Raja Pedang 2
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Kau... kau siapakah...?"
"He-he-he, anak bagus, dari tadi kau menyebut-nyebut Kui Bo. Akulah Kui Bo dan namaku ini"
Wanita itu seperti seorang tukang sulap tahu-tahu sudah memegang setangkai Bunga Hitam di tangannya.
"Namamu... kembang hitam itu...?"
Beng San melongo melihat wanita itu menancapkan tangkai Bunga itu pada rambutnya. Karena Bunga itu hitam dan rambutnya juga hitam, maka hiasan rambut ini tidak begitu kentara.
"Ya, akulah Hek Hwa Kui Bo (Kuntilanak Bunga Hitam). Kau bilang dia si gadis cilik yang mungil itu seperti aku? Hi-hi-hi-hi, kau baik sekali, anak bagus..."
Wanita itu tertawa-tawa lagi, nampaknya girang. Sebaliknya Beng San terkejut. Bagaimana wanita ini bisa mengetahui semua ucapannya kepada Kwa Hong?
"Aku tidak percaya,"
Katanya.
"Menurut kata orang, Kuntilanak itu biarpun cantik suka makan..."
Sampai disini Beng San menjadi pucat. Mengapa ia mengini goblok menyebut-nyebut tentang itu? Bagaimana kalau ini Kuntilanak tulen dan dagingnya akan dimakan?
"Tepat sekali, memang aku suka makan daging mentah, terutama daging Ular..."
Saputangan Sutera ang panjang itu dikebutkan dan... ujung Saputangan itu telah menarik keluar sepotong daging dari tubuh lar, dan langsung potongan daging ini ditarik dan diterima oleh mulutnya yang berbibir merah,
(Lanjut ke Jilid 02)
Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
lalu dikunyahnya dengan enak dan dimakan! Beng San sampai melotot ngeri menyaksikan wanita itu makan daging Ular yang masih mentah, masih ada darahnya.
"Kau percaya sekarang? Aku Hek Hwa Kui Bo, sama cantik dengan anak perempuan tadi, bukan? sama baiknya..."
Beng San teringat akan Kwa Hong dan cemberut. Anak perempuan itu telah menghinanya.
"Kalau sama dengan dia aku tak suka,"
Katanya setengah melamun.
"Anak itu galak dan menghinaku. Kalau kau sama dengan dia, pergilah saja jangan dekat denganku."
Sejenak wanita itu tertegun. Apa yang keluar dari mulut anak ini adalah kata-kata baru baginya, kata-kata yang tidak biasa ia dengar. Biasanya setiap orang tidak ada yang bersikap kasar, apalagi berkata kasar kepadanya, selalu bermuka-nuka, selalu bermanis-manis. Dan anak ini berani mengusirnya! Hal ini menggirangkan hatinya, dan ia tertawa-tawa lagi.
"Kau dihina oleh anak itu? Biar kubawa dia kesini agar kau boleh membalasnya!"
Tiba-tiba tubuh wanita itu lenyap dari situ. Entah bagaimana caranya, tidak terlihat oleh Beng San. ia makin ketakutan, bulu tengkuknya berdiri semua. Sekarang ia baru mau percaya yang dihadapinya tadi betul-betul seekor Siluman Kuntilanak.
"Aduh, celaka... jangan-jangan dia kembali...
"
Demkian ia berkata seorang diri dan rasa ketakutan ini membuat pengaruh Racun Hijau dan hawa Im di tubuhnya meningkat, membuat dia menjadi kedinginan dan kehijauan mukanya. Rasa takut membuat Beng San segera lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Akan tetapi kemana ia harus pergi menyembunyikan diri? Hutan itu besar sekali, dimana-mana pohon belaka. Ia tidak tahu kemana jalan keluar. Tak lama kemudian selagi berlari-lari, ia mendengar suara ketawa yang tadi,
"Hi-hi-hi-hi-hi!."
Beng San menelusup kedalam semak-semak, bersembunyi. Akan tetapi percuma saja, tahu-tahu wanita yang tadi sudah berada di depan semak-semak berkata,
"Anak bagus, hayo keluar. Ini orang yang menghinamu sudah kubawa kesini."
Beng San merangkak keluar dan...ia melihat Kwa Hong sudah berada disitu. Anak perempuan itu kebingungan, kini memandang wanita tadi dan berkata gugup,
"Ba... bagaimana kau bisa membawaku kesini?"
Wanita itu hanya tertawa, mengelus pipi Kwa Hong yang halus kemerahan.
"Kau cantik, aku juga sama dengan kau, kata anak bagus itu..."
Kwa Hong marah. Tadi ia sedang naik kuda bersama Ayahnya dengan cepat. Tahu-tahu ada bayangan berkelebat, terdengar Ayahnya berteriak dan ia merasa matanya pedas dan tahu-tahu sekarang ia sudah berada di dalam hutan berhadapan dengan seorang wanita cantik dengan Beng San. Mengira bahwa tentu wanita ini guru Beng San yang hendak menuntut balas, Kwa Hong memperlihatkan keberaniannya. Cepat bagaikan kilat tangannya yang kecil sudah mencabut pedangnya dan menusuk kearah dada wanita itu! Anehnya yang ditusuk tidak bergerak sedikitpun juga hanya memandang sambil tersenyum-senyum.
"Krakkk!"
Tiba-tiba pedang di tangan Kwa Hong itu patah menjadi dua dan gadis kecil itu sendiri melepaskan gagang pedang karena merasa telapak tangannya serasa hendak pecah. Ia meloncat mundur dan memandang dengan mata terbelalak. Ia melihat betul bahwa pedangnya tadi belum juga menyentuh tubuh perempuan itu, karena tiba-tiba bisa patah sendiri?
"Kuntilanak dia, jangan lawan, kau tak akan menang melawan Kui Bo!"
Kata Beng San. Kwa Hong marah sekali. Ia mengira bahwa Beng San bicara kepada wanita itu dan memaki dia sebagai Kuntilanak lagi.
"Anak jembel! Kau mendatangkan Siluman untuk membalas!"
Bentaknya.
Pada saat itu terdengar angin bertiup dan tubuh Kwa Tin Siong berkelebat. Orang gagah ini memegang pedang telanjang di tangannya, wajahnya yang muram nampak makin muram dan penuh kekhawatiran. Ia bernapas lega melihat anaknya masih selamat disitu, lalu ia memandang sekilas kearah Beng San, baru kemudian ia memperhatikan wanita itu. Ia melihat seorang wanita cantik, sepasang matanya liar dan aneh, tangan kiri bermain-main dengan sehelai Saputangan Sutera beraneka warna, indah dan panjang. Melihat sinar mata wanita ini, diam-diam Kwa Tin Siong terkejut sekali. Bukan mata orang biasa. Ia berlaku hati-hati, sekali lagi melirik kearah Kwa Hong untuk melihat keadaan anaknya. Setelah mendapat keyakinan bahwa anaknya tidak terluka hanya agak takut-takut, ia lalu menjuru kepada perempuan itu.
"Toanio (Nyonya) dengan aku Kwa Tin Siong tidak pernah saling mengenal dan karenanya tidak ada permusuhan sesuatu, maka mohon Tanya ada maksud Toanio membawa anakku sampai kesini?"
Kwa Tin Siong bersikap hormat sekali karena dari cara Nyonya ini tadi merampas anaknya tanpa ia dapat berdaya sama sekali sudah menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali. Wanita itu tersenyum mengejek, memandang tak acuh, menjawab lalu berkata kepada Beng San.
"Kau tadi dihina hayo balas!"
Akan tetapi mana Beng San mau membalas? Ia memang tidak merasa sakit hati kepada Ayah dan anak itu. Apalagi Kwa Tin Siong amat baik kepadanya sedangkan Kwa Hong dia hanya mendongkol saja. Maka dia menggeleng kepalanya tanpa berkata sesuatu. Kwa Tin Siong mendongkol, juga melihat lagak wanita ini yang sama sekali tidak memperdulikannya, jelas amat memandang rendah, maka ia lalu berkata lagi dengan hormat,
"Toanio, aku Kwa Tin Siong tidak mempunyai permusuhan, juga Hoa-San-Pai tidak mempunyai permusuhan."
Ia sengaja menyebut nama Hoa-San-Pai agar perempuan ini tidak lagi memandang rendah kepadanya dan bersikap selayaknya orang kang ouw berurusan dengan sesama orang kang ouw.
"Tosu bau Lian Bu tak kenal mampus, tidak mampu mengajar anak muridnya."
Wanita itu bicara seperti pada diri sendiri. Akan tetapi cukup membuat Kwa Tin Siong bangkit kemarahannya. Lian Bu Tojin adalah Gurunya, juga adalah Ketua Hoa-San-Pai, seorang Ciang-Bunjin (Ketua Partai) yang amat dihormati orang seluruh kang ouw. Maka perempuan ini menyebut namanya begitu saja ditambah sebutan Tosu bau segala? Pedang di tangannya gemetar. Tiba-tiba Kwa Hong yang mengenal sikap Ayahnya yang marah ini memperingatkan.
"Ayah, tadi aku tusuk dia tapi pedangku patah sebelum menyentuhnya!"
Kwa Tin Siong kaget. Tidak kaget karena pedang anaknya patah. Ia tahu bahwa kepandaian anaknya belum seberapa, tentu saja kalau melawan seorang tokoh pandai tak akan ada artinya. Ia kaget karena mendengar pengakuan anaknya yang sudah menyerang wanita ini.
"Hong ji, jangan kurang ajar kau. Mari sini!"
Ia menyuruh anaknya mendekatinya agar lebih mudah melindungi kalau sampai terjadi pertempuran. Akan tetapi selagi Kwa Hong hendak bergerak mendekati Ayahnya, tampak wanita itu menggerakkan Saputangan Suteranya kearah Kwa Hong yang segera berdiri diam seperti patung. Hampir Kwa Tin Siong tak dapat mempercayai matanya sendiri. Ujung Saputangan yang halus itu tampaknya tidak mengenai tubuh anaknya, namun... nyatanya anaknya telah kena ditotok jalan darahnya!
"Hi-hi-hi-hi-hi... Hoa-San-Pai..."
Wanita itu tertawa mengejek. Sesabar-sabarnya manusia, kalau anaknya diganggu dan nama Partainya diejek seperti itu, tak akan dapat menahan juga, Kwa Tin Siong berseru.
"Manusia sombong, bersiaplah kau menghadapi pedangku!"
Sebagai seorang laki-laki gagah tentu saja ia masih menahan diri, tidak mau menyerang seorang wanita yang hanya memegang sehelai Saputangan. Akan tetapi wanita itu menjawab halus.
"Pedangmu yang buruk dan ilmu silat Hoa-San-Pai yang rendah mau bisa apakah terhadapku?"
"Hemmmm, sombong amat. Kalau begitu lihat pedangku!"
Kwa Tin Siong memutar pedangnya dan langsung menyerang dengan gerak tipu yang lihai dari Hoa-San Kiam-Hoat, yaitu gerakan Tian-Mo Po-In (Payung Kilat Sapu Awan). Pedangnya berputar sampai merupakan payung yang berkilauan dan berkelebatan menyambar kearah wanita itu.
"Hi-hi-hi-hi-hi, Kiam-Hoat (Ilmu Pedang) buruk!"
Wanita itu dengan mudahnya miringkan tubuh menundukkan kepala untuk menghindari sabetan pedang.
Akan tetapi Kwa Tin Siong adalah seorang jago tangguh dari Hoa-San-Pai. Gerakan-gerakannya amat mahir, sudah masak dan cepat sekali. Melihat bahwa serangan pertamanya tak akan berhasil ia cepat sekali merubah gerakannya tanpa menarik kembali pedangnya. Kini pedangnya itu meluncur dengan gerakan yang disebut Kwan-Kong Sia-Ciok (Kwan Kong Memanah Batu). Cepat sekali pedangnya sudah meluncur menusuk kearah ulu hati lawan. Kwa Tin Siong sudah mulai merasa kaget dan menyesal melihat agaknya lawannya tak mampu mengelak. Bukan maksudnya untuk membunuh orang maka gerakannya ia tahan dan perlambat sedapatnya. Akan tetapi sebelum ujung pedangnya menyentuh lawan, tepat seperti dikatakan Kwa Hong tadi, tiba-tiba menyambar sinar terang dari Saputangan itu menyambar kearah pedang dan tangan.
"Krakkk!"
Semacam tenaga mujijat menghantam patah pedang di tangan Kwa Tin Siong. Orang she Kwa ini mempertahankan getaran hebat, tidak mau melepaskan pedangnya yang buntung. Akibatnya ia terpental mundur lima langkah dan muntahkan darah segar.
"Hi-hi-hi-hi-hi..., Hoa-San-Pai... belum kubalas menyerang kau sudah mundur, orang she Kwa. Sekarang terimalah seranganku!"
Wanita itu melangkah maju dan menggerakkan Saputangannya Kwa Tin Siong merasa bahwa ia berhadapan dengan orang sakti luar biasa atau sebangsa Siluman maka dia menerima nasib, tak kuat melawan.
"Hek Hwa Kui Bo, jangan ganggu mereka!"
Tiba-tiba Beng San melompat dan menarik pakaian belakang wanita itu. Hek Hwa Kui Bo menoleh, tersenyum dan mengejek,
"Mereka itu apamu sih, kau bela mati-matian."
"Jangan bunuh, jangan ganggu... kalau tidak aku tak akan suka lagi kepadamu!"
Ancaman ini agaknya berpengaruh juga, buktinya wanita itu menurunkan Saputangannya. Yang kaget setengah mati adalah Kwa Tin Siong ketika dia mendengar disebutnya nama Hek Hwa Kui Bo oleh Beng San tadi. Hek Hwa Kui Bo adalah nama seorang diantara empat orang tokoh terbesar di dunia persilatan! Menurut cerita Gurunya, yang bernama Hek Hwa Kui Bo ini adalah serang wanita yang cantik luar biasa dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini... melihat bentuk tubuh dan wajahnya, kiranya tak akan lebih dari tiga puluh tahun! Ia memandang lebih tegas dan melihat setangkai Bunga Hitam yang tadi tidak dia lihat tertancap di rambut kepala wanita itu!
"Jangan bunuh, jangan bunuh..."
Hek Hwa Kui Bo mengulang.
"Ah, anak bagus, lain kali mereka mungkin yang akan menggangu dan membunuhmu. Hayo ikut!"
Tiba-tiba wanita itu menggerakkan Saputangannya yang meluncur kearah Beng San. Tahu-tahu ujung Saputangan telah melibat pergelangan tangan anak itu dan Beng San merasa tubuhnya melayang di udara. Ia meramkan mata dan mendengar angin mendesir-desir di pinggir kedua telinganya. Kwa Tin Siong menarik napas panjang ketika melihat perempuan itu berkelebat pergi membawa Beng San, lalu ia menyalurkan pernapasannya untuk memulihkan kekuatannya. Baiknya tadi ia mengurangi tenaga tusukannya, kalau dilakukan dengan sekuat tenaga, tentu sekarang dia telah menggeletak dengan jantung putus! Setelah lukanya yang tidak parah di dalam dada itu mendingan, baru dia berdiri dan membuka totokan pada diri anaknya.
"Ayah, siapkah perempuan Siluman itu?"
"Hushhh, jangan kau sombong, Hong ji. Dia adalah seorang tokoh kang ouw yang malah lebih tinggi kedudukannya daripada Sukongmu (Kakek Gurumu). Hayo kita melanjutkan perjalanan dan jangan banyak bertanya lagi."
Pendekar yang amat gagah dan jarang menemui tandingannya ini segera mengajak anaknya pergi nampaknya gelisah sekali. Memang dia merasa gelisah dan juga aneh.
Kenapa seorang tokoh seperti Hek Hwa Kui Bo yang sudah bertahun-tahun tidak pernah muncul di dunia kang ouw itu sekarang tiba-tiba turun gunung dan mengganggunya? Ia harus cepat-cepat kembali ke Hoa-San-Pai dan menceritakan hal ini kepada Suhunya. Pada masa itu, keadaan Pemerintahan yan dipegang oleh Kerajaan Goan (Mongol) sedang dikacau oleh pelbagai pemberontakan rakyat yang sudah tak kuat lagi atas penindasan penjajah Mongol. Dimana-mana muncul perkumpulan rahasia yang menghimpun tenaga-tenaga untuk melakukan pemberontakan dan rongrongan terhadap Pemerintah penjajah. Diantara puluhan macam perkumpulan rahasia ini, murid-murid Hoa-Sanpai juga termasuk anggota sebuah perkumpulan yang terbesar, yaitu Pek-Lian-Pai (Perkumpulan Teratai Putih) yang tujuannya merobohkan Pemerintah Mongol.
Kwa Tin Siong yang mempelopori kegiatan adik-adik seperguruannya, pada waktu itu sedang pergi mencari Sute-Sute dan Sumoi-Sumoinya yang berpencaran dimana-mana, malah ia sedang mencari untuk mengumpulkan tiga orang adik seperguruannya karena Hoa-San Sie-Eng (Empat Pendekar Hoa-San) harus mengadakan pertemuan di Hoa-San untuk membicarakan soal pemasukan menjadi anggota perkumpulan anti penjajah ini. Ketika tiba di hutan dan mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong baru saja pulang dari Kwi-Nam-Hu bertemu dengan Sutenya, Thio Wan To, yang sudah berjanji akan menghadap ke Hoa-San bulan depan tanggal lima. Juga dia sudah bertemu dengan Toat-Beng-Kiam Kui Teng Sutenya yang ketiga dan sudah mendapat janji pula.
Sekarang ia sedang menuju kearah dusun Lam-Bi-Chung tempat tinggal orang tua Sumoinya (adik seperguruan) yaitu Kiam-Eng-Cu Liem Sian Hwa. Setelah mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong mempercepat perjalanannya untuk segera kembali ke Hoa-San setelah memberi tahu Sumoinya tentang pertemuan Hoa-San Sie-Eng di Hoa-San. Dalam waktu tiga hari saja Kwa Tin Siong dan anak perempuannya telah tiba di dusun Lam-Bi-Chung. Tapi apa yang mereka dapati di dusun tempat tinggal jago keempat dari Hoa-San Sie-Eng ini? mereka dapati Liem Sian Hwa sedang berkabung atas kematian Ayahnya yang dibunuh orang seminggu yang lalu. Begitu melihat kedatangan Kwa Tin Siong, gadis itu segera menubruk dan berlutut di depan Twa Suheng (Kakak seperguruan tertua) ini dan menangis tersedu-sedu.
Seperti telah disebutkan di bagian depan, Kwa Tin Siong merupakan jago pertama dari keempat Hoa-San Sie-Eng yang selama ini mengharumkan nama Hoa-San-Pai sebagai Pendekar-Pendekar budiman. Liem Sian Hwa adalah tokoh keempat dan yang termuda. Akan tetapi biarpun ia termuda, baru dua puluh tahun usianya dan satu-satu wanita di antara empat Pendekar Hoa-San-Pai itu, kepandaiannya hanya kalah setingkat oleh Twa Suhengnya ini. dia seorang gadis yang cantik, manis, dan sederhana sekali, maklum karena Sian Hwa adalah anak seorang miskin. Ayahnya, Liem Ta, juga seorang guru silat yang semenjak mudanya menjadi penjual obat keliling sambil mendemontrasikan ilmu silatnya hanya untuk menarik perhatian pembeli. Ilmu silatnya adalah warisan dari ilmu silat Siauw-Lim, akan tetapi tidak begitu tinggi, hanya sekedar untuk ilmu pembela diri belaka.
Bertahun-tahun Sian Hwa tinggal di Hoa-San setelah ia diantar oleh Ayahnya dan diterima menjadi murid oleh Ketua Hoa-San-Pai, Lian Bu Tojin yang melihat bahwa anak perempuan itu bertulang baik sekali, bersemangat dan cerdik. Ayahnya tetap berkeliling obat karena sudah menjadi kebiasaan seorang yang suka merantau, tentu tak akan senang kalau harus berdiam di suatu tempat. Memang benar bahwa Liem Ta sudah mempunyai sebuah rumah kecil di dusun Lam-Bi-Chung tempat kelahiran Sian Hwa, namun karena istri Liem Ta sudah lama meninggal, ia tidak tahan hidup seorang diri dan seringkali melakukan perjalaanan merantau. Ketika Sian Hwa berusia lima belas tahun, datanglah Ketua Kun-Lun-Pai, yaitu Pek Gan Siansu, berkunjung ke Hoa-San bersama muridnya yang bernama Kwee Sin dan yang berusia tujuh belas tahun pada waktu itu. Pertemuan antara dua orang Ketua ini menghasilkan ikatan jodoh antara Sian Hwa dan Kwee Sin yang sudah yatim piatu.
Tentu saja Liem Ta diberi tahu dan duda perantau ini setelah melihat Kwee Sin yang tampan dan gagah, apalagi anak murid Kun-Lun-Pai, segera memberi persetujuannya. Lima tahun kemudian mereka telah tamat belajar. Sian Hwa menjadi seorang Pendekar gagah, menjadi seorang termuda dari Hoa-San Sie-Eng yang terkenal di seluruh dunia kang ouw. Adapun Kwee Sin juga menjadi seorang jago muda Kun-Lun-Pai yang tak kalah tersohornya. Dia adalah seorang termuda pula dari Kun-Lun Sam-Hengte (Tiga saudara dari Kun-Lun), yaitu bersama dua orang Suheng yang bernama Bun Si Teng dan Bu Si Liong. Demikianlah keadaan Sian Hwa sepintas lalu, dan sebagai Pendekar-Pendekar gagah, baik Sian Hwa maupun Kwee Sin tidak tergesa-gesa melangsungkan pernikahan, malah bertemu muka pun jarang sekali kedua tunangan ini.
Betapapun juga tiap kali keduanya bertemu muka mungkin setengah tahun sekali, jalinan cinta kasih diantara mereka makin erat. Dan pada waktu cerita ini terjadi, Liem Sian Hwa sudah kembali ke rumahnya di Lam-Bi-Chung, sedangkan Kwee Sin seperti biasanya pergi merantau sebagai seorang Pendekar muda yang bercita-cita melepaskan tanah air dan Bangsa daripada penindasan penjajah Mongol. Pada suatu hari Liem Ta pulang dari merantaunya. Kali ini dia tidak pergi terlalu jauh maka dalam waktu setengah bulan dia sudah pulang. Begitu datang ke rumah, dia sudah marah-marah dan memanggil Sian Hwa. Gadis ini segera menghampiri Ayahnya yang nampak tak senang dan marah-marah itu, penuh keheranan karena biasanya Ayahnya amat sayang kepadanya dan tidak pernah marah.
"Sian Hwa mulai sekarang hubunganmu dengan manusia she Kwee itu putus sampai disini saja! Biar besok aku pergi naik ke Hoa-San untuk memberi tahu Gurumu. Pertunanganmu dengan manusia she Kwee itu harus putus!"
Kalau ada halilintar menyambarnya di saat itu, kiranya Sian Hwa tak akan sekaget ketika mendengar perkataan Ayahnya ini. kedua pipinya yang biasanya kemerahan itu kini menjadi pucat. Akan tetapi sebagai seorang Pendekar wanita yang gagah ia bersikap tenang ketika bertanya,
"Apakah sebabnya Ayah menjadi marah-marah seperti ini? tentu telah terjadi sesuatu yang membuat Ayah menjadi marah."
"Terjadi sesuatu?"
Liem Ta membentak.
"Sudah terlalu lama terjadinya, sudah terlalu lama orang itu menipu kita, menipumu! Pantas saja sampai sekarang belum juga ada ketentuan tentang hari baikmu. Huh, kiranya manusia itu bermain gila!"
Mulai khawatir hati Sian Hwa, sepasang alisnya yang hitam bergerak-gerak.
"Ayah, apakah sebenarnya yang telah terjadi?"
Hatinya benar-benar mulai merasa tidak enak karena ia sudah menduga bahwa pasti terjadi sesuatu dengan diri tunangannya, Kwee Sin.
"Manusia she Kwee itu ternyata bukan orang baik-baik, Sian Hwa. Biarpun dia itu murid Kun-Lun-Pai, biarpun dia seorang diantara Kun-Lun Sam-Hengte namun sekarang ia telah tersesat. Dia gulung-gulung dengan seorang wanita jahat, kalau tidak salah wanita itu seorang dari perkumpulan Ngo-Lian-Kauw yang terpimpin iblis. Mataku sendiri melihat dia bermain gila secara tak tahu malu dengan wanita genit dan cabul itu. Sudahlah, pendeknya aku tidak rela anakku menjadi istri seorang laki-laki yang bergulung-gulung dengan wanita cabul!"
Dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Sian Hwa. Akan tetapi ia masih menahan-nahan perasaan dan bertanya sambil lalu,
"Aneh sekali kenapa orang bisa begitu tak tahu malu, Ayah? Dimanakah Ayah melihatnya... eh mereka itu?"
"Dimana lagi kalau tidak di Telaga Pok-Yang! Bermain perahu, bernyanyinyanyi, minum-minum, uh... pendeknya, terlalu!"
Ayah ini menyumpah-nyumpah dan kembali menyatakan besok akan berangkat ke Hoa-San untuk minta Ketua Hoa-San membatalkan perjodohan Sian Hwa dengan Kwee Sin. Akan tetapi pada keesokan harinya, Liem Ta membatalkan kepergiannya ke Hoa-San karena melihat bahwa anak gadisnya telah pergi secara diam-diam malam hari itu.
"Ah,"
Pikirnya dengan hati duka.
"Kasihan kau, Sian Hwa, kau tentu pergi menyusul ke Pok-Yang untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Lebih baik lagi, lebih baik kau menyaksikan sendiri agar tidak penasaran hatimu..."
Dugaan Liem ta memang benar. Karena tak dapat menahan panasnya hati, gadis itu malam-malam pergi dari rumahnya menuju ke Telaga Pok-Yang yang tidak berapa jauh letaknya dari dusunnya, hanya perjalanan tiga hari. Akan tetapi ketika ia tiba di Telaga itu, tidak terdapat tunangannya itu diantara sekian banyaknya para pelancong. Ia bertanya kesana kemari dan selagi ia mencari keterangan, tiba-tiba seorang tukang perahu yang berkumis panjang mendekatinya.
"Nona hendak mencari siapakah?"
Sian Hwa berterus terang.
"Aku mencari seorang teman, wanita cantik yang berpesiar disini bersama seorang pemuda yang..."
Ia tak sudi menyebut tampan dan menambahkan, yang mukanya putih..."
Tiba-tiba tukang perahu itu nampak sungguh-sungguh dan berkata perlahan-lahan,
"Apakah wanitanya itu seorang anggota Pek-Lian-Pai (Partai Teratai Putih)...?"
Sian Hwa terkejut. Pada masa itu, di mana Negara sedang kacau dan banyak perkumpulan-perkumpulan rahasia bertujan merobohkan Pemerintah, nama Pek-Lian-Pai amat terkenal sebagai perkumpulan besar yang berpengaruh. Sebagai seorang Pendekar tentu saja Sian Hwa bersimpati terhadap perkumpulan Pek-Lian-Pai ini maka dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar pertanyaan si tukang perahu.
"Hemmmmm..."
Ia meragu.
"Mungkin demikian. Apakah kau melihat mereka?"
"Yang laki-laki muda tampan bermuka putih, menggantung pedang di punggung seperti Nona sekarang ini, bukan?"
"Ya... ya..."
Tukang perahu itu tertawa.
"Ah, pengantin baru seperti mereka itu kemana lagi kalau tidak berpesiar ke tempat-tempat indah? Kebetulan sekali ketika mereka berrpesiar disini, mereka selalu mempergunakan perahuku, Nona. Aahhh, benat-benar pasangan yang cocok, mesra dan saling mencinta..."
"Ngaco!"
Sian Hwa membentak marah sehingga tukang perahu itu nampak ketakutan.
"Katakan saja, dimana mereka berada?"
"Nona yang pakai Teratai Putih di rambutnya itu... dan pemuda tampan itu... kemarin sudah pergi dari sini. Menurut yang kudengar dari percakapan mereka, si pemuda hendak mengajak nona itu pergi ke dusun Lam-Bi-Chung... dan..."
Sian Hwa tidak melanjutkan pendengarannya, ia berkelebat pergi dan lari cepat menyusul, kembali ke Lam-Bi-Chung. Ia tidak melihat betapa seperginya, tukang perahu berkumis panjang itu tertawa mengejek. Alangkah mengkalnya hati Sian Hwa ketika ia tidak dapat menyusul dua orang itu, buktinya sampai di dusun Lam-Bi-Chung, ia tidak melihat dua orang itu dan dapat dibayangkan betapa marah dan kagetnya ketika ia melihat Ayahnya sudah rebah dengan luka-luka parah pada tubuhnya! Ia datang tepat di pagi hari dan ternyata Ayahnya malam tadi diserang orang.
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapakah yang menyerangnya, Sumoi? Dan apakah... Apakah Ayahmu meninggal akibat penyerangan itu?"
Tanya Kwa Tin Siong yang sejak tadi mendengarkan penuturan adik seperguruannya itu dengan sabar. Kwa Hong dia suruh main di luar rumah karena dia rasa kurang baik anak-anak mendengarkan urusan besar. Liem Sian Hwa menyusut air matanya.
"Ayah hanya dapat bertahan sehari saja, Twa Suheng. Luka-lukanya berat dan... dan itulah yang membuat hatiku amat sakit. Ayah menderita tiga macam luka, yang pertama adalah tusukan pedaang dekat leher, kedua adalah luka karena sebatang paku berkepala Bunga Teratai Putih..."
"Hemmmm, Pek-Lian-Ting (Paku Teratai Putih)""
Diam-diam Kwa Tin Siong terheran-heran karena itulah paku tanda rahasia anggota perkumpulan Pek-Lian-Pai! "Dan luka yang ketiga?"
Tiba-tiba wajah Sian Hwa pucat sekali.
"Yang ketiga adalah akibat pukulan Pek-Lek-Jiu... dari Kun-Lun-Pai..."
Kwa Tin Siong hampir melompat saking kagetnya.
"Apa...?"
Sian Hwa berkata dengan sungguh-sungguh.
"Aku sudah memeriksa dengan teliti sekali, Suheng. Tentu kau masih ingat dahulu Suhu pernah menuturkan secara jelas sekali tentang Pek-Lek-Jiu Kun-Lun-Pai itu termasuk tanda-tanda bekas pukulannya. Aku merasa yakin bahwa dada Ayah telah dipukul orang dengan ilmu pukulan Pek-Lek-Jiu (Pukulan Geledek) dari Kun-Lun-Pai""
"Dan murid Kun-Lun-Pai yang terpandai menggunakan Pek-Lek-Jiu adalah... Kwee Sin...!"
Kata jago pertama dari Hoa-San Sie-Eng ini sambil merenung.
"Betul, Twa Suheng."
Liem Sian Hwa menangis lagi.
"Aku harus membalas dendam...! Si keparat she Kwee, kalau belum membalas kekejamanmu, aku Liem Sian Hwa tak akan mau sudah..."
"Husshhh, nanti dulu, Sumoi. Kau tenanglah. Tak baik menjatuhkan dakwaan kepada seseorang tanpa bukti. Apalagi saudara Kwee Sin sepanjang pendengaranku adalah seorang gagah. Sebagai seorang termuda dari Kun-Lun Sam-Hengte, agaknya tak masuk akal kalau dia melakukan pembunuhan ini. andaikata buktinya kuat, habis apa alasannya dia mau melakukan hal ini?"
"Twa Suheng masa tidak dapat menduganya? Dia...manusia she Kwee keparat itu, setelah terlihat oleh Ayah di Telaga Pok-Yang, agaknya merasa malu dan takut kalau-kalau rahasianya disiar-siarkan oleh Ayah. Dia dan... Siluman dari Pek-Lian-Pai itu... tentu mengejar kesini dan membunuh Ayah..."
"Kenapa begitu yakin?"
"Ayah sendiri yang mengatakan demikian, Twa Suheng. Ayah masih dapat menceritakan hal ini, biarpun amat sukar dia bicara."
Sian Hwa menghapus air matanya yang bercucuran deras ketika ia bicara tantang Ayahnya.
"Menurut Ayah, malam itu Ayah terkejut dan terbangun dari tidur karena suara keras pada jendela. Begitu Ayah melompat turun, dia roboh karena tusukan pedang yang mengarah leher, dan masih menyerempet ketika dielakkan oleh Ayah. Kemudian ia terpukul pada dadanya, keras sekali membuat Ayah hampir pingsan. Sebelum pingsan Ayah mendengar suara ketawa seorang wanita dari luar jendela, kemudian terasa sakit pada pinggangnya karena tertusuk paku itu. Yah masih mendengar kata-kata seorang laki-laki yang mengatakan bahwa Ayah tak boleh sekali-sekali menghina seorang jagoan Kun-Lun! Malah Ayah mendengar pula ejekan wanita itu yang menyatakan bahwa Partai Pek-Lian-Pai tidak mau mengampuni orang-orang yang sombong."
Kwa Tin Siong makin terheran-heran. Bagaimana mungkin Kwee Sin melakukan hal securang itu? Apalagi dia, wanita yang katanya anggota Pek-Lian-Pai yang tersohor sebagai perkumpulan orang-orang gagah, Patriot-Patriot Bangsa! Malah dia sendiri sekarang mencari tiga orang adik seperguruannya untuk diajak berunding tentang memasuki Partai itu dan membantu perjuangan.
"Apakah Ayahmu melihat pula laki-laki dan wanita itu?"
Desaknya.
"Tidak, Twa Suheng. Kamar Ayah gelap sekali, tidak ada penerangan. Hal ini pun menunjukkan bahwa dua orang yang datang menyerang Ayah itu berkepandaian tinggi, dapat menyerang di tempat gelap secara tepat."
"Apakah Ayahmu mengenal suara saudara Kwee Sin?"
"Tentu tidak, Suheng. Jarang sekali Ayah bertemu dengan dia. Ah, Twa Suheng, kenapa kau masih ragu-ragu? Tak bisa salah lagi anjing Kwee Sin itulah yang membunuh Ayah dibantu seorang Siluman dari Pek-Lian-Pai. Twa Suheng, hanya para Suhenglah yan kiranya dapat membantu Siauw-moi menuntut balas atas kematian Ayah secara penasaran ini..."
"Siapakah orangnya yang tak akan ragu-ragu, Sumoi. Dua hal yang amat berlawanan dengan dugaan dan pendengaran. Jago muda Kun-Lun... dan seorang anggota Pek-Lian-Pai... ah, kalau bukan kau yang tertimpa hal ini, agaknya sukar untuk percaya..."
Tiba-tiba mereka dikejutkan suara jeritan di luar rumah.
"Tidak...! Pergi...!"
Itulah suara Kwa Hong ! Kwa Tin Siong mencelat dari kursinya keluar pintu, diikuti Sian Hwa yang juga meloncat dengan amat lincahnya. Bagaikan terbang melayang keduanya meloncat keluar dan melihat sebuah Pek-Lian-Ting (Paku Teratai Putih) seperti yang dipergunakan orang melukai Ayah Sian Hwa tertancap pada daun pintu depan! Dan Kwa Hong sudah tidak tampak lagi, hanya terdengar derap kaki kuda lari cepat menjauhi-tempat itu.
"Cepat, Twa Suheng, kejar...!"
Kwa Tin Siong melompat keatas kudanya dan Sian Hwa berlari-lari menuju ke halaman belakang rumahnya untuk mengambil kudanya pula. Di lain saat Kakak beradik seperguruan ini sudah melakukan pengejaran. Sebentar saja Kwa Tin Siong tersusul oleh kuda tunggangan Sian Hwa seekor kuda tunggang yang amat baik dan pilihan. Dua orang Pendekar ini adalah jago tertua dan termuda dari Hoa-San Sie-Eng. Selain ilmu silat mereka yang tinggi, juga dalam hal menunggang kuda mereka adalah ahli-ahli yang jarang bandingannya. Apalagi Sian Hwa yang memang sejak kecilnya diajak merantau Ayahnya dan semenjak kecilnya gadis ini sudah suka sekali menunggang kuda. Setelah melalui kurang lebih lima li, akhirnya suara derap kuda yang mereka kejar itu makin jelas terdengar, tanda bahwa kuda itu tak jauh lagi terpisah.
"Sumoi, kau kejar terus, aku hendak mendahuluinya memotong jalan."
Biarpun masih amat muda, baru dua puluh tahun, namun pengalaman Sian Hwa di dunia kang ouw sudah cukup luas. Maka sedikit kata-kata Twa Suhengnya ini cukup ia ketahui maksudnya. Ia tahu bahwa untuk menangkap seorang penculik anak-anak lebih aman dipergunakan siasat, yaitu disergap dari belakang.
Kalau secara berterang, mungkin akan gagal karena si penculik dapat mempergunakan anak yang diculik untuk mengancam. Ia hanya mengangguk dan Kwa Tin Siong lalu membedal kudanya, mengambil jalan memutar hendak memotong jalan. Baiknya ia sudah menganl betul jalan di daerah tempat tinggal Sumoinya ini, maka tanpa ragu-ragu, dia tahu kemana arah jalan yang diambil oleh si penjahat di depan itu. Jalan itu menikung kekanan dan agak memutar, maka kalau dia memotongnya melalui kebun dan hutan kecil, dia akan dapat mendahului si penjahat. Tak lama kemudian Sian Hwa sudah dapat melihat penculik itu. Kuda yang ditunggangi penculik itu bukan kuda baik, nampak sudah lelah sekali, apalagi ditunggangi dua orang seperti Kwa Hong. Anak perempuan itu tampak lemas dan tidak bergerak atau bersuara lagi.
"Bangsat rendah, hendak lari kemana kau!"
Sian Hwa mencabut Siang-Kiam (Sepasang Pedang) tipis dan mempercepat larinya kuda. Penculik itu, seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun bertubuh kecil bermata lebar ketika mendengar suara wanita lalu menoleh, ia tercengang melihat bahwa yang mengejarnya hanya seorang gadis cantik yang masih amat muda, lalu tiba-tiba ia menahan kudanya dan tertawa sambil mencabut goloknya.
"Aha kiranya ada nona manis ingin main-main dengan aku,"
Katanya dengan senyum mengejek. Suaranya menunjukkan bahwa dia seorang dari Utara. Dengan gerakan yang gesit sekali orang itu meloncat turun dari kuda setelah menurunkan Kwa Hong yang dia gulingkan keatas tanah. Gadis cilik itu agaknya tertotok jalan darahnya, lemas seperti orang pingsan. Dengan tenang orang itu lalu berdiri menghadang Sian Hwa yang datang membalapkan kudanya.
"Penculik hina, hari ini pedang nonamu akan mengantar nyawamu ke neraka."
Sian Hwa berseru dan tiba-tiba tubuhnya melayang meninggalkan punggung kudanya yang masih berlari. Bagaikan seekor Burung wallet nona ini sudah menggerakkan pedangnya dan langsung menyerang penculik itu dengan gerakan sepasang pedang yang menyambar-nyambar! Hebat benar sepak terjang nona Liem Sian Hwa yang berjuluk Kiam-Eng-Cu (Bayangan pedang) ini dan tidak mengecewakan ia berjuluk demikian karena betul-betul sepasang pedangnya merupakan segunduk sinar yang menutupi tubuhnya ketika ia melompat sambil menyerang.
"Bagus...!"
Laki-laki itu mau tak mau memuji melihat ketangkasan gerakan gadis ini. cepat dia menangkis dengan golok yang diputar seperti payung di depan tubuhnya.
"Trang... trang...!"
Bunga api muncrat kesana kemari ketika sepasang pedang itu bertemu dengan golok. Dari getaran pada tangannya maklumlah Sian Hwa bahwa lawannya ini biarpun bertubuh kecil namun bertenaga besar juga. Begitu kedua kakinya berada di tanah, nona ini lalu menggenjot tanah dan tubuhnya berkelebet kesebelah kiri orang itu, pedangnya kembali berkelebat. Ia sudah sengaja mempergunakan Ginkangnya untuk mengalahkan lawan dengan kecepatan gerakannya. Siapa kira, orang ini pun ternyata cepat sekali dapat memutar tubuh sambil membabatkan golok ke pinggang Sian Hwa. Terpaksa Sian Hwa menangkis dengan pedang kirinya, pedang kanan menusuk kearah dada dengan gerak tipu Kwan-Kong Sia-Ciok (Kwan Kong Memanah Batu).
Sekarang kagetlah orang itu, tidak berani lagi dia tertawa-tawa. Ternyata nona muda ini hebat ilmu pedangnya, cepat, gesit dan tak terduga serangannya. Ia cepat menjengkangkan diri ke belakang berjungkir balik lalu menghadapi lawannya dengan hati-hati. Pertempuran seru segera terjadi dan pada saat itu muncullah Kwa Tin Siong dari belakang pohon-pohon. Girang hati Pendekar ini melihat bahwa anaknya hanya tertotok dan tidak mengalami kecelakaan, maka dia cepat meloncat dan membebaskan totokan pada tubuh anaknya lebih dulu karena dia melihat bahwa sepasang pedang Sumoinya ternyata mampu menahan gerakan golok yang aneh dan lihai dari penculik. Setelah Kwa Hong sembuh kembali dan ia menyuruh anaknya ini duduk bersila dan mengatur napas membereskan kembali jalan darahnya, Kwa Tin Siong melompat ke medan pertempuran sambil berseru,
"Sumoi serahkan penjahat ini kepadaku!"
Sebetulnya Sian Hwa tidak pernah terdesak oleh lawannya, akan tetapi maklum betapa Twa Suhengnya marah karena orang ini telah menculik puterinya, ia meloncat keluar dan membiarkan Twa Suhengnya menghadapi penculik itu.
"Tahan, sobat!"
Kwa Tin Siong mengulurkan pedang menahan golok lawan. Ia mengerahkan tenaganya sehingga golok lawannya itu tertahan dan tak dapat bergerak lagi. Lawannya kaget sekali dan menatap tajam.
"Kau ini siapakah dan seingatku, diantara aku Kwa Tin Siong dank au tidak pernah ada permusuhan apa-apa. Kenapa kau datang dan menculik anakku?"
Tanya Pendekar itu yang tidak mau menurunkan nafsu amarah. Orang itu tertawa mengejek.
"Aku... aku hanya ingin menguji sampai dimana nama besar Hoa-San Sie-Eng!"
Kwa Tin Siong mengernyitkan keningnya.
"Kau sudah mengenal nama kami tentulah seorang kang ouw. Kulihat kau menggunakan Pek loan ting, apa hubunganmu dengan Pek-Lian-Pai? Sobat, harap kau jangan main-main dan mengakulah terus terang apa sebetulnya kehendakmu dan siapa namamu yang besar."
Tiba-tiba terdengar orang itu bersuit keras sekali dan goloknya berkelebat menyerang Kwa Tin Siong. Tentu saja pedekar ini marah sekali. Tak pernah diduganya bahwa orang akan berlaku begini rendah, padahal dia sudah cukup bersikap jujur dan menghormat.
"Bagus, kiranya kau hanya sebangsa pengecut curang!"
Serunya dan sekali tangkisan ia dapat membikin golok orang itu terpental kemudian desakan pedangnya yang sekaligus menyerang bertubi-tubi sampai empat lima jurus membuat orang itu mundur-mundur tak mampu balas menyerang. Memang hebat ilmu pedang Kwa Tin Siong dan tidak percuma dia menjadi orang pertama dari Hoa-San Sie-Eng. Gerakan-gerakannya mantap dan matang, tenaga Lweekangnya juga sudah tinggi sehingga baru belasan jurus saja si penculik itu sudah harus meloncat kesana kemari dan menangkis sedapatnya. Kembali ia bersuit keras dan kali ini tiba-tiba dari arah Timur hutan terdengar suitan-suitan semacam yang agaknya menjawab suitan si penculik tadi. Mendengar ini Kwa Tin Siong berseru,
"Awas, Sumoi, kawanan penculik datang!"
Liem Sian Hwa memang sudah siap. Ia menyuruh Kwa Hong bersembunyi di balik sebatang pohon besar, sedangkan ia sendiri lalu menjaga disitu dengan sepasang pedang di kedua tangan. Terdengar seruan kesakitan dan penculik itu terhuyung ke belakang dengan pundak berdarah. Ternyata pundaknya kena disambar pedang sehingga terbabat kulit dan dagingnya. Namun ia masih sanggup melawan sehingga Kwa Tin Siong masih belum juga dapat merobohkannya. Pada saat itu terdengar suara banyak kuda penunggang kuda. Mereka adalah empat orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, gerakan mereka tangkas dan begitu sampai disitu, keempatnya lalu melompat turun dan mencabut golok.
Tanpa banyak cakap lagi Sian Hwa menyambut mereka. Dua orang mengeroyoknya dan yang dua pula kini sudah membantu si penculik tadi, mengeroyok Kwa Tin Siong. Diam-diam dua orang anak murid Hoa-San-Pai ini terkejut sekali. Ternyata empat orang yang baru datang ini malah memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada penculik. Ilmu golok mereka adalah ilmu golok Utara, keras dan bertenaga, gerak-geriknya juga cepat. Sian Hwa dan tin Siong memang, mewarisi Ilmu Pedang Hoa-San Kiam-Hoat yang ampuh. Keduanya patut diberi julukan Pendekar pedang Hoa-San dan mereka dalam pertempuran keroyokan ini telah memperlihatkan ketangkasan. Akan tetapi, lawan-lawan mereka yang mengeroyok juga bukan sembarangan orang, memiliki kelihaian yang tingkatnya dengan mereka hanya kalah sedikit,
Namun dengan pertempuran secara pengeroyokan itu tentu saja mereka lebih unggul dan mulai mendesak. Lima puluh jurus telah lewat, Kwa Tin Siong masih dapat bertahan dan membalas serangan, akan tetapi Sian Hwa mulai lelah, mulai berkurang daya serangnya dan lebih banyak menangkis dan meloncat kesana-kemari. Gadis itu hebat sekali. Kali ini benar-benar tepat julukannya Kiam-Eng-Cu karena tubuhnya lenyap terbungkus sinar kedua pedangnya dan dua batang golok lawan yang menyambar-nyambar mengitari dirinya. Kwa Tin Siong mengeluh dalam hatinya, celaka, pikirnya. Kali ini aku dan Sumoi menghadapi bencana. Hal ini masih belum hebat, celakanya, anaknya pun menghadapi bencana yang hebat pula. Siapa akan melindunginya? Berpikir sampai disini dia mencoba untuk menggunakan daya lain. Tiba-tiba ia berseru keras.
"Bukankah Cuwi (tuan-tuan sekalian) ini anggota-anggota Pek-Lian-Pai? Ketahuilah Siauwte Kwa Tin Siong dari Hoa-San-Pai tidak ada permusuhan dengan Pek-Lian-Pai, malah tadinya hendak menggabungkan diri?"
Akan tetapi tiga orang lawannya tertawa dan seorang diantara mereka berkata mengejek,
"Anak murid Hoa-San-Pai mana ada harga masuk Pek-Lian-Pai? Kalau mau mengaku kalah barulah kami melepaskan dan boleh belajar lagi. Lihat kelak, kalau sudah pandai baru boleh masuk Pek-Lian-Pai!"
Tiga orang itu tertawa-tawa dan menyerang. Kwa Tin Siong adalah seorang Pendekar sejati, mana dia sudi menurut kehendak tiga orang lawannya itu? Pendirian seorang Pendekar, lebih baik mati daripada bertekuk lutut menerima hinaan. Dengan gemas dia mempercepat gerakan-gerakan pedangnya sehingga lawan-lawannya terpaksa berlaku hati-hati dan mundur, lalu dia berkata.
"Melihat sikap Cuwi, tak patut menjadi Patriot-Patriot yang anti penjajah Bangsa mongol!"
Tiga orang itu hanya tertawa lagi, dan si penculik yang sudah dilukai pundaknya berkata,
"Jangan banyak cerewet tentang urusan perjuangan. Hoa-San Sie-Eng bernama besar, perlihatkan kebesaran itu. Ha ha ha!"
Sekarang Kwa Tin Siong betul-betul terdesak. Apalagi setelah mendengar sumaoinya berseru marah karena pedang kirinya terlepas dan terlempar, dia makin gelisah. Sumoinya kini hanya melawan dengan sebatang pedang, sedangkan dua orang lawannya itu makin mendesak sambil mengeluarkan ucapan-ucapan kotor. Memang Sian Hwa terdesak hebat dan lebih lagi gadis ini merasa marah bukan main karena selain pedangnya yang kiri terlepas, juga dua orang pengeroyoknya itu menggodanya dengan kata-kata yang tidak sopan. Ia berlaku nekat dan mati-matian dan hal ini mendatangkan celaka baginya.
Karena terlalu bernafsu menyerang, ia menjadi lengah dan pada suatu saat, lutut kanannya kena ditendang seorang lawan. Sian Hwa menjerit dan roboh terduduk, namun ia masih memutar-mutar pedangnya sambil duduk bersimpuh sehingga dua orang lawannya tidak mampu mendekatinya. Kwa Tin Siong yang kaget mendengar jerit Sumoinya, juga menjadi lengah dan sebuah babatan golok kearah pinggangnya hampir saja membuat tubuhnya putus maenjadi dua. Baiknya dia telah mengelak dan meloncat sehingga hanya paha kirinya saja yang terluka, cukup parah namun tidak cukup untuk merobohkannya. Betapapun juga, keadaan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa sudah amat terancam dan sewaktu-waktu dapat dipastikan bahwa mereka tentu akan menjadi korban keganasan musuh-musuh mereka ini. Pada saat itu terdengar orang tertawa dan bernyanyinyanyi.
"Ha-ha-ha, ho-ho,"
Orang itu tertawa-tawa ketika tiba di dekat tempat pertempuran.
"Ada anjing-anjing berebut tulang! Anjing-anjing penjilat Mongol mengeroyok... heh-he-heh, aku tak dapat tinggal diam saja. He iiii! Biarkan aku ikut main-main, waah, gembira benar nih!"
Muncullah seorang laki-laki tinggi besar yang pakaiannya tidak karuan, berkembang-kembang seperti pakaian wanita dengan potongan pakaian bocah. Sikapnya juga seperti seorang anak kecil padahal wajahnya menunjukkan bahwa usianya tentu empat puluhan. Koai Atong, memang tokoh yang sudah kita kenal inilah yang muncul. Dengan anak panah di tangannya dia menyerbu pertempuran. Pertama-tama dia menyerbu dua orang yang mengeroyok Sian Hwa. Begitu anak panah di tangannya ditangkis dua golok orang yang mencoba untuk membabat patah pedang Sian Hwa, dua orang itu mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja golok mereka terlepas.
"Heh-heh-heh, terimalah pukulanku, kau dua hidung kerbau!"
Tangan kirinya lalu diputar-putar secara aneh dan mendorong ke depan. Dua orang itu merasa ada angin menyambar yang berbau seperti daun busuk. Mereka adalah orang-orang yang sudah banyak pengalaman, maka cepat mereka menghindar,
Namun tetap saja angin pukulan orang aneh itu membuat mereka terhuyung ke belakang sampai empat lima langkah! Akan tetapi Koai Atong tidak mendesak terus. Melihat dua orang lawannya itu mundur-mundur ketakutan, sambil bernyanyinyanyi dia melangkah lebar menghampiri medan pertempuran Kwa Tin Siong. Juga disini dia memutar anak panahnya, beberapa kali menangkis golok tiga orang itu, lalu tangan kirinya mendorong-dorong dan robohlah seorang diantara mereka, yaitu si penculik tadi. Yang dua terhuyung-huyung ke belakang dengan muka pucat karena merasa isi perut hendak muntah keluar. Melihat gelagat buruk, empat orang itu lalu menceplak kuda dan kabur dari situ sambil membawa tubuh si penculik yang pingsan dengan mata mendelik dan muka kehijauan. Terdengar suara mereka dari jauh,
"Koai Atong... Koai Atong...!"
Kwa Tin Siong menarik napas lega. Luka di pahanya tidak dipedulikannya. Ia terlampau tegang mendengar nama "Koai Atong"
Tadi. Nama ini sudah tentu saja pernah didengarnya sebagai nama seorang diantara iblis dunia persilatan. Ia segera menjuru dengan hormat kepada orang aneh itu dan berkata,
"Nama besar... Koai... Enghiong... sudah lama Siauwte mendengarnya. Hari ini Enghiong menolong nyawa Siauwte berdua dengan Sumoi dan anakku, sungguh budi besar sekali..."
Kwa Tin Siong tidak berani menyebut orang itu Koai Atong yang berarti anak setan, maka diubahnya menjadi Koai Enghiong (orang gagah Koai). Akan tetapi Koai Atong yang diberi hormat itu longang-longong, memandang ke kanan kiri dan berbalik dia bertanya.
"Eh, kau ini bicara kepada siapa?"
Kwa Tin Siong melengak.
"Kepadamu Koai Enghiong..."
"Namaku Koai Atong, mana ada Enghiong-Enghiong segala, Enghiong itu apa sih? Sayang, main-main sedang ramai-ramainya, mereka pergi. Licik benar. Eh, dia apamu? Anakmu?"
Ia menuding kearah Sian Hwa yang msih duduk bersimpuh dan sedang berusaha membetulkan samBungan lututnya yang kena tendang tadi.
"Bukan, dia Sumoiku, dan anakku..."
Tiba-tiba muncul Kwa Hong berlari-lari. Anak ini gembira sekali nampaknya.
"Aku anaknya! Orang aneh, kau jempol sekali!"
Kwa Hong memandang kagum dan mengacungkan jempol tangannya keatas.
"Hanya dengan memutar tangan kiri dan menggertak sudah bisa mengusir anjing-anjing itu. Jempol!"
Ia lalu meniru-niru gerakan tangan kiri Koai Atong tadi yang diputar-putar dan dipakai mendorong-dorong.
"Ha-ha-ha-ha,,!"
Koai Atong tertawa terpingkal-pingkal "Kau pintar menari, ya? Bagus, ya?"
Ia pun lalu menari-nari dan memutar-mutar tangannya sambil melirik-lirik dan tersenyum-senyum hingga seperti seorang yang sedang pandai melagak dan manja. Tentu saja ini hanya sikapnya dan melihat keadaannya dia lebih pantas disebut orang gila yang segila-gilanya. Melihat orang itu menari-nari lucu, Kwa Hong tertawa mengikik sambil menutupi mulutnya. Sian Hwa dan Kwa Tin Siong tidak berani tertawa karena mereka maklum akan kelihaian dan keanehan orang kang ouw ini. Koai Atong juga berhenti menari.
"Orang aneh, kau benar-benar hebat. Kau telah menolong Bibiku dan Ayahku. Terima kasih, ya?"
Kata Kwa Hong.
"Aku tidak senang kepada mereka,"
Kata Koai Atong merengut.
"Mereka itu anjing-anjing Mongol."
"Koai Enghiong..."
Bantah Kwa Tin Siong.
"Mereka itu adalah orang Pek-Lian-Pai, apa betul penjilat Mongol?"
"Tak peduli Pek-Lian-Pai atau Hek-Lian-Pai penjilat-penjilat Mongol aku tak suka."
"Koai Atong, kau betul!"
Kwa Hong berseru girang.
"Aku pun tidak suka kepada mereka."
Koai Atong kelihatan girang sekali, seperti seorang anak-anak yang bertemu dengan kawan baik.
"Bagus, kita cocok. Mari ikut aku pergi main-main. Aku banyak mengenal tempat yang bagus-bagus!"
Koai Atong menyambar tangan Kwa Hong dan sebelum Kwa Tin Siong dan Sian Hwa sempat mencegah, orang aneh itu sudah berlari cepat sekali dengan langkah-langkah yang lebar sambil menggandeng Kwa Hong.
"Koai Enghiong tunggu... ! jangan bawa pergi anakku!"
Kwa Tin Siong berseru sambil mengejar. Juga Sian Hwa ikut mengejar, akan tetapi karena paha Kwa Tin Siong sudah terluka sedangkan lutut Sian Hwa masih membengkak, keduanya tak dapat berlari cepat dan sebentar saja sudah tidak kelihatan lagi bayangan orang tinggi besar itu bersama Kwa Hong.
"Celaka...!"
Kwa Tin Siong membanting-banting kakinya dan nampak berduka sekali.
"Jangan berduka, Twa Suheng. Biarpun amat aneh, kurasa orang itu tak akan mengganggu Hong ji. Dia seperti seorang anak-anak mendapatkan teman dan mengajak Hong ji bermain-main. Dia lihai sekali, pasti mampu menjaga Hong ji baik-baik."
Kwa Tin Siong menarik napas panjang.
"Aku tidak mengkhawatirkan dia mengganggu Hong ji, juga tentang penjagaan, kiranya dia akan lebih baik dari padaku karena kepandaiannya lebih tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Ban-Tok-Sim Giam-Kong dan muridnya itu, Koai Atong. Siapa yang tidak ngeri mendengar nama mereka? Mereka itu benar bukan tergolong orang-orang jahat akan tetapi mereka aneh sekali dan kadang-kadang melakukan perbuatan yang tak terduga-duga. Bagaimana hatiku tidak akan khawatir? Kapan aku dapat bertemu kembali dengan anakku? Ketika mengucapkan kalimat terakhir ini, wajah Kwa Tin Siong nampak berduka sekali, membuat Sumoinya terharu.
"Suheng, kalau begitu, mari kutemani kau mengejarnya. Mustahil tak akan tersusul, dia kan sering kali berhenti untuk bermain-main. Kalau kita membujuknya tak berhasil, kita bisa menggunakan kekerasan."
Kwa Tin Siong menggeleng kepala.
"Percuma Sumoi. Kita masih menderita luka. Pula agaknya Hong ji juga senang bermain-main dengan orang itu. Buktinya ketika dibawa pergi tadi diam saja. Sudahlah biar hitung-hitung menambah pengalaman anak itu. Kita mempunyai persoalan yang amat penting sekarang. Aku merasa ragu-ragu dan kecewa sekali menyaksikan sepak terjang orang-orang Pek-Lian-Pai."
Sian Hwa yang tadi pikirannya penuh oleh keadaan Kwa Tin Siong, sekarang teringat akan urusannya sendiri. Ia mengertak gigi.
"Memang betul, Suheng. Hampir saja kita sendiri pun menjadi korban keganasan Pek-Lian-Pai. Sudah jelas sekarang bahwa Pek-Lian-Pai sengaja memusuhi-aku dan Suheng, pendeknya memusuhi-Hoa-San-Pai."
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kwa Tin Siong mengangguk-angguk.
"Kupikir juga begitu. Tak mungkin secara kebetulan saja mereka mengganggu kau dan aku. Hemmmm, anehnya, mereka itu beranggota banyak sekali, mempunyai banyak mata-mata, apakah tidak tahu bahwa murid Hoa-San-Pai tadinya bersimpati kepada mereka dan berniat membantu? Sumoi, kita tidak boleh berlaku secara sembrono. Lebih baik kita berunding dua orang Suhengmu, kemudian kita minta nasehat Suhu."
Sian Hwa setuju.
"Kalau begitu, mari kita kembali ke Hoa-San, Suheng, aku pun tidak betah tinggal di rumah, ingin bertemu para Suheng dan minta bantuan membalaskan sakit hatiku."
Kakak beradik seperguruan itu lalu meninggalkan tempat tadi dan langsung mereka berdua melakukan perjalanan ke Hoa-San. Andaikata mereka itu bukan Kakak beradik seperguruan, juga tidak sedang berada dalam keadaan berduka berhubung dengan urusan masing-masing, tentu mereka akan merasa sungkan juga melakukan perjalanan berdua saja. Seorang laki-laki dan seorang gadis, biarpun yang pria sudah berusia empat puluh tahun sedangkan yang wanita baru dua puluh tahun, namun si pria cukup tampan sehingga mereka merupakan pasangan yang cocok. Tentu saja bagi mereka sendiri tidak apa-apa karena memang semenjak Sian Hwa masih kecil, baru berusia sepuluh tahun, dia sudah menjadi adik seperguruan Kwa Tin Siong. Mereka melakukan perjalanan cepat karena ingin segera sampai di Hoa-San.
"Aduh... Aduh, berhenti... berhenti aku tidak bisa bernapas... Kui Bo, berhenti...!"
Beng San berteriak teriak dengan napas sengal-sengal. Bukan main cepatnya tubuhnya dibawa pergi sampai angin menyesakkan pernapasannya dan tangannya yang terbelit ujung Saputangan juga amat sakitnya. Tiba-tiba Hek Hwa Kui Bo berhenti dan begitu melepas Saputangannya ia menangkap tangan kanan Beng San dan membentak.
"Kau pernah belajar silat kepada siapa?"
Aneh sekali, kalau tadi ia bersikap manis dan genit di depan Beng San, kini dia berubah menjadi gila dan suara serta pandang matanya penuh ancaman. Beng San seorang bocah tabah dan ndugal (nakal) mana ia kenal takut? Ia mengerahkan tenaga dan berusaha menarik tangannya, akan tetapi tak berhasil, malah cekalan wanita itu makin erat.
"Aku tak pernah belajar silat"
Jawab Beng San akhirnya karena tangannya yang dipegang terasa sakit.
"Bohong! Kalau tidak mengaku akan kupatahkan tanganmu!"
Ia memijat makin keras sehingga terdengar bunyi "Kretekk""
Pada tangan Beng San. Anak itu meringis kesakitan. Baiknya wanita itu tidak sampai mematahkan tulang-tulang tangannya, akan tetapi tangannya terasa sakit sekali. Anehnya wanita itu nampak terheran-heran dan memandang tajam.
"Iblis cilik, kalau tak pernah belajar silat, kau tentu sudah mampus. Di tubuhmu ada hawa panas darimana kau peroleh?"
Diam-diam Beng San terheran-heran. Wanita ini aneh sekali, juga kepandaiannya seperti iblis. Mungkin betul-betul Kuntilanak, bukan manusia. Kalau manusia, bagaimana agaknya bisa tahu segala?
"Aku pernah disiksa makan sebuah pil oleh seorang Tosu bau bernama Siok Tin Cu..."
Wanita itu melepaskan pegangannya dan dengan terheran-heran ia menatap wajah Beng San, lalu kembali ia memegang tangan yang tadi dicengkeram dan kini tangan itu diperiksanya baik-baik.
"Aneh... aneh"
Kau dipaksa makin pil oleh Siok Tin Cu? Lalu bagaimana?"
"Badanku terasa panas seperti dibakar, selanjutnya aku pingsan dan ketika sadar kembali, aku merasa tubuhku dingin sekali seperti direndam dalam es!"
"Bohong...!"
Hek Hwa Kui Bo menampar dan Beng San terjungkal. Akan tetapi anak itu bangun lagi, membuat Hek Hwa Kui Bo makin heran. Kenapa anak ini memiliki daya tahan yang begini luar biasa? "Kau bilang badanmu panas sampai pingsan, bagaimana setelah sadar menjadi dingin?"
Kini Beng San marah-marah. Perempuan atau Siluman ini keterlaluan sekali. Dengan mentereng dia berdiri dan membentak,
"Kau ini jahat benar! Mau bertanya atau mau tak percaya? Kalau tidak percaya, jangan bertanya. Pukul boleh pukul, mau bunuh boleh bunuh, kenapa membuat capai mulut, Tanya-tanya segala, kalau tidak percaya!"
Hek Hwa Kui Bo makin terheran dan kagum. Belum pernah ia bertemu dengan seorang bocah seaneh ini.
Dia sendiri seorang tokoh besar yang sering kali diherani dan dikagumi orang, akan tetapi sekarang ia malah heran dan kagum kepada seorang bocah! Hal ini memang ada sebab-sebabnya. Hek Hwa Kui Bo adalah seorang tokoh besar yang jarang mau berurusan dengan dunia ramai, apalagi memperdulikan seorang bocah seperti Beng San ini. hanya saja, ketika tadi ia melihat Beng San ia menyaksikan hawa kemerahan yang terang sekali terbit dari hawa Yangkang yang amat kuat dari tubuh bocah ini maka ia mengerti bahwa anak ini adalah seorang ahli Yangkang atau setidaknya di dalam tubuhnya terkandung sesuatu yang mengeluarkan hawa itu. Karena sudah menjadi wataknya tidak suka melihat orang-orang lihai di dunia ini disamping dia sendiri dan muridnya, maka timbul maksud hatinya untuk membunuh Beng San.
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo