Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 24


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 24



Wajah Kwee Sin menjadi pucat. Akan tetapi dia berdiri tegak dan matanya bersinar penuh semangat.

   "Sekali penyesalan yang layak kutebus dengan nyawa. Demi keutuhan perhubungan antara Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai, biarlah pada saat ini aku Kwee Sin, bekas murid Kun-Lun-Pai..."

   Sampai di sini suaranya menggetar karena terharu, ...aku akan berterus terang. Hoa-San It-Kiam Kwa Tin Siong, biarlah aku menjawab dan menerangkan pertanyaan-pertanyaan yang kau ajukan itu satu demi satu. Pertanyaan pertama tentang kematian Liem Lo-Enghiong, seperti juga dulu pernah kunyatakan, kematiannya sama sekali bukan sebab perbuatanku. Aku tidak membunuhnya, bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Hal ini berani kunyatakan dengan sumpah sebagai bekas murid Kun-Lun..."

   "Jangan sebut-sebut nama Kun-Lun-Pai,"

   Kata Pek Gan Siansu, tenang namun berwibawa.

   "Maafkan Teecu..."

   Kwee Sin cepat berkata, suaranya parau, kemudian dia menghadapi Kwa Tin Siong lagi.

   "Aku berani bersumpah sebagai seorang laki-laki, demi kehormatan dan namaku, aku tidak membunuh Liem Lo-Enghiong."

   Kwa Tin Siong dan yang lain-lain pernah mendengar dari Beng San tentang hal ini, akan tetapi karena memurut anggapan mereka tetap saja Kwee Sin yang menjadi biang keladinya, Kwa Tin Siong mendesak terus,

   "Kalau kau begitu yakin bahwa kau bukan pembunuhnya, sudah tentu kau tahu siapa pembunuhnya yang menggunakan pukulan Pek-Lek-Jiu? Liem-Sumoi menuduh bahwa Ayahnya kau bunuh karena ada tanda luka bekas pukulan Pek-Lek-Jiu, diperkuat dugaan bahwa tentu kau malu dan marah terlihat oleh Ayahnya ketika kau berpesiar bersama Ketua-Ngo-Lian-Kauw."

   Wajah Kwee Sin yang tadinya pucat berubah merah sebentar, lalu pucat lagi.

   "Tadinya aku tidak tahu siapa pembunuhnya, baru kemudian ini aku mengetahui semua bahwa memang orang menggunakan namaku dengan maksud mengadu domba antara Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai."

   "Siapa orang itu?"

   Kwee Sin tampak ragu-ragu namun kemudian berkata,

   "Pembunuh Ayah nona Liem adalah Kim-Thouw Thian-Li Ketua Ngo-Lian-Kauw bersama anak buahnya yang menyamar sebagai anggauta-angguta Pek-Lian-Pai!"

   Sunyi seketika, terdengar isak tangis Liem Sian Hwa disusul bisikannya.

   "Aku, harus membasmi Ngo-Lian-Kauw..."

   Akan tetapi kesunyian itu segera dipecahkan oleh suara Kwee Sin yang melanjutkan keterangannya dan kini semua orang mendengarkannya penuh perhatian.

   "Keterangan untuk menjawab tuduhan ke dua dapat kujelaskan dengan sumpah pula bahwa ketika aku datang ke sini diantar oleh kedua Suhengku, aku benar-benar bermaksud hendak memberi keterangan seperti yang kulakukan pada ini hari. Akan tetapi, Cuwi sekalian di sini telah mengetahui betapa aku yang hendak mengakhiri hidupku untuk menebus dosa, tidak berdaya ketika disambar pergi oleh Hek-Hwa Kui-Bo. Terhadap kepandaian nenek itu aku yang bodoh bisa berbuat apakah? Dan memang aku mengakui bahwa sejak itu aku bekerja di Kota Raja sebagai perwira, adapun hal ini adalah rahasia pribadiku dan tak perlu kuterangkan kepada siapa pun juga."

   Pek Gan Siansu mengeluarkan suara mendengus dengan hidungnya. Kakek itu merasa terpukul mendengar betapa bekas muridnya tanpa malu-malu mengaku telah bekerja sebagai perwira di Kota Raja, berarti bekerja sebagai anjing penjajah. Pada hal dahulu dia tahu betul betapa besar semangat Kwee Sin untuk menentang penjajah dan membantu perjuangan kaum Patriot.

   "Tentang pertanyaan ketiga, terang aku mengakui bahwa memang ada niat di hatiku untuk melakukan pembalasan dendam atas kematian dua orang Suhengku di tempat ini. Pada waktu itu kupikir bahwa dua orang Suhengku itu sama sekali tidak bersalah, mereka datang hanya untuk mengantar aku dan memaksa aku menjelaskan duduknya perkara. Siapa kira... dua orang Suhengku itu, orang-orang gagah perkasa yang berbudi, menemui kematian di sini secara menyedihkan. Karena itulah aku datang melakukan pembalasan, dibantu oleh fihak Ngo-Lian-Kauw. Sebagai pengganti nyawa dua orang Suhengku aku berhasil merenggut nyawa dua orang murid Hoa-San-Pai, bukankah itu sudah pantas?"

   Sampai di sini Kwee Sin tersenyum pahit, jelas dia memperlihatkan sikap menyesal bukan main.

   "Sekarang pertanyaan ke empat, memang aku menjadi pembesar di Kota Raja. Terhadap permusuhan antara Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai, aku tak dapat berbuat apa-apa karena kedudukanku sebagai perwira. Dan untuk hal ini pun aku memiliki rahasia pribadi yang belum dapat kujelaskan sekarang, maupun kelak karena rahasia itu akan kubawa mati. Nah, para orang gagah dari Hoa-San-Pai, aku Kwee Sin sudah menjelaskan semua."

   Kwa Tin Siong berbisik-bisik dengan Lian Bu Tojin, kemudian dia maju pula berkata, suaranya nyaring jelas,

   "Kwee Sin, kami rasa pengakuan-pengakuanmu itu cukup jujur, kecuali tentang rahasia pribadi yang kau sembunyikan. Kami kira kau akan cukup jujur pula untuk mengakui bahwa perbuatanmulah yang menjadi biang keladi semua permusuhan antara Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai. Selamanya dua Partai ini menjadi sahabat-sahabat baik, malah sudah ada ikatan kekeluargaan antara kedua Partai melalui Sumoi dan engkau. Akan tetapi, dengan tak kenal malu kau telah melakukan perhubungan gelap yang amat hina dengan Siluman betina Kim-Thouw Thian-Li dari Ngo-Lian-Kauw sehingga terlihat oleh Ayah Sumoi dan menyebabkan Ayah Sumoi dibunuh oleh Kim-Thouw Thian-Li. Kemudian kau bukannya insyaf malah melanjutkan perhubungan itu dengan fihak Ngo-Lian-Kauw, ditambah lagi menduduki jabatan perwira di Kota Raja. Sekarang hendak kami tanya, bagaimana pertanggungan jawabmu terhadap semua ini? Ingat, bahwa karena perbuatanmu yang rendah itu, telah banyak jatuh korban, baik di fihak Hoa-San-Pai maupun fihak Kun-Lun-Pai. Dan tanpa ada pertanggungan jawabmu, kiranya kedua fihak akan terus turun tangan."

   Dengan sikap gagah Kwee Sin mengangkat dada dan berkata nyaring,

   "Semenjak kecil aku dididik oleh Kun-Lun-Pai untuk menjadi seorang laki-laki yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran."

   Sampai di sini suaranya menggetar terharu dan dia mengerling ke arah Pek Gan Siansu yang duduk tak bergerak seperti patung.

   "Sudah tentu saja aku rnengakui semua kesalahanku, yaitu bahwa karena perhubunganku dengan Kim-Thouw Thian-Li maka terjadi keributan dan permusuhan antara Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai. Para orang gagah Hoa-San-Pai, aku Kwee Sin mengaku berdosa dan terserah hukuman apa yang hendak kalian jatuhkan kepadaku."

   Kembali Kwa Tin Siong berbisik-bisik kepada Gurunya, kemudian menerima sebatang pedang dari tangan Lian Bu Tojin, pedang pusaka Hoa-San-Pai! Dengan tenang dan suara tegas Kwa Tin Siong berkata,

   "Kesalahanmu terhadap Hoa-San-Pai menimbulkan banyak korban nyawa anak murid Hoa-San-Pai, karena itu seperti keharusan hukum kang-ouw, hutang nyawa bayar nyawa. Kwee Sin, mengingat akan hubungan antara Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai, Suhu memberi keringanan kepadamu dan mempersilahkan kau menjatuhkan hukuman bayar hutang nyawa dengan tanganmu sendiri."

   Kwee Sin memandang ke arah pedang itu, lalu menerimanya dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Gan Siansu.

   "Suhu, perkenankanlah Teecu mohon kemurahan hati Suhu untuk terakhir. Teecu yang banyak berdosa terhadap Suhu, mohon supaya Suhu yang menjalankan hukuman ini sebagai penebus dosa Teecu."

   Wajah Pek Gan Siansu agak pucat. Sebetulnya di lubuk hatinya, Kakek ini amat sayang kepada Kwee Sin, akan tetapi karena kenyataan membuktikan bahwa Kwee Sin telah melakukan penyelewengan, dia pun tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyesal.

   "Kau bukan muridku lagi, aku tidak berhak mencampuri urusan hukuman."

   Mendengar ini, Kwee Sin bangkit berdiri dengan air mata berlinang, lalu berkata perlahan,

   "Kwee Sin memang sudah terlalu berdosa, patut mengakhiri hidupnya..."

   Pedang berkelebat ke arah lehernya

   "Kwee-Enghiong...!"

   Jerit melengking ini terdengar dibarengi berkelebatnya bayangan kuning yang ternyata adalah seorang gadis cantik berbaju kuning. Namun terlambat datangnya, pedang di tangan Kwee Sin sudah membabat lehernya. Jeritan tadi hanya mengagetkan Kwee Sin sehingga gerakan pedangnya tertahan dan batang lehernya tidak putus. Akan tetapi luka di leher cukup hebat, membuat dia roboh terguling bermandi darah. Gadis itu menangis dan menubruknya, memeluk dan mengangkat tubuh bagian atas yang dipangkunya.

   "Kwee-Enghiong... kau... kau... ah, kenapa kau menuruti kemauan orang-orang yang mau enak sendiri? Kwee-Enghiong... Kau dengarkan aku, kau dengarkan aku...,. aku Lee Giok, aku cinta padamu, ah jangan kau tinggalkan aku..."

   Nona baju kuning ini bukan lain adalah Lee Giok yang sudah kita kenal suka menyamar sebagai Nyonya Liong, mendekap kepala yang berlumuran darah itu sambil menangis. Kemudian ia kelihatan beringas dan marah, diletakan kembali Kwee Sin ke atas tanah lalu ia meloncat berdiri menghadapi orang-orang Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai yang bengong menyaksikan itu semua.

   "Kalian orang-orang kejam! Kalian orang-orang buta tak mengenal orang! Kalianlah yang memaksa Kwee-Enghiong membunuh diri!"

   Liem Sian Hwa makin sakit hatinya melihat betapa sekarang, di samping Kim-Thouw Thian-Li, ada lagi seorang gadis cantik yang mencinta Kwee Sin dan datang-datang memaki-maki, maka ia membentak,

   "Siluman dari mana datang-datang hendak mencampuri urusan kami?"

   La melangkah maju dan mencabut pedangnya. Lee Giok dengan mata berapi memandang Sian Hwa.

   "Hemmm, kau tentulah Kiam-Eng-Cu Liem Sian Hwa yang dulu menjadi tunangan Kwee-Enghiong, bukan? Orang yang mabuk akan dendam, yang memikirkan diri sendiri, yang sempit pandangan. Orang seperti kau ini mana patut disandingkan Kwee-Enghiong yang gagah perkasa?"

   "Cih, asal buka mulut saja"

   Sian Hwa balas memaki.

   "Dia begitu hina untuk berhubungan dengan Ketua Ngo-Lian-Kauw, dan merendahkan diri dengan menjadi kaki tangan penjajah, menjadi pengkhianat Bangsa. Dan kau masih memuji-mujinya. Kiranya kau pun tak akan jauh sifatnya dengan orang-orang macam dia dan Kim-Thouw Thian-Li!"

   "Bodoh! Goblok orang-orang macam kalian!"

   Lee Giok memaki, air matanya bercucuran.

   "Ahhh... buta kalian! Dia ini, adalah Si-Enghiong..."

   Tiba-tiba Pek Gan Siansu yang merasa curiga, akan semua adegan itu, bertanya.

   "Siapa itu Si-Enghiong (Pendekar keempat)?"

   "Nona Lee... eh, Siok-moi... aku...?"

   Mendengar suara ini Lee Giok tidak pedulikan semua orang dan cepat berlutut.

   "Kau hati-hatilah... mereka sudah tahu... sudah mulai curiga... kita sudah mereka ketahui... awas... lekas peringatkan dia..."

   "Siapa?"

   Lee Giok bertanya, suaranya tergetar, air matanya mengucur deras.

   "Ji-Enghiong...,."

   "Siapa dia? Siapakah Ji-Enghiong? Kau lekas katakan, aku sendiri sampai sekarang belum tahu siapa Ji-Enghiong. Lekas katakan..."

   "Dia... dia... ahhhhh..."

   Kwee Sin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena sudah kehilangan nyawanya. Lee Giok memeluk dan menangis tersedu-sedu, tak peduli bahwa darah dari leher Kwee Sin membasahi-muka dan pakaiannya. Semua orang terharu juga melihat ini dan tak terasa air mata Sian Hwa juga menjadi basah. Pek Gan Siansu tidak tega hatinya.

   "Lim Kwi, kau rawatlah baik-baik jenazah Kwee Sin. Biarpun dia bukan muridku lagi tapi..."

   Lim Kwi yang pada dasarnya berwatak penuh welas asih dan dia memang suka kepada Kwee Sin, segera, melangkah maju hendak mengangkat jenazah Kwee Sin. Akan tetapi Lee Giok membentak.

   "Jangan sentuh dia!"

   La lalu bangkit berdiri, dadanya turun naik, napasnya memburu, matanya berkilat-kilat, wajahnya pucat dan menjadi mengerikan karena berlepotan darah Kwee Sin.

   "Kalian tak berharga untuk menyentuhnya! Kalian ini pengecut-pengecut tak tahu malu. Bermata dua tapi buta tak melihat, tak dapat membedakan mana yang palsu mana yang tulen, tidak tahu mana yang baik mana yang buruk. Kalian tidak tahu siapa dia yang kalian paksa bunuh diri ini? Dia adalah orang ke dua di Kota Raja yang memimpin para pejuang melakukan gerakan di bawah tanah. Dia adalah orang kepercayaan Ciu-Taihiap. Kalian tahu mengapa dia melakukan hubungan dengan Kim-Thouw Thian-Li? Hal itu disengaja, karena merupakan rencana dari atasan. Kalau dia tidak mendekati Kim-Thouw Thian-Li, mana dia bisa memasuki Kota Raja, dapat kepercayaan orang-orang yang berkuasa di Kota Raja? Dia sengaja mengorbankan perasaannya, sengaja menghubungi Kim-Thouw Thian-Li sehingga para pembesar di Kota Raja percaya kepadanya, sehingga dengan aman dan mudah dia dapat mengorek rahasia-rahasia ketentaraan dan dapat membantu dan memberi petunjuk kepada saudara-saudara seperjuangan yang bergerak di luar Kota Raja! Jasa-jasanya untuk perjuangan sudah banyak sekali, dia seorang Patriot sejati yang tidak segan-segan mengorbankan perasaan, mengorbankan kekasih, mengorbankan segalanya untuk tanah air dan Bangsa. Dan kalian ini... orang-orang yang hanya ingat akan kepentingan diri sendiri, tidak peduli akan perjuangan Bangsa malah ribut saling gontok-gontokan antara saudara sendiri, orang-orang macam kalian ini sekarang memaksa dia membunuh diri? Celaka... celaka... semoga Thian mengutuk kalian semua!"

   Lee Giok menangis lagi dan semua orang yang berada di situ terpaku dengan muka pucat dan sinar mata bingung. Tak terkecuali Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin yang saling pandang dengan muka pucat dan sedih. Mereka masih ragu-ragu akan kebenaran semua keterangan nona yang tidak mereka kenal itu. Keterangan ini terlalu aneh, terlalu asing sehingga kelihatan agak mustahil. Kwee Sin menjadi pemimpin pejuang di Kota Raja? Dan semua kelakuannya yang dipandang rendah itu adalah siasat untuk perjuangan? Akan tetapi kebingungan mereka itu lenyap seketika setelah terjadi hal berikutnya. Tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan,

   "Tangkap pemberontak! Tangkap mata-mata pemberontak!"

   Dan muncullah rombongan pasukan tentara Pemerintah yang bersenjata lengkap, jumlahnya seratus orang lebih! Bukan main kaget hati Pek Gan Sjansu dan Lian Bu Tojin ketika melihat bahwa di antara pasukan itu terdapat seorang wanita yang cantik berusia empat puluh tahun lebih, membawa Saputangan Sutera beraneka warna dan seorang Kakek berbaju kuning.

   Betapa tidak akan kaget hati mereka karena wanita yang sebenarnya sudah berusia enam puluh tahun itu adalah Hek-Hwa Kui-Bo, sedangkan Kakek itu adalah tokoh Utara yang paling terkenal, yaitu Siauw-Ong-Kwi Si Raja Setan Cilik, guru dari Giam Kin pemuda pemelihara Ular. Pemuda itu sendiri juga tampak tersenyum-senyum, matanya liar menyambar-nyambar ke arah Kwa Hong dan Thio Bwee. Di sampingnya terlihat seorang wanita cantik yang bersikap genit, berpakaian indah dan pesolek. Kim-Thouw Thian-Li! Begitu melihat tubuh Kwee Sin yang menggeletak mandi darah di atas tanah, Kim-Thouw Thian-Li melompat mendekati. Tadinya orang mengira bahwa ia tentu akan menangis menggerung-gerung menyedihi-kematian kekasihnya itu, akan tetapi siapa kira, setelah melihat bahwa Kwee Sin betul-betul sudah mati, ia lalu meludah ke arah tubuh itu sambil berkata.

   "Cih, keparat keji! Bertahun-tahun kau menipuku, kusangka betul-betul setia, kiranya kau pemimpin mata-mata anjing pemberontak!"

   Kakinya diangkat dan menendang muka mayat itu.

   "Kim-Thouw Thian-Li siluman betina, jangan kau hina dia!"

   Lee Giok marah sekali, melompat dan memukul kepada Ketua Ngo-Lian-Kauw itu. Kim-Thouw Thian-Li menangkis.

   "Plak!"

   Dua lengan halus bertemu dan keduanya terhuyung rnundur. Diam-diam Kim-Thouw Thian-Li kaget, sama sekali tidak menyangka bahwa nona yang bisa menjadi pembantu Pangeran Souw Kian Bi ini ternyata memiliki kepandaian yang tinggi juga, Pantas Ia menjadi pemimpin mata-mata seperti yang disangka oleh Pangeran Souw Kian Bi, pikirnya.

   "Hemmm, kau inikah yang selama ini diam-diam menjadi Ji-Enghiong?"

   Ejek Kim-Thouw Thian-Li dengan suara dingin. Lee Giok nampak terkejut sekali.

   "Apa kau bilang ba... bagaimana kau bisa tahu tentang Ji-Enghiong?"

   "Hi-hi-hi, mata-mata hina! Kami sudah tahu bahwa Kwee Sin si keparat itu adalah Si-Enghiong, dan kau adalah Ji-Enghiong? Kalian memimpin mata-mata pemberontak di Kota Raja."

   Tiba-tiba Lee Giok tertawa girang.

   "Bagus, bagus! Jadi kau sudah tahu sekarang? Memang betul, Kim-Thouw Thian-Li, Kwee-Enghiong ini adalah pemimpin mata-mata pejuang yang memang bernama Si-Enghiong. Jadi selama ini dia bekerja untuk kepentingan para pejuang. Pembesar-pembesar di Kota Raja dipermainkan termasuk kau. Kau kira dia betul-betul cinta kepada Siluman macammu? Cih, tak tahu malu. Dan aku... aku memang Ji-Enghiong. Nah, kau mau apa?"

   Bukan main marahnya hati Kim-Thouw Thian-Li mendengar ejekan-ejekan ini. Dengan gerak mata cerdik Kim-thouw Thian-Li memandang kepada fihak Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai.

   "Cuwi sekalian dari Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai, perempuan ini adalah seorang pemimpin pemberontak, terpaksa aku dan teman-teman hendak menangkapnya hidup-hidup untuk kubawa ke Kota Raja."

   Akan tetapi sementara itu Liem Sian Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Inilah Kim-Thouw Thian-Li, perempuan yang tidak saja merenggut nyawa Ayahnya, akan tetapi bahkan yang merampas tunangannya. Sekarang mendengar wanita ini hendak membujuk Gurunya dan Pek Gan Siansu. Ia menerjang dan memaki.

   "Siluman keji, kau telah membunuh Ayahku. Rasakan pembalasanku!"

   Pedangnya berkelebat menusuk. Kim-Thouw Thian-Li tertawa dan mengelak, cepat mengeluarkan golok dan membalas serangan Sian Hwa.

   Sementara itu, Pek Gan Siansu dar Lian Bu Tojin terbangun semangat mereka setelah mendengar dan melihat sendiri kenyataan bahwa Kwee Sin benar-benar seorang pemimpin pejuang, ditambah oleh sikap Lee Giok yang gagah perkasa dan Patriotik. Dua orang Kakek ini begitu bertukar pandang sudah mengambil keputusan yang sama, yaitu membela Lee Giok demi penghargaan mereka terhadap perjuangan Kwee Sin. Sekarang melihat bahwa Sian Hwa telah bertempur melawan Kim-Thouw Thian-Li dan hal ini tak mungkin mereka hentikan atau cegah mengingat bahwa Sian Hwa tentu akan nekat membalas dendam, melihat pula bahwa bentrokan antara mereka dan fihak Pemerintah tak dapat dicegah lagi, lalu keduanya melangkah maju, siap menghadapi segala kemungkinan. Thio Ki dan Kui Lok juga meloncat maju membantu Bibi guru mereka.

   "Siluman Ngo-Lian-Kauw, kau pembunuh Ayah kami!"

   Teriak mereka sambil menerjang maju. Kim-Thouw Thian-Li masih tertawa-tawa dan menghadapi tiga orang itu dengan mainkan goloknya.

   "Lian Bu Totiang, apa kau membiarkan saja anak-anak muridmu memberontak?"

   Hek-Hwa Kui-Bo meloncat maju ke depan Ketua Hoa-San-Pai. Loncatannya luar biasa sekali, seperti tidak bergerak kedua kakinya tapi tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebat ke depan Kakek Hoa-San-Pai itu. Semua orang yang melihat ini menjadi kagum dan juga keder. Akan tetapi Lian Bu Tojin dengan sikapnya yang keren dan pedang pusaka yang tadi dipergunakan Kwee Sin membunuh diri di tangan kanannya, memandang nenek yang kelihatannya muda itu sambil berkata.

   "Hek-Hwa Kui-Bo, enak saja kau memutarbalikkan fakta. Adalah kau yang membiarkan muridmu Kim-Thouw Thian-Li itu untuk melakukan perbuatan fitnah dan mengadu domba antara Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai, membiarkan muridmu membunuh murid-murid Hoa-San-Pai dan kau selalu malah membantunya. Sekarang kau datang pura-pura mencela kepada pinto. Heh, biarpun kau lihai, namun kejahatanmu pasti tak akan membawa kau kepada kebahagiaan dan keselamatan."

   "Hi-hi-hi, Tosu bau. Kaulah yang akan mampus, masih banyak tingkah lagi."

   Dengan mengeluarkan suara melengking aneh, Hek-Hwa Kui-Bo menggerakkan tangan. Tahu-tahu sebatang pedang telah berada di tangannya dan cepat ia menyerang Ketua Hoa-San-Pai itu. Lian Bu Tojin maklum akan kelihaian wanita ini, maka dia tidak berani berayal, cepat-cepat menangkis dan balas menyerang.

   Seperti juga ketika Ketua Hoa-San-Pai ini mengejar Hek-Hwa Kui-Bo pada waktu nenek ini menculik Kwee Sin, sekarang Lian Bun Tojin mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dari nenek ini hebat bukan main, kelihatan tidak mengandung tenaga besar akan tetapi hawa pedangnya dingin dan cepat. Inilah Ilmu Pedang Im-Sin-Kiam yang dipelajari nenek ini dari Kitab yang ia curi atau rampas dari Phoa Ti. Biarpun Lian Bu Tojin sudah mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya, namun tetap saja semua kekuatan Ilmu Pedang Hoa-San Kiam-sut seakan-akan ditelan oleh hawa dingin ilmu pedang Hek-Hwa Kui-Bo. Betapapun juga, Lian Bu Tojin adalah seorang pendeta yang mengutamakan kehidupan suci dan bersih, maka daya tahan dalam tubuhnya amat kuat dan tidak mudah bagi Hek-Hwa Kui-Bo untuk merobohkannya secara cepat.

   "Heh-heh-heh, nona-nona manis, mari kita main-main sebentar!"

   Giam Kin ternyata sudah melompat maju dan dengan sikap ceriwis sekali mengulur kedua tangannya untuk menangkap Kwa Hong dan Thio Bwee. Dua orang gadis ini membentak dan memaki, sambil mengelak dan mencabut pedang lalu dengan gemas mereka mengeroyok Giam Kin. Sementara itu, Bun Lim Kwi sejak tadi memandang ke arah Giam Kin, maka ketika mendengar Kwa Hong dan Thio Bwee memaki-maki dan menyebut nama pemuda muka pucat itu, darahnya segera naik. Jadi inikah orang yang bernama Giam Kin, yang secara pengecut pernah menyerang dan merobohkannya ketika dia bertempur melawan Thio Eng dahulu itu? Hampir saja nyawanya melayang karena pemuda muka pucat yang jahat itu.

   "Suhu, dialah orangnya yang hampir saja menewaskan Teecu dengan penyerangannya yang curang. Teecu hendak membalas,"

   Bisiknya kepada Pek Gan Siansu Ketua Kun-Lun-Pai ini mengangguk, berkata perlahan.

   "Sudah sepatutnya sekarang kita membantu Hoa-San-Pai menghadapi orang-orang jahat itu."

   Dengan girang Bun Lim Kwi mencabut pedangnya dan menerjang Giam Kin yang sedang melayani dua orang gadis Hoa-San-Pai dengan enak sambil menggoda mereka dengan omongan kasar dan kotor itu.

   "Nona berdua harap mundur, biarkan aku memberi hajaran kepada manusia bermulut kotor ini!"

   Bentak Bun Lim Kwi sambil memutar pedangnya. Akan tetapi karena amat marah kepada Giam Kin, Kwa Hong dan Thio Bwee mana mau meninggalkannya? Dengan demikian Giam Kin segera terkepung dan dikeroyok tiga. Giam Kin sibuk sekali. Biarpun dia amat lihai namun dikeroyok oleh tiga orang ini, apalagi ilmu silat Bun Lim Kwi memang hebat, segera dia terdesak dan sibuk menangkis ke sana kemari.

   "Hemmm, curang... curang...! Kulihat ilmu pedang Kun-Lun-Pai ikut membela Hoa-San-Pai?"

   Suara ini keluar dari mulut Siauw-Ong-Kwi yang melangkah maju hendak menolong muridnya. Akan tetapi tiba-tiba bayangan putih berkelebat dan Pek Gan Siansu sudah berdiri di depannya dengan pedang pusaka Kun-Lun-Pai di tangan.

   "Perlahan dulu, Siauw-Ong-Kwi. Biarkan bocah sama bocah, tua bangka seperti kau lawannya juga tua bangka seperti aku!"

   Siauw-Ong-Kwi membelalakkan matanya dan tertawa.

   "Ha-ha-ha, sejak kapan Kun-Lun-Pai menjadi pembantu para pemberontak?"

   "Sejak orang-orang seperti engkau membantu penjajah menindas rakyat,"

   Jawab Ketua Kun-Lun-Pai tenang.

   "O-ho, Pek Gan Siansu, artinya kau menantang Siauw-Ong-Kwi?"

   "Pinto tidak menantang siapapun juga. Akan tetapi, Siauw-Ong-Kwi, sejak dulu Pinto mengenal nama Siauw-Ong-Kwi sebagai seorang aneh yang tidak suka melanggar kepantasan, seorang tokoh utama di Utara yang tidak berlepotan lumpur, kejahatan. Kiranya sekarang kau terseret ke dalam perangkap penjajah, malah kau membiarkan muridmu berlaku keji dan jahat tanpa menghukumnya. Muridmu secara curang pernah berusaha membunuh muridku, sekarang kau hendak membantunya pula. Mana Pinto dapat diamkan saja?"

   "Bagus Pek Gan Siansu, antara kita terdapat perbedaan faham, kau sebagai antek pemberontak dan aku sebagai antek Pemerintah. Mari, mari... kita bermain-main sebentar, sudah lama tanganku gatal-gatal untuk merasai lihainya pedang Kun-Lun-Pai!"

   Dua orang ini segera bergerak dan bertandinglah keduanya.

   Pedang Pek Gan Siansu tak usah disangsikan lagi amat hebat gerakannya, kuat dan biarpun digerakkan secara lambat, namun sinar pedangnya saja cukup untuk merobohkan lawan yang kuat. Di lain fihak, Siauw-Ong-Kwi adalah seorang tokoh paling lihai dari Utara. Ilmu silatnya aneh, berinti ilmu tangkap yang, menjadi dasar ilmu gulat Mongol, sekarang dia mainkan dengan kedua ujung tangan bajunya yang panjang sehingga sekelebatan tampaknya seolah-olah Siauw-Ong-Kwi mainkan sepasang pedang. Jangan dipandang rendah sepasang ujung lengan baju ini. Biarpun terbuat daripada kain lemas biasa, namun mengandung tenaga Lweekang yang hebat, kuat untuk menangkis pedang, kadang-kadang lemas mengancam lawan dengan jeratan maut, kadang-kadang kaku seperti pedang baja atau seperti Toya besi!

   Kim-Thouw Thian-Li yang melihat betapa kedua fihak sudah saling gempur segera bersuit keras dan pasukan Pemerintah itu serentak bergerak menyerbu keatas sambil berteriak-teriak hiruk-pikuk. Para Tosu Hoa-San-Pai melihat hal ini tanpa menanti perintah lagi segera memapaki dan terjadilah perang kecil yang cukup hebat di puncak Hoa-San-Pai itu. Akan tetapi ternyata keadaan amat tidak menguntungkan fihak Hoa-San-Pai. jumlah pasukan Pemerintah tidak saja lebih besar, juga mereka ini memang pasukan pilihan yang sengaja dikirim oleh Pangeran Souw Kian Bi, pasukan yang terjadi dari serdadu-serdadu yang kosen dan ahli golok, lebih terkenal disebut Barisan Golok Maut. Sebentar saja belasan orang Tosu Hoa-San-Pai roboh terbacok golok dan keadaannya amat terdesak.

   Keadaan pertempuran yang dihadapi para jago Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai itu juga amat buruk. Menghadapi Sian Hwa yang dibantu dua orang murid keponakannya, Thio Ki dan Kui Lok, Ketua Ngo-Lian-Kauw, Kim-thouw Thian-Ii ternyata jauh lebih lihai. Permainan goloknya biarpun lihai dan aneh, masih belum mampu menindih ilmu pedang tiga orang murid Hoa-San-Pai ini, akan tetapi setelah Kim-Thouw Thian-Li mengeluarkan selendang merahnya yang mengandung hawa beracun, pada saat yang amat tak terduga-duga ia mengebutkan selendang merah. Bau harum semerbak menyambar. Thio Ki dan Kui Lok yang masih kurang pengalaman, kurang cepat menghindar dan robohlah mereka bergulingan dalam keadaan pingsan. Liem Sian Hwa yang menjadi marah sekali mempergunakan kesempatan itu,

   Selagi Kim-Thouw Thian-Li tertawa-tawa kegirangan dan memerintahkan beberapa serdadu untuk menawan dua orang pemuda ini, cepat melompat tinggi setelah tadi berhasil menggulingkan tubuh menghindarkan hawa beracun, kemudian dari atas ia menggunakan, gerak tipu Hui-Liong Jip-Hai (Naga Terbang Memasuki Lautan), pedangnya bergerak cepat menyerang lawannya. Tidak percuma nona ini dijuluki Kiam-Eng-Cu (Bayangan Pedang), gerakannya cepat sekali, sehingga bayangan tubuhnya dan sinar pedang menjadi satu. Kim-Thouw Thian-Li kaget bukan main, cepat menangkis dengan golok dan miringkan tubuh berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi tetap saja ujung pedang Sian Hwa secara kilat sudah menyerempet pundaknya sehingga baju di bagian pundak terbabat robek berikut kulitnya yang putih halus? dan darah bercucuran keluar.

   "Keparat, rasakan pembalasanku!"

   Kim-Thouw Thian-Li berseru keras, cepat memberi bubuk obat kepada pundaknya yang terluka, kemudian dengan kemarahan yang meluap-luap ia menerjang Liem Sian Hwa dengan nafsu membunuh. Sian Hwa memutar pedang mempertahankan, diri, namun maklum bahwa ia kalah tenaga dan bingung menghadapi ilmu golok yang aneh dan ganas itu. Betapapun juga, dengan mengertak akan giginya nona Pendekar ini melakukan perlawanan nekat. Hatinya gelisah sekali melihat betapa dua orang murid keponakannya, Thio Ki dan Kui Lok, sudah menjadi orang-orang tawanan, diikat kaki tangan mereka dan dibawa mundur oleh beberapa orang serdadu musuh.

   Kwa Tin Siong juga melihat betapa dua orang murid keponakannya ini tertawan. Akan tetapi dia pun hanya dapat bergelisah saja karena semenjak pertempuran hebat itu dimulai, Hoa-San It-Kiam Kwa tin Siong ini sudah menerjang maju dan dikeroyok oleh lima orang perwira pasukan musuh secara berganti-ganti. Sudah banyak lawan roboh oleh pedangnya yang lihai, namun dikeroyok begitu banyak lawan tangguh, dia menjadi terdesak juga dan tidak berdaya menolong dua orang keponakan yang tertawan itu. Kini melihat betapa Sumoinya didesak hebat oleh Kim-Thouw Thian-Li yang ganas, dia berkhawatir sekali. Sambil berseru keras pedangnya diputar seperti ombak menggelora, dua orang pengeroyoknya roboh dan yang lain terpaksa mundur dengan gentar. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwa Tin Siong untuk melompat dan menerjang Kim-Thouw Thian-Li.

   "Sumoi, jangan khawatir, mari kita bunuh Siluman betina ini!"

   
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Serunya dan pedangnya yang masih berlepotan darah itu menerjang kuat.

   "Hi-hi-hi, seorang Sumoi dan Suhengnya yang tak bermalu!"

   Sambil menangkis Kim-Thouw Thian-Li mentertawakan mereka.

   "Di luar mengaku Sumoi dan Suheng, di mulut memaki-maki Kwee Sin yang serong, tapi ini bagaimana? Ha-ha-hi-hi-hi, tak bermalu, muka tebal? Siapa tidak tahu bahwa kalian sudah bertahun-tahun main gila? Di depan guru bersikap alim, katanya saudara seperguruan, tapi di belakang Guru? Hi-hi-hi, hanya kamar kosong menjadi saksi percintaan kotor Sumoi dan Suheng!"

   Kata-kata yang dikeluarkan Kim-Thouw Thian-Li ini keras dan nyaring sehingga terdengar oleh semua orang di situ. Wajah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa menjadi pucat saking marah mereka. Liem Sian Hwa hampir pingsan saking marahnya sehingga gerakan pedangnya malah menjadi lambat dan akhirnya ia terhuyung-huyung dan roboh pingsan, Kwa Tin Siong membentak,

   "Siluman betina, mampuslah!"

   Pedangnya menyambar, akan tetapi dengan enak Kim-Thouw Thian-Li dapat menangkisnya.

   "Ha-ha-ha, malu kan? Kalian saling cinta, siapa tidak tahu akan hal ini? Haiii...! Lian Bu Tojin, kau Tosu tua bangka sudah buta, tidak tahu dua orang muridmu main gila di belakangmu?"

   Tapi ia terpaksa menghentikan kata-katanya karena serangan hebat yang dilakukan Kwa Tin Siong. Ucapan Kim-Thouw Thian-Li yang nyaring ini hebat akibatnya. Lian Bu Tojin yang ketika itu sedang bertanding mati-matian melawan Hek-Hwa Kui-Bo, seketika tergetar tubuhnya dan ketika dia menengok ke arah Kwa Tin Siong, dia kurang keras menangkis serangan kebutan Saputangan Sutera yang digerakkan oleh Hek-Hwa Kui-Bo.

   "Plakkk!"

   Ujung Saputangan menghantam dadanya dan Lian Bu Tojin terhuyung mundur dengan muka pucat, akan tetapi sambil menahan napas Kakek ini masih dapat terus melompat ke dekat Kim-Thouw Thian-Li yang masih mendesak Kwa Tin Siong dengan golok dan dengan mulut yang melontarkan kata-kata menghina tentang dia dan Sumoinya. Lian Bu Tojin menggerakkan tangan kirinya memukul ke depan. Kim-Thouw Thian-Li berusaha mengelak, namun terlambat,

   "Dukkk!"

   Punggungnya kena digempur, tubuhnya mencelat terguling-guling dan roboh tak bergerak. Darah merah mengalir dari mulut perempuan ini. Lian Bu Tojin dengan mata mendelik menghadapi Kwa Tin Siong.

   "Tin Siong, betulkah kau... kau... betulkah apa yang diucapkan Siluman tadi? Betul kau... kau mencinta Sian Hwa?"

   Tanyanya, suaranya yang biasanya lemah lembut itu kini kaku parau dan kemarahannya memuncak. Kwa Tin Siong selama hidupnya tak pernah membohong kepada Suhunya. Dengan kepala tunduk dia menjawab,

   "Teecu memang cinta kepada Sumoi, Suhu. Akan tetapi cinta yang bersih... tidak seperti yang dimaksud oleh Siluman itu..."

   Tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek.

   "Ha-ha-ha, cinta kasih antara laki-laki gagah dan perempuan cantik, mana bisa bersih-bersihan? Ha-ha-ha-ha,-ha, pintar juga Kwa Tin Siong! Dari pada Sumoinya tidak laku menjadi perawan tua... Ha-ha-ha-ha,-ha duda dan perawan tua, sudah cocok!"

   Bukan main hebatnya penghinaan ini yang keluar dari mulut Giam Kin.

   "Blukkk!"

   Dalam kemarahannya, Bun Lim Kwi mempergunakan kesempatan Giam Kin memecah perhatiannya untuk melontarkan penghinaan ini, berhasil memukul pundak Giam Kin dengan tangan kirinya. Inilah pukulan Pek-Lek-Jiu dan andaikata orang lain yang terpukul pasti akan roboh binasa. Akan tetapi Giam Kin adalah orang yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Pukulan ini benar merobohkannya, akan tetapi sambil roboh dia sempat menyambitkan segenggam jarum-jarum halus ke arah Bun Lim Kwi. Jago muda Kun-Lun-Pai ini dahulu ketika bertempur melawan Thio Eng pernah roboh dan hampir tewas oleh jarum-jarum berbisa ini, maka dengan kaget dia melompat jauh untuk menghindar sambil berseru kepada Thio Bwee dan Kwa Hong.

   "Jiwi Lihiap, awas!"

   Baiknya jarum-jarum itu memang tidak disambitkan ke arah dua orang nona yang ikut mengeroyok Giam Kin ini maka mereka tidak terancam oleh senjata rahasia yang jahat itu. Sementara itu Kwa Hong yang juga mendengar ucapan-ucapan keji dari Kim thouw Thian-Li tadi, sekarang berdiri dengan muka pucat dan mernandang ke arah Ayahnya yang ditegur oleh Lian Bu Tojin dan ke arah Bibi Gurunya yang masih rebah pingsan, Adapun Lian Bu Tojin ketika dengar pengakuan dari Kwa Tin Siong dan kemudian mendengar ucapan Giam Kin, tubuhnya menjadi limbung.

   "Huaaak"

   Dari mulutnya tersembur darah segar, inilah akibat pukulan selendang Sutera Hek-Hwa Kui-Bo tadi. Kemudian orang tua ini menggerakkan pedang pusaka Hoa-San-Pai lalu dibacokkan ke arah tubuh Liem Sian Hwa yang menggeletak di atas tanah.

   "Suhu...,...! Ampunkan Sumoi..."

   Kwa tin Siong menubruk maju, menghalangi tubuh Sumoinya. Lian Bu Tojin kaget dan menahan pedangnya, namun karena dia sudah terluka gerakannya kurang kuat dan pedang itu tetap masih membacok ke arah lehernya. Terpaksa Kwa Tin Siong menangkis dengan tangan kirinya.

   "Crakkk!"

   Pedang pusaka Hoa-San-Pai yang amat tajam dan ampuh itu tanpa ampun lagi membabat putus lengan kiri Kwa Tin Siong sebatas pergelangan tangan! Kwa Tin Siong masih terus berjongkok, memondong tubuh Liem Sian Hwa dengan tangan kanannya, berdiri lalu berjalan pergi terhuyung-huyung dengan langkah limbung. Tapi cepat sekali dia sudah lari turun gunung.

   "Ayah...!"

   Kwa Hong menjerit dan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia pun roboh terguling. Ternyata dalam keadaan kacau itu, selagi semua orang mencurahkan perhatian ke arah peristiwa itu, Giam Kin sudah meloncat maju dan menotoknya roboh. Kejadian ini seperti, menjadi tanda bahwa pertempuran di mulai lagi. Bun Lim Kwi menggerakkan pedang menyerang Giam Kin, dibantu Thio Bwee dan kembali mereka bertempur.

   "Berani kau melukai muridku!"

   Hek-Hwa Kui-Bo yang tadi maju menolong Kim-Thouw Thian-Li yang terluka oleh pukulan Lian Bu Tojin, sekarang melayang maju menyerang Ketua Hoa-San-Pai itu.

   Akan tetapi Lian Bu Tojin sudah menderita luka batin yang hebat, sekarang Kakek ini malah duduk bersila dan meramkan matanya. Agaknya Kakek Hoa-San-Pai ini sudah menderita kesedihan terlalu besar karena persoalan murid-muridnya sehingga kini dia sengaja menanti pukulan maut lawannya tanpa mau membela diri. Pada saat itu, terdengar sorak-sorak gemuruh di sekeliling tempat pertempuran dan tiba-tiba muncullah ratusan orang gagah perkasa yang dipimpin oleh seorang tinggi besar. Semua orang menjadi kaget sekali bahkan Hek-Hwa Kui-Bo sendiri sampai menahan pukulannya. Akan tetapi setelah menengok dan melihat bahwa yang datang adalah orang-orang yang biasanya disebut pejuang atau yang oleh Pemerintah dianggap pemberontak, Hek-Hwa Kui-Bo mengeluarkan dengus menghina dan ia melanjutkan pukulannya.

   "Lian Bu Tojin, bersiaplah untuk mampus!"

   Pedangnya menusuk ke arah dada sedangkan ujung selendang Sutera menotok ke arah ubun-ubun kepala Lian Bu Tojin. Dua serangan mematikan yang agaknya akan menamatkan nyawa Ketua Hoa-San-Pai. Akan tetapi pada saat itu dua sinar hitam menyambar.

   "Trang!"

   Pedang di tangan Hek-Hwa Kui-Bo terpukul ke samping sedangkan sinar hitam kedua menyambar kearah siku kirinya, membuat tangan kirinya menjadi lemas dan hawa Lweekang yang tersalur ke arah selendang itu lenyap dan selendangnya berubah lemas seperti kain biasa. Sekaligus sambaran dua benda hitam yang ternyata hanya dua buah kerikil itu telah melumpuhkan serangan maut Hek-Hwa Kui-Bo dan menolong nyawa Lian Bu Tojin! Hek-Hwa Kui-Bo kaget dan marah sekali, cepat memutar tubuh dan ia berhadapan dengan seorang pemuda yang bukan lain adalah Beng San. Pemuda ini tersenyum kepadanya.

   "Apakah selama ini kau baik-baik saja, Hek-Hwa Kui-Bo?"

   Hek-Hwa Kui-Bo tertegun dan meragu. Serasa ia mengenal muka pemuda ini, akan tetapi kalau diingat akan kepandaian pemuda ini yang luar biasa tadi ia ragu-ragu dan merasa tidak pernah mengenal seorang pemuda dengan kepandaian demikian hebatnya.

   "Kau siapakah?"

   "Hek-Hwa Kui-Bo, lupakah kau kepadaku? Ingatlah akan pelajaran Thai-Hwee, Siu-Hwee dan Ci-Hwee..."

   "Ah, kau Beng San Siluman cilik..."

   Dengan marah Hek-Hwa Kui-Bo teringat akan Kitab Im-Yang Sin-Kiam.

   "Bagus, kau serahkan Yang-Sin Kiam-sut kepadaku!"

   Berbareng dengan bentakan ini ia lalu menyerang dengan pedangnya.

   Beng San mengelak dan melihat bahwa nenek itu menyerangnya dengan Ilmu Pedang Im-Sin-Kiam, tentu saja dengan mudah dia dapat menghindarkan diri. Akah tetapi karena dia sendiri tidak bersenjata, sukar juga baginya untuk balas menyerang nenek yang hebat kepandaiannya itu sehingga dia hanya main mundur, mengelak ke kanan kiri, meloncat ke sana kemari. Sementara itu, rombongan orang gagah yang ternyata dipimpin oleh Tan Hok itu sudah menggempur pasukan Pemerintah sehingga perang tanding menjadi makin ramai. Akan tetapi keadaannya sekarang berubah sama sekali. Kalau tadi para Tosu Hoa-San-Pai melakukan perlawanan sia-sia dan banyak di antara mereka roboh binasa, sekarang keadaannya berbalik.

   Tidak saja para anggauta Pek-Lian-Pai yang datang ini rata-rata memiliki kegagahan dan kepandaian, juga jumlah mereka jauh lebih besar dan pasukan Pemerintah ditekan hebat dan terdesak betul-betul. Sebentar saja banyak serdadu Mongol roboh dan yang lainnya mulai lemah semangat. Pertempuran yang hebat dan seru adalah pertempuran antara Pek Gan Siansu dan Siauw-Ong-Kwi. Dua orang tokoh besar ini benar-benar memiliki kepandaian hebat. Mereka tidak mempunyai per-musuhan pribadi, akan tetapi seperti sudah sering kali terjadi, apabila dua orang tokoh besar bertempur dan saling mengeluarkan kepandaian, mereka tidak mau saling mengalah. Mereka bertempur sejak permulaan tadi sampai sekarang, tak pernah berhenti dan sudah mengeluarkan kepandaian masing-masing sampai dua ratus jurus lebih.

   Betapapun juga, ilmu kepandaian Pek Gan Siansu adalah ilmu yang bersumber pada ilmu bersih dan aseli keturunan Kun-Lun-Pai, maka dasarnya amat kuat. Sebaliknya, Siauw-Ong-Kwi mendapatkan kepandaiannya dari kumpulan bermacam ilmu silat dan baginya tidak ada pilihan apakah ilmu silat itu kotor maupun bersih sifatnya, semua dipelajari sejak muda dan dari kumpulan ilmu-ilmu silat inilah dia menciptakan ilmu silatnya sendiri yang ganas dan lihai, yaitu dengan senjata kedua ujung lengan bajunya yang panjang. Mungkin karena kalah murni sumber ilmu kepandaiannya, maka setelah lewat dua ratus jurus, perlahan-lahan Siauw-Ong-Kwi mulai terdesak oleh sinar pedang Pek Gan Siansu yang hebat itu. Terpaksa dia diam-diam harus mengakui bahwa Ilmu Pedang Kun-Lun Kiam-sut benar lihai sekali.

   "Ha-ha-ha, Pek Gan Siansu, ilmu pedang Kun-Lun benar-benar bukan omong kosong saja. Kulihat barisan pemberontak sudah menyerbu, terpaksa aku tidak suka melayanimu lebih lama lagi. Nanti saja di

   (Lanjut ke Jilid 24)

   Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24

   pertemuan mendatang kita lanjutkan untuk menentukan siapa sebenarnya Raja Pedang!"

   "Siauw-Ong-Kwi, kau terlalu memuji. Kepandaianmu juga Pinto lihat banyak lebih lihai daripada dulu. Dalam pertemuan di Thai-San nanti kiranya Pinto tak akan kuat menghadapimu."

   Ucapan Kakek Kun-Lun-Pai ini memang dengan sejujurnya. Tadi dia dapat menindih lawannya dengan ilmu pedangnya yang lebih murni dan lebih kuat, akan tetapi dalam hal tenaga dan keuletan, kalau pertempuran dilanjutkan, dia pasti akan kalah oleh Siauw-Ong-Kwi yang belasan tahun lebih muda itu.

   Siauw-Ong-Kwi lalu melesat ke arah muridnya. Giam Kin yang pada saat itu sudah terdesak hebat oleh Bun Lim Kwi yang dibantu oleh Thio Bwee. Sekali kebutkan ujung lengan bajunya, Siauw-Ong-Kwi telah membuat pedang Lim Kwi dan Thio Bwee terpental ke belakang, malah Thio Bwee terhuyung beberapa tindak sedangkan Lim Kwi yang lebih tinggi ilmunya hanya tergetar tangannya. Namun sudah cukup untuk memberi kesempatan kepada Giam Kin untuk meloncat ke belakang dan menyusul Gurunya lari pergi. Hek-Hwa Kui-Bo masih mengejar-ngejar Beng San dengan Ilmu Pedang Im-Sin-Kiam. Makin penasaran hatinya karena belum juga ia dapat merobohkan pemuda? ini. Sebetulnya, jangankan merobohkan, ujung pedangnya malah belum pernah mencium ujung baju pemuda itu yang dengan gesit melompat ke sana ke mari dengan gerakan tidak karuan seperti orang ketakutan,

   Namun setiap lompatannya merupakan kelitan yang amat sempurna dan tepat untuk menghindari serangan-serangan jurus Im-Sin Kiam-Hoat. Orang-orang yang berada di situ tadinya sedang sibuk menghadapi lawan masing-masing, maka tidak ada yang menarik perhatian akan kedatangannya Beng San. Sekarang mereka mendapat kesempatan menonton, mereka heran dan juga khawatir menyaksikan pemuda itu dikejar-kejar Hek-Hwa Kui-Bo. Pek Gan Siansu adalah seorang tokoh besar yang tajam penglihatannya. Melihat keadaan Beng San, sama sekali dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu pemuda aneh ini memiliki kepandaian hebat, akan tetapi karena dia pun maklum akan keganasan Hek-Hwa Kui-Bo, maka dia segera berkata,

   "Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali. Hek-Hwa Kui-Bo dengan pedangnya mengejar-ngejar seorang pemuda. Memalukan betul!"

   Karena Hek-Hwa Kui-Bo sendiri maklum bahwa pemuda itu adalah seorang ahli waris Im-Yang Sin-Kiam, sekarang melihat pertempuran sudah berhenti dan para serdadu sudah lari cerai-berai, apa-lagi Siauw-Ong-Kwi sudah pergi juga, ia merasa tidak ada harapan kalau harus mengamuk seorang diri.

   "Bocah, kalau memang kau ada kepandaian, kelak di Thai-San kita bertemu pula!"

   Katanya gemas dan sekali berkelebat, nenek itu sudah pergi menyusul muridnya dan yang lain-lain, yang sudah lari lebih dahulu. Hebat sekali akibat pertempuran itu. Banyak sekali, lebih dari empat puluh orang Tosu Hoa-San-Pai, menggeletak mati atau terluka. Juga ada beberapa belas orang Pek-Lian-Pai terluka dan serdadu-serdadu itu meninggalkan mayat dan teman-teman terluka sebanyak tujuh puluh orang lebih.

   Di tempat itu penuh dengan mayat dan orang-orang terluka, darah mewarnai rumput dan tanah, mengerikan sekali. Lian Bu Tojin masih duduk bersila meramkan mata, terluka hebat dan juga mendapat guncangan batin yang berat. Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa tidak kelihatan, sudah lari turun gunung. Kwa Hong, Thio Ki, dan Kui Lok telah tertawan, dibawa lari oleh musuh. Tinggal Thio Bwee yang sekarang berlutut di depan Kakek Hoa-San-Pai ini sambil menangis. Hari itu benar-benar mengalami pukulan hebat, pukulan dari luar dan dari dalam. Bun Lim Kwi berdiri di dekat Gurunya, menundukkan muka ikut berduka. Pek Gan Siansu mengelus-elus jenggot dan memandang kepada Beng San yang juga berdiri bingung karena tidak tahu ke mana perginya para murid Hoa-San-Pai yang lain.

   "Adik Beng San...!"

   Seruan ini adalah suara Tan Hok yang datang berlari-lari. Beng San juga girang dan dua orang ini saling berpelukan.

   "Syukur kau dan teman-temanmu keburu datang, Tan-Twako, kalau tidak..."

   Tan Hok memandang ke arah tubuh-tubuh yang malang melintang di tanah itu, menarik napas panjang.

   "Anjing-anjing Mongol itu benar-benar keji dan sayang sekali tidak dari dulu-dulu Hoa-San-Pai ikut berjuang. Lebih sayang lagi semua ini gara-gara murid Kun-Lun-Pai yang roboh di bawah pengaruh kecantikan wanita..."

   La menuding ke arah mayat Kwee Sin.

   "Jangan kau bicara sembarangan!"

   Thio Bwee tiba-tiba meloncat dan memandang Tan Hok dengan marah.

   "Apa kau kira kau dan orang-orang Pek-Lian-Pai saja yang Patriotik dan gagah? Paman Kwee Sin biarpun kelihatan bersalah, akan tetapi sebetulnya semua itu dia lakukan demi menjalankan tugasnya sebagai seorang pejuang. Dia adalah pemimpin di Kota Raja, terkenal dengan sebutan Si-Enghiong..."

   "Apa...??"

   Tan Hok membelalakkan matanya.

   "Dia... dia itu Si-Enghiong? Si-Enghiong dan Ji-Enghiong adalah orang-orang yang memimpin gerakan kami di sana... orang-orang kepercayaan Ciu-Taihiap! Betulkah ini...?"

   Pek Gan Siansu berkata,

   "Siancai... siancai..."

   Ia menarik napas panjang.

   "Sungguh bangga hati tua ini mendengar bahwa Kwee Sin ternyata adalah seorang pejuang besar. Bangga dan sedih serta malu bahwa dia telah begitu buta sehingga tidak dapat mengenal murid sendiri! Ah, Kwee Sin... Kwee Sin... tidak berharga Pinto menjadi Gurumu..."

   Tiba-tiba Thio Bwee berseru,

   "Eh, mana dia? Mana dia Ji-Enghiong...?"

   Tan Hok makin kaget.

   "Apa? Ji-Enghiong juga di sini? Mana dia?"

   Semua orang mencari-cari dan mengingat-ingat, akan tetapi mereka tadi tidak melihat lagi adanya nona Lee Giok atau yang disebut Ji-Enghiong oleh Kim-Thouw Thian-Li.

   "Betulkah Ji-Enghiong tadi di sini? Siapakah dia?"

   Tanya lagi Tan Hok terheran-heran, sedangkan Beng San juga tertegun mendengar terbukanya rahasia ini, ingin benar dia mendengar keterangannya pula. Lian Bu Tojin berdiri perlahan, lalu memandang Tan Hok dan teman-temannya yang berdiri di belakangnya. Melihat tadi Beng San berpelukan dengan Tan Hok, Ketua Hoa-San-Pai ini bertanya,

   "Beng San, siapakah tuan ini?"

   Beng San menjura.

   "Totiang, dia ini adalah teman Teecu yang gagah perkasa. Namanya Tan Hok dan dialah pemimpin pasukan gerilya Pek-Lian-Pai yang Patriotik."

   Lian Bu Tojin mengangguk-angguk,

   "Ah, kiranya. Tan-Enghiong. Terima kasih atas bantuanmu. Agaknya Tan-Enghiong mengenal dua orang pemimpin di Kota Raja yang disebut Ji-Enghiong dan Si Enghiong."

   "Tentu saja mengenal, Totiang. Hanya? mengenal nama, akan tetapi dua orang tokoh itu adalah termasuk atasan saya, Kiranya Si-Enghiong adalah murid Kun-Lun-Pai, sungguh menggembirakan sekali dan sekaligus pandangan kami berubah terhadap Kun-Lun-Pai. Akan tetapi... siapakah yang mengatakan bahwa dia adalah Si-Enghiong?"

   "Tak dapat diragukan lagi, pasukan Pemerintah tadi menyerbu ke sini justeru untuk menangkap Ji-Enghiong dan Si-Enghiong. Si-Enghiong adalah... murid Pek Gan Siansu, Kwee Sin. Adapun Ji-Enghiong, menurut pengakuan tadi adalah seorang nona muda bernama Lee Giok yang sekarang entah pergi ke mana karena agaknya tadi menghilang ketika terjadi pertempuran."

   Mendengar ini, Tan Hok segera bersama teman-temannya dengan penuh penghormatan mengangkat jenazah Kwee Sin lalu merawat dan mengurusnya penuh penghormatan sebagaimana layaknya seorang pemimpin. Juga para Tosu Hoa-San-Pai mengurus mayat-mayat dan orang-orang yang terluka. Dalam hal ini, Lian Bu Tojin membuktikan keluhuran pribudinya dengan memerintahkan anak muridnya untuk mengurus juga mayat-mayat serdadu Mongol, bahkan mengobati mereka yang luka dan membiarkan mereka pergi dengan aman. Beng San yang tidak melihat murid-murid Hoa-San-Pai, mengajukan pertanyaan kepada Thio Bwee,

   "Adik Bwee, kenapa aku tidak melihat Hong-moi dan dua orang saudaramu Thio Ki dan Kui Lok? Dan ke mana pula perginya Kwa Lo-Enghiong dan Bibi Gurumu?"

   Ditanya begini, tiba-tiba Thio Bwee menangis lagi dan tidak dapat menjawab. Lian Bu Tojin yang menjawab,

   "Beng San, hari ini Hoa-San-Pai mengalami kehancuran. Kwa Hong, Thio Ki, dan Kui Lok tertawan musuh dan ditangkap. Adapun Kwa Sin Tiong dan Sian Hwa, eh, mereka juga lari dalam kekacauan tadi."

   Mendengar ini, berubah muka Beng San.

   "Hong-moi tertawan musuh? Juga saudara Thio Ki dan Kui Lok? Ah, celaka biar kuusahakan pertolongan..."

   Beng San lari turun dari puncak.

   "Lim Kwi, kau bantulah dia!"

   Bisik Pek Gan Siansu.

   "Saudara Beng San, tunggu!"

   Tubuh Lim Kwi melesat mengejar Beng San. Juga Tan Hok meloncat dan mengejar.

   "Adik Beng San, tunggu dulu...!"

   Akan tetapi aneh sekali, biarpun Beng San kelihatannya hanya lari biasa saja sedangkan dua orang yang mengejarnya ini meloncat dan menggunakan ilmu lari cepat, sebentar saja tubuh Beng San sudah lenyap dan tidak mereka ketahui ke mana arah larinya. Terpaksa Tan Hok dan Lim Kwi kembali ke puncak.

   "Lian Bu Totiang,"

   Kata Tan Hok dengan suara menghibur orang tua yang kelihatan berduka itu.

   "Harap Totiang jangan khawatir. Adik Beng San bukanlah orang biasa, tentu dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menolong murid-murid Hoa-San-Pai yang tertawan itu. Andaikata dia tak berhasil, percayalah, saya akan mengerahkan teman-teman untuk pergi menolong mereka. Sekarang sudah jelas bahwa murid Kun-Lun-Pai telah menjadi pemimpin pejuang, yaitu mendiang Kwee-Enghiong. Dan sekarang Hoa-San-Pai telah dimusuhi penjajah, maka tidak ada jalan lain kecuali melanjutkan cita-cita Kwee-Enghiong. Alangkah baiknya kalau mulai sekarang Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai membantu perjuangan rakyat."

   Mendengar ucapan pemimpin gerilya Pek-Lian-Pai yang gagah bersemangat ini, Lian Bu Tojin dan Pek Gan Siansu saling pandang. Lian Bu Tojin menarik napas panjang dan berkata.

   "Sebetulnya, semenjak rakyat memberontak terhadap penindasan Pemerintah penjajah, kami semua anggauta Hoa-San-Pai sudah merasa simpati dan bahkan Pinto sendiri sudah memberi perintah kepada para anak murid supaya membantu perjuangan. Siapa kira Pinto kena diakali oleh Pangeran Souw Kian Bi yang secara pengecut dahulu telah menculik dua orang cucu muridku. Akan tetapi, dengan adanya penyerbuan hari ini, jelas bahwa mereka memusuhi-kami dan kami sekarang akan mengerahkan semua tenaga untuk membantu perjuangan mengusir penjajah-penjajah Mongol dari tanah air."

   "Bagus, Lian Bu Toyu!"

   Seru Pek Gan Siansu girang.

   "Aku sendiri harus menebus kesalahan dan kebodohanku karena tidak dapat mengenal Kwee Sin, mulai sekarang Kun-Lun-Pai juga akan menggabungkan diri dengan para pejuang. Bukan main girangnya hati Tan Hok mendengar ini. Segera dia menjura dengan hormat lalu menceritakan keadaan perjuangan, sampai di mana kemajuan gerakan barisan rakyat dan bagian mana yang kiranya membutuhkan bantuan dari dua Partai persilatan itu.

   Dengan melakukan perjalanan cepat dan tak mengenal lelah Beng San mengejar barisan Pemerintah yang telah menawan Kwa Hong, Thio Ki dan Kui Lok. Akan tetapi biarpun dia sudah berhasil menyusul barisan yang sisanya tinggal beberapa puluh orang saja itu, dia tidak melihat adanya tiga orang muda murid Hoa-San-Pai yang tertawan.

   Ia menjadi heran dan juga curiga di samping merasa gelisah sekali kalau mengingat akan nasib mereka, apalagi kalau dia memikirkan Kwa Hong. Malam hari itu dia terus berlari cepat, akan tetapi belum juga dia dapat menyusul mereka yang membawa tawanan-tawanan itu. la menduga bahwa tentu Hek-Hwa Kui-Bo dan muridnya yang melarikan tawanan-tawanan itu, maka dapat demikian cepat larinya. Untuk melenyapkan keraguannya, dia menangkap seorang serdadu yang sedang berjalan bertiga dengan temannya sambil menggotong seorang teman yahg luka. Serdadu-serdadu itu terheran-heran dan ketakutan ketika dalam keadaan gelap itu berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu seorang telah lenyap tak berbekas dan tak meninggalkan suara apa-apa!

   "Am... ampunkan hamba..."

   Serdadu itu meratap-ratap ketika dia merasa betapa tubuhnya dibawa melompat tinggi dan diletak akan di atas ranting-ranting pohon yang tingginya bukan main dan bergoyang-goyang hampir tak kuat menahan tubuhnya. la mengira bahwa tentu dia diculik oleh iblis karena semenjak tadi penculiknya tidak bicara, juga tidak kelihatan mukanya karena selain gelap, juga dia sudah tidak mampu menggerakkan kepala untuk menengok dan melihat wajah orang yang mengempitnya.

   "Hemmm, kau masih ingin hidup? Kau sudah membantu orang-orang berdosa, menculik tiga orang muda dari Hoa-San-Pai, sekarang kau hendak kutinggalkan di sini biar jatuh dan mampus! Ha-ha-ha!"

   Beng San mengerahkan Lweekangnya membuat suaranya terdengar besar menyeramkan dan menusuk telinga.

   "Ampunkan hamba... hamba hanyalah tentara biasa, hanya mentaati perintah."

   "Hayo katakan, siapa yang membawa pergi tiga orang muda itu? Cepat mengaku, kalau tidak akan kucabut nyawamu sedikit demi sedikit!"

   Orang itu makin percaya bahwa yang mengganggunya ini tentu iblis, karena sekarang suara itu terdengar tinggi melengking, jauh bedanya dari tadi, dan terdengar suara tidak kelihatan orangnya pula.

   "Mereka... mereka dibawa oleh Giam Kongcu dan rombongannya..."

   "Ke mana?"

   Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ke markas besar di Tiang-Bun-Kwi...,?.

   "Di mana letaknya Tiang-Bun-Kwi?"

   Saking takutnya serdadu itu sampai tidak dapat memikirkan bahwa kalau yang bertanya iblis kiranya akan tahu pula ke mana tawanan-tawanan itu dibawa pergi. Akan tetapi dia sudah terlampau takut sehingga tak dapat mempergunakan pikiran sehat pula.

   "Di sebelah Barat Kota Raja..."

   La menahan jeritnya karena merasa tubuhnya terjatuh ke bawah. la tidak tahu bahwa Beng San menariknya dan membawanya turun. Tahu-tahu dia pada keesokan harinya siuman dari pingsannya dan berada di bawah sebatang pohon besar lagi tinggi.

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini