Raja Pedang 16
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
Dengan sedih dan penuh hormat pemuda ini lalu mengurus jenazah Kakek Souw, menguburnya di bekas tempat pertapaannya, di Ban-Seng-Kok yang terletak di puncak Cin-Ling-San. Sesudah itu dia lalu turun dari puncak, meninggaikan Cin-Ling-San sebagai seorang pemuda sebatangkara yang memikul tugas yang dipesankan oleh Kakek Souw Lee, tugas yang amat berat.
Namun dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia pasti akan dapat memenuhi semua pesan Kakek itu. Manusia boleh berdaya upaya, namun Tuhanlah yang berkuasa. Sudah menjadi hak, bahkan menjadi kewajiban manusia untuk berusaha dan berdaya upaya ke arah kemajuan, ke arah perbaikan dan ke arah keadaan sebagaimana yang ia kehendaki dan inginkan. Namun tak dapat disangkal pula bahwa pada akhirnya, kekuasaan Tuhan yang akan menentukan bagaimana jadinya dengan segala daya upaya itu. Oleh karena itulah maka para bijaksana, para ahli pikir dan ahli filsafat menganjurkan agar dalam setiap gerak, setiap langkah dan daya upaya, seyogyanya manusia menyerahkan penentuan terakhir kepada Yang Maha Kuasa. Apabila hati sudah betul-betul dapat menyerah terhadap segala keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa,
Apabila hati sudah betul-betul sadar penuh keyakinan bahwasanya segala apa ini, baik maupun buruk dalam penilaiannya, terjadi karena kehendak Yang Maha Penentu, maka ia tak akan terlalu merasa sengsara apabila yang dikehendaki dan diinginkannya tidak terkabul. Sudah terlalu banyak sebetulnya contoh-contoh untuk kebenaran di atas tadi terjadi di dunia sepanjang masa. Tak usah kita mencari contoh jauh-jauh, kita kenangkan kembali pengalaman hidup diri kita sendiri. Sudah betapa seringnya terjadi dalam hidup kita hal-hal yang sama sekali berlawanan dengan apa yang kita inginkan? Berlawanan sama sekali dengan apa yang kita kehendaki? Padahal sudah mati-matian kita berusaha untuk menjuruskan hal itu agar terjadi seperti keinginan kita? Tidakkah sudah terlalu sering kita merasa kecewa? Ini keliru, ini salah! Kita harus dapat menerima segala kejadian sebagai hal yang sudah semestinya begitu, betapapun pahit bagi kita.
Sedapat mungkin, kita harus menerima pahit getir sebagai gernblengan batin, dan mencari-cari dalam diri sendiri kesalahan apakah yang kita lakukan tanpa kita sadari sehingga hal yang tidak kita kehendaki itu terjadi. Karena, segala akibat itu pasti bersebab dan sebab-sebab ini kalau tidak terlihat di luar, harus kita cari mendalam, mencari tak usah jauh-jauh, tapi dalam diri kita sendiri. Apabila kita benar-benar sudah menyerahkan diri sebulatnya kepada kekuasaan Yang Maha Esa, sudah dapat dipastikan bahwa kita akan mampu mencari kesalahan sendiri itu, kesalahan yang dilakukan tanpa kita sendiri menyadari bahwa kita telah bertindak salah. Semua manusia, baik dia itu orang biasa maupun orang besar dalam arti kata besar kekuasaannya, tinggi kedudukannya, tetap saja harus tunduk kepada kekuasaan Tertinggi.
Kaisar Dinasti Goan yang terakhir, yaitu Kaisar Sun Ti, boleh menyombongkan diri sebagai manusia besar, pewaris Kerajaan Goan yang dibangun oleh Jenghis Khan, Kerajaan yang meliputi seluruh Tiongkok, bahkan makin meluas ke Barat dan ke Selatan. Akan tetapi, menghadapi keadaan yang memang sudah ditentukan oleh Tuhan, dia berikut bala tentaranya yang besar tak berdaya. Pemberontakan tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan. Tentu saja kelemahan Dinasti Goan ini tentu ada sebabnya seperti juga semua akibat tentu bersebab. Dinasti yang tadinya berkembang dan mencapai masa jaya dan masa keemasannya di waktu Kaisar Kubilai Khan bertahta itu, mulai goyah kedudukan dan keangkerannya setelah Kaisar Ini meninggal dunia. Setelah Kubilai Khan meninggal dunia, mulailah terjadi perebutan kekuasaan di antara para Raja muda dan pangeran.
Apabila seorang Raja muda atau pangeran dapat merebut singgasana, yang lain melakukan pemberontakan dan merebut kekuasaan sehingga terjadi ganti-mengganti Kaisar yang hanya menduduki tahta selama beberapa tahun saja. Apalagi di antara tahun 1307 sampai tahun 1333, H selama dua puluh enam tahun ini terjadi penobatan Kaisar sebanyak delapan kali! Karena selalu ribut-ribut di dalam istana kaisar, para pembesar menumpahkan perhatiannya akan perebutan kursi, sedangkan para pejabat yang berada di luar ji istana mempergunakan kesempatan selagi orang-orang besar itu tidak memperhatikan mereka, berpesta pora mengeduk harta kekayaan untuk mengisi gudangnya sendiri-sendiri. Pemerasan terjadi dimana-mana dan akibatnya selalu rakyat yang tergencet. Semua ini ditambah dengan bertcana musim kering yang menimbulkan kekurangan bahan makan dan tak dapat dicegah lagi rakyat menderita bencana kelaparan yang hebat.
Inilah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan-pemberontakan, baik di daerah Selatan maupun di Utara. Memang harus diakui bahwa Pemerintah Mongol itu mulai menginsyafi akan adanya bahaya pemberontakan dan segera dapat menindih dan membasmi para pemberontak yang terjadi di sana-sini secara kecil-kecilan, namun mulai tahun 1351 kembali rakyat memberontak, malah kali ini amat hebat karena mereka mendapatkan pemimpin-pemimpin yang pandai. Di antara para pemimpin pemberontak ini tentu saja yang paling terkenal adalah Cu Goan Ciang yang kelak akan menjadi Raja pertama dari Dinasti Beng. Adapun perkumpulan rahasia dari para pemberontak yang paling terkenal adalah perkumpulan Pek-Lian-Pai.
Belasan tahun telah lewat dan keadaan Pemerintah Mongol menjadi makin lemah. Perang terjadi di mana-mana, terutama sekali di sepanjang lembah Sungai Yang-Ce-kiang, Sungai Huai dan Sungai Huang-Ho. Daerah ini menjadi pusat para pemberontak. Memang di antara para pemberontak ini terpecah menjadi banyak golongan yang bekerja sendiri-sendiri atau tidak terikat satu kepada yang lain, akan tetapi dalam menghadapi Pemerintah penjajah, mereka ini dapat bersatu dan saling membantu. Ada kalanya apabila tidak sedang menghadapi barisan musuh, terjadi bentrokan antara dua golohgan pemberontak, akan tetapi begitu musuh datang menyerang, dua golongan yang tadinya bentrok ini segera bersatu bahu rnembahu melawan serdadu-serdadu Mongol! Demikianlah sedikit catatan mengenai keadaan Tiongkok di masa Dinasti Goan yang dipimpin oleh Kaisar Sun Ti, Kaisar Mongol yang terakhir.
Keadaan di seluruh negeri kacau dan penduduk merasa selalu tidak aman. Memang demikian selalu dirasakan rakyat apabila negara dilanda perang. Perubahan besar ini amat terasa oleh Beng San yang selama delapan tahun lebih seakan-akan mengasingkan diri. Selama delapan tahun ini Beng San setiap hari hanya berhadapan dengan air sungai dan ikan yang dipancing atau dijaringnya bersama Kakek nelayan. Tak pernah dia mendengar tentang keadaan di lain tempat, hanya mendengar bahwa pemberontakan makin menghebat. Maka dapat dibayangkan betapa herannya melihat kesengsaraan rakyat jelata ketika dia turun dari Pegunungan Cin-Ling-San. la menyaksikan para petani yang kurus-kurus dengan wajah penuh kebencian berbondong-bondong menggabungkan diri dengan para pemberontak yang bersembunyi di hutan-hutan.
Ketika memasuki sebuah dusun di mana justeru sedang terjadi perang, dia menghadapi kesukaran pertama. Puluhan orang serdadu Goan mengepungnya dan hendak menangkapnya karena dia dituduh anggauta pemberontak. Beng San tidak mau melayani mereka, merobohkan beberapa orang tanpa membunuhnya, lalu lari meninggalkan para serdadu yang melongo terheran-heran karena melihat betapa pemuda seperti petani yang hendak mereka tangkap itu tahu-tahu telah lenyap dari depan mata! Semenjak mengalami hal ini, Beng San berlaku hati-hati dan selalu menjauhkan diri dari para serdadu Goan yang berkeliaran di mana-mana dalam usaha mereka membasmi pemberontak. Betapapun juga, kesukaran ke dua segera menyusul setelah dia tiba di Kota I-Kiang yang terletak di pantai Sungai Yang-Ce di Propinsi Ho-pak.
Kota ini masih ramai dan terjaga kuat oleh pasukan Pemerintah. Penjagaan ketat mengepung tembok Kota dan di dalam Kota sendiri, di antara para pedagang, para penduduk dan pendatang, banyak berkeliaran mata-mata yang mengawasi gerak-gerik setiap orang secara rahasia. Beng San tentu saja sama sekali tidak tahu akan hal ini. la memasuki Kota I-kiang dan agak bergembira melihat keadaan Kota yang ramai yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa keadaan dalam negeri sedang kacau oleh perang. la melihat adanya losmen-losmen besar kecil dan warung-warung arak berikut nasi dan bakmi. Akan tetapi karena selama hidupnya belum pernah dia bermalam di losmen atau makan di warung, ditambah pula tidak ada sepeser pun uang di saku, dia hanya melihat-lihat dari luar saja. Kemudian baru terasa lapar perutnya ketika hidungnya mencium bau masakan dan arak.
"Aku harus mencari tempat penginapan, hari sudah mulai gelap dan perutku amat lapar,"
Pikirnya. Seperti dulu di waktu dia masih kecil, setiap kali memasuki dusun atau Kota dia mencari tempat penginapan di dalam sebuah Kelenteng, maka sekarang juga dia mulai mencari-cari Kelenteng untuk dijadikan tempat beristirahat.
Akhirnya di pinggir Kota dia mendapatkan sebuah Kelenteng besar. Akan tetapi Kelenteng ini sudah kosong, hanya tinggal bangunannya yang Kokoh kuat dan tiang-tiangnya yang terukir. Meja sembahyang tidak tampak, juga tidak ada toapekongnya. Malah patung-patung yang menghias sekeliling Kelenteng sudah rusak semua dan tempat itu kotor sekali. Tidak kelihatan seorang pun Hwesio di situ, sebagai gantinya, halaman depan Kelenteng itu penuh dengan orang-orang yang pakaiannya compang-comping, terang bahwa mereka adalah golongan jembel atau orang minta-minta. Tanpa ragu-ragu Beng San memasuki halaman itu dan dia segera disambut oleh pandang rnata belasan orang jembel yang duduk dan tiduran malang-melintang di tempat itu. Seorang pengemis yang masih muda segera berkata kepadanya.
"Kau pengungsi dan dusun? Hendak mencari tempat menginap di sini? Silahkan, banyak tempat... banyak tempat.? Belum makan? Marilah, bantu habiskan hidangan Raja ini"
Pengemis itu usianya tak akan lebih dari empat puluh tahun, tubuhnya tinggi. kurus, mukanya kotor, cambangnya tidak terpelihara, pakaiannya dari kain tebal yang sudah kotor. Yang disebut "Hidangan raja"
Itu adalah beberapa potong Roti kering yang kelihatannya keras dan sudah lama, kekuning-kuningan. Melihat keramahan orang, Beng San merasa tidak enak kalau menolak. Dan memang perutnya sudah lapar. la lalu duduk di sebelah orang itu, di atas lantai Kelenteng.
"Kau baik sekali, Saudara. Terima kasih."
"Hayo, jangan sungkan-sungkan. Makanlah."
Beng San mengambil sepotong Roti kering dan memakannya. Memang keras dan apek, akan tetapi cukup asin dan sesudah dikunyah enak juga rasanya. Agaknya, memang Roti yang baik, sayang sudah terlalu lama. Orang itu memandang sejenak, lalu mengeluarkan sebotol arak yang bercampur air tawar.
"Arak Selatan ini baik sekali, sudah tua, hanya... eh, terpaksa diperbanyak dengan air."
La tersenyum dan memberikan botol itu kepada Beng San. Pemuda ini tersenyum pula lalu minum. la merasa tubuhnya segar kembali setelah perutnya diisi.
"Sekarang jaman sukar, sampai seorang petani lari ke Kota bercampuran dengan kaum jembel..."
Orang itu menarik napas panjang dan memandang kepada Beng San. Pemuda ini tidak menjawab menoleh ke kanan kiri dan bertanya.
"Kenapa Kelenteng ini terlantar? Melihat bangunannya, agaknya dahulu sebuah Kelenteng yang besar juga."
"Betul dugaanmu itu,"
Jawab pengemis.
"Memang Kelenteng ini besar. Tapi sayang semua Hwesionya telah dibasmi habis, sebagian terbunuh, sebagian lagi dijebloskan penjara."
"Kenapa?"
Beng San bertanya kaget. Baru sekarang dia mendengar ada Hwesio-Hwesio dibunuh dan dipenjara,."
"Mereka membantu pemberontak,"
Kemudian pengemis itu bisik-bisik.
"Sobat, kau petani, kenapa kau tidak ikut kawan-kawanmu? Apakah kedatanganmu ini pun hendak mengadakan pertemuan rahasia dengan anggauta pemberontak? Atau barangkali dengan anggauta Pek-Lian-Pai?"
Beng San menggeleng kepala, termenung memikirkan nasib para Hwesio yang celaka itu.
"Kalau kau hendak mengadakan pertemuan dengan Pek-Lian-Pai, katakan terus terang saja, barangkali aku dapat membantumu..."
Kembali orang itu berbisik.
"Tidak... tidak... aku hanya pelancong yang kemalaman di Kota ini. Terima kasih atas kebaikanmu dan terima kasih atas pemberian Roti dan arak."
Beng San bangkit berdiri dan mencari tempat untuk mengaso di sebelah dalam. la segera membersihkan lantai di sudut yang sunyi, lalu duduk bersandar dinding. Pengemis tadi hanya tersenyum dan mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata tajam, lalu mengangkat bahu dan membaringkan tubuhnya di lantai. Sambil duduk mengaso Beng San melamun, mengenangkan semua pengalamannya di masa lalu.
Tanpa disengaja, seperti sudah ribuan kali dia mengalami, dia terbayang akan wajah-wajah orang yang pernah dia kenal. Wajah orang-orang yang ganti-berganti terbayang di depan matanya, yang membuat dia kadang-kadang merasa marah, girang, terharu. la tersenyum geli kalau mengenangkan wajah Kwa Hong, bocah yang galak dan cantik manis, yang selalu memakinya Bunglon itu. la menjadi gemas kalau mengenangkan wajah orang-orang yang pernah mengganggunya, yang pernah berbuat jahat kepadanya. Akan tetapi semua bayangan ini lenyap tak membekas apabila muncul wajah seorang anak perempuan yang berpakaian merah, yang memandang kepadanya dengan mulut mungil tersenyum-senyum, dengan sepasang mata yang lebar dan bening, dengan tangan bergerak-gerak memberi isyarat. Wajah Bi Goat, si bocah gagu!
Segera dia menjadi termenung, matanya sayu memandang jauh, hatinya penuh keharuan. Di manakah dia sekarang? Apakah masih ikut Song-Bun-Kwi si Kakek iblis itu? Beng San sudah hampir pulas ketika tiba-tiba dia mendengar suara bisik-bisik yang cukup jelas dan mencurigakan. Segera dia membuka mata dan memasang pendengaran. Ternyata bahwa para pengemis yang tadinya malang-melintang di halaman Kelenteng itu hanya tinggal beberapa orang saja lagi. Yang lain sudah tidak ada, termasuk orang yang tadi memberinya makan dan minum. Adapun suara-suara bisikan itu terdengar dari sebelah dalam Kelenteng, agak jauh dari tempat dia mengaso. Namun berkat kepandaiannya Beng San dapat menangkap suara bisik-bisik itu. Alangkah herannya ketika dia mendengar suara pengemis yang baik hati tadi berbisik.
"Betulkah penyelidikanmu itu? Kalau begitu tak bisa salah lagi, mereka itu tentulah kaum Pek-Lian-Pai yang mengadakan hubungan dengan Hartawan Ong! Hayo siap semua, seorang melapor kepada Kui-Ciangkun supaya menyiapkan barisan mengepung gedung Ong-Wangwe (Hartawan Ong). Kau dan dua orang teman lagi menjaga baik-baik di sini. Awas, pemuda tani yang tampan itu juga mencurigakan. Ringkus saja dia sebelum dapat melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan. Kalau dia melawan, bunuh saja!"
Suara kaki terdengar bergerak-gerak dan keadaan sunyi kembali. Beng San menanti dengan hati penuh curiga, tapi dia masih belum dapat menduga siapakah adanya pengemis yang aneh itu dan siapa pula teman-temannya yang diajak berunding tadi. Kemudian di dalam gelap dia melihat bayangan tiga orang itu pandai ilmu silat, malah memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik sekali. Ia masih belum yakin betul apakah yang dimaksudkan dengan "Pemuda tani yang tampan"
Tadi dia orangnya. Baru dia merasa yakin setelah tiga orang itu di dalam gelap menubruk dan meringkusnya!
"Eh, eh... mengapa kalian menangkap aku?"
Beng San memprotes, penuh keheranan, akan tetapi juga marah.
"Diam kau, petani busuk! Kau kaki tangan pemberontak!"
"Bohong! Aku bukan petani, juga bukan pemberontak."
"Semua petani adalah pemberontak, jangan melawan kaiau tidak ingin mampus!"
Seorang di antara mereka mengayun tangan ke arah muka Beng San. Biarpun di dalam gelap, pemuda ini dapat rnengetahui datangnya pukulan. la mengelak, kedua lengannya bergerak dan di lain saat tiga orang peringkusnya itu telah terlempar cerai-berai ke belakang dan ketika mereka mengaduh-aduh dan bangun, ternyata pemuda yang tadi mereka ringkus itu telah lenyap tak berbekas lagi!
Dengan penuh kegemasan Beng San meloncat keluar, terus naik ke atas genteng. Di dalam gelap dia masih melihat sesosok bayangan beberapa orang berlari menuju ke dalam kota. Cepat dia mengikuti setelah mendapat kenyataan bahwa seorang di antara mereka adalah pengemis tinggi kurus yang ramah, yang tadi berbisik menyuruh kawan-kawannya meringkusnya. la mengikuti dengan diam-diam, ingin tahu apa yang hendak mereka lakukan. Disuatu tikungan jalan, para pengemis ini bertemu dengan sepasukan tentara Pemerintah. Segera mereka berbisik-bisik dan bergabung menjadi satu, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah gedung besar yang berdiri di tengah kota. Dengan cepat tapi teratur sekali mereka yang terdiri dari tiga puluh orang lebih ini merayap dan mengurung rumah gedung itu.
Beng San tetap mengikuti mereka dan dia dapat menduga bahwa ini tentulah gedung Hartawan Ong seperti yang dirundingkan oleh para pengemis tadi. Ia bersiap sedia menolong karena maklum bahwa keluarga Hartawan Ong itu pasti berada dalam ancaman malapetaka. Akan tetapi para pengurung itu segera mendapat kenyataan bahwa rnereka keliru. Dengan tanda suitan para pengurung menyerbu ke dalam dan... rumah gedung itu telah kosong! Tak seorang pun manusia tinggal di situ, agaknya Burung-burung yang hendak mereka tangkap sudah terbang jauh sebelumnya. Untuk melampiaskan kemarahan dan kekecewaan mereka, para tentara dan mata-mata yang berpakaian pengemis itu menggeledah gedung, tentu saja tidak lupa untuk mengantongi barang-barang berharga yang kecil-kecil dan merusak yang besar karena tak dapat mereka bawa.
Beng San menyaksikan ini semua dan menarik napas panjang. Baru pertama kali setelah dia turun gunung dia menyaksikan kelakuan para tentara Pemerintah yang tiada ubahnya seperti Perampok-Perampok itu. Dan diam-diam dia kagum kepada Pek-Lian-Pai yang sekali lagi telah dapat menipu mereka. Sambil tertawa kecil Beng San teringat kepada Tan Hok. Orang tinggi besar seperti raksasa itu juga pernah menipu pasukan Pemerintah penjajah. Agaknya yang memimpin rombongan orang Pek-Lian-Pai di Kota ini juga bukan seorang bodoh. Dengan hati puas melihat para kaki tangan Pemerintah penjajah itu marah-marah dan tertipu, Beng San diam-diam meninggalkan tempat pengintaiannya dan di dalam gelap dia melihat seorang pengemis tua terbongkok-bongkok dari depan menghampirinya.
"Kasihanilah orang tua kelaparan, Kongcu (Tuan Muda)..."
Pengemis tua itu mengeluh. Beng San menghela napas panjang.
"Maafkan, Lopek. Aku sendiri tidak punya apa-apa, uang sepeser pun tidak punya, Roti sekerat pun, tidak ada. Apa yang harus kuberikan kepadamu?"
"Kasihan, orang muda sengsara. Kalau begitu aku yang harus memberikan sesuatu kepadamu."
La mengulur tangan dan memberikan sebuah benda kecil kepada Beng San. Sebelum hilang herannya, Beng San sudah menerima benda itu dan pengemis tua tadi sudah terbongkok-bongkok lagi pergi dari situ. Benda itu ternyata hanyalah selipat kertas. Dibawanya benda itu ke bawah lampu penerangan di pojok sebuah rumah dan dibacanya tulisan di atas kertas.
Adik Beng San,
Aku dan kawan-kawan berada di perahu-perahu nelayan sebelah Selatan kota. Datanglah, kami mengharapkan bantuanmu.
Tertanda: TAN HOK
Tan Hok di sini? Beng San tersenyum girang. Pantas saja serdadu-serdadu itu tertipu, kiranya pemuda raksasa yang kelihatan bodoh tapi ternyata cerdik sekali itu berada di sini memimpin para pejuang! Ia menjadi makin kagum akan kecerdikan Tan Hok dan kawan-kawannya yang ternyata segera dapat mengenalnya setelah berpisahan selama delapan tahun. Surat itu diremasnya hancur lalu dia menyelinap di antara kegelapan malam menuju ke arah Selatan. Setelah dia tiba di sebelah Selatan Kota yang sunyi, dia melihat banyak perahu nelayan di pinggir sungai dan tak seorang pun manusia tampak. Selagi dia kebingungan, tak tahu di mana adanya Tan Hok dan kawan-kawannya, dia melihat bayangan orang yang dengan cepatnya berkelebat di dekat kumpulan perahu.
Biarpun bayangan itu berkelebat cepat luar biasa, namun mata Beng San yang tajam masih dapat melihat jelas bahwa bayangan itu adalah tubuh seorang yang langsing seperti tubuh seorang wanita, dan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi. la segera berjalan seperti biasa agar orang itu tidak akan tahu bahwa dia pun tadi mempergunakan ilmu lari cepat. Di tempat seperti ini yang penuh rahasia, penuh pertentangan dan dalam keadaan perang, dia harus berlaku hati-hati agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan dan karenanya tanpa disengaja merugikan Tan Hok dan kawan-kawannya. Bayangan itu dalam sekejap mata saja lenyap. Tak lama kemudian, muncul bayangan orang bongkok dari kumpulan perahu, yang berjalan menghampirinya.
"Kasihanilah orang tua kelaparan, Kongcu..."
Bayangan ini berkata. Beng San berdebar jantungnya. Inilah pengemis tua yang tadi memberi surat kepadanya. Tanpa ragu-ragu lagi mendekati,
"Lopek, di mana Tan-Twako?"
Ia bertanya langsung.
"Kakek pengemis"
Itu memberi isyarat dengan tangan supaya Beng San mengikutinya dan... ternyata Kakek ini sama sekali tidak bongkok, malah kini dapat berjalan cepat dan tangkas.
Kakek itu tidak membawanya ke tempat di mana perahu-perahu berkumpul, melainkan sebaliknya, menuju ke sebuah hutan kecil di tepi sungai! Dan di tengah-tengah hutan itulah Tan Hok dan belasan orang temannya berkelompok, duduk bercakap-cakap dengan suara bisik-bisik. Mereka bersikap amat hati-hati, bahkan api unggun saja mereka tidak berani bikin, padahal malam itu dingin sekali dan di hutan itu banyak nyamuknya. Hanya sebuah lampu yang dikerodong kertas merah dinyalakan orang, cukup menerangi wajah mereka yang duduk di dekat lampu. Di antara orang-orang itu, Beng San melihat wajah Tan Hok. Masih seperti dulu, delapan tahun yang lalu. Masih tampan, gagah, dan tinggi besar seperti raksasa. Tubuhnya yang tinggi besar itu menjulang satu kaki lebih di atas kepala teman-temannya.
"Tan-Twako...!"
Beng San segera maju memberi hormat.
"Ha-ha-ha, Adik Beng San, kau sudah dewasa sekarang!"
Tan Hok melompat bangun dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya. Dua pasang tangan saling berpegang erat dan keduanya tersenyum girang.
"Tan-Twako, harap kau dan teman-teman yang lain hati-hati. Tadi aku melihat bayangan orang menyelinap di antara perahu-perahu,"
Bisik Beng San. Tan Hok menoleh kepada Kakek yang tadi menyambut Beng San.
"Betulkah itu Ciu-Siok (Paman Ciu)?"
Kakek itu berkata dengan suara menghibur,
"Aku hanya melihat kedatangan saudara Beng San seorang. Tidak ada bayangan orang lain. Kalau pun ada dan aku sendiri tidak melihat, dia tak akan dapat terlepas dari penjagaan teman-teman kita."
Tan Hok kembali menghadapi Beng San.
"Jangan kau khawatir, Adik Beng San. Kami sudah menaruh penjaga-penjaga di setiap sudut daerah ini. Apabila betul ada orang mengintai tempat ini, pasti akan diketahui oleh para penjaga kami itu."
La tertawa lagi dan memandang kepada Beng San dengan kagum. Diam-diam Beng San tidak membenarkan pendapat ini. Orang tadi terlalu cepat gerak-geriknya, mungkin sekali tak akan dapat terlihat oleh para penjaga pikirnya. Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau menyatakan pikiran ini dengan kata-kata, khawatir kalau-kalau disangka meremehkan para penjaga. Maka dia diam saja.
"Adik Beng San. Perbuatanmu di dalam Kelenteng tadi hebat. Ternyata kepandaianmu sudah maju pesat. Sayang kau tidak membalas anjing-anjing Mongol yang hendak menangkapmu itu dengan pukulan mematikan."
Beng San kaget. Kiranya Tan Hok sudah memasang mata-mata di mana-mana sampai tahu pula tentang kejadian di dalam Kelenteng tua di mana dia hendak ditangkap oleh para serdadu Mongol yang menyamar sebagai kaum jembel. Akan tetapi hatinya lega mendengar kata-kata Tan Hok yang menyatakan bahwa orang raksasa ini masih belum tahu bahwa dia telah memiliki kepandaian yang tinggi.
"Ah, Tan-Twako, kiranya kau sudah mengetahui pula hal itu. Aku hanya merasa kaget dan juga penasaran mengapa aku yang tidak punya kesalahan hendak ditangkap. Maka setelah berhasil meloloskan diri, aku lalu lari pergi. Kau menyuruh orang memanggilku dan mengirim surat mengharapkan bantuanku, sebetulnya bantuan apakah yang dapat kulakukan untukmu?"
"Sebelum kau mendengar tentang bantuan yang dapat kau lakukan untuk kami, lebih dulu akan kujelaskan kepadamu tentang keadaan-keadaan selama ini. Adik Beng San, selama bertahun-tahun ini, ke mana saja kau pergi dan apakah kau sudah mengetahui tentang keadaan perjuangan?"
Beng San menggeleng kepala, wajahnya berubah sedikit karena dia merasa jengah dan malu.
"Aku... aku bekerja membantu seorang nelayan, dan baru saja aku memasuki dunia ramai, aku tidaK tahu apa-apa, Twako."
"Nah, Kau dengar baik-baik penuturanku."
Dengan panjang lebar Tan Hok lalu menceritakan keadaan pemberontakan yang makin lama makin hebat itu.
Menceritakan pula betapa rakyat yang dipimpin oleh Pendekar-Pendekar besar melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Mongol dan sedikit demi sedikit sudah memperoleh kemajuan dan kemenangan. Tan Hok sendiri dengan teman-temannya, para anggauta Pek-Lian-Pai yang dia pimpin, sekarang bekerja langsung di bawah pemimpin besar pemberontak, Ciu Goan Ciang! Malah pemuda raksasa ini mendapat kepercayaan dari Ciu Goan Ciang dan melatihnya dengan beberapa macam ilmu silat tinggi. Kemudian Tan Hok menceritakan tentang keadaan para Partai besar persilatan. Ketika dia bercerita tentang Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai, Beng San mendengarkan penuh gairah. Di antara para Partai persilatan, hanya dua Partai besar ini pernah dia ketahui,
Bahkan secara langsung dia pernah berhubungan dengan kedua Partai itu. la pernah berdiam di Hoa-San, mengenal Ketuanya, mengenal pula murid-muridnya, yaitu Hoa-San Sie-Eng dan cucu-cucu muridnya, Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok. Adapun tentang Kun-Lun-Pai, biar dia tidak mempunyai hubungan langsung, namun dia pernah membela murid Kun-Lun yang bernama Pek-Lek-Jiu Kwee Sin. Pernah pula dia melihat dua orang Kun-Lun, Bun Si Teng dan Bun Si Liong, tewas di depan kakinya dan menerima pesan Bun Si Teng agar dia membela dan melindungi anak jago Kun-Lun ini yang bernama Bun Lim Kwi. Semua ini masih terbayang di depan matanya seakan-akan baru terjadi kemarin hari. Maka, tidak aneh kalau sekarang dia mendengarkan penuturan Tan Hok dengan penuh perhatian. Tan Hok menarik napas panjang.
"Sayang"
Ia melanjutkan ceritanya.
"karena yang dilancarkan oleh Ngo-Lian-Kauw siasat licik dan penuh Kecurangan dari Ketua Ngo-Lian-Kauw, dua Partai besar itu. Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai, dapat diadu domba dan terpecah-belah, menjadi dua Partai yang selalu bermusuhan Padahal dulu Partai itu kalau dapat membantu perjuangan rakyat menumbangkan kekuasaan penjajah, kedudukan para pejuang akan menjadi lebih kuat lagi. Semua ini adalah gara-gara, kelemahan hati jago muda Kwee Sin..."
Kembali Tan Hok menarik napas panjang.
"Bagaimana dengan dia? setelah dia dulu dilarikan oleh Hek-Hwa Kui-Bo."
Beng San tak sabar lagi bertanya.
"Kau tahu tentang itu?"
Tan Hok bertanya heran, tapi lalu disambungnya.
"Kau memang anak aneh, ini sudah kuketahui semenjak pertemuan kita yang pertama. Kau tanya tentang Kwee Sin? Justeru dia itulah yang menjadi biang keladi semua pertentangan, karena hatinya yang lemah, mudah roboh menghadapi bujuk rayu dan kecantikan Ketua Ngo-Lian-Pai. Pek-Lek-Jiu Kwee Sin, jago yang berkepandaian tinggi itu setelah dilarikan fihak Ngo-Lian-Pai, menjadi makin binal dan tergila-gila kepada Ketua Ngo-Lian-Pai yang berjuluk Kim-Thouw Thian-Li. Hanya beberapa bulan setelah dua orang Suhengnya, yaitu dua saudara Bun tewas dalam pertempuran di Hoa-San menghadapi murid-murid Hoa-San-Pai, Kwee Sin bersama kekasihnya, Ketua Ngo-Lian-Pai dan beberapa orang tokoh Ngo-Lian-Kauw, bahkan diam-diam dibantu oleh Hek-Hwa Kui-Bo, menyerbu Hoa-San, berhasil melukai Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, malah berhasil membunuh Thio Wan It dan Kui Keng. Mereka meninggalkan yang luka dan menyatakan bahwa mereka membunuh dua orang tokoh Hoa-San itu untuk menebus kematian dua saudara Bun dari Kun-Lun-Pai."
Beng San membelalakkan matanya.
"Hebat...!"
Dan hatinya terasa perih penuh kasihan ketika dia teringat kepada Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok yang kematian Ayah mereka.
"Bagaimana dengan Ketua Hoa-San-Pai, apakah dia tidak membantu murid-muridnya?"
"Tentu saja Lian Bu Tojin turun tangan, akan tetapi dengan adanya Hek-Hwa Kui-Bo, dia tidak berdaya banyak. Semenjak itu, permusuhan selalu terjadi antara Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai."
"Kenapa Kun-Lun-Pai terbawa-bawa dalam hal ini? Bukankah Kwee Sin menyerbu Hoa-San-Pai atas kehendaknya sendiri dan bersama orang-orang Ngo-Lian-Kauw, tidak atas kehendak Kun-Lun-Pai?"
"Hoa-San-Pai rupa-rupanya tidak mau tahu akan hal ini, karena ke mana mereka harus mencari Kwee Sin? Kwee Sin semenjak itu lenyap bersama Ngo-Lian-Kauw dan celakanya, secara rahasia Kwee Sin membantu Ngo-Lian-Kauw memusuhi Partai-Partai yang membantu para pejuang! Kalau dulu kedua Partai besar itu, baik Hoa-San-Pai maupun Kun-Lun-Pai, hidup tenang dan damai, sekarang keduanya mengumpulkan bekas-bekas murid mereka dan membentuk kekuatan yang terdiri dari murid-murid yang pandai, selalu siap untuk saling gempur."
Beng San mendengarkan dengan kening berkerut.
"Sayang sekali..."
Hanya demikian komentarnya. la benar-benar merasa menyesal sekali mengapa permusuhan yang terang-terangan disebabkan oleh Ngo-Lian-Kauw itu bisa sampai demikian berlarut-larut. Akhirnya, rasa penasaran membuat dia berkata.
"Kalau kedua Partai sudah tahu bahwa permusuhan itu disebabkan oleh tipu muslihat Ketua Ngo-Lian-Kauw, kenapa mereka tidak memusuhi-
(Lanjut ke Jilid 16)
Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
Ngo-Lian-Kauw saja?"
"Mereka pun kedua fihak sudah mulai melakukan permusuhan dengan Ngo-Lian-Kauw, akan tetapi dendam di antara Hoa-San dan Kun-Lun agaknya lebih parah dan mendalam."
Dengan panjang lebar Tan Hok menuturkan semua kejadian yang diketahuinya dan diam-diam Beng San girang sekali bahwa dia bertemu dengan raksasa ini karena ternyata pengetahuan Tan Hok, tentang dunia kang-ouw dan semua peristiwa yang terjadi, amat luas. Sekarang menjadi jelas bagi Beng San apa yang telah terjadi selagi dia pergi menyembunyikan diri sebagai nelayan. Betapapuh luas pengetahuan Tan Hok tentang dunia kang-ouw, ketika ditanya tentang Song-Bun-Kwi, Hek-Hwa Kui-Bo dan lain-lain tokoh sakti itu, Tan Hok menggeleng-geleng kepalanya.
"Orang-orang seperti mereka itu bukan manusia biasa lagi. Tentu saja mereka tidak peduli tentang perjuangan, karena mereka termasuk orang-orang aneh yang selalu berbeda dengan manusia biasa. Bagaimana bisa mengikuti jejak mereka? Andaikata mereka ikut pula mencampuri urusan perjuangan, baik yang membela pejuang maupun yang membela Kerajaan Goan, tentu mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi."
Agak kecewa hati Beng San karena sebenarnya maksud pertanyaannya tentang orang-orang sakti itu ditujukan untuk mengetahui berita tentang seorang anak perempuan gagu!
"Twako, setelah kau ceritakan semua itu kepadaku, agaknya tidak ada sesuatu yang mendorong kau membutuhkan bantuanku. Kalau yang kau maksudkan dengan bantuan itu adalah permintaan seperti dahulu agar aku masuk menggabungkan diri dengan Pek-Lian-Pai, terpaksa aku tak dapat memenuhi-permintaanmu. Aku suka membantu perjuangan Pek-Lian-Pai, akan tetapi tidak suka terikat oleh sesuatu perkumpulan kemudian terlibat ke dalam permusuhan-permusuhan yang saling mendendam."
"Aku mengerti pendirianmu, Beng San. Tidak, pertolongan yang kubutuhkan darimu ini lebih bersifat pribadi. Ketahuilah, aku telah diserahi tugas yang amat penting oleh pemimpin kami, Ciu Goan Ciang Taihiap. Dan sekarang, selagi aku bingung bagaimana akan dapat melakukan tugas ini dengan sempurna, aku bertemu dengan kau. Hatiku yakin bahwa hanya kau seoranglah yang tepat untuk melaksanakan tugas ini."
Berdebar hati Beng San. Tugas dari pemimpin besar Ciu Goan Ciang? Bukan main! la merasa terhormat dan bangga sekali. Akan tetapi mukanya yang tampan tidak membayangkan sesuatu.
"Pendekar besar Ciu Goan Ciang merasa amat menyesal dengan adanya gontok-gontokan antara Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai. la pun maklum apa yang menyebabkan permusuhan antara dua golongan itu, bukan lain adalah karena siasat Pemerintah Mongol yang mempergunakan Ngo-Lian-Kauw. Bulan depan Hoa-San-Pai mengadakan pesta perayaan hari ulang tahun ke seratus dari Hoa-San pai. Tentu banyak sekali tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw hadir. Menurut penyelidikan Pek-Lian-Pai, pada kesempatan ini Kun-Lun-Pai akan datang lagi untuk membuat perhitungan. Karena permusuhan itu berlarut-larut, muncul sahabat-sahabat dan musuh-musuh baru bagi kedua fihak. Ada golongan-golongan yang membantu Hoa-San-Pai, sebaliknya banyak pula yang pro kepada Kun-Lun-Pai. Dapat diramalkan bahwa akan terjadi sesuatu yang hebat di puncak Hoa-San nanti. Nah, pemimpin kami tidak setuju dengan adanya perpecahan di kalangan kita sendiri, maka dia mempercayakan kepadaku untuk berusaha mendamaikan mereka. Aku membawa surat bagi kedua Ketua perkumpulan Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai. Akan tetapi, mudah saja diduga bahwa di dalam pertemuan besar itu, pasti di sana akan penuh dengan orang-orang fihak Ngo-Lian-Kauw dan fihak Pemerintah pasti akan menyebar mata-matanya. Aku, sedikit banyak, sudah terkenal di antara mereka, maka pasti mereka itu akan menghalangiku sebelum aku sempat melakukan sesuatu untuk mendamaikan Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai. Juga orang-orangku sebagian besar sudah dikenal. Karena itu, Adik Beng San, kaulah orangnya yang paling tepat untuk mewakiliku melakukan tugas ini. Sanggupkah kau?"
Beng San mengangguk-angguk. Tugas itu adalah tugas mulia. Tugas mencegah perpecahan antara Bangsa sendiri, antara kedua Partai besar yang memiliki nama harum. Apalagi kalau diingat bahwa di dalam Hoa-San-Pai terdapat orang-orang yang di waktu kecil sudah dia kenal baik, terutama Kwa Hong. Adapun di fihak Kun-Lun-Pai terdapat cucu murid yang dia harus bela, yaitu Bun Lim Kwi putera mendiang Bun Si Teng yang sudah meninggalkan pesan terakhir kepadanya dan yang harus ia hormati.
"Baiklah, Twako. Aku akan berusaha melakukan tugasmu itu sebaiknya."
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tan Hok nampak girang sekali, akan tetapi tiba-tiba Beng San menggunakan kedua kakinya menginjak lampu merah yang diletakan di tanah. Lampu seketika padam. Terdengar jerit kesakitan dan robohnya tubuh orang-orang tak jauh dari situ. Disusul pula mendesingnya senjata-senjata rahasia yang menghujani tempat perundingan ini. Tan Hok sudah cepat memberi aba-aba kepada kawan-kawannya. Senjata dicabut dan mereka melesat ke kanan kiri mencari berkelebat bayangan putih yang makin lama makin banyak sekali. Kiranya tempat itu sudah dikurung, puluhan orang banyaknya yang mengurung. Beberapa orang anggauta Pek-Lian-Pai yang bertugas menjaga di luar tadi sudah dirobohkan musuh.
"Pemberontak-pemberontak Pek-Lian-Pai, lebih baik kalian menyerah!"
Terdengar bentakan kasar seorang yang bertubuh tinggi besar. Tan Hok melihat orang ini lalu meloncat dari tempat persembunyiannya dan di lain saat dua orang yang sama-sama tinggi besar tubuhnya telah berperang tanding dengan hebatnya.
Bunga api muncrat berhamburan ketika pedang di tangan Tan Hok bertemu dengan golok lawannya itu. Agaknya keduanya adalah ahli-ahli gwakang yang memiliki tenaga seperti kerbau jantan kuatnya. Nyaring bunyi pertemuan senjata itu dan kedua orang raksasa inl merasa betapa telapak tangan mereka pedas dan sakit. Beng San yang masih duduk di tempat tadi karena tiba-tiba semua anggauta Pek-Lian-Pai sudah menghilang, melihat empat orang lain maju dari belakang Tan Hok, siap dengan rantai-rantai besi dan rupa-rupanya hendak menawan Tan Hok dalam keadaan hidup. Sekali menggerakkan kakinya pemuda ini telah melesat ke depan. Kaki tangannya bekerja seperti kilat dan tanpa mengerti mengapa, empat orang itu sudah terlempar dan terjengkang ke belakang tanpa dapat bangun lagi karena kaki tangan mereka patah tulangnya!
Setelah melihat bahwa para penyerang yang datang menyerbu itu adalah pengemis-pengemis dibantu oleh serdadu Mongol, tahulah Beng San bahwa dia harus membantu para anggauta Pek-Lian-Pai. Tubuhnya bergerak ke sana ke mari untuk membantu teman-temannya yang terdesak. Untuk sementara ia meninggalkan Tan Hok karena dari gerakan raksasa itu menghadapi lawannya, dia maklum bahwa Tan Hok akan dapat menang. la lebih mementingkan membantu mereka yang terdesak. Akan tetapi segera dia mendapat kenyataan betapa sia-sia kalau melakukan perlawanan secara nekat. Jumlah lawan amat banyak, ada puluhan orang, malah mungkin tidak kurang dari seratus orang. Sedangkan di fihak Pek-Lian-Pai hanya ada tujuh belas orang termasuk dia sendiri. Dan pertandingan dilakukan di dalam gelap, kacau-balau!
Memang dengan amat mudahnya Beng San dapat merobohkan belasan orang lawan tanpa membunuh mereka yang merupakan pantangan baginya, akan tetapi juga di antara para anggauta Pek-Lian-Pai, sedikitnya sudah roboh lima enam orang. Sementara itu, tepat seperti yang diduga oleh Beng San, Tan Hok dapat mendesak lawannya. Pada suatu saat, ketika lawannya sudah terdesak hebat, perwira Mongol itu secara nekat tanpa mempedulikan datangnya hantaman dari tangan kiri Tan Hok, membacok pundak Tan Hok sekuat tenaga dengan goloknya. Andaikata Tan Hok melanjutkan pukulannya yang pasti mengenai dada lawan, tak dapat dicegah lagi golok itu pasti akan membabat putus pundaknya. Tan Hok tentu saja tidak mau menukarkan pundaknya dengan sebuah pukulannya, cepat dia menarik tangan kiri dan menggerakkan pedang sekuat tenaga menangkis.
"Krakkk!"
Dua senjata itu bertemu, api berbunga berhamburan dan kedua senjata itu patah! Sambil menggeram marah kedua orang yang bertubuh raksasa ini melempar gagang senjata ke bawah, lalu melanjutkan perkelahian mereka mempergunakan sepasang kepalan tangan yang sebesar kepala orang berikutisepasang kaki yang Kokoh kuat. Hebat sekali pertandingan ini. Terdengar suara bak-bik-buk ketika kepalan-kepalan itu mengenai sasaran, namun keduanya ternyata amat kuat tubuhnya, tidak roboh oleh pukulan, hanya terengah-engah dan mendesis-desis, memaki-maki.
Akhirnya, dengan sebuah tendangan yang tepat mengenai lambung lawan, disusul dua kali pukulan pada leher dan ulu hati, Tan Hok berhasil membuat lawannya roboh berdebuk seperti pohon tumbang. Tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali ke arah Tan Hok. Pemuda raksasa ini mengangkat tangan kanan menangkis datangnya pukulan yang amat kuat dan cepat, namun lebih cepat lagi pukulan itu ditarik kembali dan sebuah pukulan lain secara gelap telah menghantamnya dari samping, tepat mengenai rusuknya. Tan Hok mengeluh dan roboh tergelimpang, muntah-muntah darah! Beng San mendengar keluhan Tan Hok, cepat melompat mendekati. Kaget melihat temannya itu sudah roboh terlentang. Segera dia mengempit tubuh yang tinggi besar itu dengan tangan kirinya.
"Saudara-saudara, lari...!"
Serunya. Cepat dengan suara yang amat nyaring sehingga mengagetkan kedua fihak yang bertempur. Para anggauta Pek-Lian-Pai yang hanya tinggal beberapa orang dan mempertahankan diri dengan gigih dan nekat, melihat Tan Hok sudah roboh, menjadi kendor semangatnya.
Apalagi ketika mendengar seruan Beng San, mereka lalu mencari kesempatan untuk mundur. Beng San sendiri mengamuk. Dengan sebelah tangan menghadapi puluhan orang lawan, tangan kiri mengempit tubuh Tan Hok, dia menahan serbuan orang-orang itu yang hendak mengejar larinya sisa anggauta Pek-Lian-Pai. Tak lama kemudian setelah melihat bahwa di situ tidak ada lagi anggauta Pek-Lian-Pai, Beng San lalu meloncat ke belakang dan dengan beberapa loncatan lagi dia telah dapat meninggalkan semua pengeroyoknya. Cepat dia berlari ke dalam hutan, menyelinap di antara pohon-pohon besar dan gelap. Tiba-tiba dari balik pohon muncul bayangan orang yang bertubuh langsing. Tanpa berkata apa-apa orang itu melayangkan pukulan ke arah Beng San. Pukulan yang dilakukan perlahan saja, namun memiliki kecepatan dan kekuatan yang amat hebat.
Terkejut juga Beng San ketika merasa betapa angin pukulan ini tajam bagaikan mata pedang, maka maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh. Namun, dia merasa bukan waktunya untuk melakukan pertandingan. Luka Tan Hok harus diperiksa dan diobati, apalagi dengan mengempit tubuh Tan Hok, biarpun dia tidak takut menghadapi lawan itu, akan tetapi amat berbahaya bagi keselamatan Tan Hok sendiri. la mengerahkan tenaga di lengan kanan lalu menangkis pukulan itu. Penyerang itu mengeluarkan seruan kaget, juga Beng San karena pemuda ini merasa betapa lengannya bertemu dengan tenaga yang lunak halus dan mengandung hawa mujijat, membuat lengannya tergetar. Sementara itu, orang tadi sudah menyerang lagi dengan dua kali pukulan. Kembali Beng San menangkis,
Kini dia menggabung tenaga Im dan Yang di tubuhnya sehingga keadaan lengannya dijalari tenaga yang tiada bandingnya. Penyerangnya terpental ke belakang, mengeluarkan seruan tertahan lalu melesat pergi, lenyap ditelan kegelapan malam. Beng San tidak peduli, hanya sedetik dia mengenal potongan tubuh orang itu. Tak salah lagi, penyerangnya adalah orang yang dia lihat bayangannya malam tadi ketika dia mencari tempat persembunyian Tan Hok. Dan lengan itu begitu halus dan lunak. Hanya ada dua macam keterangan untuk ini, pertama, pemilik lengan itu seorang laki-laki yang sudah memiliki Lweekang yang amat tinggi, ke dua, pemilik lengan itu adalah seorang wanita! Menjelang fajar dia berhenti dan menurunkan tubuh Tan Hok diatas rumput. la memeriksa luka pada tulang rusuk setelah membuka baju pemuda raksasa itu. Beng San mengerutkan kening.
"Kejam..."
Katanya perlahan. Dua batang tulang rusuk patah dan kulitnya menghitam. la maklum bahwa hawa pukulan yang melukai Tan Hok mengandung tenaga Yang. Cepat dia menempelkan telapak tangan kirinya ke tulang rusuk yang sebelah lagi, mengerahkan tenaga Im di tubuhnya dan dengan cara menyalurkan hawa di dalam tubuh, dia mengobati luka Tan Hok. Tentu saja tidak dapat sekaligus sembuh, akan tetapi sejam kemudian dia merasa yakin bahwa Tan Hok tertolong nyawanya. Racun hawa pukulan telah dia basmi dengan tenaga Im tadi. Tan Hok mengeluh, membuka mata. Ketika melihat Beng San di sisinya, dia tersenyum!
"Kau hebat, Adik Beng San... sudah kuduga... kau lihai sekali..."
"Kau yang hebat, Twako. Dua tulang rusukmu patah, masih bisa tersenyum,"
Kata Beng San, benar-benar bangga dan kagum. Bangga karena Tan Hok adalah seorang yang sama nama keturunannya dengan dia. Bukankah dia, seingatnya, juga bernama keluarga Tan? Pantas saja dia dahulu begitu bertemu sudah merasa amat suka kepada Tan Hok dan sekarang dia merasa bangga mempunyai sahabat satu nama keturunan, yang demikian gagahnya. Sambil meringis menahan rasa nyeri Tan Hok menggerakkan tangannya merogoh saku, mengeluarkan dua lipat kertas.
"Inilah dua surat itu, satu untuk Ketua Hoa-San-Pai, satu untuk Ketua Kun-Lun-Pai. Lekas, adikku, pergilah kau ke Hoa-San, hadiri perayaan itu dan berikan ini kepada mereka. Jaga agar jangan sampai terjadi pertandingan hebat..."
"Tapi kau..., Twako...?"
"Aku tidak apa-apa, kurasa tidak terluka sebelah dalam. Tidak merasa apa-apa, hanya tulang rusuk, mudah... yang penting adalah kehadiranmu di sana dan surat-surat ini."
"Baiklah, Twako,"
Kata Beng San menerima surat-surat itu dan menyimpannya.
"Jaga baik-baik dirimu. Aku akan pergi ke Hoa-San, bukan sebagai seorang Pek-Lian-Pai, tapi..."
"Hal itu bukan soal yang penting asal kau bisa mencegah agar kedua Partai itu tidak saling bermusuhan, dapat insyaf dan kalau mungkin membantu perjuangan kita."
Setelah memesan banyak-banyak, ke dua orang sahabat itu berpisah. Tan Hok yang gagah perkasa itu biarpun menanggung nyeri hebat, masih dapat berjalan cepat untuk menjauhkan diri dari bahaya pengejaran pasukan Mongol.
Adapun Beng San juga cepat menuju ke Hoa-San. la ingin datang di Hoa-San sebelum perayaan hari ulang tahun diadakan. Terus terang saja dia ingin sekali bertemu dengan "Anak-anak"
Itu, terutama sekali si "Kuntilanak"! Baru kurang lebih dua li Beng San berjalan di tengah hutan, menikmati keindahan suara Burung-burung pagi yang mulai bernyanyinyanyi di antara daun-daun pohon, tiba-tiba dia berhenti, memandang tajam ke kiri. Serentak bermunculan lima orang dari balik batang pohon besar. Kiranya mereka adalah sisa-sisa anggauta Pek-Lian-Pai, nampak sedih dan lelah, dipimpin oleh "Pengemis"
Tua yang dahulu menyambut Beng San. Kakek pengemis ini pun terluka lengannya, berdarah dan dibalut. Begitu melihat Beng San mereka lalu maju mendekat.
"Di mana Tan-Hiante?"
Tanya pengemis tua itu, sekarang tidak berpura-pura lagi minta sedekah seperti dulu.
"Dia selamat, minta kutinggalkan di tengah hutan, kurang lebih dua li dari sini. Harap kalian lekas menyusulnya dan merawat lukanya. Dua buah tulang rusuknya patah-patah. Akan tetapi keselamatan nyawanya tidak terancam,"
Kata Beng San. Kakek itu mengangguk-angguk dan melihat Beng San dengan kagum.
"Kau masih muda, sudah begitu lihai. Pantas Tan-Hiante mempercayaimu. Kalau tidak ada kau, kiranya kami semua sudah tewas. Hanya kami berlima, berenam dengan Tan-Hiante yang masih hidup. Orang muda, tentu kau sudah menerima tugas dari Tan-Hiante pergi ke Hoa-San, bukan?"
Beng San mengangguk. Kakek itu memandangnya dari kepala sampai ke kaki penuh perhatian.
"Tak baik... pakaianmu itu. Seperti petani muda. Padahal setiap orang petani sekarang dicurigai. Kau bawa bekal uang?"
Beng San kali ini menggeleng kepala.
"Lebih tak baik lagi. Tanpa uang akan mudah dicap pemberontak. Orang muda yang gagah, kau terimalah beberapa stel pakaian ini dan sedikit uang untuk bekal. Tak boleh kau tolak karena kau juga telah membantu perjuangan kami."
Tak enak hati Beng San untuk menolak karena dia sudah dapat menyelami watak orang-orang ini. Ia menerima sebungkus besar pakaian dan sekantung uang perak, lalu menghaturkan terima kasih. Kemudian mereka berpisah. Setelah di situ sunyi, Beng San hendak mentaati pesan Kakek pengemis yang dia percaya sudah luas pengalamannya itu. Ia menanggalkan pakaiannya dan mengenakan satu stel pakaian pemberian mereka. Ternyata pas betul dan dia kini berubah sebagai seorang muda yang tampan dan pantas, mirip seorang pemuda terpelajar! Memandangi pakaiannya, Beng San merasa malu sendiri.
Baru bisa berpakaian pantas kalau sudah diberi orang lain, pikirnya. Pemuda macam apa aku ini! Betapapun juga, dengan pakaian bersih menutupi tubuhnya, bahkan masih ada beberapa stel lagi digendong di punggungnya, mengantongi bekal yang lumayan, dia merasa lebih lega. Semua ini akan melancarkan perjalananku, pikirnya. Dengan hati ringan dia lalu menyusuri tepi Sungai Yang-Ce menuju ke Hoa-San. Jalan yang dilaluinya makin sunyi. Bukan merupakan jalan umum lagi. Jalan setapak yang liar dan makin jauh ke Utara, makin sunyi dan dia harus membuka jalan di antara tetumbuhan liar pinggir sungai. la harus menyeberang dan alangkah sukarnya menyeberangi sungai yang luar biasa lebarnya ini tanpa perahu. Tak mungkin itu. la berhenti di pinggir sungai, memandang kesana ke mari, mengharapkan adanya perahu agar dapat menyeberangkannya ke depan.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bernyanyi. Suara wanita, tak salah lagi, merdu dan nyaring. Makin lama suara itu makin jelas terdengar, Beng San berdiri terkesima ketika dia melihat seorang gadis berpakaian serba hijau mendayung perahu kecil di tengah sungai Mendayung perlahan tapi sengaja menimpakan. dayung ke air sehingga menimbulkan suara yang berirama, yang mengikuti irama lagunya. Merdu dan indah sekali bunyi dayung menimpa air memercik ke atas ini mengikuti suara nyanyiannya, indah dan aneh. Mulut yang kecil mungil dain berbibir merah itu bergerak-gerak menyanyi. Wajahnya manis sekali, dengan sepasang mata yang lebar dan hidung kecil mancung, sepasang pipi kemerahan dan rambut yang dibiarkan terurai kacau ke kanan kiri itu menambah kemanisannya.
"Malam purnama sudah lalu,
Bunga seruni sudah rontok,
aku yang merana seorang diri
kenapa belum mendapatkan yang kucari?"
Hanya demikian kata-kata yang dinyanyikan, diulang-ulang lagi, tapi tidak membosankan. Beng San yang mendengarkan dengan teliti dapat menangkap hal-hal yang mengharukan hatinya. Di dalam nyanyian itu dia dapat membayangkan perasaan yang penuh harapan, penuh kemarahan, penuh sesal, penuh semangat dan juga penuh rahasia. Agaknya sudah lama nona itu mencari sesuatu. Apakah sesuatu itu? Orangkah? Bendakah? Dia sudah mulai merasa habis sabar dan jengkel, juga berduka. Namun, masih sangat mengharapkan untuk dapat menemukan yang ia cari-cari. Siapakah nona itu? Demikianlah Beng San berpikir Siapapun juga dia, bukankah dia memiliki perahu yang akan dapat menolongku menyeberang? Boleh kucoba.
"Eh, Nona yang berperahu..."
La memanggil. Kalau saja Beng San menjadi dewasa di kota, tentu dia sekali-kali tidak berani memanggil seorang gadis yang berperahu seorang diri seperti ini. la tidak pernah bergaul dengan wanita, tidak mengerti pula akan tata cara kesopanan Kota maka sikapnya terbuka dan jujur, sama sekali tidak mengerti bahwa sikap ini bisa dianggap kurang ajar atau ceriwis. Nona berbaju hijau itu kaget mendengar teguran Beng San dan cepat menengok. Sepasang mata yang bersorot tajam dan galak menatap wajah Beng San yang memaksa diri tersenyum, biarpun hanya merasa tidak enak karena sikap nona itu seakan-akan hendak marah. la mengulangi kata-katanya.
"Nona berperahu yang baik hati. Tolonglah aku seorang pelancong menyeberang ke sana dengan perahu,"
La mengatur kata-katanya supaya terdengar halus. Sejenak nona baju hijau itu tidak menjawab, hanya sepasang matanya menatap tajam tak pernah berkedip sehingga Beng San merasa tidak makin tidak enak hatinya.
"Kuharap saja aku tidak terlalu mengganggumu dengan permintaan tolong ini,"
Katanya lagi.
"Mengganggu katamu?"
Bibir merah itu cemberut tapi tambah manisnya.
"Kau laki-laki ceriwis! Laki-laki lancang mulut!"
Beng San menengok ke kanan kiri, mengira bahwa ada orang laki-laki lain yang bersikap kurang ajar berdiri di situ dan dimaki oleh nona baju hijau ini. Tapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berada di situ hanya dia seorang bersama bayangannya, dia mulai percaya bahwa dialah yang dimaki.
"Ceriwis? Apa ceriwis itu? Bermulut lancang? Aku...?"
La bertanya penuh keheranan.
"Ya, kau kurang ajar dan bermulut lancang! Berani memanggil-manggil seorang wanita yang tak kau kenal!"
Beng San melengak, makin terheran. la memang ahli fiisafat, maka mendengar ucapan yang menyerangnya ini segera dia tangkis dengan kata-kata filsafat yang sifatnya berkelakar,
"Kalau orang yang saling tak mengenal semua berdiam diri tak berani memanggil, alangkah akan sunyinya dunia ini! Kalau tadinya tidak mengenal, setelah dipanggil bukankah jadi kenal?"
"Kurang ajar kau."
Gadis baju hijau itu makin marah.
"Kenapa kurang ajar? Aku minta tolong supaya diseberangkan ke sana. Aku butuh menyeberang, kau memiliki perahu, bukankah itu sudah cocok?"
"Kau kira aku ini gadis tukang menyeberangkan orang? Kau kira aku mencari nafkah dengan menyeberangkan segala orang?"
"Pakai biaya pun aku sanggup bayar, aku punya uang,"
Jawab Beng San sejujurnya dan salah mengartikan kata-kata orang. Sepasang mata itu berkilat-kilat, bibir yang tadinya cemberut agak tersenyum, seakan-akan ia mulai mengerti bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang tolol. Atau setidaknya, wajah yang tampan itu dan bentuk tubuh yang tegap, menimbulkan simpatinya.
"Kau bawa uang banyak?"
"Banyak sih tidak, kiranya kalau hanya seratus tail perak ada."
Dara baju hijau itu mengeluarkan suara mendengus seperti mengejek, lalu dengan dua kali mendayung saja perahunya meluncur seperti anak panah ke pinggir! Beng San diam-diam kaget sekali. Itulah gerakan tangan yang amat kuatnya, gerakan seorang ahli ilmu silat tinggi. Apalagi setelah dia melihat sebatang pedang dengan gagang dan sarungnya yang terukir indah menggeletak di perahu, tahulah dia bahwa dara baju hijau itu bukanlah orang sembarangan.
"Kau mau menyeberang? Nah, kau loncatlah ke perahu!"
Jarak antara perahu itu dengan tanah yang diinjak Beng San masih ada satu meter jauhnya, sedangkan tempat itu agak tinggi, ada dua meter. Beng San hendak menyembunyikan kepandaiannya, maka dia berpura-pura tidak berani dan berkata.
Dewi Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo