Ceritasilat Novel Online

Rajawali Emas 2


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



"Benar-benarkah kau menjadi Suami Nona Kwa Hong? Jangan berdusta, jawab terus terang!"

   Biasanya apabila gurunya sudah membentaknya seperti itu, hati Koai Atong menjadi jerih dan takut, lalu serta-merta menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi kali ini ia tetap berdiri dan biarpun wajahnya berubah pucat dan tubuhnya menggigil, ia menjawab,

   "Betul, Suhu. Enci Hong adalah Isteriku, aku Suaminya dan anaknya kelak akan menjadi..."

   "Tutup mulut!"

   Giam Kong Hwesio membentak marah sekali.

   "Atong, lupakah kau bahwa dalam segala hal kau harus mendapat ijin lebih dulu dari Pinceng? Diam-diam kau mengaku sebagai Suami Nona Kwa Hong, siapakah yang memaksamu berbuat demikian?"

   "Enci Hong yang meminta begitu, Suhu... dan aku... aku tidak bisa menolaknya, tidak mau aku membikin Enci Hong marah dan berduka."

   Giam Kong Hwesio melirik ke arah Lian Bu Tojin, sinar matanya seakan-akan berkata,

   "Nah, semua adalah kesalahan muridmu!"

   Akan tetapi Lian Bu Tojin tidak berkata apa-apa hanya memandang ke sana ke mari agaknya mencari Kwa Hong.

   "Atong, sekarang juga kau harus tinggalkan tempat ini dan ikut bersama Pincengl"

   Makin pucat wajah Koai Atong.

   "Apa...? Pergi meninggalkan Enci Hong...? Tidak, Suhu. Aku tidak mau, aku tidak bisa berpisah dari Enci Hong. Aku tidak mau pergi ikut denganmu!"

   "Setan! Atong, apakah kau hendak melawan gurumu?"

   "Siapapun juga tidak boleh memisahkan aku dengan Enci Hong!"

   Koai Atong tetap membantah.

   "Keparat, kalau begitu lebih baik Pinceng rnelihat kau mati!"

   Tiba-tiba tubuh yang tinggi besar dari Giam Kong Hwesio itu bergerak dan tahu-tahu ia sudah mengirim serangan maut ke arah kepala Koai Atong. la sudah maklum sampai di mana tingkat kepandaian muridnya ini, yaitu tidak selisih jauh dengan tingkatnya sendiri, maka begitu turun tangan ia segera mengirim pukulan dengan jurus yang mematikan dan yang kiranya takkan dapat dihindarkan oleh muridnya itu. Akan tetapi, di luar dugaannya sama sekali, tubuh Koai Atong bergerak sedikit, kakinya menggeser dan kedua lengannya dikembangkan seperti sayap dan... serangan itu hanya mengenai tempat kosong Giam Kong Hwesio terkesiap, bukan karena dihindarkannya serangannya, melainkan cara muridnya itu bergerak menyelamatkan diri. Gerakan kaki dan kedua tangan muridnya itu sama sekali asing baginya.

   "Murid murtad, kau sudah mempelajari ilmu silat lain pula? Nah, pergunakan llmu silat barumu untuk menghadapi ini!"

   Kembali Giam Kong Hwesio menyerang, kini menyerang sambil mengerahkan tenaga Jing-Tok-Ciang yang luar biasa hebatnya.

   Namun ia kembali kecele sampai berkali-kali. Serangannya susul-menyusul sampai dua puluh empat jurus tanpa berhenti, namun kesemuanya itu dapat dihindarkan dengan arnat mudahnya oleh Koai Atong. Melihat hal ini tadinya Lian Bu Tojin sendiri mengira bahwa Giam Kong Hwesio hanya menggertak muridnya dan masih merasa sayang untuk menghukumnya. Akan tetapi setelah melihat betapa Giam Kong Hwesio makin lama makin marah dan serangan-serangannya betul-betul amat berbahaya, ia mulai memperhatikan dan amat heranlah hati ia sendiri menyaksikan betapa aneh dan luar biasa gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Koai Atong itu. Tubuh Koai Atong yang tinggi besar itu agak membungkuk, kakinya berloncatan ke sana-sini, kedua lengannya dikembangkan seperti Burung hendak terbang. Dan setiap kali serangan datang selalu otomatis kaki dan tangannya bergerak secara aneh tapi selalu dapat menghindarkan semua pukulan.

   "Kurang ajar, kau benar-benar hendak melawan gurumu sendiri? Atong, kalau begitu biar pinceng

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Rajawali Emas (Seri ke 02 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   mengadu nyawa denganmu!"

   Seru Giam Kong Hwesio yang menjadi marah luar biasa. Tiba-tiba terdengar suara merdu dari atas,

   "Koai Atong, Hwesio buruk itu bukan gurumu lagi, balaslah dengan Jing-Tok-Ciang yang baru kita latih kemarin!"

   Wajah Koai Atong berseri-seri mendengar suara ini, lalu ia menjawab,

   "Baiklah, Enci Hong. Eh, Hwesio buruk, kau bukan guruku lagi dan sekarang kau rebahlah!"

   Sambil berkata demikian Koai Atong memutar-mutar lengan kiri hendak menggunakan pukulan Jing-Tok-Ciang. Tentu saja serangan ini dipandang ringan oleh Giam Kong Hwesio. Dialah yang menciptakan ilmu Pukulan Jing-Tok-Ciang ini, masa sekarang ia diancam dengan ilmu pukulan ciptaannya itu?.

   Hampir ia tertawa melihat bekas muridnya memutar-mutar tangan kirinya. Tepat seperti yang ia ajarkan dulu, tangan kiri Koai Atong mendorong dengan tenaga Jing-Tok-Ciang. Tentu saja sebagai penciptanya, Giam Kong Hwesio tahu cara pemecahannya, malah tahu cara untuk membalas secara hebat. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dan dengan Jing-Tok-Ciang pula tapi dengan tenaga "menyedot"

   Ia menangkis dengan tangan kanannya kepada dorongan tangan kiri muridnya itu. Dua tangan bertemu dan saling menempel. Giam Kong Hwesio sudah merasa girang karena kali ini ia pasti akan dapat merobohkan bekas muridnya itu. Siapa kira tiba-tiba tangan kanan Koai Atong bergerak mendorong dan... tangan kanan inilah yang mengandung tenaga Jing-Tok-Ciang sepenuhnya Sedangkan tangan kirinya tadi hanyalah gertak atau tipuan belaka.

   "Bukk!!"

   Tubuh Giam Kong Hwesio terhuyung-huyung, matanya terbelalak melotot memandang kepada Koai Atong, kemudian ia roboh terguling dengan mata masih melotot akan tetapi putus nyawanya. Hwesio Tibet ini telah tewas di tangan muridnya sendiri, oleh ilmu pukulan yang dahulu ia ciptakan sendiri. Akan tetapi Jing-Tok-Ciang yang dipergunakan oleh Koai Atong ini telah berubah banyak, dan gerakannya telah dicampur dengan gerakan aneh yang ia pelajari bersama Kwa Hong dari Burung Rajawali Emas! Lian Bu Tojin sejak tadi memandang ke atas, ke arah suara. Ternyata Kwa Hong sedang duduk di atas punggung seekor Burung Rajawali yang berbulu kuning emas.

   Agaknya Burung itu tadi terbang mendatang dengan gerakan sayap yang amat halus sehingga tidak menimbulkan suara dan telah hinggap di cabang dengan Kwa Hong di punggungnya. Hampir Lian Bu Tojin tidak mengenal muridnya ini lagi, Kwa Hong memakai pakaian serba putih, tidak merah seperti dulu lagi, dan ia duduk di punggung Rajawali dengan lagak angkuh dan agung seperti seorang ratu duduk di atas singgasana dari emas! Sama sekali Kwa Hong tidak pernah melirik ke arah Lian Bu Tojin dan begitu melihat Giam Kong Hwesio roboh dan tewas Kwa Hong tertawa dengan suara yang membikin bulu tengkuk berdiri. Dalam pendengaran Lian Bu Tojin, suara itu setengah tertawa setengah menangis. Betapapun juga, melihat Koai Atong membunuh gurunya sendiri, Lian Bu Tojin menjadi marah sekali.

   "Koai, Atong benar-benar kau murid durhaka. Berani kau membunuh gurumu sendiri?"

   Sementara itu, Koai Atong berdiri seperti patung memandangi tubuh Suhunya yang telentang dengan mata mendelik dalam keadaan tidak bernyawa lagi itu. Sekarang, mendengar kata-kata Lian Bu Tojin, ia segera berlutut sambil menangis menggerung-gerung.

   "Suhu... Suhu... kenapa kau diam saja? Suhu... apakah betul-betul kau mati? Ah, Suhu, jangan tinggalkan murid seorang diri di dunia ini. Suhu... jangan mati, Suhu...!"

   Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dari atas pohon dan tahu-tahu Kwa Hong sudah berdiri di dekat Koai Atong, memegang pundak Koai Atong dan diguncang-guncang keras. Lian Bu Tojin diam-diam kaget dan kagum menyaksikan gerakan Kwa Hong ketika melayang turun tadi, seperti seekor Burung saja gerakannya dan demikian ringan! Dari mana gadis ini mempelajari semua itu?

   "Koai Atong, apakah kau sudah gila? Hwesio buruk ini sudah mati, kenapa kau menangis segala macam?"

   Koai Atong bangkit berdiri sambil menyusuti air matanya,

   "Dia adalah guruku, Enci Hong. Dia guruku yang baik... uhh-uhhhuu... kalau dia mati, bagaimana dengan diriku? Uhuhuu..."

   "Goblok! Apa kau lupa ada aku disini. Kau boleh pilih saja, mau ikut gurumu mampus atau mau hidup bersama aku di sini?"

   Seketika berubah wajah Koai Atong. la nampak gugup dan cepat sekali tersenyum dan menyusut kering air matanya,

   "Oh, betul juga. Aku keliru tadi, Enci Hong. Biarkan dia mampus, Hwesio buruk itu yang mau membawa aku pergi darimu. Ha-ha-ha!"

   Mendengar dan melihat ini semua, Lian Bu Tojin tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekarang jelaslah baginya bahwa kesalahannya bukan terletak pada diri Koai Atong, melainkan sepenuhnya adalah karena perbuatan Kwa Hong, terang bahwa Koai Atong hanya menurut saja apa kehendak Kwa Hong. Yang ia tidak mengerti mengapa Kwa Hong melakukan ini semua? Mungkinkah Kwa Hong jatuh cinta kepada orang seperti Koai Atong? Ia menggeleng-geleng kepala, kalau ada kemungkinan ini tentu ada kemungkinan lain, yaitu bahwa Kwa Hong telah menjadi gila!

   "Eh, Tosu tua. Mau apa kau datang ke tempat kami ini?"

   Lian Bu Tojin memandang kepada Kwa Hong dengan mata terpentang lebar sekali. Benarkah ini Kwa Hong gadis cucu muridnya yang dulu hanya takut kepadanya seorang?

   "Hong Hong, benar-benarkah kau sudah lupa kepada Pinto? Lupakah kau kepada kakek gurumu sendiri? Pinto adalah Lian Bu Tojin dari Hoa-San-Pai, Hong Hong, setelah kakek gurumu datang, apakah kau tidak lekas berlutut memberi hormat?"

   Koai Atong berkata,

   "Enci Hong, dia ini Ketua Hoa-San-Pai, Lian Bu Tojin, kakek gurumu yang galak, Lekas berlutut, kau nanti mendapat marah bisa sulit!"

   Akan tetapi tiba-tiba Kwa Hong tertawa bergelak-gelak, lalu berkata dengan nada suara galak,

   "Lian Bu Tojin, siapa tidak tahu bahwa kau adalah Ketua Hoa-San-Pai yang mulia dan gagah perkasa, guru besar yang hendak membunuh murid sendiri kemudian membuntungi lengan kiri murid sendiri? Hah, kau menjemukan hatiku. Tosu tua bangka bau, lekaslah pergi dari sini sebelum timbul seleraku untuk membuntungi tanganmu atau lehermu!"

   Sesabar-sabarnya manusia, masih ada batasnya. Kalau yang memakinya itu seorang lain yang tidak ada hubungannya dengan dirinya, mungkin Lian Bu Tojin takkan melayaninya dan akan pergi begitu saja. Akan tetapi Kwa Hong adalah cucu muridnya. Seorang cucu murid berani memaki-maki kakek gurunya, hal ini benar-benar di luar batas kesabaran Lian Bu Tojin.

   "Kwa Hong, kau benar-benar kurang ajar sekali. Kau sebagai anak murid Hoa-San-Pai sudah mengotorkan dan mencemarkan nama Hoa-San-Pai dengan perbuatanmu yang kotor tak tahu malu ini. Pinto menjadi Ketua Hoa-San-Pai, percuma kalau tidak bisa memberi hukuman kepadamu!"

   Setelah berkata demikian, dengan amarah meluap-luap Lian Bu Tojin lalu menerjang maju sambil memutar tongkat bambunya, melakukan serangan kepada. Kwa Hong. Dengan amat mudah Kwa Hong mengelak dan membalas dengan pukulan aneh sekali gerakannya, dari samping. Melihat betapa gerakan tangan itu ketika memukul agak diputar, tak salah lagi tentu ini sebuah pukulan Jing-Tok-Ciang, akan tetapi juga lain sekali gerakannya dengan Jing-Tok-Ciang dari Giam Kong Hwesio yang pernah dilihat Lian Bu Tojin.

   Betapapun juga Lian Bu Tojin tidak berlaku sembrono dan mengelak sambil menotokkan ujung tongkat bambunya ke arah jalan darah di pinggang bekas cucu muridnya itu. Lagi-lagi Kwa Hong mengelak dan diam-diam Lian Bu Tojin menjadi kagum. Gerakan Kwa Hong ini persis gerakan Koai Atong ketika mengelak dari serangan Giam Kong Hwesio tadi. Gerakannya sederhana tapi aneh dan cepat bukan main, sedikit saja pindahkan kaki dan kembangkan kedua lengan, serangan yang sulit-sulit sudah dapat dihindarkannya. Dilihat sepintas lalu seperti Ilmu Silat Ho-Kun dari Siauw-Lim-Si, akan tetapi kedudukan kakinya berbeda, lagi pula gerakan ini mengandung kegagahan yang tak dapat disamakan dengan Burung Ho dari Ilmu Silat Ho-Kun.

   Karena tak dapat mengenal ilmu silat apa yang dipergunakan oleh Kwa Hong untuk menghadapi serangan-serangan tongkat bambunya, kakek Ketua Hoa-San-Pai itu menjadi penasaran sekali. Apalagi kalau diingat bahwa ia menyerang dengan menggunakan senjata walaupun hanya sebatang tongkat bambu, sedangkan bekas cucu muridnya itu bertangan kosong! Alangkah akan malunya kalau ada orang mendengar bahwa dia, Ketua Hoa-San-Pai, menggunakan senjata tongkatnya yang sudah terkenal, dalam belasan jurus tidak mampu merobohkan cucu muridnya sendiri yang bertangan kosong. Mengingat ini, Lian Bu Tojin lalu berseru keras dan mengeluarkan ilmu silatnya yang paling tinggi, inti dari pada Ilmu Pedang Hoa-San Kiam-Hoat yang karena sukarnya memang belum pernah ia turunkan kepada Kwa Hong.

   Hanya Ayah Kwa Hong, murid pertama dari Hoa-San-Pai, Hoa-San It-Kiam Kwa Tin Siong saja yang pernah mempelajari ilmu pedang ini, tapi juga beJum sempurna betul. Bukan main hebatnya ilmu pedang ini. Biarpun dimainkan hanya dengan sebatang tongkat bambu, namun bahayanya bukan main. Tongkat bambu itu berubah menjadi segulung sinar yang menyambar-nyambar dan mengurung diri Kwa Hong dari segala jurusan. Tadi Kwa Hong selalu dapat menghindarkan diri dari serangan bekas kakek gurunya karena ia memang sudah mengenal ilmu silat Hoa-San-Pai dengan baik. Seperti juga Koai Atong, selama beberapa bulan di dalam hutan ia telah berhasil mempelajari banyak gerakan dari Burung Rajawali Emas itu dan bersama-sama Koai Atong yang memang amat cerdas dalam hal ilmu silat,

   Mereka telah dapat mengambil intisari daripada gerakan-gerakan Burung aneh itu sehingga dapat mempergunakan dalam pertempuran. Akan tetapi yang dapat mereka petik dalam beberapa bulan ini hanya gerakan mengelak saja, itupun belum sempurna betul sungguhpun memang sudah amat hebat kalau dipergunakan dalam pertempuran. Sekarang setelah Lian Bu Tojin mengeluarkan ilmu pedang yang menjadi inti daripada Hoa-San Kiam-Hoat. Kwa Hong menjadi kaget. Tongkat bambu itu mengeluarkan hawa dingin dan membuat matanya berkunang. Baru ia tahu sekarang bahwa kakek gurunya ini, Ketua Hoa-San-Pai memang tidak mempunyai nama kosong belaka. la mengeluarkan pekik menyeramkan dan kini menggunakan segala ingatannya untuk meniru gerakan-gerakan dari Burung Rajawali Emas.

   Bukan hanya gerakan untuk mengelak dari bahaya, juga sedikit-sedikit ia mulai menggunakan gerakan menyerang dari Burung itu. Kedua kakinya kadang-kadang melompat dan menerjang dalam tendangan-tendangan sebagai pengganti kedua kaki Burung kalau mencakar dan menendang, kedua tangannya secara aneh dan tiba-tiba menghantam dari samping seperti gerakan sayap dan kadang-kadang menotok lurus dari depan seperti gerakan patuk Burung. Betapapun juga, Kwa Hong menjadi girang karena ia dalam beberapa puluh jurus gerakannya mengelak masih berhasil menyelamatkan dirinya dari ancaman senjata kakek itu. Akan tetapi, makin lama makin terasa olehnya betapa gulungan sinar itu makin menekan dan mengurung makin rapat sehingga tak mungkin lagi baginya untuk membalas, Repot juga kalau harus mengelak terus dari sinar tongkat yang amat berbahaya itu.

   "Koai Atong, bantu aku!"

   Akhirnya Kwa Hong tidak tahan dan minta bantuan temannya.

   Koai Atong mengeluarkan suara melengking keras meniru suara lengkingan Burung Rajawali, kemudian tubuhnya yang tinggi besar itu menerjang maju Sambil mengirim pukulan Jing-Tok-Ciang ke arah tubuh kakek Ketua Hoa-San-Pai. Lian Bu Tojin terkejut juga ketika merasa ada angin dingin menyambar dahsyat dari samping. Cepat ia mengelak dan memutar tongkatnya menotok sekaligus ke tiga tempat berbahaya di tubuh Koai Atong. Namun sambil terkekeh Koai Atong mengelak dua kali dan menangkis sekali tongkat bambu itu dengan sabetan lengannya dari samping. Lian Bu Tojin kaget ketika merasa betapa sabetan itu mengandung tenaga yang amat dahsyat dan lebih-lebih lagi kagetnya ketika melihat bahwa ujung tongkat bambunya telah remuk!

   "Keparat, hari ini Pinto harus memberi hajaran kepada kalian berdua!"

   Lian Bu Tojin berseru sambil mencabut keluar pedang pusakanya. Cahaya menyilaukan berkelebat ketika pedang pusaka itu tercabut. Inilah pedang pusaka Hoa-San-Pai (Hoa-San Po-Kiam) yang menjadi tanda kekuasaan. Semenjak Hoa-San-Pai didirikan, pedang ini turun-temurun berada di tangan para ketua Hoa-San-Pai.

   Biasanya pedang pusaka ini hanya dipergunakan untuk upacara-upacara peringatan untuk menghormati para. ketua Hoa-San-Pai semenjak dahulu, dan jarang sekali dipakai untuk bertempur. Akan tetapi kali ini karena menghadapi lawan berat dan pula harus menjaga nama baik Hoa-San-Pai, Lian Bu Tojin tidak ragu-ragu lagi untuk menghunusnya dan mempergunakannya. Memang pada hakekatnya tingkat ilmu kepandaian dua orang itu, Koai Atong dan Kwa Hong masih jauh di bawah tingkat Lian Bu Tojin. Kalau tadi Koai Atong berhasil membunuh gurunya adalah karena Giam Kong Hwesio sama sekali tidak pernah mengira bahwa muridnya sudah mendapatkan kepandaian yang demikian anehnya, padahal menurut tingkat, tentu saja Koai Atong masih belum dapat menyamai gurunya.

   Biarpun Koai Atong dan Kwa Hong mendapatkan ilmu yang amat mujijat, yaitu dari gerakan Burung Rajawali Emas itu, namun mereka baru berlatih beberapa bulan saja, pula hanya mempertahankan diri maka merekapun hanya kuat sekali dalam hal ini. Untuk balas menyerang ternyata ilmu kepandaian mereka masih belum dapat menyamai tingkat Lian Bu Tojin. Apalagi sekarang mereka berdua bertangan kosong menghadapi Lian Bu Tojin yang marah dan yang bersenjatakan pedang pusaka Hoa-San-Pai yang ampuh sekali itu. Biarpun mereka dapat selalu menghindar daripada sambaran pedang, namun untuk membalas benar-benar merupakan hal yang amat sulit. Kalau dibiarkan saja terus menghadapi gulungan sinar pedang yang menyilaukan mata ini, akhirnya tentu seorang di antara mereka akan terluka terbunuh.

   "Kim-Tiauw-Heng! Hayo bantu kamil"

   Tiba-tiba Kwa Hong berteriak dan mengeluarkan suara bersuit nyaring.

   Lian Bu Tojin terkejut ketika tiba-tiba ia melihat sinar kuning emas berkelebat dari atas dan tahu-tahu ia sudah diserang bertubi-tubi oleh sepasang cakar, sebuah patuk dan sepasang sayap. Serangan ini hebat luar biasa, akan tetapi sebagai seorang ahli, ia tidak menjadi gugup, malah memusatkan gerakan pedangnya menjadi sebuah lingkaran menghantam ke arah Burung Rajawali itu. Hebatnya, biarpun tadinya menyerang dengan dahsyat, begitu menghadapi serangan maut dari pedang pusaka itu, Burung Rajawali ini dapat secara aneh dan cepat sekali merubah gerakannya dan sekali melejit ia dapat menyelinap di antara gulungan sinar pedang dan berhasil menyelamatkan diri lalu terbang berputaran di atas kepala Lian Bu Tojin, menanti kesempatan baik untuk menyerang lagi.

   "Kim-Tiauw-Heng, kau rampas pedangnya!"

   Kembali Kwa Hong berseru. Lian Bu Tojin mengira bahwa ucapan ini hanya gertakan saja. Ia tidak mengenal Rajawali Emas. Burung itu lain dengan Burung-Burung biasa. Agaknya dahulu pernah dipelihara orang sakti maka Burung ini mudah sekali menangkap perintah manusia.

   Begitu mendengar seruan ini, ia lalu menyambar-nyambar dan sekarang ia benar-benar berusaha merampas pedang, memukulkan kedua sayapnya ke arah kepala Lian Bu Tojin disusul cengkeraman-cengkeraman kedua kakinya ke arah pedang pusaka Hoa-San-Pai! Barulah terkejut hati Lian Bu Tojin. Menghadapi dua orang murid murtad itu sudah merupakan hal yang bukan ringan karena mereka memiliki ilmu mengelak yang benar-benar membuat ia sukar merobohkan mereka. Sekarang ditambah lagi seekor Burung yang demikian dahsyat serangannya, benar-benar ia mengeluh di dalam hatinya. Ketika dengan gerakan-gerakan aneh Kwa Hong dan Koai Atong maju mendesaknya sedangkan Burung itu tiada hentinya menyambar-nyambar di atas kepalanya, mau tak mau Lian Bu Tojin berseru,

   "Celaka...!"

   Karena kemarahannya ditujukan kepada Kwa Hong, maka dengan nekat orang tua ini lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menyerang Kwa Hong.

   Biarlah aku mati asal aku dapat lebih dulu membunuhnya agar nama baik Hoa-San-Pai dapat dipertahankan, pikir kakek ini. Serangannya hebat sekali. Biarpun Kwa Hong sudah rnempergunakan gerakan yang ia pelajari dari Rajawali Emas, dengan gesit menggeser ke sana ke mari, namun ke mana saja ia bergerak, ujung pedang pusaka itu selalu mengikutinya dan mengarah bagian-bagian tubuhnya yang paling berbahaya! Ketika mendapatkan kesempatan baik Lian Bu Tojin mempercepat gerakannya, tanpa mempedulikan lagi bagian tubuhnya yang lain terbuka untuk masuknya serangan, ia menerjang dan maju menusuk leher Kwa Hong dengan sebuah tikaman maut! Kwa Hong menjerit ngeri, namun masih ingat untuk menggerakkan kakinya secara aneh sambil melempar diri ke kiri.

   Namun ujung pedang di tangan Lian Bu Tojin masih terus mengejar lehernya. Pada saat itu Koai Atong menghantam dari samping dengan pukulan Jing-Tok-Ciang. Keras sekali pukulan ini dan tubuh Lian Bu Tojin sampai tergoyang-goyang, namun tetap saja pedangnya ditusukkan terus. Andaikata ia tidak terpukul oleh pasukan Jing-Tok-Ciang begitu kerasnya, tentu nyawa Kwa Hong tak dapat diselamatkan lagi. Sekarang karena pukulan yang hebat ini, tangannya tergetar dan tusukan pedangnya meleset dan hanya menancap di pundak Kwa Hong. Gadis itu menjerit kesakitan dan pada saat itu dari atas menyambar bayangan kuning emas, kemudian sebuah sayap besar menghantam kepala Lian Bu Tojin. Kakek ini biarpun sudah terluka parah oleh pukulan Koai Atong, masih dapat mengangkat tangan kiri menangkis.

   Hantaman sayap demikian hebatnya, sama sekali tidak terduga oleh Lian Bu Tojin sampai tubuhnya terlempar empat meter lebih dan tahu-tahu pedangnya yang ia pakai menusuk Kwa Hong tadi telah berpindah ke dalam paruh si Rajawali Emas! Kwa Hong cepat mengambil pedang pusaka itu dari paruh Burungnya, lalu ia terhuyung-huyung maju sambil mendekap pundaknya yang mengucurkan darah. Adapun Koai Atong ketika melihat Kwa Hong terluka dan berdarah, menjadi marah sekali. Sambil memekik keras ia menubruk maju hendak menyerang Lian Bu Tojin lagi. Namun kakek ini sudah duduk bersila mengatur napas karena luka di dadanya akibat pukulan Jing-Tok-Ciang amat hebatnya. Agaknya ia takkan dapat menghindarkan bahaya maut lagi kalau Koai Atorig menyerangnya.

   "Jangan bunuh dia!"

   Tiba-tiba Kwa Hong membentak, Koai Atong kaget dan menahan pukulannya, dengan heran ia mundur memandang Kwa Hong. Kwa Hong yang kelihatan menyeramkan karena pundaknya mengucurkan darah yang membasahi bajunya itu, tersenyum dengan muka pucat, lalu berkata,

   "Jangan bunuh dia, enak benar kalau dia mampus. Biar dia menderita, biar dia tahu rasanya bagaimana kalau orang terhina, bagaimana rasanya tangan dibikin buntung."

   Sambil berkata demikian tiba-tiba tangannya yang memegang pedang bergerak menyabet dan..., tangan kanan Lian Bu Tojin sebatas pergelangannya terbabat buntung! Kakek itu membuka matanya, menarik napas panjang lalu berdiri. Dengan tangan kirinya ia memijat beberapa tempat di lengan kanannya untuk menghentikan jalan darah sehingga darahnya tidak mengucur terus. Kemudian ia memandang ke arah Kwa Hong dengan sinar mata, yang berubah seakan-akan kilat menyambar sehingga untuk sejenak Kwa Hong tertegun dan terkesima. Betapapun juga, pengaruh yang keluar dari sinar mata itu rnembangkitkan kenangan lama dan membayangkan pengaruh kakek itu atas dirinya bertahun-tahun yang lalu. Koai Atong tertawa,

   "Heh-heh, Tosu tua, kau datang bersama Hwesio itu, kalau pergi jangan lupa membawa temanmu itu bersama!"

   Maksud Koai Atong dengan kata-kata ini bukan sekali-kali untuk mengejek atau menggoda, melainkan dengan maksud hati hendak menyenangkan Kwa Hong. Lian Bu Tojin tidak berkata apa-apa dan ucapan Koai Atong ini menguntungkan Kwa Hong karena seketika sinar mata kakek itu menjadi biasa kembali. Lian Bu Tojin lalu memungut buntungan tangannya dari atas tanah, kemudian dengan lengan kiri ia memanggul tubuh Giam Kong Hwesio lalu berjalanlah ia cepat meninggalkan tempat itu. Benar-benar hebat sekali Ketua Hoa-San-Pai ini.

   Lukanya akibat pukulan Jing-Tok-Ciang dari Koai Atong tadi hebat bukan main, ditambah lagi tangan kanannya buntung, namun sedikitpun la tidak pernah merintih, malah masih dapat pergi cepat sambil memondong jenazah Giam Kong Hwesio dan membawa buntungan tangannya! Kejadian ini cukup hebat sehingga untuk beberapa lama Kwa Hong termenung, baru kemudian ia merawat luka pada pundaknya. Diam-diam Kwa Hong girang sekali karena sekarang terbukti bahwa latihan-latihan yang mereka lakukan dengan ilmu silat yang gerakannya mengambil intisari gerakan Rajawali Emas itu benar-benar tadi telah memperlihatkan kehebatannya. Beberapa hari kemudian di Puncak Hoa-San. Pemberontakan melawan Pemerintah Mongol yang sekarang telah runtuh masih mendatangkan bekas-bekasnya pada perkumpulan Hoa-San-Pai yang bermarkas di puncak gunung ini.

   Dahulunya Hoa-San-Pai di bawah pimpinan Lian Bu Tojin merupakan Partai persilatan yang amat besar. Banyak sekali, lebih dari seratus orang, Tosu (Pendeta To) menjadi murid Lian Bu Tojin. Juga ketika itu Hoa-San-Pai terkenal dengan nama Hoa-San Sie-Eng (Empat Pendekar Hoa-San-Pai) yang menjadi murid-murid utama Lian Bu Tojin. Akan tetapi sekarang keadaan sudah banyak berubah, Hoa-San-Pai tidak semegah dan sekuat dahulu lagi. Banyak sekali anggauta Hoa-San-Pai yang gugur ketika mereka membantu kaum pejuang menumbangkan Pemerintah Kerajaan Mongol. Malah Hoa-San Sie-Eng sudah tidak ada lagi. Yang dua telah tewas ketika terjadi kesalah-pahaman dan permusuhan antara Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai. Tinggal yang dua lagi, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, terjerumus ke dalam jalinan asmara yang membuat mereka lari pergi dari Hoa-San.

   Cucu murid dari Lian Bu Tojin yang sekarang berada di Hoa-San hanya dua orang, yaitu Kui Lok dan Thio Bwee, dua orang saudara seperguruan yang sudah dijodohkan oleh Lian Bu Tojin. Oleh Lian Bu Tojin, dua orang yang ia anggap sebagai calon penggantinya ini digembleng dengan ilmu silat Hoa-San-Pai yang paling tinggi dan ia berpesan supaya dua orang ini berlatih dengan giat. Dalam cerita Raja Pedang telah dituturkan bahwa Thio Bwee memang sudah jatuh hati kepada Suhengnya itu, sebaliknya tadinya Kui Lok hendak merebut hati Kwa Hong. Akan tetapi usahanya ini tidak pernah berhasil dan kemudian setelah ia dijodohkan dengan Thio Bwee dan melihat cinta kasih hati gadis ini terhadap dirinya,

   Terbukalah hatinya dan iapun mulai menaruh hati kasih kepada Thio Bwee. Karena murid Hoa-San-Pai yang lain yaitu Kwa Hong telah minggat dan memberontak terhadap Hoa-San-Pai, sedangkan Thio Ki telah menikah dengan murid Thai-San, yaitu Lee Giok, murid Raja Pedang Cia Hui Gan dan sekarang telah tinggal di Sin-Yang menjadi Piauwsu, maka mereka berdua dengan tekun memperdalam ilmu silat dan tinggal menemani guru besar mereka di Puncak Hoa-San. Pada hari itu Kui Lok dan Thio Bwee sedang memberi petunjuk-petunjuk kepada para Tosu yang juga dipesan supaya memperdalam ilmu silat untuk memperkuat kembali Hoa-San-Pai. Mereka dengan gembira berlatih di halaman depan yang luas dan hawa udara amat sejuk dan indahnya di pagi hari itu. Tiba-tiba seorang Tosu berseru,

   "Suhu datang...!"

   Kui Lok dan Thio Bwee menengok dan cepat mereka lari menyambut dengan hati gelisah. Kakek Ketua Hoa-San-Pai itu nampak pucat dan jalannya terhuyung-huyung, terang sudah menderita luka hebat sekali. Kui Lok adalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tiga tahun, akan tetapi pandang matanya sudah tajam rnenandakan bahwa ia sudah memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman luas. Wajahnya tampan dan ada sifat-sifat nakal gembira, akan tetapi tarikan mulutnya membayangkan keangkuhan hati. Adapun Thio Bwee yang hitam manis itu wataknya lebih pendiam, sinar matanya membayangkan kekerasan hatinya. Dua orang muda ini segera memberi hormat lalu menggandeng lengan Suhunya untuk dituntun ke ruangan dalam.

   "Suhu kenapakah...!"

   Kui Lok tak dapat menahan lagi hatinya bertanya. Lian Bu Tojin tidak menjawab, malah segera menjatuhkan diri duduk bersila di atas lantai sambil meramkan mata. Melihat Suhunya mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasan, para murid maklum bahwa Suhu mereka itu sedang melawan serangan luka yang amat berbahaya, maka semua hanya duduk rnelihat dengan hati tidak karuan. Ketika Lian Bu Tojin sudah bergerak lagi dan mengeluarkan tangan yang tadi disembunyikan ke dalam saku jubahnya, Thio Bwee mengeluarkan jeritan ngeri melihat tangan kanan gurunya sudah buntung itu.

   "Suhu...! Tangan Suhu kenapakah...?"

   Thio Bwee menubruk gurunya, berlutut dan menangis.

   "Suhu, siapa yang melakukan kekejian ini?"

   Kui Lok juga menangis sambil bertanya, suaranya mengandung kemarahan dan sakit hati. Baru sekarang ia melihat pula bahwa pedang pusaka Hoa-San-Pai yang tadinya dibawa oleh Suhunya itu sekarang tidak kelihatan di punggung kakek ini, maka ia menjadi makin gelisah. Lian Bu Tojin membuka matanya, menggeleng-geleng kepala perlahan sambil menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara yang amat lemah,

   "Masih untung Pinto kuat sampai di sini..."

   Kembali ia meramkan mata agak lama, kemudian setelah membuka lagi matanya ia berkata.

   "Kui Lok... Thio Bwee... semua ini yang melakukan adalah Hong Hong... tapi kalian tidak usah menaruh dendam... Pinto memang berdosa dan sudah sepatutnya menerima pembalasan ini. Hanya... pedang pusaka harus kalian minta kembali. Mintalah bantuan pada... Beng San di Min-San, hanya dia yang dapat menandingi Hong Hong dan Koai Atong. Mereka lihai sekali... malah Giam Kong juga tewas... Pinto... bukan lawan mereka..."

   "Suhu...!"

   Kui Lok sedih dan marah sekali.

   "Teecu pasti akan merampas kembali pedang pusaka!"

   "Teccu akan mengadu nyawa dengan perempuan rendah Kwa Hong!"

   Kata Thio Bwee sambil menangis. Keadaan Lian Bu Tojin sudah payah sekali, napasnya memburu, akan tetapi ia masih sempat membuka mata dan bcrkata pula,

   "selain Beng San... mungkin hanya... Supekmu... Lian Ti Tojin... kalian coba minta tolong dia..., bilang pedang pusaka dirampas orang... ahh..."

   Tak dapat lagi Lian Bu Tojin melanjutkan kata-katanya karena tubuhnya roboh terguling dan nyawanya melayang pergi meninggalkan tubuhnya! Dari saku jubahnya jatuh keluar sebuah benda kecil yang ternyata adalah buntungan tangannya yang sudah mulai mengering karena memang sengaja tadinya ditaruh obat oleh Lian Bu Tojin agar jangan membusuk. Kui Lok dan Thio Bwee, juga para Tosu tak dapat berbuat lain kecuali menangis sedih. Thio Bwee sampai pingsan melihat kematian Suhunya yang amat mengenaskan hati ini. Dengan penuh kedukaan dan dalam suasana berkabung para Tosu segera mengurus jenazah Ketua Hoa-San-Pai itu. Puncak Hoa-San diselimuti mendung tebal, mendung kemuraman hati para anggauta Hoa-San-Pai yang kematian ketuanya secara demikian mengerikan.

   Setelah upacara sembahyang dilakukan dan jenazah Ketua Hoa-San-Pai itu di-masukkan dalam peti, penguburan ditunda untuk beberapa hari. Hal ini dilakukan karena para anggauta Hoa-San-Pai hendak memberi kesempatan kepada para tamu yang hendak memberi penghormatan terakhir kepada Ketua Hoa-San-Pai yang terkenal itu. Dan orang-orang kang-ouw memang memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya. Dalam beberapa hari itu, puncak Hoa-San didaki banyak orang kang-ouw yang hendak menjenguk dan memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Lian Bu Tojin. Akan tetapi tak seorangpun diantara mereka ini tahu akan sebab daripada kematian kakek ini, karena semua murid Hoa-San-Pai merahasiakannya dan bila ada pertanyaan hanya menjawab bahwa guru besar itu meninggal dunia sewajarnya, yaitu karena usia tua.

   Hal ini memang mereka sengaja karena yang menyebabkan kematian Lian Bu Tojin adalah Kwa Hong bekas murid Hoa-San-Pai sendiri. Tentu saja hal ini amat memalukan kalau sampai terdengar oleh orang luar. Sepekan kemudian jenazah Lian Bu Tojin dikebumikan dan Hoa-San-Pai segera mengadakan rapat untuk membicarakan perkembangan dan keadaan perkumpulan mereka, juga untuk membicarakan tentang pesanan terakhir dari Lian Bu Tojin. Para Tosu serentak mengusulkan agar Kui Lok menggantikan kedudukan gurunya, yaitu mengetuai Hoa-San-Pai. Hal ini mereka usulkan oleh karena biarpun Kui Lok dapat dibilang murid yang amat muda, akan tetapi dalam hal ilmu silat Kui Lok telah mewarisi kepandaian Lian Bu Tojin dan memiliki kepandaian paling tinggi di antara mereka. Mendengar ini, Kui Lok dengan gugup berkata sambil mengangkat kedua tangannya,

   "Ahhh..., para Suheng dan Susiok bagaimana bisa mengusulkan supaya Siauwte yang masih muda dan bodoh menggantikan kedudukan mendiang Suhu? Bagaimana aku berani? Ah, aku sama sekali tidak berani menerima kedudukan itu, Hoa-San-Pai adalah Partai yang sudah ratusan tahun terkenal di dunia kang-ouw, dipimpin oleh orang-orang besar yang sakti. Bagaimana hari ini akan diletakkan di pundak seorang muda yang tidak berpengalaman seperti Siauwte? Tidak, sekali lagi tidak, aku tidak berani menerima!"

   Seorang Tosu yang sudah tua dan bermuka sabar sekali segera berkata,

   "Kui-Sute harap jangan berkata demikian. Sudah semenjak dulu Hoa-San-Pai disegani kawan ditakuti lawan karena ilmu silat yang diajarkannya. Oleh karena itu, mengingat bahwa di antara kita semua, di antara murid-murid Hoa-San-Pai kiranya hanya Sute yang memiliki kepandaian paling tinggi pada waktu sekarang ini, maka siapa lagi kalau bukan Kui-Sute yang menjadi pemimpin? Tentang kurang pengalaman, hal ini kiranya tidak perlu dirisaukan benar karena kita sudah biasa bekerja secara gotong royong, ada sesuatu boleh Sute rundingkan dengan kita bersama. Bukankah hal ini baik sekali?"

   Kui Lok masih menaruh keberatan dan terjadilah perdebatan antara Kui Lok dan beberapa orang Tosu tua yang mendesaknya supaya menerima kedudukan itu. Akhirnya Thio Bwee bicara, suaranya lantang dan nyaring,

   "Para Suheng dan Susiok sekalian, harap suka mendengarkan pertimbanganku yang adil. Memang kalau dipikir, pendapat kedua pihak semua benar. Akan tetapi, mengapa hal pengangkatan ketua ini diributkan benar? Sepanjang pengetahuanku yang bodoh, seorang Ketua Hoa-San-Pai adalah orang yang berhak memegang pedang pusaka kita, yaitu Hoa-San Po-Kiam. Sekarang pedang pusaka itu berada di tangan orang jahat. Daripada ribut-ribut bicara tentang kedudukan ketua, kurasa lebih baik urusan pengangkatan ketua ini ditunda dulu. Kita bersama, tanpa ketua, berusaha merampas kembali pedang pusaka dan membunuh musuh yang telah mencelakai Suhu. Nah, setelah itu barulah kita bicara tentang ketua."

   Semua orang mengangguk-angguk setuju, karena memang kata-kata ini tepat sekali. Kui Lok juga girang mendengar ucapan ini, lalu ia berkata,

   "Usul yang diajukan Thio-Sumoi memang benar-benar amat tepat! Marilah kita bicara tentang usaha merampas kembali pedang pusaka kita."

   "Dan membunuh Siluman betina Kwa Hong!"

   Sambung Thio Bwee sambil menatap wajah tunangannya dengan pandang mata tajam. Kui Lok menarik napas panjang dan maklum akan isi hati tunangannya itu. Cemburu, apalagi? Memang sedikit banyak ada rasa benci dalam hati Thio Bwee terhadap Kwa Hong, karena bukankah dahulu Kui Lok jatuh hati kepada Kwa Hong?

   "Kui-Sute, Pinto (aku) bersedia untuk pergi ke Min-San dan mohon bantuan Tan Ben San Taihiap seperti yang dipesankan oleh mendiang Suhu..."

   Kata seorang Tosu.

   "Mengingat akan hubungan antara Tan-Taihiap dengan Hoa-San-Pai, Pinto rasa dia takkan menolak..."

   Kui Lok mengerutkan keningnya. Terbayang di depan matanya semua pengalamannya dahulu. Tan Beng San merupakan seorang yang selalu ia anggap sebagai perintang hidupnya. Cinta kasihnya terhadap Kwa Hong dahulu gagal oleh karena Kwa Hong mencinta Tan Beng san! Dan beberapa kali pemuda itu muncul sebagai seorang yang lebih gagah daripadanya. Dan sekarang dia harus minta bantuan Beng San. Ah, ia tidak sudi! Terhadap diri Beng San ia sudah menanam perasaan tidak senang yang mendalam.

   "Tidak, Siauwte tidak setuju sama sekali karena kita harus minta bantuan orang luar. Para Susiok dan Suheng harap ingat bahwa urusan ini adalah urusan dalam Hoa-San-Pai. Pedang Hoa-San-Pai dirampas. oleh bekas murid Hoa-San-Pai sendiri, mendiang Suhu dilukai oleh bekas murid Hoa-San-Pai. Bagaimana kita ada muka untuk mencari bantuan orang luar? Bukankah dengan berbuat demikian nama besar Hoa-San-Pai akan terjerumus ke dalam lumpur kehinaan?"

   Para Tosu itu menjadi kaget dan cepat-cepat menyatakan persetujuan mereka atas pandangan Kui Lok ini.

   
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau begitu, satu-satu jalan... kita harus ke Im-Kan-Kok..."

   Keadaan menjadi sunyi, semua orang di situ merasa serem dan bergidik ketika mendengar sebutan Im-Kan-Kok ini. Im-Kan-Kok berarti Lembah Akhirat! Semua murid Hoa-San-Pai sudah mengenal Im-Kan-Kok ini, karena lembah ini merupakan lembah gunung yang dipandang keramat dan juga menakutkan. Ketika Ketua Hoa-San-Pai masih hidup, yaitu Lian Bu Tojin, ketua ini berkali-kali memberi ingat kepada para murid agar sekali-kali jangan mendekati apalagi mencoba untuk memasuki Im-Kan-Kok, karena kalau ketahuan hukumannya adalah mati!

   Selain ancaman hukuman mati oleh tangan Lian Bu Tojin sendiri juga ketua ini pernah menceritakan bahwa di lembah ini merupakan tempat hukuman seorang Hoa-San-Pai yang luar biasa tinggi kepandaiannya, jauh lebih tinggi daripada Lian Bu Tojin sendiri dan orang aneh luar biasa ini pasti akan membunuh setiap orang yang berani memasuki Im-Kan-Kok! Dan sekarang, mendiang Lian Bu Tojin sendiri yang meninggalkan pesan agar supaya mereka mencari orang aneh ini yang bukan lain adalah Suheng sendiri dari ketua itu, bernama Lian Ti Tojin yang sudah empat puluh tahun lebih menghukum diri sendiri di dalam Lembah Akhirat ini. Tak seorangpun diberi tahu mengapa orang-orang aneh itu menghukum diri di Im-Kan-Kok. Kui Lok mengajukan usul untuk mencari manusia aneh ini di tempat yang merupakan ancaman maut itu.

   "Benar, memang kita harus mencari Supek di Im-Kan-Kok. Supek Lian Ti Tojin adalah seorang tokoh Hoa-San-Pai yang menurut mendiang Suhu dulu, kepandaiannya amat tinggi, beberapa kali lipat lebih tinggi daripada kepandaian Suhu sendiri. Kalau kita Hoa-San-Pai memiliki orang berkepandaian demikian tinggi, memalukan sekali kalau untuk urusan ini kita harus mencari bantuan dari luar."

   "Tapi... tapi...,"

   Kata seorang Tosu setengah tua.

   "Supek itu sudah empat puluh tahun lebih menghilang. Apakah... apakah kiranya beliau masih berada di tempat itu? Dan... dan di antara kita siapakah pernah melihatnya?"

   Semua orang saling pandang. Memang hampir semua Tosu belum pernah melihat orang yang dimaksudkan itu. Kui Lok memandang kepada seorang Tosu yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang pekerjaannya memelihara kitab-kitab Hoa-San-Pai.

   "Kwi Bun Susiok yang terhitung Sute dari Suhu, tentunya pernah bertemu dan melihat wajah Supek Lian Ti Tojin, bukan?"

   Mendadak Tosu tua itu menjadi pucat, bergemetaran dan menutupi mukanya.

   "Tidak... Pinto... eh, tidak... tidak pernah kenal..., tidak tahu..."

   La menjadi ketakutan sekali dan akhirnya mendekam berlutut dan membaca mantera dengan tubuh menggigil. Kui Lok dan Thio Bwee saling pandang dengan bulu tengkuk meremang. Mengapa Tosu tua ini yang masih terhitung adik seperguruan Lian Ti Tojin sendiri kelihatan begitu ketakutan? Orang macam apakah Lian Ti Tojin itu? Dan rahasia apakah yang tersembunyi di balik Lembah Akhirat? Melihat sikap Tosu itu, para murid Hoa-San-Pai yang biasanya amat takut mendengar Im-Kan-Kok itu, sekarang menjadi semakin ketakutan dan merasa serem sekali.

   Mereka duduk dan bersunyi, seakan-akan takut kalau mereka kesalahan besar karena membicarakan orang rahasia di Im-Kan-Kok itu. Tiba-tiba semua orang terkejut ketika mendengar suara melengking tinggi menusuk telinga, suara melengking yang datangnya dari atas, dari langit! Semua muka menjadi pucat, malah Kui Lok dan Thio Bwee yang biasanya berhati tabah, kali ini meraba gagang pedang dengan mulut terasa kering, Suara melengking makin lama makin tinggi dan nyaring sehingga orang-orang mulai merasa tidak kuat mendengarnya lagi lalu menutup telinga. Tiba-tiba meluncur sinar yang menyilaukan mata, sinar kehijauan dan tahu-tahu lima orang Tosu roboh terguling dan ternyata dada mereka telah terluka dan mereka tewas seketika itu juga! Kwi Bun Tosu yang tadi ketakutan sekarang berbisik-bisik,

   "Celaka... celaka... dia datang... ah, kita berbuat dosa..."

   Setelah berkata demikian, Tosu tua ini mencabut pedang sendiri dan menusuk dada sambil berseru.

   "Lian Ti Suheng... Siauwte berdosa besar... rela menerima kematian..."

   Tubuhnya terguling dan ia tewas dengan pedang masih menancap di dadanya! Kejadian ini tentu saja makin mengejutkan dan menakutkan semua orang. Kui Lok segera meloncat keluar sambil mencabut pedangnya dan berseru keras,

   "Tidak peduli siapapun yang datang, harap jangan main gila dengan Hoa-San-Pai. Manusia atau iblis, perlihatkan dirimu dan mari kita bertempur sampai seribu jurus!"

   Sikapnya gagah sekali dan sikapnya inilah yang membangkitkan semangat semua anak murid Hoa-San-Pai. Malah Thio Bwee yang tadinya kaget dan ngeri sekarang juga meloncat sambil mencabut pedang, berdiri di dekat Suhengnya itu. Tapi tidak terlihat seorangpun manusia di sekitar situ. Selagi mereka terheran-heran dan merasa gelisah, tiba-tiba terdengar desir angin di atas kepala mereka dan di atas desir angin ini terdengar suara ketawa merdu!

   Semua orang terkejut sekali karena mengenal baik suara ketawa merdu ini dan ketika mereka memandang ke atas, ternyata Kwa Hong tertawa-tawa sambil menduduki punggung seekor Burung Rajawali besar yang terbang di atas kepala mereka tanpa mengeluarkan suara! Ketika Kwa Hong menggerakkan tangan kiri, lagi-lagi ada lima orang Tosu terguling roboh dan tewas. Kui Lok dan Thio Bwee hanya melihat sinar hijau menyambar dari tangan ini dan tahu-tahu lima orang teman mereka telah mati dengan dada terluka hebat. Kemarahan Thio Bwee tak dapat ditahannya lagi. Memang ia sudah merasa tidak suka sejak dahulu terhadap Sumoinya ini yang dianggap merampas cinta kasih Kui Lok, apalagi setelah Kwa Hong melukai Lian Bu Tojin. Sekarang melihat keganasan Kwa Hong yang membunuh-bunuhi bekas saudara-saudara seperguruan sendiri, ia segera menudingkan pedangnya ke arah Burung yang terbang lewat sambil berkata nyaring,

   "Siluman betina Kwa Hong! Kau turunlah untuk menerima hukuman di ujung pedangku!"

   Adapun Kui Lok yang masih belum hilang cinta dan rindunya kepada Kwa Hong, hanya mengeluh,

   "Hong-moi... kenapa kau begini kejam...?"

   Kwa Hong tertawa merdu dan tiba-tiba Burungnya itu menukik ke bawah dan hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan sedikitpun bunyi berisik. Kwa Hong meloncat turun dari punggung Burungnya, gerakannya ringan sekali. Semua murid Hoa-San-Pai memandang dengan mata terbelalak. Wajah itu masih tiada bedanya dengan dahulu, wajah Kwa Hong yang cantik molek dengan sepasang mata seperti bintang pagi, jeli dan bersinar-sinar penuh daya hidup, hanya bedanya sekarang terdapat pemancaran sinar mata yang aneh dan mengerikan pada mata indah itu.

   Pakaiannya masih seperti dulu, bagus dan dari Sutera mahal, akan tetapi warnanya serba putih, tidak merah seperti dulu lagi. Pada punggungnya tergantung pedang pusaka Hoa-San-Pai dan di tangan kirinya terpegang sebuah senjata yang amat aneh. Merupakan gagang cambuk yang berekor lima dan pada setiap ekor cambuk itu terikat sebatang anak panah hijau. Tali Sutera hitam membelit pergelangan tangannya dan ternyata cambuk itu gagangnya dipasangi tali ini sehingga agaknya selain dapat dipergunakan sebagai senjata dalam pertandingan, juga dapat dipakai untuk menyerang lawan secara ditimpukkan lalu ditarik kembali melalui tali. Sebuah senjata yang luar biasa sekali, mengerikan dan tahulah Kui Lok dan saudara-saudaranya bahwa senjata inilah yang dalam waktu dua kali telah mengambil nyawa sepuluh orang saudara mereka!

   "Hi-hi-hi, Enci Bwee! Kau makin hitam saja! Apakah kau sudah berhasil merebut hati Kui-Suheng sekarang?"

   Kwa Hong berkata dan meremang bulu tengkuk Thio Bwee ketika mendengar kata-kata ini dan melihat sikap Kwa Hong yang kalau dibanding dengan dulu seperti bumi langit bedanya. Di dalam suara ini terkandung kesedihan besar bercampur dengan ejekan dari kebencian.

   "Kau sudah menjadi Siluman!"

   Thio Bwee balas memaki dan menerjang maju dengan pedang di tangan. Kwa Hong hanya tersenyum mengejek tanpa bergerak dari tempatnya. Tiba-tiba sesosok bayangan besar menyambut gerakan Thio Bwee dan tahu-tahu Burung Rajawali itu sudah mencakar Thio Bwee dengan kaki kanannya. Thio Bwee tidak gentar, cepat ia memutar pedang untuk memapaki kaki Burung itu dengan maksud membabatnya putus. Akan tetapi rnendadak sekali Burung itu menggerakkan sayapnya, gerakannya tidak mendatangkan angin dan sama sekali tak dapat diduga oieh Thio Bwee, maka tahu-tahu tangannya terpukul sayap sehingga pedangnya terlempar jauh!

   "Tiauw-Heng, jangan pukul dia, kasihan... ha-ha-ha!"

   Kwa Hong menyuruh Burungnya mundur sambil tertawa-tawa. Muka Thio Bwee rnenjadi pucat sekali dan matanya memandang dengan marah, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Gerakan Burung itu benar-benar hebat dan tidak tersangka-sangka, juga tenaganya besar sekali. Dengan langkah lemah gemulai Kwa Hong menghampiri Kui Lok dan tersenyum lalu berkata,

   "Kui-Ko, kau tadi menantang-nantang seperti seorang pendekar besar. Agaknya kau sekarang sudah memperoleh kemajuan hebat dengan kepandaianmu, apakah kau sudah pandai bermain pedang dengan tangan kanan ataukah masih kidal? Hi-hi, Kui-Ko, dulu kau pura-pura menjauhi Enci Bwee, kiranya sekarang kau mau juga. Dasar laki-laki!"

   Wajah Kui Lok sebentar merah sebentar pucat dan untuk mengusir rasa malunya. ia berkata,

   "Kau..., kau Hong-moi...jadi kau kah yang membunuh sepuluh orang saudaraku tadi? Hong-moi, kenapa kau membunuh mereka? Dan kenapa pula kau melukai Suhu dan... dan merampas pedang pusaka?"

   Kembali Kwa Hong tersenyum lebar, senyum yang dulu meruntuhkan hati Kui Lok, akan tetapi yang sekarang membayangkan sesuatu yang amat mengerikan.

   "Lian Bu Tojin berani mencelaku dan dia seorang ketua yang tidak baik, seorang guru yang mencelakai murid sendiri. Pedang pusaka ini memang patut berada di tanganku karena hanya akulah yang akan dapat mengangkat tinggi nama Hoa-San-Pai. Tadi aku yang menjadi pemimpin dan Ciang-Bunjin (Ketua) baru Hoa-San-Pai datang, kalian tidak mau segera menyambut dengan penghormatan. Maka sepuluh orang murid tadi kubunuh sebagai peringatan!"

   Setelah berkata demikian, Kwa Hong memandang ke sekelilingnya dan semua orang Tosu yang berada di situ mengkeret lehernya, menundukkan pandang matanya karena nyali mereka terbang lenyap begitu mereka bertemu pandang dengan Kwa Hong. Pada saat itu terdengar sayup-sayup suara orang berteriak dari bawah gunung,

   "Enci Hong... tunggu... jangan tinggalkan aku...!"

   Suara itu berkumandang sampai di puncak gunung dan belum lama dengung suara lenyap, orangnya telah tiba di situ. Siapa lagi kalau bukan Koai Atong! Diam-diam Kui Lok dan Thio Bwee kagum dan terkejut sekali. Sebagai ahli-ahli silat tinggi dua orang muda ini dapat mengukur betapa hebatnya Khikang dari Koai Atong sekarang, dari bawah gunung sudah dapat "mengirim suara"

   Ke atas dan Ginkangnyapun demikian hebat sehingga dalam sekejap saja sudah dapat mendaki puncak Hoa-San-Pai. Setelah tiba di situ, Koai Atong tertawa dan meringis gembira melihat Kwa Hong sudah berada di situ bersama Burung Rajawali. Di dalam perjalanan, Kwa Hong naik Burung dan membiarkan Koai Atong berlari-lari mengikuti bayangan Burung,

   "Ha-ha-ha, he-he-he, sudah kumpul semua di sini, ha-ha!"

   Tapi Kui Lok dan Thio Bwee tidak mempedulikan orang tinggi besar ini, karena mereka masih marah bukan main mendengar ucapan Kwa Hong tadi, Kui Lok segera membentak,

   "Kwa Hong! Jadi kau hendak menggunakan kekerasan dan merampas kedudukan Ketua Hoa-San-Pai? Jangan kau berlaku sewenang-wenang, mengingat bahwa kau adalah bekas murid Hoa-San-Pai sendiri, hayo lekas kembalikan pedang pusaka dan berlutut menerima dosa."

   Mata Kwa Hong berkilat.

   "Kui Lok, kau begini kurang ajar terhadap ketuamu? Hayo kau yang berlutut!"

   Sambil bertolak pinggang Kwa Hong memerintah.

   "Suheng, mari kita bunuh Siluman ini!"

   Thio Bwee berseru keras dan biarpun ia sudah tak berpedang lagi, dengan nekat ia lalu menyerang Kwa Hong dengan pukulan maut yang amat keras. Akan tetapi dengan enak Kwa Hong miringkan tubuhnya dan sekali kakinya bergerak, Thio Bwee sudah kena ditendang roboh! Kui Lok marah sekali dan menyerang dengan pedangnya. Kepandaian Kui Lok sudah maju pesat sekali dan dalam hal ilmu pedang, boleh dibilang ia sudah menjagoi di Hoa-San-Pai.

   Apalagi permainan pedangnya dilakukan dengan tangan kiri, maka sifatnyapun istimewa dan sukar diketahui perubahan-perubahannya. Ketika Kwa Hong belum meninggalkan perguruan, kalau dibuat ukuran antara mereka, agaknya ilmu pedang Kui Lok tidak kalah oleh kepandaian Kwa Hong, maka pemuda itu dengan penuh semangat menyerang dan mengira bahwa tak mungkin ia akan kalah. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika tahu-tahu cambuk bertali yang berada di tangan kiri Kwa Hong bergerak, tahu-tahu lima ujung cambuk dengan anak panah itu telah membelit pedangnya dan sekali renggut Kui Lok tak dapat mempertahankan pegangannya lagi. Pedang terampas oleh Kwa Hong. Sambil tertawa melengking tinggi Kwa Hong mengambil pedang itu, menggigit ujungnya, menggerakkan tangan dan...

   "Pletakk!"

   Pedang itu patah menjadi dual Gerakannya sama benar dengan cara Burung Rajawali mematahkan pedang. Kui Lok menjadi pucat, akan tetapi untuk menjaga nama Hoa-San-Pai ia harus melawan mati-matian. Sambil berseru keras ia menerjang maju dan menyerang Kwa Hong dengan pukulan-pukulan dahsyat.

   "Atong, kau hajar dan usir bocah ini, tapi jangan bunuh dia!"

   Kata Kwa Hong. Terdengar Koai Atong tertawa-tawa berkakakan dan tiba-tiba Kui Lok merasa tubuhnya diangkat orang lalu dilontarkan ke atas sampai empat lima meter tingginya. Tubuhnya melayang dan berjungkiran di udara, ketika turun diterima lagi oleh Koai Atong lalu dilontarkan lagi. Benar-benar Kui Lok dijadikan bola oleh Koai Atong yang mempermainkannya.

   "Siluman jahat!"

   Kui Lok memaki, akan tetapi makin lama ia menjadi makin lemah dan ketika Koai Atong melemparnya ke depan, tubuhnya terbanting dan bergulingan. Dengan payah Kui Lok mencoba untuk berdiri, akan tetapi kepalanya pening dan ia roboh kembali, ditertawai oleh Koai Atong dan Kwa Hong. Thio Bwee lari mendekat dan membantu Kui Lok bangun. la menyuruh Kui Lok duduk kemudian dengan marah sekali Thio Bwee meloncat lagi untuk menyerang Kwa Hong. Tadi ia hanya terbanting saja dan hal ini belum membuat ia kapok. Hatinya terlalu sakit menyaksikan betapa kekasihnya dipermainkan dan dihina seperti itu. Melihat kenekatan Thio Bwee, Kwa Hong menjadi marah sekali.

   "Perempuan rendah, kau tidak tahu bahwa aku sudah berlaku murah kepada kalian? Agaknya kalian perlu diberi rasa sedikit!"

   Setelah berkata demikian, cambuknya bergerak, sinar hijau berkelebat. Thio Bwee menjerit dan terjungkal, juga Kui Lok mengaduh dan roboh. Keduanya dapat merayap bangun kembali, dan ternyata bahwa dua murid Hoa-San-Pai ini telah terluka oleh panah hijau, masing-masing pada pundaknya. Perih dan panas rasanya, akan tetapi tidak seperih dan sepanas hati mereka.

   "Pergi...!"

   Kwa Hong menudingkan cambuknya keluar.

   "Pergi sebelum berubah lagi pikiranku dan kuhancurkan kepala kalian!"

   Thio Bwee memandang dengan mata melotot, maksud hatinya hendak melawan lagi sampai mati. Akan tetapi Kui Lok yang melihat sikapnya ini segera memegang lengannya dan menariknya pergi dari situ. Dua orang muda itu pergi meninggalkan puncak seperti dua ekor anjing diusir saja, benar-benar merupakan hal yang amat menyakitkan hati mereka. Seperginya dua orang muda itu keadaan menjadi sunyi. Puluhan orang Tosu Hoa-San-Pai tidak ada yang berani bergerak, bernapaspun mereka takut keras-keras. Kwa Hong menyapu mereka dengan pandang matanya yang tajam melebihi pedang.

   "Siapa mau pergi? Siapa tidak mau menurut perintahku? Lihat contohnya."

   Gambuknya menyambar beberapa kali dan... kepala dari sepuluh mayat para Tosu tadi telah terpukul hancur oleh panah-panah di ujung cambuknya! Benar-benar amat mengerikan.

   "Hayo katakan, kalian mau mengangkatku sebagai ketua ataukah tidak?"

   Seorang Tosu yang sudah agak tua maklum bahwa melawan berarti mati dengan cara yang mengerikan, dan melawanpun akan sia-sia saja. Maka ia lalu mendahului teman-temannya berlutut dan menyatakan suka mengangkat Kwa Hong sebagai ketua. Saudara-saudaranyapun menjatuhkan diri berlutut. Kwa Hong tertawa gembira, tapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti ketika ia melihat Koai Atong masih berdiri tegak sambil tertawa-tawa.

   "Heiii... kenapa kau tidak berlutut?"

   Koai Atong kaget dan bingung.

   "Lho..., berlutut? Aku kan Suamimu..."

   "Tidak peduli, saat ini semua orang harus berlutut kepadaku!"

   Bentak Kwa Hong dan terpaksa Koai Atong berlutut pula. Kwa Hong mengangkat dada, mengedikkan kepala dengan penuh kebanggaan dan merasa seakan-akan ia telah menjadi seorang ratu! Semenjak saat itu Kwa Hong tinggal di Hoa-San-Pai sebagai ketua, dibantu oleh "suaminya"

   Koai Atong. Kwa Hong amat ditakuti oleh para Tosu, akan tetapi juga diam-diam ada sebagian besar Tosu Hoa-San-Pai amat membencinya. Di samping ini, tentu saja terdapat Tosu-Tosu yang merasa amat girang oleh karena semenjak Kwa Hong yang menjadi ketua, peraturan-peraturan tidak tegas lagi, dan larangan-larangan juga seakan-akan dihapuskan oleh Kwa Hong.

   

Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Memburu Iblis Karya Sriwidjono Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini