuju ke selatan, hingga Lo Sin kembali ke jalan yang dilalui tadi. Setelah melalui kurang lebih tigapuluh lie mereka membelok ke kanan dan memasuki sebuah hutan yang liar.
Ketika tiba di tengah hutan, tiba-tiba mereka menghentikan kuda karena di sebuah tempat terbuka dihadapan mereka telah menanti banyak anggauta perampok. Ini adalah para anak buah perampok Giam Cong yang telah menanti di situ.
Dengan tindakan gagah Lo Sin dan Long-men Sam-eng melompat turun dari kuda lalu menghampiri mereka. Dari sebuah bangunan yang terbuat dari pada kayu hutan, keluarlah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam dan berusia sedikitnya empatpuluh tahun. Wajahnya buruk dan kejam dan matanya bersinar liar.
Inilah kepala perampok Giam Cong yang ditakuti oleh para pelancong dan perantau. Akan tetapi di sebelahnya berjalan seorang gadis berpakaian serba hijau yang berwajah cantik dan manis sekali. Terutama sepasang matanya yang lebar itu bersinar tajam dan lincah sekali.
Usia gadis ini paling banyak sembilanbelas tahun, akan tetapi tindakan kakinya yang gesit itu menunjukkan bahwa ia memiliki ilmu ginkang yang tinggi. Gagang sebatang pedang tersembul di belakang pundak kirinya. Rambutnya yang hitam itu digelung ke atas dan diikat dengan sutera merah hingga wajahnya nampak manis sekali.
Karena berjalan di dekat Giam Cong yang buruk rupa dan bengis, maka mereka ini kelihatannya bagaikan seorang bidadari berdampingan dengan seorang iblis.
Ketika melihat bahwa ketiga piauwsu itu datang bersama seorang pemuda pelajar, gadis baju hijau yang bukan lain adalah Kim-gan-eng Coa Bwee Hwa sendiri, tersenyum mengejek.
"Tiga pendekar dari Long-men datang membawa pengawal seorang pelajar! Apakah dia itu bertugas untuk membuat syair duka untuk kematian atau kekalahanmu?"
Kim-gan-eng tertawa dan suara ketawanya merdu sekali, sedangkan ketika ia tertawa, giginya yang berderet rata dan berwarna putih bersih itu berkilauan.
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mana si tua Kong Sin Ek? Bukankah dia itu pembelamu? Panggillah Kong Sin Ek ke sini agar ia mengenal adanya Kim-gan-eng dan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap kami kaum liok-lim (perampok)!"
Lo Sin merasa tercengang dan heran melihat bahwa Kim-gan-eng yang tersohor sebagai perampok tunggal yang berani dan lihai itu ternyata hanya seorang gadis muda yang cantik jelita! Dan alangkah sombongnya gadis ini, pikirnya.
03.08. Penderitaan Si Dewa Arak
Akan tetapi ia diam saja dan menanti ke tiga piauwsu itu menjawab. Lie Kwan melangkah maju dan mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan.
"Kim-gan-eng, kami bertiga tak berani mengharapkan bantuan Kong-cianpwe dan saudara kami ini memberanikan diri datang mewakilinya untuk minta kau bermurah hati dan mengembalikan barang-barang yang menjadi tanggung jawab kami."
Terang sekali bahwa piauwsu tua ini hendak membujuk karena ia merasa jerih terhadap nona muda itu!
Kim-gan-eng tertawa lagi.
"Enak saja bicara! Kalian sudah tahu bahwa pekerjaan kaum liok-lim ialah minta uang jalan dari mereka yang lewat di daerahnya. Akan tetapi kalian memperlihatkan kegagahan dan bukannya membantu pamanku Giam Cong ini, bahkan telah berlancang melukainya! Apakah ini namanya mengingat perhubungan baik di dunia kang-ouw? Oleh karena itu, aku sengaja mengambil barang-barangmu untuk dipakai sebagai biaya pengobatan luka pamanku ini. Kalau kalian mempunyai kepandaian, cobalah kalian mengambil kembali barang itu melalui pedangku. Kalau kalian tidak berani, boleh kalian mendatangkan bala bantuan, kedatangan Kong Sin Ek ke sini telah kutunggu-tunggu!"
Bukan main mendongkolnya hati Lo Sin mendengar kesombongan ini. Ia segera bertindak maju menghadapi Kim-gan-eng.
"Nona, dengan alasan apakah maka kau menantang-nantang Kong Sin Ek Dewa Arak? Kesalahan apakah yang telah diperbuat oleh orang tua itu hingga kau menjadi marah kepadanya?"
Kim-gan-eng memandang pemuda yang tampan ini dengan mata tajam. Biarpun ia mengagumi kegagahan dan ketampanan Lo Sin, namun ia memandang rendah kepandaian pemuda pelajar ini.
"Kong Sin Ek terlampau mengandalkan kegagahannya dan belakangan ini dia dan terutama muridnya berlaku sewenang-wenang dan membinasakan banyak kawan dari kalangan liok-lim, seakan-akan dia tidak menghargai sama sekali kami kaum liok-lim. Hendak kulihat, sampai di mana kegagahannya. Kau ini siapa dan mau apa datang ke sini?"
"Kebetulan sekali aku boleh dibilang keponakan Kong Sin Ek dan karena orang tua itu tidak dapat datang sendiri, biarlah aku mewakili dia menerima pengajaranmu."
Kim-gan-eng tercengang, lalu tersenyum dan berkata.
"Eh, eh, agaknya kaupun memiliki sedikit kepandaian. Keluarkanlah senjatamu hendak kulihat."
Akan tetapi, Giam Cong yang telah sembuh dari lukanya ketika melihat bahwa Kim-gan-eng hendak dilayani oleh seorang pemuda lemah lembut itu, lalu membentak.
"Pemuda kutu busuk yang ingin mampus! Bwee Hwa, biarlah aku memberi hajaran kepadanya!"
Kim-gan-eng tersenyum dan mengundurkan diri membiarkan pamannya menghadapi Lo Sin, karena pikirnya bahwa pemuda ini tak mungkin merupakan lawan yang tangguh.
"Anak muda, majulah kalau kau ingin merasakan bagaimana rasanya pukulan keras!"
Kata Giam Cong dengan wajah bengis.
(Lanjut ke Jilid 04)
Si Walet Hitam/Ouw Yan Cu (Seri ke 03 "
Serial Si Teratai Merah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
Melihat lagak yang galak dari Giam Cong yang buruk rupa itu, Lo Sin tersenyum dan berkata.
"Bukankah kau sudah dirobohkan oleh para piauwsu? Mengapa kau masih ada muka dan berani maju pula? Mundurlah, agar jangan sampai kau roboh untuk kedua kalinya!"
Merahlah wajah Giam Cong mendengar sindiran ini. Ia membentak marah.
"Cacing buku! Jangan membuka mulut besar. Aku Giam Cong si Tangan Besi biarpun pernah dikalahkan oleh piauwsu-piauwsu pengecut itu akan tetapi mereka bertempur secara keroyokan. Majulah kalian semua seorang demi seorang, jangan main keroyokan dan lehermu akan kupatahkan semua. Apalagi kau ini, anak muda lemah yang tertiup oleh angin saja akan terguling, kutanggung dalam lima jurus, aku akan berhasil mengantar nyawamu menghadap Giam-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!"
Terdengar suara ketawa riuh rendah dari para anggauta perampok yang telah mengurung tempat itu dan bersikap sebagai penonton, padahal mereka ini siap sedia untuk menerima komando kepala mereka untuk maju menyerbu dan mengeroyok.
Panas juga hati Lo Sin mendengar kesombongan ini. Ia mengeluarkan perhiasan kepalanya berupa burung walet hitam yang tadi ditanggalkan dan dimasukkan ke dalam sakunya, lalu dikenakan pada pengikat kepalanya bagian depan.
"Eh, eh, kau hendak berkelahi atau hendak bersolek?"
Giam Cong mengejek lagi hingga kembali anak buahnya tertawa.
Akan tetapi Lo Sin segera membuka baju luarnya hingga kini nampaklah pakaiannya serba hitam yang ringkas dan gagah. Semua orang termasuk Kim-gan-eng, tercengang melihat ini dan diam-diam ia mulai memperhatikan anak muda yang gagah ini.
"Berkelahi boleh, bersolek pun perlu,"
Jawab Lo Sin dengan suara memandang rendah sekali.
"menghadapi kau saja, perlu apa tergesa-gesa dan ribut-ribut?"
"Keparat sombong. Cabut pedangmu kalau kau memang berani berkelahi!"
"Tak usah, kau maju dan pergunakanlah senjatamu, aku cukup melayanimu dengan tangan kosong saja."
Giam Cong makin marah karena merasa dihina dan dipandang rendah sekali.
"Bocah sombong. Kaukira aku Giam Cong seorang pengecut? Aku tidak sudi menghadapi seorang selemah engkau ini dengan bersenjata sedangkan kau bertangan kosong, dan tidak mau mendapat nama buruk apabila pedangku membikin kau mampus dalam keadaan bertangan kosong. Kulihat kau membawa pedang, hayo cabutlah! Atau kau memang tidak berani?"
"Kau agaknya sudah ingin sekali dirobohkan.
"Baiklah, tapi ingat, kau sendiri yang minta aku mencabut pedang dan jangan kaupersalahkan aku kalau dalam dua jurus saja kau akan jatuh bangun!"
Sambil berkata demikian, tangan Lo Sin bergerak dan sebatang pedang yang tajam dan berkilauan telah tercabut dan berada di tangan kanannya. Pemuda ini lalu berdiri dengan kedua kaki terpentang di kanan kiri, tangan kiri bertolak pinggang, dan tangan kanan memegang pedang itu lurus-lurus ke depan ditodongkan ke arah dada Giam Cong.
"Nah, tai-ong (sebutan untuk kepala rampok), dengarlah baik-baik! Aku masih menaruh hati kasihan kepadamu, maka aku hanya akan memegang pedangku seperti ini. Kau boleh maju menyerang dengan senjatamu dan apabila aku sampai merobah kedudukan tangan atau kakiku, anggap saja aku kalah terhadapmu!"
"Pemuda gila yang bosan hidup!"
Giam Cong membentak marah, akan tetapi oleh karena pemuda itu sudah mencabut pedangnya dan sudah bersiap, ia merasa sudah cukup memberi waktu kepada pemuda aneh ini maka sambil berseru keras ia lalu menggunakan pedangnya menubruk ke depan dan menyerang ke arah kepala Lo Sin dengan gerak tipu Macan Kelaparan Menubruk Kelinci.
Giam Cong memang memiliki tenaga besar dan pedang yang digerakkan untuk menyerang ini mengeluarkan suara dan menyambar dengan cepat sekali.
Akan tetapi Lo Sin tetap tenang dan tidak mengubah kedudukannya sama sekali. Ketika pedang Giam Cong sudah menyambar dekat, si Walet Hitam lalu menggerakkan sedikit pedang di tangannya untuk membentur pedang lawan yang menyambar dekat.
"Trang!"
Terdengar suara keras dari kedua pedang yang beradu dan tahu-tahu Giam Cong berteriak kaget oleh karena pedangnya telah terlempar dan terlepas dari pegangannya. Pedang itu terlempar jauh dan jatuhnya menancap di atas tanah.
Semua orang memandang kejadian ini dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Bahkan Giam Cong sendiri tidak mengerti mengapa pedangnya tahu-tahu terlepas dari pegangannya dan bagaimana pemuda itu dapat melakukan hal yang aneh ini. Ia merasa amat penasaran dan kemarahannya memuncak, oleh karena ia menganggap bahwa hal ini kebetulan saja dan barang kali gagang pedangnya yang licin hingga terlepas dari pegangannya.
Ia segera mengambil pedangnya yang menancap di atas tanah itu, lalu maju lagi menyerang, kini dengan lebih hebat karena ia menggunakan gerak tipu Kilat Menyambar di Atas Kepala. Pedangnya berkelebat cepat dan hendak membelah kepala Lo Sin dari atas sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam akan tetapi mengirim pukulan keras ke arah dada Lo Sin.
Semua piauwsu merasa terkejut, oleh karena diserang dengan dua tangan ini, bagaimana pemuda ini dapat menghindarkan diri? Mereka menduga bahwa kali ini pemuda pembelanya itu pasti terpaksa mengubah kedudukan kakinya untuk mengelak dari serangan pukulan.
Akan tetapi mereka ini belum kenal betul kelihaian Lo Sin. Si Walet Hitam tetap tenang saja bahkan bibirnya tersenyum menghadapi serangan ini. Tadi ia bilang bahwa ia akan merobohkan Giam Cong dalam dua jurus, maka kali ini ia harus merobohkan kepala perampok sombong ini.
Ketika pedang Giam Cong menyambar turun, Lo Sin mencokelkan pedangnya ke atas dengan gerakan menggetar yang hanya dilakukan dengan pergelangan tangannya sedangkan lengan yang diluruskan itu sama sekali tidak berubah kedudukannya. Akan tetapi ketika pedangnya membentur dan menangkis pedang Giam Cong yang menyambar turun, pedang kepala rampok itu kini terpental keras sekali dan melayang ke arah daun-daun pohon di atas mereka dan tidak turun kembali. Ternyata pedang itu telah menancap di cabang pohon tersebut.
Sementara itu, ketika kepalan tangan kiri Giam Cong menyambar ke arah dada, Lo Sin tidak mengelak, bahkan lalu mengangkat dadanya dan mengerahkan tenaga lweekang sepenuhnya ke tempat yang akan menerima pukulan.
"Dukk!"
Kepalan itu menghantam dada dan Giam Cong meringis kesakitan lalu terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk sambil mengeluh karena selain tangan kirinya, juga seluruh tubuhnya kesemutan dan sakit-sakit. Ia telah kena pukulannya sendiri yang tenaganya dibentur kembali oleh tenaga lweekang Lo Sin yang tinggi.
Lo Sin masih tetap berdiri dan pukulan tadi tak membuat tubuhnya bergerak sedikitpun, bagaikan lalat menyambar batu besar. Kini Lo Sin menundukkan ujung pedangnya menodong ke arah dada Giam Cong, dan pemuda yang gagah perkasa ini masih berdiri seperti tadi. Kaki kanan kiri dipentang sedikit, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan memegang pedang yang lurus menodong ke depan, sedangkan bibirnya tetap tersenyum.
Melihat kelihaian sehebat itu, semua orang melongo dan tak terdengar suara sedikitpun untuk beberapa lama. Kemudian terdengar tepuk tangan riuh dari para piauwsu yang merasa girang dan bangga.
Sebaliknya Kim-gan-eng segera maju menghampiri Giam Cong yang masih terduduk sambil meringis kesakitan tanpa berani berdiri lagi. Gadis bermata indah itu berpaling memandang kepada Lo Sin dengan pandang mata aneh, heran, dan kagum.
Kim-gan-eng lalu memegang tangan pamannya dan setelah beberapa kali mengurut tangan kiri yang telah bengkak itu dan menotok pundak kiri untuk memulihkan jalan darah pamannya hingga Giam Cong dapat berdiri lagi dan cepat-cepat berdiri di pinggir. Gadis cantik itu lalu maju menghadapi Lo Sin yang kini menyimpan kembali pedang di dalam sarung pedangnya. Melihat cara penyembuhan yang dilakukan oleh Kim-gan-eng, Lo Sin dapat menduga bahwa gadis itupun adalah seorang ahli lweekeh yang tak boleh dipandang ringan.
Sebaliknya, Kim-gan-eng Bwee Hwa juga maklum bahwa anak muda yang kelihatan lemah itu ternyata adalah seorang berkepandaian tinggi sekali dan gadis ini semenjak tadi sudah menduga-duga dengan kagum siapa adanya pemuda yang lihai dan yang memakai hiasan kepala aneh ini.
Tiba-tiba ia terkejut sekali karena teringat akan sesuatu, maka setelah ia maju dan berhadapan dengan Lo Sin, ia bertanya.
"Orang gagah di depan ini apakah bukan Ouw-yan-cu?"
Lo Sin tersenyum dan ia tidak merasa heran bahwa orang telah mengenalinya.
"Benar, perhiasan kepalaku ini memang walet hitam,"
Jawabnya sederhana.
Kim-gan-eng memandang kagum.
"Kalau begitu, benar kata suhuku bahwa Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong adalah pendekar-pendekar tua yang gagah. Melihat kepandaian puteranya sedemikian tinggi tentu mereka itu lihai sekali!"
Kini Lo Sin merasa heran juga. Bagaimana gadis ini mengenal nama ayah ibunya? "Li-tai-ong, siapakah suhumu itu yang mengenal nama-nama orang tuaku?"
Kini Kim-gan-eng juga tersenyum dan lenyaplah sikapnya yang bermusuhan tadi.
"Suhuku adalah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan si Pendekar Aneh Kepalan Delapan! Tentu saja kau tidak mengenal dia, oleh karena suhu memang tidak mempunyai nama tersohor dan besar seperti nama kedua orang tuamu!"
Memang sesungguhnya Lo Sin belum pernah mendengar nama Oei Gan ini, maka ia, lalu menyimpangkan pembicaraan mereka kepada urusan yang sedang mereka bereskan.
"Sekarang bagaimana? Apakah kau berkukuh hendak menahan barang-barang yang berada di bawah pertanggungan jawab para piauwsu ini dan tidak hendak mengembalikannya, Li-tai-ong?"
Kim-gan-eng Bwee Hwa memainkan senyum pada bibirnya.
"Dengarlah, Ouw-yan-cu! Pertama-tama jangan kau menyebut aku Li-tai-ong oleh karena aku bukanlah kepala perampok dan aku hanya membantu pamanku saja. Aku bukan kepala perampok oleh karena aku tak pernah mempunyai anak buah, maka jangan kau menyebut aku kepala perampok. Tak enak sekali sebutan itu memasuki telingaku.
"Dan kedua, setelah kau bercampur tangan dan mengangkat diri sebagai pembela piauwsu-piauwsu itu, betapapun juga aku Kim-gan-eng takkan mundur setapak. Marilah kita mencoba kepandaian kita dan apabila aku kalah, sudah seharusnya aku mengembalikan barang-barang itu, akan tetapi kalau kau kalah olehku, lain kali kau jangan lancang menjadi pembela orang lain!"
Lo Sin tersenyum dan ia tidak marah oleh karena kata-kata yang dikeluarkan oleh Kim-gan-eng ini biarpun mengandung nada menantang, akan tetapi terdengar halus.
"Baiklah, Kim-gan-eng, kalau kau ingin mengukur tenaga, marilah kita main-main sebentar."
Kim-gan-eng mencabut pedang dari punggung dengan gerakan cepat dan Lo Sin juga telah menghunus pedangnya pula. Keduanya menjura sebagai penghormatan, lalu berbareng menggerakkan tangan yang memegang pedang.
Dalam benturan pertama, Kim-gan-eng maklum bahwa tenaga lweekang pemuda ini masih setingkat lebih tinggi daripada tenaganya sendiri dan sebaliknya Lo Sin juga kagum oleh karena maklum bahwa gadis ini bukanlah lawan yang ringan. Maka tanpa ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi Lo Sin lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang tangguh dan hebat, yakni Hwie-sian-liong-kiam-sut.
Pedangnya berkelebat dan sebentar saja gundukan sinar pedangnya menyelimuti seluruh tubuhnya dan bagaikan gelombang samudera yang dahsyat bergulung-gulung menyerang ke arah Bwee Hwa! Kim-gan-eng terkejut sekali dan iapun lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling berbahaya, yakni ilmu pedang warisan suhunya yang disebut Pat-kwa-hoan-kiam-hoat.
Keduanya bertempur seru dan hebat, akan tetapi sebentar saja Kim-gan-eng harus mengakui keunggulan ilmu pedang ciptaan Beng San Siansu. Ia hanya kuat bertahan sampai limapuluh jurus dan inipun telah membuktikan Pat-kwa-hoan-kiam-hoat bukanlah ilmu pedang sembarangan saja.
Oleh karena ilmu silat dari lain cabang agaknya takkan kuat menahan serangan Hwie-sian-liong-kiam-sut yang dahsyat itu. Setelah bertempur limapuluh jurus Kim-gan-eng merasa pusing sekali dan ujung pedang di tangan Lo Sin agaknya telah mengurung tubuhnya tanpa dapat dielakkan pula.
Para penonton tidak melihat tubuh kedua orang yang bertempur itu oleh karena sinar pedang yaag berkelebatan telah menutup kedua tubuh itu dan tahu-tahu mereka melihat Kim-gan-eng melompat tinggi berjungkir balik beberapa kali di udara dan kemudian turun di tempat yang agak jauh.
"Ah, benar-benar nama Walet Hitam bukanlah nama kosong belaka!"
Katanya menghela napas, kemudian ia berpaling kepada Giam Cong dan berkata.
"Giam siok-hu, terpaksa kita harus mengembalikan barang-barang para piauwsu itu dan keponakanmu tak dapat membelamu lebih lama lagi."
Mendengar suara gadis yang agaknya bersedih itu, Lo Sin lalu berkata dengan suara menghibur.
"Kim-gan-eng, ilmu pedangmu benar-benar hebat dan bukan bohong kalau aku menyatakan bahwa belum pernah aku bertemu dengan ilmu pedang yang lebih tangguh dan lihai daripada ilmu pedangmu. Sampaikanlah hormatku kepada suhumu, karena biarpun aku belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi kepandaiannya telah membuat aku merasa kagum sekali!"
"Ouw-yan-cu, kau memang bukanlah bangsa rendah yang suka mengagulkan kepandaian. Terima kasih atas pengajaranmu kali ini, Ouw-yan-cu. Biarlah lain kali aku minta pengajaran lagi."
Setelah berkata demikian, gadis yang bermata indah itu lalu melompat pergi meninggal"kan tempat itu.
Setelah keponakannya yang lihai itu pergi meninggalkannya, maka Giam Cong tak berdaya lagi. Tanpa banyak membantah ia lalu mengembalikan barang-barang yang dirampas oleh Kim-gan-eng kepada para piauwsu yang menerimanya sambil mengucapkan banyak terima kasih.
Demikianlah, peristiwa ini membuat para piauwsu dan Giam Cong menjadi baik kembali hubungannya dan mereka mengadakan perjanjian untuk tidak saling mengganggu dan bahkan saling membantu sebagai sahabat.
Dengan hati puas Lo Sin melihat perkembangan ini dan iapun lalu meninggalkan mereka dan mengaburkan kudanya menuju ke Pek-ma-san. Kudanya Pek-liong-ma dengan gembira membalap bagaikan terbang menuju ke utara.
Ketika ia tiba di Pek-ma-san dan menuju ke gua tempat tinggal Kong Sin Ek si Dewa Arak, benar saja sebagaimana penuturan piauwsu, ia melihat tubuh orang tua itu bersila tanpa bergerak bagaikan patung batu. Akan tetapi tubuh itu demikian kurus kering dan pucat seperti mayat, sedangkan pakaiannya compang-camping tidak karuan.
Lo Sin menjadi terharu sekali oleh karena ia memang menyinta orang tua yang menjadi sahabat baik kedua orang tuanya itu. Ia menubruk maju dan memeluk tubuh Kong Sin Ek sambil berseru.
"Kong peh-peh. Kau mengapakah sampai begini rupa?"
Akan tetapi, alangkah terkejutnya tiba-tiba tubuh yang dipeluknya itu roboh dengan lemas ternyata bahwa kakek ini telah pingsan dalam keadaan duduk bersila. Pucatlah wajah Lo Sin yang menyangka bahwa kakek itu telah mati, akan tetapi ketika ia meraba dada kiri si Dewa Arak ia menjadi lega.
Cepat-cepat Lo Sin melakukan pertolongan dan menyadarkan kakek itu dengan pencetan-pencetan pada jalan-jalan darah tertentu. Ketika ia meraba-raba dan mengurut-urut ini, Lo Sin mendapat kenyataan yang membuat dadanya berdebar keras dan air matanya mengucur tanpa terasa lagi. Ternyata oleh sentuhan-sentuhan tangannya bahwa sepasang kaki tangan kakek gagah ini telah lumpuh. Urat-urat besar pada kaki tangannya telah diputuskan orang.
"Kong peh-peh""
Bagaimana kau sampai menjadi begini?"
Beberapa kali Lo Sin mengeluh dan meratap.
Akhirnya Kong Sin Ek membuka kedua matanya. Ketika melihat wajah Lo Sin yang membungkuk di atasnya, kakek ini tersenyum sedih.
"Lo Sin, anakku yang baik. Akhirnya kau datang juga"""
"Kong peh-peh. Katakanlah, siapa yang membuat kau sampai menjadi begini? Akan kupatahkan kaki tangannya! Akan kuputar batang lehernya! Bilanglah, siapa keparat itu?"
Tanya Lo Sin dengan marah dan sakit hati melihat Kong Sin Ek dianiaya orang sampai begini macam.
"Terima kasih, anakku, sikapmu ini saja sudah cukup untuk membikin aku Kong Sin Ek mati dengan puas. Tak percuma aku berteman dengan Lian Hwa dan Cin Han. Kau seperti puteraku sendiri!"
"Kong peh-peh, kau tahu aku memang menganggap kau sebagai orang tua sendiri. Sekarang katakanlah, siapa orangnya yang membikin kau begini rupa?"
"Dia""
Dia adalah""
Muridku sendiri!"
Tercengang Lo Sin mendengar pengakuan ini. Sepanjang pengetahuannya, Kong Sin Ek tak pernah mempunyai murid dan kepandaian si Dewa Arak ini hanya pernah diturunkan kepadanya seorang! Bahkan pada dua tahun yang lalu ketika ia berkunjung ke sini, orang tua ini masih tinggal seorang diri di dalam gua dan tidak mempunyai murid.
"Kong peh-peh, siapakah muridmu itu? Dan bagaimana seorang murid dapat berlaku begini terhadap kau?"
Melihat keadaan orang tua itu, Lo Sin lalu berlari ke kudanya dan mengeluarkan sebotol arak yang dibawanya bekal serta sedikit roti kering. Kong Sin Ek menolak roti itu akan tetapi arak yang berada di botol segera ditenggaknya sampai habis! Setelah Dewa Arak ini kemasukan arak sebotol, maka mukanya menjadi agak merah dan keadaannya tidak begitu lemas lagi.
Harus diketahui bahwa selain menderita luka parah yang membuatnya lumpuh, kakek ini telah berpekan-pekan tidak makan atau minum! Kalau lain orang yang menderita seperti ini, ia pasti telah mati kelaparan. Kemudian dengan singkat Kong Sin Ek menuturkan kepada Lo Sin tentang pengalamannya dalam dua tahun yang lalu ini.
Pada dua tahun yang lalu, sepeninggal Lo Sin yang mengunjungi orang tua ini, Kong Sin Ek sering termenung dengan murung memikirkan nasibnya. Ia sudah tua dan lemah, tidak mempunyai murid. Siapakah yang akan mengurusi jenazahnya kalau ia meninggal kelak? Memang benar di situ ada Lo Sin, pemuda yang dicintainya seperti anak sendiri dan yang juga mencintai kepadanya, tetapi pemuda ini telah mempunyai tugas sebagai putera Cin Han dan Lian Hwa sehingga ia tidak berhak untuk menariknya.
Pada suatu hari ketika ia sedang termenung memikirkan nasibnya, tiba-tiba dari bawah bukit berlari seorang pemuda yang dikejar oleh tiga orang hwesio. Pemuda itu lalu berbalik dan melawan dengan pedangnya, akan tetapi ketiga orang hwesio itu ternyata berkepandaian tangguh dan tinggi hingga sebentar saja pemuda itu terkurung rapat dan tak berdaya.
Melihat hal ini, Kong Sin Ek lalu turun tangan membantu dan dengan mudah saja ia memukul mundur ketiga orang hwesio itu.
Pemuda itu berwajah tampan dan sambil berlutut ia menghaturkan terima kasih kepada Kong Sin Ek. Si Dewa Arak suka melihat pemuda tampan ini dan menerimanya sebagai murid.
Oleh karena pemuda ini memang telah memiliki ilmu silat cabang Go-bi-pai yang lumayan, maka selama dua tahun ia mempelajari ilmu silat dari Kong Sin Ek, kepandaiannya sudah maju pesat dan hampir semua kepandaian Kong Sin Ek telah diwariskan kepadanya! Ternyata pemuda ini berotak cerdik sekali dan dapat menerima pelajaran silat dengan cepat.
Kong Sin Ek merasa puas dan ia mencinta sekali kepada pemuda yang selalu tunduk dan taat kepadanya ini. Cita-citanya tercapailah dan ia merasa senang sekali oleh karena kini ia mempunyai seorang murid yang boleh diandalkan.
Akan tetapi, kebagusan di luar itu tidak selamanya mencerminkan keadaan di dalam. Siapakah yang akan menduga bahwa pemuda yang tampan dan selalu menurut serta halus dan sopan tutur katanya itu, mempunyai pikiran jahat dan memelihara setan di dalam hatinya?
Pada suatu hari, dengan marah sekali Kong Sin Ek menerima laporan dari seorang petani bahwa muridnya itu telah mengganggu anak perempuan petani itu hingga anaknya itu saking malu dan sedihnya telah menggantung diri! Berita ini tentu saja diterima oleh Kong Sin Ek bagaikan kilat menyambar di siang hari.
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah petani itu pulang dengan menangis sedih, Kong Sin Ek lalu memanggil muridnya dan setelah memaksa muridnya mengaku, Kong Sin Ek lalu memukul muridnya itu sampai bergulingan di atas tanah! Tadinya ia hendak menghabisi nyawanya murid itu, akan tetapi ketika melihat wajah muridnya dan melihat pemuda itu mengeluh dan merintih-rintih, hatinya menjadi tidak tega dan ia mengurungkan niatnya membunuh murid murtad itu. Ia lalu memaki-maki dan memberi peringatan serta ancaman keras, sedangkan muridnya dengan suara memilukan lalu menangis, berlutut di depannya dan memohon ampun disertai janji-janji hendak mengubah adatnya.
Oleh karena marah dan kecewa, hati Kong Sin Ek sedih sekali dan ia lalu menghibur dirinya dengan minum arak sampai mabok dan akhirnya roboh di lantai dalam keadaan tidur pulas bagaikan mati! Dan ketika ia terjaga daripada tidurnya, ia mendapatkan dirinya telah lumpuh dan sepasang kaki tangannya tidak dapat digerakkan lagi.
Ternyata bahwa murid murtad itu telah memutuskan urat kaki tangannya selagi ia berada dalam keadaan tidur dan mabok tak ingat orang. Dan murid yang melakukan pembalasan dendam kepada guru sendiri dan menganiaya gurunya tanpa mengenal kasihan dan secara keji telah lama minggat dari tempat itu!
Mendengar penuturan Kong Sin Ek ini, bukan main marahnya Lo Sin. Ia bangun berdiri sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Bangsat rendah, manusia berhati binatang! Kong peh-peh, kauberitahukan di mana adanya bangsat rendah itu! Sekarang juga akan kuseret dia ke sini untuk menerima hukuman!"
Akan tetapi pada saat itu terdengar Kong Sin Ek mengeluh dan tubuh yang telah lumpuh itu terguling. Lo Sin cepat memeluknya dan ternyata bahwa napas kakek gagah itu telah empas-empis menanti datangnya maut.
Lo Sin bingung sekali, tidak tahu harus berbuat apa. Kemudian ia ingat bahwa kakek ini belum memberitahukan nama murid murtad itu, maka ia lalu bertanya keras-keras.
"Kong peh-peh, siapakah nama muridmu itu?"
Bibir Kong Sin Ek bergerak hendak menjawab, akan tetapi agaknya ia telah terlampau lemah sehingga tidak ada suara yang keluar dari bibir itu.
Lo Sin menggoyang-goyangkan tubuh si Dewa Arak dan sekali lagi bertanya sambil mendekatkan mulutnya pada telinga Kong Sin Ek.
"Peh-peh, aku mohon padamu, tinggalkan nama muridmu itu kepadaku!"
Sekali lagi bibir Kong Sin Ek bergerak dan Lo Sin mendekatkan telinganya kepada mulut kakek itu. Ia mendengar kakek itu berbisik lemah perlahan sekali.
"Ia""
Ia she Lui dan""
Ber".. nama......."
Akan tetapi nama itu takkan pernah dapat terdengar dari mulut kakek yang telah membuat dunia kang-ouw tergetar karena kegagahannya itu telah meninggal dunia.
Lo Sin memeluki tubuh Kong Sin Ek dan pemuda ini menangis keras dengan hati berduka terharu. Kemudian ia menggali sebuah lubang di tanah depan gua dan mengubur jenazah Kong Sin Ek. Sebelum meninggalkan tempat itu, ia bersembahyang di depan kuburan si Dewa Arak dan berkata perlahan.
"Kong peh-peh, mengasolah dengan tenang dan tenteram. Aku bersumpah untuk membalaskan sakit hatimu dan percayalah bahwa pada suatu hari aku pasti akan menggunakan pedangku menabas putus leher anjing rendah she Lui itu."
Kemudian Lo Sin lalu meninggalkan tempat itu dan dengan hati berduka kembali ke kota Tit-lee. Ia diserang hujan badai dan kebetulan sekali bertemu dengan Hek Li Suthai hingga bertempur dan semua ini dilihat oleh Lee Ing yang mengintai di balik pohon. Hal ini sudah diceritakan pada bagian depan cerita ini.
Mendengar penuturan Lo Sin tentang keadaan Kong Sin Ek yang menyedihkan itu, Lian Hwa menangis tersedu-sedu sedangkan Cin Han lalu mengertak gigi dan membanting-banting kaki.
"Akan kuhancurkan kepala murid murtad itu,"
Geram jago tua itu.
"Awas""
Awas kau, bangsat she Lui"... akan kucabut keluar hatimu yang kotor itu dari dadamu!"
Berkata Ang Lian Lihiap setelah ia dapat bicara.
Demikianlah keluarga pendekar ini diliputi kesedihan dan Cin Han bersama isterinya lalu mengatur meja sembahyang untuk memperingati kematian sahabat yang tercinta itu. Dalam beberapa hari selanjutnya, seakan-akan hilang kegembiraan mereka tertutup mendung kedukaan karena kematian Kong Sin Ek yang benar-benar menghancurkan hati mereka itu.
Pada hari keempat Lian Hwa dan Cin Han memanggil putera mereka dan ketika Lo Sin datang menghadap, pemuda ini melihat bahwa sebagian besar kedukaan telah menghilang dari wajah ayah bundanya, akan tetapi tidak seperti biasa, kali itu wajah kedua orang tua itu memperlihatkan sikap bersungguh-sungguh.
"Sin-ji, ayahmu dan aku telah mengambil keputusan untuk mengutusmu pergi menemui peh-pehmu Nyo Tiang Pek di Bong-kee-san. Nyo-pekhu harus diberitahu tentang kematian Kong peh-pehmu."
Sebelum Lo Sin menjawab, Cin Han berkata.
"Juga Nyo-twako harus diberi peringatan bahwa Hek Li Suthai telah berkeliaran di luar dan hendak mencari kita semua untuk membalas dendam. Aku tidak khawatirkan hal ini oleh karena kepandaian Nyo-twako cukup kuat untuk menghadapi seorang lawan seperti Hek Li Suthai, akan tetapi ada baiknya bila berjaga diri."
Lo Sin merasa gembira dan menerima perintah ini dengan baik.
"Memang telah lama aku ingin sekali bertemu dengan Nyo-pekhu, yang ayah berkali-kali memujinya sebagai seorang gagah itu,"
Katanya.
"Dia memang gagah perkasa,"
Kata Cin Han.
"siapakah yang tidak menjadi kagum mendengar nama Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek, si Garuda Berkuku Emas?"
"Dan isterinya adalah sumoiku sendiri!"
Kata Ang Lian Lihiap memperingatkan kepada anaknya.
Lo Sin mendengarkan dengan gembira dan makin besar keinginan hatinya untuk cepat-cepat berangkat menemui mereka. Sampai dimanakah kepandaian mereka? Apakah lebih tinggi dari kepandaian ayah ibunya? Demikian ia berpikir, akan tetapi ia tidak berani menanyakan hal ini kepada ayah ibunya.
Diluar tahunya Lo Sin, suami isteri pendekar itu bertukar pandang dan memberi isyarat dengan mata. Dengan pandangan matanya Cin Han menyuruh isterinya yang berbicara, maka Ang Lian Lihiap lalu berkata dengan suara halus kepada Lo Sin.
"Sin-ji, kau tentu sudah cukup maklum betapa inginnya hati ayah ibumu melihat kau mengikat jodoh dengan seorang gadis yang berbudi dan bijaksana."
Lenyap kegembiraan yang tadi membayang di wajah Lo Sin ketika ia mendengar ucapan ibunya itu. Ia mengangkat muka memandang kepada ibunya dengan tajam.
"Sin-ji, sudah kuberitahukan padamu dulu bahwa Nyo-twako yang gagah perkasa itu mempunyai seorang anak perempuan yang tidak hanya cantik jelita, akan tetapi juga gagah sekali."
Baru saja ibunya bicara sampai di situ, tahulah sudah Lo Sin ke mana tujuan percakapan ini, maka ia segera memotong.
"Ibu, bagaimana ibu tahu akan kecantikan dan kegagahan puteri Nyo-pekhu sedangkan ibu atau ayah sendiri belum pernah melihatnya?"
Ang Lian Lihiap adalah seorang wanita cerdik maka tentu saja serangan anaknya ini tidak membuat ia menjadi bingung. Dengan tersenyum ia berkata.
"Mudah saja, anakku. Gadis itu adalah puteri Giok Lie, maka tidak dapat tidak ia harus cantik jelita seperti ibunya. Dan iapun anak Nyo-twako, maka sudah sewajarnya kalau ia gagah seperti ayahnya!"
Lo Sin hanya menundukkan kepala dan Lian Hwa mempergunakan kesempatan ini untuk memberi tanda dengan matanya kepada suaminya agar Cin Han suka melanjutkan keterangan ini.
"Sin-ji,"
Kata Cin Han.
"benar kata ibumu. Puteri Nyo-twako tentu cantik, gagah dan berbudi mulia. Maka, kami berdua telah mengambil keputusan untuk menjodohkan kau dengan gadis puteri kawan-kawan baik kita itu!"
Lo Sin memandang dan menatap wajah ayahnya dengan terkejut. Akan tetapi Cin Han melanjutkan kata-katanya dengan suara tetap, seakan-akan hendak menyatakan bahwa ia tidak ingin dibantah oleh anaknya.
"Sin-ji, dengarlah, ketika utusan Nyo-twako datang ke sini, ibumu dan aku telah mengambil keputusan itu, dan kami telah mengirim surat lamaran kepada Nyo-twako!"
Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo