Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 21


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



Segera Beng San menggunakan kepandaiannya. Dengan menempel kedua pundak Bun Lim Kwi dengan kedua telapak tangannya, dia menahan napas mengerahkan tenaga dalamnya, mempergunakan tenga Im Yang berganti-ganti untuk mendorong hawa beracun dari tubuh Bun Lim Kwi. Karena? dia tidak tahu tergolong apakah racun itu, Im atau Yang, dia tidak tahu harus mempergunakan tenaga apa untuk melawannya. Baiknya hawa mujijat dalam tubuh Beng San memang hebat sekali. Ketika dia mempergunakan tenaga Im, darah hitam banyak mengucur keluar dari luka-luka di punggung Lim Kwi. Akhirnya muka pemuda ini tidak biru lagi dan napasnya agak lega. Akan tetapi dia masih kaku dan pingsan. Beng San teringat akan Ular pemberian Giam Kin kepada Ketua Hoa-San-Pai,

   "Ah, kenapa aku begini bodoh? Hoa-San tidak terlalu jauh, kalau kubawa ke sana dan minta Lian Bu Tojin memberikan Ular-Ular itu untuk menolong, bukankah Lim Kwi akan dapat tertolong segera?"

   Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memondong tubuh Lim Kwi dan mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat sekali naik ke puncak Hoa-San. Setelah tiba di puncak, dia segera berjalan seperti biasa menuju ke tempat tinggal Lian Bu Tojin. la melihat bahwa masih ada sedikit tamu di tempat pesta. Untuk tidak menarik perhatian orang, Beng San menggunakan kepandaiannya meloncat dan menyelinap menuju ke belakang dan memasuki bangunan itu dari belakang. Beberapa orang Tosu melihatnya dan menegur heran.

   "Beng San, kau dari mana dan... eh, Siapa itu...,.?"

   Para Tosu terheran-heran, apalagi setelah mereka mendapat kenyataan bahwa orang yang dipondong Beng San itu bukan lain adalah Bun Lim Kwi, murid Kun-Lun-Pai yang tadi datang bersama Pek Gan Siansu.

   "Harap para Totiang tenang-tenang saja dan tolonglah panggilkan Lian Bu Totiang, katakan aku Beng San mohon bertemu, ada urusan amat penting."

   Para Tosu segera melaporkan kepada Lian Bu Tojin yang masih duduk diruangan depan menanti habisnya para tamu. Tosu tua ini begitu mendengar laporan, segera mengundurkan diri dan menuju ke belakang, membiarkan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa melayani para tamu. Akan tetapi Kwa Hong yang berada di dekatnya ketika ada Tosu memberi laporan, segera mengikutinya. Hal ini terlihat oleh Thio Bwee, Kui Lok dan Thio Ki yang segera mengikuti pula dari belakang.

   "Beng San, kenapakah dia itu...?"

   I.ian Bu Tojin menegur dengan kaget setelah melihat Bun Lim Kwi menggeletak di atas sebuah dipan dalam keadaan amat payah.

   "Totiang yang baik, saya mohon belas kasihan Totiang. Tolonglah Bun Lim Kwi yang Teecu (saya) ketemukan sudah menggeletak dalam keadaan begini di lereng bukit. Melihat keadaannya, teetu rasa dia terkena senjata beracun dan... Teecu teringat akan pemberian Giam Kin. Bukankah Ular-Ular kecil itu adalah Ular penolak racun?"

   Lian Bu Tojin tidak menjawab dan cepat dia memeriksa tubuh Bun Lim Kwi. Sebagai seorang Ketua Partai persilatan besar tentu saja Kakek ini mengerti tentang ilmu pengobatan. Wajahnya berubah ketika dia memeriksa pemuda itu.

   "Dia telah terkena racun yang amat berbahaya,"

   Katanya.

   "Pinto sendiri tidak mempunyai penolak racun yang akan dapat melawan racun ini."

   "Totiang, bukankah Giam Kin telah memberi hadiah Ular-Ular penolak racun itu?"

   Kakek itu mengangguk-angguk akan tetapi nampak ragu-ragu.

   "Hemmm, Pinto pernah mendengar kemanjuran Ngo-Tok-Coa, akan tetapi belum pernah membuktikannya sendiri. Memang kata orang Ngo-Tok-Coa dapat menyembuhkan segala macam penyakit akibat keracunan, akan tetapi Pinto belum pernah melihat kenyataannya, bahkan Ularnya pun baru sekarang Pinto melihatnya. Pemuda ini benar-benar hebat dan amat berbahaya keadaannya, kalau tidak mendapatkan obat yang cocok, tak akan kuat menahan sampai dua pekan."

   Tosu itu nampak ragu-ragu dan khawatir.

   "Totiang, kalau begitu, tolonglah Totiang berikan Ngo-Tok-Coa kepada Teecu untuk mengobati Lim Kwi,"

   Beng San berkata gelisah.

   "Baiklah... memang seharusnya begitu..."

   Kata Kakek itu. Tiba-tiba Thio Ki berkata dengan suara tak senang,

   "Sukong, dia itu adalah anak murid Kun-Lun-Pai, seorang musuh besar. Luka atau matinya bukanlah urusan kita dari Hoa-San-Pai!"

   Thio Bwee dan Kui Lok menyatakan persetujuannya, malah Kui Lok menyambung,

   "Inilah tanda bahwa Thian akan selalu menghukum mereka yang jahat. Kun-Lun-Pai sudah terlalu amat jahat terhadap kita, maka dia ini murid Kun-Lun-Pai juga mengalami nasib seburuk ini. Sukong, dia ini musuh kita, tak ada perlunya kita menolongnya."

   Akan tetapi Kwa Hong yang selama ini amat bersemangat dalam permusuhan golongan Hoa-San-Pai terhadap Kun-Lun-Pai, agaknya berpikiran lain. Entah bagaimana, gadis ini sudah menaruh simpati besar terhadap Beng San dan berlawanan dengan suara hatinya kalau menentang pemuda ini.

   "Teecu tidak setuju dengan kedua Suheng,"

   Katanya kepada Kakek Ketua Hoa-San-Pai.

   "Biarpun dia ini musuh besar kita, akan tetapi dia terluka di Hoa-San, tentu orang luar akan menyangka bahwa kita yang melukainya dengan cara yang begini keji."

   "Peduli apa dengan segala fitnah? Pokoknya kita tidak melakukan penyerangan gelap habis perkara. Biarkan orang lain menuduh!"

   Thio Ki bersitegang dengan sikapnya.

   "Apalagi Beng San ini selalu memperlihatkan sikapnya memihak golongan Kun-Lun-Pai. Dahulu, bertahun-tahun yang lalu juga dia sudah memperlihatkan sikap membela Kun-Lun, sekarang pun dia mati-matian hendak menolong orang Kun-Lun. Sukong, kita harus berhati-hati terhadap orang ini dan jangan mendengarkan omongannya!"

   Kata Kui Lok. Semua ucapan cucu-cucu muridnya ini berkesan juga dalam hati Lian Bu Tojin. Dengan pandang mata tajam dia bertanya kepada Beng San,

   "Beng San, kenapa kau selalu berfihak kepada Kun-Lun? Kenapa kau bersusah payah hendak menolong Lim Kwi murid Kun-Lun ini?"

   Beng San sudah marah sekali mendengar ucapan Thio Ki dan Kui Lok tadi. Makin marah dia setelah mendengar pertanyaan Lian Bu Tojin yang jelas terpengaruh oleh ucapan-ucapan itu.

   "Lian Bu Totiang, saya harap Totiang suka ingat akan beberapa hal ini. Pertama, seorang yang sudah menjunjung tinggi keadilan menilai baik buruk seseorang dari perbuatannya, bukanlah dari keturunannya! Biarpun Lim Kwi seorang murid Kun-Lun, tapi kesalahan apakah yang pernah dia lakukan terhadap Hoa-San-Pai? Kedua, seorang yang tahu akan Ketuhanan tahu pula bahwa soal keturunan adalah hasil pekerjaan Tuhan. Lim Kwi menjadi anak keluarga Bun bukanlah karena kehendaknya melainkan karena kehendak Tuhan, maka apabila ada orang menyalahkannya karena keturunannya, sama artinya dengan orang itu menyalahkan hasil pekerjaan Tuhan! Ke tiga, seorang Kuncu (Budiman) selama hidupnya tak akan meninggalkan perikemanusiaan dan akan menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Lian Bu Totiang, saya menolong Lim Kwi karena dua hal, pertama karena saya selalu teringat akan hal-hal yang saya sebutkan tadi, kedua kalinya, kiranya Totiang ingat juga akan pesan terakhir Bun Si Teng kepada saya di dekat ajalnya. Pesan orang yang sudah meninggal dunia adalah pesan keramat yang harus dihargai, asal saja pesan itu demi kebaikan. Nah, hendaknya Totiang segera mengambil keputusan, Totiang suka menolongnya ataukah tidak?"

   Wajah Kakek itu menjadi merah. Ia merasa terpukul oleh ucapan-ucapan pemuda itu. Sambil menoleh kepada cucu-cucu muridnya dia berkata lirih,

   "Ambilkan Ngo-Tok-Coa itu..."

   Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok tidak bergerak dari tempatnya, malah memandang marah kepada Beng San. Akan tetapi Kwa Hong segera berlari dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa tabung-tabung bambu terisi dua ekor Ular kecil. Lian Bu Tojin menerima dua tabung itu dan berkata kepada Beng San.

   "Inilah dua ekor Ngo-Tok-Coa itu, Beng San. Pinto hanya menggunakan cara yang biasa untuk mengambil racun Ular ini kemudian meminumkannya sebagian dan sebagian lagi digosokkan pada luka-lukanya. Akan tetapi karena Pinto belum menyatakan sendiri khasiat racun Ngo-Tok-Coa, maka hasilnya Pinto tidak berani menanggung."

   "Totiang,"

   Kata Beng San dengan hormat dan berterima kasih.

   "Keadaan Lim Kwi sudah payah. Kalau Totiang suka berusaha mengobati, itu saja sudah merupakan budi besar, tentang riwayatnya hanya terserah kepada Thian."

   Lian Bu Tojin lalu membuka tutup tabung, menangkap Ular pada belakang lehernya.

   "Buka mulutnya,"

   Katanya kepada Beng San yang cepat membuka mulut Lim Kwi.

   Dengan menekan pada leher dan belakang kepala Ular itu, keluarlah cairan menguning dari mulut dan gigi Ular, menetes-netes ke dalam mulut Lim Kwi. Kwa Hong sudah datang membawa secangkir air yang segera dipergunakan oleh Lian Bu Tojin untuk diminumkan pula sehingga racun tadi dapat masuk ke dalam perut. Setelah racunnya habis dan dilepas, Ular itu menjadi lemas dan tak dapat berkutik lagi. Ular ke dua dikeluarkan dan seperti tadi, racunnya dikeluarkan, ditadahi cangkir kemudiari dengan tangannya Lian Bu Tojin menggosok-gosokkan racun ini di punggung Lim Kwi. Pengerahan tenaga dalamnya dapat mendorong racun ini masuk tubuh melalui luka-luka kecil itu. Setelah selesai, Lian Bu Tojin dengan napas agak terengah-engah lalu mundur dan mencuci tangannya.

   Beng San merasa berterima kasih sekali. Dari napas Kakek itu dia maklum bahwa tadi Lian Bu Tojin telah mengerahkan seluruh Lweekangnya dan dia merasa kagum akan budi Kakek ini. Ia tidak pedulikan lagi kepada tiga orang cucu murid Hoa-San yang memandang semua itu dengan mulut cemberut dan sinar mata penuh kemarahan kepadanya. Hanya Kwa Hong yang dengan setulus hati membantu pengobatan tadi dan diam-diam dia pun berterima kasih sekali kepada nona ini. Tubuh Bun Lim Kwi bergerak dan mulutnya mengeluh. Semua orang memandang dengan penuh perhatian. Girang hati Beng San ketika melihat betapa tubuh yang kaku tadi kini mulai menjadi lemas, warna kehitaman lenyap dan makin lama muka itu menjadi makin pucat. Lalu tubuh itu berhenti bergerak dan Lim Kwi kelihatan seperti orang tidur nyenyak, hanya napasnya agak terengah-engah. Lian Bu Tojin lalu mendekat dan memeriksa pergelangan tangan dan detak jantungnya.

   "Celaka...!"

   Tosu itu berteriak kaget, wajahnya berubah pucat.

   "Keparat betul Giam Kin!"

   Saking marahnya Tosu ini mengeluarkan makian.

   "Bagaimana, Totiang?"

   Beng San berseru heran dan kaget. Kakek menggeleng-geleng kepala dan memandang sedih ke arah Bun Lim Kwi.

   "Tidak baik, tidak baik... racun Ular itu bukannya menyembuhkan, malah menambah payah. Agaknya bukan Ngo-Tok-Coa..."

   Tiba-tiba Kakek itu menghentikan ucapannya, wajahnya makin pucat ketika dia berbisik.

   "... Ngo-Tok (Lima Racun)...? Ah, jangan-jangan ada hubungannya dengan Ngo-Lian-Kauw, bukan Ular-Ular obat yang diberikan malah Ular beracun berbahaya."

   Kalau Beng San menjadi kaget bukan main, adalah Thio Ki dan Kui Lok sekarang girang sekali.

   "Beng San, lekas bawa pergi dia dari sini, tidak ada tempat untuk mengubur mayat orang Kun-Lun! kata Kui Lok. Pada saat itu Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa muncul. Para tamu yang melihat, Lian Bu Tojin mengundurkan diri, lalu berpamit dan di puncak Hoa-San sudah menjadi sunyi.

   "Bagaimana, Suhu?"

   Tanya Kwa Tin Siong yang tadi sudah mendengar tentang peristiwa yang terjadi atas diri Bun Lim Kwi.

   "Kita ditipu Giam Kin,"

   Jawab Kakek itu.

   "Dua ekor Ular itu bukan Ular obat setelah dipergunakan racunnya malah membuat dia makin parah."

   "Bagaimana baiknya sekarang? Totiang, Kwa lo-Enghiong, tolonglah beri petunjuk kepadaku,"

   Kata Beng San, nampak gelisah sekali. Kwa Hong menjadi terharu melihat sikap Beng San, akan tetapi gadis ini diam saja hanya menahan air matanya yang hendak keluar dari matanya.

   "Tidak ada obat di dunia ini dapat menolongnya... kecuali Thian turun tangan sendiri..."

   Kata Lian Bu Tojin.

   "Hanya ada satu jalan..."

   Tiba-tiba Kwa Tin Siong berkata. Semua mata ditujukan kepada jago Hoa-San-Pai ini, tapi Kwa Tin Siong melihat dengan pandang mata jauh ke arah kaki gunung di sebelah Utara.

   "Ah, dia...?"

   Kui Lok dan Thio Ki berkata dengan nada mentertawakan.

   "Ayah, tak mungkin..."

   Kata Kwa Hong penuh kekhawatiran memandang kepada Beng San. Adapun Lian Bu Tojin hanya menggeleng-geleng kepala saja.

   "Kwa-Enghiong, siapakah dia itu? Siapa yang dapat menolong Lim Kwi dan apakah yang kau maksudkan dengan satu jalan tadi?"

   Beng San mendesak, akan tetapi Kwa Tin Siong hanya menggeleng kepala. Beng San segera mendesak Lian Bu Tojin.

   "Totiang, harap berbelas kasihan dan beri petunjuk. Siapakah dia yang dimaksudkan oleh Kwa-Enghiong dan yang bisa menolong Lim Kwi?"

   "Tidak ada, tidak ada... tak mungkin ditolong lagi..."

   Kata Kakek ini pula. Melihat bahwa Kwa Tin Siong dan Ketua Hoa-San-Pai agaknya hendak menyembunyikan nama orang yang kiranya dapat menolong Lim Kwi, Beng San lalu menoleh kepada Kwa Hong,

   "Adik Hong, maukah kau memberi penjelasan kepadaku?"

   Bukan main panasnya hati Thio Ki dan Kui Lok mendengar pemuda itu menyebut adik kepada Kwa Hong. Menurut pendapat mereka, tak patut pemuda ini menyebut adik, seharusnya menyebut nona.

   "Sebetulnya bukan karena Ayah dan Sukong tidak mau memberi tahu, San-Ko. Akan tetapi memang tidak ada gunanya mendatangi orang itu, malah amat berbahaya. Ketahuilah, di kaki gunung ini sebelah Utara terdapat seorang sakti yang amat aneh, terkenal disebut Toat-Beng Yok-Mo (Setan Obat Pencabut Nyawa). Baru namanya saja sudah menerangkan bahwa dia itu adalah seorang ahli obat sampai disebut Setan Obat. Akan tetapi, sebutan Toat-beng sudah jelas pula bahwa dia mempunyai satu kesukaan, yaitu mencabut nyawa orang. Menurut kabar, segala macam penyakit dia dapat menyembuhkan, akan tetapi begitu orangnya sembuh, dia lalu turun tangan membunuhnya. Karena inilah maka Ayah dan Sukong tidak tidak mau menyebut namanya."

   "Apa dia gila...?"

   Beng San berseru marah dan heran. Kwa Tin Siong menarik napas panjang sebelum berkata.

   "Sama sekali kami tidak tahu bagaimana keadaannya sebetulnya, Beng San, dan kami tidak mau mencoba-coba untuk menanam permusuhan dengan orang kang-ouw. Dia tidak mengganggu kami dan kami tidak pedulikan dia, akan tetapi tentang kepandaiannya mengobati sudah amat terkenal di dunia kang-ouw."

   Lian Bu Tojin mengangguk-angguk.

   "Dia sama terkenalnya dengan Bu-Tek Kiam-Ong Cia Hui Gan, keduanya adalah keturunan tokoh-tokoh hebat di jaman dahulu. Kalau Ciu Hui Gan masih keturunan dari si dewi pedang Ang I Niocu, adalah dia itu masih keturunan dari Yok-Ong (Raja Obat) sayangnya... hemmm, dia mempunyai kebiasaan yang amat keji dan aneh itu."

   Beng San tidak berkata apa-apa, lalu menghampiri dipan dan memondong tubuh Lim Kwi yang masih pingsan dan lemas.

   "Beng San, kau hendak ke mana?"

   Tanya Kwa Tin Siong dan semua orang memandang kepada pemuda ini.

   "Ke mana lagi, Kwa-Enghiong? Ke kaki gunung sebelah Utara itu untuk minta pertolongan Toat-Beng Yok-Mo.

   "San-Ko! Kau akan dibunuhnya!"

   Seru Kwa Hong, wajahnya pucat. Sikap gadis ini amat menarik perhatian sampai Ayahnya sendiri menoleh dan memandang heran. Beng San menoleh kepada Kwa Hong dan tersenyum pahit.

   "Apa boleh buat, tapi akan kuusahakan supaya dia dapat menyembuhkan Lim Kwi."

   "Beng San, dia ini apamu dan ada hubungan apakah kau dengan Kun-Lun-Pai maka kau bertekad mengorbankan nyawa untuk menolongnya?"

   Lian Bu Tojin bertanya, mata Kakek ini memandang kagum.

   "Totiang, menolong orang lain dengan pamrih untuk keuntungan bagi diri sendiri bukanlah pertolongan namanya. Manusia hidup harus saling tolong-menolong dan apakah artinya pertolongan tanpa disertai pengorbanan?"

   Setelah berkata demikian, dia berjalan pergi sambil memondong tubuh Lim Kwi, sengaja dia memberatkan langkahnya sehingga kelihatan keberatan memondong tubuh itu. Semua mata mengikutinya, mata Kwa Hong basah air mata. Lian Bu Tojin menggeleng kepalanya, menarik napas panjang berkali-kali dan berkata penuh pujian.

   "Siancai... siancai... selama hidupku baru kali ini Pinto melihat orang dengan budi pekerti sebaik dia... kalian semua lihatlah baik-baik dan ingat baik-baik, dialah orang yang patut dihormati, dialah patut disebut seorang gagah!"

   Setelah berkata demikian Kakek ini terbongkok-bongkok memasuki pondoknya.

   Kaki gunung sebelah Utara itu amat indah pemandangannya. Penuh pohon berkembang dan rumput menghijau, di situ mengalir sebuah sungai kecil yang amat jernih airnya, penuh batu-batu hitam yang beraneka macam bentuknya. Di pandang dari lereng, kelihatan betapa indah dan suburnya tanah kaki gunung ini, menggirangkan hati Beng San yang menuruni lereng dengan cepat sekali. Akan tetapi, setelah dia tiba di kaki gunung, dia merasa bulu tengkuknya berdiri. Keadaannya memang indah, namun amat menyeramkan. Begitu sunyi. Sunyi melengang melebihi sunyinya kuburan.

   Daun-daun pohon bergoyang-goyang tertiup angin, kembang-kembang memenuhi ranting, rumput-rumput hijau tak pernah terinjak kaki nampak subur menggemuk, suara air gemercik seperti dendang lagu yang tak kunjung henti. Akan tetapi, kesunyian yang rnencekam amat menyeramkan. Tak seekor pun Burung kelihatan terbang, tak seekor pun binatang kelihatan berlari, bahkan tidak ada seekor pun jengkerik berbunyi. Tempat indah, namun seakan-akan tempat yang mati, tempat yang terkutuk di mana hawa maut selalu mengancam yang hidup! Hanya sebentar saja keseraman mencekam hati Beng San. Segera dia dapat menguasai dirinya dan melangkah maju dengan tenang dan cepat. Dari atas tadi dia sudah melihat sebuah pondok kayu diantara pohon-pohon dekat sungai dan sekarang dia tujukan langkahnya ke arah pondok itu.

   Makin dekat dengan pondok ia berjalan, makin banyaklah dia mendapatkan bukti yang menyebabkan keadaan daerah itu demikian sunyi. Di sepanjang jalan, banyak yang sudah tertutup oleh rumput-rumput hijau, dia melihat banyak sekali tulang-tulang berserakan, kerangka-kerangka bintang besar kecil seakan-akan semua penghuni hutan itu telah tewas karena bencana yang maha dahsyat. Makin dekat dengan pondok, dia mulai melihat kerangka-kerangka manusia yang sudah kering, sudah rusak dan ada pula yang masih baru. Beng San menekan debar jantungnya dan melangkah terus sampai ke depan pintu pondok. Dilihatnya asap keluar dari jendela pondok itu dan bau yang amat aneh menusuk hidungnya, bau yang luar biasa, disebut wangi ada bau tak enaknya, seperti bau obat-obatan yang dimasak.

   "Teecu Tan Beng San mohon bertemu dengan Locianpwe keturunan Yok-Ong yang budiman,"

   Beng San berseru tanpa mengerahkan Khikangnya, dengan suara biasa saja. Terdengar suara cekikikan di dalam pondok itu.

   "Hi-hi-hik! Tidak ada keturunan Yok-Ong (Raja Obat) yang budiman di sini. Yang ada Setan Obat, sama sekali tidak budiman! Hi-hi-hik!"

   Suara itu menyeramkan sekali terdengar di tempat sesunyi itu.

   "Teecu mohon pertolongan Locianpwe Setan Obat untuk menolong nyawa sahabat Teecu yang terluka dan terkena racun."

   Kembali suara ketawa seperti tadi, disusui kata-kata yang parau,

   "Tidak ada Setan Obat penolong nyawa di sini, yang ada Setan Obat Pencabut Nyawa (Toat-Beng Yok-Mo)! Hi-hi-hik!"

   Mendongkol hati Beng San, juga dia merasa gelisah. Terang bahwa orang di dalam itu adalah seorang yang mempunyai sifat suka mempermainkan nyawa orang pula.

   "Kalau begitu, biarlah Teecu mohon bertemu dengan Toat-Beng Yok-Mo untuk bicara."

   Pintu pondok yang tertutup tiba-tiba terbuka mengeluarkan suara berderit dan seorang Kakek bongkok berkepala botak keluar sambil membawa sebuah panci yang mengebulkan uap. Panci itu dari besi dan di bawahnya sampai merah membara, namun Kakek itu memegang panci begitu saja, padahal dapat dibayangkan betapa panasnya. Dari sini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya Kakek buruk rupa ini. Matanya yang besar sebelah, sebelah lagi sipit seperti meram, memandang kepada Beng San yang masih berdiri di depan pintu sambil memondong tubuh Bun Lim Kwi yang pingsan.

   "Hi-hi-hi, orang muda nekat. Sudah tahu aku Setan Obat Pencabut Nyawa, masih nekat hendak bertemu. Apa kau mau menyerahkan jantungmu dan jantung temanmu yang hampir mati karena racun itu untuk kutambahkan ke dalam panci ini?"

   La menggerak-gerakkan panci sehingga isinya berlompatan ke atas. Beng San bergidik ketika melihat isi panci itu adalah potongan-potongan daging berwarna merah kebiruan. Benarkah itu jantung-jantung manusia?

   "Toat-Beng Yok-Mo Locianpwe, aku datang untuk mohon pertolonganmu mengobati temanku yang sakit ini,"

   Kata Beng San.

   "Goblok! Siapa mau mengobati? Aku hendak mengambii jantungmu dan jantung temanmu itu, mau lihat siapa berani menghalangi Setan Obat Pencabut Nyawa?"

   Orang itu tertawa-tawa. Beng San memutar otaknya. Jelas baginya sudah bahwa orang ini kalau bukan orang yang luar biasa anehnya, tentulah seorang yang miring otaknya. Melihat sikap dan kata-katanya, tentu orang ini amat sombong dan mengandalkan kepandaiannya sendiri. Maka dia lalu mengambil keputusan untuk memanaskan hatinya.

   "Hemmm, kiranya aku salah alamat. Kau bukanlah Yok-Mo seperti yang didengung-dengungkan orang kang-ouw. Kau hanyalah tukang membunuh, sama sekali tidak becus mengobati orang. jangan kau pura-pura menggunakan dan memalsu nama keturunan Yok-Ong. Tak tahu malu."

   Mata kanan yang lebar itu makin terbelalak sedangkan yang kiri makin sipit, mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi yang tinggal tiga buah atas bawah itu.

   "Orang muda, aku memang keturunan Yok-Ong dan akulah Toat-Beng Yok-Mo Mengobati orang ini saja apa susahnya? Dia terkena racun kelabang yang dipergunakan orang di ujung senjata rahasia. Tentu dia terluka di punggungnya. Kemudian..."

   La mengarahkan pandangnya kepada muka Bun Lim Kwi, kemudian ditambah lagi dengan racun Ular Merah, hebat sekali, tidak saja racun memasuki perutnya, juga memasuki tubuh melalui luka. Hih, tiga hari lagi dia bakal mampus!"

   Sampai ternganga mulut Beng San mendengarkan kata-kata yang cocok ini. la mulai percaya bahwa orang di depannya ini benar-benar seorang ahli dalam pengobatan. Sekali melihat saja dia sudah dapat membuka rahasia penyakit yang diderita Lim Kwi. Tapi pemuda yang cerdik ini sengaja memperlihatkan senyum mengejek.

   "Ah, kau hanya ngawur saja. Semua orang juga bisa bicara sesukanya tentang penyakit orang. Tapi aku tetap tidak percaya kalau kau bisa mengobati penyakitnya. Apalagi penyakit karena keracunan begini hebat, sedangkan orang masuk angin biasa saja aku sangsi apakah kau bisa mengobati sampai sembuh!"

   Kakek bongkok ini membanting-banting kaki, marah sekali.

   
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Anak setan! Jangankan baru sakit macam ini, orang mati pun aku bisa bikin hidup lagi!"

   "Uhhh, siapa percaya omongan ini? Kalau kau bisa buktikan, bisa menyembuhkan temanku ini, aku mau berlutut padamu dan mengakui bahwa kau benar-benar keturunan Yok-Ong yang pandai seperti dewa. Tapi kalau kau tidak becus, kau tidak lain hanyalah penjual lagak yang kosong melompong belaka."

   "Bawa dia masuk, bawa dia masuk... buka matamu dan lihat bagaimana dalam waktu singkat Toat-Beng Yok-Mo menyembuhkannya sama sekali!"

   Bentak Kakek itu sambil terbongkok-bongkok masuk ke dalam pondoknya membawa panci itu. Diam-diam Beng San tersenyurn girang. Akalnya telah berhasil. Segera dia melangkah masuk ke dalam pondok tanpa ragu-ragu lagi. Pondok itu ternyata cukup lega dan terang karena bagian atapnya dapat dibuka sehingga sinar matahari dapat menyinar masuk. Akan tetapi kotor sekali, penuh dengan tulang-tulang, daun kering, akar-akaran yang bertumpuk di meja, di lantai dan di semua tempat. Di pojok terdapat sebuah dipan bambu.

   "Letakan di sini!"

   Beng San menurunkan tubuh Lim Kwi di atas dipan itu dan berdiri agak menjauhi untuk memberi kesempatan kepada orang aneh itu memeriksa. Akan tetapi, Kakek itu sama sekali tidak melakukan pemeriksaan langsung saja dia membuka pakaian atas pemuda itu dengan cara kasar yakni merobek baju yang dipakai Lim Kwi begitu saja seperti orang merobek kertas tipis. Dengan kasar juga Kakek ini membalikkan tubuh Lim Kwi sehingga tubuh pemuda itu menelungkup.

   Sebentar dia memeriksa luka-luka di punggung, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya yang lebar. Ternyata itu adalah bungkusan jarum-jarum panjang terbuat daripada emas dan perak. Setelah memandang sejenak penuh perhatian, Kakek ini lalu menusuk-nusukkan tujuh belas batang jarum di leher, kedua pundak sepanjang punggung dan di antara tulang iga. Beng San memandang penuh perhatian dan kagum melihat cara Kakek itu menusuk-nusukkan jarum yang demikian cepat, bertenaga dan tepat mengenai jalan-jalan darah tertentu. Kemudian Kakek bongkok itu melangkah tiga tindak ke belakang, kemudian dari situ dia melompat ke depan menggunakan jari telunjuknya menotok belakang kepala Lim Kwi, melangkah mundur lagi, melompat menotok lagi lain jalan darah berkali-kali.

   Makin lama makin cepat dia bergerak sehingga dalam waktu beberapa menit saja dia sudah menotok hampir semua jalan darah yang tidak tertusuk jarum-jarum emas dan perak di bagian belakang tubuh Lim Kwi. Setelah melakukan totokan-totokan selama setengah jam dia terengah-engah dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap. Dengan lemas dia lalu mencabuti jarum-jarum itu, lalu membalikkan tubuh Lim Kwi telentang. Beng San berdebar kagum. Muka Lim Kwi sudah mulai merah, napasnya tidak lemah seperti tadi. Setelah beristirahat sejenak, Kakek bongkok itu menggunakan jarum-jarumnya menusuk-nusuk dan menancap-nancapkan seperti tadi di tujuh belas tempat, kini dibagian depan badan Lim Kwi. Seperti tadi pula, dia menotok terus-menerus dengan gerakan cepat. Setelah selesai dan mencabuti semua jarum, Kakek itu terengah-engah menghadapi Beng San, lalu berkata parau,

   "Hi-hi-hik, kau lihat? Penyakitnya sudah sembuh, sebentar lagi semua racun di badannya keluar!"

   Beng San, masih belum percaya, akan tetapi tiba-tiba terdengar Lim Kwi mengeluh dan muntah-muntah. Yang dimuntahkan hanyalah cairan racun dan seluruh tubuhnya seakan-akan mengebul panas. Anehnya, keringat yang keluar dari tubuhnya berwarna agak biru, itulah racun yang keluar bersama keringatnya! Dengan tenang Kakek itu lalu menjejalkan tiga buah butir pil hijau ke dalam mulut Lim Kwi, mendorongnya dengan jari telunjuknya sehingga tiga butir pil itu terus memasuki perut. Tak sampai sejam kemudian, Lim Kwi sudah tenang, mukanya merah dan rnembuka matanya! la nampak heran sekali, akan tetapi ketika hendak bangun duduk, dia pusing dan meramkan mata.

   "Saudara Bun Lim Kwi, kau rebahlah saja dulu. Baru saja kau disembuhkan oleh tabib dewa Toat-Beng Yok-Mo keturunan Yok-Ong!"

   Seru Beng San girang bukan main. Akan tetapi kegirangannya lenyap seketika terganti kekagetan ketika melihat Kakek itu sudah memegang sebatang pedang yang tajam dan runcing sambil tertawa-tawa,

   "Eh, eh... kau mau apa dengan pedang itu?"

   Beng San bertanya dan merasa seram.

   "Hi-hi-hik! Toat-Beng Yok-Mo namaku. Setan Obat Pencabut Nyawa Aku mengobati untuk bertanding dengan penyakit, bukan untuk menyembuhkan orang. Siapa yang sembuh oleh obatku, harus kucabut nyawanya dengan pedangku. Tadi aku mengobati, sekarang aku mencabut nyawa, hi-hi-hik, nyawamu dan nyawa dia."

   "Kakek yang baik, kenapa begitu? Mengobati orang sakit memberi pertolongan dan ini sudah menjadi kewajiban setiap manusia yang hidup di dunia ini harus saling tolong-menolong! Adapun urusan mencabut nyawa, kurasa ini bukanlah urusan manusia. Hanya Thian yang menitahkan Giam-Lo-Ong (Raja Maut) berhak mencabut nyawa manusia. Kau sudah menolong temanku dari bahaya maut, kenapa hendak membunuhnya?"

   "Hi-hi-hik, belum pernah ada orang kusembuhkan lalu kubiarkan hidup. Tidak terkecuali dia ini."

   "Janganlah, Locianpwe. Biarlah aku yang menjadi penggantinya. Jangan kau bunuh dia."

   "Hi-hi-hik! Aneh, aneh... tapi kebetulan. Aku membutuhkan jantung orang, dan jantung dia ini kurang bersih setelah tadi terserang racun. Jantungmu lebih bersih dan baik, bagus! Boleh diganti, boleh ditukar. Dia boleh hidup, kau penggantinya dan harus kau berikan kepadaku. Eh, orang muda, selama hidupku belum pernah aku menemui orang mau menukar diri mewakili orang mati. Apakah betul-betul kau mau menggantikan orang ini untuk kuambil jantungnya?"

   Ujung pedang itu sudah menodong dada Beng San. Beng San tenang-tenang saja, tersenyum berkata,

   "Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik kembali, Locian-pwe. Aku sudah bersusah payah berusaha menolong dia ini, maka tak akan kulakukan Setengah-setengah. Kalau memang kau membutuhkan jantung, biarlah aku mewakilinya. Kau harus berjanji akan melepaskan dan tidak mengganggu orang ini dan kau boleh mengambil jantungku, yaitu kalau kau bisa."

   Ucapan terakhir dari Beng San. Ini rupanya tidak diperhatikan oleh Kakek yang sudah terheran-heran dan juga kegirangan itu.

   "Baik, boleh... aku berjanji tak akan mengganggu orang ini. Nah, bersiaplah kau menghadiahkan jantungmu yang segar kepadaku!"

   "Kau ambillah sendiri kalau dapat!"

   Jawab Beng San, seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang, siap untuk melawan Kakek ini dengan seluruh tenaga dan kemampuannya.

   "Hi-hi-hik, orang muda yang aneh, yang sinting..."

   Pedangnya diayun-ayun ke atas seperti orang menakut-nakuti. Tiba-tiba Bun Lim Kwi meloncat dari dipan itu dan menyerang Kakek bongkok dengan pukulan-pukulan hebat.

   "Siluman tua! Tak boleh kau membunuh penolongku!"

   Ternyata dari gerakan-gerakannya pemuda Kun-Lun-Pai ini sudah sembuh sama sekali. Serangannya hebat bukan main dan terpaksa Kakek bongkok itu meloncat mundur sambil terkekeh-kekeh tertawa.

   "Hi-hi-hik, bukankah manjur sekali pengobatanku?"

   "Saudara Bun, jangan serang dia. Dia adalah penolongmu, sudah mengobatimu tadi,"

   Kata Beng San mencegah.

   "Aku tahu, tapi dia Siluman jahat, hendak membunuhmu. Tidak bisa aku berpeluk tangan saja!"

   "Hi-hi-hik, anak Kun-Lun-Pai, hi-hi-hik. Biarlah aku mencoba sampai di mana kehebatan latihan dari Pek Gan Siansu si mata putih!"

   Sambil berkata demikian Kakek ini menyimpan pedangnya dan melompat keluar.

   "Mari, mari sini orang muda Kun-Lun-Pai, boleh kau coba-coba, hi-hi-hik!"

   Bun Lim Kwi yang tadi telah sadar dan melihat betapa Kakek ini hendak membunuh Beng San, segera turun tangan menolong. Sekarang dia melompat keluar untuk melayani Kakek aneh itu. Beng San berdebar dan ikut lari keluar.

   "Siluman jahat, aku tidak rela diwakili oleh saudara ini. Kalau kau hendak membunuh dan mengambil jantungku, kau cobalah. Mati dalam pertempuran bukanlah apa-apa dan kau baru gagah kalau membunuh seorang yang dapat melawanmu. Saudara ini tidak pandai silat, bagaimana kau punya muka untuk membunuhnya begitu saja?"

   "Hi-hi-hik, orang muda. Kau seperti orok kemarin sore yang masih merah berani mencoba aku? Hi-hi-hik, kau sambutlah ini."

   Biarpun bongkok dan gerak-geriknya seperti orang tua lemah, akan tetapi tiba-tiba Kakek itu sudah mengirim serangan yang luar biasa cepatnya. Lim Kwi kaget, akan tetapi sebagai murid Kun-Lun yang sudah matang kepandaiannya, dia cepat mengelak dan membalas dengan serangan yang tak kalah dasyatnya...

   Beng San memandang cemas. la maklum bahwa biarpun Lim Kwi cukup pandai, namun kiranya tak akan mungkin dapat menangkan Kakek itu yang ternyata adalah seorang ahli Iweekeh dan ahli totok yang lihai sekali. la sendiri merasa sangsi dan ragu-ragu apakah dia harus membantu Lim Kwi ataukah tidak. Bingung dia menghadapi penstiwa ini dan tidak dapat cepat-cepat mengambil keputusan bagaimanakah dia harus bertindak. la memang harus menolong Lim Kwi seperti pernah dulu dipesankan oleh mendiang Ayah pemuda itu, akan tetapi dengan melawan Kakek bongkok ini, bukankah hal itu merupakan suatu perbuatan yang tidak bijaksana? Kakek itu betapapun juga sudah menolong Lim Kwi, tanpa ragu lagi dia mau mengakui bahwa Kakek itu telah merenggut nyawa Lim Kwi daripada cengkeraman maut. Kalau sekarang mereka melawan Kakek itu, bukankah itu berarti seorang rendah budi yang tidak ingat akan budi kebaikan orang?

   Tapi sebaliknya kalau dipikirkan lagi, Kakek itu hendak membunuhnya dan Lim Kwi melawan untuk menolongnya, apakah sekarang dia harus diam saja melihat Lim Kwi terdesak? Benar-benar Beng San menjadi bingung sekali dan pemuda ini mengambil keputusan untuk menolong Lim Kwi apabila keselamatan pemuda itu terancam. Bun Lim Kwi benar-benar sudah bertekad bulat untuk membela Beng San dengan pertaruhan nyawanya. Tadi ketika dia sadar dari pingsan, dia mendengar semua pembelaan Beng San kepadanya dan dia pun segera dapat menarik kesimpulan bahwa setelah dia roboh dalam pertandingan dengan Thio Eng di dalam hutan, tentu telah ditolong oleh Beng San dan dibawa ke rumah tabib setan ini. la merasa amat terharu mendengar betapa Beng San rela mewakilinya untuk mati di tangan Kakek setan itu dan diam-diam Lim Kwi kagum akan pandangan Gurunya yang tepat tentang diri Beng San.

   Memang pemuda luar biasa. Biarpun tidak memiliki kepandaian silat, namun nyalinya besar dan budinya luhur Maka sekarang dia hendak membalas budi itu, kalau perlu dia rela berkorban, mati dalam tangan Kakek bongkok untuk menolong Beng San. Lim Kwi maklum bahwa lawannya ini tangguh bukan main, memiliki tenaga Lweekang yang luar biasa besarnya sedangkan ilmu silatnya juga amat aneh. Pertempuran berlangsung makin hebat. Kakek itu tertawa-tawa selalu dan seakan-akan mempermainkan Lim Kwi. Dengan penasaran pemuda ini lalu mengeluarkan pukulan-pukulan Pek-Lek-Jiu (Tangan Kilat) yang dia warisi dari Gurunya. Kedua tangannya menyambar-nyambar, tulangnya berkerotokan dan angin pukulannya terasa panas!

   "Hi-hi-hik! Inikah Pek-Lek Ciang-Hoat dari Kun-Lun-Pai?"

   Kakek itu tertawa mengejek dan memapaki pukulan kedua tangan Lim Kwi dengan tangan terbuka. Dua pasang tangan bertemu dan saling tempel, tak dapat dilepaskan lagi. Dua orang itu, seorang pemuda dan seorang Kakek bongkok, kini mengadu tenaga Lweekang. Sebentar saja Lim Kwi merasa betapa telapak tangannya tergetar dan makin lama makin dingin. Tenaga Pek-Lek Ciang-Hoat yang dia miliki makin lemah dan hampir buyar. Keadaannya amat berbahaya karena sebagai seorang ahli, pemuda ini maklum bahwa setelah tenaganya habis, dia akan terluka hebat di dalam tubuhnya, luka yang mungkin akan merenggut nyawanya. Akan tetapi dia mengerahkan seluruh tenaganya dan berlaku nekat.

   "Yok-Mo, jangan bunuh dia...!"

   Beng San menghampiri dua orang yang sedang adu tenaga secara mati-matian itu, kemudian menepuk pundak Lim Kwi dua kali sambil berkata.

   "Saudara Bun, dia penolongmu, jangan serang dia!"

   Biarpun hanya merupakan dua tepukan perlahan, namun sebenarnya Beng San mengerahkan hawa tenaga Yang dari tubuhnya. Tenaga yang maha dahsyat ini tersalur melalui pundak Lim Kwi, terus ke arah kedua lengannya. Akibatnya hebat sekali. Dua pasang lengan yang saling tempel itu terlepas seperti direnggutkan tenaga yang tak tampak. Lim Kwi tak dapat mempertahankan diri dan roboh terguling di atas lantai, pingsan! Tadi dia mengerahkan tenaga Lweekang seluruhnya dan setelah tiba-tiba tenaganya tidak mendapatkan sasaran, dia kehabisan tenaga dan pingsan. Adapun Kakek bongkok itu terdorong mundur terhuyung-huyung.

   "Ayaaa...!"

   Seru Kakek itu terheran-heran dan kaget bukan main. Pada saat itu terdengar bunyi lengking tinggi dan tiba-tiba berkelebat bayangan putih yang menyambar ke arah Toat-Beng Yok-Mo! Bayangan itu ternyata adalah bayangan seorang gadis remaja berpakaian serba putih yang menggunakan sebatang pedang mengkilap langsung menyerang Kakek bongkok. Toat-Beng Yok-Mo mengeluarkan suara menggereng keras dan hanya dengan menggulingkan tubuh di atas tanah dia dapat menyelamatkan diri dari serangan yang luar biasa hebatnya dari gadis itu. Gadis itu melanjutkan serangannya yang membuat Beng San berdiri melongo karena gerakan-gerakan itu adalah Yang-Sin Kiam-sut yang dimainkan dengan amat hebat dan mendekati kesempurnaannya!

   Adapun Toat-Beng Yok-Mo yang tadi belum hilang kagetnya karena serangan tenaga yang luar biasa, sekarang makin kaget lagi menyaksikan ilmu pedang gadis ini. la memang mempunyai musuh yang amat dibencinya sejak dulu, yaitu Song-Bun-Kwi dan sekarang melihat gadis yang menyerangnya, dia maklum bahwa kalau Song-Bun-Kwi muncul dia bisa celaka. Sambil berseru keras seperti binatang liar, Kakek ini

   (Lanjut ke Jilid 21)

   Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21

   meloncat jauh lalu pergi dengan amat cepatnya. Gadis itu berdiri tegak, tidak mengejar, menyimpan pedangnya kembali lalu membalikkan tubuh memandang ke arah Beng San. Juga pemuda ini berdiri terpaku memandang gadis baju putih itu. Keduanya seperti terpesona. Tadi Beng San tidak mengenal gadis ini karena pakaiannya yang serba putih. Sekarang setelah mereka berhadapan, dengan jelas dia melihat sepasang mata itu, sepasang mata yang tak akan pernah terlupa olehnya selama dia hidup. Hidung itu, mulut itu... Bi Goat, si bocah gagu!

   "Bi Goat...??"

   Beng San setengah berlari menghampiri. Gadis itu yang tadinya masih agak ragu-ragu setelah mendengar suara ini lalu lari pula menghampiri Beng San. Kini mereka berhadapan, Beng San yang merasa terharu dan bahagia memegang kedua pundak gadis itu.

   "Bi Goat... benar kau Bi Goat "

   Katanya dengan napas memburu. Gadis itu tersenyum, nampak giginya yang berderet rapi dan berkilauan, tapi kedua mata yang indah itu bercucuran air mata. Kemudian Bi Goat menubruk dan merangkul leher Beng San sambil menangis di atas dada pemuda itu!

   "Bi Goat... ah, tak dinyana kita bertemu di sini... kenapa kau begini sedih? Kenapa? Dan kau... kau berkabung? Bi Goat, apa yang terjadi...?"

   Beng San bertanya dengan suara gemetar. Inilah orang yang selama ini menjadi kembang mimpi, yang tak pernah lepas dari ingatannya, orang yang sejak kecilnya sudah mau berkorban untuknya. Melihat gadis ini menangis terisak-isak sehingga baju di bagian dadanya basah oleh air mata gadis itu, Beng San terharu sekali dan tak dapat menahan turunnya dua butir air mata.

   "Bi Goat... anak baik, sayang... jangan menangis..."

   Beng San makin terharu ketika mengingat bahwa gadis ini tidak dapat bicara, maka dia lalu mengelus-elus rambut yang hitam panjang itu. Tidak karuan rasa hati Beng San. la menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat maka gadis ini memakai pakaian berkabung. Seingatnya, Bi Goat paling suka mengenakan pakaian berwarna merah, kenapa sekarang berpakaian serba putih? Apakah Ayahnya, Song-Bun-Kwi telah mati? Teringat akan ini, makin sedih dan terharu hatinya dan dipeluknya gadis itu penuh kasih sayang. Bi Goat mereda tangisnya, lalu diambilnya sehelai Saputangan putih dari saku baju sebelah dalam dan diberikanya Saputangan Sutera putih itu kepada Beng San. Di atas Saputangan Sutera putih ternyata ada tulisan, huruf-huruf memakai benang hitam yang disulam indah dan berbunyi :

   Kau hanyut...

   sungai membawamu pergi jauh,

   entah mati ataukah masih hidup.

   Aku berkabung untukmu...

   sampai kita bertemu kembali,

   entah di dunia ataukah di akherat.

   Membaca tulisan ini, Beng San makin terharu. Dipeluknya Bi Goat, didekapnya kepala itu ke dadanya, dibisikkan mulutnya ke telinganya,

   "Bi Goat, alangkah muha hatimu... alangkah suci cinta kasihmu..."

   Sampai lama dua orang muda ini diam, kediaman penuh bahagia, menikmati kebahagiaan yang bergelora di dalam hati masing-masing. Beng San seakan-akan lupa akan diri Bun Lim Kwi yang masih pingsan di atas tanah. Tiba-tiba Bi Goat melepaskan diri dari pelukan, memegang kedua tangan Beng San, tertawa-tawa dengan mata masih basah air mata, dipandangnya Beng San dari atas sampai ke bawah, berkali-kali seperti masih belum percaya bahwa ia betul-betul telah bertemu dengan Beng San!

   Sikap kekanak-kanakan ini makin mengharukan hati Beng San, mengingatkan dia bahwa gadis ini tidak dapat bicara. Akan tetapi, juga telah membuyarkan cekaman rasa keharuan tadi, membuat dia teringat akan keadaannya. Kemudian Bi Goat sambil tertawa-tawa memberi isyarat kepada Beng San supaya tinggal saja di situ dan dia sendiri segera lari memasuki pondok Toat-Beng Yok-Mo. Entah apa yang dilakukan di dalam, akan tetapi ketika ia keluar kembali ternyata ia telah berganti pakaian! Buntalan kecil yang tadi menempel di punggungnya ternyata adalah pakaian berwarna merah berkembang-kembang indah sekali yang kini dipakainya sebagai pernyataan bahwa perkabungannya telah berakhir! Kedua orang itu kembali saling berpegang tangan dan saling berpandangan.

   "Kau jelita, Bi Goat... kau hebat...,"

   Hanya demikian Beng San dapat berkata lirih. Bi Goat tidak bisa bicara, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling remas itu cukup mewakili kata-kata, menyatakan perasaan hati yang hanya dimengerti dan dapat dirasakan oleh mereka berdua.

   "Bi Goat, bagaimana kau bisa datang ke sini dan mengapa kau memusuhi Toat-Beng Yok-Mo?"

   Beng San bertanya. Mendengar ini, Bi Goat seperti kaget seperti baru teringat akan hal penting. Ia menarik tangannya dan menggurat-gurat dengan jari telunjuk ke atas tanah. Ternyata ia menulis beberapa huruf sebagai pengganti kata-katanya.

   "Kami tinggal di lereng Min-San. Aku harus mengejar Yok-Mo. Kita pasti akan bertemu kembali. Selamat berpisah!"

   Demikianlah bunyi tulisan itu dan sebelum Beng San sempat berkata-kata, gadis itu merangkul lehernya sekali, tertawa lalu berlari cepat sekali pergi dari situ. Sekejap mata saja sudah tidak kelihatan lagi.

   "Bi Goat...!"

   Beng San hendak mengejar akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara orang mengeluh. Ketika dia menengok, ternyata Bun Lim Kwi telah sadar kembali dan bangkit berdiri.

   "In-Kong (Tuan Penolong), syukur bahwa Thian masih melindungi kita..."

   Kata Bun Lim Kwi sambil menjura dengan hormat.

   "Tadi ada seorang gagah menolongku, di manakah dia sekarang dan siapakah dia gerangan?"

   Melihat sikap pemuda itu demikian menghormatnya, dengan gugup Beng San membalas dan berkata,

   "Saudara Bun, kuharap dengan sangat jangan kau menyebutku tuan penolong. Sudah sepatutnya kalau manusia hidup di dunia ini saling tolong-menolong, maka apa artinya kita meributkan soal pertolongan? Kalau kita berbicara tentang pertolongan, tak akan ada habisnya. Katakanlah aku menolongmu, kemudian Yok-Mo menolongmu pula, lalu kau juga menolongku dari ancaman Yok-Mo, yang kemudian sekali Pendekar wanita murid Song-Bun-Kwi tadi menolong kita. Sebutlah saja aku Beng San... eh, Tan Beng San."

   Bun Lim Kwi nampak terheran-heran.

   "Murid Song-Bun-Kwi...? Sungguh aneh, bagaimana muridnya mau menolongku..."

   Beng San tidak suka banyak bicara tentang Bi Goat, maka dia segera membelokkan percakapan,

   "Saudara Bun, aku rnendapatkan kau menggeletak di hutan dalam keadaan terluka hebat di punggungmu. Siapakah yang melukaimu?"

   Bun Lim Kwi menghela napas panjang, nampak berduka sekali.

   "Aku sendiri tidak tahu, tapi yang jelas bukan dia..."

   "Dia siapakah?"

   Kembali pemuda Kun-Lun-Pai itu menarik napas panjang.

   "Saudara Beng San yang budiman, aku benar-benar berterima kasih kepadamu dan aku tidak akan menyimpan rahasia terhadapmu. Setelah aku dan Suhu pergi dari Hoa-San, Suhu terus pulang ke Kun-Lun dan aku... hemmm, terus terang saja aku ingin mencari bekas Susiokku Kwee Sin. Tiba-tiba muncul nona baju hijau yang menyerangku di puncak Hoa-San itu. Dia menuduh mendiang Ayahku dan Pamanku membunuh Ayahnya dan berkeras hendak membalas kepadaku. Ahhh..."

   Lim Kwi menghela napas, kelihatan berduka sekali.

   "Aku tidak ingin bermusuhan dengannya, aku sudah mengalah... dia mendesak terus, aku lari, dia mengejar. Terpaksa aku mempertahankan diri. Setelah itu ada orang menyerangku dari belakang secara menggelap, entah siapa karena aku roboh tak ingat lagi. Tahu-tahu sudah berada di sini."

   Beng San mengerutkan keningnya dan hatinya diam-diam lega bahwa temyata sekarang bukan Thio Eng yang melakukan penyerangan menggelap mempergunakan senjata rahasia mengandung racun yang demikian keji. Ia sayang kepada Thio Eng, kasihan kepada nona itu, rnaka dia senang mendengar bahwa bukanlah gadis itu yang melakukan penyerangan curang dan keji.

   "Tentu ada orang ke tiga yang berbuat curang,"

   Katanya.

   "Saudara Bun, aku melihat kau menggeletak di hutan itu. Kubawa kau kembali ke Hoa-San dan Lian Bu Tojin sudah berusaha keras menolongmu, menggunakan Ular-Ular pemberian Giam Kin. Celaka sekali, Ular-Ular itu sama sekali bukanlah Ngo-Tok-Coa yang mengandung obat pemunah racun, malah sebaliknya setelah diobati dengan Ular-Ular itu, kau bertambah payah. Ternyata Giam Kin yang jahat itu telah menipu Hoa-San-Pai."

   Tercengang juga Bun Lim Kwi mendengar ini.

   "Ah, memang tepat sekali wawasan Suhu... sebenarnya Hoa-San-Pai adalah tempat orang-orang baik. Aku yang dianggap musuh masih mereka usahakan untuk menolong... hemmm, kenyataan ini makin menguatkan hasrat hatiku hendak mencari Kwee Sin sampai dapat. Dialah yang bertanggung jawab menerangkan segala keruwetan ini, termasuk urusanku dengan nona Thio Eng..."

   "Tapi akulah yang sudah berjanji untuk mencari Kwee Sin..."

   "Tidak, saudara Beng San. Kau sudah terlalu banyak melakukan kebaikan terhadap Kun-Lun-Pai dan kami berterima kasih sekali. Akan tetapi untuk rnencari Kwee Sin adalah tanggung jawabku karena dia adalah bekas murid Kun-Lun-Pai juga. Aku hanya mohon petunjuk-petunjukmu."

   Beng San tertegun. la tidak tahu bahwa Lim Kwi teringat akan pesan Suhunya agar supaya mendengarkan nasihat Beng San. Dia sendiri menganggap Beng San hanya seorang sastrawan muda yang berhati mulia dan yang sudah memberi pertolongan kepadanya dengan taruhan nyawa. Tentu saja Beng San terheran mengapa seorang pemuda segagah Lim Kwi sampai tidak malu-malu minta petunjuknya.

   "Saudara Bun, aku seorang lemah dan bodoh dapat memberi petunjuk apakah? Hanya kuharap saja kau berlaku hati-hati. Penyerangan gelap atas dirimu sudah membuktikan bahwa kau diincar oleh musuh-musuh gelap. Kwee Sin menurut kabar telah memihak Pemerintah penjajah yang sedang hendak digulingkan oleh para pejuang, maka mencari dia sama artinya dengan memasuki gua Harimau dan lubang naga. Apalagi kalau diketahui bahwa kau anak murid Kun-Lun-Pai yang hendak menangkap Kwee Sin, tentu kau dikurung bahaya."

   Bun Lim Kwi menjura dan memberi hormat.

   "Nasihat-nasihatmu akan kuingat selalu. Semoga saja kelak Thian memberi kesempatan kepadaku untuk membalas semua budi kebaikanmu, saudara Beng San. Perkenankan sekarang aku melanjutkan perjalanan."

   Beng San menjadi makin suka kepada pemuda Kun-Lun-Pai yang amat sopan dan merendah ini. Diam-diam dia membenarkan diri sendiri yang hendak memenuhi pesan terakhir dari Ayah pemuda ini. Mereka berpisah dan Beng San tidak menahannya lebih lama lagi karena pemuda ini masih selalu gelisah kalau memikirkan perginya Bi Goat yang mengejar Toat-Beng Yok-Mo. la sendiri menghadapi banyak urusan penting. Di samping dia harus mencari Kwee Sin, juga dia berkewajiban merampas kembali Liong-Cu Siang-Kiam dan di sana masih ada orang yang dia duga adalah Kakaknya dan yang sekarang agaknya menjadi kaki tangan Mongol pula. Apalagi sekarang muncul Bi Goat yang melakukan pengejaran terhadap seorang berbahaya seperti Toat-Beng Yok-Mo, dia harus membantu dan melindungi gadis gagu itu.

   Dengan cepat Beng San lari mengejar untuk menyusul Bi Goat. Akan tetapi sampai berjam-jam dia tidak melihat bayangan gadis itu maupun bayangan Toat-Beng Yok-Mo. Tentu dua orang yang berkejaran itu telah mengambil jalan lain. Beng San kecewa. Rindu hatinya terhadap Bi Goat masih menebal, pertemuan yang hanya sebentar itu tidak mencukupi baginya. Aku harus ke sana pikirnya. Harus ke Min-San. la teringat akan Song-Bun-Kwi dan menjadi ragu-ragu. Bukankah orang sakti itu selalu memusuhinya? Malah bermaksud membunuhnya kalau tidak dapat merampas Im-Sin Kiam-sut? Akan tetapi, dia sekarang bukanlah dia dahulu. Dia tidak takut, kalau perlu dia akan melawan Song-Bun-Kwi, asal dia bisa dapat bertemu dengan Bi Goat!

   "Ah, tugasku masih banyak. Kenapa aku selalu teringat dia? Setelah semua tugas selesai dikerjakan, baru aku akan mencari Bi Goat,"

   Setelah mencela diri sendiri Beng San menghentikan usahanya mencari dan mengejar Bi Goat. Urusan merampas kembali Liong-Cu Siang-Kiam bukanlah urusan yang terlalu mendesak, tidak perlu dia tergesa-gesa.

   Akan tetapi urusan mencari Kwee Sin adalah yang paling mendesak, kemudian urusan tentang Kakaknya, Tan Beng Kui. Dan dia maklum bahwa untuk mencari dua orang ini dia harus berani memasuki Kota Raja. Kwee Sin kabarnya bekerja sama membantu Ngo-Lian-Kauw, yang menjadi kaki tangan Mongol, adapun orang yang dia duga Kakaknya itu datang ke Hoa-San-Pai bersama Pangeran Mongol Souw Kian Bi. Setelah menetapkan hatinya, Beng San lalu mulai melakukan penyelidikan untuk mencari Kwee Sin. Perjuangan rakyat yang berupa pemberontakan-pemberontakan di sana-sini terhadap Pemerintah penjajah makin lama makin berkembang luas. Pemerintah Goan yang didirikan oleh Bangsa Mongol mulai goyah kedudukannya. Di seluruh daerah pedalaman selalu terjadi perang gerilya yang dilakukan oleh para petani di bawah pimpinan orang-orang gagah.

   Pemberontakan-pemberontakan ini bagaikan api yang makin lama makin besar, makin lama makin menjalar dekat Kota Raja. Oleh karena ini maka keluarga Kerajaan Goan berkhawatir sekali dan tak dapat enak makan nyenyak tidur. Penjagaan di sekitar wilayah Kota Raja diperketat, mata-mata pun disebar di seluruh Kota dan desa. Orang-orang dengan kepandaian tinggi yang dapat ditarik di fihak Pemerintah Mongol dengan pancingan harta benda dan kedudukan tinggi, dikumpulkan di Kota Raja sebagai pelindung keselamatan keluarga Kerajaan Goan. Sunyi malam itu di sebuah dusun yang letaknya di pinggir Kota Raja sebelah Selatan. Malam belum larut benar, belum pukul sembilan. Akan tetapi keadaan sudah amat sunyi dan ketegangan seperti biasanya menyelubungi semua tempat yang berada dekat Kota Raja.

   Hal ini tidak mengherankan oleh karena semenjak terjadinya pemberontakan-pemberontakan, di sekitar Kota Raja selalu terjadi hal-hal yang hebat. Seakan-akan terjadi pertentangan antara petugas-petugas keamanan dan para pejuang yang keduanya secara rahasia melakukan tugas masing-masing. Semacam perang rahasia antara para mata-mata Pemerintah kontra para mata-mata pejuang. Para pejuang yang berahasia itu amat gagah berani dan entah sudah berapa banyaknya pembesar Mongol dan perwira yang tahu-tahu telah kedapatan mati di dalam kamar masing-masing. Akan tetapi tidak sedikit pula mata-mata pejuang itu tertangkap dan diseret ke depan pengadilan yang cepat memutuskan hukuman mati bagi mereka ini. Dua bayangan manusia berkelebat cepat sekali dalam kegelapan malam itu. Dengan Ginkang yang tinggi kedua orang ini berlompatan menuju ke sebuah rumah yang tua dan buruk, tapi cukup besar.

   Kiranya rumah ini adalah sebuah rumah penginapan merangkap warung nasi yang sederhana, sebagai tempat menginap para saudagar dan pelancong yang hendak memasuki Kota Raja. Dua bayangan itu memasuki rumah dengan jalan aneh, yaitu melalui belakang dengan melompati pagar tembok. Di luar sebuah jendela mereka berhenti dan mengetuk jendela itu perlahan tiga kali. Dari dalam ada jawaban ketukan dua kali lalu jendela terbuka. Dua orang itu sekali melompat sudah melayang masuk. Kamar itu cukup luas. Di dalamnya sudah duduk tiga orang, yaitu orang berpakaian tentara berusia empat puluh tahun, seorang laki-laki pengemis yang berpakaian jembel bertubuh kurus dan pucat berusia kurang lebih lima puluh tahun dan yang seorang adalah seorang nenek tua bongkok berambut putih.

   Adapun dua orang yang baru datang ini ternyata adalah dua orang Kakek berpakaian seperti petani bercaping topi tani lebar. Yang hebat adalah barang yang dibawa oleh dua orang itu. Ternyata sekarang di bawah penerangan lampu bahwa dua orang Kakek petani ini masing-masing menjambak rambut sebuah kepala manusia! Begitu masuk, keduanya tertawa dan melemparkan dua buah kepala orang di atas meja. Tiga orang itu segera bangkit dah memandang ke arah dua buah kepala itu penuh perhatian. Mereka mengenal dua buah kepala itu sebagai kepala dua orang perwira Pemerintah Mongol yang kuasa di Kota tak jauh dan situ. segera nenek itu bangkit dan menyambar dua buah kepala tadi, dimasukkanlam keranjang lalu dia berkata,

   "Lebih dulu kusingkirkan kepala anjing ini."

   Setelah berkata demikian dia menyelinap ke belakang dan menghilang. Tentara dan pengemis itu menjura kepada dua orang petani yang baru datang.

   "Tentulah Ji-wi (saudara berdua) ini dua saudara Phang dari Hun-Lam, bukan?"

   Tanya pengemis itu. Dua orang Kakek petani itu menjura dan yang tertua menjawab,

   "Benar, Siauwte adalah Phang Khai dan ini adikku Phang Tui. Karena tergesa-gesa, kami tak dapat memilih tanda pengenal yang lebih berharga, harap maafkan."

   Nenek yang tadi pergi ke belakang membawa dua buah kepala, kini sudah datang kembali ia mengomel,

   Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   

Dewi Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini