Ceritasilat Novel Online

Rajawali Emas 14


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



Ia lalu membungkus kembali bawaan kakek itu, mengikatnya di punggung Toat-Beng Yok-Mo, setelah itu lalu menggendong kakek ini di punggungnya sendiri dan berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Toat-Beng Yok-Mo! Kun Hong bertubuh kuat dan bertenaga besar, maka menggendong tubuh yang kecil kering dan tua itu tidaklah sukar baginya. Akan tetapi karena ia tidak terlatih dan tidak biasa bekerja berat, perjalanan mereka ini berlangsung lambat sekali dan sering kali terpaksa beristirahat. Diam-diam Toat-Beng Yok-Mo terheran-heran mengapa Ketua Hoa-San-Pai yang gagah itu mempunyai seorang putera yang begini tidak ada gunanya. Karena ia membutuhkan bantuan Kun Hong untuk menggendongnya dan dijadikan jaminan akan keselamatannya, maka di waktu istirahat ini ia mengajar Kun Hong cara berduduk diam (bersamadhi), mengatur pernapasan untuk memperkuat daya tahan tubuhnya sehingga membuat pemuda ini lebih tahan berjalan jauh.

   "Toat-Beng Yok-Mo, aku sudah membaca kitab-kitabmu biarpun hanya sedikit dan aku tertarik sekali. Baik sekali memiliki kepandaian untuk mengobati orang sakit. Kalau kau suka mengajarku dalam ilmu pengobatan, aku suka menjadi muridmu."

   Diam-diam kakek ini menyeringai. Ia sudah mengambil keputusan untuk membawa kepandaiannya sampai mati, tidak akan ia turunkan kepada siapapun juga. Kecuali kalau ada murid yang suka berjanji bahwa murid itu akan membunuh setiap orang yang sudah diobatinya. Akan tetapi ia tahu pula bahwa pemuda ini tak mungkin mau menerima syarat itu, maka ia berpura-pura.

   "Kau anak baik sekali, tentu saja aku suka menerima kau menjadi muridku. Dan kau tahu, pelajaran samadhi dan mengatur napas yang kuajarkan ini adalah tingkat pertama dari ilmu pengobatan. Maka kau berlatihlah baik-baik setiap kali kita beristirahat."

   Karena kurang pengalaman, Kun Hong mempercayai omongan ini dan betul saja ia berlatih giat sekali di waktu beristirahat dan di waktu malam, Ia sama sekali tidak tahu bahwa kakek itu melatih ia samadhi dan mengatur pernapasan agar badannya kuat dan tahan lebih lama melakukan perjalanan jauh itu sambil menggendong! Baiknya kakek itu ternyata mempunyai simpanan banyak emas dalam buntalan sehingga untuk makan dan menyewa rumah penginapan bukan soal yang sulit lagi bagi mereka. Sebetulnya, dengan makan obat yang dibeli di kota yang mereka lalui, kakek itu sudah banyak mendingan sakitnya dan sudah kuat berjalan lagi. Akan tetapi, kesehatannya belum pulih semua dan andaikata ia bertemu lawan tangguh, ia masih belum sanggup melawan.

   Maka untuk membuat Kun Hong sungkan meninggalkannya, ia berpura-pura masih tidak kuat jalan dan membiarkan pemuda itu terus menggendongnya sepanjang jalan! Pada suatu hari, menjelang tengah hari yang panas terik, Kun Hong dan Yok-Mo beristirahat di sebuah hutan yang amat liar. Mereka sudah tiba di daerah lembah Sungai Huai di mana banyak sekali terdapat hutan-hutan lebat dan gunung-gunung yang masih liar. Daerah ini sudah dekat dengan tempat tinggal Toat-Beng Yok-Mo, yaitu di pusat gerombolan Ngo-Lian-Kauw yang dikepalai oleh Kim-Thouw Thian-Li. Karena merasa bahwa ia sudah berada dl daerah sendiri dan kiranya sekarang tak mungkin orang-orang Hoa-San-Pai dapat mengejarnya, Yok-Mo mengambil keputusan untuk mencabut nyawa pemuda yang selama ini mengantar dan menggendongnya.

   Ia tidak memerlukan lagi pemuda ini, baik sebagai pengantar maupun sebagai jaminan. Sesungguhnya dalam beberapa hari ini ia sudah merasa bosan sekali digendong oleh pemuda yang tidak dapat berjalan cepat itu. Andaikata ia melakukan perjalanan sendiri, dengan ilmunya berlari cepat, kiranya ia sudah sampai di rumahnya. Semata-mata untuk menjamin keselamatannya belaka ia terpaksa membiarkan dirinya digendong oleh Kun Hong. Melihat betapa pemuda ini sekarang tekun duduk bersila, mengumpulkan panca inderanya dan mengatur pernapasan, kakek ini tersenyum menyeringai. Diam-diam ia harus mengakui bahwa pemuda ini sesungguhnya memiliki tulang bersih dan bakat yang amat baik, pula amat cerdas sehingga sekali membaca atau mendengar sudah hafal dan takkan melupakannya lagi.

   "He, Kun Hong... bangunlah jangan tidur saja!"

   Ia menegur. Kun Hong membuka matanya dan terheran-heran melihat kakek itu duduk bersandar pohon seperti biasanya sambii tensenyum-senyum aneh,

   "Yok-Mo, aku tidak tidur, melainkan melatih samadhi seperti biasa. Latihan ini baik sekali, aku merasa sehat dan kuat semenjak berlatih. Kitabmu itu benar-benar mengandung pelajaran pengobatan yang luar biasa."

   "Heh-heh-heh, apa kau ingin membaca lagi?"

   Wajah Kun Hong nampak kecewa.

   "Semenjak pertemuan kita dahulu kau sudah tahu jelas bahwa tidak ada keinginan lain padaku kecuali membaca tiga kitabmu itu. Tapi kau selalu melarang."

   "Heh-heh-heh, kau benar-benar ingin membacanya? Kun Hong, kau sudah melepas budi kepadaku, merawat dan mengantarkan, aku sampai di sini. Kalau sekarang aku membolehkan kau membaca ketiga kitabku, apakah aku boleh menganggap budimu itu sudah terbalas dan sudah lunas?"

   Kun Hong memang seorang yang berwatak polos dan bersih. Ia menolong kakek itu tanpa pamrih apa-apa, tanpa mengharap balasan malah sama sekali tidak ada ingatan dalam hatinya bahwa ia telah melepas budi kepada orang. Mendengar kakek itu membolehkan ia membaca kitab-kitab itu, ia menjadi girang sekali dan berkata,

   "Terima kasih, Yok-Mo, kau baik sekali!"

   Tanpa mempedulikan yang lain-lain lagi ia lalu membuka buntalan yang ditaruh di bawah pohon, mengeluarkan tiga kitab itu dan segera ia mulai membaca.

   Belum lama ia membaca, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang menggetarkan isi hutan itu. Kun Hong terkejut sekali dan lebih-lebih herannya ketika ia melihat kakek bongkok itu sudah berdiri dengan tongkat di tangan, memandang ke depan dengan mata terbelalak. Keheranannya ini bercampur rasa girang karena kalau kakek itu sudah dapat berdiri, berarti kesehatannya sudah mulai pulih. Akan tetapi segera ia kaget sekali melihat cahaya kuning emas menyambar turun dari atas, tak jauh dari tempat itu. Seekor Burung yang amat besar meluncur turun untuk menyusup ke dalam semak-semak, Akan tetapi Burung itu cepat sekali gerakannya, dan tahu-tahu kelinci itu sudah dapat dicengkeramnya. Akan tetapi sebelum Burung itu dapat terbang kembali, dengan satu kali melompat saja Toat-Beng Yok-Mo sudah berada di dekatnya.

   "Rajawali Emas! Bagus sekali... aku harus menangkap Burung ini!"

   Sambil berkata demikian kakek itu menerjang dengan kedua tangan terpentang, siap menangkap Burung besar itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Burung itu tiba-tiba menggerakkan sayap kanannya menghantam ke arah kepalanya. Yok-Mo cepat mengelak akan tetapi tahu-tahu tubuhnya sudah terpukul oleh sayap kiri Burung itu yang ternyata menggunakan cara penyerangan aneh sehingga kelihatannya sayap kanan yang menampar, tidak tahunya sayap kiri yang betul betul bergerak. Akan tetapi Yok-Mo adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Pukulan itu membuat tubuhnya terpental akan tetapi tidak melukainya. Ia cepat meloncat bangun dan sepasang matanya bersinar-sinar.

   "Hebat...! Inilah Kim-Tiauw (Rajawali Emas) yang jarang bandingannya! Jantung dan otaknya akan menjadi bahan obat kuat yang mujijat!"

   Ia melompat lagi dan kembali ia menyerang. Burung itu agaknya marah dan anehnya, ia tidak mau terbang pergi.

   Malah kini ia melepaskan bangkai kelinci tadi dan tegak, seperti seorang pendekar siap menghadapi datangnya penyerangan lawan. Toat-Beng Yok-Mo dengan hati-hati sekali menerjang maju, siap untuk mencengkeram leher Burung itu sambil memperhatikan gerakan binatang ini, agar jangan tertipu seperti tadi. Ia sengaja memukul ke arah dada Burung dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah leher. Hebat sekali serangannya ini. Akan tetapi kembali ia melengak ketika melihat betapa dengan langkah-langkah kaki yang amat aneh, diikuti gerakan kedua sayapnya, Burung itu telah dapat mengelakkan kedua serangannya ini dengan amat mudahnya. Malah bukan hanya mengelak, Burung itu dengan kecepatan yang luar biasa telah menggerakkan kepala mematuk mata kiri Toat-Beng Yok-Mo!

   "Celaka...!"

   Yok-Mo cepat melompat ke kanan. Gerakannya belum cepat karena kesehatannya memang belum pulih benar-benar. Kagetnya bukan kepalang melihat penyerangan yang lebih dahsyat daripada tusukan pedang itu. Akan tetapi, sekali lagi ia tertipu karena begitu ia melompat ke kanan, Burung itu menarik kembali kepalanya dan kaki kirinya bergerak ke depan menendang.

   Sekali lagi tubuh kakek itu terlempar, malah bergulingan seperti seekor trenggiling! Hebatnya, gerakan kaki Burung itu persis tendangan kaki manusia, dan digerakkan dengan cepat dan mengandung tenaga amat kuat. Yok-Mo mengeluh dan merangkak bangun, bermacam perasaan mengaduk di hatinya ketika ia memandang kepada Burung itu dengan mata terbelalak. Heran, kaget dan marah sekali. Sudah bertahun-tahun ia ingin mendapatkan seekor Burung seperti ini, Burung Rajawali Emas yang jarang sekali terdapat di dunia ini dan hanya muncul dalam dongeng-dongeng kuno. Menurut pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, jantung Burung Rajawali Emas dapat dibuat menjadi obat penguat tubuh yang luar biasa sedangkan otak Burung itu dapat dibuat menjadi bahan obat terhadap bermacam-macam luka berbisa.

   Sekarang, tak terduga-duga olehnya, ia bertemu Burung ini, akan tetapi siapa sangka bahwa Burung Ini ternyata bukanlah Burung biasa, gerakan-gerakannya hebat sekali seperti seorang ahli silat kelas tinggi! Betapapun juga, Yok-Mo menjadi penasaran. Ia masih belum mau kalah. Mungkin karena tubuhnya belum pulih benar maka tenaganya berkurang dan kecepatannyapun tidak seperti biasa sehingga dua kali ia dibikin roboh oleh Burung itu. Sekarang ia telah mengeluarkan tongkatnya, tongkat hitam yang selama ini ia sembunyikan saja di balik bajunya. Dengan kemarahan meluap kakek ini lalu melompat maju dan menyerang Burung itu dengan tongkat hitamnya. Aneh sekali, Burung itu agaknya tahu akan keampuhan tongkat hitam itu. Ia mengeluarkan bunyi melengking lalu terbang dan dari atas ia menyambar kepala Toat-Beng Yok-Mo. Kakek ini sudah siap sedia, cepat mengelak dan membalas dengan tusukan tongkatnya.

   Burung itu ternyata gentar menghadapi tongkat sehingga serangannya selalu gagal karena ia harus mengelak dari sambaran tongkat yang ampuh itu. Pertempuran itu menjadi seru sekali, Burung itu menang gesit akan tetapi dengan mengandalkan tongkatnya yang ditakuti lawannya, Yok-Mo dapat mempertahankan dirinya malah dapat balas menyerang dengan hebat. Sementara itu, semenjak tadi Kun Hong melongo. Kagumnya bukan main melihat Burung yang indah sekali, dengan bulu berwarna mengkilap kuning keemasan itu. Segera ia merasa suka dan sayang kepada binatang itu. Lebih-lebih kagumnya ketika ia melihat betapa Burung itu dengan mudahnya dapat membuat Toat-Beng Yok-Mo yang berkepandaian tinggi itu terguling-guling. Pemuda ini sebetulnya mempunyai rasa kagum dan suka akan kegagahan sungguhpun ia benci sekali akan pembunuhan dan penyiksaan.

   Baginya, kegagahan seharusnya dipergunakan untuk menegakkan keadilan tanpa melakukan pembunuhan, cukup dengan mengalahkan yang jahat dan memaksanya kembali ke jalan benar. Melihat Burung indah itu mengalahkan Yok-Mo, ia kagum sekali. Akan tetapi kekagumannya itu berubah menjadi kekuatiran besar ketika Yok-Mo mengeluarkan tongkatnya yang mengerikan dan terjadi pertempuran seru antara dua lawan yang memiliki gerakan cepat membuat ia bingung memandangnya itu. Karena tadi terpesona oleh keindahan Burung dan sekarang menjadi bingung menyaksikan pertempuran mati-matian itu, tanpa disengaja tiga jilid kitab yang dipegangnya itu ia masukkan daiam saku bajunya yang lebar. Ia lalu berdiri dan menyambar tabung bambu terisi katak putih. Hanya itulah yang akan dapat mengobati luka mengerikan yang diakibatkan oleh tongkat hitam itu, pikirnya. Sambil membawa tabung itu ia berlari sambil berteriak,

   "Jangan bunuh Burung itu! Yok-Mo, sayang sekali kalau sampai ia terluka...!"

   Setelah dekat dengan tempat pertempuran, Kun Hong makin suka dan kagum melihat Burung itu yang memang amat indah. Juga ia melihat adanya sebuah kalung mutiara tergantung di leher Burung itu. Maka tahulah ia bahwa Burung ini tentulah ada yang punya, tentu Burung peliharaan orang.

   "Yok-Mo, jangan bunuh dia, tentu ada pemiliknya. Lihat kalung itu!"

   Tentu saja Toat-Beng Yok-Mo juga sudah melihat kalung mutiara besar-besar yang tergantung di leher Burung itu. Akan tetapi sudah tentu saja ia tidak ambil peduli.

   Ada yang punya atau tidak, Burung ini harus ia tangkap, ia bunuh untuk diambil jantung dan otaknya. Ia memperhebat permainan tongkatnya dan makin lama ia bersilat, ia merasa bahwa kekuatannya mulai pulih kembali. Burung itupun mulai menjadi marah sekali. Apalagi ketika ia meiihat Kun Hong datang berlari-lari, dianggapnya bahwa tentu ia akan dikeroyok. Ia memekik keras dan menerjang Yok-Mo dengan serbuan yang dahsyat sekali. Yok-Mo juga kaget, tak menduga bahwa Burung itu dapat melakukan serangan demikian hebatnya. Dalam kegugupannya melihat sepasang sayap berikut sepasang cakar dan sebuah paruh yang kuat dan runcing itu sekaligus menyerangnya, Yok-Mo memutar tongkatnya, melindungi diri. Namun secara aneh sekali cakar kiri Burung itu dapat menyelinap di antara gulungan sinar tongkatnya dan mencengkeram ke arah muka Yok-Mo.

   "Mati aku...!"

   Yok-Mo berteriak kaget dan ia menjadi nekat. Ia menarik tongkatnya itu lalu ia tusukkan ke arah kaki berkuku runcing mengerikan yang hendak mencengkeram mukanya. Tepat sekali ujung tongkatnya menusuk telapak kaki Burung itu, akan tetapi pada saat itu sayap kanan Burung itu menghantam kepala dan pundaknya.

   "Blukkk!"

   Tubuh Toat-Beng Yok-Mo terlempar jauh dan kakek ini roboh pingsan. Bukan main hebatnya hantaman sayap tadi yang akan dapat menghancurkan kepala seekor Harimau. Burung itu menjerit-jerit kesakitan dan anehnya, kaki kirinya menjadi putih sekali seperti kaki mati. Dalam kesakitan itu ia menjadi makin marah dan segera ia melompat ke arah tubuh Yok-Mo.

   "Hee... jangan... dia sudah kalah, jangan kau serang lagi!"

   Kun Hong berteriak mencegah sambil menghadang di antara Yok-Mo dan Burung itu.

   Kebetulan sekali tadi tubuh Yok-Mo terlempar ke arahnya sehingga ia dapat mendahului Burung itu dan menghadang di tengah jalan sambil mengacungkan tabung bambu untuk menakuti. Akan tetapi Burung itu mana takut terhadap Kun Hong? Ia memekik keras dan menerjang. Sebelum Kun Hong tahu apa yang terjadi, ia merasa tubuhnya melayang ke atas dan kiranya baju di punggungnya telah dicengkeram oleh kaki-kanan Burung itu dan dibawa terbang tinggi! Dulu, di waktu ia dikerek oleh Li Eng ke atas sebatang pohon tinggi, ia sudah ketakutan sekali, sekarang ia dibawa terbang jauh lebih tinggi lagi di atas pohon-pohon yang paling tinggi, bagaimana ia tidak akan ketakutan setengah mati? Melihat pohon-pohon di bawahnya makin lama makin kecil, Kun Hong berteriak-teriak.

   "Heee... lepaskan aku... eh, jangan lepas jangan lepas! Kau... turunkanlah aku, Burung yang baik..."

   Akan tetapi jawaban Burung itu hanya memekik-mekik marah dan kesakitan. Mendengar ini, Kun Hong teringat bahwa Burung itu terluka kaki kirinya. Ia memandang dan melihat betapa kaki kiri Burung itu berubah putih semua, seputih kukunya. Ia teringat akan tabung yang masih dipegangnya. Cepat ia membuka sumbat tabung itu dan berkata,

   "Kau terluka tongkat Yok-Mo, lekas kau minumlah sedikit darah katak putih di dalam tabung ini..."

   Baru saja ia berkata demikian, ia melihat bayangan putih melompat keluar dari dalam tabung Kun Hong kaget sekali sampai tabung kosong itu terlepas dari tangannya.

   "Celaka... ia terlepas lagi..."

   Akan tetapi Burung itu segera berbunyi nyaring dan tubuhnya menyambar ke depan sampai Kun Hong merasa matanya berkunang karena tubuhnya sendiripun terbawa melayang cepat ke depan. Dengan paruhnya yang runcing dan terbuka lebar, Burung itu mematuk katak yang melompat keluar dari dalam tabung tadi, kemudian langsung menelannya sehingga binatang kecil itu lenyap ke dalam perutnya! Kembali ia melengking girang sampai berkali-kali dan tiba-tiba ia melepaskan, cengkeramannya pada baju Kun Hong. Tentu saja setelah dilepaskan, tubuh pemuda ini melayang ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia merasa makin ketakutan.

   "Waah...!"

   Teriaknya ketika makin lama makin cepatlah tubuhnya meluncur ke bawah, disambut pohon-pohon yang makin membesar dan kelihatan mengerikan sekali. Tiba-tiba Kun Hong yang sudah setengah pingsan itu merasa tubuhnya terapung lagi ke atas, tertahan luncurannya ke bawah tadi. Kiranya Burung itu sudah menangkapnya lagi dan mencengkeram bajunya dengan tepat. Kemudian perlahan-lahan Burung itu melayang turun dan sesampainya di atas tanah ia melepaskan Kun Hong. Kun Hong yang tadinya sudah ketakutan dan tidak mengharapkan akan dapat hidup lagi, serta merta memeluk Burung itu.

   "Kim-Tiauw-Heng (Kakak Rajawali Emas) yang baik, kau telah menolong nyawaku. Terima kasih!"

   Ia menjura ke depan Burung itu seakan-akan ia berhadapan dengan seorang manusia! Aneh sekali, Burung itu mengeluarkan bunyi menCicit dan... segera berlutut dan mendekam di depan Kun Hong. Ketika pemuda ini dengan terheran-heran melihat dengan teliti, ternyata bahwa kaki kiri Burung itu sudah pulih menjadi merah seperti sediakala. Ia menengok ke kanan kiri mencari-cari, akan tetapi ternyata Toat-Beng Yok-Mo sudah lenyap bersama tongkat dan buntalan pakaiannya.

   "Dia sudah dapat berjalan sendiri, kenapa selama ini menipu?"

   Gemas juga kalau ia teringat betapa setiap hari ia harus menggendong kakek itu yang sebetulnya malah lebih kuat dari padanya.

   "Kim-Tiauw-Heng, kau datang dari manakah? Aku suka sekali kepadamu, kau baik dan mengenal budi orang, tidak seperti Toat-Beng Yok-Mo yang hati dan pikirannya penuh terisi kehendak jahat. Kim-Tiauw-Heng, kau tentu milik seorang gagah, siapakah pemilikmu dan di mana tempat tinggalmu?"

   Burung itu mengeluarkan bunyi menCicit lagi, kemudian ia maju mendekati Kun Hong, dengan lehernya yang berbulu halus dan hangat itu ia membelai leher Kun Hong, kemudian ia berlutut dan menyelinapkan kepalanya di bawah kedua kaki pemuda itu dari belakang, Dengan begini Kun Hong duduk di atas punggungnya, lalu Burung itu menggerakkan kedua sayapnya membawa Kun Hong terbang lagi!

   "Heee... bagaimana ini... aduh, aku bisa jatuh...! Kun Hong panik lagi dan ketakutan. Akan tetapi karena Burung itu terbang perlahan dan tubuhnya sama sekali tidak bergoyang, Kun Hong akhirnya dapat duduk dengan enak dan ia mulai menyesuaikan malah ia segera berpegang kepada kalung yang melingkari leher Burung itu. Makin lama Burung itu terbang makin tinggi, berputaran di atas hutan itu dan makin memuncak pula ketakutan Kun Hong. Akan tetapi segera ia tertarik oleh pemandangan di bawah dan tak terasa lagi mulutnya berseru kegirangan.

   "Aduh... bagus sekali, alangkah indahnya pemandangan alam di bawah itu. Hee, hati-hati Kim-Tiauw-Heng, jangan sampai aku jatuh!"

   Demikianlah, diantara rasa takut dan rasa girang dan kagum melihat keindahan pemandangan di bawah. Kun Hong tak berdaya membiarkan dirinya dibawa terbang oleh Burung Rajawali Emas yang aneh itu. Mudah saja menduga Burung apakah yang telah membawa terbang Kun Hong itu. Memang dugaan Toat-Beng Yok-Mo tidak keliru bahwa di dunia ini tidak ada dicari keduanya Burung seperti itu. Burung itu bukan lain adalah Burung Rajawali Emas sakti, yang pernah kita kenal sebagai Burung tunggangan Kwa Hong, juga Burung yang secara tidak langsung menjadi guru dari Kwa Hong.

   Seperti telah kita ketahui bahwa tujuh belas tahun yang lalu ketika Kwa Hong untuk penghabisan kali mendatangi Hoa-San-Pai dan hendak membunuh Thio Ki, dia bertemu muka dengan Ayahnya, Kwa Tin Siong sehingga hampir saja ia tewas karena membiarkan dirinya diserang oleh Ayahnya yang marah itu. Burung Rajawali Emas menolongnya dan membawanya pergi, kembali ke tempat ia semula tinggal, yaitu di puncak Pegunungan Lu-Liang-San. Semenjak itu, ia tidak berani lagi memperlihatkan mukanya di dunia ramai. Ketika ia pergi ke Hoa-San itu, iapun meninggalkan puteranya yang baru berusia setahun itu dalam asuhan seorang inang pengasuh yang ia dapatkan dari penduduk di kaki Gunung Lu-Liang-San. Semenjak saat itu, Kwa Hong berdiam di Lu-Liang-San, jauh dari keramaian dunia dan agaknya sudah tidak mau mengurus lagi persoalan duniawi. Seluruh perhatiannya ia tumpahkan kepada puteranya yang ia beri nama Sin Lee.

   Betapapun juga, wanita ini belum juga dapat melupakan cinta kasih terhadap Beng San berikut perasaan iri hati dan cemburu terhadap wanita yang telah berhasil menjadi Isteri kekasihnya itu. Oleh karena ini pula ia tekun mendidik puteranya itu yang semenjak kecil sudah ia latih dengan ilmu silat sehingga semenjak kecilnya Sin Lee menjadi seorang anak laki-laki yang bertubuh kuat dan bertenaga besar. Sudah menjadi sifat pembawaan bahwa anak laki-laki lebih nakal daripada anak-anak perempuan karena anak laki-laki pada umumnya lebih bandel dan lebih berani. Kenakalan anak laki-laki dapat dikendalikan oleh perhatian orang tuanya yang mendidik dan menuntun agar kebandelan dan keberanian ini menjurus kepada kebenaran. Akan tetapi Kwa Hong yang seorang diri tanpa Suami mendidik anaknya, hanya mencurahkan perhatian kepada ilmu silat saja, malah terlalu memanjakan puteranya.

   Hal inilah kiranya yang menjadi sebab sehingga Sin Lee menjadi seorang anak yang luar biasa nakalnya, luar biasa berani dan nekatnya. Tidak ada orang di dunia ini yang ditakutinya, dan satu-satunya orang yang kiranya akan ia takuti, yaitu ibunya, terlalu menyayangnya sehingga ia menjadi seorang anak yang tak kenal takut lagi. Anak yang masih kecil ini kalau tidak bermain-main dengan Burung Rajawali Emas, tentu pergi jauh ke bawah gunung dan bermain-main dengan anak-anak penduduk di situ. Dan sebentar saja semua anak takut kepadanya karena siapa yang tidak mau menuruti kehendaknya tentu dipukulnya. Bahkan setelah ia berusia sepuluh tahun, tak seorangpun laki-laki dewasa berani menentangnya. Kalau ada yang menentang, biar orang tua akan ia pukul. Mula-mula, ketika ia masih belum kuat benar, orang-orang itu takut mengganggunya karena takut kepada Toanio (Nyonya besar) yang tinggal di puncak.

   Setelah Sin Lee menjadi seorang anak yang benar-benar memiliki kepandaian silat yang hebat, orang-orang takut kepadanya karena memang takut dipukuli oleh anak yang luar biasa itu. Sudah terlalu sering Sin Lee membuat gara-gara. Kalau tidak memukul orang tentu menyerang kampung lain yang belum dikenalnya, memaksa orang-orang kampung itu mengakui dia sebagai "jagoan cllik"

   Yang tak terkalahkan! Pada suatu hari ia malah membikin ribut di sebuah kelenteng yang berada di kaki gunung sebelah Timur. Kelenteng tua, ini hanya ditinggal oleh lima orang Hwesio dan menjadi tempat sembahyang para penduduk kampung di sekitar kaki Gunung Lu-Liang-San. Lima orang Hwesio ini hidup dengan aman dan tenteram, setiap hari bekerja di ladang menanam sayur-sayuran untuk bahan makan mereka dan melayani setiap keperluan bersembahyang dari penduduk.

   Karena tidak ada pekerjaan lain, maka tanaman sayuran mereka terpelihara baik dan ladang sayuran Hwesio-Hwesio itu terkenal sebagai ladang sayuran yang paling subur dah menghasilkan sayur-sayuran pilihan. Pada suatu hati yang cerah, seorang Hwesio tinggi besar tengah bekerja di ladang sayur itu dengan wajah berseru gembira. Betapa tidak? Ladang itu ditumbuhi sayur bermacam-macam yang amat subur, juga buah labu yang sudah dekat masanya dipetik, besar-besar dan gemuk-gemuk menyenangkan. Hwesio itu bekerja mencabuti rumput liar yang mengganggu kesuburan tanaman. Tiba-tiba serombongan anak-anak antara berusia sepuluh sampai tiga belas tahun, semua laki-laki, muncul dari lereng gunung. Jumlah mereka ada lima belas orang dan kelihatannya nakal-nakal. Setelah dekat dengan ladang itu, terdengar mereka berteriak-teriak,

   "Lo-suhu, minta labunya!"

   "Lo-suhu, berilah kami seorang satu!"

   Simpang siur anak-anak itu berteriak-teriak sambil tertawa-tawa. Hwesio tinggi besar itu bangkit berdiri menoleh dan dengan muka sabar ia tersenyum lalu menjawab,

   "Belum waktunya, anak-anak. Labu-labu ini belum waktunya dipetik.. Nanti apabila Pinceng panen labu, tentu selebihnya Pinceng bagi-bagikan kepada orang tua kalian, sudahlah, main-main ke sana, jangan mengganggu Pinceng sedang bekerja."

   Seperti telah diatur sebelumnya, anak-anak itu segera berteriak-teriak,

   "Hwesio pelit!"

   "Hwesio medit, kikir!"

   Hwesio itu diam saja, tidak ambil peduli dan bekerja lagi mencabuti rumput-rumput liar. Anak-anak itu makin berani, malah ada yang memaki-makinya.

   "Kalau malam babi-babi hutan mengambil labu kau diam saja, tapi kalau kami yang minta tidak diberi. Dasar Hwesio busuk!"

   Terdengar suara seorang anak. Hwesio itu kembali berdiri dan keningnya berkerut ketika ia memandang kumpulan anak-anak nakal itu.

   "Hemmm, karena mereka itu babi hutan termasuk golongan binatang maka mereka tidak mengenal aturan dan makan apa saja yang ada karena mereka lapar, Akan tetapi kalian adalah anak manusia, mengerti aturan. Apakah kalian mau Pinceng samakan dengan anak-anak babi hutan?"

   "Ah.. Hwesio pelit. Banyak alasan untuk menutupi kepelitannya!"

   Anak-anak itu ribut-ribut lagi, mengejek dan memaki. Sesabar-sabarnya orang, menghadapi ejekan dan makian anak-anak ini memang merupakan ujian berat dan jarang sekali ada orang mampu mempertahankan kesabarannya. Hwesio itu mulai membelalakkan kedua matanya. Akan tetapi ia masih ingat akan kesabaran, maka tanyanya,

   "Anak-anak, kalian minta labu untuk apakah? Apakah kalian lapar dan hendak memakannya?"

   "Aku mau yang Bundar untuk main bola!"

   "Aku yang panjang untuk bikin kereta!"

   Hwesio itu menjadi marah.

   "Enak saja kalian bicara! Pinceng menanam sayur dan labu untuk bahan makan, bukan untuk main-main. Hayo kalian pergi, tidak boleh minta labu!"

   Kembali anak-anak itu memaki-maki dan Hwesio itu tidak mempedulikan lagi, malah melanjutkan pekerjaannya, sekarang ke ladang sayur-sayuran untuk memeriksa kalau-kalau sayur-sayurnya dihinggapi ulat. Kesempatan ini? dipergunakan oleh anak-anak nakal itu untuk menyerbu ladang dan mengambil labu yang besar-besar.

   "Eh, anak-anak nakal, kalian tiada bedanya dengan babi hutan!"

   Hwesio itu melompat dan menampar anak-anak yang dekat dengannya. Anak-anak itu berteriak-teriak, ada yang menangis dan mereka berserabutan lari.

   "Kalian perlu dihajar agar kelak tidak menjadi manusia-manusia berwatak babi hutan!"

   Hwesio itu masih memaki sambil menempiling anak-anak yang terdekat. Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat di belakangnya dibarengi bentakan suara anak-anak,

   "Hwesio gundul, berani kau memukuli teman-temanku?"

   Hwesio itu kaget sekali akan tetapi ia tidak sempat membalikkan tubuhnya karena tiba-tiba bayangan yang ternyata adalah Sin Lee anak berusia sepuluh tahun itu sudah menampar kepalanya yang gundul. Biarpun hanya tamparan seorang anak kecil, namun karena, tamparan itu menggunakan gerakan ilmu silat dan tangan anak itu semenjak kecil sudah terlatih, Hwesio ini menjadi pening dan terhuyung-huyung lalu roboh tertelungkup. Sin Lee berseru girang dan menindih tubuh Hwesio yang tertelungkup di atas tanah itu dan memukulinya. Malah ia berteriak-teriak,

   "Kawan-kawan, hayo kalian hajar Hwesio ini!"

   Anak-anak yang tadi lari berserabutan, sekarang dengan girang lalu datang dan dengan tangan-tangan kecil mereka anak-anak itu memukuli tubuh dan kepala Hwesio tadi! Tentu saja Hwesio yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat itu tidak merasakan pukulan anak-anak itu, akan tetapi pukulan yang jatuh oleh tangan Sin Lee benar-benar membuat ia luka-luka parah juga sehingga membuat ia pingsan.

   "Omitohud... anak-anak, jangan nakal!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan seorang Hwesio tua menggerakkan kedua lengan bajunya ke arah anak-anak yang memukuli Hwesio tinggi besar tadi. Lima orang anak terlempar dan jatuh bergulingan. Mereka menangis, lalu semua orang anak itu berlari pergi. Hwesio tua itu terheran-heran melihat seorang anak kecil tidak bergeming oleh sambaran lengan bajunya tadi, malah sekarang sudah meloncat bangun dan berdiri tegak di depannya dengan mata bersinar-sinar marah!

   "Hwesio tua! berani kau memukul teman-temanku? Tidak malukah kau? Aturan mana yang membolehkan orang tua seperti kau ini memukul anak-anak kecil?"

   Diam-diam Hwesio tua itu tertegun. Ucapan anak nakal berusia antara sepuluh tahun ini tidak patut keluar dari mulut seorang anak sekecil ini. Dan melihat keadaan muridnya yang pingsan itu sudah dapat diduga bahwa tentulah anak ini yang merobohkannya. Diam-diam ia heran dan kagum. Kalau anak sekecil ini dapat mengeluarkan kata-kata seperti itu, apalagi dapat merobohkan muridnya, sudah dapat dipastikan bahwa anak ini bukanlah anak sembarangan dan kalau bukan putera tentulah murid seorang pandai. Maka berhati-hatilah kakek itu dan sambil tersenyum sabar ia bertanya,

   "Eh, anak yang baik, kalau kau bilang bahwa seorang kakek seperti Pinceng memberi penghajaran kepada anak-anak nakal tidak menurut aturan, apakah kau dan teman-temanmu menyerang dan memukul seorang Hwesio sampai pingsan ini juga termasuk aturan benar?"

   "Tentu saja benar! Dia ini tidak mau memberi labu kepada anak-anak dan ketika anak-anak mengambil sendiri, dia pukul."

   Kembali Hwesio tua itu melengak. Memang amat tidak patut anak-anak kecil itu mengeroyok dan memukuli muridnya, akan tetapi lebih keterlaluan lagi kalau muridnya itu yang sudah menjadi Hwesio, berurusan dengan anak-anak kecil saja tidak mampu menahan nafsu dan menggunakan tangan memukul ia menarik napas panjang memandang muridnya. Sebagai seorang ahli silat yang sudah matang kepandaiannya, ia mengerti bahwa biarpun mukanya matang biru dan kepalanya benjol-benjol, muridnya itu hanya terluka di luar saja dan tidak berbahaya.

   "Sudahlah, kalau betul murid Pinceng ini yang salah, Pinceng yang memintakan maaf. Kau pergilah."

   "Tidak bisa!"

   Sin Lee nembantah.

   "Kaupun tadi sudah menggunakan kepandaianmu memukul teman-temanku. Kau mengandalkan kegagahan sendiri, apa kau kira aku takut?"

   Merah muka kakek itu. Anak ini benar-benar aneh dan liar silatnya.

   "Hemm... hemmm... kalau begitu kau mau apakah?"

   "Aku harus balas memukulmu."

   "Begitu? Kau benar-benar nekat. Nah, kau boleh coba pukul kalau bisa, anak bandel."

   Sin Lee mengeluarkan pekik nyaring dan tubuhnya seperti seekor Burung saja menerjang maju, kedua kepalannya yang kecil memukul bertubi-tubi dari kanan kiri, sukar diketahui yang mana yang betul-betul memukul dan sementara itu, kedua kakinya menendang-nendang.

   "Omitohud..."

   Hwesio tua itu menyebut nama Buddha saking kagum dan heran serta kagetnya. Akan tetapi sekali mengibaskan ujung lengan bajunya saja tubuh Sin Lee terguling seperti tertiup angin puyuh. Sebentar Sin Lee nanar, tapi ia segera merangkak bangun dan kembali ia menyerang, malah lebih hebat daripada tadi. Akan tetapi kembali ia terguling, lebih hebat lagi. Beberapa kali ia bangun dan menyerang lagi, akan tetapi makin keras ia menyerang, makin keras pula ia roboh sehingga akhirnya ia menyerah. Ia maklum bahwa ia tidak mampu menandingi kakek tua itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia bangun lagi setelah agak lama ia nanar, membalikkan tubuh dan pergi dari situ.

   "Hee... anak yang aneh, kau tunggu dulu, aku hendak bicara denganmu!"

   Hwesio tua itu mengejar. Tiba-tiba Sin Lee membalikkan tubuh, sikapnya angkuh dan matanya berapi.

   "Aku sudah kalah, kenapa kau banyak cerewet lagi?"

   Setelah berkata demikian ia mengeluarkan bunyi melengking keras. Pada saat itu juga dari udara terdengar bunyi lengking yang lebih nyaring lagi dan seekor Burung menyambar turun seperti kilat menyambar. Sin Lee meloncat ke atas punggung Burung itu yang segera terbang meninggi, meninggalkan kakek tua itu yang berdiri terlongong di bawah.

   "Omitohud... apakah itu yang oleh orang-orang disebut Kim-Tiauw milik orang sakti yang dipanggil Toanio dan anak itu, kiranya puteranya... benarkah di dunia ada hal seaneh dan sehebat ini...? Ia menarik nafas berulang-ulang dan diam-diam ia menguatirkan bahwa kelak di dunia kang-ouw pasti akan muncul seorang tokoh luar biasa, yaitu bocah tadi semoga ia tidak tersesat..."

   Demikian doanya. Betapapun juga nakalnya, Sin Lee memiliki watak gagah yang jarang terdapat dalam diri anak kecil berusia sepuluh tahun, Contohnya, kekalahan terhadap Hwesio tua itu sama sekali tidak ia beritahukan kepada ibunya. Ia tidak mendendam malah tidak ada dalam pikirannya sama sekali pada waktu itu untuk minta bantuan Burungnya. Juga ia tidak mau minta ibunya supaya membalaskan kekalahannya.

   Banyak sekali kenakalan dilakukan oleh Sin Lee, akan tetapi semenjak kekalahannya oleh kakek itu, ia mendapatkan pengalaman pahit sekali. Belum pernah ia mengalami kekalahan dalam perkelahian, maka semenjak ia kalah oleh kakek tua itu, ia makin tekun belajar ilmu silat dari ibunya. Tentu saja Kwa Hong yang tidak menyangka sesuatu, menjadi gembira sekali dan menurunkan seluruh kepandaiannya. Watak keras yang dulu dimiliki Kwa Hong kiranya menurun pula kepada Sin Lee, malah lebih hebat lagi. Ketika ia berusia enam belas tahun, Sin Lee melakukan perbuatan yang amat merugikan dia sendiri dan ibunya. Sudah menjadi kebiasaan binatang peliharaan, sekali-kali tentu ingin bebas lepas tak terganggu. Demikian pula Burung Rajawali Emas, biarpun kelihatan amat setia kepada Kwa Hong dan Sin Lee, namun adakalanya Burung ini terbang pergi sampai beberapa hari tidak kembali.

   Mungkin Burung ini terbang pergi mencari teman-temannya, atau mungkin juga mencari mangsa di tempat-tempat jauh. Ini hanya dugaan Kwa Hong dan Sin Lee saja. Padahal sebenarnya Burung itu seringkali pergi ke tempat asalnya, yaitu di puncak sebuah gunung yang tak pernah didatangi manusia, tempat di mana ia tinggal sebelum ia bertemu dengan Kwa Hong dan kemudian dipeliharanya. Pada suatu hari, seperti sudah sering kali tejadi, Sin Lee marah-marah karena Rajawali itu tidak pulang. Sudah hampir sebulan Rajawali itu tidak pulang dan telah payah Sin Lee mencari ke dalam hutan-hutan, bersuit-suit memanggil tanpa ada jawaban. Pemuda berusia enam belas tahun ini sampai tak enak makan tak enak tidur memikirkan Burungnya. Dan ia menjadi marah bukan main ketika pada suatu pagi, Burung itu datang!

   "Keparat, kau benar-benar menggemaskan!"

   Kata Sin Lee yang menyambut kedatangan Burungnya. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu... mencabuti bulu sayap Burung itu. Bukan sekali-kali ia bermaksud untuk menyiksa, melainkan saking marahnya ia bermaksud untuk menghukum Burung itu agar Burung itu tidak mampu terbang lagi. Burung adalah seekor binatang biasa, Kalau ia dibaiki tentu ia akan membalas kebaikan itu dengan kesetiaan. Akan tetapi kalau ia disakiti, siapapun yang melakukannya tentu akan dilawannya. Sekali dua kali bulunya dicabut ia diam saja hanya memekik-mekik, akan tetapi setelah Sin Lee terus saja mencabuti bulunya, ia menjadi marah dan menampar. Pemuda itu yang tidak menduga akan ditampar, terlempar tubuhnya.

   "Setan, kau menantang berkelahi?"

   Bagi Sin Lee, siapapun yang menantangnya berkelahi pasti akan ia layani. Kemarahannya memuncak ketika Burung yang ia anggap bersalah dan hendak ia hukum itu malah menyerangnya.

   "Kita lihat siapa yang akan menang! Kalau aku kalah. aku tidak akan mencabuti bulumu, akan tetapi kalau kau yang kalah, tidak hanya sayapmu, malah ekormu akan kucabut habis untuk hukumanmu!"

   Kemudian ia menerjang maju, menyerang Burungnya. Sudah menjadi kebiasaan Kwa Hong di waktu Sin Lee masih kecil untuk melatih anaknya itu bertempur melawan Rajawali akan tetapi dalam latihan ini Rajawali Emas tidak bertempur sungguh-sungguh.

   Betapapun juga, makin besar anak itu, makin hebat kepandaiannya dan akhirnya dalam setiap latihan, akhirnya Burung itulah yang kalah. Sin Leepun tidak mau menyakitinya, apalagi membunuhnya, cukup ia dianggap menang kalau ia dapat menangkap leher Burung dalam kempitannya membuat Burung itu tak mampu bergerak lagi. Akan tetapi sekarang keduanya berhadapan sebagai lawan yang sungguh-sungguh hendak bertempur, Sin Lee dalam kemarahannya hendak menghukum Burung yang dianggapnya jahat itu, sebaliknya Burung itu dengan nalurinya merasa bahwa pemuda ini hendak berbuat jahat kepadanya, hendak menyakitinya, maka iapun tidak mau main-main lagi. Melihat penyerangan hebat dari Sin Lee, Burung Rajawali Emas itupun cepat mengelak dan mengibaskan sayapnya.

   Biarpun Burung itu sudah termasuk berusia tua, namun tenaganya tidak berkurang semenjak dahulu. Kibasan sayapnya memiliki tenaga ratusan kati. Sin Lee yang melihat tamparan sayap inipun maklum bahwa Burungnya tidak main-main, maka ia menjadi makin marah, cepat tubuhnya berkelebat mengelak dan dengan keras ia memukul kepala binatang itu. Gerakan Rajawali Emas tetap gesit, serangan itu dapat ia elakkan pula dan dibalasnya dengan tendangannya yang biasanya hebat sekali. Namun Sin Lee yang sudah hafal akan semua gerakan Burungnya, dapat menghindar. Terjadilah pertandingan yang bukan main serunya. Tubuh Burung dan manusia itu berkelebatan sampai tidak kelihatan lagi, hanya tampak gulungan sinar kuning emas dan bayangan-bayangan yang menjadi satu.

   Debu mengebul tinggi dan daun-daun pohon di dekat tempat pertandingan itu bergerak-gerak seperti tertiup angin, malah daun-daun yang sudah menguning pada rontok berhamburan. Sejam lebih mereka bertempur akhirnya Burung itu harus mengakui keunggulan Sin Lee. Dua kali dadanya terkena pukulan dan segenggam bulunya di leher telah copot oleh cengkeraman pemuda itu. Sambil mengeluarkan keluhan panjang Burung itu lalu terbang pergi. Ia tidak mau turun kembali, biarpun dipanggil dan dimaki-maki oleh Sin Lee, Kwa Hong menyesal bukan main setelah mendengar tentang pertempuran ini dan mendapat kenyataan bahwa sekali ini Burung Rajawali itu benar-benar tidak mau pulang ke Lu-Liang-San. Akan tetapi Sin Lee tidak pernah memperlihatkan rasa sesalnya.

   
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau dia tidak mau lagi ikut kita, mengapa kita harus menyesal? Biarlah dia tidak kembali lagi, tidak apa."

   "Lee-ji, kenapa kau berkata begini? Burung itu sudah belasan tahun ikut dengan aku, aku sayang padanya dan... ah, bukankah kalau ada dia mudah sekali kita hendak pergi ke mana-mana? Dia adalah seekor binatang tunggangan yang jarang ada keduanya di dunia ini."

   "Aku masih memiliki kedua kakiku, kalau tidak ada dia, aku dapat pergi ke mana saja dengan jalan kaki. Ibu, bukankah ibu seringkali mengatakan bahwa hidup di dunia ini terutama sekali harus mengandalkan diri sendiri dan tidak boleh bersandar kepada orang lain?"

   Kwa Hong telalu menyayang puteranya maka iapun tidak tega untuk memarahinya. Diam-diam ia girang karena anaknya ini ternyata mendapatkan kemajuan pesat sehingga Burung Rajawali Emas yang tidak mudah dikalahkan orang itu akhirnya kalah juga menghadapi puteranya. Maka ia lalu lebih tekun menggembleng Sin Lee sehingga akhirnya dia sendiri dengan pedang di tangan kanan dan cambuk anak panah di tangan kiri tidak mampu menandingi pedang puteranya, lebih dari lima puluh jurus! Usia Sin Lee sudah delapan belas tahun ketika Kwa Hong membuka rahasia hatinya yang terpendam selama belasan tahun ini.

   "Lee-ji puteraku sayang, kau sekarang sudah mewarisi semua kepandaian ibumu, dan kau sudah terlalu besar untuk tinggal terus di puncak gunung ini. Sudah tiba waktunya kau harus turun gunung memperluas pengetahuan dan... mencari jodoh."

   "Aku tidak inginkan jodoh!"

   Sin Lee memotong cepat dengan kedua pipinya kemerahan. Ibunya memandang penuh kasih dengan mata berseri-seri dan tersenyum. Alangkah tampan puteranya, melampaui Beng San! Teringat Beng San, jantungnya berdebaran dan terbayanglah semua peristiwa yang lalu dan perasaannya menjadi panas.

   "Dengar, puteraku, Kau dulu sering kali menanyakan Ayahmu dan kujawab bahwa Ayahmu telah mati. Itu memang benar, akan tetapi baru sekarang hendak kuceritakan kepadamu sebab kematian Ayahmu."

   Sin Lee segera memandang ibunya dan mendengarkan penuh perhatian. Sejak kecil ia merasa berduka dan kecewa sekali mendengar bahwa Ayahnya telah mati.

   "Apakah sebab kematian Ayahku, Ibu?"

   Tanyanya mendesak, Kwa Hong menarik napas panjang berulang-ulang, agaknya berat ia hendak mengeluarkan kata-kata. Akhirnya ia bicara dengan suara serak,

   "Anakku..., Ayahmu she Tan jadi namamu Tan Sin Lee. Adapun kematian Ayahmu tidak sewajarnya, melainkan dibunuh orang."

   Tldak ada reaksi apa-apa pada pemuda itu. Memang Sin Lee aneh orangnya. Ia tidak bisa menaruh hati dendam karena selama ia hidup di gunung itu ia tidak pernah menghadapi sesuatu dan segala peristiwa yang menimpa siapapun juga ia anggap sudah sewajarnya, pasti ada sebab menjadikan peristiwa itu, Umpamanya ketika ia kalah oleh Hwesio tua, ia anggap hal itu terjadi karena ia memang kalah pandai dan habis perkara. Ia tidak menaruh dendam. Sekarang, mendengar Ayahnya mati dibunuh orang, otomatis ia menganggap bahwa Ayahnya dibunuh karena kalah dalam pertempuran, jadi menurut pendapatnya, Ayahnya yang bersalah mengapa sampai kalah!,

   "Banyak orang yang membunuh Ayahmu. Pertama-tama adalah seorang laki-laki bernama... Tan Beng San!"

   Ia berhenti sebentar, dan menahan air matanya, memandang puteranya. Sin Lee kelihatan mengerutkan keningnya terheran,

   "Diapun she Tan, Ibu? Bukankah orang yang sama shenya itu berarti masih keluarga?"

   "Tidak... tidak... banyak orang she nya sama tapi bukan apa-apa,"

   Jawab Kwa Hong cepat.

   "Hemmm, lalu siapa lagi, Ibu?"

   "Orang ke dua adalah seorang wanita bernama Cia Li Cu, Isteri dari Tan Beng San itu."

   Ia memang sudah mendengar bahwa Beng San telah menikah dengan Li Cu, maka ia menyebut nama wanita yang dibencinya karena iri hati dan cemburu ini.

   "Adapun orang ke tiga... dia adalah Song-Bun-Kwi Kwee Lun. Nah, tiga orang itulah yang telah membunuh Ayahmu dan yang membuat ibumu hidup menderita. Kau harus mencari mereka, kau bunuhlah Cia Li Cu dan Song-Bun-Kwi. Kwee Lun, tapi... kau jangan bunuh Tan Beng San, kau tangkap

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Rajawali Emas (Seri ke 02 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   saja dan kau seret dia ke sini!"

   Sin Lee memandang ibunya dengan mata membelalaki,

   "Kenapa, Ibu? Kenapa aku harus membunuh mereka? Mereka tidak mempunyai urusan apa-apa denganku."

   Kwa Hong balas memandang dengan marah.

   "Apa? Kau tidak mau mewakili ibumu membalas sakit hati? Percuma sajakah aku mempunyai seorang anak laki-laki seperti kau, hidup menderita untukmu dan menurunkan semua kepandaianku untukmu?"

   Sin Lee cepat-cepat memeluk ibunya yang telah menangis.

   "Sudahlah, Ibu. Sama sekali bukan begitu maksudku. Aku hanya menyatakan isi hatiku bahwa aku tidak mempunyai permusuhan dengan mereka. Akan tetapi kalau Ibu memerintah anakmu ini, biarpun harus melawan Naga berapi akan kujalani. Terangkanlah maksud Ibu bagaimana, anak akan segera melaksanakan semua kehendakmu."

   Dengan terharu dan girang Kwa Hong memeluk puteranya, lalu berkata dengan sungguh-sungguh,

   "Tugas yang kuserahkan kepadamu ini bukanlah tugas ringan, Anakku. Tiga orang yang kusebut-sebut tadi adalah orang-orang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya. Song-Bun-Kwi Kwee Lun adalah seorang kakek sakti yang kepandaiannya dahsyat, terkenal dengan ilmu pedangnya Yang-Sin Kiam-Sut dan suling tangisnya yang dapat melumpuhkan semangat lawan. Dahulu, Song-Bun-Kwi Kwee Lun ini adalah tokoh nomor satu dari barat. Nah, kau harus cari orang ini di puncak Min-San, bunuhlah dia karena dia telah menjadi sebab rusaknya kehidupan ibumu."

   Sambil berkata demikian, dengan gemas Kwa Hong mengenangkan Bi Goat yang dianggap telah merampas cinta kasih Beng San. Sekarang Bi Goat sudah meninggal dunia, maka ia anggap sudah semestinya kalau ia menyuruh puteranya membunuh kakek itu. Padahal ia mempunyai maksud lain dengan perintah ini. Ia tahu bahwa putera Bi Goat diambil oleh Song-Bun-Kwi maka mencari kakek itu berarti mencari putera Bi Goat dan Beng San!

   "Kalau kau sudah bertemu dengan kakek itu, selain dia kau harus pula membinasakan seorang pemuda sebaya engkau yang menjadi cucunya atau putera seorang wanita bernama Bi Goat."

   Sin Lee mengerutkan keningnya, di dalam hatinya sebetulnya ia tidak setuju dengan tugas membunuh-bunuhi orang yang sama sekali tak dikenalnya itu. Akan tetapi ia tidak mau mengecewakan hati ibunya, orang yang amat dikasihinya itu.

   "Hemmm, jadi kakek itu tinggal di Min-San, Ibu? Lalu yang lain-lain itu tinggal di mana?"

   "Orang yang harus kau bunuh lagi adalah Cia Li Cu. Kau harus berhati-hati kalau berhadapan dengan dia ini. Dia adalah murid mendiang Raja Pedang. Ilmu pedangnya hebat sekali. Dia tinggal di Thai-San bersama... orang ke tiga itu, yang bernama Tan Beng San."

   "Jadi Cia Li Cu itu Isteri dari Tan Beng San?"

   Tanya Sin Lee.

   "Eh, hem... betul. Cia Li Cu harus kau bunuh. Kemudian kau seret Tan Beng San itu ke sini, kau hadapkan padaku. Ingat betul, jangan kau bunuh dia itu, boleh kau lukai kalau dia melawan, akan tetapi jangan sekali-kali kau bunuh. Aku yang hendak membunuhnya, dengan kedua tanganku sendiri!"

   Melihat pandang mata dan gerakan tangan ibunya, diam-diam Sin Lee terkejut sekali.

   "Ibu, kenapa kau amat membenci Tan Beng San ini?"

   Sampai lama Kwa Hong tak dapat menjawab dan mata yang tadinya bersinar ganas dan liar itu perlahan-lahan melunak dan air matanya hampir menitik turun. Cepat-cepat ia mengusap kedua matanya dan berkata perlahan,

   "Dia itulah yang menghancurkan hidupku, memaksa ibumu ini hidup menyendiri di puncak gunung ini. Kau harus berhasil menangkap dia, tak peduli apapun yang terjadi. Dia harus kau tangkap, kau seret ke sini, Anakku..."

   Suaranya ibunya yang penuh permohonan ini membanjirkan perasaan haru dan kasihan dalam dada Sin Lee. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan ibunya ini, apapun yang akan terjadi dengan dirinya.

   "Ibu, agaknya aku akan berhasil menangkapnya dan menyeretnya ke depan kakimu. Tapi... dia itu orang macam apakah?"

   Kwa Hong menarik napas panjang.

   "Kau tidak boleh memandang rendah Song-Bun-Kwi Kwee Lun, kau harus berhati-hati terhadap Cia Li Cu. Akan tetapi menghadapi orang ini, Anakku... aku benar-benar sangsi apakah kau akan dapat melawannya. Dia itulah sesungguhnya Raja Pedang, ilmu pedang dan ilmu silatnya luar biasa sekali, belum pernah aku melihat dia dikalahkan orang. Dia hebat... dia hebat..."

   Kwa Hong merenung, wajahnya agak berseri, bangkit kembali cinta kasihnya kalau ia merenungkan bekas kekasihnya itu.

   "Dia laki-laki hebat..."

   Kembali ia berkata dan kali ini dengan keluhan. Panas hati Sin Lee mendengar ini. Biasanya ibunya hanya menganggap bahwa dialah orang yang paling pandai di dunia ini, sekarang ibunya memuji seorang musuh!

   "Ibu, aku bersumpah akan menyeret Tan Beng San itu ke depan kakimu. Kalau belum terjadi hal ini, aku bersumpah takkan kembali ke sini."

   Sin Lee cepat berkemas, membawa pedang pusaka pemberian ibunya, membuntal pakaian dan membawa beberapa potong emas, lalu turun gunung. Kwa Hong mengantar puteranya sampai di lereng gunung dan membekalinya banyak nasihat dan memesannya agar berhati-hati.

   Kun Hong dibawa terbang jauh sekali oleh Rajawali Emas, Burung ajaib ini semenjak meninggalkan Lu-Liang-San tidak mau kembali lagi dan selama itu ia terbang dan tinggal di tempatnya yang lama, yaitu di puncak sebuah bukit yang tak pernah didatangi manusia. Kadang-kadang ia meninggalkan tempatnya ini dan tidak seperti dulu ketika masih dipelihara oleh Kwa Hong, sekarang ia bebas lepas dan pergi ke mana saja ia suka. Kebetulan sekali ia bertemu dengan Kun Hong. Binatang ini memang amat mengenal budi orang. Sekali saja orang melepas budi kepadanya, ia tentu akan membalasnya dengan penuh kesetiaan. Akan tetapi sebaliknya, kalau ia disakiti, iapun akan membenci yang menyakitinya.

   Tanpa disengaja Kun Hong telah memberi katak putih yang segera dikenal oleh Burung ajaib ini dan ditelan, maka selamatlah ia dari racun hebat yang melukai kakinya. Pertolongan ini membuat ia amat suka dan setia kepada Kun Hong dan sekarang ia hendak membawa pemuda itu terbang ke tempat tinggalnya, di puncak sebuah bukit yang di jaman dahulu dikenal sebagai Bukit Kepala Naga. Puncak ini disebut Kepala Naga karena bentuknya dilihat dari Barat memang menyerupai bentuk kepala naga. Kun Hong tidak tahu ke mana ia akan dibawa oleh Burung itu. Anehnya, pada waktu tengah hari dan malam, Burung itu selalu berhenti di sebuah hutan dan tanpa diminta lagi lalu mencarikan buah-buahan yang segar dan enak untuk pemuda itu.

   Tentu saja Kun Hong girang sekali mendapatkan kawan yang baik, apalagi selamanya ia tidak pernah turun gunung, sekarang begitu turun gunung ia mengalami hal-hal yang amat aneh. Biarpun Ayahnya adalah Kwa Tin Siong dan juga menjadi Ayah Kwa Hong, namun Kun Hong belum pernah diceritakan tentang kakak perempuannya lain ibu itu, maka iapun tidak pernah mendengar tentang adanya Rajawali Emas. Para Tosu Hoa-San-Pai yang sudah dipesan keras oleh Kwa Tin Siong, tidak ada yang pernah bercerita tentang peristiwa yang mencemarkan nama baik Ketua Hoa-San-Pai itu. Andaikata ia pernah mendengar tentang Kwa Hong yang datang menyerbu Hoa-San-Pai naik Rajawali Emas, kiranya pemuda ini akan dapat mengenal Burung itu.

   Setelah lewat lima hari, sampailah Burung Rajawali Emas itu ke puncak gunung Kepala Naga. Ia menukik ke bawah dan Kun Hong merangkul leher Burung, mencengkeram kalung mutiara itu sambil meramkan matanya. Ia merasa ngeri sekali melihat betapa dia dan Burung itu meluncur turun, seakan-akan hendak tertumbuk kepada jurang-jurang dan batu-batu yang menanti di bawah, jurang-jurang menganga seperti mulut Harimau dan batu-batu meruncing seperti ujung pedang dan golok. Setelah Burung itu hinggap di atas tanah barulah ia berani membuka kedua matanya. Alangkah herannya ketika ia melihat bahwa Burung Rajawali itu telah berdiri di depan sebuah gua yang bentuknya seperti mulut naga.

   Gua batu itu amat lebar dan dalam, letaknya di depan jurang yang sangat terjal sehingga kalau bukan Burung yang pandai terbang, manusia biasa kiranya tak mungkin dapat mendatangi tempat ini. Pemandangan alam dari tempat itu, dari depan gua, amat indahnya, seakan-akan dunia terletak di bawah kaki gua, Kun Hong segera melompat turun dari punggung Rajawali. Ia mendekati gua, akan tetapi tidak berani masuk karena ia merasa seakan-akan ia berdiri di depan tempat tinggal seseorang sehingga ia tidak berani masuk begitu saja tanpa perkenan si pemilik tempat tinggal! Akan tetapi tiba-tiba Burung itu mengeluarkan bunyi perlahan dan dari belakangnya Burung itu mendorong punggungnya perlahan-lahan, seakan-akan hendak menyuruh pemuda itu memasuki gua.

   Karena kemudian dapat menduga bahwa tak mungkin di dalam gua yang letaknya demikian sukar dapat didiami, manusia Kun Hong lalu memasukinya. Ia terheran-heran melihat bahwa di dalam gua itu terbagi menjadi tiga, yaitu bagian depan dan di sebelah dalam terdapat dua buah ruangan tertutup. Pintunya juga merupakan pintu batu akan tetapi bentuknya jelas adalah buatan manusia! Dengan hati berdebar-debar ia mendorong pintu batu di sebelah kiri. Akan tetapi betapapun ia mengerahkan tenaga, pintu batu itu bergerak sedikitpun tidak! Tiba-tiba terdengar Burung itu bersuara di belakangnya, kemudian dengan sayap kanannya Burung itu mendorong perlahan dan... pintu batu itu terbuka!

   "Tiauw-Ko, kau benar-benar kuat sekali!"

   Kun Hong memuji dan makin berdebar hatinya ketika ia melangkah masuk.

   "Lo-Cianpwe (sebutan untuk orang tua pandai) atau arwahnya yang mulia, harap sudi mengampuni kelancanganku ini."

   Katanya dengan bisikan perlahan dan mulailah ia merasa serem karena di dalam kamar batu ini ia melihat sebuah meja sembahyang!

   Tempat lilin yang amat kuno terletak di kanan kiri ujung meja dan di atas dua tempat lilin ini masih tertancap dua batang lliin merah. Lilin-lilin itu tidak menyala, akan tetapi lilin yang meleleh bekas terbakar masih kelihatan seakan-akan baru saja dipadamkan. Ketika Kun Hong mendekati, tampak nyata olehnya bahwa lilin sudah lama sekali tidak dinyalakan orang, buktinya di atasnya terdapat banyak sarang laba-laba. Di tengah-tengah meja kelihatan sebuah kitab yang tebal dan sudah tua sekali. Melihat sebuah kitab kuno, bukan main girangnya hati Kun Hong. Ingin segera menyambar kitab itu untuk dibacanya, akan tetapi karena semenjak kecil ia dijejali pelajaran dan tata-susila, ia tidak berani melakukan hal itu. Karena keinginannya melihat buku itu amat keras, ia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan meja sembahyang lalu berkata keras-keras,

   "Lo-Cianpwe pemilik kitab di atas meja, harap sudi memberi perkenan kepada Teecu untuk mengambilnya dan membaca isinya."

   Berkali-kali ia mengucapkan kata-kata ini sambil membentur-benturkan jidatnya kepada lantai untuk memberi hormat kepada pemilik kitab yang tidak diketahuinya siapa dan yang ia tidak tahu masih hidup ataukah sudah mati itu.

   Ketika ia berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya di atas lantai depan meja sembahyang itu, matanya melihat ukiran-ukiran huruf kecil-kecil di bawah meja. Ukiran huruf-huruf itu demikian kecilnya sehingga kalau orang tidak mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya menyentuh lantai kiranya takkan dapat melihatnya. Tidak akan ada huruf-huruf yang terlewat begitu saja oleh sepasang mata Kun Hong yang selalu haus akan bacaan, apalagi kalau huruf-huruf itu berada di tempat yang begitu aneh dan goresan huruf-huruf itu amat indahnya. Ia segera membacanya, Dapat masuk berarti jodoh. Dapat membaca berarti tahu sopan dan murid yang baik. Untuk ambil kitab singkirkan anak-anak panah di bawah meja. Setelah hafal kitab baru ambil pedang di kamar samadhi. Beberapa kali Kun Hong membaca tulisan kecil-kecil itu dan ia merasa seakan-akan surat itu ditujukan kepadanya!

   

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini