Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 1


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   
Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   "Lima warna membutakan mata...!"

   Terdengar suara berat dan parau membaca doa.

   "Lima warna membutakan mata...!"

   Menyusul suara nyaring tinggi, suara kanak-kanak yang berusaha keras menirukan nada suara pertama.

   "Lima bunyi menulikan telinga...!"

   Kembali suara anak kecil tadi mengulang kata-kata itu.

   Suara ini saling susul dan selengkapnya diucapkan oleh suara parau ditiru suara anak kecil itu ujar-ujar lengkap dari Kitab To-Tek-Keng seperti berikut :

   Lima warna membutakan mata,

   Lima bunyi menulikan telinga

   Lima rasa merusak mulut

   Mengejar kesenangan merusak pikiran,

   Barang berharga membuat kelakuan menjadi curang

   Inilah sebanya orang budiman,

   Mengutamakan urusan perut,

   Tidak mempedulikan urusan mata,

   Ia pandai memilih ini membuang itu,

   Kalau suara-suara ini terdengar dari sebuah klenteng Agama To, hal itu tak perlu diperhatikan lagi karena memang lumrah kalau seorang Tosu memberi pelajaran-pelajaran dari Kitab To-Tek-Keng kepada anak muridnya. Atau seorang kepada guru Sastra mengajarkan ayat-ayat Kitab itu kepada muridnya. Akan tetapi anehnya, dua suara yang saling susul itu terdengar dari dalam sebuah hutan yang lebat, hutan yang jarang didatangi manusia dan menjadi sarang dari Harimau-Harimau, Ular-Ular besar dan lain binatang buas.

   Kalau pun ada manusianya tentulah sebangsa manusia Perampok. Apabila kita melihat ke dalam hutan itu untuk mengetahui siapa orangnya yang mengajarkan ayat-ayat Kitab To-Tek-Keng kepada anak kecil tadi, kita akan merasa heran sekali. Ternyata bahwa yang membaca ayat-ayat Kitab itu adalah seorang Tosu berbaju kuning, di pungungnya tergantung sebatng pedang. Tosu ini tinggi kurus berkumis tipis, berusia kurang lebih lima puluh tahun, rambutnya digelung ke atas dan ia menunggang seekor kuda kurus yang berjalan seenaknya dan nampaknya sudah amat lelah. Di belakang kuda ini berjalan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, pakaiannya penuh tambalan, rambutnya diikat ke belakang, mukanya putih agak pucat dan matanya besar.

   Anak ini amat miskin pakaiannya sampai-sampai bersepatu pun tidak. Di dekat mata kaki kiri ada boroknya sebesar ibu jari kakinya sehingga agak terpincang pincang jalannya. Akan tetapi, biarpun keadaannya begini, miskin, anak itu tampaknya gembira terus mulutnya menyinarkan cahaya gembira dan nakal. Ayat-ayat yang dibacakan oleh Tosu di atas tadi adalah ayat ke dua belas. Kalau dihitung Tosu itu membaca dari ayat pertama dengan suara keras, akan tetapi lambat-lambat, sudah lama jugalah anak itu menirunya. Pada ayat ke duabelas di mana terdapat kata-kata tentang orang budiman mengutamakan urusan perut, anak laki-laki itu setelah selesai meniru ayat ini sampai habis, segera berkata. Suaranya lantang, nyaring dan tinggi.

   "Totiang, benar sekali orang budiman itu. Aku pun mau menjadi orang budiman, mengutamakan urusan perutku yang sudah amat lapar ini. Maka harap Totiang lekas-lekas memberi Roti kering atau uang, aku tidak mau pedulikan urusan lain lagi"

   Sambil berkata demikian, anak itu tidak lagi berjalan di belakang kuda, melainkan berlari mendampingi dan menarik-narik kaki kanan Tosu itu. Akan tetapi Tosu itu seperti tidak melihat bocah tadi, juga seperti tidak merasa kakinya dibetot-betot. Ia membuka mulutnya lagi dan berteriak dengan suara keras.

   "Ayat ke tiga belas berbunyi..."

   "Aku tidak peduli apa bunyi ayat ketiga belas atau ke tiga ribu!"

   Anak itu berteriak.

   "Perutku lapar dan Totiang sudah berjanji akan memberi Roti kering dan uang kepadaku!"

   Tosu itu nampak tertegun, seakan"akan baru sekarang ia tahu bahwa suara yang tadinya menirunya telah mengeluarkan suara lain. Ia menunda membaca Kitabnya dan memandang kepada anak itu dengan mata bersinar-sinar. Tadi ia bertemu dengan anak itu di luar sebuah kampung dekat hutan ini. Pada waktu itu ia sedang beristirahat dan makan Roti kering. Lalu datang anak yang dikenalnya ini mendekat, nampaknya ingin sekali akan tetapi tidak mengeluarkan suara.

   "Kau mau Roti kering?"

   Anak itu hanya mengangguk.

   "Heh-heh-heh, Roti keringku sudah habis di warung sana?"

   Ia bertanya lagi, Kembali anak itu mengganguk, Tosu itu menjadi gemas juga.

   "Gagukah engkau?"

   "Tidak, Totiang, hanya sedang malas bicara,"

   Jawaban ini membuat si Tosu menjadi terheran-heran. Baru kali ini ia bertemu dengan seorang anak kecil yang bicara seenaknya sendiri saja seperti ini.

   "Engkau mau Roti kering dan uang?"

   Kembali ia bertanya sambil menunggangi lagi kudanya yang kurus. Anak laki-laki itu kembali mengangguk.

   "Baik, akan tetapi kau harus menirukan membaca isi Kitab To-Tek-Keng sambil berjalan di belakang kudaku."

   Demikianlah, Tosu itu mulai membaca Kitab itu dari ayat pertama sampai ayat ke dua belas. Tadinya anak ini tertarik sekali karena anak ini sebetulnya adalah seorang anak luar biasa yang pernah membaca Kitab-Kitab kuno bahkan hampir hafal banyak Kitab dari Agama BudHa-yaitu ketika ia bekerja sebagai pelayan dari Kelenteng Hok-Thian-Tong, Akan tetapi setelah mendengar tentang "Mengutamakan perut,"

   Sehingga anak itu teringat akan perutnya yang lapar dan menagih janji.

   Siapakah anak yang bersikap aneh dan terlantar itu? Namanya Beng San, Demikian menurut pengakuannya sendiri, tentang siapa nama keturunannya, ia sendiri tidak tahu, Anak ini adalah korban bencana alam, yaitu banjir besar sungai Huang-Ho yang menghabiskan seluruh isi kampungnya. Hampir seluruh kampung habis oleh banjir itu, rumah-rumah lenyap, sawah-sawah rusak, manusia dan binatang hampir tewas dan hanyut semua. Anak ini pun hanyut akan tetapi agaknya tuhan masih melindunginya maka ia dapat tersangkut pada reruntuhan rumah dan terbawa ke pinggir dalam kedaan pingsan. Hal ini terjadi ketika ia berusia lima enam tahun. Ketika siuman kembali, anak ini telah berada di pinggir sebuah hutan di tepi sungai Huang-Ho, Ia hanya ingat bahwa namanya Beng San, bahwa Ayah Bundanya hanyut terbawa air bah, akan tetapi tidak ingat lagi apa nama dusun tempat tinggalnya dan di mana letaknya.

   Beng San terlunta-lunta dan nasib membawanya sampai ke depan Kelenteng Hok-Thian-Tong di Kota Shan-Si, ia amat tertarik melihat Kelenteng itu, amat suka melihat-lihat lukisan dan patung-patung yang dipahat indah, kemudian Ketua Kelenteng, seorang Hwesio yang beribadah, merasa kasihan dan suka kepadanya dan mulai saat itulah Beng San diterima senagai seorang kacung atau pelayan. Para Hwesio di Kelenteng itu rata-rata memiliki pribudi yang tinggi dan hampir semua tekun mempelajari ayat-ayat suci. Hwesio mendapat kenyataan bahwa anak yang menjadi pelayan di Kelenteng itu selain rajin juga amat cerdas, mereka memberi pelajaran membaca menulis dan demikianlah selama tiga tahun lebih Beng San di "Jejali"

   Filsafat-filsafat dan ayat-ayat suci yang amat tinggi. Tentu saja ia hanya menghafal semua inti sarinya.

   Jangankan seorang anak kecil seperti dia, menusia dewasa sekalipun kalau mempelajari Agama, jarang yang betul-betul dapat menangkap inti sarinya, apabila mengamalkan perbuatannya sesuai dengan ayat-ayat perbuatannya sesuai dengan ayat-ayat suci itu. Setelah berusia sembilan tahun lebih, Beng San mulai tidak betah tinggal di Kelenteng. Beberapa kali ia minta berhenti akan tetapi semua Hwesio melarangnya dan mereka ini hendak menarik Beng San menjdi seorang calon Hwesio. Beng San tidak suka dan pada suatu malam anak ini lari minggat dan Kelenteng itu. Ia hidup terlunta-lunta, terlantar. Hanya bisa makan kalau ada yang menaruh kasihan dan memberi makanan atau memberi sekedar pekerjaan kemudian diberi upah uang atau makan. Yang amat aneh pada anak ini, ia tidak pernah mau mengeluarkan perkataan minta-minta!

   Mungkin ia terpengaruh oleh pelajaran para Hwesio yang mengharapkan sedekah dari para dermawan, akan tetapi sekali-kali bukan mengemis. Demikian mengapa Beng San juga sama sekali tidak mau minta ketika melihat Tosu itu makan Roti kering, padahal perutnya lapar bukan main. Dan siapa adanya Tosu itu? Bukan sembarang orang, melainkan seorang bernama Siok Tin Cu. Dia adalah tokoh dari perkumpulan Agama Ngo-Lian To-Kauw (Agama To Lima Teratai ) yang berpusat di Ki-lok. Sebagai Tosu tingkat tiga tentu saja ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali. Dan sebagai seorang tokoh Ngo-Lian To-Kauw yang mementingkan pelajaran mistik (Hoat-Sut), tentu saja ia terkenal seorang yang amat berbahaya. Siok Tin Cu bukan mengajak atau memancing Beng San ke dalam hutan itu tanpa maksud tertentu.

   Begitu melihat anak tadi, ia dapat menduga bahwa anak ini adalah seorang anak yatim piatu, lagi bertulang baik maka tepat sekali kalau hendak dijadikan bahan percobaaan ilmunya. Kalau sampai anak ini tewas sekalipun, tidak ada orang tua kehilangan anaknya, tidak ada orang yang dirugikan maka ia tak akan menanggung dosa, demikian jalan pikiran pedeta sesat ini, mari kita kembali ke dalam hutan untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan telah diceritakan betapa Beng San tidak lagi meniru teriakan Siok Tin Cu yang membaca ayat-ayat To-Tek-Keng, malah berteriak-teriak menagih janji Tosu itu untuk memberi Roti kering atau uang pembeli Roti kepadanya. Mereka sudah tiba di tengah hutan yang amat sunyi dan liar. Siok Tin Cu tersenyum dan melompat turun dari atas kudanya. Gerakannya demikian ringan seakan-akan tubuhnya seringan bulu saja.

   "Bocah, sejak kapan kau belum makan?"

   Pertanyaan ini diucapkan dengan halus seakan-akan orang tua ini merasa kasihan dan hendak menolong.

   "Sejak dua hari yang lalu,"jawab Beng San singkat, tanpa mengundang suara minta dikasihani. Tosu itu mengangkat alisnya, lalu tertawa bergelak nampak girang sekali!

   "Bagus, bagus, kalau begitu perutmu kosong sama sekali. Hal ini berarti membersihkan hawa didalam tubuhmu dan memperkuat daya tahanmu seperti seorang yang memiliki latihan Siulian. Bagus, anak yang baik, nah, kau makanlah ini, hendaklah kulihat sampai di mana kemanjurannya!"

   Tosu itu mengeluarkan sebuah pil berwarna kuning dan berbau busuk.

   "Bukalah mulutmu."

   Tentu saja Beng San tidak sudi mentaati perintah ini. Ia mundur selangkah memandang marah dan berkata.

   "Totiang, kau berjanji hendak memberi Roti kering atau uang, kenapa sekarang menyuruh aku makan obat? Aku tidak sakit dan tidak butuh obat!"

   "Heh-heh-heh, kalau sudah makan tidak ada artinya lagi, Eh, bocah, aku Siok Tin Cu bukan seorang bodoh. Ketahuilah, pil ini adalah buatanku atau petunjuk Kauwcu (Ketua Agama). Belasan tahun kubuat dari sari segala kebusukan yang mengundang hawa Thai-yang dan khasiatnya hebat bukan main. Aku telah membuatnya tiga buah akan tetapi sampai sekarang tidak berani menelannya, Harus lebih dalu kucobakan orang, kau dengan perutmu kosong baik sekali untuk dijadikan kelinci percobaan! Kalau kau mati, tidak ada orang yang kehilangan, kalau kau hidup... nah, akan kuberi hadiah Roti kering atau uang, Heh-heh-heh!"

   Sepanjang mata anak itu yang lebar menjadi makin lebar, bukan karena takut melainkan karena marahnya.

   "Tosu bau apa kau lupa akan ujar-ujar suci bahwa, siapa yang belum membersihkan diri dari perbuatan jahat, dan siapa tidak memperdulikan kebajikan dan kebenaran, dia itu tidak patut memakai pakaian kuning?"

   Siok Tin Cu mula-mula terkejut dan heran karena ujar-ujar ini adalah kata-kata suci dalam Agama Budha (dalam Kitab Dhammapade), akan tetapi ia segera tertawa.

   "Mau tidak mau kau harus menelan obat ini!"

   "Tidak sudi...! Kau Tosu bau!"

   Beng San mengambil dua buah batu kecil dari atas tanah dan menimpukkan dua buah batu itu kepada Siok Tin Cu. Akan tetapi Siok Tin Cu hanya tertawa dan sekali ia menggerakkan tangan kiri, ujung lengan bajunya "Meniup"

   Pergi dua buah batu itu, membuat Beng San tak dapat bergerak lagi. Yang "Mati"

   Ini adalah kedua pasang kaki tangan anak itu, akan tetapi dari leher ke atas masih "Hidup"

   Anak itu masih dapat menggerakkan leher dan semua anggauta muka.

   "Tosu jahat, Tosu bau, kau mau apakan aku?"

   Teriakannya berkali-kali.

   "Tidak apa-apa, hanya ingin kau menelan obat ini"

   Pil kuning yang baunya busuk itu didekatkan pada hidung Beng San, membuat anak ini ingin muntah.

   "Baunya busuk seperti engkau, aku tak sudi!"

   Ia menggeleng kepala ke kanan kiri menjauhi-obat itu.

   "Heh-heh-heh, anak bandel. Terpaksa harus kubuka mulutmu,"

   Tangan kiri Tosu itu memegang dagu Beng San dan anak ini merasa betapa tenaga yang amat kuat memaksa betapa tenaga yang amat kuat memaksa mulutnya terbuka. Ia pura-pura menurut, akan tetapi ketika Tosu ini lengah hendak memasukkan obat ke dalam mulut yang terbuka, Beng San menggerakkan kepala ke bawah dan menggigit tangan kiri Tosu itu.

   "Aduh...!"

   Karena tidak menyangka sama sekali, jari kelingking Tosu itu kena tergigit keras sampai mengeluarkan darah.

   "Plakkk!"

   Ia menampar pipi Beng San. Demikian keras tamparan ini, demikian nyerinya sampai Beng San tanpa disengaja membuka mulutnya melepaskan gigitannya.

   "Plak! Plak! Plak! Plak! Plak!"

   Berkali-kali Tosu itu menampar muka Beng San dari kanan kiri, dan sungguh-sungguh, Beng San dari kanan kiri, dan sungguh-sungguh, Beng San tidak mengeluh, akan tetapi rasa sakit membuat matanya berair, Setelah anak itu hampir pingsan karena sakit dan pening, baru Tosu itu menghentikan tamparannya. Muka Beng San menjadi bengkak-bengkak dan kedua pipinya menjadi biru, anehnya, dari hal ini tidak terasa oleh Tosu yang sedang marah itu, tak sepatah kata pun anak itu mengaduh atau mengeluh, benar-benar menunjukkan watak bandel yang luar biasa, membayangkan nyali dan ketabahan yang mengagumkan.

   "Hayo telan ini!"

   Siok Tin Cu memaksakan Beng San yang setengah pingsan itu membuka mulut lalu menjejalkan pil berbau busuk itu ke dalam mulut Beng San. Anak ini dalam kenekatannya, biarpun sudah pening dan setengah pingsan, hendak meludahkan keluar pil itu akan tetapi Siok Tin Cu menutup mulutnya dan mendorong pil itu dengan telunjuknya sampai ke tenggorokan Beng San. Akhirnya obat itu masuk ke dalam perut Beng San tanpa dapat dicegah lagi!.

   "Heh-heh-heh, hendak kulihat akibatnya..."

   Siok Tin Cu menggerakkan tangan membebaskan totokannya dan Beng San roboh terduduk di atas tanah, menundukkan muka terduduk di atas tanah, menundukkan muka karena merasa masih pening dan nanar kepalanya. Ia meramkan matanya yang menjadi sempit karena pipinya membengkak besar di kanan kiri. Kasihan sekali anak ini, mukanya sampai menjadi seperti buah labu matang. Tiba-tiba Beng San menggerak-gerakkan kaki tangannya, kulit badannya mungkin lama makin merah sampai seperti udang rebus. Makin merah kulitnya makin tidak karuan tingkahnya, berkelojotan seperti Ular disiram air panas.

   "Panas... panas...!"

   Akhirnya tak tertahankan juga mulutnya tak pernah mengaduh, hanya bilang "Panas... panas... berkali-kali. Kulit badannya menjadi merah tua hampir hitam dan dari tubuhnya tampak uap tipis seakan-akan seluruh air di tubuhnya sudah mendidih. Tubuh Beng San melompat ke sana ke mari seperti orang gila, menabrak pohon terjungkal, berdiri lagi, terhuyung-huyung, dan merangkak-rangkak sampai menabrak pohon lagi. Kemudian dia melompat berdiri dan lari!

   "Heh-heh-heh, hendak kulihat sampai berapa lama kau dapat bertahan."

   Siok Tin Cu juga berlari mengikuti anak yang sedang gila kepanasan itu, meninggalkan kudanya yang diikat pada sebatang pohon. Tidak jauh Beng San berlari karena belum juga dua li, ia menabrak pohon lagi dan terguling, tak dapat bangun lagi hanya berkelojoran dan bergulingan. Siok Tin Cu berlutut dan memeriksa dengan teliti. Diurut dan diperiksanya seluruh bagian tubuh Beng San yang sudah tak berdaya lagi itu, mulutnya tiada hentinya memuji.

   "Hemmm, tubuhnya berisi penuh hawa panas mujijat. Inilah inti sari hawa yang kalau dapat dipelihara dan disalurkan dengan kekuatan Lweekang akan menjadi semacam Yangkang istimewa, kuat dan panas, Bagus sekali! Hendak kulihat apa yang dirusaknya."

   Ia memeriksa perut dan dada Beng San.

   "Hemmm, hemmmmm... berbahaya sekali, isi perut melepuh semua, paru-paru penuh hawa panas menguap, jantung mengeriput... kalau anak ini tidak kosong perutnya, tidak penuh hawa murni tubuhnya dan tidak bersih tulang-tulangnya, ia sudah akan mampus dari tadi. Dengan Lweekang di tubuhku, apakah aku akan dapat menahan hawa panas seperti ini...? Hemmm, berbahaya sekali..."

   Tosu ini saking asyiknya memeriksa sampai tidak tahu dan tidak terasa bahwa kantong terlepas dan terjatuh. Ketika tubuh Beng San bergerak-gerak, tanpa disengaja kantong obat itu tertindih oleh tubuh anak itu dan tidak kelihatan dari atas.

   "Hemmm..., berbahaya sekali akibatnya, Apa kiranya aku akan kuat?"

   Tosu itu berdiri dan termenung. Ia ngeri akan akibatnya kalau sampai dirinya kemasukan obat kuat itu dan akhirnya ia tidak dapat menahan. Tanpa terasa digerayangnya pinggangnya dan ia kaget karena tidak mendapatkan kantong obat disitu. Bingung ia mencari, tetapi sia-sia saja. Ia mengingat-ngingat, tak salah lagi, tadi ia mengambil sebuah pil dari kantong obat yang segera dikantongkan kembali ke pinggangnya. Jangan-jangan ketinggalan di atas pelana kuda, pikirnya. Cepat ia berlari meninggalkan Beng San dan berlari ke tempat di mana dia tadi meninggalkan kudanya. Di sini mencari-cari ke sana kemari, membuka-buka rumput dan alang-alang disekitarnya, membongkar semua bekal dari atas sela kuda. Sementara itu, Beng San masih berkelojotan.

   "Panas..., lapar..., panas..., lapar...,"

   Katanya. Tangannya menggerayang-gerayang, ia mencoba membuka matanya, akan tetapi begitu dibuka air matanya bercucuran saking panas dan perihnya. Tiba-tiba tangannya yang menggerayang itu dapat menangkap sebuah kantong kecil. Kedua tangan itu menarik dan sekali tarik saja kantong itu hancur dan dua butir pel dipegangnya. Karena pikiran Beng San sudah hampir tak dapat dipergunakan lagi saking hebatnya penderitaannya, dua butir pil itu segera dimasukkan kemulutnya terus ditelan habis!

   Pada saat itu, terdengar orang bernyanyinyanyi kecil, nyanyian kanak-kanak, ketika tiba di tempat itu, ternyata bahwa yang bernyanyi adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar akan tetapi mukanya yang hitam itu sama sekali tidak berkumis atau berjenggot, licin seperti muka kanak-kanak. Matanya juga bersinar bodoh dan jujur seperti mata kanak-kanak pula biarpun usianya sudah sudah empat puluh tahun. Yang lucu adalah pakaiannya, berkembang-kembang dan malahan sepatunya juga sepatu berkembang seperti yang biasa dipakai wanita. Pendeknya, seorang aneh yang mempunyai sifat kanak-kanak berpakaian seperti perempuan dan pantasnya hanya orang edan saja yang berkeadaan seperti dia ini. Ia berhenti menyanyi dan berdiri memandang Beng San yang masih bergulingan. Setelah Beng San menelan pil yang dua butir itu ia seperti cacing terkena abu panas. Berguling ke sana, menggelundung ke sini, berkelojotan dan mulutnya berbusa.

   "Ha-ha-ho-ho-hoh, kau main menjadi trenggiling?"

   Orang yang baru datang itu dengan muka girang lalu rebah pula dan bergulingan, berkelojotan seperti Beng San sambil tertawa-tawa senang sekali.

   "Hayo kita balapan, siapa lebih cepat menggelinding!"

   Katanya mengajak Beng San main balapan. Tentu saja Beng San yang tidak sadar itu semua sekali tidak memperdulikan.

   "Eh, kau tidak mau balapan? Kurang ajar kau, diajak bicara diam saja!"

   Orang itu melompat bangun dan mendekati Beng San Ia melihat kedua mata Beng San. Ia melihat kedua mata Beng San yang sipit karena mukanya berbusa.

   "Eh-eh-eh, setan. Kau malah mengejek?"

   Orang itu marah-marah, mengira bahwa Beng San yang sudah sekarat itu mengejeknya.

   "Kutendang kau"

   Orang tua itu menendang perlahan. Tanpa disengaja ia menendang jalan darah Thi-Thait-To dipunggung Beng San bocah ini sedang menderita, tubuhnya seakan-akan hendak meletus karena penuh hawa Yang, seakan-akan terbuka jalan darahnya kena tendangan itu tiba-tiba ia melompat keatas, tinggi sekali dan tanpa disadarinya pula tangan kanannya menampar kepada orang itu.

   "Plak!"

   Sehabis menampar ia bergulingan pula. Yang hebat adalah orang aneh itu yang kena tampar. Tubuhnya terlempar dan roboh berguling-guling sambil mengaduh-ngaduh. Ternyata orang itu lihai bukan main. Tamparan yang dilakukan oleh anak tadi, biarpun tidak disengaja namun penuh dengan dengan tenaga yang dan kiranya akan menhancurkan kepala seorang biasa. Namun orang aneh itu hanya terguling-guling dan cepat bangun lagi. Ia marah sekali.

   "Eh, Setan, Eh Iblis, kau mengajak berkelahi? Datang-datang mengirim pukulan maut, ya? Berani kau main-main dengan Koai Atong!"

   Cepat seperti orang main sulap, tahu-tahu di tangan kanan ini sudah terdapat sebuah panah berwarna hijau. Ia maju menubruk Beng San yang sedang bergulingan, tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka, sedangkan tangan kanan menggunakan anak panah tadi untuk menusuk.

   Dengan tepat tangan kiri Koai Atong memukul dada Beng San sedangkan ujung anak panah itu menancap di pundaknya. Melihat lawannya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, Koai Atong kaget sekali dan cepat sekali menarik kembali anak panahnya. Hebat! Beng San yang terkena pukulan dan terluka anak panah, seketika berhenti bergerak hanya dari mulutnya terdengar bunyi mendesis seperti seekor Ular mengamuk, mukanya yang tadi merah menghitam berlahan-lahan berubah menjadi hijau, juga seluruh tubuhnya berubah menjadi kehijauan! Desis pada mulutnya tidak lama, segera terhenti seperti bola kempis kehabisan angin.

   "Mati..., celaka... aku bunuh orang yang tak melawan dengan pukulan Jing-Tok-Ciang (Tangan Racun Hijau)!"

   Setelah berkata demikian, orang aneh itu cepat berlari meninggalkan tempat itu, larinya bukan main cepatnya seperti terbang saja. Orang aneh yang bernama Koai Atong ini sesungguhnya bukan orang biasa. Biarpun seperti kanak-kanak dan pakaiannya seperti orang gila, namun justeru keanehannya itu maka ia disebut Koai Atong (Anak Setan). Dia ini adalah murid tunggal dari Ban-Tok-Sim Giam Kong (Hati Selaksa Racun), seorang Hwesio dari Barat yang berasal dari Tibet. Nama besar Giam Kong ini terkenal diseluruh dunia kang-ouw sebagai seorang tokoh yang amat ditakuti orang.

   Juga nama murid tunggalnya ini cukup membikin mengkeret nyali banyak ahli silat karena kehebatannya, yang paling ditakuti dari dua orang tokoh guru dan murid ini adalah ilmu pukulan mereka yang berdasarkan tenaga Im yang disebut Jing-Tok-Ciang. Ilmu pukulan Racun Hijau ini amat dasyat, mengundang sari tenaga Im yang paling dalam sehingga jangankan pukulannya, baru hawa pukulannya saja sudah cukup mendatangkan racun yang akan mematikan orang yang tersambarnya. Sebagai seorang tokoh besar yang tinggi ilmu silatnya. Giam Kong memesan kepada muridnya yang ketolol-tololan itu agar tidak sembarangan mempergunakan Jing-Tok-Ciang, apalagi mempergunakan senjata anak panah yang ujungnya sudah dimasak dalam Racun Hijau, kalau tidak amat terpaksa atau menghadapi musuh berat. Oleh karena inilah maka Koai Atong tadi ketakutan melihat akibat pukulannya,

   Ditambah tusukan anak panah terhadap diri Beng San dan serangannya tadi hanya terdorong oleh kemarahan karena ia dipukul secara hebat. Disangkanya bahwa Beng San anak kecil itu memiliki kepandaian tinggi, maka begitu menyerang ia mempergunakan pukulan maut dan anak panahnya. Maklum, jalan pikiran Koai Atong memang masih seperti kanak-kanak maka ia tidak berpikir panjang. Siok Tin Cu bingung sekali ketika dia mencari-cari di tempat dia meninggalkan kudanya tetap tak dapat menemukan kantong obatnya. Dia menuntun kudanya kembali ke tempat Beng San. Alangkah kagetnya ketika dia melihat anak itu sudah tidak bergerak-gerak, terlentang diatas tanah dengan muka dan tubuhnya berwarna hijau! Dia terheran-heran, melepaskan kudanya dan didekatinya anak itu, setelah memeriksa sejenak ia mengeluarkan seruan kaget!

   "Ayaaaaa...! kenapa anak ini bisa mati seperti itu??"

   Ia benar-benar kaget sekali dan berkali-kali menggeleng-gelengkan kepalanya. Pengaruh obatnya adalah tenaga Yang, andai kata anak ini mati karena obat itu tentu tubuhnya hangus, kenapa sekarang tubuh anak ini seperti orang mati kedinginan? Siok Tin Cu berbidik ngeri. Untung ia mencoba obatnya itu kepada anak tak terkenal ini. Kalau ia sendiri yang menelannya. Alangkah ngerinya.

   "Aku telah keliru membuatnya... pikirnya,"

   Harus segera kulaporkan kepada Kauwcu..."

   Karena melihat akibat obatnya begini mengerikan ia tidak begitu kecewa lagi kehilangan dua butir pilnya. Kalau yang sebuah begini berbahaya, yang dua lain lagi juga tidak akan ada gunanya. Biarlah kalau ditemu orang lain dan ditelan, paling-paling orang yang menelannya akan mati seperti bocah ini. Agak ngeri oleh akibat perbuatannya sendiri, tergesa-gesa Tosu itu menaiki kudanya dan membalapkan kuda kurus itu pergi dari situ, meninggalkan tubuh Beng San yang menggeletak di tengah hutan.

   "Hong-Ji, kau hati-hatilah. Hutan itu lebat, mungkin banyak Harimaunya.

   Jawabannya hanya suara ketawa nyaring seorang anak perempuan berusia delapan sembilan tahun yang amat lincah berlari-lari cepat memasuki hutan lebat. Yang menegur juga tersenyum, senyum, senyum kecil yang untuk sejenak menerangi wajahnya suram-muram. Dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, akan tetapi wajah ini suram-suram nampak tidak ada cahaya kegembiraan hidup, tampan ini menjadi gelap dan muram semenjak ia ditinggal mati isterinya yang tercinta tiga tahun yang lalu, meninggalkan dia hidup berdua saja dengan anak tunggalnya yang bernama Hong. Kwa Tin Siong adalah seorang jago pedang murid tertua dari Hoa-San Ciang-Bunjin (Ketua Hoa-San-Pai) Lian Bu Tojing,

   Namanya di dunia kang ouw cukup terkenal sebagai seorang paling tua daripada Hoa-San Sie-Eng (Empat Pendekar Hoa-San), tidak hanya terkenal karena memang empat orang Pendekar Hoa-San ini berkepandaian tinggi, namun lebih terkenal karena perbuatan mereka yang selalu menjunjung tinggi keadilan dan kegagahan. Terkenal sebagai pelindung penjahat-penjahat keji. Liang Bu Tojin, Tosu Ketua Hoa-San-Pai sudah berusia enam puluh tahun lebih dan Tosu ini biarpun memiliki banyak anak murid, namun kepandaian istimewanya, yakin pedang Hoa-San Kiam-Hoat, hanya diturunkan seluruhnya kepada empat orang muridnya yang terkenal sebagai Hoa-San ini yang tertua adalah Kwa Tin Siong bergelar Hoa-San It-Kiam (Pedang Tunggal Hoa-San). Orang ke dua adalah Thio Wan It berjuluk Bu-Eng-Kiam (Pedang Tanpa Bayangan) Orang ke tiga bernama Kui Keng berjuluk Toat-Beng Kiam (Pedang Pencabut Nyawa),

   Sedangkan orang keempat adalah seorang gadis berusia dua puluh tahun bernama Liam Sian Hwa dengan julukan Kiam-Eng-Cu (Bayangan Pedang) Kwa Tin Siong sudah berusia empat puluh tahun dan sudah menjadi duda, dua orang Sutenya, yaitu Thio Wan It berusia tiga puluh lima dan Kui Keng tiga puluh tahun, keduanya sudah berkeluarga pula. Hanya orang keempat dari Hoa-San Sie-Eng, yaitu Liem Sian Hwa, belum berkeluarga, masih gadis berusia dua puluh tahun akan tetapi telah menjadi tunangan Kwee Sin seorang termuda dari tiga Pendekar Kun-Lun. Kwa Tin Siong amat dihormat dan disegani adik-adik seperguruannya karena pandangannya yang luas dan sikapnya yang serius. Ia gagah, jujur, dan menjadi pengikut pelajaran-pelajaran filsafat Khong-Cu yang setia.

   Sebaliknya, anak perempuannya Kwa Tin Siong, anaknya ini merupakan matahari hidupnya dan hanya anak inilah yang kadang-kadang dapat memancing senyum di wajahnya yang selalu muram dan sungguh-sungguh. Kwa Tin Siong terpaksa mengeprak kudanya untuk berjalan lebih cepat memasuki hutan lebat itu. Tadinya Kwa Hong membonceng di depannya,akan tetapi anak itu tiap kali merasa bosan naik kuda, pasti meloncat turun dan berlari-larian cepat. Ia tidak akan merasa khawatir akan diri anaknya, karena sungguhpun baru berusia delapan sembilan tahun, Kwa Hong telah memiliki kepandaian silat yang lumayan. Semenjak anak itu bisa berjalan,ia sudah mendidiknya sehingga sekarang Kwa Hong memiliki gerakan yang cepat dan lincah, juga mempunyai ilmu menjaga diri yang cukup mempunyai ilmu menjaga diri yang cukup kuat.

   "Hong-ji (anak Hong), jangan terlalu cepat,kau nanti sesat jalan!"

   Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kembali anaknya berkelebat memasuki bagian yang gelap dari hutan besar itu. Ia memajukan kudanya dan tiba-tiba kudanya mengeluarkan bunyi ringkik keras lalu berdiri diatas kedua kaki belakangnya, hidungnya mendesis-desis nampak ketakutan sekali, Kwa Tin Siong berlaku waspada, maklum bahwa ada binatang buas ditempat itu. Karena sukar untuk menenangkan kudanya,ia cepat meloncat turun dan mengikatkan kendali kuda pada sebatang pohon. Tiba-tiba kudanya meronta keras, kendali putus dan kudanya lari tunggang langgang. Hampir pada saat itu, terdengar bunyi berkeresekan dari atas dan seekor Ular besar yang melilitkan ekornya pada batang pohon diatas, menyambarkan kepalanya ke arah Tin Siong.

   Tidak percuma Kwa Tin Siong menjadi orang tertua dari Hoa-San Sie-Eng. Biarpun matanya belum melihat, telinganya telah menangkap sambaran angin dari atas. Cepat sekali kakinya bergerak dan ia sudah menggelak sambil mencabut pedangnya. Di lain saat pedangnya sudah berkelebat membacok ke atas. Kwa Tin Siong Ular itu terluka pedang, darah menetes. Ular itu kesakitan dan marah, cepat ia menyambar lagi bagaikan menubruk ke arah calon mangsanya. Tin Siong terkesiap kagum menyaksikan Ular yang besar sekali dan yang sisiknya nampak kuning sekali kehijauan,berkembang indah dan bersih Hampir ia merasa sayang untuk membunuh Ular ini, akan tetapi karena ia berada dalam bahaya, terpaksa ia memapaki datangnya Ular dengan sebuah tusukan ke arah leher sambil miringkan tubuh.

   "Cesss"! Pedang yang ditusukkan dengan tenaga lweekang itu dapat menembus leher Ular yang dilindungi kulit keras, sebelum Ular itu sempat menyerang padang sudah dicabut kembali dan sebuah tebasan yang dilakukan dengan tenaga sepenuhnya membuat leher itu putus! Kepalanya terlempar ke bawah sedangkan ekor yang melilit dahan pohon berlahan-lahan terlepas sehingga akhirnya tubuhnya yang panjang dan besar itu jatuh berdebuk diatas tanah pula. Tin Siong menarik napas panjang merasa sayang bahwa Ular yang seindah itu kulitnya terpaksa harus ia bunuh, Ular kembang macam ini enak dagingnya dan kulitnya akan laku mahal kalau dijual di kota, pikirnya. Ia ingat akan anaknya, dan teringat akan kudanya yang sudah melarikan diri. Anaknya harus dicari lebih dahulu dan dengan pikiran ini Pendekar itu lalu lari mengejar ke arah bayangan Kwa Hong tadi berkelebat.

   Sementara itu, Kwa Hong yang berlari-larian gembira telah berada dibagian yang paling gelap di hutan itu. memang anak ini semenjak kecil paling senang kalau bermain-main didalam hutan. Semenjak kecil berdiam bersama Ayahnya di Hoa-San dan hutan besar boleh dibilang adalah tempat ia bermain-main. Akhir-akhir ini ketika Ayahnya mengajak ia turun gunung, ia seringkali rindu kepada hutan-hutan besar, rindu kepada binatang-binatang hutan yang amat disayanginya, maka sekarang melihat hutan, tentu saja ia seperti seekor Burung, tentu saja ia pohon besar, gembira sekali hatinya. Saking gembiranya ia sampai lupa diri dan lupa bahwa jauh meninggalkan Ayahnya dan baru terasa lelah kedua kakinya ketika dia duduk di bawah sebatang pohon besar.

   Sepanjang matanya bersei-seri dan bersinar-sinar, mulutnya yang kecil tertawa-tawa ketika Kwa hong memetik dua tangkai Bunga merah dipasangnya diatas kepala di kanan kiri, menghiasi rambutnya yang hitam panjang. Tiba-tiba ia berseru kaget dan cepat meloncat kesamping dan di lain saat tangan kanannya sudah menghunus pedang pendek, inilah gerakan Sin-Coa Hiat-Bwe (Ular sakti mengulur ekornya) sebuah gerakan ilmu pedang sebagai pembukaan kalau menghadapi lawan berat. Gerakannya cepat sekali dan tangannya yang mencabut pedang hampir tidak terlihat, tahu-tahu pedang pendek yang tadinya tergantung dipunggungnya telah berada ditangan kanan, dipegang erat-erat gagangnya, sedangkan pedangnya melintang di depan dada. Apa yang menyebabkan gadis cilik ini kaget? Mukanya pucat dan ia berdiri seperti patung, lenyap semua seri gembira diwajahnya.

   Bukan hanya dia, andaikan disitu ada orang lain orang segagah Ayahnya sekalipun, tentu akan kaget setengah mati melihat apa yang dilihat oleh Kwa hong ini. Mana didunia bukan mimpi, memang nyatanyata terlihat olehnya hal itu terjadi. Mula-mula ia tadi berseru kaget karena melihat ada seekor Ular besar dibawah pohon, kurang lebih dua puluh meter jauhnya disebelah sana. Dan sekarang... tahu-tahu Ular itu "Bangun"

   Berdiri dan berlomcat-loncatan menghampirinya. Hampir saja Kwa Hong lari tunggang langgang saking takut dan ngerinya kalau saja ia tidak mendengar suara orang tertawa, akan tetapi ketika ia mendengar bahwa yang tertawa adalah "Ular berdiri"

   Itu. Kemudian timbul jiwa ksatria yang diturunkan Ayahnya kepadanya dengan pedang dipegang erat-erat di tangan ia membentak.

   "Siluman dari mana berani menggangguku."

   "Ha-ha-ha, lagaknya. Kakimu menggigil seperti orang sakit demam kok masih berlagak gagah. Ha-ha-ha!"

   Ternyata Ular itu setelah dekat tidak berkepala lagi dan... dari leher Ular itu tersemburlah kepala seorang anak laki-laki, anak yang bermata lebar dan bermuka putih kehijauan. Anak ini bukan lain adalah Beng San. Seperti talah kita ketahui Beng San menggeletak di bawah pohon dalam keadaan yang dianggap sudah tak bernyawa lagi oleh Siok Tin Cu.

   Memang waktu itu anak ini sudah seperti mati, mukanya hijau kebiruan, tidak ada napasnya lagi dan tidak ada detak jantungnya lagi. Akan tetapi, ternyata Siok Tin Cu salah kira. Terjadi hal-hal yang mujijat dalam diri anak yang bernasib malang ini. atau lebih tepat kita katakan bukan bernasib malang karena secara kebetulan sekali ia terhindar dari malapetaka yang akan mencabut nyawanya akibat dari ditelannya tiga butir pil obat beracun dari Siok Tin Cu, tiga butir pil beracun yang mengandung hawa panas yang mujijat, sari dari pada hawa Thai Yang. Pada saat Beng San ditemukan oleh Koai Atong, memang nyawanya sudah di bibir kematian. Kemudian secara kebetulan sekali Koai Atong yang berotak tidak beres itu memukulnya dengan tenaga Jing-Tok-Ciang, malah melukainya dengan anak panah yang ujungnya sudah dilumuri Racun Hijau.

   Hawa pukulan dan racun ini cepat sekali menjalar diseluruh tubuh melalui jalan darahnya dan terjadilah perang tanding yang hebat antara hawa Thai Yang dari tiga butir pil itu dengan tenaga Imkang dari pukulan Jing-Tok-Ciang dan Racun Hijau. Dalam keadaan kedua hawa yang bertentangan dan bergulat itulah Siok Tin Cu melihat Beng San seperti sudah mati. Memang agaknya sudah dikehendaki oleh Tuhan bahwa nyawa anak itu belum tiba saatnya kembali ke alam baka. Semalam suntuk kedua hawa mujijat itu bertempur di dalam tubuhnya dan seperti biasanya kalau racun bertemu dengan racun yang berlawanan, menjadi punah. Bahkan sebaliknya daripada terancam nyawanya, tanpa disadarinya tubuh Beng San di bagian dalam mengandung kedua hawa ini yang sudah dibikin normal oleh percampuran itu, mendatangkan kekuatan yang luar biasa.

   Demikianlah, pada keesokan hrinya Beng San sadar, seakan-akan baru bangun dari kematian. Ia merasa tubuhnya dingin bukan main sampai giginya berketrukan. Ia teringat akan pengalamannya, ketika ia dijejali pil oleh Tosu yang mengaku bernama Siok Tin Cu. Teringat akan ini ia menjadi marah dan meloncat bangun. Alangkah kagetnya dia, ketika tubuhnya mumbul sampai satu meter lebih. Rasanya tubuhnya begitu ringan seperti bulu ayam! Akan tetapi hal ini tidak diperhatikannya lagi karena segera ia terserang rasa dingin yang bukan main hebatnya. Ia teringat bahwa ketika habis dijejali pil oleh Tosu itu ia merasa tubuhnya seperti dibakar, kenapa sekarang sebaliknya begini dingin? Beng San menggigil dan lari kesana kemari mencari tempat berlindung. Disangkanya bahwa hawa udara di hutan itu yang luar biasa dinginnya.

   Kebetulan sekali ia melihat kulit Ular atau selongsong kulit Ular bergantungan di sebuah pohon besar. Tadinya ia kaget, mengira bahwa itu adalah binatang Ular. Akan tetapi setelah dilihat bahwa itu hanyalah selongsong daja, ia segera memanjat pohon dan mengambil selongsong itu. Kiranya seekor Ular besar sekali telah berganti kulit disitu dan selongsongnya yang kering tergantung disitu. Beng San seorang anak cerdik. Ia membutuhkan selimut dan selongsong kulit Ular ini kiranya boleh dipergunakan sebagai selimut darurat. Segera ia membungkus dirinya dengan selongsong kulit Ular yang panjang dan lebar itu. Benar saja, ia merasa agak hangat badannya dan perasaan ini demikian nyamannya membuat ia melupakan perut laparnya dan tertidur lagi terbungkus kulit Ular. Tentu saja ia tidak tahu bahwa kehangatan yang datang kepadanya itu adalah wajar.

   Pertama, karena hawa pukulan Jing-Tok-Ciang itu mulai menghilang, bercampur dengan hawa Thai Yang, kedua kalinya secara kebetulan sekali pada kulit Ular itu terdapat hawa beracun dari Ular yang berganti kulit, dan hawa beracun ini mengandung hawa panas pula. Itulah sebabnya mengapa Beng San bukan saja terhindar daripada bahaya maut, malah sebaliknya ia mendapatkan keuntungan yang luar biasa, yaitu tubuhnya terkandung hawa mujijat akibat percampuran hawa Yang dan Im yang kuat sekali. Satu-satunya hal yang sampai pada saat itu masih sering kali ganti berganti menyerangnya, namun hal itu sudah tidak begitu mengganggunya lagi karena tubuhnya menjadi biasa dan seperti kebal. Hanya kulitnya yang masih belum dapat menahan sehingga tiap kali hawa panas menyerang, kulit tubuh, terutama kulit mukanya menjadi merah seperti udaang direbus, akan tetapi tiap kali hawa dingin yang menyerang, mukanya berubah menjadi hijau.

   Kita kembali kepada pertemuan Beng San dan Kwa Hong. Lenyap kengerian dan ketakutan hati Kwa Hong setelah mendapat kenyataan bahwa apa yang disangkanya Siluman Ular itu ternyata adalah seorang anak laki-laki yang hanya lebih besar sedikit daripada dirinya sendiri. Tadinya ia hendak tertawa saking geli hatinya, akan tetapi mana bisa dia tertawa kalau begitu bicara anak laki-laki itu menghinanya? ia dikatakan menggigil kakinya seperti orang sakit, tapi masih berlagak gagah. Yang menggemaskan kata-kata itu memang... betul. Memang tadi kedua kakinya menggigil dan tubuhnya gemetaran. Siapa orangnya tidak akan takut kalau mengira bertemu dengan Siluman?

   "Setan cilik, kenapa kau main-main dan menakut-nakuti orang? Kalau tidak mengira kau Siluman, mana aku takut kepada orang semacam engkau?"

   Kwa Hong membentak, cemberut. Dengan sikap menunjukkan bahwa kini ia sama sekali tidak takut lagi Kwa Hong menyimpan kembali pedangnya di belakang punggung lalu menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang panjang itu berjuntai ke belakang. Melihat sikap gagah-gagahan dan galak dari nona cilik ini, Ben San tertawa cekikikan dan tampaklah deretan giginya yang kuat dan putih.

   "Eh, kenapa kau tertawa-tawa?"

   Kwa Hong penasaran dan marah, kedua tangan dikepal, matanya bersinar-sinar karena mengira bahwa dia telah ditertawakan. Beng San tidak menjawab, malah hatinya makin geli dan tertawanya makin keras. Biasanya ia melihat anak perempuan sebagai makhluk-makhluk yang lemah-lembut, sekarang melihat lagak Kwa Hong yang membawa-bawa pedang ia merasa lucu sekali.

   "Hei, kepala Keledai, kenapa kau cekikikan?"

   Kwa Hong membentak lagi, kini melangkah maju. Dengan mulut masih tersenyum lebar Beng San balas bertanya,

   "Aku tertawa atau menangis menggunakan mulut sendiri, kenapa kau ribut-ribut?"

   Dan ia tertawa lagi, malah sengaja ketawa keras-keras. Kwa Hong terpukul dan makin mendongkol.

   "Kau kira mukamu kebagusan, ya? Tertawa-tawa seperti Monyet. Mukamu jelek sekali, tahu?"

   Beng San makin geli, matanya bersinar-sinar biarpun masih nampak sipit karena kedua pipinya memnag masih bengkak-bengkak membuat mukanya mirip muka Kodok. Pada saat itu, hawa dingin sudah mulai meninggalkannya, terganti hawa panas membuat mukanya yang tadi kehijauan sekarang berubah menjadi merah. Melihat perubahan ini Kwa Hong tertawa geli, ketawanya bebas lepas dan ia nampak makin cantik kalau tertawa karena dari kedua pipinya tiba-tiba muncul lesung pipit yang manis.

   "Hi-hi-hi, kau buruk sekali, mukamu berubah-ubah warnanya, hihi-hi-seperti Bunglon...!"

   Panas juga perut Beng San ditertawai seperti ini, ia membalas dengan suara ketawa yang keras, mengalahkan suara ketawa Kwa Hong.

   "Ha-ha-ha, mukamu pun buruk bukan main seperti... seperti Kuntilanak."

   Kwa Hong berhenti tertawa.

   "Kuntilanak? Apa itu?"

   Seketika Beng San juga berhenti tertawa karena dia sendiri juga tidak pernah tahu apa macamnya Kuntilanak!

   "Kuntilanak ya Kuntilanak...

   "

   "Seperti apa?"

   "Seperti... ah, sudahlah, buruk sekali, seperti engkau inilah!"

   "Bohong!"

   Kwa Hong membentak.

   "Aku cantik manis, semua orang bilang begitu, Ayah bilang begitu."

   Beng San tersenyum mengejek,

   "Cantik manis? Puuhhhh! Mungkin sekarang, akan tetapi dulu ketika baru lahir kau ompong dan kisut, buruk sekali dah!"

   Kwa Hong membanting-banting kakinya, ia memang manja dan setiap orang yang melihatnya tentu memuji kecantikan dan kemanisannya, masa sekarang ada orang yang memburuk-burukkannya seperti ini. mana dia mau menerimanya?

   "Mulutmu berbau busuk! Aku cantik manis sekarang, dulu maupun kelak, tetap cantik."

   "Cantik manis juga kalau galak dan berlagak sombong, siapa suka? Galak dan sombong seperti... seperti..."

   "Seperti apa?"

   Kwa Hong menantang.

   "Seperti... Kui Bo (Kuntilanak)..."

   "Kuntilanak lagi. Seperti apa sih Kuntilanak itu?"

   "Seperti kau inilah"

   Beng San menjawab mengkal karena dia sendiri pun belum pernah melihat seperti apa adanya setan betina yang sering kali orang sebut-sebut. Kwa Hong marah.

   "Kau seperti Bunglon!"

   "Kau seperti Kui Bo!"

   Beng San membalas.

   "Bunglon."

   "Kui Bo!"

   "Bunglon, Bunglon, Bunglon."

   "Kui Bo, Kui Bo, Kui Bo!"

   Dua orang anak-anak itu, seperti lazimnya semua anak-anak di dunia ini kalau cekcok, balas membalas dengan poyokan. Kwa Hong kalah keras suaranya dan melihat Beng San memoyokinya sambil tertawa-tawa, menjadi makin marah.

   "Bunglon, katak, Monyet! Kau bilang aku seperti Kuntilanak, apa sih sebabnya?"

   "Kau berlagak dan sombong sekali. Anak perempuan bernyali kecil masih pura-pura membawa pedang ke mana-mana. Kurasa dengan pedang itu kau tidak mampu menyembelih seekor katak sekalipun ! Huh, sombong."

   "Sraatt"

   Tahu-tahu pedang sudah berada di tangan Kwa Hong yang memuncak kemarahannya.

   "Menyembelih katak? Menyembelih Bunglon macammu pun aku sanggup!"

   Pedang digerakkan.

   "Syeettt... syeeettt!"

   Dua kali pedang berkelebat dan... selongsong kulit Ular yang membungkus tubuh Beng San terbelah dari atas kebawah dan jatuh ke bawah, dalam sekejap mata saja Beng San berdiri... telanjang bulat di depan Kwa Hong! Memang ketika mempergunakan selimut istimewa itu, Beng San menanggalkan pakaiannya yang basah oleh peluh dan sekarang pakaian itu digantungkannya pada batang pohon. Pada masa itu, usia sembilan tahun bagi seorang anak perempuan sudah cukup besar untuk membuat Kwa Hong menjerit dan membalikkan tubuh dan membelakangi Beng San, mulutnya memaki-maki.

   "Kadal! Bunglon! Monyet... tak tahu malu kau..."

   Beng San juga kaget dan malu sekali. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dengan pedangnya bocah itu mampu membelah selongsong Ular sedemikian rupa sehingga ujung pedang tadi hampir saja menggurat kulit perutnya. Cepat dia lari menyambar pakaiannya dan segera memakainya.

   "Kau yang tak tahu malu, kau yang kurang ajar!"

   Beng San marah marah.

   "Main-main dengan pedang,. Kalau kena perutku tadi, apa aku tidak mati?"

   "Mampus juga salahmu sendiri,"

   Kwa Hong menjawab sambil memutar tubuh. Sekarang ia melihat Beng San dalam pakaian yang kotor butut dan tambal-tambalan.

   "Huh,"

   Ia menjebi.

   "Kiranya hanya pengemis."

   "Kuntilanak! Aku tak pernah mengemis apa-apa padamu."

   Pada saat itu, Kwa Tin Siong sudah berlari-lari sampai di tempat itu. Dia mendengar percekcokan terakhir ini dan datang-datang ia menegur puterinya.

   "Hong ji, tak boleh kau menghina orang, tak boleh bercekcok. Pengemis adalah saudara kita."

   Datang-datang jago Hoa-San-Pai yang pikirannya selalu penuh dengan ujar-ujar pelajaran Khong Cu telah menasehati puterinya dengan sebuah ujar-ujar yang lengkap berbunyi : "Di seluruh penjuru lautan, semua manusia adalah saudara."

   Beng San yang memang berwatak nakal dan berani, tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan.

   "Bagus, bagus! Puas, puas! Maka harus ingat selalu bahwa kalau tidak mau dihina orang lain janganlah menghina orang lain."

   Seperti sudah diceritakan dibagian depan, semenjak kecilnya Beng San dijejali Kitab-Kitab kuno oleh para Hwesio di Kelenteng Hok Thian Tong, di antaranya juga Kitab-Kitab Su Si Ngo Keng yang sudah dihafalkannya, maka dia pun masih banyak hafal akan ujar-ujar nabi Khong Cu. Yang dia ucapkan tadi pun merupakan sebuah ujar-ujar yang lengkapnya berbunyi : "Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu."

   Melihat sikap Beng San, Kwa Tin Siong mengerutkan kening, kemudian terheran-heran. Apalagi melihat pakaian Beng San yang buruk dan melihat pula selongsong kulit Ular disitu, ia mengira bahwa Beng San tentulah murid seorang pandai. Ia sedang terburu-buru dan ada urusan besar, tidak baik kalau sampai terjadi hal-hal tidak enak dengan tokoh lain. Maka ia lalu menarik tangan Kwa Hong dan berkata.

   "Mari, Hong ji. Mari kita pergi. Aku tadi membunuh seekor Ular besar, kita boleh makan dagingnya sebelum melanjutkan perjalanan."

   Kwa Hong tak berani membantah, hanya memandang kepada Beng San dengan mata berapi dn mulut cemberut. Kwa Tin Siong tersenyum, sebelum pergi menoleh kearah Beng San yang berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar. Kembali Kwa Tin Siong terheran-heran melihat betapa kulit muka yang bengkak-bengkak itu menjadi agak kehijauan, padahal tadinya merah sekali. Ia merasa heran dan karena tidak melihat hawa beracun keluar dari tubuh pemuda cilik itu, Maka ia tidak menduga bahwa anak ini telah mempelajari semacam ilmu mujijat yang memang pada waktu itu banyak dimiliki tokoh-tokoh kang ouw.

   Mendengar orang bicara tentang "Daging"

   Dan tentang "Makan,"

   Seketika perut Beng San memberontak lagi. Perutnya melilit-lilit dan ia tak dapat menahan lagi kedua kakinya yang berjalan mengikuti Ayah dan anak itu dari jauh. Berindap-indap ia menghampiri ketika mencium bau asap yang amat wangi dan gurih. Setelah dekat dia melihat betapa Kwa Tin Siong dibantu oleh anak perempuan yang galak tadi sedang membakari potongan-potongan dagingUlar. Ularnya kelihatan menggeletak tak jauh dari situ, Ular besar sekali yang tentu banyak dagingnya. Beng San beberapa kali menelan ludahnya. Ketika Ayah dan anak itu ramai-ramai makan panggang daging Ular, Beng San membalikkan tubuhnya, tak mau melihat.

   "Ayah, lihat itu pengemis yang tadi datang lagi."

   Tiba-tiba terdengar Kwa Hong berkata nyaring. Dengan perut panas Beng San menoleh dan memandang dengan mata mendelik. Kwa Tin Siong tersenyum dan berkata kepada Beng San,

   "Anak baik, apakah kau lapar?"

   Beng San berwatak angkuh tapi jujur. Ia mengangguk mendengar pertanyaan yang dikeluarkan dengan sikap ramah dan halus itu.

   "Kau mau mengemis daging Ular?"

   Kwa Hong mengejek.

   "Tidak!"

   Beng San membentak dan membalikkan mukanya lagi. Kwa Tin Siong diam-diam kagum juga melihat anak jembel yang berwatak angkuh itu. Itulah sikap jantan yang jarang terdapat pada diri anak-anak, apalagi anak jembel. Dengan halus ia bertanya.

   "Anak baik, apakah kau mau minta daging Ular?"

   Beng San menoleh sebentar dan dengan mengeraskan hatinya ia menjawab, halus tidak membentak seperti ketika menjawab Kwa Hong tadi.

   "Tidak, Lopek (Paman Tua), aku tidak minta."

   Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Jawaban kali ini adalah jawaban seorang anak baik-baik yang mengerti akan tata susila dan kesopanan. Ia dapat menjenguk isi hati anak itu yang agaknya memiliki keangkuhan besar, biarpun hampir kelaparan tidak mau minta-minta. Anak luar biasa, pikirnya.

   "Anak baik, boleh aku mengetahui namamu?"

   "Namaku Beng San, anak korban banjir, tiada orang tua, tidak tahu lagi she apa."

   Sekaligus ia menjawab karena tidak suka kalau dihujani pertanyaan selanjutnya. Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Kasihan sekali anak ini, agaknya semenjak kecil terpaksa harus hidup terlunta-lunta seorang diri.

   "Beng San, aku Kwa Tin Siong dan ini anakku Kwa Hong. Kau tidak minta makanan, akan tetapi aku memberi kepadamu, kau mau, bukan?"

   Orang tua itu mengambil dua potong panggang daging Ular dan memberikannya kepada Beng San. Anak itu menerima tanpa menyatakan terima kasihnya karena ia melihat Kwa Hong memandang dengan senyum mengejek. Begitu menerimanya ia mengembalikannya kepada Kwa Hong.

   "Tak pernah aku menerima pemberian yang tak rela,"

   Katanya singkat.

   "Hong ji"

   Kwa Tin Siong membentak anaknya.

   "Jangan kau kurang ajar. Daging ini Ayah yang dapat, bukan kau!"

   Ia membujuk supaya Beng San suka menerimanya dan Kwa Hong tidak berani lagi senyum-senyum mengejek seperti tadi. Setelah yakin bahwa pemberian itu rela, Beng San segera makan daging Ular itu. Aduh lezatnya, sedapnya, gurihnya. Dengan lahap Beng San makan dan sekejap mata saja habislah dua potong daging itu. Kwa Tin Siong yang diam-diam melirik menjadi terharu. Ia tahu bahwa kalau ia memberi terus menerus, anak itu akan tersinggung kehormatannya, maka karena ia dan Kwa Hong sudah merasa kenyang, ia lalu berdiri dan berkata kepada Kwa Hong.

   "Hong ji, mari kita lanjutkan perjalanan. Kita harus mencari Kudaku yang tadi melarikan diri."

   Kemudian kepada Beng San ia berkata.

   "Beng San, karena kami sudah tidak memerlukan lagi daging Ular, maka kuberikan sisa daging Ular ini kepadamu, juga sisa garam dan bumbu ini. kau pangganglah sendiri. Nah, selamat tinggal anak baik."

   Melihat sikap ini Beng San segera menjatuhkan diri berlutut.

   "Kwa Tin Siong Lopek, kau benar-benar seorang mulia. Aku Beng San tak akan mudah melupakan kau dan mudah-mudahan saja kelak aku mendapatkan kesempatan untuk membalas kebaikanmu ini."

   Sekali lagi Kwa Tin Siong terkesiap. Bukan main anak ini, memiliki pribudi pula. Ia mengangguk angguk dan diam-diam ia mencatat nama Beng San di dalam hatinya. Dan sebelum mereka berpisah antara Beng San dan Kwa Hong kembali terjadi "Adu sinar mata"

   Keduanya berapi dan gemas.! Setelah Ayah dan anak itu pergi, Beng San berpesta pora. Ia memegang daging Ular sebanyaknya dan masih panas-panas dia sudah tak sabar menanti, terus saja dimakannya. Sambil makan ia tersenyum-senyum kalau teringat akan kebaikan sikap Kwa Tin Siong, akan tetapi ia menggerutu kalau teringat akan Kwa Hong.

   "Kui Bo...

   "

   Makinya keras-keras.

   "Kuntilanak... Cantik manis, genit dan galak. Kui Bo, Kui Bo, Kui Boo! Nah, kumaki kau sampai puas, mau apa sekarang Kui Bo!"

   Tiba-tiba dari atas puncak pohon besar terdengar suara orang perempuan tertawa mengikik,

   
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hi-hi-hi-hi!"

   Beng San meloncat berdiri, menoleh ke kanan kiri. Disangkanya Kwa Hong datang kembali. Akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang. Ia menjadi gemas, dikiranya Kwa Hong datang lagi dan mengganggunya atau bersembunyi.

   "Kuntilanak kau! Kui Bo, perlu apa datang menggangguku?"

   Kembali terdengar suara ketawa seperti tadi, kini tepat diatas kepala Beng San. Anak itu cepat mendongak, memandang ke pohon diatasnya, diantara daun-daun dan cabang-cabang pohon. Namun, seekor Burungpun tak tampak dan suara ketawa itu masih terdengar disitu. Tiba-tiba suara itu pindah ke lain pohon, juga terdengar di puncak sambung menyambung,

   "Hi-hi-hi-hi!"

   Beng San adalah seorang anak pemberani. Akan tetapi setidaknya ia pernah tinggal di Kelenteng dan pernah mendengar cerita-cerita tahyul dari beberapa orang Hwesio, maka sekarang ia mulai merasa bulu tengkuknya meremeng. Betapapun juga, ia mengeraskan hatinya. Masa di siang hari terang benderang ada setan? Kata seorang Hwesio, Kuntilanak hanya muncul di waktu malam!.

   "Hi-hi-hi-hi-hi!"

   Dan kini Beng San betul-betul tersentak kaget karena tiba-tiba saja di depannya berdiri seorang perempuan yang cantik. Wanita ini tertwa-tawa, kelihatan giginya yang putih rapi. Pakaiannya seperti pakaian gambar dewi di tembok Kelenteng, serba Sutera dan indah. Ia memegang sebuah sapu tangan Sutera yang panjang, mukanya manis dan matanya liar galak serta mengandung sinar yang aneh menyeramkan, seperti bukan mata orang yang sehat otaknya. Inikah Kuntilanak? Wanita itu tertawa-tawa lagi lalu bertanya.

   "Anak bagus, kau suka kepada Kui Bo (Kuntilanak)? Betulkah katamu tadi bahwa Kui Bo cantik manis, genit dan galak? Suara wanita itu halus tapi matanya betul-betul menyeramkan, membuat Beng San makin ketakutan. anak ini memberanikan hatinya dan bertanya.

   

Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini