Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 20


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



"Orang muda, apa maksudmu dengan kelakar ini?"

   Juga Lian Bu Tojin menjadi heran sekali setelah membuka surat, malah segera menegur,

   "Beng San, mengapa kau mempermainkan kami seperti ini? Katakanlah, apa maksudmu dengan main-main ini?"

   Beng San terkejut sekali, lebih-lebih lagi kagetnya ketika dia melihat dua orang Kakek itu membalikkan surat kpadanya dan setelah dia memandangnya, ternyata bahwa yang dipegang oleh dua orang Kakek itu adalah sehelai kertas yang tidak ada tulisannya lagi!

   Hanya ada bekas-bekas tulisan-tulisan yang sudah tak dapat terbaca karena tulisan-tulisan tinta itu telah lenyap tersapu air menjadi sehelai kertas kosong! Otaknya yang cerdik cepat bekerja dan tahulah dia sekarang bahwa ini adalah gara-gara pertemuannya dengan gadis baju hijau! la pernah terjatuh ke dalam air dan tentu saja, ah, alangkah bodohnya, surat itu telah basah oleh air dan tintanya tersapu hilang! Kalau orang lain yang berada dalam keadaan seperti Beng San, kiranya dia akan kehabisan akal dan menjadi bingung. Akan tetapi, tidak demikian dengan pemuda ini. Sedetik kemudian dia telah dapat mengatasi keadaannya dan dapat mencari akal. Melihat dua orang Ketua itu memandangnya dengan penuh penasaran dan pertanyaan, dia malah tertawa lebar.

   "Ji-wi Locianpwe tentu menghendaki penjelasan, bukan?"

   "Jelaskanlah maksudmu main-main ini!"

   Pek Gan Siansu menegur.

   "Beng San, kau bicaralah,"

   Kata Lian Bu Tojin. Kembali Beng San tertawa.

   "Ji-wi? (kalian berdua) adalah ahli-ahli kebatinan, masa tidak tahu akan maksud orang gagah yang memberi surat? Kertas itu kosong dan bersih? Apa yang lebih sempurna daripada kosong dan sempurna? Kalau Ji-wi dapat rnengosongkan hati dan membersihkan pikiran, kiranya segala keruwetan dunia akan dapat dipecahkan dengan mudah. Bukankah Nabi Locu dan Nabi Khong-Cu sama-sama menganjurkan agar kita dalam menghadapi segala hal dapat mengosongkan hati dan pikiran?"

   Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin saling pandang, lalu mengangguk-angguk. Mereka seperti terbuka mata hati masing-masing. Memang tadi mereka terlalu menurutkan perasaan hati dan jalannya pikiran maka hampir saja keduanya tak dapat menguasai keadaan. Keduanya kini serentak lalu mengangkat tangan ke arah pengikut dan pembela masing-masing sambil berkata.

   "Biarkan orang muda ini bicara sampai habis!"

   Perbuatan mereka ini adalah karena di sana-sini terdengar suara ejekan dan celaan terhadap Beng San yang dianggap orang gila. Beng San menjadi lega. Langkah pertama sudah dia ambil dan agaknya berhasil. Kemudian dia berkata lagi, suaranya lantang,

   "Ji-wi Locianpwe, terima kasih kalau Ji-wi sudi mendengarkan kata-kata saya selanjutnya. Akan tetapi lebih dulu saya peringatkan bahwa mungkin apa yang akan saya katakan ini tidak enak didengarnya, bukankah Nabi Lo-cu pernah bersabda demikian.

   Kata-kata jujur tak enak didengar,

   Kata-kata enak didengar tidak jujur.

   Orang yang mengerti tidak mau cekcok.

   Yang suka cekcok tidak mengerti.

   Orang yang tahu tidak sombong

   Yang sombong tidaklah tahu.

   Orang bijaksana tidak kikir,

   Ia menyumbang sehabis-habisnya

   Namun ia makin menjadi kaya.

   la memberi sehabis-habisnya,

   Namun ia makin berlebihan.

   Jalan yang ditempuh langit

   Selalu menguntungkan, tidak pernah merugikan.

   Jalan yang ditempuh orang bijaksana selalu memberi,

   Tidak pernah merebut.

   Kembali dua orang Kakek itu mengangguk-angguk dan Lian Bu Tojin sambil tersenyum berkata lirih,

   "Syair dalam To-Tek-Keng bagian terakhir."

   Beng San makin senang melihat bahwa Lian Bu Tojin sudah bisa tersenyum dan Wajah Pek Gan Siansu kembali sabar seperti tadi.

   "Ji-wi Locianpwe hampir saja lupa akan sifat-sifat kebajikan dan hampir saja membiarkan terjadinya kekerasan yang amat patut disayangkan. Bukankah Nabi Locu pernah pula mencela kekerasan?

   Di waktu hidup, manusia lemah dan lemas,

   Kalau mati menjadi kaku dan keras.

   Segala benda hidup di waktu tumbuh lemah dan lemas

   Kalau mati menjadi kering dan getas (mudah patah)

   Maka dari itu :

   KAKU KERAS adalah teman kematian,

   LEMAH LEMAS adalah teman kehidupan.

   Inilah sebabnya maka senjata keras mudah menjadi rusak

   Pohon kayu keras mudah menjadl tumbang dan patah.

   Oleh karena itu :

   Yang kuat keras akan tumbang menduduki tempat bawah,

   Yang lemah dan lemas akan terus bersemi di tempat yang atas.

   Dua orang Kakek itu kernbali saling pandang dan mengangguk-angguk. Memang semua ujar-ujar To-Tek-Keng yang diucapkan Beng San untuk mengingatkan mereka ini amat cocok dengan isi hati mereka tadi sebelum mereka dibikin panas oleh orang-orang yang lebih muda.

   "Heee! Apakah kita ini disuruh mendengarkan bualan penjual obat?"

   Seorang muda yang duduk di belakang, yang tadi sudah "Panas"

   Sekarang berteriak mengejek.

   "Kita mau dijadikan banci-banci yang tidak memiliki kejantanan!"

   Giam Kin tertawa menghina.

   "Urusan hendak dibicarakan melalui segala macam syair busuk oleh seorang sastrawan jembel. Apakah kedua fihak sudah tidak punya nyali lagi untuk mengandalkan kepandaian sendiri?"

   "Ha-ha-ha! Betul itu."

   Souw Kian Bi menambah minyak dalam api. Aku tidak mengerti yang manakah yang sebetulnya tidak berani, Kun-Lun-Pai ataukah Hoa-San-Pai!"

   Mendengar suara-suara mengejek ini, Kiam-Eng-Cu Liem Sian Hwa sudah habis kesabarannya. Kebencian nona ini terhadap Kun-Lun-Pai memang sudah amat mendalam. Hal ini tidak aneh karena nona ini merasa sakit hati sekali kepada bekas tunangannya, Kwee Sin yang dianggapnya telah membunuh Ayahnya, kemudian malah membunuh dua orang Suhengnya, Thio Wan It dan Kui Keng. Ia tadi pun sudah kurang sabar melihat Gurunya hendak berunding secara damai. Kini dengan api dan minyak yang dinyalakan Giam Kin dan Souw Kian Bi melalui mulut mereka yang berbisa, nona jagoan Hoa-San-Pai ini meloncat maju sambil mencabut pedang.

   "Keparat Souw Kian Bi! Siapa takut? Hoa-San-Pai tak pernah takut, biar harus menghadapi seorang manusia macammu sekalipun!,"

   Nona ini memang juga benci kepada Souw Kian Bi yang pernah menghinanya dahulu. Souw Kian Bi tersenyum-senyum sedangkan para tamu lain berdebar tegang dan gembira. Pangeran Mongol ini meng-gerakkan pundaknya.

   "Nona manis, kita semua sekarang sedang mengurus persoalan antara Hoa-San-Pai Kun-Lun-Pai, kenapa kau memilih aku untuk ditantang? Kalau kau tidak berani terhadap Kun-Lun-Pai, jangan mencari musuh lain. Ha-ha-ha!"

   "Setan busuk, siapa takut? Boleh orang-orang Kun-Lun-Pai maju, aku Kiam-Eng-Cu Liem Sian Hwa tak akan mundur setapak!"

   Sepasang pedangnya sudah siap di kedua tangan dan mukanya yang cantik itu menjadi merah, matanya berapi-api. Beng San melototkan matanya ke arah Giam Kin dan Souw Kian Bi. Hatinya ingin sekali memberi hajaran kepada dua orang itu, akan tetapi dia menenangkan hatinya, lalu berkata lagi keras-keras

   "Ji-wi Locianpwe, harap suka mendengarkan kata-kataku sampai habis!"

   Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin memang amat tertarik oleh ucapan Beng San tadi, maka mereka segera memberi tanda dengan tangan, mencegah orang-orang itu ribut sendiri. Lian Bu Tojin malah membentak Sian Hwa,

   "Sian Hwa kau duduklah kembali, jangan lancang mendahului pinto!"

   Keadaan menjadi tenang kembali dan Beng San melanjutkan kata-katanya dengan suara nyaring.

   "Ji-wi Locianpwe sebagai Ciang-Bunjin Ciang-Bunjin (Ketua) Partai besar, hendaknya bertindak wajar dan sesuai dengan ujar-ujar yang mulia itu. Urusan antara kedua Partai Ji-wi seyogyanya diurus mempergunakan kelemasan, yaitu dengan secara damai dan mengusut keadaan yang sebenarnya. Asal sudah didapatkan siapa "Salah,"

   Kemudian yang salah mengakui kesalahannya, bukankah semua akan menjadi beres? Pembunuhan tak dapat diselesaikan dengan pembunuhan lain lagi, karena hal itu akan menjadi makin berlarut, dendam dan sakit hati akan bertumpuk-tumpuk tiada habisnya."

   Kembali kedua orang Kakek itu mengangguk-angguk dan semua tamu sekarang mulai memperhatikan Beng San. Siapakah pemuda ini? Aneh dan berani sekali sungguhpun kelihatan tidak memiliki kepandaian silat sama sekali.

   "Tadi ada beberapa orang saudara yang menyinggung-nyinggung bahwa pokok persoalan ini yang menjadi biang keladinya adalah Kwee Sin orang termuda dari Kun-Lun Sam-Hengte. Pendapat ini keliru! Pek-Lek-Jiu Kwee Sin memang mempunyai kelemahan dan kesalahan, namun bukanlah dia yang melakukan pembunuhan terhadap Ayah Liem-Taihiap!"

   Kembali suasana menjadi ramai, akan tetapi dengan isyarat tangan dua orang Ketua Partai itu dapat menenteramkan suasana.

   "Baik Kun-Lun-Pai maupun Hoa-San-Pai adalah Partai-Partai yang terkena fitnah jahat dan yang menyebar fitnah ini memang sengaja melakukan hal ini untuk mengadu domba antara Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai. Mengapa demikian? Mudah sekali diduga. Orang-orang atau fihak tertentu tidak ingin melihat dua Partai besar ini bersatu dan umumnya mereka tidak ingin melihat rakyat bersatu padu, lebih senang melihat perpecahan-perpecahan di mana-mana. Orang gagah yang menitipkan surat kepadaku berkata bahwa apabila Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai dapat membuang perasaan mau menang sendiri dan mau bersatu, maka dua Partai itu akan merupakan kekuatan yanig maha hebat dan dapat dipergunakan untuk menolong negara dan rakyat. Ji-wi Locianpwe, sekarang rakyat sedang menderita, negara sedang kacau-balau, pergerakan Patriotik bangkit di mana-mana, orang-orang gagah tidak ada yang ketinggalan untuk menanam sahamnya dalam perjuangan, untuk menyumbangkan setitik keringat, setetes darah, kalau perlu bahkan selembar nyawanya untuk tanah air. Masa dalam waktu seperti ini, Ji-wi Locianpwe hendak membawa anak murid masing-masing untuk saling gempur dan saling bermusuhan? Di manakah letaknya jiwa ksatria Ji-wi Locianpwe? Di manakah letak jiwa Patriotik jika Ji-wi (kalian) yang mengaku Pendekar-Pendekar Bangsa tidak berusaha membela tanah air sebaliknya malah saling gempur dan saling bunuh? Semestinya Ji-wi malah bekerja sama membangun dan menghalau musuh, eh, siapa kita, Ji-wi malah bekerja sama tanpa disadari untuk merusak dan tanpa disadari pula malah membantu musuh rakyat dengan jalan mentaati kehendak mereka. Ya, memang kehendak merekalah agar supaya kita saling hantam dan karenanya kita menjadi lemah sehingga mudah kelak mereka menguasai kita!"

   Kini ramailah lagi para tamu. Giam Kin, Souw Kian Bi dan temannya yang sejak tadi memandang Beng San, bangkit berdiri, muka mereka sebentar merah sebentar pucat. Inilah kata-kata berbahaya sekali, kata-kata seorang pemberontak terhadap Pemerintah Mongol!

   "Ketahuilah, Ji-wi Locianpwe,"

   Beng San bicara terus tanpa pedulikan sikap para tamu.

   "Ji-wi telah kena dipermainkan oleh fihak Ngo-Lian-Kauw! Ngo-Lian-Kauw yang mengatur semua ini, yang menyamar sebagai Pek-Lian-Pai dan yang mendorong Kwee Sin ke dalam jurang lumpur. Ngo-Lian-Kauw yang melakukan semua pembunuhan sambil menyamar, jadi dalam hal ini, fihak Hoa-San-Pai maupun Kun-Lun-Pai tidak salah. Seharusnya Ji-wi memusuhi-Ngo-Lian-Kauw!"

   Berubah air muka dua orang Kakek itu.

   "Tapi..., tapi kenapa Kwee Sin tidak mau mengaku salah dan malah pergi dengan orang-orang Ngo-Lian-Kauw? Kenapa pula dia melakukan semua itu? Beng San, kalau kau berusaha membersihkan diri Kwee Sin, kau kurang berhasil,"

   Kata Lian Bu Tojin menggeleng kepala dengan sangsi.

   "Toyu, memang bekas muridku Kwee Sin itu menyeleweng, akan tetapi sekarang dia tidak kuanggap muridku lagi. Andaikata kau suka mengulurkan tangan kepada Kun-Lun-Pai dan mengajak kami bersama kalian menggempur Ngo-Lian-Kauw, percayalah, aku sendiri tak akan ragu-ragu untuk menghancurkan kepala manusia durhaka bernama Kwee Sin!"

   Kata Pek Gan Siansu gemas.

   "Bagus kalau begitu."

   Lian Bu Tojin berseru girang.

   "Pek Gan Siansu, mendengarkan kesanggupanmu, Pinto nyatakan bahwa mulai sekarang Hoa-San-Pai tidak menganggap Kun-Lun-Pai sebagai lawan, bahkan sebagai kawan untuk bersama membasmi Ngo-Lian-Kauw yang jahat dan menangkap Kwee Sin!"

   Orang-orang yang menyetujui dilakukan perdamaian antara dua Partai ini bersorak girang, tetapi mereka yang menghendaki perpecahan menjadi marah dan kecewa.

   "Enak benar bocah ini!"

   Souw Kian Bi membentak marah.

   "Ji-wi Ciang-Bunjin (dua Ketua) dari Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai yang sudah tua-tua mengapa mudah saja ditipu dan dibohongi bocah seperti ini? Ji-wi harus ingat bahwa bocah ini bukanlah apa-apa, kenapa percaya begitu saja? Enak benar dia kalau kelak ternyata bahwa kata-katanya itu bohong semua, bukankah Ji-wi akan ditertawai oleh seluruh kolong langit? Dua orang Ketua Partai yang besar dan terkenal diingusi oleh seorang bocah tak bernama. Apalagi mendengar kata-katanya bocah ini sudah sepatutnya kutangkap atau kubunuh mampus. Dia patut kucurigai sebagai pemberontak! Ji-wi Lo-Cianpwe, saya tidak mau bertindak demikian di sini karena menghormatinya sebagai tamu Hoa-San Ciang-Bunjin. Akan tetapi, dia harus dapat membuktikan dulu omongannya. Dia harus dapat membuktikannya dengan membawa Kwee Sin ke sini agar semua kata-katanya itu dapat dicocokkan dengan pengakuan Kwee Sin. Bukankah ini adil namanya?"

   Dalam kata-kata ini terkandung ancaman hebat. Memang, semua orang maklum bahwa Souw Kian Bi adalah orang Mongol, maka dia itu berhak mengecap siapa saja menjadi pemberontak. Dua orang Kakek itu saling pandang, Pek Gan Siansu bertanya,

   "Orang muda, kau tadi bicara tentang orang gagah yang menitipkan surat dan pesanan, siapakah dia itu?"

   Beng San yang sudah merasa kepalang tanggung, tak dapat mundur kembali, menjawab dengan sejujurnya,

   "Beliau she Ciu."

   Mendengar ini, dua orang Kakek Itu menjadi pucat mukanya dan mereka cepat membungkuk tanda menghormat. Sebaliknya, Souw Kian Bi menyumpah-nyumpah dan berteriak,

   "Awaslah siapa saja yang merasa berdosa, aku Souw Kian Bi sudah mendengar dan melihat semua. Hayo, saudara Tan, kita pergi!"

   Beng San dengan berani memandang ke arah mereka, terutama sekali ke arah orang she Tan yang dia yakini adalah Kakak kandungnya, Tan Beng Kui itu. Akan tetapi, orang she Tan ini memandang kepadanya dengan mata melotot, lalu membuang ludah dengan sikap menghina, mengebutkan lengan baju dan pergi mengikuti Souw Kian Bi. Para tamu yang merasa tidak setuju dengan omongan Beng San dan yang selama ini bahkan membantu Pemerintah Mongol menentang para pemberontak, memandang dengan sikap mengancam, malah ada yang ikut meniru perbuatan Souw Kian Bi meninggalkan tempat itu tanpa pamit. Pek Gan Siansu menarik napas panjang.

   "Saudara muda ini ternyata lebih gagah dan berani daripada kita orang-orang tua... ah, Lian Bu Toyu, aku benar merasa menyesal kalau kedatanganku ini hanya menjadi pengganggu perayaan ulang tahunmu. Tentang usulku perjodohan tadi, biarlah sementara kutunda dulu, kelak kalau kau merasa setuju, kau boleh memberi kabar. Tentang Kwee Sin, aku orang tua akan merasa berterima kasih kalau saudara muda ini mampu membuktikan segala ucapannya dan mendatangkan Kwee Sin sebagai saksi utama. Lim Kwi, hayo kita pergi!"

   Bun Lim Kwi, pemuda gagah itu, mengangguk. Tapi baru saja guru dan murid ini melangkah sejauh lima tindak, tiba-tiba melayang bayangan hijau yang disusul bentakan nyaring.

   "Orang she Bun! Hutang nyawa bayar nyawa!"

   Hebat sekali gerakan Bun Lim Kwi dan Beng San memandang kagum. Nampak pemuda ini seakan-akan tidak menghiraukan bayangan hijau yang menyambar ke arahnya akan tetapi tahu-tahu,

   "Traanggg...!"

   Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang di tangan nona baju hijau terpental karena tangkisannya, menggunakan pedang yang tadinya tergantung di pinggang.

   Tangkisan ini dia lakukan dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya tetap memondong pedang pusaka Kun-Lun-Pai! Bentrokan pedang ini tidak berhenti sampai di situ saja karena wanita baju hijau itu, Thio Eng, sudah melanjutkan serangannya bertubi-tubi secara hebat dan dahsyat sampai lima kali. Terdengar bunyi pedang bertemu sampai lima kali dan pertemuan yang terakhir demikian kuatnya sehingga baik Thio Eng maupun Bun Lim Kwi terhuyung mundur! Semua ini berjalan dengan cepat sekali, hanya beberapa detik dan selama itu Pek Gan Siansu menoleh pun tidak! Melihat dua orang pemuda ini sudah terhuyung mundur, Beng San mendapat kesempatan bertindak tanpa memperlihatkan kepandaiannya. la berlari-lari dan berdiri di tengah-tengah antara mereka.

   "Eng-moi (adik Eng)... tahan pedang."

   "Tan-Ko (Kakak Tan), kau minggirlah dan jangan turut campur, ini urusan sakit hati yang terpendam bertahun-tahun lamanya!"

   Wajah Thio Eng masih beringas bibirnya digigit dan matanya bersinar-sinar mengandung api kemarahan.

   "Tidak, Eng-moi. Apakah kau hendak merusak semua usahaku tadi? Eng-moi, ingatlah, kau menjadi tamu di sini, tidak selayaknya kalau kau melakukan apa saja sesukamu tanpa memandang muka tuan rumah."

   Thio Eng terpukul oleh kata-kata ini. Semenjak kecil ia dididik orang sakti, tentu saja ia mengenal aturan kang-ouw dan benar sekali apa yang dikatakan Beng San. Tadi ketika mendengar bahwa pemuda murid Kun-Lun-Pai itu bernama Bun Lim Kwi putera mendiang Bun Si Teng, ia tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ayahnya, Thio San, dibunuh oleh dua orang saudara Bun dan inilah keturunan mereka, inilah musuh besarnya. Saking marahnya, ia tadi sampai lupa bahwa dia dan pemuda musuh besarnya itu sedang menjadi tamu Hoa-San-Pai maka tidak selayaknya ia menyerangnya di tempat itu. Akan tetapi Thio Eng sudah terlalu marah, juga penasaran karena lima kali serangannya yang hebat tadi dapat ditangkis oleh lawannya. Kemarahannya sudah memuncak sehingga peringatan Beng Sen tidak berapa dipedulikannya.

   "Maafkan aku, Tan-Ko. Kali ini aku tidak mendengarkan siapa-siapa kecuali suara hatiku sendiri. He, orang she Bun. Kalau kau bukan pengecut, mari kita berkelahi sampai seorang di antara kita mati disini!"

   Tantangnya mendesak kembali. Bun Lim Kwi menjawab duka,

   "Nona, aku tidak mengenalmu... bagaimana kau bisa memusuhiku...?"

   Suara pemuda ini tenang dan sabar sekali, dan sepasang matanya memandang wajah Thio Eng penuh penyesalan, penuh kedukaan sehingga untuk sedetik hati Thio Eng terpukul.

   "Ayahmu membunuh Ayahku"

   Thio Eng menyerang lagi

   "Adik Eng, jangan berkelahi di sini. Kau tamu...!"

   Beng San coba membujuk.

   "Akan tetapi Thio Eng yang sudah marah sekali sudah mengirim tusukan kilat ke arah dada Bun Lim Kwi. Tiba-tiba mata Beng San menjadi silau ketika sesosok bayangan merah menyambar dari luar. Gerakan bayangan marah ini luar biasa cepatnya, seperti seekor Burung garuda saja. Sambil melayang bayangan merah ini mengeluarkan sepasang senjata yang berkilauan seperti mengeluarkan api, sekali sepasang pedang digerakan sekaligus sudah menangkis pedang Thio Eng yang ditusukkan ke arah dada Lim Kwi dan pedang Lim Kwi yang hendak menangkis.

   "Trang... tranggg...!"

   Thio Eng dan Lim Kwi berseru kaget sambil melompat mundur.

   Ternyata pedang di tangan mereka itu ujungnya telah patah terkena tangkisan aneh dari bayangan merah ini. Sementara itu, dengan gerakan cepat hampir tak dapat diikuti pandang mata, bayangan merah itu sudah menyimpan sepasang pedangnya kembali ke dalam sarung pedang besar di punggungnya. Sepasang mata bersinar-sinar tajam sebuah mulut mungil berbibir merah segar, wajah cantik seperti bidadari akan tetapi juga amat angkuh dan mengandung kekerasan hati yang mengerikan, seorang gadis cantik jelita sebaya Kwa Hong, berpakaian serba merah indah dari Sutera merah panjang melambai-lambai, sepatunya juga merah berkembang batu kemala dengan kedua ujung sepatu dipasangi baja. meruncing. Seorang nona berpakaian serba merah yang luar biasa cantik, akan tetapi juga nampak gagah perkasa!

   "Benar ucapan dia itu. Tamu tidak boleh meremehkan tuan rumah dan berbuat seenaknya sendiri!"

   Suaranya merdu dan halus, akan tetapi mengandung keangkuhan tinggi seperti suara seorang puteri terhadap para abdinya! Kemudian dara jubah merah ini meloncat ringan, tahu-tahu sudah berada di depan Lian Bu Tojin, menjura dan berkata.

   "Ayahku karena repot tidak dapat berkunjung ke Hoa-San. Oleh karena itu, aku mewakili keluarga Cia dari Selatan sengaja berkunjung mengucapkan selamat kepada Hoa-San-Pai. Selain itu, juga Ayah menyuruh aku memberi tahu kepada semua orang gagah yang berkumpul ini hari di Hoa-San-Pai, bahwa sebagai pemegang gelar Raja Pedang terakhir, Ayah menetapkan hari perlombaan gelar Raja Pedang satu tahun kemudian dihitung mulai bulan ini, pada pertengahan bulan purnama, di puncak Thai-San. Nah, aku sudah berbicara, selamat tinggal, Lian Bu Totiang!"

   Suara gadis jelita ini selain angkuh, juga amat nyaring dan jelas, membuat semua tamu melongo kagum.

   "Ayaaa, kiranya anak Bu-Tek Kiam-Ong (Raja Pedang Tak Terlawan) Cia Hui Gan? Bagus, sudah lama Pinto ingin berkenalan dengan ilmu pedangnya!"

   Kata-kata ini disusul meloncatnya dua orang Kakek berkepala gundul. Mereka ini adalah dua orang Hwesio yang duduk di ruang tamu kehormatan dan yang semenjak tadi duduk diam saja.

   Seperti diceritakan di bagian depan, di dalam ruang tamu kehormatan ini selain duduk para pimpinan Partai besar, juga duduk dua orang Hwesio ini, dua orang Kakek petani dan tiga orang Tosu. Sejak tadi tujuh orang Kakek ini duduk diam dan menonton sambil mendengarkan saja, akan tetapi begitu muncul nona baju merah ini, mereka kelihatan memperhatikan sekali. Kini dua orang Hwesio itu melompat dan tahu-tahu mereka telah berdiri di depan nona tadi sambil menggerak-gerakkan tongkat baja masing-masing yang panjang dan berat. Nona itu menggerakkan alisnya yang kecil hitam, matanya menyambar-nyambar lalu ia tersenyum. Senyum yang manis sekali akan tetapi matanya mengerling tajam laksana pisau. la memperhatikan kedudukan kaki dan cara dua orang Hwesio memegang tongkat, lalu berkata.

   "Agaknya Hwesio Hitam dan Hwesio Putih yang menegurku. Kalian berdua pernah dirobohkan dalam lima jurus oleh Ayah, apa hubungannya dengan aku? Siapa yang ingin menonton pameranmu tongkat hitam dan putih itu?"

   
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suaranya masih nyaring tinggi, mengandung penuh ejekan dan tidak memandang mata sedikit pun juga.

   Dua orang Hwesio itu diam-diam terkejut. Lima tahun yang lalu mereka pernah dirobohkan dalam lima jurus saja oleh Bu-Tek Kiam-Ong Cia Hui Gan. Ketika itu tentu dara ini masih kecil, kenapa sekarang sekali lihat saja sudah tahu? Mereka ini adalah Hwesio-Hwesio yang berilmu tinggi, tokoh pelarian dari Siauw-Lim-Pai yang memiliki ilmu tongkat tingkat tinggi. Memang, karena kehebatan ilmu tongkatnya, maka keduanya dijuluki orang Hek-Tung Hwesio (Hwesio Tongkat Hitam) dan Pek-Tung Hwesio (Hwesio Tongkat Putih). Karena julukan ini pula maka sengaja Hek-Tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja hitam sedangkan Pek-Tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja. putih. Mereka sudah kenal dengan Lian Bu Tojin yang menganggap mereka orang setingkat karena memang ilmu silat mereka sudah amat tinggi, maka mereka diberi tempaf di ruang tamu kehormatan.

   "Ha-ha-ha, Nona. Kau sombong sekali. Agaknya kau mengandalkan kepandaian Ayahmu untuk menjual lagak di sini. Pinceng (Aku) berdua bukan hendak melawan anak kecil, akan tetapi mengingat bahwa kau puteri tunggal Raja Pedang tentu ilmu pedangmu hebat. Kami hendak mencoba untuk mengalahkan pedangmu dalam lima jurus pula. Beranikah kau menghadapi kami?"

   Kata Pek-Tung Hwesio. Terang bahwa Hwesio ini hanya bermaksud menebus penghinaan dahulu dan hanya ingin mengalahkan nona itu dalam lima jurus sehingga kalau hal ini terjadi, sedikitnya dia dapat membersihkan mukanya. Nona itu mencibirkan mulutnya.

   "Kalian dua Hwesio tua bangka hanya namanya saja menakutkan, tongkat-tongkat macam ini hanya untuk menakut-nakuti anjing dan maling kecil. Mengapa aku takut? Tapi kedatanganku kesini bukan Untuk melayani segala macam Hwesio tua bangka tak tahu malu."

   Benar-benar galak nona ini, pikir Beng San mengerutkan keningnya. Masa terhadap dua orang Hwesio tua sama sekali tidak menaruh hormat? Galak dan kurang ajar! Dua orang Hwesio itu marah sekali, namun sebagai orang-orang tua mereka dapat menahan kemarahan, malu untuk mengumbar nafsu marah di tempat umum.

   "Bagus, kalau begitu!"

   Kata Pek-Tung Hwesio.

   "Coba kau layani kami selama lima jurus, Nona"

   Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, dua batang tongkat panjang yang amat berat itu sudah melayang ke atas, menyambar-nyambar mengeluarkan suara mengaung. Beng San terkejut dan ngeri juga. Semua tamu juga merasa ngeri bahkan Lian Bu Tojin berseru.

   "Harap Ji-wi (saudara berdua) maafkan seorang muda!"

   Tidak sangka sama sekali bahwa ucapan ini diterima dengan marah oleh nona itu. Matanya berapi-api dan kedua tangannya bergerak.

   "Srattt."

   Semua orang menjadi silau ketika nona itu sekarang telah mencabut keluar sepasang pedang yang amat tajam sampai sinarnya berkilauan. Kemudian nona itu berkelebat, terdengar suaranya,

   "Lian Bu Totiang, jangan pandang rendah orang muda!"

   Kemudian ia menari! Ya, menari di antara sambaran-sambaran dua batang tongkat itu. Gerakannya indah bukan main, tidak seperti orang bersilat, melainkan seperti orang menari-nari.

   Pedangnya bermain menjadi dua gulung sinar seperti Bunga, ikat pinggangnya yang merah itu bergulung-gulung pula seperti hidup, tubuhnya bergerak-gerak dengan indahnya. Beng San sampai melongo. Baginya yang sudah memiliki pandang mata tajam sekali, maklum bahwa biarpun nona itu menitik beratkan gerakan untuk keindahan, namun justeru di dalam keindahan inilah letaknya kehebatan dan kelihaian ilmu pedang itu. Hanya dengan tekukan pinggang yang indah, sambaran tongkat putih ke arah tubuhnya dapat dihindarkan, dan hanya dengan mengembangkan pedang di kedua tangan dan meloncat lincah ke atas, serampangan tongkat hitam mengenai angin. Untuk menambah keindahan yang tiada bandingnya ini, si nona baju merah masih menambah dengan senyum simpul yang manis menarik.

   "Heee, mana ada aturan dua orang laki-laki mengeroyok seorang wanita?"

   Beng San berteriak-teriak tanpa menyatakan bahwa mereka sudah bertempur sampai sepuluh jurus lebih. la bersikap ketolol-tololan. Nona baju merah itu tertawa.

   "Dua Hwesio kerbau! Kalian mau merobohkan aku dalam lima jurus, sekarang sudah belasan jurus. Kiranya aku tidak segoblok kalian ketika roboh oleh Ayah dalam lima jurus."

   Tiba-tiba sepasang pedangnya bergerak cepat sekali setelah saling bentur mengeluarkan api berpijar. Bunga api ini menyambar ke arah muka dua orang lawannya yang menjadi kaget dan lebih gugup ketika tahu-tahu sepasang pedang itu sudah meluncur mendekati leher mereka. Cepat mereka membuang diri ke belakang dan...

   "Trang! tranggg!"

   Tongkat mereka ternyata telah terbabat putus ketika mereka dalam gugup tadi tidak mengerahkan tenaga. Si nona baju merah menjura ke arah Lian Bu Tojin setelah tanpa dapat diikuti lagi dengan mata, ia telah menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian berkata keras,

   "Selamat tinggal!"

   Tubuhnya lenyap, yang nampak hanyalah bayangan merah melesat keluar dari tempat itu. Dua orang Hwesio itu menjadi pucat sekali mukanya. Mereka melempar sisa potongan tongkat ke atas tanah, lalu menjura kepada Lian Bu Tojin dan keluar dengan langkah lebar. Sementara itu, setelah tadi berhenti sebentar menonton pertandingan ini, Pek Gan Siansu yang tadi sudah berpamit, lalu mengajak Bun Lim Kwi melanjutkan perjalanan, keluar dari tempat itu.

   Thio Eng dengan sinar mata marah segera mengejarnya, pergi tanpa pamit. Lian Bu Tojin menarik napas panjang berulang-ulang, malah tidak peduli lagi ketika Giam Ki juga tertawa-tawa dan bertindak keluar dengan langkah panjang. Kwa Tin Siong berusaha keras untuk melanjutkan perayaan itu, dan semua hidangan dapat juga dibagi-bagikan biarpun keadaan pesta tidak semeriah tadi. Kwa Hong dengan penuh keheranan melihat bahwa di situ tidak ada lagi bayangan Beng San yang tadi menimbulkan heboh. Pemuda ini sudah lenyap pula entah ke mana pula larinya. Kwa Hong yang menjadi penasaran segera mencari sampai ke belakang, sampai ke tempat di mana pemuda itu menginap, tapi alangkah herannya katika ia melihat bahwa bungkusan pakaian pemuda itu pun sudah lenyap pula!

   "Ah dia aneh sekali...,."

   Pikir dara ini kecewa, aneh dan gagah bukan main. Alangkah beraninya dia tadi... hemmm, sayang tidak pandai ilmu silat..."

   La melamun membayangkan betapa akan mengagumkan kalau seorang pemuda dengan keberanian sebesar itu memiliki kepandaian ilmu silat pula. Ketika dengan kecewa ia hendak meninggalkan kamar Beng San, ia tertarik oleh sepotong keras di atas meja. Cepat diambilnya kertas itu dan ternyata ada tulisannya, tulisannya tangan yang jelas dan indah, tulisan tangan Beng San.

   BENG-SAN BERJANJI MENCARl KWEE SIN.

   Cepat Kwa Hong membawa surat itu kepada Ayahnya dan memperlihatkannya. Wajah Kwa Tin Siong berubah.

   "Anak itu aneh, sepak terjangnya tak dapat diduga semula. Bagaimana mungkin dia dapat membawa Kwee Sin ke sini?"

   Betapapun juga dia memperlihatkan surat itu kepada Gurunya yang menarik napas panjang.

   "Memang bocah luar biasa Beng San itu. Kita Hoa-San-Pai hari ini berhutang budi kepadanya yang berhasil mencegah pertempuran. Kalau dia bisa membawa Kwee Sin ke sini, budinya bertumpuk. Tapi... dapatkah kiranya dia berhasil?"

   "Meragukan sekali, Suhu,"

   Kata Kwa Tin Siong, juga Liem Sian Hwa dan para murid Hoa-San-Pai tidak percaya kalau Beng San akan berhasil membawa musuh besar itu ke Hoa-San. Akan tetapi tiba-tiba Kwa Hong berkata, suaranya nyaring dan matanya bersinar-sinar.

   "Aku merasa yakin bahwa pada suatu hari dia akan datang bersama Kwee Sin ke sini!"

   Semua mata memandangnya, terutama mata Kwa Tin Siong yang seakan-akan hendak menembus dada anaknya. Kwa Hong menjadi merah mukanya dan pergi tanpa pamit lagi. Apa yang menyebabkan Beng San pergi dari Hoa-San-Pai secara diam-diam, serentak tanpa pamit? Banyak hal yang menyebabkan dia terburu-buru itu. Ternyata selama di tempat pesta tadi dia telah mengalami hal-hal yang mengguncangkan hati dan membingungkan pikirannya. Mula-mula pertemuannya dengan teman Souw Kian Bi, pemuda tinggi tegap yang she Tan itu cukup hebat mengguncang perasaannya karena dia menduga keras bahwa orang itu adalah Kakak kandungnya, Tan Beng Kui.

   Akan tetapi kenapa kalau benar pemuda itu Kakak kandungnya, tidak mengenal dia dan malah tadi melihatnya lalu membuang ludah dengan amat menyolok dan menghina? Hal ini perlu penyelidikannya. Hal ke dua adalah Thio Eng dan Bun Lim Kwi. Dia sudah berjanji kepada mendiang Bun Si Teng untuk mengamat-amati pemuda itu, sekarang dia dapat menduga bahwa Thio Eng tentu akan berusaha membunuh Lim Kwi. la tidak boleh membiarkan Lim Kwi terbunuh tanpa berbuat sesuatu. Apalagi kalau yang hendak membunuh itu Thio Eng, gadis yang... ah yang dia suka dan yang dia kasihani nasibnya. Soal ini pun memerlukan dia turun tangan dan mencarikan pemecahannya. Hal ketiga yang mengguncangkan benar-benar hatinya adalah kemunculan nona baju merah she Cia tadi.

   Bukan, sama sekali bukan karena wajah yang cantik jelita melebihi semua wanita yang pernah dilihatnya, bukan karena bentuk tubuh dan tarian-tariannya. Sama sekali bukan! Akan tetapi ketika nona tadi mencabut sepasang pedang, pedang berkilau-kilauan seperti mengeluarkan api, sebuah panjang sebuah pendek, yang membuat matanya silau, adalah... Liong-Cu Siang-Kiam yang dicuri orang dari tangan Lo-Tong Souw Lee! Jadi gadis jelita inikah pencurinya? Berdebar tidak karuan hati Beng San kalau teringat akan hal ini. la harus merampas sepasang pedang itu dan... kedua pipinya menjadi merah dan terasa mukanya panas kalau dia teringat akan pesan Lo-Tong Souw Lee bahwa dia harus mencari pencuri pedang dan kalau pencuri itu seorang wanita, dia harus mengambilnya sebagai isteri!

   Dia mengambil istri nona Cia yang seperti bidadari tadi? "Hebat"

   Hal ke empat yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan yang menyangkut diri Kwee Sin, jago termuda dari Kun-Lun-Pai itu. Memang harus diakui bahwa orang inilah yang menjadi biang keladi segala peristiwa permusuhari itu. Dia merasa yakin bahwa jika dia dapat mengajak Kwee Sin ke Hoa-San-Pai untuk mempertanggungjawabkan semua tuduhan yang dijatuhkan kepadanya, segala permusuhan akan menjadi beres. la masih cukup percaya, melihat sikap Kwee Sin ketika datang ke Hoa-San-Pai, bahwa jago itu masih mempunyai cukup sifat ksatria untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya atau setidaknya perbuatan yang diperkirakan orang kepadanya.

   Empat hal inilah, dan keempatnya sama pentingnya, membuat Beng San tidak mau lama-lama membuang waktu di Hoa-San, biarpun di lubuk hatinya dia merasa berat juga harus meninggalkan Hoa-San... eh, sesungguhnya, meninggalkan Kwa Hong begitu saja! la sudah merasa cukup berbahagia bahwa sedikit jerih payah usahanya yang diharapkan oleh Ciu Goan Ciang dan Tan Hok serta semua pejuang, yakni mencegah Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai bertempur, untuk sementara ini mencapai hasil baik. Kita mengikuti perjalanan Bun Lim Kwi yang pergi meninggalkan Hoa-San bersama Gurunya, Pek Gan Siansu. Ketika mereka tiba di kaki gunung, tiba-tiba Lim Kwi rnenjatuhkan diri berlutut di depan Suhunya dan menangis! Pek Gan Siansu berhenti, memandang muridnya itu dan dengan wajah murung Kakek tua ini menggeleng-geleng kepalanya, mengelus jenggotnya.

   "Lim Kwi, aku tahu bahwa biarpun selama ini kau diam saja tak pernah membantah semua perintahku, namun sesungguhnya kau menyimpan ganjalan hati yang membuat kau banyak menderita batin. Muridku, sekarang di tempat sunyi ini kau keluarkanlah isi hatimu, berlakulah jujur kepada Gurumu. Seorang Enghiong (Ksatria) harus selalu dapat menjaga satunya pikiran, kata-kata dan perbuatan. Satu saja di antara ketiganya ini tidak cocok, tak patut dia disebut Enghiong. Selama ini kata-kata dan perbuatanmu mentaati aku, akan tetapi aku khawatir sekali bahwa pikiranmu berbeda."

   "Ampunkan Teecu yang tidak berbakti, Suhu. Sesungguhnya telah susah payah Teecu memaksa diri untuk berbakti kepada Suhu, akan tetapi apa daya, hati dan pikiran Teecu selalu tergoda, selalu terbayang wajah Ayah dan Paman yang telah terbunuh orang. Setelah mendengar semua yang telah diucapkan orang di Hoa-San tadi, Teecu berpendapat bahwa kalau ganjalan hati ini belum dilaksanakan, selalu Teecu akan berbakti secara palsu, yaitu tidak terus ke dalam hati."

   "Hemmm, lebih baik berterus terang begitu. Kau bukan kanak-kanak lagi, kau sudah dewasa dan tentu saja kau berhak untuk mempunyai pendapat sendiri. Sekarang katakanlah, apa yang hendak kau lakukan? Apakah kau akan menurutkan nafsu hatimu menyerbu ke Hoa-San-Pai dan menantang orang-orang Hoa-San-Pai?"

   Kakek itu mengerutkan alisnya yang sudah putih semua.

   "Tidak sekali-kali Teecu berani melangar garis yang sudah diambil oleh Suhu. Teecu menyetujui garis

   (Lanjut ke Jilid 20)

   Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20

   perdamaian itu, bahkan Teecu tak akan membantah tentang soal usul perjodohan yang diajukan Suhu tadi. Akan tetapi... Suhu, apakah kematian Ayah dan Paman harus didiamkan dan dibiarkan begitu saja? Apakah roh mereka akan dapat tenteram melihat Teecu berpeluk tangan saja?"

   "Hemmm, orang muda... alangkah jauh perkiraanmu tentang roh! Kalau tidak keliru wawasanku, roh Ayah dan Pamanmu sampai sekarang masih merasa menyesal mengapa tadinya mereka terseret ke dalam nafsu bermusuhan dan bunuh-membunuh. Agaknya mereka akan lebih menyesal lagi kalau dapat melihat kau melanjutkan kekeliruan mereka sewaktu hidup. Tapi, aku tak akan berkeras mencegah dan merusak hatimu, muridku. Sekarang katakan sejujurnya, apa yang hendak kau lakukan?"

   "Teecu tadi sudah banyak mendengar tentang Kwee-Susiok (Paman guru Kwee) dan Teecu berpendapat bahwa hanya Kwee-Susiok seoranglah yang akan dapat menerangkan ini semua. Kalau dari mulut Kwee-Susiok sendiri..."

   "Hemmmmm, jangan kau menyebut Paman guru kepada Kwee Sin. Aku sudah tidak mengakui dia sebagai muridku lagi!"

   Kata-kata Pek Gan Siansu terdengar keras.

   "Baiklah, Suhu. Teecu ingin mendengar dari mulut Kwee Sin sendiri apa yang telah terjadi ketika mendiang Ayah dan Paman naik ke Hoa-San. Kalau memang benar bahwa Ayah dan Paman yang salah, yaitu membantu Kwee Sin yang memusuhi-Hoa-San-Pai, maka sakit hati Teecu akan Teecu alihkan kepada diri Kwee Sin."

   "Hemmm, kau hendak mengajak dia bertanding?"

   "Kalau perlu, apa boleh buat, Suhu. Kalau dia mau, hendak Teecu ajak dia itu ke Hoa-San-Pai agar segala persoalan menjadi beres dan dapat diketahui siapa salah siapa benar."

   "Ha-ha-ha, kau hendak berlumba dengan bocah sastrawan yang luar biasa tadi? Heh, kau tak akan menang, Lim Kwi!"

   Ketua Kun-Lun-Pai tertawa dan agaknya hatinya sudah gembira lagi mendengar keputusan yang diambil muridnya ini. Tadinya dia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau Lim Kwi hendak memusuhi-orang Hoa-San-Pai secara langsung. Bun Lim Kwi memandang Gurunya, tak percaya.

   "Lim Kwi, jangan kau pandang ringan bocah sastrawan tadi. Aku sudah tua, sudah banyak pengalaman. Orang seperti dia itu bukanlah orang sembarangan. Nyali dan sikapnya jelas menonjolkan keluarbiasaannya. Dia bukan manusia biasa dan percayalah kepadaku, apabila kau bertemu dengan dia, kau boleh mendengarkan semua nasihatnya. Aku menyetujui rencanamu, biar aku pulang ke Kun-Lun dan menanti beritamu di sana. Semoga kau tak akan menyeleweng daripada jalan kebenaran dan dapat bersikap selamanya sebagai seorang Enghiong dari Kun-Lun-Pai yang harus kau junjung tinggi nama besarnya."

   Setelah berkata demikian, Sekali berkelebat Kakek ini lenyap dari situ, meninggalkan Lim Kwi yang tahu-tahu kehilangan pedang pusaka yang tadi masih dipegangnya. la segera berlutut dan diam-diam merasa amat kagum. Gurunya itu biar tua akan tetapi masih luar biasa sekali kelihaian ilmunya sampai-sampai mengambil kembali pedang pusaka Kun-Lun-Pai dan pergi dari situ tanpa dia rasai dan tak dapat dia ikuti dengan pandang matanya. Setelah berlutut memberi hormat, pemuda ini bangun dan menarik napas panjang. Aku masih harus banyak belajar untuk dapat mencapai tingkat seperti Suhu, pikirnya. Kemudian dia teringat kepada Kwee Sin. Ke mana dia harus mencari orang itu? la banyak mendengar tentang Kwee Sin bekas Paman Gurunya itu.

   Kabarnya selalu muncul bersama Ngo-Lian-Pai, malah banyak hubungannya dengan tentara Mongol. Ada kabar lagi bahwa Kwee Sin sudah diangkat oleh Kerajaan menjadi perwira tinggi tentara Kerajaan Mongol. Ngo-Lian-Pai atau Ngo-Lian-Kauw adalah Partai rahasia yang tidak mempunyai markas tertentu, maka tak akan mudah mencari sarang Partai ini. Lebih baik kalau mencari berita atau keterangan tentang Kwee Sin di pusat tentara Mongol. Di mana lagi kalau tidak di Kota Raja? Bun Lim Kwi maklum akan bahayanya kalau berani memasuki Kota Raja, akan tetapi dia sudah bertekat bulat untuk mencari Kwee Sin, maka tanpa pedulikan segala ancaman bahaya, berang-katlah dia menuju ke Kota Raja. Tapi baru saja dia keluar dari daerah berhutan di kaki Gunung Hoa-San itu, sesosok bayangan hijau berkelebat dibarengi bentakan,

   "Orang she Bun, bersiaplah menebus dosa Ayahmu!"

   Dan di depannya sudah berdiri gadis cantik berbaju hijau yang tadi menyerangnya di puncak Hoa-San! Gadis itu kini dengan muka agak pucat telah berdiri menghadangnya dengan pedang tajam melintang di dada, pedang yang ujungnya sudah buntung sedikit oleh pedang nona baju merah tadi. Bun Lim Kwi menarik napas panjang, wajahnya yang tampan menjadi muram,

   "Nona,"

   Ia menjura sebagai tanda penghormatan dan suaranya mengandung kesedihan besar, kenapa Nona memusuhi saya? Apakah dosaku dan apa pula gerangan kesalahan mendiang Ayahku yang sudah tidak ada di dunia ini?"

   Thio Eng, gadis itu, menggigit bibirnya dengan gemas, matanya memancarkan sinar kemarahan.

   "Dua saudara Bun dari Kun-Lun-Pai telah membunuh Ayahku ketika aku masih kecil."

   "Nona, kalau Ayah dan Pamanku yang membunuh Ayahmu, mengapa kau memusuhi aku? Apa salahku dalam hal ini bantahnya.

   "Aku hendak membalas kepada Ayah dan Pamanmu tapi mereka sudah mampus, kaulah anaknya yang harus mempertanggungjawabkan pembalasannya. Orang she Bun, tak usah banyak cakap. Aku sudah cukup bersabar, cabut pedangmu dan mari kita lanjutkan pertempuran tadi!"

   La sudah marah sekali dan pedang di tangannya sudah gemetar.

   Tiba-tiba Lim Kwi merasa tubuhnya lemas. Entah mengapa, melihat wajah nona ini, melihat sinar matanya yang redup dan sayu penuh kedukaan, kekerasan hatinya mencair seperti lilin dekat api. Timbul rasa kasihan di hatinya, bahkan ada rasa suka yang timbul karena persamaan penderitaan. la menganggap dara ini senasib, Ayah dibunuh orang, hidup menderita dendam. la tersenyum pahit, merasa betapa sama nasibnya dengan nona ini akan tetapi dia menyalahkan sikap Thio Eng. Andaikata dia berpendapat seperti nona ini lalu memusuhi-anak-anak dari musuh yang membunuh Ayahnya, tentu dia tidak akan sudi di calonkan sebagai jodoh seorang gadis yang masih keturunan musuh-musuh pembunuh Ayahnya! Juga timbul ingatannya bahwa segala persoalan, seperti juga persoalannya sendiri, harus diselidiki secara teliti. Andaikata benar Ayah dan Pamannya membunuh Ayah gadis itu, pasti ada sebab-sebabnya.

   "Nona, kalau Ayah dan Pamanku benar-benar telah membunuh Ayahmu, sudah dapat dipastikan bahwa Ayahmu melakukan sesuatu yang tidak baik. Ayah dan Pamanku adalah dua orang tertua dari Kun-Lun Sam-Hengte yang bernama bersih tak ternoda."

   Wajah yang agak pucat dari nona ini sekarang berubah merah sekali, matanya berkilat-kilat.

   "Apa kau kata? Tidak peduli mereka itu Kun-Lun Sam-Hengte atau Pendekar-Pendekar dari langit sekalipun, kalau sudah bermusuhan dengan Ayahku sudah pasti kesalahan terletak di tangan Ayah dan Pamanmu! Ayah adalah seorang Patriot besar, seorang pejuang. Siapa di antara para pejuang yang tak pernah mendengar nama besar Thio San? Kesalahannya tentu terletak pada Ayah dan Pamanmu. Kun-Lun Sam-Hengte? Huh, buktinya yang termuda juga bukan orang baik-baik!"

   Setelah berkata deinikian, pedangnya bergerak menyerang pemuda itu. Serangan ini hebat, cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Bun Lim Kwi dapat melompat ke samping dan menghindarkan diri.

   "Tahan dulu, Nona..."

   Namun nona yang sudah marah itu makin penasaran dan menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi maklum bahwa menghadapi? nona ini yang sudah dia kenal kepandaiannya bermain pedang yang hebat, akan berbahaya sekali kalau dia bertangan kosong. Terpaksa dia mencabut keluar pedangnya yang juga sudah buntung ujungnya dan menangkis. Bunga api berpijar ketika sepasang pedang itu bertemu.

   "Nona, aku... aku maklum akan isi hatimu. Keadaanmu sama dengan keadaanku. Aku maklum akan penderitaanmu, akan dendammu..."

   Thio Eng menahan pedangnya, mendengarkan dengan pandang mata heran.

   "Nona, percayalah, aku tidak menyalahkan kau kalau kau mendendam sakit hati. Aku pun demikian. Ayahku terbunuh orang. Tapi, berilah kesempatan kepadaku untuk membereskan urusanku. Kau sudah mendengar semua di Hoa-San tadi. Biarkan aku mencari Susiok... eh, mencari Kwee Sin sampai dapat sehingga urusan pembunuhan terhadap orang tuaku bisa diselesaikan. Setelah itu, nah... setelah itu kalau kau hendak membalas dendammu kepadaku, silahkan. Aku akan memberikan kepalaku kepadamu."

   "Cih, siapa sudi mendengar obrolanmu."

   "Betul, Nona. Entahlah... hatiku tidak mengijinkan aku marah kepadamu. Aku kasihan kepadamu yang bernasib buruk. Aku dapat merasakan penderitaanmu. Andaikata sakit hatimu itu dapat dipuaskan karena kematianku sebagai penebus dosa Ayahku, biarlah aku berkorban. Tapi tunggulah sampai aku selesai mengurus urusanku sendiri."

   "Bohong! Kau hanya mencari alasan untuk melepaskan diri dariku. Hemmw, orang she Bun, jangan harap aku dapat kau bodohi. Atau kau pengecut... tidak berani menghadapi pedangku!"

   Betapapun juga, Lim Kwi adalah seorang pemuda. Dia memang penyabar sekali, dan memang sudah menjadi dasar wataknya yang jujur dan sabar, berani mengalah. Akan tetapi karena sekarang didesak sedemikian rupa oleh nona ini, apalagi karena dianggap pengecut, sifat jantannya menonjol. la cepat menggerakkan pedangnya menangkis dan berkata.

   "Nona Thio, sungguh aku tidak ingin bertempur denganmu. Jangan kau memaksaku!"

   Namun Thio Eng terus terdesak dan sebentar saja dua orang muda itu sudah bermain pedang dengan hebatnya. Serangan-serangan Thio Eng benar-benar amat berbahaya, Sebagai murid Swi Lek Hosiang, tentu saja kepandaiannya amat tinggi, ilmu pedangnya sudah masak dan juga ilmu pedang yang berasal dari daerah pantai Timur ini mempunyai gaya tersendiri, mempunyai keistimewaan sendiri. Permainan pedangnya cepat, tangkas, lincah dan mengandung tenaga yang bergelombang, seperti gelombang samudera yang memecah di pantai Timur! Akan tetapi Bun Lim Kwi adalah murid termuda Kun-Lun-Pai yang amat disayang oleh Gurunya.

   Hampir seluruh ilmu pedang yang dimiliki Pek Gan Siansu diturunkan kepada muridnya ini sehingga dalam permainan Kun-Lun Kiam-Hoat boleh dibilang dimasa itu Bun Lim Kwi menjadi orang ke dua di Kun-Lun setelah Gurunya sendiri. Bahkan tingkat ilmu pedang yang dimiliki oleh Paman dan Ayahnya, juga yang dimiliki Kwee Sin, masih kalah setingkat olehnya. Tentu saja dia masih banyak membutuhkan pengalaman pertempuran untuk mematangkan ilmunya. Gaya permainannya tenang dan kuat seperti batu karang di pantai laut, akan tetapi juga kadang-kadang kalau dia mau dia bisa melancarkan serangan yang mematikan. Betapapun juga, menghadapi Thio Eng dia tidak tega untuk melakukan serangan maut, hanya mempertahankan dan melindungi tubuhnya, kadang-kadang memancing dan menggertak untuk mengurangi daya tekanan lawan.

   la merasa sedih sekali dengan kenekatan gadis ini yang agaknya tak dapat ditahannya lagi. Bun Lim Kwi maklum bahwa percuma saja dia membujuk, maka dia mengambil keputusan untuk merobohkan gadis ini tanpa melukai berat atau kalau mungkin meninggalkannya lari. Yang pertama tadi, yaitu merobohkan tanpa melukai agaknya lebih mudah dipikirkan daripada dilakukan. Tingkat kepandaian gadis ini boleh dibilang seimbang dengan tingkatnya sendiri, mana mungkin dia merobohkannya tanpa melukai? Setelah berpikir demikian, Lim Kwi mengambil keputusan untuk meninggalkannya lari saja. Tidak peduli dia dicap pengecut atau takut, karena soalnya bukan dia takut, melainkan karena dia tidak mau bermusuhan dengan gadis yang sekaligus menarik cinta kasihnya dan juga menimbulkan kasihan di hatinya ini.

   "Maaf, Nona Thio, aku tak dapat melayanimu lebih lama lagi!"

   Pedangnya berkelebat cepat dan pedang nona itu tertangkis dengan kerasnya sehingga terpental. Thio Eng kaget sekali karena merasa telapak tangannya sakit. Baiknya dia masih dapat menjaga sehingga pedangnya tidak terlepas dari pegangan. Ketika dia dapat menguasai keadaannya, pemuda itu sudah meloncat jauh lari cepat.

   "Orang she Bun, kau hendak lari ke mana?"

   Bentaknya marah dan cepat dia mengejar.

   Dari pertandingan pedang, kedua orang muda ini sekarang melakukan perlumbaan lari cepat juga dalam ilmu ini keduanya memiliki tingkat seimbang. Thio Eng sukar sekali untuk dapat menyusul lawannya, juga amat sukar bagi Lim Kwi untuk memperjauh jarak antara dia dan pengejarnya. Gadis itu seakan-akan menjadi bayangannya, terus mengikuti, ke mana pun juga dia lari atau meloncat. Ada sejam mereka berkejaran. Lim Kwi mulai merasa gelisah. la memasuki hutan-hutan dan sengaja mengambil jalan pegunungan yang amat sukar dengan harapan agar gadis itu akhirnya membiarkan dia pergi. Akan tetapi, dengan penuh semangat Thio Eng mengejar terus. Karena merasa tak sanggup lari pergi dari gadis itu, Bun Lim Kwi membalikkan tubuhnya dan kembali dia membujuk.

   "Nona Thio, kenapa kau bertekat hendak membunuhku sekarang juga? Tidak kasihankah kau kepadaku yang juga rnempunyai semacam sakit hati dan penasaran seperti yang kau derita? Aku minta waktu tiga bulan, Nona. Berilah tiga bulan agar aku dapat menyelesaikan dulu urusanku sendiri, setelah itu, aku akan mencarimu dan terserah kalau kau hendak membalaskan sakit hati Ayahmu."

   Tertegun juga hati Thio Eng mendengar ini. Pemuda ini lihai, belum tentu ia akan dapat menang kalau mereka bertempur. Juga buktinya tadi, biarpun ia sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, sampai sedemikian lamanya belum juga dia mampu menyusulnya. Kiranya pemuda ini merupakan tanding yang seimbang dan belum tentu kalah kalau melawan, mengapa tidak mau melawan dan bahkan memberi janji akan suka dibunuh tiga bulan kemudian? Bukankah ini aneh sekali? Akan tetapi pikiran ini hanya sebentar saja memenuhi kepalanya, segera terganti oleh rasa dendam yang sudah ditanggungnya semenjak ia kecil. Kemarahannya datang lagi. Pedangnya bergerak menyerang disusul bentakan.

   "Tak usah banyak cakap, seorang di antara kita harus mati!"

   Bun Lim Kwi merasa sedih sekali sehingga dia agak terlambat mengelak. Pedang yang menusuk lehernya itu kini menyerempet pundaknya. Baju Lim Kwi robek berikut kulit dan sedikit dagingnya. Darah mulai mengucur deras membasahi baju. Kembali Thio Eng tertegun, akan tetapi segera ia menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi sudah bersiap dan pedangnya menangkis. Kembali dua orang ini bertempur hebat sampai lenyap tubuh mereka terbungkus gulungan dua sinar pedang. Dua orang itu saking hebatnya mecurahkan perhatiannya di ujung senjata masing-masing, tidak tahu bahwa sesosok bayangan datang mendekat. Setelah melihat siapa yang sedang bertempur, bayangan ini mengeluarkan segenggam benda lalu dengan kecepatan kilat dia menyambitkan benda-benda kecil dalam genggaman itu ke arah Bun Lim Kwi.

   Pemuda ini tidak dapat mempertahankan diri terhadap serangan gelap ini karena benda-benda itu ternyata adalah jarum-jarum halus sekali yang ketika melayang ke arah tubuhnya tidak mengeluarkan bunyi. Tahu-tahu dia merasa punggungnya panas dan gatal-gatal, tubuhnya kaku-kaku dan tak dapat ditahannya lagi dia terguling dan pedangnya terlepas dari pegangannya! Thio Eng heran bukah main. Masih sempat ia menarik kembali pedangnya dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa Bun Lim Kwi telah roboh telentang dalam keadaan mengerikan. Muka pemuda yang tampan itu menjadi biru menghitam, tubuhnya kaku tak bergerak lagi. Ketika gadis ini mengangkat muka, ia melihat seorang pemuda sudah berdiri tersenyum-senyum di depannya. Pemuda ini bukan lain adalah Giam Kin! Tahulah Thio Eng sekarang bahwa diam-diam Giam Kin membantunya dan menyerang Lim Kwi dengan senjata rahasia yang aneh.

   "Nona Eng, puaskah kau sekarang melihat musuhmu menggeletak di depan kakimu? Nah, jangan buahg waktu lagi, segera kau penggal lehernya!"

   Kata Giam Kin sambil tersenyum lebar. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat nona itu dengan mulut cemberut dan mata berapi membentak.

   "Kenapa kau mencampuri urusanku? Kenapa kau membunuhnya?"

   "Eh, Nona. Bukankah dia musuhmu? Tadi kulihat kau tidak kuat mengalahkannya, maka aku membantumu."

   "Siapa sudi bantuanmu? Siapa butuh pertolonganmu? Laginya, kau menyerang secara pengecut!"

   Gadis itu dengan marah lalu meloncat dan lari pergi dari situ. Giam Kin berdiri terpaku di tempatnya. la menyeringai, kemalu-maluan dan juga penasaran. Akhirnya dengan marah dia lalu menoleh ke arah tubuh Lim Kwi yang masih menggeletak di situ, meludahinya dan mengomel,

   "Sialan!"

   Dengan hati murung Giam Kin lalu pergi dari situ juga. la tertarik oleh kecantikan Thio Eng, akan tetapi berbeda dengan menghadapi gadis-gadis lain, terhadap Thio Eng dia tidak berani bersikap sembrono. Selain gadis ini memiliki kepandaian yang cukup lihai, juga dia harus mengingat guru gadis itu, Thai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang yang tak boleh dipandang ringan. Belum lama Giam Kin pergi, tubuh Bun Lim Kwi bergerak-gerak dan terdengar dia merintih perlahan. Pada saat itu Beng San berlari-lari cepat dalam usahanya mengejar Thio Eng dan mencari Bun Lim Kwi.

   "Celaka, terlambat...!"

   Katanya ketika dari jauh dia melihat tubuh murid Kun-Lun itu menggeletak di situ. Cepat dia memeriksa dan alangkah kagetnya melihat betapa seluruh tubuh pemuda ini membiru, napasnya kempas-kempis. Beng San adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu yang hebat, akan tetapi dia bukanlah seorang ahli pengobatan. Betapapun juga, setelah mendapat kenyataan bahwa di punggung pemuda ini terdapat jarum-jarum halus yang menancap, dia dapat menduga bahwa tentu Bun Lim Kwi terkena racun yang amat berbahaya. Dicabutnya jarum-jarum halus berjumlah tujuh buah itu, dan dengan hati-hati dia bungkus jarum-jarum itu dimasukkan ke dalam saku bajunya.

   "Terlalu sekali Thio Eng. Betulkah nona itu sampai hati menggunakan senjata rahasia begini ganas dan keji?"

   La merasa penasaran, lalu tanpa ragu-ragu lagi Beng San menempelkan bibirnya pada luka-luka di punggung Lim Kwi, kemudian mengecupnya kuat-kuat. Darah-darah menghitam dapat dia isap keluar dan diludahkan, akan tetapi hanya berhasil mengeluarkan darah beracun yang berada di sekitar luka.

   

Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini