Pendekar Buta 20
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 20
Nona itu menendang ke arah belakang telinga kanan lawan.
"Setan!"
Souw Ki memaki dan terpaksa dia merendahkan tubuhnya karena tendangan dari atas itu tidak sempat untuk dia tangkis lagi. Dia hendak menyusuli serangan berikutnya, namun gadis itu lebih cepat lagi. Ketika tendangannya luput ia melayang turun dan langsung sambil meloncat turun ini ia mengirim pukulan dengan jari tangan terbuka.
Pukulan kedua tangannya yang kecil itu cepat dan bertubi-tubi datangnya, seperti sebuah kitiran angin sehingga kelihatan seakan-akan kedua lengannya berubah menjadi belasan buah banyaknya yang menghujankan pukulan-pukulan ke pelbagai sasaran berbahaya. Souw Ki terpaksa meloncat ke sana ke mari sambil kedua tangannya sibuk bergerak melindungi bagian tubuh yang lemah. Dia sampai berkeringat ketika lawannya sudah menerjangnya sebanyak belasan jurus, karena dia benar-benar kalah cepat sehingga sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang, jangankan balas menyerang, bernapas pun agaknya hampir tidak ada kesempatan. Tubuh Hui Kauw bergerak-gerak makin lama makin cepat, mengitari dirinya sehingga matanya menjadi berkunang dan dia sudah melihat empat lima orang Hui Kauw menari-nari di sekelilingnya!
"Plak-plak-plak!"
Tiga kali telapak tangan Hui Kauw menampar pipi, leher dan pundak. Panas rasanya dan membuat pandang mata Souw Ki berkunang. Memang kembali Hui Kauw telah memperlihatkan kemurahan hatinya. Tiga kali pukulan ini sudah menjadi bukti cukup bahwa dalam ilmu silat tangan kosong, ia jauh lebih lihai dan lebih cepat. Kalau ia mau, sebagai seorang ahli silat tinggi, sekali menjatuhkan tangan tentu dapat mencari sasaran yang mematikan, akan tetapi sampai tiga kali ia hanya menampar saja. Souw Ki mengeluh dan cepat dia melompat ke belakang sehingga menabrak kursi yang menjadi remuk! Dua orang anak buahnya cepat menghampiri nya untuk menolong pemimpin mereka yang terhuyung itu, akan tetapi Souw Ki membentak,
"Pergi kalian!"
Kakinya melayang dan... dua orang pembantu yang sial itu terlempar dan mengaduh-aduh. Kiranya saking marah dan mendongkolnya, Si Tangan Besi ini melampiaskan kepada dua orang anak buah yang hendak menolongnya.
"Tiat-Jiu Souw Ki, kiranya sudah cukup sekarang."
Hui Kauw kembali membujuk untuk menyudahi saja pertempuran yang tiada gunanya itu.
"Wuuuttttt!"
Ruyung baja yang berat itu sudah berada di tangan kanan Souw Ki.
"Iblis betina, jangan kira kau sudah mampu mengalahkan aku! Hemmm, memang kau menang cepat, akan tetapi cobalah kecepatanmu dengan Ruyungku, akan hancur kepalamu. Hayo, cabut pedangmu itu!"
Terdengar suara berkerotan ketika Souw Ki menggertak gigi saking marah dan malunya karena dia telah ditelan mentah-mentah oleh seorang dara yang masih hijau. Tidak sampai tiga puluh jurus dikalahkan. Hebat ini! Ketika dia dikalahkan Bi Yan Cu Tan Loan Ki dalam memperebutkan Mahkota, dia masih sanggup menghadapi Walet Jelita itu sampai hampir seratus jurus. Masa sekarang terhadap gadis muka hitam ini, belum tiga puluh jurus dia sudah kena dikemplang tiga kali.
Kekalahannya terhadap Bi Yan Cu Tan Loan Ki masih dapat dia maklumi setelah dia mendengar bahwa dara lincah itu adalah puteri Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui. Akan tetapi kekalahan terhadap seorang gadis muka hitam yang tidak ternama sama sekali? Benar-benar bisa membikin dia muntah darah segar saking dongkolnya! Hui Kauw makin gelisah. Celaka, pikirnya, monyet tua ini benar tidak tahu diri. Kepandaiannya hanya sekian saja mau digunakan untuk menjual lagak. Tidak dilayani tidak mungkin, kalau dia dilayani dan bertempur menggunakan senjata, tentu lebih hebat ekornya. Maka ia berdiri dan memandang ragu ketika Souw Ki memutar-mutar Ruyung berat itu di atas kepala dengan sikap beringas. Melihat keraguan Hui Kauw, kembali Souw Ki si pengung (si tolol) itu salah tafsir, mengira nona ini takut menghadapi senjatanya yang menyeramkan itu.
"Tidak lekas mencabut senjatamu? Nah, rasakan ini Ruyung pencabut nyawa!"
"Weerrr!"
Ruyung yang beratnya tidak kalah dengan tiga perempat karung beras itu melayang dan angin pukulannya saja sudah membuat rambut halus di kepala Hoi Kauw berkibar.
"Singgggg!"
Senjata itu lewat di atas telinga Hui Kauw yang cepat menundukkan kepala untuk mengelak. Nona ini maklum bahwa biarpun lawannya hanya mengandalkan tenaga besar dan senjata berat, namun Ruyung itu dapat merupakan bahaya juga baginya. Tangannya bergerak dan di lain detik pedangnya telah terhunus dan berada di tangan kanan. Kakinya menggeser ke belakang membentuk kuda-kuda yang ringan, kaki kanan berdiri lurus dengan tumit diangkat, kaki kiri menyilang lutut, tangan kiri dikepal dan hanya jari telunjuk dan jari tengah menuding ke atas di belakang kepala,
Pedang di tangan kanan melintang dada dari kiri ke kanan dengan pergelangan tangan ditekuk membalik. Kuda-kuda yang sukar akan tetapi memperlihatkan sikap yang gagah dan manis. Tiat-Jiu Souw Ki mendapat hati ketika gadis itu tadi mengelak dan sekarang mencabut pedang. Terang bahwa gadis itu menganggap Ruyungnya ampuh dan berbahaya. Sambil berseru keras dia kembali menggerakkan Ruyungnya sekuat tenaga. Kalau gadis ini berani menangkis, aku akan membikin pedangnya patah atau terpental, pikirnya sombong. Namun tentu saja Hui Kauw bukanlah sebodoh yang disangka Souw Ki. Gadis ini sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklum pula akan bahayanya kalau ia mengadu senjatanya secara keras melawan keras dengan Ruyung lawan, karena ia kalah tenaga dan senjatanya pun kalah berat.
Ia mengandalkan kelincahannya untuk menghindarkan diri daripada semua amukan Ruyung itu, sedangkan pedangnya berkelebat merupakan sinar yang bergulung-gulung mencari kesempatan baik untuk menggores kulit lawan. Memang hebat juga permainan Ruyung dari Tiat-Jiu Souw Ki ini. Kalau dalam hal ilmu silat tangan kosong ia adalah seorang nekat yang hanya mengandalkan kekuatan otot-ototnya, kini dalam permainan Ruyungnya, dia benar-benar memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, tidak hanya mempergunakan tenaga otot namun juga mempergunakan kecerdikan otaknya sesuai dengan siasat ilmu Ruyungnya. Ruyung itu biarpun merupakan senjata berat, namun di tangan Souw Ki berubah menjadi senjata ringan dan cepat sekali diputarnya, mendatangkan angin dan mengeluarkan bunyi.
Hui Kauw melayaninya dengan ilmu pedang yang ia pelajari dari Ibunya, yaitu dari Ching Toa-Nio. Ilmu pedang dari Ching Toa-Nio ini pada dasarnya adalah Ilmu Pedang Kong-Thong-Pai, karena nyonya ini dahulu pernah belajar ilmu pedang dari seorang tokoh Kong-Thong-Pai yang merahasiakan namanya. Akan tetapi karena semenjak mudanya Ching Toa-Nio berkecimpung dalam dunia golongan hitam, tentu saja ia mempelajari banyak macam ilmu silat dan juga termasuk ilmu pedang. Oleh karena inilah, terdorong pula oleh bakat dan kecerdikannya, ia dapat menggabungkan beberapa macam jurus ilmu pedang menjadi satu dengan Ilmu Pedang Kong-Thong-Pai, malah sesudah ia menjadi kekasih Siauw-Coa-Ong Giam Kin si manusia iblis yang banyak mewarisi ilmu silat yang amat tinggi dari Giam Kin,
Ia mencampuri pula ilmu pedangnya dengan ilmu yang ia dapat dari kekasihnya ini. Tidaklah heran apabila ilmu pedang yang kini dimainkan oleh Hui Kauw merupakan ilmu pedang campuran yang selain lihai, juga amat sukar untuk dikenal oleh Souw Ki. Setelah lewat tiga puluh jurus dan selama itu Hui Kauw hanya mengambil kedudukan mempertahankan dan menjaga diri saja, mulailah Souw Ki kaget dan gentar. Dia maklum bahwa ternyata gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, malah agaknya lebih hebat daripada si dara lincah Loan Ki, buktinya kalau dulu Loan Ki melawannya dengan keras dan balas menyerang, adalah gadis ini seenaknya saja mempertahankan diri tanpa balas menyerang. Kadang-kadang malah gadis ini membenturkan pedangnya dengan Ruyung,
Bukan untuk mengadu senjata atau tenaga, melainkan untuk mempermainkannya saja karena begitu bertemu, pedang itu menyelinap di antara gulungan bayang Ruyung lalu menyambar dekat bagian-bagian berbahaya seperti leher, ulu hati, lambung dan tempat-tempat yang sekali tusuk tentu akan menghentikan perjalanan napas! Memang demikianlah kehendak Hui Kauw, Ia ingin memperlihatkan kepada Tiat-Jiu Souw Ki bahwa kalau ia menghendaki, sudah sejak tadi ia dapat merobohkan orang itu. Akan tetapi, dasar lawannya yang hendak menang sendiri saja. Tiat-Jiu Souw Ki pantang mengalah, apalagi dia berada di Kota Raja di mana berkumpul banyak sekali anak buahnya dan juga atasan-atasannya serta teman-teman sekerjanya yang lebih lihai daripadanya. Bukannya mengaku kalah, dia malah penasaran dan memutar Ruyungnya lebih ganas lagi.
"Manusia tak tahu diri, lepaskan Ruyung!"
Tiba-tiba Hui Kauw membentak, pedangnya berkelebat menyerang dan...
Tiat-Jiu Souw Ki berteriak kesakitan, meloncat mundur sambil terpaksa melepaskan senjatanya karena lengan kanannya serasa terbabat pedang! Dengan muka pucat dia memeriksa lengannya yang mengeluarkan darah dari siku sampai ke pergelangan, takut kalau-kalau lengannya akan menjadi buntung atau cacad, akan tetapi lega hatinya melihat bahwa lengannya itu hanya luka ringan tergurat ujung pedang, akan tetapi memanjang dari siku sampai pergelangan sehingga mengeluarkan banyak sekali darah. Sebetulnya macam dari lukanya ini saja cukup menjadikan bukti lawannya si gadis muda itu adalah seorang yang amat lihai dan juga yang telah menaruh hati kepadanya. Akan tetapi membutakan matanya terhadap kenyataan, bahkan rasa malu dan penasaran membuat dia berseru keras.
"Serbu! Tangkap pemberontak ini!!"
Sebelas orang anak buahnya serentak maju mengeroyok dengan senjata mereka.
Hui Kauw marah sekali dan terpaksa ia mengangkat pedangnya menangkis dan melakukan perlawanan. Dengan kecepatannya, belum sepuluh jurus ia berhasil melukai lengan dan pundak dua orang pengeroyok sehingga mereka ini terpaksa melepaskan senjata masing-masing, lalu menendang roboh seorang lagi. Akan tetapi keributan ini menarik datang penjaga sehingga pertempuran di ruangan rumah penginapan itu makin ramai. Hui Kauw merasa makin marah, penasaran, juga menyesal. Tahulah ia sekarang bahwa ia berada dalam keadaan yang sulit sekali. Mencari orang tua belum ketemu, tahu-tahu berada dalam keadaan sesulit ini. Tiba-tiba terdengar seruan keras dan semua pengeroyok itu melompat mundur, memberi jalan kepada dua orang yang baru tiba. Hui Kauw merasa lega hatinya, akan tetapi ia tetap waspada.
Ketika ia melirik, ia melihat dua orang laki-laki yang baru datang memasuki ruangan itu, dipandang oleh para pengeroyoknya tadi dengan sikap menghormat. Ia dapat menduga bahwa dua orang ini tentulah orang lihai yang memiliki kedudukan tinggi sehingga ia makin memperhatikan. Seorang diantara mereka adalah pemuda yang berpakaian gagah dan berwajah tampan dan halus gerak-geriknya, senyumnya menarik dan matanya tajam, namun Hui Kauw yang berperasaan halus itu dapat menangkap sesuatu yang menyeramkan di balik senyum dan kerling menarik ini, sesuatu yang tak dapat ia mengerti apa adanya akan tetapi yang membuat ia waspada, seperti kalau orang melihat keindahan pada muka dan kulit harimau atau ular yang menyembunyikan sesuatu yang menyeramkan dan mengancam di balik keindahannya itu.
Orang ke dua adalah seorang kakek kurus kecil, usianya lima puluhan, pakaiannya sederhana tapi penutup kepalanya mewah dan berhias permata, mukanya biasa seperti orang kurang tidur sehingga mata itu nampaknya hendak meram saja saking ngantuknya, tangan kanannya memagang sebatang tongkat bengkok. Melihat orang ini, diam-diam Hui Kauw menduga bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian tinggi, sedangkan orang muda tampan itu sebaliknya malah ia pandang rendah, mungkin hanya seorang putera bangsawan yang berlagak dan sombong. Pemuda itu bukanlah sembarang orang seperti yang diduga Hui Kauw, karena sebetulnya dia bukan lain adalah The Sun, jago muda Go-Bi-Pai yang amat lihai itu. Kebetulan dia lewat di jalan raya depan rumah penginapan itu bersama katek yang bukan lain orang adalah Bhong Lokai, seorang di antara para pengawal Kaisar.
Pada saat itu mereka berdua bertemu dengan Tiat-Jiu Souw Ki yang dengan muka pucat dan lengan berdarah berlari ke luar dari rumah penginapan untuk mencari bala bantuan. Mendengar bahwa di dalam rumah penginapan ada seorang gadis lihai sedang dikeroyok, The Sun tertarik dan mengajak Bhong Lokai untuk melihat. Begitu memasuki ruangan dan melihat sepak-terjang Hui Kauw yang luar biasa dan yang jelas menyatakan sebagai seorang ahli silat tinggi. The Sun segera membentak dan menyuruh mundur semua pengeroyok, Tentu saja mereka semua mengenal "The-Kongcu"
Ini, orang yang boleh dibilang duduk di tingkat tinggi daripada deretan orang-orang yang dijadikan tangan kanan Kaisar baru. Kini pemuda itu tersenyum-senyum sambil memandang Hui Kauw yang cepat membuang muka, tidak sudi bertemu pandang lebih lama lagi dengan pemuda tampan yang cengar-cengir menjual lagak itu.
"Nona yang gagah perkasa, agaknya kau masih amat asing di Kota Raja ini sehingga tidak mengenal siapa para pengeroyokmu ini dan siapa pula aku dan Lo-Enghiong ini. Andaikata kau mengenal kami, baik kau datang dari golongan hitam ataupun putih, agaknya kau tidak nekat membuat rIbut."
Ucapan ini halus, akan tetapi penuh teguran dan mengandung sikap memperlihatkan kekuasaan. Hui Kauw bukanlah tergolong wanita galak, malah sebaliknya ia mempunyai watak halus dan penyabar. Akan tetapi karena ia sudah mengalami pengeroyokan yang memanaskan hatinya, juga karena pertemuan pertama dengan The Sun mendatangkan kesan yang tidak sedap di hatinya maka ia pun tidak mau tunduk begitu saja dan menjawab dengan sama dinginnya.
"Memang aku seorang asing di sini, akan tetapi apakah ini merupakan alasan bagi orang-orangmu untuk berlaku sewenang-wenang? Aku tidak mencari keributan, adalah orang-orangmu dan si Tiat-Jiu Souw ki yang sombong tadilah yang memaksaku. Sekarang juga aku minta kalian pergilah dari sini, tinggalkan jangan ganggu aku, aku pun tidak ingin bertempur dengan siapa pun juga!"
Kembali The Sun tersenyum-senyum, yang amat mencurigakan hati Hui Kauw pemuda ini tentu saja sudah mendengar semua persoalannya dari Souw Ki bahwa gadis ini amat mencurigakan, menyuruh pelayan menyelidiki tentang seorang Hartawan she Kwee yang dahulu kehilangan anak perempuannya.
"Nona harus tahu bahwa di Kota Raja ini, kami para petugas yang berkuasa dan berhak mengawasi keamanan Kota Raja. Kau seorang asing datang-datang melakukan penyelidikan tentang seorang Hartawan, bukankah hal itu amat mencurigakan? Tapi yang sudah biarlah lalu, sekarang kuharap kau suka memperkenalkan diri dan mengaku terus terang apa maksudmu melakukan penyelidikan itu dan apa pula maksud kedatangaan Nona di Kota Raja ini?"
Hui Kauw bukan seorang bodoh. Ia dapat mengerti kebenaran dalam ucapan orang muda ini akan tetapi karena ia sudah terlanjur dikeroyok tadi, ia tidak dapat menekan kemendongkolan hatinya begitu saja.
"Sudah kukatakan tadi bahwa namaku Hui Kauw, dan bahwa aku datang untuk urusan pribadi mencari keluarga, tidak menyinggung siapa pun juga dan tidak berniat membikin rIbut. Sudahlah, harap kalian pergi meninggalkan aku!"
"Heh-heh, anak ini memiliki kepandaian, tentu dia mengandalkan kepandaiannya dan perguruannya,"
Tiba-tiba kakek dengan tongkat bengkok itu berkata perlahan dengan mata masih mengantuk.
"Nona, kau murid siapa? Tentu gurumu sudah mengenal aku Bhong Lokai."
"Betul, Nona. Katakan siapa gurumu, mungkin aku The Sun pernah pula mendengar namanya,"
Sambung The Sun.
"Aku tidak mempunyai guru, sudahlah, aku tidak ingin diganggu,"
Jawab Hui Kauw yang merasa gemas bukan main karena nama-nama itu tidak ada artinya sama sekali baginya. The Sun dari Bhong Lokai adalah orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, semua penjaga Kota Raja menaruh hormat kepada mereka. Sekarang, di depan para penjaga itu, gadis ini tidak memandang mata kepada mereka, tentu saja mereka menjadi gemas juga. Hemm, kau mengandalkan apamu? Demikian The Sun berpikir gemas. Mukamu hitam buruk, siapa yang tertarik? Kepandaianmu setinggi langit, mana mampu melawanku.
"Bhong-Lo-Enghiong, dapatkah kau mencari tahu dari perguruan mana nona ini?"
Bhong Lokai tertawa, lalu melangkah maju menghadapi Hui Kauw sambil berkata,
"Nona, pedangmu masih di tangan. Nah, kau boleh coba hadapi tongkat bututku, dalam sepuluh jurus kalau kau belum kalah berarti kau termasuk orang pandai. Dan kau boleh balas menyerangku, aku bukan Bhong Lokai kalau tidak dapat mengenal ilmu pedangmu."
Hui Kauw makin mendongkol. Tua-tua sudah kurang tidur begitu masih bisa berlagak, pikirnya,
"Aku hanya mau membela diri, sama sekali tidak sudi rnencari rIbut dengan siapa pun juga. Kalau kau mau mengganggu aku, silakan, aku tidak takut. Kalau tidak, jangan banyak bicara, pergilah tinggalkan aku!"
"Heh-heh-heh, lihat serangan!"
Bhong Lokai menggerakkan tongkatnya dan Hui Kauw membenarkan dugaannya tadi bahwa kakek ini adalah seorang yang "Berisi", tidak seperti Tiat-Jiu Souw Ki. Sambaran tongkat bengkok itu tidak mengeluarkan suara, namun ujung tongkat menggetar-getar dan tusukannya mengandung tenaga dalam yang hebat. Cepat ia mengubah kedudukan kakinya, miring untuk menghindarkan tusukan sambil mengelebatkan pedang mencari kesempatan membalas.
Tiga kali Bhong Lokai menyerang hebat dan tiga kali Hui Kauw mengelak, namun belum juga Bhong Lokai dapat mengenal gerakan mengelak sampai tiga kali ini. Memang tidak gampang mengenai ilmu silat Hui Kauw karena seperti telah diterangkan tadi, ilmu silat nona ini adalah ciptaan Ching Toa-Nio yang mengawinkan banyak macam ilmu silat. Karena penasaran, Bhong Lokai tidak berani memandang rendah lagi, kini tongkatnya menyambar-nyambar laksana seekor ular terbang, mengurung diri Hui Kauw dari empat jurusan! Kalau tidak dapat mengenal ilmu nona ini, setidaknya dia harus dapat merobohkannya! Namun benar-benar perhitungannya meleset ilmu tongkat dari Bhong Lokai memang aneh sehingga dia memperoleh julukan Koai-Tung (Si Tongkat Aneh), akan tetapi betapapun hebatnya ilmu tongkatnya, dia tidak mampu menembus dinding sinar pedang Hui Kauw yang amat kokoh kuat,
Di lain pihak, Hui Kauw masih saja mainkan ilmu pedang warisan Ibu angkatnya, karena dengan ilmu pedang ini pun ia masih mampu menandingi ilmu tongkat kakek itu. Ia tidak menghendaki pertumpahan darah, tidak mau sembarangan melukai apalagi membunuh orang, maka juga ia tidak sampai mempergunakan ilmu pedang simpanannya yang bersifat ganas dan yang ia tahu amat ampuh dan sekali turun tangan mungkin akan menjatuhkan korban itu. Lima puluh jurus telah lewat. Tiba-tiba kakek itu berseru keras sekali ketika pedang Hui Kauw membentur tongkatnya dan tahu-tahu melenting ke atas dan dengan gerakan aneh berlenggang-lenggok mengarah lehernya. Sambil berseru ini Bhong Lokai menarik tongkatnya dan melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri daripada tusukan pedang.
"Tahan dulu!"
Demikian teriaknya dan sepasang mata yang biasanya ngantuk itu kini terbuka agak lebar karena herannya.
"Nona, jawablah yang betul, kau masih terhitung apa dengan Siauw-Coa-Ong Giam Kin?"
Hui Kauw maklum bahwa agaknya kakek ini mengenalnya dari ilmu pedang yang memang mengandung pula inti sari ilmu silat Ayah angkatnya itu, malah dahulu pernah pula ia langsung mendapat petunjuk dan latihan dari Ayah angkatnya itu.
"Dia adalah Ayah angkatku, apa sangkut-pautnya denganmu?"
Jawabnya dengan suara masih tetap dingin. Tiba-tiba kakek itu tertawa dan menoleh kepada The Sun yang juga kelihatan girang.
"Aha, The-Kongcu, kiranya orang sendiri! Nona, kalau begitu kau she Giam pula! Ha-ha-ha, kalau tidak bertempur mana kenal? Nona yang baik, aku adalah kenalan baiknya, malah sahabat baik."
The Sun menjura dengan sikap hormat.
"Kiranya Giam-Taihiap adalah putera angkat mendiang Giam-Lo-Enghiong. Pantas begini lihai. Aku The Sun mengharap supaya kau sudi memaafkan orang-orangku yang salah mata. Tentu saja terhadap puteri angkat Giam Lo-Enghiong, kami tidak menganggap musuh dan sama sekali tidak berani menaruh curiga. Sesungguhnya di antara kita masih ada hubungan persahabatan!"
The Sun lalu mengusir semua penjaga, malah segera memerintah para pengurus rumah penginapan itu untuk menyediakan hidangan untuk menghormati Nona Giam Hui Kauw. Ruangan yang tadinya dijadikan arena pertempuran, dalam sekejap mata saja diubah menjadi tempat pesta, dengan meja yang ditilami kain merah berkembang dan sebentar kemudian berdatanganlah arak wangi dan masakan-masakan lezat yang masih panas, diambilkan cepat-cepat dari restoran terbesar yang berdekatan.
Hui Kauw merasa tak enak sekali. Jangan dikira hatinya menjadi girang karena permusuhan berubah menjadi persahabatan, karena makin rendah saja nilai orang-orang ini di dalam pandangannya. Ia sendiri sudah cukup tahu orang apa adanya Giam Kin Ayah angkatnya itu, maka kalau orang-orang ini mengaku sahabat Ayah angkatnya, terang bahwa mereka ini biarpun memiliki kedudukan tinggi di Kota Raja, juga bukan terdiri dari orang-orang yang baik. Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menolak uluran tangan mereka, dan tidak dapat menolak pula penghormatan berupa hidangan itu. Diam-diam ia lega juga bahwa ia tidak jadi menimbulkan keonaran di Kota Raja dan dapat mencari orang tuanya dengan leluasa. Beberapa kali The Sun dengan sikap menghormat dan manis menuangkan arak dan mengajak nona itu minum, kemudian dalam percakapan itu The Sun bertanya,
"Nona, saya mendengar dari Souw Ki bahwa kau mencari keluargamu dan kau menyelidiki tentang seorang Hartawan she Kwee yang dahulu kehilangan puterinya. Sebetulnya, kau mencari siapakah? Kau percayalah kepadaku, kalau orang yang kau cari itu betul-betul berada di Kota Raja, aku The Sun pasti akan dapat menemukannya. Anak buahku tersebar di seluruh kota dan mengenal setiap orang penduduk."
"Betul ucapan The Sun ini, Nona,"
Sambung pula Bhong Lokai.
"Kami pasti akan dapat mencarikan orang itu, tidak baik kalau Nona sendiri pergi mencari dan khawatir akan terjadinya hal-hal tidak enak karena salah mengerti."
Diam-diam Hui Kauw mempertimbangkan hal ini. Tentu saja ia tidak bermaksud untuk membuka rahasianya sendiri, akan tetapi agaknya kalau dibantu oleh The Sun, lebih mudahlah untuk dapat bertemu dengan Ayah bundanya. Ia meneguk araknya lalu berkata manis, .
"Terima kasih banyak, Ji-wi (kalian berdua) baik sekali. Sebetulnya aku masih keluarga jauh dari seorang she Kwee yang tinggal di Kota Raja semenjak belasan tahun yang lalu. Sayangnya, karena aku hanya mendengar hal ini dari mendiang kakekku, aku yang sejak kecil tak pernah bertemu muka dengan keluarga Kwee itu hanya tahu bahwa di Kota Raja dan belasan tahun yang lalu, keluarga ini kehilangan seorang anak perempuan. Tentu saja aku tidak bermaksud untuk menyusahkan dan merepotkan Ji-wi, akan tetapi kalau Ji-wi dapat mencarikan keluarga ini untukku aku akan berterima kasih sekali."
The Sun menoleh kepada Bhong Lokai yang tampak termenung.
"Lo-eng-hiong kau yang lebih lama tinggal di sini daripada aku, apakah tidak mengenal orang yang dimaksudkan oleh Nona Giam?"
"Nanti dulu... nanti dulu..."
Kakek itu meraba-raba keningnya kemudian mengangkat mukanya memandang Hui Kauw.
"Kau maksudkan Hartawan Kwee yang kehilangan anak perempuannya? Anak perempuan yang diculik penjahat belasan tahun yang lalu? Ah... ahh... jangan-jangan yang kau maksudkan adalah Kwee-Taijin (pembesar Kwee) yang sekarang menjabat pegawai tinggi bagian benda-benda Pusaka di Istana. Aku ingat betul kejadian itu, kurang lebih tujuh belas tahun atau delapan belas tahun yang lalu, pada suatu malam Kota Raja gempar karena puteri Kwee-Wangwe (Hartawan Kwee) yang pada masa itu belum menjadi pembesar namun sudah menjadi kenalan baik dari pangeran Mahkota, kabarnya diculik seorang penjahat wanita yang amat lihai. Banyak penjaga dan pengawal melakukan pengejaran namun banyak yang jatuh menjadi korban penjahat wanita yang lihai itu. Aku ikut pula mengejar akan tetapi sayang tidak bertemu dengan penjahat itu. Kabarnya, penjahat wanita itu akhirnya kena dikepung oleh para pengawal, akan tetapi secara aneh dapat meloloskan diri karena tertolong oleh seorang sakti yang tidak memperlihatkan diri. Benar aneh... dan... jangan-jangan dia itu orang yang kau maksudkan?"
Hui Kauw menahan debaran jantungnya. Tidak salah lagi tentu mereka itulah Ayah-bundanya. Anak kecil yang diculik itu, siapa lagi kalau bukan dia? Penculik itu, penjahat wanita yang lihai, siapa lagi kalau bukan Ibu angkatnya, Ching Toa-Nio yang dahulu masih bernama Liu Bwee Lan? Dan penolong sakti itu, sudah tentu mendiang Giam Kin! Dengan kekuatan batinnya ia menekan perasaan agar mukanya tidak menyatakan sesuatu, kemudian ia berkata dengan sikap gembira.
"Tentu dia orangnya! Dia masih pamanku, Paman jauh... ah, Bhong Lo-Enghiong, tolonglah, dapatkah kau menunjukkan kepadaku, di mana rumahnya?"
The Sun dan Bhong Lokai saling bertukar pandang. Kwee-Taijin adalah seorang yang penting kedudukannya, pemegang kunci gudang benda-benda Pusaka Istana. Dalam keadaan politik sekacau itu, mana bisa menaruh kepercayaan begitu saja kepada gadis lihai ini untuk mendatangi Kwee-Taijin? Siapa tahu gadis ini mengandung maksud buruk terhadap pembesar itu? The Sun tersenyum.
"Mudah saja, Nona. Kami mengenal baik kepada Kwee-Taijin. Marilah, sekarang juga kami antar kau menghadap Kwee-Taijin di rumahnya."
Seorang yang berperasaan halus seperti Hui Kauw, tentu saja dapat menangkap kecurigaan yang terkandung dalam sikap dan pandang mata The Sun dan Bhong Lokai, akan tetapi ia tidak memperdulikannya karena hatinya sudah terlampau girang mendengar keterangan tentang Ayah bundanya ini. Soal Ayahnya menjadi pembesar atau bukan, itu urusan nanti. Yang penting baginya, ia dapat bertemu dengan Ayah bundanya yang aseli, yang dikenangnya dan dirindukan semenjak ia mendengar penuturan pelayan tua di Ching-Coa-To.
"Aku tidak bermaksud, merepotkah Ji-wi, tapi..."
Ia bersungkan.
"Ah, tidak apa, Nona. Bukankah di antara kita adalah di antara orang segolongan sendiri? Tidak usah sungkan, apalagi memang kami adalah kenalan baik Kwee-Taijin. Marilah."
Tiga orang itu segera meninggalkan penginapan, diantar oleh anggukan dan sikap menghormat oleh para pelayan dan pengurus rumah penginapan. Kiranya di depan rumah penginapan sudah tersedia sebuah kereta kuda dan The Sun mempersilakan Hui Kauw naik bersama dia dan Bhong Lokai. Hui Kauw merasa sungkan sekali, akan tetapi karena hatinya dipenuhi kegembiraan dan ketegangan hendak bertemu orang tuanya, ia tidak banyak menolak dan berangkatlah mereka sebagai pembesar-pembesar yang berkendaraan di Kota Raja!
Rumah Kwee-Taijin amat besar dan mewah sehingga begitu memasuki pekarangan depan itu, hati Hui Kauw sudah berdebaran dan ia merasa dirinya amat kecil. Rumah Ching Toa-Nio di Ching-Coa-To memang juga besar dan indah, akan tetapi dibandingkan dengan bangunan-bangunan di Kota Raja, benar-benar tidak ada artinya. Rumah depannya itu dijaga beberapa orang perajurit yang memberi hormat ketika melihat The Sun dan Bhong Lokai. Otomatis mereka menghormat Hui Kauw pula karena gadis ini datang bersama dua orang tokoh itu. Apalagi melihat gadis muka hitam ini membawa pedang di pinggang, para penjaga maklum bahwa gadis ini tentulah seorang tokoh kang-ouw yang banyak berkeliaran di Kota Raja karena dibutuhkan bantuan mereka oleh Kaisar.
Penjaga pintu depan segera melapor ke dalam setelah mempersilakan tiga orang tamu ini duduk di ruang tamu yang berada di depan, sebuah ruangan lebar yang penuh gambar-gambar indah dan tulisan-tulisan sajak bergantungan di sepanjang dinding tebal yang dikapur putih. Diam-diam Hai Kauw membandingkan lukisan dan sajak-sajak itu dengan milik Ibu angkatnya di Ching-Coa-To dan merasa bahwa lukisan-lukisan yang berada di sini tidak mampu melawan keindahan kumpulan Ibu angkatnya. Tak lama kemudian terdengar derap kaki dari dalam. Hati Hui Kauw sudah berdegupan tidak karuan, akan tetapi ia terheran ketika melihat bahwa yang muncul dari pintu dalam adalah dua orang muda. Yaitu seorang gadis dan seorang pemuda. Mereka masih muda benar, kurang lebih tujuh belas atau enam belas tahun, akan tetapi sikap mereka gesit dan lincah, pakaian mereka mewah dan wajah mereka tampan dan cantik.
"The-Kongcu...!"
Dara remaja itu menegur sambil memberi hormat, suaranya berirama manja dan manis. Diam-diam Hui Kauw mengerutkan keningnya. Gadis ini terlalu dimanja dan agaknya tergila-gila kepada The Sun yang tampan! Bukan hal yang pantas kalau seorang dara remaja seperti dia itu keluar menyambut tamu pria dengan sikap semanis itu.
"Nona Kwee, sepagi ini kau sudah begini gembira dan segar cantik. Hendak ke manakah?"
The Sun menegur dan diam-diam Hui Kauw dapat merasa betapa sikap The Sun ini dibuat-buat manis, seperti sikap seorang dewasa terhadap anak-anak. Hemm, agaknya pemuda berpengaruh ini tidak seceriwis yang disangkanya, pikir Hui Kauw.
"Aku hendak pergi berburu dengan Kian-Koko (kakak Kian)! Ah, kalau saja kau bisa ikut, The-Kongcu, tentu akan banyak hasilnya. Panahmu selalu tepat mengenai sasaran!"
Dara lincah dan jelita itu berkata pula. The Sun tersenyum dan menggeleng kepala.
"Lain kali saja, sekarang aku banyak urusan. Adik Kian, hati-hati kalau berburu, jangan terlalu jauh meninggalkan tembok kota,"
Pesannya kepada pemuda remaja itu yang sejak tadi memandang kepada Hui Kauw.
"Pelayan memberi tahu bahwa ada Bhong-Lo-Cianpwe dan The-Kongcu bersama seorang nona mencari Ayah,"
Katanya dengan suaranya yang besar dan keras.
"Ayah sedang mandi, kami dipesan supaya mempersilakan kalian bertiga menanti sebentar."
"Baik, baik... tidak apa, ada sedikit urusan"
Kata The Sun.
Sementara itu, pelayan datang membawa hidangan minuman dan Hui Kauw merasa canggung sekali karena dua orang muda itu tiada hentinya memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik. Ia merasa tidak enak, juga bingung, hatinya menduga-duga. Dari percakapan ini ia dapat menduga bahwa dara remaja itu tentu adik si pemuda, apalagi kalau dilihat wajah mereka memang terdapat persamaan. Akan tetapi pemuda ini menyebut Kwee-Taijin sebagai Ayahnya. Kalau Ayah mereka, Kwee-Taijin yang dimaksudkan itu, benar-benar adalah Ayahnya yang sejati, dengan sendirinya kedua orang muda ini adalah adik-adiknya! Berpikir sampai di sini, hatinya berdebar tidak karuan dan ia pun balas memandang penuh perhatian. Makin berdebar hatinya ketika muncul pelayan yang berkata hormat.
"Taijin menanti para tamu di ruangan depan. Silakan Sam-wi masuk."
The Sun dan Bhong Lokai bangkit berdiri, Hui Kauw juga mengikuti gerakan dua orang itu. Dua orang anak muda tadi pun berdiri dan sambil tersenyum manis dara remaja itu berkata kepada The Sun,
"Kami juga akan berangkat, The-Kongcu. Kalau kau sudah selesai dengan urusanmu dan ada waktu, kami akan girang sekali jika kau menyusul kami ke hutan sebelah Selatan."
The Sun hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memandang dua orang muda itu yang berlarian ke luar rumah di mana telah menanti para pelayan yang telah mempersiapkan dua ekor kuda besar. Sebentar kemudian terdengarlah derap kuda mereka meninggalkan tempat itu.
The Sun memberi isyarat kepada Hui Kauw untuk ikut memasuki ruangan depan yang ternyata lebih luas dan lebih mewah daripada ruangan tamu. Dengan mata tak berkedip Hui Kauw memandang laki-laki setengah tua yang bangun dari kursinya menyambut kedatangan mereka bertiga. Laki-laki ini usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, rambutnya sudah berwarna dua, akan tetapi yang amat menarik adalah alisnya yang sudah putih seluruhnya. Wajahnya kurus, lebih kurus daripada badannya yang berkerangka besar, tampan dan gerak-geriknya halus. Jari-jari tangan yang diangkat ke dada untuk memberi hormat itu memiliki kuku-kuku yang panjang terawat, kuku seorang Sasterawan di jaman itu, senyumnya melebar menyembunyikan sinar duka yang tergores di mukanya sebagai bekas kepahitan hidup.
"Ah, kiranya The-Kongcu dan Bhong-losu yang datang berkunjung. Tidak tahu siapa Nona ini?"
Pembesar itu menyambut dengan suaranya yang halus. Sikap yang tidak angkuh dan halus itu serta merta mendatangkan kesan baik dan mengharukan di hati Hui Kauw yang cepat-cepat memberi hormat bersama The Sun dan Bhong Lokai.
"Kwee-Taijin,"
Kata Bhong Lokai setelah mereka dipersilakan duduk.
"Justeru kedatangan kami berdua ini untuk mengantar Nona ini yang katanya masih terhitung keluarga dengan Kwee-Taijin."
Hening sejenak, hening yang mencekam hati Hui Kauw, mendatangkan heran bagi Kwee-Taijin dan kedua orang jagoan itu hanya menanti sambil memandang penuh perhatian.
"Nona siapakah...?"
Sepasang mata itu mengeluarkan sinar menyusuri wajah dan bentuk tubuh Hui Kauw, lalu kembali ke wajah gadis itu dan menjadi ragu-ragu dan malah curiga ketika melihat muka yang menghitam itu. Rasa kecewa memenuhi hati Hui Kauw, membuat ia ingin sekali menangis. Kalau benar dia ini Ayahnya, mengapa tidak mengenalnya lagi? Bagaimana ia mungkin mengaku begitu saja sebagai puterinya? Puteri seorang bangsawan kaya raya? Apakah orang takkan menyangka dia seorang penipu? Apa buktinya bahwa ia anak pembesar ini? Dan bagaimana pula kalau ternyata bukan anaknya? Suaranya gemetar ketika ia berkata,
"Mohon maaf sebanyaknya, Taijin. Sesungguhnya, urusan ini mengharuskan kehadiran Nyonya Taijin. Apabila diijinkan, saya mohon agar Nyonya Taijin dipersilakan datang, baru saya akan bicara tentang urusan ini..."
Berubah wajah Kwee-Taijin, agaknya dia akan marah, akan tetapi karena yang mengajukan permintaan yang aneh ini adalah seorang gadis, dia dapat menahan kesabarannya. Adapun Bhong Lokai dan The Sun tidak heran mendengar ini malah The Sun segera berkata,
"Kwee-Taijin, Nona ini tahu bahwa belasan tahun yang lalu puteri Taijin lenyap diculik orang..."
"Ahhh...!"
Pembesar itu berseru kaget.
"Kau tahu...? Di mana dia itu sebenarnya? Di mana anakku...?"
Kemudian pembesar ini sadar akan kegugupannya, maka dia segera bertepuk tangan memanggil pelayan, lalu katanya,
"Pergi menghadap nyonya besar dan katakan bahwa aku minta ia datang ke ruangan depan sekarang juga."
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pelayan pergi dan keadaan hening kembali. Kini Kwee-Taijin menatap wajah Hui Kauw penuh perhatian dan seperti tadi dia menjadi curiga dan ragu-ragu melihat wajah yang hitam itu karena sepanjang ingatannya, dia tidak mempunyai keluarga atau anak kemenakan yang berwajah hitam seperti nona ini.
"Kau betul-betul tahu tentang puteriku yang diculik orang itu?"
"Saya tahu betul, Taijin,"
Jawab Hui Kauw perlahan dan di dalam hatinya nona ini berdoa semoga nyonya pembesar ini kalau memang betul-betul Ibu kandungnya, akan mengenalnya.
Sementara itu, diam-diam The Sun dan Bhong Lokai telah siap siaga menjaga segala kemungkinan untuk melindungi pembesar itu dan isterinya, karena mereka pun merasa curiga kepada nona muka hitam itu. Dengan pandang mata tajam The Sun menatap wajah Hui Kauw dan melihat betapa wajah nona yang kehitaman itu menjadi pucat tiba-tiba ketika terdengar langkah ringan dan halus dari sebelah dalam, langkah seorang wanita. Benar saja, tak lama kemudian muncullah seorang wanita setengah tua yang masih amat cantik dan halus gerak-geriknya, tapi bermata sayu tanda penderitaan batin dan wajahnya yang pucat menandakan kesehatan yang buruk. Begitu melihat wajah nyonya ini, seketika Hui Kauw memandang dengan mata terbelalak dan ia seperti terkena pesona.
Inilah wajah yang seringkali ia lihat di dalam mimpi, dan sekaligus hatinya jatuh. Kasih sayang dan keharuan memenuhi hatinya, membuat kedua matanya tak dapat menahan lagi bertitiknya dua air mata, mulutnya serasa kering, lehernya serasa tercekik dan jantung di dalam dada meloncat-loncat. Juga nyonya itu seperti tercengang melihat Hui Kauw, keningnya berkerut mengingat-ingat karena ia merasa seperti pernah melihat wajah gadis ini. Hanya muka yang kehitaman itu membuat ia ragu-ragu karena seingatnya belum pernah ia mengenal seorang nona bermuka hitam seperti nona ini. Melihat adanya The Sun dan Bhong Lokai yang sudah dikenalnya, ia segera menjura dengan hormat yang cepat dibalas oleh kedua orang tamu itu, kemudian ia menghadapi suaminya sambil berkata halus,
"Ada keperluan apakah maka aku dipanggil ke sini?"
Karena hatinya masih merasa tegang, Kwee-Taijin hanya menuding ke arah Hui Kauw sambil berkata,
"Nona ini... dia bilang tahu tentang... Ling-ji (anak Ling)..."
Seketika wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat dan mata yang sayu itu memandang terbelalak kepada Hui Kauw, kedua kakinya yang kecil melangkah maju sampai dekat.
"Kau tahu... kau tahu... mana dia Ling Ling anakku...?"
Hati Hui Kauw seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia terharu sekali dan diam-diam ia merasa bahagia karena Ibu ini ternyata amat kasih kepada puterinya yang hilang diculik orang. Akan tetapi ia tidak boleh Sembrono, tidak boleh begitu saja mengaku sebagai anak mereka, karena biarpun hubungan darah di antara mereka telah menggetarkan jiwanya, akan tetapi ia tidak mempunyai bukti yang sah. Bagaimana kalau wanita ini bukan Ibunya?
"Nyonya..."
Suaranya gemetar dan sukar keluarnya.
"Dapatkah Nyonya katakan, apakah anakmu yang hilang itu mempunyai tanda-tanda atau ciri-ciri sehingga dapat dikenal kembali?"
Nyonya itu meramkan kedua matanya, seakan-akan hendak membayangkan kembali anak kecil yang lenyap di waktu malam itu, ingat ketika dengan amat gembira dan penuh bahagia ia memandikan anak itu setiap hari, anak tunggal yang amat disayanginya. Dengan jelas tampak dalam bayangan ini betapa anaknya itu mempunyai sebuah tanda merah di belakang leher, seperti tahi lalat tapi merah, dan dulu seringkali ia menggosok-gosok agar tanda itu hilang. Malah suaminya menghiburnya bahwa tanda tahi lalat seperti itu tidaklah buruk, apalagi kalau anak itu sudah besar kelak tentu akan tertutup oleh rambutnya, pula tanda sekecil itu kiranya malah menjadi penambah manis pada leher yang berkulit putih.
"Ada... ada..."
Katanya sambil membuka mata dan memandang suaminya.
"Kau tentu masih ingat, tahi lalat merah di belakang leher..."
Kwee-Taijin mengerutkan kening mengingat-ingat, kemudian berkata sambil tersenyum penuh harapan,
"Betul, ada tahi lalat merah di tengkuk, Ibunya selalu meributkan hal itu..."
Mendengar ini menggigil kedua kaki Hui Kauw dan serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan nyonya itu, memeluk kedua kakinya sambil menangis! The Sun dan Bhong Lokai sudah mencelat dari tempat duduk masing-masing karena tadinya mengira bahwa gadis aneh itu hendak melakukan penyerangan, akan tetapi melihat Hui Kauw hanya menangis sambil memeluk dan menciumi kaki nyonya itu, mereka saling pandang dan berdiri bengong. Juga Kwee-Taijin berdiri dari kursinya dan memandang dengan penuh keheranan.
"Nyonya... kau periksalah ini..."
Hui Kauw sambil menangis dan dengan kepala tunduk menyingkap rambutnya memperlihatkan tengkuk. Nyonya Kwee, suaminya dan juga dua orang tamu itu memandang dan karena Hui Kauw berlutut di atas lantai, mudah bagi mereka untuk melihat betapa kulit yang kuning halus dari tengkuk itu ternoda oleh sebuah tahi lalat merah sebesar kedele. Hening sejenak, semua orang seperti kena sihir, kemudian Nyonya Kwee mengeluh, membungkuk meraba tengkuk, memandang lagi, mulutnya berbisik-bisik,
"Ah, mungkinkah ini...? Kau... Ling Ling...? Kau anakku...?"
Juga Kwee-Taijin tak dapat menahan diri berseru,
"Mungkinkah ini? Tidak kelirukah...?"
Mendengar keraguan suami isteri itu, dengan terisak Hui Kauw bangkit berdiri, tegak memandang suami isteri itu dan berkata, suaranya tegas.
"Taijin dan Nyonya, memang amatlah berat bagiku untuk memperkenalkan diri setelah melihat bahwa Ayah dan Ibuku adalah orang-orang kaya raya dan orang bangsawan berpangkat. Alangkah akan mudahnya aku dituduh penipu! Lihatlah baik-baik mukaku, mataku, diriku, andaikata Taijin berdua tidak mengenalku sebagai anak yang diculik orang belasan tahun yang lalu, biarlah aku pergi dari sini."
Keadaan tegang sekali. The Sun dan Bhong Lokai merasai ketegangan ini dan mereka hanya berdiri tegak menjadi penonton. Kwee-Taijin nampak bingung, ragu-ragu dan pandang matanya tidak pernah lepas daripada wajah Hui Kauw. Harus dia akui bahwa wajah ini cantik sekali dan mirip wajah isterinya di waktu muda, akan tetapi mengapa hitam sehingga tampak buruk? Dia ingat betul bahwa dahulu Ling-ji tidak berwajah hitam, malah kulit muka anaknya dahulu itu putih sekali. Bagaimana dia dapat menerima gadis yang bermuka hitam, yang menjadi seorang gadis kang-ouw dengan pedang selalu di pinggang ini sebagai puterinya? Nyonya Kwee mengejar maju dan memegang tangan kiri Hui Kauw dengan kedua tangannya yang dingin dan gemetar, Bibirnya berbisik,
"lihat tanganmu... aku ingat betul... di bawah jari manis kiri terdapat guratan seperti huruf THIAN..."
Ia membalikkan tangan gadis itu, menariknya dekat dan memandang penuh perhatian. Benar saja, di situ terdapat di antara guratan-guratan telapak tangan itu, guratan yang mirip dengan huruf THIAN, yaitu dua tumpuk garis melintang dipotong garis tegak lurus yang di bawahnya bercabang dua!
"Ahh... kau betul Ling Ling... kau anakku...!"
"Ibuuuu...!"
Dua orang wanita itu berpelukan, berciuman dan mereka bertangis-tangisan. Pertemuan yang amat mengharukan.
"Ling Ling... inilah Ayahmu... berilah hormat kepada Ayahmu..."
Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut di depan Kwee-Taijin sambil terisak berkata,
"Ayahhhh..."
Kwee-Taijin mengerutkan kening. Diam-diam dia kecewa sekali melihat nona ini yang ternyata adalah puterinya sendiri yang dahulu diculik orang. Kecewa melihat anaknya bermuka hitam seperti ini. Dia menarik napas dan mengelus rambut Hui Kauw setelah menerima sambaran pandang mata isterinya yang seakan-akan mencelanya,
"Ling-ji... anakku, alangkah banyaknya kau telah mendatangkan sengsara dalam hati Ibumu..."
Sementara itu, The Sun dan Bhong Lokai juga tercengang, kemudian menjadi girang sekali bahwa nona yang kosen itu ternyata adalah puteri Kwee-Taijin yang hilang! Cepat keduanya lalu menjura dan menghaturkan selamat kepada Kwee-Taijin.
"Kionghi (selamat), Kwee-Taijin, kionghi! Siapa kira hari ini amat baik sehingga tanpa dinyana puterimu telah kembali!"
Kata The Sun.
"Tidak hanya telah kembali, malah membawa kepandaian yang hebat. Kionghi, Taijin, selamat bahwa kau mempunyai puteri yang menjadi anak angkat Siauw-Coa-Ong Giam Kin yang sakti. Ha-ha-ha!"
Bhong Lokai juga memberi selamat. Kekecewaan Kwee-Taijin agak terhIbur ketika mendengar bahwa puterinya ini ternyata memiliki kepandaian yang tinggi. Apalagi nama besar Siauw-Coa-Ong tentu saja pernah dia mendengarnya. Maka ketika dua orang tamunya itu berpamit hendak pergi, dia cepat menahan mereka dan berkata,
"Ji-wi yang membawa datang puteri kami, sudah sepantasnya saya menghaturkan terima kasih dengan tiga cawan arak."
Dua orang itu tertawa-tawa dan tak dapat menolak. Hidangan disiapkan di meja, sedangkan Kwee-hujin segera mengajak puterinya itu ke dalam sambil memeluknya dan menciuminya.
Setelah berada di rumah Ayah bundanya yang aseli, Hui Kauw atau Kwee Ling mendengar banyak, Ternyata Ibunya hanya mempunyai anak dia seorang saja, adapun dua orang remaja yang dilihatnya itu adalah anak dari isteri muda Kwee-Taijin. Sebagai seorang kaya raya dan bangsawan yang mempunyai pangkat tinggi pula, Kwee-Taijin mempunyai tiga orang isteri di samping beberapa orang selir yang dianggap sebagai pelayan. Isteri pertama yang disebut Kwee-Huijin adalah Ibu Hui Kauw itulah, isteri ke dua atau Ji-Huijin (nyonya ke dua) tidak mempunyai anak sedangkan Sam-Huijin (nyonya ke tiga) mempunyai anak dua orang yaitu yang bernama Kwee Kian seorang pemuda berusia tujuh belas tahun dan yang ke dua adalah seorang dara remaja bernama Kwee Siok. Dua orang inilah yang berjumpa dengan Hui Kauw pada waktu ia pertama datang di rumah orang tuanya.
Hui Kauw dapat merasakan betapa kecuali Ibu kandungnya, kehadirannya di rumah gedung itu amat tidak disuka oleh keluarga Kwee. Terutama sekali Sam-hujin dan dua orang anaknya. Hal ini mudah sekali dimengerti karena sebelum hadir Hui Kauw, maka Kwee Kian dan Kwee Siok merupakan dua orang keturunan keluarga Kwee yang menjadi ahli waris. Sekarang datang Hui Kauw yang ternyata adalah anak dari isteri pertama, tentu saja mereka merasa dirugikan dan merasa terancam kedudukan mereka! Hal ini karena dapat dimengerti oleh Hui Kauw, maka tidak mendatangkan rasa sesal di hatinya. Yang membuat gadis ini murung dan tak enak hati adalah sikap Ayahnya. Ayahnya itu adalah Ayah kandung, kenapa terhadap dia dingin saja, tidak semanis sikapnya terhadap Kwee Kian dan Kwee Siok? Juga sikap Ayahnya terhadap Ibunya tidak semanis sikapnya terhadap dua orang isterinya yang lain.
Hui Kauw merasa amat kasihan kepada Ibunya dan diam-diam ia tidak puas kepada Ayahnya. Agaknya perasaan tidak puas inilah yang membuat Hui Kauw menyatakan kepada Ayah bundanya bahwa ia lebih suka bernama Hui Kauw daripada Kwee Ling, karena nama ini sudah dipakainya semenjak kecil, maka ia minta supaya nama Hui Kauw dijadikan nama alias atau nama sehari-hari. Hanya Ibu kandungnya sajalah yang tetap menyebutnya Ling Ling, sedangkan orang lain menyebutnya Hui Kauw, juga Ayahnya sendiri. Pada suatu hari Hui Kauw diajak Ayahnya menghadiri pesta yang diadakan di dalam Istana oleh Kaisar! Kejadian yang luar biasa, apalagi kalau diingat bahwa kehadiran Hui Kauw itu adalah kehendak Kaisar sendiri yang mendengar tentang kelihaian gadis itu dari The Sun.
"Ayah, perlu benarkah itu sehingga saya yang harus ikut ke Istana? Saya tidak senang dengan pesta-pesta besar,"
Kata Hui Kauw kepada Ayahnya. Aneh Ayahnya kali ini, sikapnya manis sekali dan kini Ayahnya tersenyum.
"Hui Kauw, anak baik, kau tidak tahu. Adalah Kaisar sendiri yang minta supaya kau ikut datang karena beliau telah mendengar bahwa anakku yang diculik dahulu telah pulang dan selain beliau hendak memberi selamat kepadaku, juga ingin berjumpa sendiri denganmu. Ini merupakan hal baik sekali dan merupakan kehormatan besar, anakku. Baiklah kita berdua menggunakan kesempatan ini untuk menghaturkan selamat kepada Kaisar atas pilihan beberapa orang selir baru."
Diam-diam Hui Kauw merasa muak di dalam hatinya.
Banyak sudah ia mendengar dongeng tentang Kaisar-Kaisar dan pembesar-pembesar tinggi yang selalu mengumpulkan sebanyak mungkin gadis-gadis cantik untuk dijadikan selir. Kejadian ini amat memanaskan hatinya. Laki-laki yang mempunyai kedudukan tinggi benar-benar merupakan manusia-manusia yang mau menang sendiri saja, yang bertindak sewenang-wenang dan menganggap wanita-wanita hanya sebagai benda permainan belaka! Sebenarnya tak sudi ia harus menghadapi semua ini, tak sudi ia harus menghadiri pesta itu, akan tetapi bagaimana ia dapat membantah kehendak Ayahnya? Baru beberapa hari ia berkumpul dengan Ayahnya, tak mungkin ia mengecewakan hati orang tua itu. Apalagi dalam kesempatan ini, Ayahnya juga mengajak Kwee Kian dan Kwee Siok yang kelihatannya gembira bukan main. Pemuda dan gadis remaja ini berdandan dengan pakaian terbaru.
Hui Kauw tidak dapat meniru ini, biarpun ia telah diberi banyak pakaian indah oleh orang tuanya. Gadis ini berpakaian sederhana saja, apalagi ia maklum bahwa mukanya yang hitam itu membuat semua pakaian dan hiasan badan tetap tidak patut. Bukan main meriahnya pesta yang diadakan di taman bunga Istana itu. Kaisar baru muncul setelah para undangan memenuhi taman dan semua orang termasuk Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut ketika Kaisar berjalan dengan sikap agung menuju ke tempat duduk kehormatan yang telah disediakan untuknya. Dengan kerling matanya Hui Kauw melihat bahwa Kaisar ini masih muda, berwajah tampan bersikap gagah dengan mulut selalu memperlihatkan senyum yang menyembunyikan keangkuhannya. Setelah semua orang diperkenankan duduk, Kwee Siok menyentuh tengannya dan berkata,
"Hui Kauw Cici, lihat di sana itu duduk rombongan pengawal-pengawal Istana dan jagoan-jagoan undangan, semua adalah tokoh-tokoh persilatan tingkat tertinggi."
Kwee Kian juga tidak mau ketinggalan berkata lirih.
"Dan yang duduk di sebelah kiri itu, yang berpakaian serba merah, orang tua yang tinggi kurus dan tersenyum-senyum itu, dialah Suhu (Guru) kami. Dialah tokoh besar berilmu tinggi yang berjuluk Ang Mo-Ko!"
Diam-diam Hui Kauw menaruh perhatian. Memang seorang kakek yang aneh, sudah tua tapi pakaiannya merah semua, duduknya tak jauh dari The Sun yang kelihatan berpakaian serba indah. Ia tahu bahwa dua orang adik tirinya ini belajar ilmu silat dari seorang tokoh pengawal Istana yang berjuluk Ang Mo-Ko, akan tetapi baru sekarang ia melihat orangnya.
"Cici,"
Kata pula Kwee Siok.
"Diantara tujuh orang pengawal ketika Kaisar masih menjadi pangeran Mahkota, Suhu adalah orang yang paling lihai di antara mereka."
"Mungkin tidak kalah oleh The-Kongcu,"
Kata Kwee Kian.
"Wah, kalau dibandingkan dengan The-Kongcu mungkin masih kalah setingkat,"
Kata Kwee Siok.
"Kian-Koko, kau tahu bahwa The-Kongcu adalah seorang tokoh muda dari Go-Bi yang memiliki kesaktian luar biasa, masa di dunia ada keduanya? Akan tetapi, kalau hanya dengan Bhong Lokai saja sudah pasti Suhu lebih menang!"
Hui Kauw tersenyum di dalam hatinya mendengar perdebatan antara kedua adik tirinya ini dan sekaligus ia dapat menduga bahwa adik tirinya Kwee Siok ini tergila-gila kepada The Sun. Ia termenung dan diam-diam ia berdoa semoga adik ini tidak akan mengalami nasib buruk dalam percintaan seperti ia sendiri.
Betapapun adik tirinya ini di dalam hatinya tidak suka kepadanya, namun Hui Kauw memang memiliki watak yang penuh welas asih, dan prIbudi yang mulia. Dahulu pun di Pulau Ching-Coa-To, biarpun ia tahu bahwa Hui Siang diam-diam membencinya, namun ia selalu menaruh iba kepada adik angkat ini. Apalagi sekarang, dua orang ini betapapun juga adalah adik tirinya, anak-anak dari Ayah kandungnya! Ternyata menurut percakapan yang ia dengar, Hui Kauw tahu bahwa kali ini Kaisar telah memilih lima orang selir baru di antara puluhan orang gadis yang didatangkan dari pelbagai daerah. Seperti telah seringkali terjadi, gadis-gadis yang tidak diterima tentu saja menjadi bagian dari para pembesar yang mengurusnya. Tidaklah mengherankan apabila mereka kini berpesta pora amat gembira, selain untuk memberi selamat kepada Kaisar, juga untuk memberi selamat kepada diri mereka sendiri!
Hui Kauw merasa lega bahwa Ayahnya tidak termasuk pembesar yang mengurus tentang penarikan gadis-gadis ini sehingga kali ini Ayahnya tidak ikut bergembira karena mendapatkan selir baru pula! Anehnya, selir-selir baru itu tidak hadir di tempat pesta dan yang tampak hanyalah para pengunjung yang membanjirkan hadiah-hadiah berupa benda-benda berharga untuk para selir baru itu! Tentu saja hal ini dilakukan untuk menjilat Kaisarnya, karena benda-benda berharga yang dikeluarkan itu hanya merupakan umpan untuk memancing ikan yang jauh lebih berharga daripada umpannya, yaitu berupa kenaikan pangkat dan lain-lain. Hui Kauw sudah merasa lega bahwa Kaisar agaknya tidak akan melihat dan mengenalnya, juga agaknya Ayahnya tidak akan menyinggung-nyinggung tentang dirinya. Siapa kira tak lama kemudian, seorang pembesar mendatangi Ayahnya dan berbisik-bisik. Wajah orang tua itu seketika menjadi berseri-seri gembira dan dengan suara bangga dia berkata,
"Hui Kauw... eh, Ling-ji... Kaisar memanggil aku dan kau menghadap. Mari...!"
Ayah yang bangga ini berdiri, menggandeng tangan puterinya dan menjatuhkan diri berlutut di tempat itu juga untuk menghormat panggilan Kaisar, kemudian dia mengajak Hui Kauw berdiri dan berjalan perlahan menuju ke tempat duduk Kaisar. Di depan Kaisar, Ayah dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut lagi, menunduk tanpa berani mengangkat muka untuk memandang Kaisar.
"Aha, inikah Nona yang lihai ilmu silatnya itu?"
Betapapun juga, keadaan dan suara Kaisar ini demikian berwibawa sehingga menekan perasaan Hui Kauw dan membuat nona ini merasa mulutnya kaku dan tenggorokannya kering. Tak dapat ia mengeluarkan suara untuk menjawab!
"Betul, Yang Mulia, inilah anak hamba Kwee... Hui Kauw yang bodoh, hamba berdua menghaturkan selamat atas hari baik ini semoga Yang Mulia bertambah kebahagiaan dan dikurniai panjang usia selaksa tahun!"
Kaisar ini tertawa senang.
"Kwee Lai Kin, tak kusangka kau mempunyai seorang anak perempuan yang lihai ilmu silatnya, yang katanya malah menjadi murid dan anak angkat Siauw-Coa-Ong Si Raja Ular! Ha-ha-ha! Eh, kau... Kwee Hui Kauw, benarkah kau diangkat anak oleh Si Raja Ular?"
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo