Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 18


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



Liem Sian Hwa sudah marah sekali, akan tetapi Kwa Tin Siong memberi tanda dengan kedipan mata, lalu berkata lagi,

   "Orang muda she Giam, siapakah nama Gurumu yang mulia?"

   "Ha-ha-ha, orang-orang Hoa-San-Pai, kalian bermata tajam. Memang Guruku orang mulia, kecil-kecil dia masih Raja di Utara... ha-ha-ha..."

   Kalau Liem Sian Hwa menjadi makin mendongkol, adalah Kwa Tin Siong yang menjadi kaget betul. Cepat dia menjura, memberi hormat sambil berkata,

   "Apakah yang dijuluki orang Siauw-Ong-Kwi...?"

   Giam Kin tersenyum lagi sambil memutar-mutar biji matanya.

   "Kau juga berani menyebut Suhuku Setan Kecil? Awas kau, Hoa-San It-Kiam, kalau Guruku mendengar kau tak akan berkepala lagi!"

   Kwa Tin Siong tersenyum masam.

   "Kurasa Siauw-Ong-Kwi Locianpwe tak akan berpemandangan sesingkat kau, orang muda. Kau datang terlampau pagi, perayaan akan diadakan sepekan lagi. Harap kau datang pada waktunya dan sementara itu harap jangan main-main dan bikin takut kepada anak-anak murid Hoa-San-Pai. Bukankah kau datang dengan maksud baik?"

   "Baik sekali, tentu, maksudku baik sekali. Sayang terlampau pagi, biarlah sepekan kemudian aku datang lagi. Sampai berjumpa kembali, nona manis."

   Giam Kin lalu membalikkan tubuhnya, meniup sulingnya secara aneh. Tiba-tiba Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa, dan Thio Bwee membelalakkan mata saking kagetnya ketika dari mana-mana datang Ular-Ular besar kecil mengikuti di belakang pemuda aneh itu. Makin lama makin banyak sehingga Giam Kin diikuti puluhan ekor Ular seperti bebek-bebek mengikut penggembalanya!

   "Hebat... berbahaya sekali dia..."

   Terpaksa Sian Hwa mengakui. Kwa Tin Siong menarik napas panjang.

   "Sudah lama aku mendengar nama Gurunya, Siauw-Ong-Kwi. Baru muridnya saja sudah demikian lihai, apalagi Gurunya. Apa sih kehendak Setan Raja Kecil dari Utara itu dengan mengirim muridnya ke sini?"

   Kemudian dia menoleh kepada Thio Bwee yang berdiri dengan muka pucat.

   "Bwee-ji, kau seorang diri di sini sedang mengerjakan apa? Bagaimana bisa bertempur dengan dia?"

   Di dalam suara Kwa Tin Siong terkandung kasih sayang dan perhatian, biarpun terdengarnya keren dan galak.

   "Aku... aku sedang berlatih, Supek. Dia datang dan bicaranya kurang ajar, ingin belajar kenal. Aku... aku lalu menyerangnya."

   Hemmm, pikir Beng San yang mendengar jawaban ini. Urusan asmara memang runyam! Sampai-sampai Thio Bwee berani membohong kepada Supeknya. Setelah berpikir demikian tubuhnya melesat pergi mengejar Giam Kin yang sudah tidak kelihatan lagi, hanya suara sulingnya yang aneh itu masih terdengar sayup sampai.

   Giam Kin berjalan seenaknya sambil meniup suling. Hatinya senang. la telah melihat Kwa Hong dan Thio Bwee. Cantik-cantik dan manis-manis cucu murid Hoa-San-Pai, pikirnya. Apalagi Kwa Hong! Tidak rugi aku mewakili Suhu ke Hoa-San. Seorang di antara mereka harus kudapatkan. Tiba-tiba pemuda ini menunda sulingnya, lalu menari-nari dan berloncat-loncatan di antara Ular-Ular yang kini menjadi bingung dan lari ke sana ke mari. Anehnya, Ular-Ular itu yang terinjak-injak, bahkan ada yang terinjak sampai mati sekalipun, tidak ada yang berani menggigit Giam Kin. Seperti orang gila pemuda tampan bermuka pucat ini nenari-nari dan tertawa-tawa, pasti akan menimbulkan serem dan ngeri pada yang melihatnya. Siapa tak akan merasa serem melihat seorang pemuda yang mukanya pucat seperti muka mayat itu menan-nari di antara Ular-Ular yang buas dan tertawa-tawa seperti setan?

   "Giam Kin, kau benar-benar sudah gila!"

   Terdengar suara teguran, suara yang besar dan bergema di seluruh tempat itu. Giam Kin terkejut, menghentikan tariannya dan menengok ke arah suara. Matanya terbelalak kaget dan mulutnya ternganga ketika dia melihat seorang laki-laki berdiri tak jauh dari situ dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bertolak pinggang, Yang membuat dia kaget setengah mati adalah muka orang itu, muka yang hitam seperti pantat kwali, tidak kelihatan apa-apanya kecuali sepasang matanya yang tajam seperti mata iblis!

   "Ssseeeee... tan"

   Kau, setan..."

   Giam Kin tergagap. Laki-laki itu tertawa.

   "Kau dan perkatanmu yang patut disebut setan!"

   Dalam kaget dan gugupnya, Giam Kin lalu meniup sulingnya. Ular-Ular yang tadinya kacau-balau, mendadak menjadi marah dan menyerbu ke arah laki-laki bermuka hitam itu. Ular besar kecil, sebagian besar Ular-Ular berbisa yang amat berbahaya, mendesis-desis dan berlenggak-lenggok menyerbu. Laki-laki muka hitam itu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke depan dan... seperti daun-daun kering disapu Ular-Ular itu bergulung-gulung menjadi satu dan terlempar ke belakang, seekor pun tidak ada yang dapat mendekatinya! Giam Kin mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya melayang ke depan, sekaligus pemuda murid Siauw-Ong-Kwi ini mengirim serangan maut dengan suling Ularnya, berturut-turut menikam leher dan menotok ulu hati.

   "Heh-heh-heh, bocah nakal dan gila, jangan kau berani lagi mengacau disini."

   Orang itu berkata perlahan, dengan sekali tangkis saja dia membuat suling itu menyeleweng dan tubuh Giam Kin terhuyung-huyung. Sebelum Giam sempat mempertahankan diri, tangan kira orang itu melayang dan,

   "Plak"

   Pipi kanan Giam Kin sudah dltamparnya. Giam Kin menjerit, merasa pipinya seperti terbakar dan pada pipi itu tampak jelas membayang bekas jari tangan menghitam! Sambil memaki-maki dan menjerit-jerit Giam Kin lalu meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi, diikuti suara ketawa orang bermuka hitam yang menyeramkan tadi.

   Setelah Giam Kin pergi jauh, muka yang tadinya hitam seperti pantat kwali itu perlahan-lahan berubah menjadi putih dan biasa kembali. Beng San tersenyum seorang diri. la tadi memang sengaja menggunakan hawa dalam tubuhnya yang mengandung Yangkang untuk mendatangkan warna hitam pada mukanya agar tidak dikenal oleh Giam Kin dan sengaja dia menakut-nakuti pemuda edan itu agar tidak berani lagi mengganggu Thio Bwee. Setelah melihat Giam Kin pergi, diapun meloncat dan tubuhnya melesat ke arah puncak Hoa-San. Di lain bagian dari puncak itu, dua orang pemuda saling berhadapan dengan muka merah. Mereka ini adalah Thio Ki dan Kui Lok. Thio Ki yang memiliki watak keras hati itu setelah pertemuannya dengan Kwa Hong di dalam taman, langsung mengejar dan mencari Kui Lok. Dua orang jago muda Hoa-San-Pai ini sekarang berhadapan muka di tempat sunyi, sikap mereka mengancam.

   "Thio-Heng (Kakak Thio), apakah keperluanmu mencari aku ke sini hanya untuk menegur yang bukan-bukan itu?"

   Kui Lok bertanya dengan nada suara penuh ejekan.

   "Sudah tentu!"

   Jawab Thio Ki marah.

   "Kui-Te (adik Kui), kita masih terhitung saudara seperguruan dan karena aku lebih tua, maka sudah sepatutnya kalau aku yang memberi peringatan apabila kau menyeleweng daripada kebenaran! Sungguh tak patut apabila kau mencoba untuk membujuk dan menggoda hati Hong-moi, tak pantas sekali hal ini dilakukan oleh seorang murid Hoa-San-Pai!"

   Kui Lok tersenyum mengejek, sengaja tertawa masam.

   "Heh-heh-heh, bagus sekali ucapanmu, Suheng. Di dunia ini, mana ada orang berhak melarangku bersikap manis kepada Hong-moi? Ha-ha-ha, kau sendiri pun selalu bermuka-muka dan bersikap manis bukan main terhadap Kwa Hong. Mengapa aku tidak boleh?"

   Kui Lok menantang.

   "Aku lain?"

   Bentak Thio Ki.

   "Aku cinta kepadanya dan... dan... Kwa Supek agaknya setuju kalau aku berjodoh dengan Hong-moi"

   Kui Lok tertawa mengejek.

   "Apa hanya engkau seorang di dunia ini yang boleh mencinta? Tentang persetujuan Kwa-Supek, hemmm... kita lihat dulu nanti, Suheng. Kurasa Hong-moi sendiri belum tentu setuju, dan kau belum bertunangan secara resmi."

   Thio Ki yang berwatak keras itu tak dapat lagi mengendalikan kemarahan hatinya yang dibangkitkan oleh rasa cemburu,

   "Kui Lok! Pendeknya mulai sekarang aku melarang kau mengaku mencinta Hong-moi, kularang kau bersikap terlalu manis!"

   Kui Lok adalah seorang anak yang biasanya nakal dan gembira. Akan tetapi dalam persoalan ini dia pun tidak mau mengalah dan sudah menjadi marah.

   "Thio-Heng, kau keterlaluan sekali. Ada hak apakah kau melarang aku? Kau adalah Suheng dari Hong-moi, aku pun demikian. Harapan kita masih setengah-setengah. Marilah kita berlumba secara jujur, siapa yang akhirnya bisa menjatuhkan hati Hong-moi, dialah yang beruntung. Kenapa kau bersikap begini kasar dan hendak main menang sendiri?"

   "Cukup! Di sana ada Bwee-moi yang mengharapkanmu, kau malah mengganggu orang yang menjadi cahaya harapanku. Pendeknya, aku melarang kau mendekati Kwa Hong"

   "Eh-eh-eh, enaknya bicara! Kalau aku tetap mendekatinya, kau mau apa?"

   Thio Ki mencabut pedangnya.

   "Terpaksa aku melupakan persaudaraan!"

   "Bagus! Orang she Thio, kau kira aku takut padamu?"

   Kui Lok juga sudah mencabut pedang dengan tangan kirinya. Dua orang muda ifu sudah saling berhadapan dengan pedang terhunus, siap untuk saling serbu, saling tikam dan saling bunuh. Beginilah orang-orang muda kalau sudah dimabuk cinta. Lupa persaudaraan, lupa kewaspadaan dan tak tahu malu. Ya, tak tahu malu. Bukankah terang-terangan Kwa Hong menyatakan bahwa gadis ini tidak memilih seorang di antara mereka? Namun, tetap saja mereka memperebutkannya dengan persiapan mengorbankan nyawa.

   "Bagus... bagus... Saudara Thio Ki dan Kui Lok, lekaslah kalian bertari pedang biarkan aku menontonnya, tentu indah dilihat"

   Beng San muncul dari balik sebatang pohon sambil bertepuk tangan dan tertawa-tawa. Kui Lok dan Thio Ki yang tadinya sudah tegang dan siap untuk saling serang, menjadi kaget dan menengok. Mereka melihat seorang pemuda tampan berpakaian Sutera biru seperti seorang pemuda pelajar. Tentu saja mereka tidak mengenal Beng San yang dulu mereka kenal sebagai seorang anak yang berpakaian seperti jembel. Namun karena mereka ini memang jago-jago muda Hoa-San-Pai yang berwatak angkuh dan merasa diri sendiri paling gagah dan paling lihai, mereka segera merasa tak senang dengan datangnya seorang asing ini.

   "Kau siapa? Mau apa lancang masuk ke sini?"

   Tanya Thio Ki mengerutkan keningnya. juga Kui Lok memandang tajam dengan mata dipelototkan untuk memperlihatkan ketidaksenangan hatinya. Beng San tertawa, wajahnya berseri-seri.

   "Saudara-saudara Thio dan Kui agaknya sudah lupa lagi kepadaku. Padahal belum ada sepuluh tahun kita berpisah. Aku Beng San."

   Thio Ki dan Kui Lok saling pandang, untuk detik itu lenyap permusuhan di antara mereka. Terang bahwa mereka heran melihat Beng San yang sekarang sudah berubah menjadi seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan.

   "Uuuhhhhh... Beng San...?"

   Thio Ki berkata dengan suara menghina.

   "Hemmm, kau di sini? Mau apa kau ke sini? Kau mengintai kami, ya?"

   Kata Kui Lok, mengancam.

   "Ah, tidak. Aku datang dan melihat kalian hendak bermain pedang, sungguh aku ingin melihatnya. Dahulu pun kalian amat pandai, apalagi sekarang, tentu indah permainan pedang kalian."

   Kembali Kui Lok dan Thio Ki saling pandang dan keduanya menjadi curiga. Tentu Beng San sudah mendengar pertengkaran mereka tadi!

   "Kau tadi sudah lama mengintai kami? Mendengar apa yang kami bicakan?"

   Thio Ki menuntut. Beng San tersenyum.

   "Tidak tahu, agaknya kalian bicara tentang angin atau Burung."

   La sengaja mengatakan demikian tanpa menyinggung nama Kwa Hong, sedangkan kata-kata Hong dapat diartikan angin atau juga nama Burung hong! Thio Ki yang keras hati itu timbul keangkuhannya.

   "Beng San, kau kurang ajar sekali. Orang macam kau ini mengapa berani muncul di sini tanpa ijin? Kau patut dipukul."

   "Benar, Suheng. Kita pukul saja jembel ini biar minggat dari sini!"

   Kata Kui lok yang teringat betapa dahulu bersama Thio Ki dia pernah memukuli Beng San. Dua orang pemuda itu melangkah maju dan tangan mereka melayang untuk menampar pipi dan memukul pundak. Betapapun juga, sebagai jago-jago muda dari Hoa-San mereka tidak sudi membunuh orang yang lemah, hanya memukul untuk memberi hajaran saja dan untuk mengusir Beng San.

   "Eh, eh, eh... kenapa main pukul? Aku tidak bersalah apa-apa..."

   Beng San terhuyung-huyung ke belakang setelah terkena gamparan dan pukulan. Tentu saja serangan-serangan yang dilakukan tidak untuk membunuhnya ini sama sekali tidak dia rasakan, akan tetapi dia pura-pura kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang. Thio Ki dan Kui Lok tidak peduli, mendesak terus hendak memukuli Beng San sampai pemuda itu melarikan diri. Beng San pura-pura mengangkat kedua tangan melindungi kepala dan mukanya sambil berteriak-teriak,

   "Jangan pukul... jangan pukul!"

   "Ki-Ko dan Lok-Ko, siapa yang kalian pukuli itu?"

   Tiba-tiba Kwa Hong sudah berdiri di situ. Wajah dara ini agak pucat, apalagi ketika ia melihat bahwa di tangan Thio Ki dan Kui Lok masih memegang pedang terhunus. Memang ketika memukuli Beng San, Kui Lok masih memegang pedang dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanan Thio Ki juga masih memegang pedang. Kedatangan Kwa Hong itu sebetulnya karena ia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau dua orang pemuda itu mengadu nyawa, maka melihat mereka memegang pedang, ia menjadi khawatir sekali. Hanya ia merasa terheran-heran mengapa dua orang pemuda itu malah memukuli seorang pemuda yang kelihatan lemah dan tidak pandai ilmu silat. Thio Ki dan Kui Lok dengan muka merah karena jengah lalu meloncat mundur.

   Setelah dua orang pemuda yang keranjingan itu mundur, baru Beng San berani menurunkan kedua tangan dari mukanya. la memandang Kwa Hong, sebaliknya gadis itu memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, dari fihak Beng San penuh kekaguman. Sekarang dia dapat melihat jelas keadaan Kwa Hong. Benar-benar melebihi yang sering kali dia bayangkan. Cantik molek dan gagah perkasa. Sepasang mata yang melebihi beningnya daripada mata ikan emas, rambut yang hitam mengkilap, alis yang panjang kecil dan hitam sekali di atas kulit muka yang putih kemerahan, hidung yang kecil, mulut yang manis, ah... bukan main, sekarang Kwa Hong si Kuntilanak itu telah berubah menjadi seorang dara yang jelita. Di fihak Kwa Hong, sinar mata gadis ini perlahan-lahan berseri-seri, mulutnya tersenyum lucu ketika ia mengenal Beng San, lalu terbukalah bibirnya berkata setengah tertawa.

   "Kau... kau... eh, si Bunglon...!"

   Beng San cemberut.

   "Benar,"

   Katanya dingin.

   "Dan kau si Kuntilanak masih tetap galak..."

   Thio Ki dan Kui Lok melangkah maju, hendak memukul lagi. Akan tetapi Kwa Hong yang sudah maklum akan maksud mereka, segera mendahului.

   "Aha, Beng San. Benar-benar kaukah ini? Eh, Ki-Ko dan Lok-Ko, apakah kalian lupa? Dia ini Beng San. Hi-hi-hi, benar Beng San...!"

   Serta-merta Kwa Hong melangkah maju dan memegang tangan Beng San, mengamat-amati wajah pemuda itu yang seketika menjadi agak kemerahan.

   "Hi-hi-hi, kau Beng San yang bisa berubah-ubah mukamu. Benar, kau sudah menjadi... orang sekarang. Ah, hampir aku pangling kalau tidak melihat matamu. Kau dari mana? Hendak ke mana? Ada keperluan apa datang ke sini?"

   Bingung juga Beng San dihujani petanyaan dari mulut yang manis itu.

   "Aku... aku sengaja datang, mendengar bahwa Hoa-San-Pai hendak mengadakan perayaan seratus tahun. Aku datang sampai ke sini, melihat dua saudara Thio dan Kui bertari pedang. Mereka agaknya tidak mengenalku, dan menyangka aku orang jahat maka aku hendak dipukuli. Baiknya kau keburu datang... eh, Nona Hong..."

   Kwa Hong tertawa. Lega bahwa dua orang Suhengnya itu tidak jadi mengadu nyawa. la seorang yang cerdik sekali. Tentu dua orang itu tadinya memang sudah hendak bertempur, buktinya sudah mencabut pedang. Kalau hanya menghadapi seorang lemah seperti Beng San, tak mungkin dua jago muda itu menghunus pedang. Tentu selagi mereka hendak bertempur, tiba-tiba datang Beng San, membuat mereka marah dan memukulinya.

   "Bagus sekali kau datang, Beng San. Apa kau sudah bertemu dengan Ayah? Dengan Sukong? Mereka tentu terheran-heran melihat kau datang. Baik sekali kau mau datang, jadi tidak melupakan hubungan lama."

   Dengan ramah-tamah Kwa Hong bicara dan dua orang Kakak seperguruannya memandang dengan hati penuh cemburu dan iri hati. Tak pernah Kwa Hong memperlihatkan sikap demikian manis terhadap mereka.

   "Ki-Ko dan Lok-Ko, masa kalian tidak mengenalnya. Lihat itu sepasang matanya, mana ada orang lain bermata seperti dia? Semestinya kalian mengenalnya dan tidak memukulinya. Dia jauh-jauh sudah datang untuk menghadiri perayaan, menjadi seorang tamu, masa harus dipukuli? Kalian benar-benar sembrono sekali, kalau terdengar Ayah atau Sukong bukankah mendapat marah?"

   Tiba-tiba ia berhenti bicara karena mendengar suara kaki mendatangi, dan tak lama kemudian muncullah Thio Bwee, Kwa Tin Siong, dan Liem Sian Hwa. Mereka bertiga ini baru saja kembali dari tempat di mana mereka bertemu dengan Giam Kin. Karena baru saja ada seorang pemuda membuat onar, kini melihat bahwa tiga orang anak murid Hoa-San-Pai berdiri berhadapan dengan seorang pemuda asing lagi, segera Kwa Tin Siong menjadi curiga dan cepat menghampiri sambil memandang tajam.

   "Siapakah saudara muda yang asing ini?"

   Tanyanya. Kwa Hong lari menghampiri Ayahnya memegang tangan Ayahnya dengan sikap manja.

   "Ki-Ko dan Lok-Ko, jangan beri tahu Ayah dulu! Ayah, coba lihat baik-baik, dan Bibi juga. Kau pun lihatlah baik-baik Enci Bwee, perhatikan dia dan coba katakan, siapa dia ini?"

   Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa memandang penuh perhatian, akan tetapi dua orang dari Hoa-San Sie-Eng ini tidak dapat mengenal pemuda tampan berbadan tegap yang berpakaian seperti seorang pelajar itu. Terlalu banyak persoalan dan urusan yang meruwetkan pikiran membuat mereka sama sekali tidak dapat ingat lagi kepada Beng San. Akan tetapi tidak demikian dengan Thio Bwee. Seperti juga Kwa Hong, gadis ini pernah ditolong oleh Beng San, biarpun ia tak pernah mengenangkan Beng San, namun kiranya wajah pemuda ini tak dapat ia lupakan begitu saja.

   "Bukankah kau... saudara Beng San?"

   Tanyanya penuh ragu karena biarpun ia masih mengenal pemuda yang bermata tajam aneh ini, namun ia tetap ragu-ragu melihat pemuda ini seperti seorang terpelajar. la tidak ingat bahwa Beng San yang dulu, yang berpakaian buruk itu, memang semenjak kecil adalah seorang yang pandai baca tulis, jauh lebih pandai daripada dia sendiri mau pun para murid Hoa-San-Pai yang lain. Karena itulah Sukongnya, Lian Bu Tojin, sayang kepada Beng San dan dijadikan kacungnya dan diberi pelajaran tentang kebatinan To. Kwa Hong tertawa.

   "Enci Bwee masih ingat."

   La memuji dan Beng San juga tersenyum sambil menjura kepada Thio Bwee sebagai penghormatan.

   "Ah, benar... kau Beng San...!"

   Kwa Tin Siong juga teringat sekarang setelah mendengar kata-kata Thio Bwee, juga Liem Sian Hwa teringat dan memandang kagum ketika Beng San menjura untuk memberi hormat kepada mereka. Kwa Tin Siong teringat akan peristiwa dahulu, ketika kedua orang saudara Bun dari Kun-Lun-Pai tewas di Hoa-San-Pai dan bagaimana sikap Beng San yang membela fihak Kun-Lun. Biarpun ucapan bocah ini dahulu ternyata cocok dengan keadaannya, yakni bahwa Ngo-Lian-Kauw yang melakukan fitnah sehingga dua Partai besar itu bermusuhan, namun sikap bocah ini dahulu sudah mencurigakan. Mengapa membela Kun-Lun-Pai sedangkan bocah itu mondok di Hoa-San?

   "Beng San, kau dulu yang sudah meninggalkan kami, sekarang kau datang ke sini dengan maksud apakah?"

   Tanya Kwa Tin Siong, suaranya membayangkan kecurigaan. Kwa Hong memandang Ayahnya dengan kening berkerut dan ia menoleh ke arah Beng San, pandang matanya penuh kekhawatiran. Akan tetapi pemuda itu tersenyum kepadanya penuh arti, minta supaya dara itu jangan khawatir. Kemudian dia menjura kepada Kwa Tin Siong dan berkata.

   "Kwa-Enghiong, mohon maaf sebanyaknya kalau kedatangan saya ini merupakan gangguan terhadap Lo-Enghiong sekalian. Sesungguhnya kedatangan saya ke Hoa-San ini mempunyai dua maksud. Pertama, karena saya merasa rindu kepada Lian Bu Totiang dan Lo-Enghiong sekalian, kedua kalinya, karena dalam perjalanan saya mendengar bahwa sebentar lagi Hoa-San-Pai hendak merayakan ulang tahun, maka saya sengaja datang hendak memberi selamat dan menonton keramaian. Betapapun juga, saya masih belum lupa akan kebaikan budi Lian Bu Totiang sekalian yang dulu sudah sudi menerima saya menjadi kacung di sini."

   Ucapan ini terang sekali amat merendahkan diri, dua orang pemuda Hoa-San-Pai mendengarkan sambil bersikap angkuh. Hanya bekas kacung, perlu apa diladeni? Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa mendengarkan dengan hati senang menyaksikan sikap yang amat sopan santun dari Beng San, sedangkan Thio Bwee dan Kwa Hong memandang dengan mata berseri.

   Dua orang dara ini mana bisa melupakan ketika Beng San memanggul mereka seorang satu di kedua pundak ketika menyeberangi rawa-rawa? Dan sekarang Beng San telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan tegap, bahkan bagi Kwa Hong, di dalam lubuk hati kecilnya ia mengakui bahwa dibandingkan dengan dua orang Suhengnya, dalam hal ketampanan Beng San jauh lebih menang! Di dalam pergaulannya dahulu dengan Beng San, ia memandang Beng San sebagai seorang anak perempuan nakal memandang seorang bocah laki-laki yang dianggapnya nakal pula. Akan tetapi sekarang, pandang matanya adalah pandang mata seorang dara remaja terhadap seorang jejaka. Tentu jauh berbeda.

   "Bagus kalau kau masih ingat kepada kami, Beng San. Tapi kedatanganmu agak terlampau pagi. Perayaan baru diadakan sepekan kemudian. Biarlah sementara itu kau berada di sini. Mari kubawa kau pergi menghadap Suhu."

   Beramai-ramai mereka semua kembali ke puncak. Hanya Thio Ki dan Kui Lok yang merasa tidak puas. Pertama karena urusan di antara mereka belum juga diselesaikan, kedua kalinya mereka merasa iri hati dan cemburu menyaksikan Beng San anak jembel itu sebagai tamu, apa-lagi melihat sikap Kwa Hong yang tersenyum-senyum dan manis terhadap Beng San. Beng San dengan hati terharu melihat bahwa Lian Bu Tojin, Kakek tua Ketua Hoa-San-Pai yang baik hati itu sekarang kelihatan amat tua, mukanya berkerut-kerut tanda bahwa di hari tuanya Kakek ini menderita tekanan batin yang hebat. Beng San dapat menduga bahwa yang menyebabkan ini semua tentulah pertentangan dengan Kun-Lun-Pai itu. la cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat.

   "Totiang yang mulia, Teecu Beng San datang menghadap dan memberi hormat, semoga Totiang selalu bahagia dan panjang usia."

   Lian Bu Tojin, Ketua Hoa-San-Pai, kelihatan lebih tinggi dan lebih kurus daripada delapan tahun yang lalu, tongkat bambu yang butut selalu masih dipegangnya dan tangan kirinya mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan yang sekarang sudah hampir putih semua. la mengangguk-angguk dan tersenyum tenang.

   "Ah, Beng San, kau mengingatkan Pinto akan kejadian dahulu."

   La menarik napas panjang.

   "Ternyata kau lebih waspada daripada pinto. Kalau saja Pinto dahulu mendengarkan omonganmu ketika kau masih kecil... ah, kau benar, memang Hoa-San-Pai telah menjadi kotor, menanam permusuhan. Baiknya kau pergi dari sini, kalau tidak, kiranya kau pun akan terseret."

   Tosu itu menarik napas berulang-ulang dan nampaknya berduka. Beng San merasa kasihan sekali.

   "Totiang, tidak baik dalam usia tua bersedih! Teecu teringat akan ujar-ujar dalam To-Tek-Keng yang berbunyi:

   "Aku menderita karena mempunyai diri, Andaikan tak mempunyai diri, penderitaan apa dapat kualami?"

   Tosu tua itu tertawa.

   "Bagus! Kalimat dalam ujar-ujar nomor tiga belas! Memang demikianlah, Beng San. Malapetaka menimpa manusia hanya semata-mata karena manusia selalu mementingkan diri sendiri. Karena manusia mementingkan diri pribadi maka selalu hendak menang, selalu hendak senang sendiri, enak sendiri tanpa mempedulikan keadaan lain orang. Ingatkah kau akan beberapa kalimat dalam ujar-ujar nomor dua puluh tiga?"

   Beng San berpikir dan menghubungkan kalimat-kalimat dalam ujar-ujar yang sudah dihafalnya baik-baik itu dengan keadaan yang dihadapi oleh Tosu in. la lalu menjawab,

   "Apakah yang Totiang maksudkan itu kalimat yang berbunyi:

   Angin keras tak akan berlangsung sepenuh pagi,

   
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
hujan lebat tak akan berlangsung sepenuh hari.

   Siapakah penyebab ini selain edar pada langit dan bumi?

   Kalau langit dan bumi pun tidak dapat berbuat tanpa henti,

   apalagi seorang manusia?"

   "Ha-ha-ha, bagus sekali, Beng San Ah, memang kau lebih benar. Seribu kali lebih baik mempelajari filsafat dan mengerti, sadar, dan menuruti inti sarinya disesuaikan dalam hidup, daripada mempelajari segala macam ilmu kasar seperti ilmu silat yang hanya mendatangkan malapetaka dan permusuhan belaka..."

   Kembali dia menarik napas panjang. Kemudian wajahnya berseri lagi ketika dia bertanya.

   "Bagaimana, anak yang baik, bagaimana kabarnya dengan Lo-Tong Souw Lee? Apakah jago tua yang sakti itu pun masih kuat menentang kehendak alam?"

   "Tidak ada kekekalan di dunia ini, Totiang. Lo-Tong Souw Lee sudah kembali ke tempat asalnya, beberapa bulan yang lalu."

   "Aaahhh, ke sanalah jua tujuan akhir dari hidup. Siapa kuat melawannya? Baik dia Raja maupun jembel, semua akan berakhir sama. Bertentangan? Pertempuran mati-matian? Yang kalah akan mati, apakah kiranya yang menang akhirnya tak akan mati juga? Menang kalah hanyalah soal sementara, kalau sudah seperti Lo-Tong Souw Lee, mana letak kemenangan dan kekalahan? Aaahhh, kalau manusia ingat akan hal ini..."

   Beng San merasa betapa kata-kata Ini amat mendalam artinya dan dia yang sejak kecil memperhatikan filsafat, termenung. Keadaan di ruangan itu menjadi sunyi. Di waktu menghadap ini, Beng San menghadap seorang diri, karena semua murid Hoa-San-Pai maklum bahwa tanpa diundang mereka sama sekali tidak boleh mengganggu Kakek itu.

   "Kedatanganmu ini apakah hanya untuk menengok kami?"

   Tiba-tiba Kakek itu bertanya setelah sadar daripada lamunannya.

   "Teecu mendengar berita bahwa Hoa-San-Pai hendak merayakan ulang tahun yang ke seratus, maka Teecu sengaja datang untuk memberi selamat dan juga menonton keramaian."

   "Tidak diperingati berarti tidak menghormati kepada pendiri Hoa-San-Pai. Diperingati pasti akan memancing datangnya kekeruhan. Di jaman yang keruh ini, setiap peristiwa memancing datangnya peristiwa lain yang selalu memusingkan. Beng San, Pinto mempunyai firasat bahwa dalam perayaan sepekan kemudian ini pasti akan terjadi hal-hal yang tidak enak. Pertentangan antara kami dan Kun-Lun-Pai makin menjadi-jadi, makin diperpanas oleh para anak murid kedua fihak. Aku mendengar desas-desus bahwa Pek Gan Siansu sendiri akan datang. Baik sekali demikian, kami orang-orang tua tentu akan dapat membikin perhitungan secara damai. Kau seorang anak yang mendalam pengertianmu, Beng San. Pinto girang sekali kau datang, kau tinggallah di sini dan kau menjadi saksi dari usaha kami orang-orang tua mencari jalan damai. Dengan hadirmu di sini, Pinto merasa lebih tenang."

   Beng San merasa heran sekali. Apa gerangan yang mendatangkan perasaan ini dalam hati Lian Bu Tojin? la merasa bangga dan juga berterima kasih sekali, maka tanpa ragu-ragu dia berkata,

   "To-tiang, percayalah, Teecu yang bodoh pasti akan membantu dan menyokong pendirian Totiang yang mulia ini."

   "Beng San, apakah kau sudah mewarisi kepandaian Lo-Tong Souw Lee?"

   Pertanyaan ini tiba-tiba diajukan dan ketika Beng San mendongak, ia terkejut sekali melihat sepasang mata tua itu mencorong dengan tajamnya memandangnya penuh selidik. Celaka, pikirnya. la hendak menyembunyikan kepandaiannya, dan dia pun tidak mungkin dapat berbohong kepada Kakek ini.

   "Semenjak kecil Teecu amat suka mempelajari filsafat dan kiranya selama Teecu berkumpul dengan Lo-Tong Souw Lee, semua petuah dan wejangan orang tua itu telah Teecu pelajari dengan baik."

   Jawabannya menyimpang dan dia berpura-pura tidak tahu menahu tentang maksud pertanyaan tadi yang tentu saja dimaksudkan pelajaran ilmu silat

   "Kau tidak mempelajari ilmu silat?"

   Sifat pertanyaan ini menggirangkan hati Beng San. la tak usah berbohong lagi sekarang.

   "Teecu pernah mempelajari satu dua macam pukulan, akan tetapi tidak pantas disebut-sebut di depan Totiang."

   Kakek itu menarik napas panjang.

   "Kau benar. Ilmu silat tidak patut dibicarakan, karena hanya mendatangkan keributan belaka. Andaikata Hoa-San-Pai dahulu tidak mengembangkan ilmu silat, kiranya sampai sekarang pun Hoa-San-Pai tak akan mempunyai musuh."

   Mulai hari itu, Beng San diperkenankan tinggal di Hoa-San, malah mendapat kehormatan, untuk, tinggal satu rumah dengan Lian Bu Tojin. Kakek ini amat suka bercakap-cakap dengan Beng San yang juga amat rajin tidak melupakan pekerjaannya yang dahulu, yaitu dia dengan tekun membersihkan tempat tinggal Kakek itu, melayani segala keperluan Lian Bu Tojin. Pada suatu hari Lian Bu Tojin yang melihat Beng San mencuci lantai rumahnya, menarik napas panjang, mengelus-elus jenggotnya dan berkata.

   "Sayang kau tidak suka ilmu sitat, Beng San. Kalau kau suka, Pinto tentu akan merasa senang dan lega sekali menarik kau menjadi murid pinto. Kau memenuhi-syarat-syarat untuk menjadi murid terbaik, kau mengenal bakti, mengenal pribudi, mengenal kesetiaan dan wawasanmu tepat, pandanganmu jauh dan luas. Pinto benar-benar mengharapkan bantuanmu dalam menghadapi percobaan beberapa hari yang akan datang ini. Kiranya pandanganmu dan kata-katamu akan dapat membantu banyak untuk meredakan ketegangan.

   "Akan Teecu coba sekuat tenaga Teecu, Totiang,"

   Demikian jawaban Beng San, jawaban yang keluar dari lubuk hatinya. Sementara itu, sikap Thio Ki dan Kul Lok masih angkuh sekali terhadap Beng San. Kwa Hong dan Thio Bwee bersikap manis, akan tetapi juga kelihatan memandang rendah. Tentu hal ini karena mereka berempat merasa menjadi murid-murid Hoa-San-Pai yang memiliki ilmu silat tinggi, sedangkan Beng San itu pemuda apakah? Lemah dan "Hanya pandai membersihkan lantai"

   Kata Thio Ki. Malah Kui Lok pernah menyatakan kekhawatirannya bahwa Beng San yang pandai menjilat-jilat itu akan membujuk Lian Bu Tojin untuk menurunkan ilmunya.

   "Ha-ha-ha, andaikata dia pandai menjilat dan berhasil membujuk, tanpa memiliki dasar ilmu silat, mana dia bisa berlatih?"

   Kadang-kadang kalau Beng San berada di taman, empat orang murid Hoa-San-Pai ini berlatih silat dengan sungguh-sungguh. Memang hebat ilmu pedang mereka, masing-masing memiliki gaya tersendiri dan memiliki keampuhan sendiri. Agaknya mereka sengaja memamerkan kepandaian mereka di depan Beng San dan pemuda ini cukup cerdik untuk memperlihatkan muka kagum. Malah pada suatu hari, setelah melihat Thio Ki dan Kui Lok bermain pedang, dia berkata.

   "Aduh... aduh, sampai silau mataku, pening kepalaku... hebat sekali tarian pedang saudara Thio dan saudara Kui! Hebat, seperti kilat menyambar-nyambar!"

   Thio Ki dan Kui Lok girang juga mendengar pujian ini. Biarpun mereka kadang-kadang masih merasa iri hati dan cemburu melihat sikap Kwa Hong yang manis terhadap Beng San, namun mereka tidak berani memukuli lagi karena Kwa Hong mengancam demikian.

   "Kalau kalian berani mengganggu Beng San, aku akan rnelaporkan kepada Sukong. Kalian tahu, Sukong amat sayang kepadanya!"

   Bangunan darurat yang didirikan oleh para Tosu Hoa-San-Pai sudah hampir selesai. Waktu yang ditentukan kurang dua hari lagi. Beng San selalu turun tangan membantu para Tosu sehingga para Tosu juga merasa suka kepada pemuda yang sopan, merendah dan ringan tangan ini. Sore hari itu sebelum gelap bulan sudah muncul, merupakan bola merah yang amat besar dan indah. Beng San baru saja mandi setelah sehari sibuk membantu para Tosu menghias halaman depan.

   "Beng San, kenapa kau sembunyi saja?"

   Tiba-tiba dia mendengar suara. Ternyata Kwa Hong yang datang, lalu gadis ini bisik-bisik,

   "Di mana Sukong?"

   Gadis ini memang paling takut terhadap Lian Bu Tojin.

   "Totiang berada di dalam, sedang Siulian,"

   Bisik Beng San kembali. Kwa Hong menaruh jari di depan bibir, lalu memberi isyarat supaya Beng San keluar. Setibanya di luar ia berkata,

   "Beng San, semenjak datang kau sibuk dengan Sukong atau dengan para Supek menghias puncak. Kau sama sekali tidak peduli kepadaku. Kenapa?"

   Beng San tersenyum. la menatap wajah yang hebat itu, wajah yang sekarang agak cemberut memandang kepadanya, sepasang mata yang bening bercahaya memandang penuh selidik.

   "Nona Hong..."

   "Apa itu nona-nonaan segala? Sudah kukatakan beberapa kali, aku memanggil kau Beng San saja, kau pun tidak boleh pakai nona-nonaan segala macam!"

   "Habis, bagaimana?"

   (Lanjut ke Jilid 18)

   Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18

   "Semua orang memanggil aku Hong Hong, kau pun harus begitu."

   "Baiklah Hong Hong... tentang pertanyaanmu tadi, sebagai tamu tentu saja aku harus melayani Totiang dan membantu para Tosu di sini. Tentang kau... bukankah kau sudah ada tiga orang teman baik? Aku... aku bodoh dan lemah, mana kau suka bicara dengan aku?"

   "Rendah hati! Selalu rendah hati, ke mana kenakalanmu yang dulu? Aku lebih suka kau seperti dulu. Berani dan sombong! Eh, Beng San, tahukah kau?"

   Gadis itu mendekat dan bicaranya bisik-bisik.

   "Menghadapi perayaan seratus tahunan ini, Sukong dan Ayah menganjurkan kami semua Ciak-Jai (makan sayur pantang barang berjiwa). Wah, setengah mati aku. Harus satu bulan penuh Ciak-Jai, mana aku kuat? Tadi aku melihat di sana... ada kelinci gemuk sekali. Hayo kau temani aku ke sana, aku tangkap kelinci, kau yang memanggangnya, aku yang makan."

   Menghadapi seorang dara seperti ini, mana bisa orang bersikap dingin dan pendiam? Demikian pun Beng San. Timbul kenakalannya yang dulu. Kalau dituruti saja gadis ini, bisa-bisa dia disuruh menggunduli kepalanya sendiri!

   "Enaknya kau ini! Kalau kau ingin makan daging, pergi kau tangkap sendiri, kau masak sendiri. Setelah matang, baru kau panggil aku dan beri bagian. Sebagai tamu sudah sepantasnya aku menerima jamuanmu."

   "Eh, banyak bantahan, bodoh kau! Bukannya karena aku tidak bisa memanggang sendiri. Aku minta bantuanmu karena kalau sampai ketahuan Sukong, aku tidak akan mendapat marah. Bukankah kau yang memanggang daging dan bukan aku? Kau tolonglah aku, aku sudah kemecer (ingin sekali)...!"

   Beng San tersenyum menggoda,

   "Kalau aku tidak mau...?"

   Mulut yang manis itu cemberut.

   "Kalau tak mau, aku akan maki kau...bung..."

   La berhenti dan tidak melanjutkan makiannya. Beng San tahu bahwa dia akan dimaki Bunglon, maka dia tertawa.

   "Nona... eh, Adik Hong. Kau ini aneh. Punya teman baik tiga orang di sini, kenapa tidak mengajak mereka? Kenapa kau mengajak aku bersekongkol. Ajaklah mereka bertiga itu."

   "Huh, kau tahu apa? Mereka bertiga itu tidak mempunyai nyali."

   "Tidak punya nyali? Apa maksudmu?"

   "Mana mereka berani melanggar larangan Sukong? Hayolah, jangan putar-putar omongan. Kau mau atau tidak?"

   Tentu saja tidak mungkin bilang "Tidak mau"

   Terhadap desakan seorang dara seperti Kwa Hong.

   "Baiklah... baiklah..."

   Beng San berkata dan serentak Kwa Hong memegang lengannya terus menariknya mengajaknya lari cepat sekali.

   "Eh... eh... bagaimana ini... ih, Nona... eh, Hong Hong, aku jatuh nanti..."

   Beng San berteriak-tenak lirih.

   "Cepat sedikit kenapa sih? Kau ini laki-laki atau perempuan?"

   Jantung Beng San berdebar. Teringat dia akan gadis baju hijau bernama Eng. Kenapa sama benar pendapat Eng dan Hong? Eng dahulu juga bertanya seperti itu.

   "Kau lihat saja sendiri. Aku ini laki-laki atau perempuan?"

   Balasnya seperti dulu pula ketika dia menjawab pertanyaan Eng. Gadis baju hijau itu dahulu mengatakan bahwa dia bukan laki-laki bukan perempuan, tapi banci. Apa yang akan dikatakan Kwa Hong? Kwa Hong tertawa, lalu membentot lagi tangan Beng San diajak lari melalui tempat yang tersembunyi.

   "Tentu saja kau laki-laki, tapi laki-laki yang lemah melebihi perempuan."

   "Kau tidak suka? Kau kecewa melihat aku lemah seperti perempuan?"

   "Tidak... tidak...! Aku malah suka melihat kau lemah seperti ini. Laki-laki yang berkepandaian selalu bertingkah, berlagak pandai dan gagah sendiri. Cih, menjemukan malah. Kalau kau berkepandaian tentu kau pun akan berubah tingkahmu, tentu berlagak dan sombpng seperti... seperti..."

   "Seperti Kui Lok dan Thio Ki?"

   Beng San menyambung. Kwa Hong melepaskan tangannya. Mereka berdiri berhadapan di bawah sinar bulan purnama, saling pandang.

   "Kenapa kau berkata begitu?"

   Tuntut Kwa Hong.

   "Mudah saja. Kau hanya melihat dua orang itu di sini, tentu merekalah yang kau jadikan perbandingan. Akan tetapi kau keliru, Adik Hong yang manis. Banyak di dunia ini laki-laki berkepandaian yang tidak sombong seperti mereka."

   "Coba ulangi lagi..."

   "Ulangi apa?"

   "Sebutanmu terhadapku tadi..."

   "Adik Hong yang manis?"

   Kwa Hong tertawa girang, matanya berseri memandang kepada Beng San. Pemuda ini merasa kagum dan heran akan kepolosan hati gadis ini. Masih seperti kanak-kanak saja, begitu girang kalau dipuji. Ia tidak ingat sama sekali betapa Kwa Hong tidak senang, malah nampak marah dan bosan ketika dipuji-puji oleh Kui Lok dan Thio Ki. Kini gadis itu tertawa-tawa memandang kepadanya, mukanya menjadi merah dan matanya bersinar-sinar.

   "Beng San, tidak bohongkah kau?"

   "Bohong tentang apa?"

   "Bahwa aku manis... betulkah itu?"

   Beng San merasa geli. Aneh memang wanita, kadang-kadang seperti kanak-kanak, sewaktu-waktu malah seperti ibu.

   "Tentu saja kau manis, kau cantik sekali, Hong Hong. Ketika melihatmu, hampir aku tidak mengenalmu lagi."

   "Kau dulu bilang aku seperti Kuntilanak..."

   Beng San tertawa ditahan.

   "Habis, kau pun memaki aku seperti Bunglon sih. Apa mukaku benar-benar seperti Bunglon? Hayo katakan!"

   Kwa Hong berhenti melangkah, menoleh dan memandang kepada Beng San.

   "Tidak, dulu memang kau buruk sekali, lebih buruk daripada seekor Bunglon! Tapi sekarang... hemmm, kalau saja kau pandai silat, kiranya kau lebih gagah dan ganteng daripada Lok-Ko atau pun Ki-Ko."

   Muka Beng San menjadi merah juga menerima pujian yang begini terus terang dari Kwa Hong. Gadis ini memang berani dan jujur bukan main. Mereka berlari lagi.

   "Hayo cepatan sedikit, takut kemalaman"

   Kata Kwa Hong sambil mempercepat larinya.

   "Nah, itu dia..."

   Mata Kwa Hong yang tajam sudah melihat beberapa ekor kelinci berlari-larian menyusup rumpun ilalang.

   Cepat ia mengejar. Akan tetapi binatang-binatang itu biarpun pendek pendek kakinya, ternyata dapat berlari cepat dan gesit sekali. Ditubruk sana menyusup sini, dicegat sini lari ke sana. Kwa Hong sambil tertawa-tawa seperti anak kecil mengejar-ngejar kelinci memilih yang paling gemuk. Beng San menjadi gembira juga melihat ini. Timbul sifat kanak-kanaknya dan dia pun ikut tertawa-tawa dan mengejar ke sana-sini. Tapi kelinci yang paling gemuk lari ketengah hutan, dikejar kwa Hong. Beng San juga mengejarnya. Kelinci itu memang amat gemuk lag pula masih muda dan bulunya putih bersih. Tentu enak lunak dan sedap dagingnya. Di bawah sebatang pohon besar Kwa Hong berhasil menangkap kelinci, dipegang pada dua telinganya. Gadis itu tertawa-tawa gembira, sambil memegangi binatang yang meronta-ronta itu.

   "Nah, dapat yang gemuk ini. Beng San, nih kau bawa dan kau yang bertugas menyembelih dan memanggangnya! Sambil tertawa Beng San menenma kelinci itu. Tiba-tiba terdengar auman keras sekali sampai bumi yang mereka Pijak seakan-akan tergetar, daun-daun Pohon bergoyang-goyang dan yang kering rontok berhamburan. Kwa Hong menjadi pucat dan mencabut pedangnya.

   "Beng San... cepat, kau panjat pohon ini"

   La mendorong-dorong tubuh Beng San arah batang pohon, dia sendri menjaga keselamatan Beng San dengan pedang di tangan.

   "Kenapa aku mesti memanjat pohon?"

   "Rewel kau! Ada Harimau... biar aku melawannya, tetapi kau... kau harus memanjat pohon. Susah kalau melawan dan sekaligus melindungimu..."

   Gadis itu berbisik, matanya tetap memandang ke arah gerombolan alang-alang yang sudah mulai bergerak-gerak.

   Beng San tersenyum geli dan juga kagum disertai terima kasih. Betapapun galaknya, gadis ini ternyata berhati baik terhadapnya. Seorang diri hendak menghadapi Harimau, sedangkan dia disuruh menyelamatkan diri di atas pohon! Gadis mana segagah ini? Karena Kwa Hong sedang mencurahkan perhatiannya ke arah gerombolan alang-alang, gadis ini tidak melihat betapa dengan amat mudahnya, sambil membawa kelinci itu, Beng San sebentar saja sudah duduk di atas dahan pohon yang tinggi. Dugaan Kwa Hong terbukti. Seekor Harimau muncul perlahan-lahan dari gerombolan alang-alang itu. Beng San sampai kaget melihatnya. Harimau yang besar sekali, sebesar anak sapi Kepalanya besar, matanya sipit berkilauan, taringnya diperlihatkan dan kulitnya loreng-loreng agak putih.

   "Hati-hatilah kau... Hong-moi (adik Hong)...!"

   Kata-kata ini keluar dari hati Beng San.

   Pemuda ini belum pernah menghadapi seekor Harimau yang kelihatan demikian mengerikan, tentu saja dia menjadi gelisah sekali. Biarpun dia sudah maklum bahwa dirinya memiliki bekal ilmu yang tinggi dan tenaga yang hebat, namun karena belum pernah berhadapan dengan binatang buas sebesar itu, dia merasa khawatir akan keselamatan Kwa Hong. Kwa Hong mengahgkat tangan kiri arah Beng San dengan maksud supaya pemuda itu tenang dan jangan khawatir. Hatinya lega mendengar suara Beng San dari atas, tanda bahwa pemuda itu sudah berada di atas pohon. Akan tetapi, agaknya gerakan tangan kirinya itu menjadi isyarat bagi sang Harimau untuk bergerak. Dengan suara geraman hebat, tubuhnya yang tadi agak mendekam sekarang meloncat tinggi menerkam ke arah Kwa Hong demgam tenaga yang dasyat.

   "Awas...!"

   Beng San berseru, seluruh urat di tubuhnya menegang dan dia sudah siap dengan kelinci di tangan untuk turun tangan menolong seandainya gadis itu terancam bahaya. Akan tetapi, lega hatinya ketika dia melihat betapa dengan gerakan yang amat lincah gadis itu telah dapat meloncat ke sisi dan tubuh Harimau yang besar itu lewat cepat menubruk tempat kosong.

   Pedang gadis itu berkelebat, tapi meleset tak dapat menusuk perut Harimau karena ekor Harimau yang panjang itu menyabet dan menangkis! Dengan geraman mengerikan Harimauittu sudah membalik dan menubruk lagi, lebih dahsyat daripada tadi. Akan tetapi, begitu melihat gerakan Kwa Hong tadi, Beng San lenyap kekhawatirannya. Sekarang dia malah memandang kagum. la mendapat kenyataan bahwa gerakan gadis ini benar-benar lincah dan cepat sekali, dan dari gerakan-gerakan itu dia bisa mendapat kenyataan bahwa kepandaian. Kwa Hong tidak kalah oleh Thio Bwee maupun Kui Lok dan Thio Ki. Namun, setelah diserang empat lima kali, belum juga Kwa Hong dapat menusuk Harimau itu, selalu tusukannya meleset saking cepatnya Harimau itu mengelak, atau menangkis dengan cakar dan ekornya.

   "Bacok kaki belakangnya...!"

   Beng San yang mulai khawatir lagi memberi nasihat. Harimau melompat lagi, gadis itu yang agaknya sadar akan akal yang diteriakkan Beng San, tidak meloncat ke pinggir untuk mengelak seperti tadi, malah menerobos ke depan, ke bawah tubuh Harimau yang sedang melompat tinggi menubruknya.

   Kemudian, sebelum tubuh Harimau tiba di tanah, gadis ini sudah menggerakkan kaki membalik, pedangnya berkelebat dan... Harimau itu roboh dengan paha belakang sebelah kanan robek oleh sabetan pedang! la menggereng, mencoba untuk merangsang lagi namun karena luka itu gerakannya menjadi kurang cepat. Dengan mudah Kua Hong mengelak dan mengirim bacokan-bacokan bertubi-tubi ke arah kedua kaki belakang. Setelah binatang buas itu roboh tak berdaya karena kedua kaki belakangnya hampir putus, dengan mudahnya Kwa Hong menusukkan leher dan perutnya. Harimau itu mengeluarkan auman terakhir, tubuhnya berkelojotan lalu diam tak bergerak lagi. la mati mandi darah di depan kedua kaki dara perkasa itu! Beng San melorot turun, lalu bertepuk tangan.

   "Hebat... hebat... kau gagah sekali, Hong Hong..."

   "Kau tadi menyebutku Hong-moi..."

   Beng San mengingat-ingat. Betul saja, dalam kekhawatirannya tadi dia menyebut adik Hong kepada gadis itu. Wajahnya memerah.

   Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Memang aku lebih tua, sudah pantas menyebutmu Hong-moi. Boleh, kan?"

   "Tentu saja boleh. Kau malah berjasa. Kalau tidak kau ingatkan untuk menyerang kaki belakangnya, agaknya akan lama untuk dapat merobohkannya. Eh, mana kelinci tadi?"

   Beng San mengambil kelinci yang tadi dikempit di antara kedua pahanya ketika dia bertepuk tangan. Gadis itu tertawa dan membersihkan pedang pada bulu Harimau.

   "Hayo kita pulang, sudah hampir gelap dan perutku makin lapar saja oleh perkelahian tadi."

   "Bangkai Harimau itu... kan dagingnya enak dan dapat menambah kuat tubuh. Pula, kulitnya juga indah sekali, sayang kalau dibiarkan saja membusuk di sini."

   "Bawalah kalau kau mau. Tapi... terlalu banyak daging itu, tidak akan habis. Kalau Sukong melihatnya, bukankah akan terbuka rahasiaku?"

   "Jangan khawatir, kau yang membunuhnya karena diserang Harimau, aku yang makan dagingnya."

   "Dan aku akan mendapat bagian dengan diam-diam."

   Kwa Hong tertawa-tawa.

   "Kau cerdik sekali, Beng San... eh, tak enak juga kalau kau menyebutku adik tapi aku menyebut namamu begitu saja. Kau bilang lebih tua, sebetulnya berapa sih usiamu? Aku sudah delapan belas tahun!"

   Beng San tertawa.

   "Sedikitnya aku dua tahun lebih tua dari padamu. Kau seharusnya menyebut Kakak kepadaku."

   "Hemmm, San-Ko (Kakak San)... hemmm, enak juga terdengarnya. Baiklah Beng San Koko, kau bawa bangkai Harimau itu. Tapi dagingnya terlalu banyak, akan termakan habis olehmu dibantu olehku secara diam-diam."

   "Jangan khawatir, selebihnya dapat kubuat dendeng. Kau punya banyak garam, kan?"

   "Bisa kucuri dari dapur para Supek tukang masak!"

   Kwa Hong tertawa nakal.

   "Aha, kulihat kau hanya maju dalam ilmu silat, Agaknya segala petuah Sukongmu tentang kebajikan tak pernah kau taati, buktinya kau mau nyolong garam."

   Keduanya tertawa lagi dan Beng San segera memanggul bangkai Harimau setelah menyerahkan kelinci kepada Kwa Hong.

   "Eh, tak kusangka. Kau kuat juga, Bangkai Harimau ini sedikitnya ada lima puluh kilo! Kwa Hong memandang kagum. Beng San terhuyung-huyung, kelihatan berat Baru teringat bahwa dia hendak menyembunyikan kepandaian. Hampir saja dia lupa kalau Kwa Hong tidak memujinya. la cepat-cepat beraksi dan kelihatan amat berat menggendong bangkai itu.

   "Wah, berat sekali..."

   Kwa Hong tersenyum,

   "Tapi kau kuat menggendongnya. Hemmm, kiranya kau tidak begitu lemah seperti yang kukira. Sayang kau tidak belajar ilmu silat."

   "Tadi kau bilang lebih baik aku tidak bisa silat,"

   Beng San memperingatkan. Kwa Hong mengangkat kedua pundaknya, gerakan yang manis dipandang.

   "Bukan begitu maksudku... entahlah, yang tak kusuka adalah sikap angkuh dan jumawa, menganggap diri sendiri paling pandai dan kuat. Sikap inilah yang tak kusuka, sikap yang banyak terdapat di kalangan orang kang-ouw."

   "Kau benar,"

   Beng San mengangguk-angguk.

   "Dan kiranya sikap yang demikian itu pula, sikap mau menang sendiri dan tidak mau mengalah sedikit pun juga, yang menimbulkan keributan-keributan dan permusuhan-permusuhan di antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya."

   Dua orang muda itu makin lama merasa makin cocok. Watak Beng San yang sederhana, jujur, sabar dan kadang-kadang dapat pula jincah jenaka dapat mengimbangi watak Kwa Hong yang lincah, gembira dan ada kalanya keras ada kalanya halus lembut penuh kemesraan. Tak mengherankan bahwa dalam beberapa hari itu mereka nampak makin akrab dalam pergaulan. Kwa Hong yang mempunyai hati terbuka, secara terang-terangan memperlihatkan kesukaannya bergaul dengan Beng San sehingga tentu saja dua orang pemuda Hoa-San-Pai, Kui Lok dan Thio Ki, merasa dada mereka seperti mau meledak saking panas hatinya.

   Akan tetapi, Beng San adalah seorang tamu Hoa-San-Pai, selalu agaknya Sukong mereka suka kepada Beng San, juga Kwa Hong selalu "Melindunginya."

   Di lain fihak, Thio Bwee bernapas lega melihat bahwa Kwa Hong temyata tidak menaruh perhatian kepada Kui Lok, pemuda idaman hatinya itu. Beng San mendapat kenyataan betapa cocok kata-kata Tan Hok ketika menceritakan tentang keadaan Hoa-San-Pai dalam permusuhannya dengan Kun-Lun-Pai. Tidak saja dia melihat banyaknya Tosu Hoa-San-Pai yang berkumpul di gunung itu, mendekati seratus jumlahnya, namun menjelang datangnya hari perayaan ulang tahun ke seratus dari Hoa-San-Pai, berturut-turut datang murid-murid Hoa-San-Pai yang tinggal jauh dari Gunung Hoa-San.

   Tiga hari sebelum hari perayaan, di situ sudah berkumpul seluruh anggauta Hoa-San-Pai yang jumlahnya mendekati seratus dua puluh orang! Keadaan Hoa-San-Pai benar-benar angker. Tosu-Tosu dengan pakaian putih seragam melakukan penjagaan dengan sikap mereka yang alim dan gagah. Jalan kecil yang menuju ke pendakian puncak itu, dihias dengan Bunga-Bunga kertas, setiap seperempat kilometer dijaga oleh tiga orang Tosu di pinggir jalan, merupakan tiang-tiang hidup. Hal ini diadakan bukan hanya untuk memberi penghormatan kepada para tamu, akan tetapi kiranya terutama sekali untuk "Unjuk gigi"

   Kepada tamu yang datang dengan maksud-maksud buruk tertentu. Sebagai sebuah Partai besar yang sudah terkenal namanya di seluruh dunia kang-ouw, kali ini Hoa-San-Pai mengadakan persiapan besar-besaran.

   Jauh beberapa hari sebelumnya, para Tosu sudah sibuk berbelanja, menyediakan segala bahan makanan dan minuman untuk menjamu para tamu. Ratusan bangku baru dibuat dan diatur di ruangan depan. Ruangan ini menjadi luas sekali karena diberi tambahan darurat. Ruangan yang amat luas ini dibagi-bagi, untuk para tamu kehormatan di sebelah dalam menghadap keluar, untuk tamu wanita di sebelah kiri,agak tertutup, dan untuk yang muda-muda di sebelah kanan. Di belakang tempat ke tiga ini yang paling luas, disediakan bangku-bangku panjang untuk tempat para tamu lain yang dianggap sebagai pengikut-pengikut saja. Fihak tuan rumah mengambil tempat di ruangan yang mepet dinding dalam, dekat tempat tamu kehormatan, membelakangi pintu besar yang menuju ke dalam "Rumah besar."

   Di tengah-tengah ruangan merupakan tempat terbuka yang cukup luas untuk memberi tempat bagi para pelayan hilir-mudik. Menurut berita yang dibawa oleh para Tosu penjaga kaki gunung, dua hari sebelum pesta dimulai, sudah banyak sekali tamu datang sampai di kaki Gunung Hoa-San. Mereka menginap di kampung-kampung, menanti datangnya hari yang ditentukan untuk mendaki puncak. Tentu saja para Tosu itu di antaranya ada yang bertugas menyelidiki siapa-siapa yang akan datang, kawan ataukah lawan! Pada hari itu, pagi-pagi sekali telah kelihatan para tamu berbondong-bondong mendaki puncak Hoa-San. Banyak sekali dan para Tosu Hoa-San-Pai yang menjaga di sepanjang jalan sampai ke puncak, mewakili Ketua mereka, melihat dengan kaget betapa Partai-Partai lain datang lengkap dengan anak murid yang pilihan.

   Bahkan Partai-Partai Khong-Tong-Pai, Bu-Tong-Pai, dan Bu-Eng-Pai datang dengan puluhan orang anak murid masing-masing merupakan pasukan yang kuat! Lian Bu-Tojin memang tidak mau memperlihatkan diri lebih dulu, malah dia sengaja melarang Kwa Tin Siong, Liam Sian Hwa dan cucu-cucu muridnya untuk keluar lebih dulu sebelum para tamu lengkap. Kakek ini amat berhati-hati. la mau melihat murid-murid dan cucu-cucu muridnya muncul lalu dipancing oleh fihak lawan untuk mengacaukan pesta ulang tahun perkumpulannya. Setelah ruangan tamu di depan telah penuh oleh para tamu, barulah Lian Bu Tojin diiringkan oleh Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa, Kwa Hong, Thio Bwee, Thio Ki dan Kui Lok, keluar dari dalam menuju ke tempat duduk yang disediakan untuk fihak tuan rumah.

   Para tamu segera berdiri memberi hormat yang dibalas oleh Kwe Tin Lian Bu Tojin sebagai seorang yang tingkatnya lebih tinggi, hanya mengangguk dan hanya mengangkat kedua tangan membalas penghormatan para tamu yang duduk di bagian terhormat. Biarpun baru sekarang Lian Bu Tojin keluar, namun Kakek ini sudah tahu siapa saja tamu-tamunya yang hadir. Tadi Kwa Tin Siong mengintai dari dalam dan memberi tahu kepada Gurunya tentang para tamu yang sebagian besar dikenal oleh jago pertama dari Hoa-San-Pai ini. Yang amat mengherankan hati Lian Bu Tojin dan Kwa Tin Siong adalah ketidakhadiran orang-orang Kun-Lun-Pai. Padahal mereka melihat bahwa Khong-Tong-Pai dan Bu-Eng-Pai, dua Partai yang selalu memperlihatkan sikap membela Kun-Lun-Pai, sudah lengkap hadir di situ.

   Diam-diam mereka juga merasa girang dengan hadirnya jago-jago dari Bu-Tong-Pai, karena Partai ini selalu memperlihatkan sikap baik kepada Hoa-San-Pai dengan Kun-Lun-Pai. Banyak terdapat jago-jago silat yang sudah terkenal namanya hadir di ruangan itu. Nama Hoa-San-Pai sudah terlalu terkenal sehingga kali ini dapat menarik kedatangan jago-jago silat dari seluruh negeri. Tapi yang paling penting disebutkan di sini hanyalah beberapa orang saja. Di antaranya pemimpin rombongan Khong-Tong-Pai, seorang laki-laki gemuk pendek berusia lima puluh tahun. Dia adalah murid pertama dari Khong-Tong-Pai bernama Liu Ta, seorang ahli Lweekang dan ahli golok. Karena terlalu dipercaya oleh Gurunya yang sudah tua, Liu Ta ini sering kali bertindak mewakili Khong-Tong-Pai tanpa setahu Gurunya.

   Dari fihak Bu-Eng-Pai, rombongannya dipimpin oleh dua orang jago Bu-Eng-Pai yang sudah terkenal namanya, yaitu Ang Kim Seng yang tinggi kurus berusia empat puluh tahun lebih dan adiknya, Ang Kim Nio yang cantik genit berusia tiga puluh tahun lebih. Kakak beradik ini terkenal sebagai ahli pedang dari Bu-Eng-Pai. Seperti juga fihak Khong-Tong-Pai, Kakak beradik ini lebih condong membantu Kun-Lun-Pai daripada Hoa-San-Pai. Beng Tek Cu, seorang Tosu yang tinggi besar bermata lebar adalah seorang tokoh Bu-Tong-Pai, usianya lima puluh lima tahun. Orangnya jujur dan keras hati, tapi kepandaiannya tinggi dan namanya ditakuti orang-orang jahat karena Tosu Bu-Tong-Pai ini tak pernah menaruh kasihan kepada para penjahat. la menjadi sahabat Kwa Tin Siong, maka dalam urusan antara Hoa-San dan Kun-Lun, Tosu tinggi besar ini dan rombongannya berfihak kepada Hoa-San-Pai.

   

Dewi Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini