Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 7


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Aku bernama... Kim Li, she (nama keluarga) Cou. Kwee-Taihiap, karena aku sudah terlanjur mengaku suami isteri, untuk melenyapkan kecurigaan orang, kuharap kau jangan menyebut Lihiap... sebut saja namaku, dan... dan kalau boleh aku lebih suka menyebutmu Kwee-Koko (Kakanda Kwee)..."

   Berdebar jantung Kwee Sin, akan tetapi pada saat itu juga lehernya terasa nyeri bukan main sampai kepalanya berdenyut-denyut. la meramkan matanya dan mengeluh perlahan. Wanita itu yang bukan lain adalah Kim-Thouw Thian-Li atau Ngo-Lian-Kauwcu Ketua Ngo-Lian-Pai, segera menghampiri. Dengan mesra dan halus ia menaruh telapak tangannya diatas kening Kwee Sin dan berkata merdu.

   "Kau mulai terserang demam, Kwee-Koko. Akan tetapi tidak apa, kau tidurlah, biarlah kumasakkan obat untukmu."

   Dengan amat teliti wanita ini merawat Kwee Sin. Sikapnya penuh kasih dan mesra, selama dua hari dua malam tak pernah meninggalkan kamar itu, tak pernah tidur. Biarpun sedang menderita demam, Kwee Sin masih ingat akan semua ini dan diam-diam dia merasa amat terharu dan berterima kasih. Belum pernah selama hidupnya dia mempunyai seorang yang begini baik terhadap dirinya, bahkan tunangannya sendiri, nona Liem Sian Hwa, belum pernah bersikap sedemikian manis dan penuh kasih. Kwee Sin adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam menghadapi godaan wanita. la belum mampu membedakan antara kasih sayang yang murni dengan kasih sayang seperti yang dikandung dalam hati seorang wanita seperti Kim-Thouw Thian-Li.

   Tak dapat disangkal bahwa biarpun masih muda, Kwee Sin sudah banyak sekali pengalamannya dalam dunia kangouw, namun tentang cinta kasih, dia benar-benar masih hijau dan hatinya masih bersih sehingga dia menganggap sikap wanita itu sebagai cinta yang benar-benar murni. Betapapun juga, Kim-Thouw Thian-Li benar-benar jatuh hati kepada pemuda jago Kun-Lun-Pai ini. Melihat sikap Kwee Sin yang bersih dan jujur, yang selalu sopan dan tidak sekali-kali mau melanggar kesusilaan, wanita ini merasa malu dan takut sendiri untuk bersikap terlalu genit. Namun dengan kepandaiannya membujuk rayu, ia berhasil juga mendatangkan rasa haru dalam hati Kwee Sin dan mulailah dalam hati pemuda ini timbul penyesalan mengapa dia tidak diikatkan jodoh dengan seorang gadis seperti Coa Kim Li ini! Pada hari ke tiga, Kwee Sin sudah sembuh kembali. la lalu menghaturkan terima kasih kepada Coa Kim Li atau yang sesungguhnya berjuluk Kim-Thouw Thian-Li itu.

   "Adik Kim Li,"

   Katarwa terharu.

   "Aku merasa berhutang budi kepadamu. Kalau aku Kwee Sin tak mampu membalas budimu, biarlah Thian yang akan membalasnya. Sekarang kita harus berpisah, aku akan rnelanjutkan perjalananku dan aku tidak berani mengganggu kau lagi."

   Kim-Thouw Thian-Li tersenyum manis, akan tetapi sinar matanya memperlihatkan kedukaan hatinya,

   "Kwee-Koko, mengapa kita harus berpisah? Apakah salahnya kalau kita melakukan perjalanan bersama? Koko, aku... entah mengapa, selama hidupku belum pernah aku mempunyai seorang... sahabat seperti kau. Aku... agaknya akan sukar sekali bagiku untuk berpisah dari sampingmu."

   Kwee Sin makin terharu, apalagi ketika dia melihat dua butir air mata jernih turun dari sepasang mata yang indah itu. Dipegangnya kedua tangan Kim Li dan suaranya menggetar,

   "Kim Li, percayalah, aku pun mempunyai perasaan seperti yang kau rasai itu. Kau satu-satunya wanita yang selama hidupku amat baik kepadaku. Akan tetapi... kurasa tidak sepatutnya kalau kau seorang gadis gagah perkasa melakukan perjalanan bersama seorang laki-laki. Akan tercemar nama baikmu. Ke dua..."

   "Kwee-Koko, peduli apa sama anggapan umum? Kita orang-orang gagah tidak perlu mendengarkan gonggongan anjing-anjing di tepi jalan!"

   Kwee Sin tersenyum pahit.

   "Betul kata-katamu, akan tetapi mau tidak mau kita harus menghindarkan dugaan yang bukan-bukan. Selain itu, yang ke dua... aku harus berterus terang kepadamu. Kim Li moi-moi, aku... aku sebenarnya sudah... sudah bertunangan..."

   Aneh, sama sekali wanita itu, tidak nampak kaget atau pun kecewa. Memang, bagi seorang seperti Kim-Thouw Thian-Li, laki-laki yang disukainya tetap laki-laki, tak peduli dia itu belum bertunangan maupun sudah beristeri atau sudah menjadi Ayah. Akan tetapi dengan kepandaiannya, ia bisa membuat kedua pipinya menjadi kemerahan.

   "Siapa... siapa dia itu, Koko? Tentu gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa?"

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   "Tentang kecantikannya, aku tak dapat bilang ia amat cantik, setidaknya... eh, tidak secantik engkau. Tentang kepandaiannya, tentu saja ia lihai karena dia itu adalah orang termuda dari Hoa-San Sie-Eng."

   "Ahhh, dia Kim-Eng-Cu Liem Sian Hwa...?"

   "Kau sudah mengenalnya, Kim Li"

   "Siapa yang tidak tahu bahwa orang termuda dari Hoa-San Sie-Eng adalah Kiam-Eng-Cu?"

   Bibir yang merah itu berjebi.

   "Hemmm, kukira bidadari dan kahyangan yang sakti!"

   Merah muka Kwee Sin. la teringat bahwa Kim Li memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, mungkin tidak kalah oleh Liem Sian Hwa dan yang sudah jelas tidak kalah olehnya sendiri. Buktinya, Thio Sian yang lihai itu juga roboh oleh wanita ini. Menurut pengakuan Kim Li, Thio Sian dapat dibunuhnya di dalam hutan itu dan ditinggalkan begitu saja.

   "Dia memang gadis sederhana saja..."

   Akhirnya dia berkata untuk mengusir rasa jengahnya.

   "Jadi kau sekarang hendak pergi kesana? Di mana sih rumah tunanganmu itu, Koko?"

   "Di Lam-Bi-Chung. Terpaksa aku harus singgah di sana memenuhi pesan Suhu, setelah singgah sebentar aku akan kembali ke Kun-Lun."

   "Bagus! Tujuan perjalananku juga melalui Lam-Bi-Chung. Kita bisa melakukan perjalanan bersama, Koko? Dekat sana ada Telaga Pok-Yang, amat indah apa-lagi pada awal musim Chun (Semi) seperti sekarang ini. Kwee-Koko, kalau begitu, marilah kita berangkat. Aku tak akan mengganggumu, jika kau singgah di Lam-bi Chung, aku akan menjauhkan diri!"

   Sikap yang amat gembira dari Kim Li ini rnembuat Kwee Sin tak dapat menolak lagi. Apalagi kalau diingat bahwa dia memang akan senang sekali melakukan perjalanan bersama gadis ini. Kalau tadi dia mengajukan keberatan, itu hanya karena dia hendak menjaga nama baik gadis itu, maka sekarang mendengar bahwa gadis itu pun hendak melakukan perjalanan sejurusan dengannya, dia menjadi girang bukan main.

   "Li-moi, kau sebetulnya hendak pergi ke manakah?"

   Tanyanya serius. Akan tetapi gadis itu hanya tertawa saja, tertawa manis sambil menampar lengan Kwee Sin.

   "Banyak tanya mau apa sih? Lebih baik lekas berkemas dan segera berangkat!."

   Kwee Sin tertawa senang melihat gadis itu berlari-lari ke belakang untuk mencari pelayan dan memberi tahu bahwa mereka hendak pergi meninggalkan losmen. Dan memang benar dugaan Kwee Sin. Perjalanan yang dia lakukan bersama Coa Kim Li benar-benar amat menggembirakan hatinya. Alangkah jauh bedanya dengan perjalanan yang dia lakukan seorang diri sebelum dia bertemu dengan gadis ini. Sebelum mereka meninggalkan dusun itu, lebih dulu Kwee Sin singgah di Sin-Yang, ke rumah Bun Si Teng dan Bun Si Liong. Kim Li tidak mau turut dan menanti di luar kampung.

   Hal ini malah dianggap kebetulan oleh Kwee Sin, karena dia sendiri juga merasa sungkan dan malu terhadap kedua Suhengnya kalau mereka ini tahu bahwa dia hendak melanjutkan perjalanan bersama seorang gadis cantik. Bun Si Teng dan Bun Sin Liong yang sudah sembuh, merasa girang dan lega melihat munculnya Kwee Sin. Tadinya dua orang Suheng ini merasa amat khawatir karena beberapa hari Sute ini tidak muncul. Bun Si Teng malah sudah menyusul ke dalam hutan dan dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika di tengah hutan itu dia mendapatkan mayat Thio Sian ditangisi oleh seorang anak perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahun! Selagi dia terlongong dan heran karena tidak melihat Sutenya di dekat tempat itu, terdengar suara keras, disusul berkelebatnya bayangan tinggi besar dan di lain saat mayat itu bersama gadis cilik telah lenyap dari situ.

   Bun Sin Teng kaget dan lari mengejar ke arah berkelebatnya bayangan, akan tetapi dia hanya melihat dari jauh seorang Hwesio tinggi besar memondong gadis kecil itu sambil mengempit mayat Thio Sian, berjalan dengan langkah lebar akan tetap cepat seperti terbang! Melihat tangan kiri Hwesio itu memanggul sebatang dayung, Bu Si Teng menjadi pucat karena. dia pernah rnendengar tentang seorang, sakti yang menjadi orang nomor satu di dunia Timur, yaitu Tai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang. Apa betul pertapa yang puluhan tahun tak pernah turun gunung itu sekarang tiba-tiba muncul di situ? Setelah mendengar cerita Kwee Sin yang telah berhasil merobohkan Thio Sian dengan pertolongan seorang nona Pendekar yang bernama Coa Kim Li, dua orang saudara Bun itu menarik napas lega.

   "Sungguh sayang sekali bahwa kita dihadapkan kenyataan yang amat pahit dan mengecewakan. Pek-Lian-Pai yang tadinya kita anggap sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang berjiwa Patriotik, ternyata sekarang hanyalah merupakan perkumpulan orang-orang jahat belaka. Sute, kau harus memberi laporan yang jelas kepada Suhu, agar orang tua itu tenang hatinya dan tidak akan menyalahkan kita kalau kita tidak membantu Pek lian-pai,"

   Kata Bun Si Teng kepada Sutenya. Setelah menyatakan bahwa dia hendak lekas-lekas kembali Kun-Lun-Pai dan singgah di Lam-Bi-Chung seperti yang dipesankan Suhunya, Kwee Sin meninggalkan dusun Sin-Yang, berjalan cepat sekali keluar kampung untuk menjumpai sahabat barunya, nona Coa Kim Li. Akan tetapi dia menjadi kaget dan kecewa, juga gelisah karena tidak melihat nona itu yang tadi duduk menantinya di bawah sebatang pohon.

   "Aduh, celaka Ke mana dia Jangan-jangan aku ditinggalkan. Jangan-jangan dia kesal karena aku tadi terlalu lama di rumah Suheng..."

   La duduk di bawah pohon itu dengan kening berkerut. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari belakang pohon. Kwee Sin cepat melompat dan menengok, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar.

   "Kim Li...!"

   Saking girangnya melihat nona itu ternyata tidak pergi meninggalkannya, Kwee Sin memegang kedua lengannya dan hampir saja dia merangkulnya. Kim Li tersenyum dan matanya bersinar-sinar.

   "Kwee-Koko, kenapa kau tadi bermuram di bawah pohon?"

   Kim Li menggoda.

   "Kukira kau telah pergi meninggalkan aku."

   "Eh, jadi kau sedih kalau kutinggalkan?"

   "Sedih...? Tentu saja... eh, aku... aku..."

   Kwee Sin baru merasa bahwa tanpa disadarinya dia telah kena umpan, dipancing keluar perasaan hatinya. Kim Li tertawa, menarik lengan Kwee Sin sambil berkata,

   "Sudahlah, hayo kita melanjutkan perjalanan."

   Kwee Sin tersenyum-senyum, membiarkan saja tangannya digandeng sehingga mereka berdua sambil berjalan bergandengan tangan, seperti sepasang kekasih. Tanpa dia sadari, Kwee Sin sudah mulai roboh, masuk dalam perangkap yang dipasang gadis cantik itu. Terlalu pandai Kim-Thouw Thian-Li memikat dengan wajahnya yang cantik ataukah terlalu hijau Kwee Sin dalam menghadapi kelihaian siasat wanita cantik?

   Dengan melalui perjalanan yang penuh kegembiraan bagi Kwee Sin, kegembiraan hidup yang baru kali ini dia rasakan, akhirnya mereka tiba di Telaga Pok-Yang dan mereka berdua, seperti sepasang pengantin baru, berpesiar naik perahu di Telaga ini. Sering kali Kwee Sin terheran-heran melihat bahwa gadis ini ternyata mempunyai pengaruh besar di mana-mana. Ketika hendak memasuki daerah Telaga, tampak serombongan tentara yang mencegat para pelancong, lalu memeriksa dengan teliti. Memang daerah ini terkenal sebagai daerah para tokoh pemberontak, maka Pemerintah Mongol mengadakan penjagaan yang teliti. Akan tetapi ketika mereka ini melihat Coa Kim Li, mereka memberi hormat dan tidak mengganggu gadis itu bersama Kwee Sin. Dalam keheranannya Kwee Sin bertanya apa sebabnya gadis ini seakan-akan memiliki kekuasaan, akan tetapi Kim Li hanya tersenyum dan berkata,

   "Cacing-cacing tanah macam mereka masih dapat mengenal orang baik-baik, itu masih untung. Andaikata mereka berani mengganggu kita berdua, apakah mereka akan dapat hidup terus dengan kepala menempel di leher?"

   Karena pandainya Kim Li menjawab dan menyimpan pertanyaan, pandainya ia merayu, Kwee Sin tidak mendesak terlebih jauh. Mereka berpesiar sampai puas di Telaga Pok-Yang yang amat indah itu. Sama sekali Kwee Sin tidak tahu bahwa gerak-geriknya di Telaga ini diketahui oleh calon mertuanya, Liem Ta Ayah Liem Sian Hwa! Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, Liem Ta pulang sambil marah-marah dan menyatakan di depan puterinya bahwa pertunangan dengan Kwee Sin diputuskan! Ketika Kwee Sin menyatakan keinginannya kepada Kim Li untuk menengok ke dusun Lam-Bi-Chung, ke rumah calon isterinya, Kim Li terSenyum pahit dan berkata

   "Guru adalah setingkat dengan Ayah, kata-katanya harus ditaati. Kau hendak mentaati pesan Gurumu, pergilah kau singgah ke rumah keluarga Liem. Akan tetapi aku tidak bisa ikut pergi ke sana. Selamat berpisah, Kwee-Koko. Harap kau tidak melupakan Coa Kim Li!"

   Setelah berkata demikian, sekali meloncat gadis itu lenyap dari depan Kwee Sin.

   Pemuda ini menyesal sekali dan hendak mengejar, akan tetapi dia maklum bahwa tak mungkin dia mengejar Coa Kim Li yang berkepandaian lebih tinggi dari padanya. Dengan kecewa, kehilangan kegembiraan dan malas-malasan dia lalu pergi seorang diri ke Lam-Bi-Chung. Karena masih mengharapkan untuk dapat melihat Kim Li kembali ke Pok-Yang, dia tidak meninggalkan Telaga itu sebelum menanti sampai tiga hari. Barulah dia pergi ke Lam-Bi-Chung setelah pada hari ke empat dia masih belum melihat kembali Kim Li. Dengan hati berat dia berjalan ke dusun Lam-Bi-Chung untuk menengok rumah Liem Sian Hwa. Akan tetapi, apa yang dia dapatkan di rumah itu? Rumah yang tertutup dan tidak ada penghuninya. Masih ada tanda-tanda berkabung di depan pintu rumah kosong itu.

   Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia mendapat keterangan dari para tetangga bahwa calon mertuanya, Liem Ta, telah didatangi penjahat dan terbunuh ketika Liem Sian Hwa sedang pergi! Sudah dituturkan di bagian depan bahwa Liem Sian Hwa menyusui ke Pok-Yang untuk membuktikan dengan mata kepala sendiri penuturan Ayahnya tentang Kwee Sin dan seorang wanita. Sayang bahwa ia tidak bertemu dengan dua orang itu dan ketika ia pulang, Ayahnya sudah terluka dan tewas. Kita kembali kepada Kwee Sin yang menjadi kaget dan berduka sekali. Ia mendapat keterangan lagi bahwa Liem Sian Hwa setelah kematian Ayahnya lalu pergi bersama seorang laki-laki gagah perkasa yang disebut Suhengnya. Kwee Sin dapat menduga bahwa Liem Sian Hwa tentulah pergi bersama seorang di antara tiga orang Suhengnya, yakni orang-orang dari Hoa-San Sie-Eng.

   "Betapapun juga, aku harus mencarinya,"

   Pikjr Kwee Sin.

   "Kasihan sekali Sian Hwa, aku harus menyatakan penyesalanku dan menghiburnya."

   Dalam berpikir demikian ini dia membayangkan wajah Sian Hwa.

   Akan tetapi heran sekali wajah gadis itu berangsur-angsur berubah menjadi wajah Kim Li yang tersenyum-senyum dan membujuk rayu! Cepat dia mengerahkan tenaga mengusir wajah Kim Li dan pipinya menjadi kemerahan. Ah, kalau saja tidak berlambat-lambat dengan Kim Li dalam perjalanan, kalau aku dapat datang di Lam-Bi-Chung beberapa pekan lebih dulu, kiranya aku akan dapat mencegah terjadinya pembunuhan atas diri calon mertuaku! Makin berat rasa hati Kwee Sin ketika dia melanjutkan perjalanan meninggalkan Lam-Bi-Chung. Tadinya dia sudah merasa kecewa dan murung karena Kim Li meninggalkannya secara demikian saja tanpa memberi tahu di mana dan kapan dia dapat bertemu kembali dengan gadis itu. Sekarang di tambah lagi dengan peristiwa menyedihkan yang menimpa keluarga calon isterinya, hati Kwee Sin menjadi sedih dan dia lalu mengambil keputusan untuk kembali saja ke Kun-Lun-San.

   Pada suatu senja dia tiba di luar Kota Leng-Ki. Di jalan itu sunyi sekali tidak tampak seorang pun manusia. Kwee Sin berjalan dengan kepala tunduk. Dalam beberapa hari ini wajahnya nampak kurus dan agak pucat. Tiba-tiba dia mendengar benda menyambar ke arahnya. Sebagai seorang jago muda yang berkepandaian tinggi, keadaan tubuh pemuda ini selalu dalam keadaan siap siaga. Cepat dia miringkan tubuh dan tangannya otomatis menangkis, menyampok sambaran benda itu. Sebelum melihat ke arah benda yang dapat dia pukul jatuh, dia trengginas melompat ke arah dari mana benda tadi menyambar, matanya tajam mencari-cari. Akan tetapi tidak terlihat seorangpun manusia di sekitar tempat itu yang sudah mulai gelap itu.

   Kini perhatiannya ditujukan ke arah benda yang menyambarnya tadi. Benda itu segumpal kertas. Ketika dia memungutnya, ternyata kertas yang digumpal-gumpal itu berisi tulisan singkat, tulisan tangan yang halus berbunyi: PERGILAH KE LOSMEN KECIL MALAM INI. Tidak ada tanda-tanda yang dapat, dia kenal pada kertas itu, entah siapa yang menulisnya. Akan tetapi ketika hidungnya mencium bau harum pada kertas itu, hatinya berdebar penuh harapan. Harum kertas itu mengingatkan dia akan diri Coa Kim Li! Pergi ke losmen kecil? Losmen manakah? Kwee Sin memandang ke depan. Di depan itu terdapat sebuah Kota kecil, tentu di situlah yang dimaksudkan adanya losmen kecil. Mengapa ke situ? Menemui siapa? Timbul harapannya. Tentu Coa Kim Li berada di losmen itu. Akan tetapi kenapa meninggalkan pesan supaya dia malam ini pergi ke sana?

   Kalau gadis itu betul-betul berada di sini, kenapa tidak langsung menemuinya? Akan tetapi, jawaban semua pertanyaan ini yang rnerupakan kenyataan apa yang dia dapatkan di losmen kecil dalam Kota Leng-Ki, benar-benar di luar dari-pada dugaanya semula. la mendengar bahwa tunangannya, Liem Sian Hwa, bersama Kwa Tin Siong orang tertua dari Hoa-San Sie-Eng berada di losmen itu! Timbul juga kegembiraannya untuk menjumpai tunangannya dan Pendekar Hoa-San-Pai ini, akan tetapi diam-diam dia menaruh hati curiga. Apa maksudnya surat yang dia terima secara aneh di tengah jalan tadi? Siapakah si pengirim surat itu? Apakah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa? Kalau memang mereka ini, tidak aneh karena dia maklum bahwa jago-jago Hoa-San-Pai memiliki kepandaian tinggi Akan tetapi apa maksudnya?

   Dengan cara yang penuh rahasia itu tentu mereka bermaksud supaya dia mengunjungi mereka secara diam-diam dan rahasia pula. Oleh karena pikiran ini, Kwee Sin menanti sampai datangnya malam yang sunyi dan secara rahasia dia mendatangi losmen, langsung mencari jalan melalui taman Bunganya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget, heran, marah dan malunya ketika dia menyaksikan adegan yang membuat darahnya mendidih. la melihat Liem Sian Hwa terisak-isak berada dalam pelukan Kwa Tin Siong. Api cemburu membakar jantung Kwee Sin. Tanpa berpikir panjang lagi dia lalu mengeluarkan sisir perak yang menjadi tanda pengikat perjodohannya dengan Liem Sian Hwa, dilemparkannya sisir perak itu ke arah dua orang yang sedang berpelukan di taman. Kemudian dia meloncat dan pergi menghilang di dalam gelap.

   Dengan hati makin berat dan penuh kedukaan, penuh kekecewaan, Kwee Sin pada saat itu juga meninggalkan Kota Leng-Ki, melanjutkan perjalanannya menuju ke Kun-Lun-San. la tidak beristirahat malam itu, semalam penuh dia terus saja berjalan, hatinya penuh penyesalan. Selagi dia berjalan sambil melamun di atas jalan raya yang sunyi, di waktu malam mulai berganti fajar, dia mendengar suara kaki banyak kuda berlari cepat dari arah belakang. la cepat minggir dan berdiri memandang. Tujuh ekor kuda dengan para penunggangnya berlari cepat dan sebentar saja sudah melewatinya. Mereka ini adalah orang-orang yang kelihatan gagah, yang tiga orang berbaju putih. Seorang yang melarikan kuda paling depan adalah seorang wanita cantik dan gagah. Hanya sekejap saja mereka melewati jalan itu, namun di dalam cuaca yang remang-remang itu Kwee Sin masih dapat mengenal wanita tadi.

   "Kim Li...!"

   Teriaknya. Akan tetapi teriakannya tertelan oleh derap kaki kuda. Betapapun juga dia masih sempat melihat wanita itu menoleh dan tersenyum ke arahnya, lalu makin membalapkan kudanya tanpa mernberi isyarat sesuatu. Kwee Sin penasaran. Tidak bisa salah lagi, wanita itu tentulah Kim Li. Tidak saja dia mengenal wajah yang cantik itu, mata yang tajam bersinar, akan tetapi ia pun mengenal baik-baik senyum manis Kim Li, senyum yang selama ini menjatuhkan hatinya. la melupakan kelelahan dan kesedihannya, rnempercepat larinya mengejar ke arah para penunggang kuda yang makin lama makin jauh itu.

   Seperti telah dituturkan di bagian depan Kwee Sin akhirnya memasuki dusun Kui-Lin di tepi Sungai Yang-Ce, dan dia sempat mencegah Coa Kim Li atau Kim-Thouw Thian-Li yang hendak membunuh Tan Hok. Demikianlah keadaan Kwee Sin, jago termuda dari Kun-Lun Sam-Hengte, dan bagaimana dia sampai dapat berkenalan dengan Kim-Thouw Thian-Li yang dia kenal sebagai gadis Coa Kim Li yang gagah perkasa, cantik jelita, dan menarik hatinya. Kita kembali ke warung arak Phang Kwi di mana Kwee Sin bertemu kembali dengan Kim Li. Setelah mencegah Kim Li membunuh Tan Hok, Kwee Si seperti seekor kerbau menurut saja dituntun oleh Kim Li duduk menghadapi meja dan menerima hidangan dari Phang Kwi yang nampaknya takut sekali terhadap Kim Li.

   "Minumlah, Koko, minumlah arak ini dan bergembiralah. Setelah aku berada di sampingmu, tak perlu kau bermuram durja lagi. Wanita tidak setia seperti dia itu lebih baik kau lupakan saja."

   Kim Li membujuk sambil mengisi penuh cawan arak di depan Kwee Sin, lalu mengangkat cawan itu diberikannya kepada Kwee Sin. Sikapnya amat menarik, matanya memandang penuh kasih dan mulutnya tersenyum-senyum manis. Kwee Sin melengak.

   "Kau Sudah tahu...?"

   Kim Li mengangguk dan baru ia melihat bahwa gadis itu sekarang membawa golok tipis kecil yang terselip di punggungnya, selendang merah yang harum indah itu tergantung di ikat pinggang. Bajunya berkembang Sutera mahal yang indah dan mencetak tubuhnya. Rambutnya yang panjang hitam digelung rapi, dihias setangkai Bunga teratai yang amat aneh warnanya, karena ada merahnya, ada putihnya, ada biru, kuning dan kehijauan, terbuat dari mutiara-mutiara, pilihan. Cantik jelita nampaknya dengan pipinya yang merah.

   "Kalau begitu... kau pula agaknya yang mengirim surat kepadaku...?"

   Kembali Kim Li mengangguk.

   "Melihat wanita pilihan Gurumu itu tidak patut menjadi pendampingmu selama hidup, aku tidak tega mendiamkan begitu saja. Kau perlu mengetahui dengan mata kepala sendiri."

   "Kenapa kau berlaku secara rahasia, tidak langsung menjumpai aku?."

   Kim Li memegang lengan Kwee Sin dengan sentuhan mesra.

   "Aku khawatir kalau aku muncul, kau mengira aku cemburu."

   Kwee Sin menarik napas panjang dan Kim Li kembali membujuk,

   "Sudahlah, Koko, lupakan saja dia. Setelah kita berkumpul lagi, mengapa susah-susah? Mari minum!"

   Karena hiburan dan sikap manis dari gadis ini, Kwee Sin terhibur juga dan tak lama kemudian dua orang itu sudah minum sepuas-puasnya sambil bertukar pandang penuh cinta kasih, malah Kwee Sin sudah bangkit kembali kegembiraannya, mau melayani sendau gurau wanita itu. Baik Kwee Sin maupun Kim Li sama sekali tidak pernah mengira bahwa semua perbuatan mereka semenjak tadi telah diintai orang.

   Tan Hok setelah mendapat pertolongan dari Kwee Sin, biarpun kelihatannya tadi sudah pergi, akan tetapi diam-diam dia merayap datang kembali secara diam-diam. la amat sakit hati terhadap Kim-Thouw Thian-Li yang telah membunuh Tan Sam, akan tetapi ia juga amat berterima kasih kepada Kwee Sin yang telah menolongnya. Alangkah kecewa, marah, dan menyesalnya ketika dia melihat betapa Kwee Sin yang sekarang dia tahu dari namanya ternyata seorang jago muda gagah perkasa dari Kun-Lun-Pai itu, jatuh hati kepada Kim-Thouw Thian-Li. Pemandangan yang dia lihat di dalam warung arak itu membuat hatinya jemu dan kesedihannya timbul. la tadinya hendak mengharap bantuan dari Kwee Sin, kiranya pemuda Kun-Lun-Pai itu sudah bertekuk lutut di bawah kaki Kim-Thouw Thian-Li, tak kuasa menentang kecantikan wanita berbahaya itu!

   Dengan hati sedih Tan Hok malam-malam pergi dari tempat itu. Matanya yang biasanya sayu itu kini menjadi basah air mata. Semenjak kecil Tan Hok tidak pernah mengenal orang tuanya, hidup sebatangkara. Setelah Tan Sam memungutnya, barulah dia mengenal sedikit kesenangan hidup. Sekarang Tan Sam tewas dan dia tidak berdaya membalas dendam. Tan Hok biarpun menjadi murid dan kawan Tan Sam yang menjadi tokoh Pek-Lian-Pai dan luas pengalamannya, namun pemuda ini memang pada dasarnya bodoh dan jujur, malah hatinya penuh oleh kedukaan yang dideritanya semenjak kecil. Bagaikan sebuah layangan putus talinya, tanpa pegangan tanpa tujuan, Tan Hok berjalan ke mana saja kakinya bergerak. Kadang-kadang dia menangis tanpa suara, kadang-kadang dia menangis menggerung-gerung seperti anak kecil.

   Kehidupan rakyat jelata pada masa itu di Tiongkok amat sengsara. Keadaan Pemerintahan kacau-balau, para pembesar hanya mementingkan isi sakunya sendiri tanpa mempedulikan keadaan rakyat sama sekali. Pembesar-pembesar saling memperebutkan kekuasaan dan kedudukan dalam kehausan rnereka akan pangkat dan kemuliaan duniawi. Pemerintah penjajah kurang memperhatikan keadaan rakyat. Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya raya mempergunakan harta kekayaannya untuk menghisap yang miskin, yang berkuasa mempergunakan kedudukannya untuk mencekik si kecil. Rakyat yang terkekang oleh belenggu penjajahan Bangsa Mongol mulai berteriak dan melakukan perlawanan. Di mana-mana timbul pemberontakan dan rakyat kecil pulalah yang menderita. Semua ini ditambah lagi dengan datangnya musim kering yang amat hebat sehingga kelaparan merajalela. Di sebelah Utara Propinsi Shen-Si rakyat amat menderita oleh musim kering.

   Sawah-sawah kering merekah, pecah-pecah tak mungkin dapat ditanami. Sungai-sungai kecil kehilangan sumbernya, Telaga-Telaga kelihatan dasarnya, pohon-pohon kehilangan daunnya. Manusia dan binatang kurus-kurus kekurangan makanan, setiap hari banyak orang dan binatang mati kelaparan. Rakyat menjerit, ratap tangisnya membubung ke angkasa, bersambat kepada Tuhan. Setiap hari orang bersembahyang, minta hujan minta perlindungan, minta-minta dengan ratap tangis yang tak berdaya. Di lain tempat, pun di kota-kota besar, para pembesar dan Hartawan berpesta pora, berlumba menghamburkan arak dan gandum, berlebih-lebihan sampai membusuk gandum mereka di gudang, bersenang-senang, seujung-rambut pun tak pernah teringat kepada Tuhan! Sayang, Tuhan hanya dijadikan tempat pelarian bagi mereka yang menderita.

   Sayang, Tuhan hanya diingat oleh manusia setelah mereka itu membutuhkan pertolongan daripada kesengsaraan duniawi. Lebih patut disayangkan pula, di dalam keadaan menderita, orang mengeluh mengapa Tuhan meninggalkannya, lupa sama sekali bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan manusia, sebaliknya manusia jualah yang meninggalkan Tuhan sampai jauh, sampai tersesat dan akhirnya mereka kehilangan Tuhan. Bagaikan seorang yang menyia-nyiakan obor dan membuang-buangnya di waktu hari masih terang, lalu kebingungan meraba-raba, mencari-cari obor di kala malam gelap tiba. Penduduk daerah kering ini banyak yang sudah meninggalkan kampung halamanan, berbondong-bondong mengungsi ke Selatan di mana daerahnya lebih mendingan apabila dibandingkan dengan daerah Utara. Akan tetapi sungguh patut dikasihani para petani miskin ini.

   Di daerah baru mereka dianggap sebagai pengganggu, dan baru mereka itu bisa mendapatkan sekedar pengisi perut setelah tenaga mereka diperas melebihi tenaga kuda. Dusun-dusun di Utara ini banyak yang kosong ditinggalkan penduduknya sehingga merupakan daerah mati. Pada suatu pagi, seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa memasuki sebuah dusun yang cukup besar la merasa heran sekali melihat dusun ini sunyi senyap, banyak rumah-rumah kosong ditinggalkan penduduknya. Ia sudah merasa lapar sekali, akan tetapi tidak melihat sebuah pun rumah makan. Pemuda ini bukan lain adalah Tan Hok. Dipikirnya bahwa penduduk sepagi itu anaknya sudah pergi ke sawah, maka dia lalu keluar lagi dari dusun itu menuju ke sawah untuk menemui penduduk dan minta diberi makan. Akan tetapi apa yang dia lihat di sawah membuat dia bergidik. Sawah mengering, sunyi senyap.

   Tiba-tiba dia melihat benda-benda yang membuat dia makin bergidik. Benda-benda yang menggeletak di sepanjang jalan dusun itu bukan lain adalah mayat orang orang mati kelaparan, ada yang sudah berbau busuk. Dengan hati cemas ketakutan Tan Hok menjauhkan diri. la segera berlari menuju ke tengah sawah dimana dia mendengar suara orang berteriak-teriak. Ketika sudah dekat, pemuda ini berdiri seperti patung, matanya terbelalak memandarig penglihatan di tengah sawah yang tanahnya mengering itu. Di sana, di tengah sawah, dia melihat seorang Kakek berlutut, menangis dan tertawa-tawa tidak karuan. jelas bahwa orang itu sudah berubah ingatannya. Kakek ini kurus sekali, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya compang-camping, wajahnya seperti tengkorak hidup. Dengan kedua tangannya Kakek ini menggenggam tanah kering dan berteriak-teriak.

   "Thian (Tuhan), kepada siapa aku harus mengeluh? Kepada siapa lagi aku dapat minta tolong kalau Kau sendiri sudah menutup telinga, menutup mata terhadap penderitaanku?"

   La menangis terguguk-guguk, kemudian matanya menjadi beringas dan tiba-tiba dia tertawa-tawa terkekeh-kekeh.

   "Ha-ha-ha-ha,-ha! Ibu tanah... kau yang memberi kehidupan. Kau yang menghasilkan makanan, kau yang mengeluarkan air. Sekarang kau tidak mau memberi air dan makanan, apa salahnya memakan kau? Ha-ha-ha, semua bahan makanan datangnya dari tanah, mustahil tanah tidak mengenyangkan perut?"

   Sambil tertawa-tawa orang itu lalu makan tanah kering yang dia kepal tadi! Sungguh menyayat hati melihat orang ini. Makan tanah kering sambil tertawa dan kadang-kadang menangis tanpa mengeluarkan air mata. Karena mulutnya sudah mengering, dijejali tanah kering yang dimakan secara lahap itu membuat dia tercekik, terengah-engah, megap-megap seperti ikan dilempar ke darat. la memegangi leher, memekik-mekik, berputaran lalu jatuh berkelojotan! Tan Hok cepat lari menghampiri dan... dia melihat Kakek itu sudah putus nyawanya. Kakek itu mati dengan mata melotot lebar dan mulut yang penuh tanah kering itu ternganga menyeringai. Tan Hok merasa ngeri dan menutupi mukanya, tak terasa air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya.

   "Thian Yang Maha Kuasa, mengapa aku yang sudah banyak menderita ini harus menyaksikan ini semua...?"

   La berlutut di dekat mayat Kakek itu dan menangis. Kemudian dia dapat menguasai hatinya, lalu digalinya lubang di sawah itu dan dikuburnya mayat Kakek tadi.

   "Kakek, mudah-mudahan tubuhmu akan menyuburkan tanah ini..."

   Doanya. Kemudian pemuda raksasa ini mengubur pula empat mayat yang menggeletak di tepi jalan. Selagi dia mengubur mayat terakhir, tiba-tiba dia mendengar suara keras dan belasan orang dusun datang berlari-lari ke arahnya. Mereka itu membawa segala macam senjata tajam alat-alat pertanian. Dengan muka mengancam mereka datang menyerbu sambil berteriak-teriak.

   "Siluman pemakan bangkai!"

   "Bikin mampus iblis jahat ini!"

   Belasan batang senjata seperti hujan menghantam ke arah Tan Hok yang menjadi terheran-heran. Akan tetapi sekali, sampok dengan lengannya yang besar dan penuh tenaga itu, semua senjata terpental dan terlempar disusul teriakan-teriakan kaget dan kesakitan. Tan Hok tidak tega menggunakan kekerasan terhadap orang-orang ini yang ternyata adalah orang-orang kurus pucat yang mirip setan-setan kelaparan.

   "Kalian ini setan-setan gila datang-datang menyerangku apa sebabnya?"

   Tan Hok bertanya dengan suaranya yang menggeledek.

   "Kaulah setan pemakan bangkai!"

   Seorang di antara mereka memberanikan diri memaki.

   "Aku tak pernah makan bangkai!"

   Jawab Tan Hok. Orang-orang itu memandang penuh perhatian, ragu-ragu.

   "Habis kau apakan mayat-mayat tadi?"

   "Aku kubur mereka. Kalian lihat, yang ini terakhir."

   La menuding ke arah lubang yang dia gali di mana mayat terakhir telah dia masukkan. Orang-orang itu melongok ke dalam lubang.

   "Apa tubuhnya masih utuh? Apa tidak ada bagian yang dimakannya?"

   Demikianlah mereka bertanya-tanya. Ketika melihat bahwa mayat itu memang masih utuh badannya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, ada yang menangis ada yang minta ampun. Seorang Kakek yang mengepalai mereka berkata.

   "Orang muda yang gagah, harap ampunkan kami sekalian. Kami telah salah sangka..."

   "Kasihan kami orang-orang kelaparan..."

   Kata orang ke dua. Tan Hok menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengomel,

   "Kalian orang-orang gendeng, mengganggu saja!"

   La lalu lanjutkan pekerjaannya, menguruk lubang dengan tanah galian. Orang-orang itu tanpa diperintah membantu. Akan tetapi tubuh mereka yang lemah itu memang tidak kuat untuk dipakai bekerja berat. Kakek yang memimpin rombongan ini berkata,

   "Sudah banyak teman kami mati kelaparan dan sepekan yang lalu ada orang kelaparan gila yang suka makan bangkai saking tak kuat menahan laparnya. Kami kira kau itulah orangnya..."

   Tergerak juga hati Tan Hok mendengar ini, biarpun dia tidak dapat mengerti mengapa orang-orang itu sampai kelaparan dan mengapa ada orang sampai makan bangkai orang dan bahkan tadi dia melihat sendiri ada orang makan tanah.

   "Kalau kalian kelaparan, kenapa tidak makan?"

   Orang-orang itu saling pandang, lalu mereka semua memandang kepada Tan Hok dengan heran. Melihat wajah Tan Hok membayangkan kebodohan, Kakek tua itu menarik napas panjang dan berkata,

   "Orang muda, kau menyuruh kami makan, apakah yang dimakan? Musim kering terlalu hebat, tanah kering, tanaman habis. Yang mempunyai simpanan gandum hanyalah pembesar-pembesar dan orang-orang kaya. Orang-orang seperti kami ini mana ada simpanan? Semua orang terpaksa mengungsi ke Selatan, hanya kami yang tidak punya apa-apa terpaksa tinggal di sini."

   
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jadi ada pembesar dan orang kaya di sini?"

   "Pembesar sih tidak ada, orang-orang kaya juga tidak banyak. Yang paling kaya dan paling kikir adalah Kwi-Wangwe (Hartawan Kwi), tuan tanah terkaya di sini."

   "Kenapa tidak minta makan padanya?"

   "Uuuhhh minta makan? Orang muda, dia itu amat kikir, jangankan dimintai, dipinjami saja tidak mau memberi. Kami malah diusir dan dikeroyok oleh anjing-anjingnya, anjing kaki empat dan kaki dua."

   "Ada anjing kaki dua?"

   Tan Hok benar-benar terheran. Kembali orang-orang itu saling pandang, agaknya makin jelas bagi mereka bahwa orang muda yang tinggi besar seperti raksasa ini kelebihan tenaga akan tetapi kekurangan otak.

   "Orang muda, Kwi-Wangwe selain memelihara anjing-anjing kaki empat, juga dia dilindungi oleh tukang-tukang pukulnya, malah pembesar di kota-kota yang berdekatan semua melindunginya. Siapa berani terhadapnya?"

   "Hemmm, aku berani! Kalian lapar? Aku pun lapar. Hayo kita pergi ke rumah anjing she Kwi itu. Aku akan paksa dia keluarkan makanan untuk kita."

   Bangkit semangat orang-orang itu. Mereka tahu bahwa pemuda raksasa ini adalah seorang yang kuat dan pandai ilmu silat, hanya sayang wataknya aneh dan agak bodoh.

   "Orang muda, penjagaan di rumah Kwi-Wangwe kuat sekali. Apa kau tidak takut?"

   Kakek itu masih mencoba untuk menakutinya.

   "Aku Tan Hok tak kenal takut. Mendiang Suhu bilang bahwa orang tak perlu takut jika membela si lemah dan menegakkan keadilan. Orang she Kwi itu gandumnya berlebihan, kalian sebaliknya kelaparan, ini tidak adil namanya."

   "Mari, antarkan aku!"

   Sikap dan ucapan Tan Hok membangkitkan semangat orang-orang yang kelaparan itu dan rombongan ini lalu menuju ke rumah Kwi-Wangwe. Di sepan-jang jalan yang sunyi rombongan ini bertambah besar dan akhirnya semua sisa penduduk dusun itu yang berjumlah dua puluh orang lebih ikut dalam rombongan. Orang-orang yang tadinya berputus harapan ini timbul keberaniannya setelah mereka dibela oleh Pendekar muda Tan Hok. Betapapun juga, setelah mereka tiba di depan gedung besar milik Kwi-Wangwe, gedung dan pagar tembok tinggi tebal dan melihat empat orang tukang pukul menjaga di depan pintu pagar tem-bok, keberanian mereka lenyap dan orang-orang ini bersembunyi di belakang Tan Hok. Melihat sikap pengecut ini, lenyap kesabaran Tan Hok.

   "Hayo kalian maju dan nyatakan kehendak hati kalian. Takut apa?"

   Serunya. Kakek tadi bersama dua orang temannya memberanikan diri mendekati pintu pagar tembok.

   "Anjing-anjing kelaparan, kalian mau apa ribut-ribut di sini?"

   Seorang tukang pukul membentak sambil melintangkan Toyanya, sikapnya mengancam dan sombong sekali

   "Kami hampir mati kelaparan..."

   Kata Kakek itu merendah.

   "Kami hendak mohon belas kasihan Kwi-Wangwe, mohon bantuan sedikit gandum untuk penyambung nyawa..."

   "Pengemis-pengemis kelaparan, pergi kalian! Kwi-Wangwe mana ada waktu untuk melayani kalian? Sedang ada tamu agung dan sibuk. Pergi!"

   "Kasihanilah kami... biarlah kami diberi pinjaman gandum, kelak tentu kami bayar dengan tenaga..."

   Kakek itu mendesak.

   "Setan, tidak lekas pergi?"

   Empat orang tukang pukul itu menjadi marah sekali dan serentak mereka menggerakkan Toya menerjang maju. Segera terdengar suara bak-bik-buk disusul pekik kesakitan ketika para petani itu dipukul. Percuma saja mereka mencoba melawan karena mereka yang di waktu sehat saja tidak mampu melawan tukang-tukang pukul ini, apalagi sekarang dalam keadaan hampir mati kelaparan.

   "Kejam sekali! Anjing-anjing penjaga, jangan gigit orang."

   Tan Hok melompat ke depan dan sekali dia menggerakkan kedua kaki tangannya, empat orang tukang pukul itu roboh, Toya mereka ada yang patah ada yang terlempar jauh. Bukan main kaget hati mereka. Apalagi ketika mereka melihat bahwa yang merobohkan mereka begitu mudahnya hanyalah seorang pemuda yang tubuhnya seperti raksasa.

   "Tolong... ada pengacau...!"

   Mereka berteriak-teriak ke dalam sambil merayap bangun. Berbondong-bondong dari dalam gedung keluar belasan orang tukang pukul, malah diantara mereka ada yang berpakaian seperti serdadu Pemerintah Goan. Mereka ini ada yang membawa golok, Toya, atau pedang dan dengan sikap mengancam mereka menyerbu keluar. Para petani yang tadinya berbesar hati melihat betapa dengan mudah Tan Hok merobohkan empat orang tukang pukul yang melabrak mereka tadi, sekarang berbalik menjadi ketakutan dan menjauhkan diri. Tan Hok sendiri sama sekali tidak merasa takut. Malah dia menyambut mereka dengan suaranya yang keras,

   "Kalau tidak mau memberi gandum kepada mereka yang kelaparan, kupukul mampus kalian anjing-anjing penjaga!"

   Tentu saja para tukang pukul dan serdadu penjaga itu memandang rendah kepada Tan Hok. Sambil berteriak-teriak memaki mereka menerjang. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh tinggi besar itu, Namun segera terdengar teriakan-teriakan mengaduh-aduh dan keadaan menjadi kacau-balau. Para pengeroyoknya sibuk menyerangnya dari empat penjuru, namun pemuda gagah perkasa ini selalu dapat melindungi tubuhnya daripada ancaman senjata dengan jalan menangkis atau mengelak. Malah dia cepat secara kontan mengirim pukulan-pukulan balasan yang membuat beberapa orang menggeletak pingsan. Melihat makin banyak tukang pukul berlarian dari dalam, Tan Hok merampas sebatang Toya dan mengamuk dengan senjata ini. Makin ramailah pertempuran di depan gedung, Kwi-Wangwe itu.

   "Saudara-saudara, Tan-Enghiong itu dikeroyok dalam pembelaannya terhadap kita. Bagaimana kita bisa tinggal diam saja? Hayo bantu!"

   Kakek petani berseru keras. Memang para petani itu mulai timbul keberanian mereka melihat betapa gagahnya Tan Hok melawan tukang pukul.

   "Betul... betul... hayo bantu Tan-Enghiong...!"

   Puluhan orang petani yang kurus-kurus itu dengan semangat menyala lalu menyerbu para tukang pukul yang mengeroyok Tan Hok. Mereka tidak peduli lagi akan keselamatan diri sendiri. Yang dipukul jatuh, bangkit lagi dan melawan penuh kenekatan. Tentu saja mendapat bantuan ini, Tan Hok menjadi makin bersemangat. Toyanya mengamuk dan demi satu para tukang pukul dapat robohkan. Pada saat itu, dari sebelah dalam gedung terdengar suara orang berseru,

   "Mundur semua, biarkan Giam-Siauwya (Tuan Muda Giam) mengusir para pengacau!"

   Itulah suaranya Kwi-Wangwe. Mendengar perintah ini, para tukang pukul lalu mengundurkan diri sambil menyereti tubuh teman-teman mereka yang terluka. Semua orang termasuk Tan Hok memandang ke dalam. Mereka melihat Kwi-Wangwe yang sudah setengah tua, seorang bertubuh tinggi kecil yang berpakaian mewah sekali, tangan kiri mengisap Huncwe berujung emas, berdiri di anak tangga sambil memandang ke luar. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang aneh. Muka pemuda ini pucat putih, matanya liar tajam, hidungnya mancung. Akan tetapi wajah yang tampan ini nampaknya aneh dan mengandung sesuatu yang mengerikan, terutama pada matanya. Pakaiannya serba kuning dan tangan kanannya memegang sebuah suling Ular. Pada saat itu, pemuda yang usianya antara dua belas tahun ini berkata sambil tertawa.

   "Kwi-Wangwe, biarlah aku mengadakan sedikit pertunjukan yang menarik hati."

   Bocah laki-taki belasan tahun itu lalu mengangkat sulingnya, ditiupnya suling itu. Terdengar suara melengking yang aneh, naik turun seperti gelombang samudera, makin lama makin tinggi dan nyaring menusuk anak telinga. Tan Hok yang sudah mempelajari ilmu silat tinggi, kaget sekali karena tahu bahwa suling itu ditiup dengan kekuatan Khikang yang hebat!

   "Ular...! Ular...!"

   Para petani berteriak-teriak ketakutan. Tan Hok kaget dan cepat memutar tubuh memandang.

   Ia bergidik melihat banyak sekali Ular merayap cepat menuju ke tempat itu, besar kecil dan datang dari semua jurusan. Tadinya hanya beberapa ekor saja, mungkin Ular-Ular yang terdekat di tempat itu, akan tetapi sebentar kemudian menjadi puluhan dan akhirnya ratusan ekor Ular datang dan dari jauh masih kelihatan banyak lagi mendatangi. Ketika Ular-Ular yang amat banyak itu sudah berkumpul dan menggeliat-geliat sambil menujukan mata ke arah si penyuling cilik yang sudah berjalan keluar dari pintu pagar tembok, suara suling tiba-tiba berubah menjadi kacau balau dan... secara tiba-tiba Ular-Ular itu mendesis-desis dan nampak marah lalu menyerang para petani! Segera terdengar jerit-jerit kesakitan bercampur dengan teriakan ketakutan. Para petani mencoba melawan, namun sia-sia karena Ular terlampau banyak.

   Melihat ini Tan Hok marah sekali. Sambil mengeluarkan gerengan seperti Harimau terluka orang muda ini menyambar sebatang Toya dan menerjang rombongan Ular itu. la, menggebuk dan memukul, menghancurkan banyak kepala Ular. Akan tetapi Ular itu terlampau banyak dan tak mungkin dia dapat melindungi dua puluh lebih orang bernasib malang yang diserbu Ular-Ular itu. Apalagi di antara Ular-Ular itu, banyak terdapat Ular-Ular kecil berbisa yang amat gesit. Sekali pagut saja Ular Ular seperti ini mematikan korbannya. Melihat betapa para petani itu roboh binasa, Tan Hok menjadi ngeri dan dengan amarah meluap-luap dia melihat betapa makin banyak dia membunuh Ular, makin ganaslah Ular-Ular yang lain dan dalam sekejap mata saja para petani itu sudah roboh semua. Tak seorang pun tinggal hidup lagi.

   "Iblis kecil berhati keji!"

   Tan Hok membalik dan melompat dengan Toya di tangan, menyerang bocah kecil penyuling yang aneh itu. Sama sekali dia tidak tahu bahwa bocah itu bukanlah sembarang bocah. Dia ini bukan lain adalah Giam Kin, murid Siauw-Ong-Kwi tokoh besar dari Utara yang amat jahat.

   Serangan dengan Toya yang dilakukan oleh Tan Hok amat dahsyat. Akan tetapi tiba-tiba Giam Kin menggerakkan tangan kirinya dan sinar keemasan menyambar ke arah muka Tan Hok. Terkejut raksasa muda ini. Cepat dia menggunakan tangan kiri menyampok sinar keemasan tanpa membatalkan serangannya dengan Toya yang dipegang tangan kanan. Akan tetapi sebelum Toyanya mendekati tubuh Giam Kin, dia menjerit kesakitan dan Toyanya dilempar, kemudian tangan kanannya merenggut Ular kuning emas yang sudah menggigit tangan kirinya. Rasa sakit, panas dan gatal-gatal menyerang seluruh tubuhnya. Sekali remas saja hancur luluhlah kepala dan tubuh Ular kecil itu, akan tetapi rasa sakit yang menguasai tubuhnya tak tertahankan lagi. Sambil memekik-mekik Tan Hok memutar tubuh dan pergi secepatnya dari tempat itu.

   "Ha-ha-ha-ha,-ha, orang sombong itu tak akan waras lagi otaknya, terkena racun Kim-Tok-Coa (Ular Racun Emas)!"

   Giam Kin tertawa bergelak sambil meniup sulingnya lagi.

   Ular-Ular yang tadinya berpesta-pora menggigiti mayat para petani itu sekarang lari ketakutan mendengar suara suling sehingga sebentar saja di situ tidak ada seekor pun Ular, kecuali bangkai-bangkai Ular yang dibunuh Tan Hok tadi dan mayat para petani yang malang melintang. Kwi-Wangwe dan kaki tangannya yang sudah kerap kali menyaksikan pembunuhan terhadap orang-orang miskin itu, sekarang bergidik juga menyaksikan kejadian yang menyeramkan ini. Dengan penuh hormat Kwi-Wangwe mempersilahkan Giam Kin masuk ke dalam gedungnya lagi dan memerintahkan kepada orang-orangnya untuk membersihan halaman itu, membawa pergi bangkai-bangkai Ular dan mayat para petani. Tan Hok berlari-lari terus secepatnya. Tubuhnya memang luar biasa kuatnya sehingga biarpun dia sudah terkena gigitan Ular berbisa yang amat berbahaya, dia masih dapat berlari cepat sampai puluhan jauhnya.

   Akan tetapi akhirnya dia terguling roboh di tengah sawah yang tanahnya kering merekah, pingsan. Matahari dengan cahayanya yang penuh menyinari tubuh Tan Hok yang menggeletak tak berdaya itu seakan-akan hendak membakarnya. Ternyata bahwa racun Ular kuning keemasan itu mengandung hawa yang amat panas sehingga seluruh tubuh Tan Hok menjadi merah kehitaman, apalagi di bagian tangan yang tergigit sampai menjadi hitam seperti hangus terbakar. Pada saat itu, dari jurusan Selatan, di atas jalan kecil yang kering kerontang dan sunyi, terdengar suara orang bernyanyi! Benar-benar amat ganjil mendengar orang bernyanyi di tempat yang diliputi hawa maut kering ini. Setelah kelihatan orangnya, dia itu adalah seorang anak laki-laki yang baru belasan tahun usianya.

   Pakaiannya compang-camping, lebih patut pakaian seorang jembel yang terlantar. Akan tetapi lengan dan kakinya berkulit bersih. Betapapun juga, jelas bahwa dia itu bukan bocah biasa. Hal ini terlihat dari mukanya yang berkulit aneh, yaitu kulitnya kehijauan seperti hijaunya daun muda. Sepasang matanya juga bukan mata manusia biasa karena mengandung sinar yang amat tajam, malah terlalu tajam sehingga seperti tidak normal lagi. Wajah yang berwarna kehijauan dengan mata setajam itu benar-benar akan membikin orang bergidik ketakutan dan mengira bahwa dia ini tentu bukan manusia. Apalagi kalau mendengar kata-kata dalam nyanyiannya. Aneh. Nyanyiannya saja sudah tidak karuan iramanya bukan nyanyian, lebih pantas disebut gila atau orang mengigau akibat sakit demam. Dan kata-katanya, dengarkan saja dia bernyanyi.

   "Heh, perut berhentilah merengek! Tidak malukah kau kepada kaki? Yang bekerja keras tak pernah mengeluh "

   "Kau tiada guna, tak pernah bekerja, kerjamu hanya merengek minta diisi"

   Kata-kata aneh ini dia nyanyikan sepanjang jalan sambil saling memukulkan dua batang kayu yang dipegang di kedua tangan untuk membuat irama nyanyiannya yang tidak karuan. Selain warna mukanya yang kehijauan dan sepasang matanya yang luar biasa tajamnya, selebihnya anak ini boleh dibilang tampan, tubuhnya pun padat berisi dan kuat. Bocah ini bukan lain adalah Beng San Seperti telah diceritakan dalam bagian terdahulu dari cerita ini, secara kebetulan sekali Beng San bocah korban banjir Sungai Huang-Ho yang tidak tahu akan nama keturunannya sendiri ini, telah bertemu dengan Hek-Hwa Kui-Bo dan mendapat Ilmu Thai-Hwee, Siu-Hwee, dan Ci-Hwee yang oleh Hek-Hwa Kui-Bo dimaksudkan untuk memperbesar daya hawa "Yang"

   Dalam tubuh anak ini dan membunuhnya.

   Akan tetapi tanpa disadari ia malah memberi tambahan tenaga kepada anak ini dan malah menyelamatkan nyawa Beng San daripada hawa pukulan Jing-Tok-Ciang dari Koai Atong. Kemudian secara kebetulan pula Beng San bertemu dua orang Kakek aneh, yaitu Phoa Ti dan The Bok Nam yang mengangkatnya sebagai murid dan kedua orang Kakek aneh ini menurunkan atau mewariskan dua macam ilmu silat yang hebat padanya. Dari Phoa Ti, dia mewarisi Khong-Ji-Ciang dan Im-Sin-Kiam, sedangkan dari The Bok Nam, dia mewarisi Pat-Hong-Ciang dan Yang-Sin-Kiam. Adapun Im-Sin-Kiam dan Yang-Sin-Kiam ini adalah dua bagian yang berlawanan dari Ilmu Im-Yang Sin-Kiam yang merupakan pecahan daripada Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, Ilmu silat tertinggi di dunia persilatan yang dahulu dimiliki oleh Pendekar Sakti Bu Pun Su di jaman pemberontakan An Lu Shan (tahun 755), kira-kira lima ratus tahun yang lalu.

   Ilmu Im-Yang Sin-Kiam diingini oleh semua tokoh persilatan dari empat penjuru, siapa kira secara tak disengaja telah terjatuh ke dalam tubuh Beng San! Lucunya, Beng San yang sudah mempelajari ilmu ini dan melatihnya setiap hari sampai hafal betul, sama sekali tak pernah tahu bahwa dia sekarang telah memiliki ilmu yang hebat. Hanya anak ini tahu bahwa berkat latihan-latihan itu tubuhnya menjadi kuat dan ringan, malah dia sekarang tidak pernah menderita gangguan lagi dan perasaan panas atau dingin di tubuhnya. Setiap kali dia menderita panas dari teriknya matahari, secara otomatis tubuhnya mengeluarkan hawa dingin untuk melawannya dan pengerahan hawa "Im"

   Secara otomatis ini hanya dapat diketahui dari wajahnya yang berubah menjadi kehijauan.

   Sebaliknya, di waktu dingin secara otomatis pula wajahnya berubah merah kehitaman, tanda bahwa tenaga dari hawa "Yang"

   Di tubuhnya bekerja. Hanya kalau hawa udara biasa, wajahnya berubah putih seperti biasa pula. Selain ini, tanpa dia sadari apabila dia terserang nafsu amarah, wajahnya juga otomatis berubah merah kehitaman, sebaliknya apabila dia merasa gembira, wajahnya menjadi hijau! Pada saat itu hawa udara amat panasnya maka tidak heran kalau muka anak ini menjadi kehijauan, tanda bahwa hawa "Im"

   Otomatis bekerja di tubuhnya. Perutnya terasa lapar sekali, semenjak kemarin tidak kemasukan apa-apa. Dusun-dusun kosong sunyi, pohon-pohon gundul kering. Untuk menahan rasa lapar perutnya, dia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi mencela perutnya yang selalu merengek-rengek minta isi.

   "Eh, mata yang sial. Di mana-mana melihat mayat orang. Sudah enam belas mayat kukubur, sekarang ada lagi di tengah sawah. Sialan benar!"

   Beng San mengomel ketika dia melihat tubuh Tan Hok menggeletak di tengah sawah.

   Memang, seperti halnya Tan Hok, bocah ini pun semenjak kemarin hari melihat banyak mayat menggeletak di pinggir jalan, mayat mereka yang kelaparan. Sejak kecil Beng San sudah dijejali pelajaran filsafat-fiisafat kuno tentang perikebajikan dan perikemanusiaan, maka melihat mayat-mayat menggeletak terlantar itu, tidak tega hatinya dan dia mengubur setiap mayat yang dijumpainya, dikubur secara sederhana. Dengan hati agak kesal karena perutnya lapar, dan selalu bertemu mayat, Beng San menyimpang dari jalan kecil memasuki sawah kering menghampiri tubuh Tan Hok yang tak bergerak seperti sudah mati itu. Setelah memandang wajah dan tubuh Tan Hok, anak itu menarik napas panjang dan berkata,

   "Sayang... sayang sekali orang begini gagah dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa mati di sini. Anehnya, orang mati kelaparan kenapa badannya masih tegap dan besar seperti ini? Aneh...aneh..."

   Namun Beng San lalu mulai bekerja, menggali tanah kering di sawah itu. Pekerjaan ini dia lakukan dengan dua batang kayu kecil yang dipegangnya tadi. Benar-benar hebat. Orang tentu tak akan percaya kalau tidak menyaksikannya sendiri. Dua batang kayu ranting kecil itu ketika dia pakai mendongkel tanah, ternyata berubah seperti dua batang linggis besi yang kuat. Sebentar saja dia menggali tanah sampai satu rneter lebih dalamnya.

   Melihat tubuh tinggi besar yang masih baik itu, Beng San merasa kasihan kalau menguburnya kurang dalam, maka dia sengaja menggali sampai dalarn. Ternyata tanah itu bawahnya rnerupakan tanah lempung yang kering, akan tetapi halus dan berwarna kemerahan. Setelah menggali cukup, dia meletak akan sepasang rantingnya dan membungkuk, mengangkat tubuh itu. Badan Tan Hok besar sekali, beratnya tak akan kurang dari seratus kilo, namun benar-benar mengherankan betapa anak kecil itu dapat memondongnya dengan mudah. Beng San kaget ketika merasa betapa kulit, tubuh Tan Hok amat panas. la masih kecil, belum dapat mengerti betul bagaimana keadaan orang mati. Karena tubuh itu kaku dan diam tak bernapas, dia menganggapnya sudah mati. Panas tubut Tan Hok dianggapnya karena terik sinap matahari. Dengan perlahan dan hati-hati Beng San meletak akan tubuh tinggi besar itu ke dalam lubang. Mulutnya berbisik-bisik

   "Kembalilah kau ke asalmu, tenteram dan damai."

   

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini