Jaka Lola 7
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
Pemuda itu tiba-tiba muncul dalam gelap, dapat membawanya pergi tanpa diketahui semua pengeroyok, malah tidak lupa membawa pula pedangnya. Kalau tidak lihai sekali mana mungkin melakukan semua itu? Kembali ia melirik Yo Wan duduk termenung, tapi lubang hidungnya kembang-kempis, jakunnya naik turun, jelas bahwa dalam termenung, pemuda itu tergoda hebat oleh asap panggang kelinci yang sedap gurih. Melihat ini, Siu Bi tertawa mengikik sehingga terpaksa menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Ibunya yang selalu marah kalau melihat ia ketawa tanpa menutupi mulutnya dan terlalu sering Siu Bi melupakan hal ini, baiknya sekarang ia tidak lupa, mungkin karena sadar bahwa ada orang lain, laki-laki pula, di dekatnya.
"Hemmm, mengapa kau tertawa?""Yo Wan bertanya, kaget dan sadar dari lamunannya.
"Tidak apa-apa, tak bolehkah orang tertawa?"
Siu Bi menjawab sambil melirik nakal, tangannya memutar-mutar daging kelinci di atas api. Jawaban ini merupakan tangkisan yang membuat Yo Wan gelagapan.
"A... a... aku tidak melarang... tentu saja, siapapun boleh tertawa. Kau mentertawai aku?"
Siu Bi hanya tersenyum, tidak menjawab, melirik pun tidak. Daging itu sudah hampir matang. Yo Wan juga tidak mendesak, tapi cukup mendongkol hatinya. Gadis remaja ini benar-benar pandai mengobrak-abrik hati orang dengan sikapnya yang aneh, sebentar marah, sebentar ramah, sebentar menggoda.
Pemuda ini terang pandai sekali, Siu Bi melanjutkan lamunannya. Kalau aku berbaik kepadanya dan mendapat bantuannya, agaknya akan lebih besar hasilnya di Liong-Thouw-San. Menurut ucapan Bun Hui pemuda putera jenderal itu, Pendekar Buta adalah seorang yang sakti yang amat tinggi kepandaiannya. Tentu saja ia tidak takut, akan tetapi bagaimana kalau ia gagal? Tentu akan mengecewakan sekali jika ia tidak berhasil membalaskan dendam Kakek Hek Lojin. Akan tetapi kalau mendapat bantuan pemuda ini, hemmm, kepandaian mereka berdua dapat disatukan untuk menghadapi dan mengalahkan Pendekar Buta. Akan tetapi apakah benar-benar pemuda ini lihai? Kembali ia melirik. Yo Wan tampak mengantuk sepasang matanya hampir meram dan kepalanya terangguk-angguk ke kanan kiri, seakan-akan lehernya tidak kuat pula menyangga kepalanya.
Kasihan! Tentu dia amat mengantuk, mengantuk dan lapar karena semalam tidak tidur sama sekali, memondongnya pergi sejauh ini. Kalau sedang mengantuk dan "Tidur ayam"
Begini sama sekali tidak patut menjadi seorang yang berkepandaian tinggi. Juga tidak nampak membawa senjata. Makin ia perhatikan, makin tidak memuaskan kesan di hati Siu Bi. Pemuda yang tidak muda lagi, sungguhpun belum tua. Rambutnya kering tidak terpelihara baik-baik. Wajahnya biarpun tampan, namun tampak muram seperti orang yang sedih selalu. Pakaiannya yang serba putih itu tidak bersih lagi, juga ada beberapa bagian yang robek. Pemuda miskin! Tiba-tiba Yo Wan yang benar-benar amat mengantuk itu terangguk ke depan, menjadi kaget dan membuka matanya, memandang bingung.
"Hi...hi...hik...!"
Kembali Siu Bi terkekeh. Lucu sekali keadaan pemuda itu,
"Kenapa kau tertawa?"
"Siapa tidak tertawa melihat kau terkantuk-kantuk seperti Ayam Keloren (menderita penyakit kelor)? Hayo bangun, daging sudah matang!"
Siu Bi mengangkat panggang daging kelinci dan menaruhnya di atas daun-daun bersih yang sudah disediakan di situ, depan Yo Wan.
"Wah, gurih baunya!"
Yo Wan memuji.
"Hayo, kau ambil dulu."
"Kau ambillah dulu."
"Kau yang tangkap dan masak kelinci, masa aku harus makan dulu?"
"Sudahlah, kau ambil dulu, mengapa sih? Aku tidak selapar engkau!"
Yo Wan tidak berlaku sungkan lagi. Dengan penuh gairah ia merobek daging itu, mengambil bagian yang ada tulangnya, lalu langsung menggerogotinya dengan lahap.
"Wah, hebat...! Lezat bukan main...!"
Katanya sambil mengunyah. Memang gemuk kelinci itu, gajihnya banyak sehingga begitu menggigit daging, gajih yang mencair oleh api itu menitik dari kanan kiri Bibir Yo Wan.
"Sayang tidak ada arak...Heee! Kau ke mana, Nona?"
"Tunggu dulu sebentar, aku ambil air minum!"
Cepat Siu Bi berlari meninggalkan Yo Wan. Pemuda ini mengunyah lambat-lambat dan pikirannya makin penuh oleh keadaan Siu Bi. Gadis itu benar-benar hebat, wataknya aneh sekali. Sekarang amat ramah dan baik kepadanya. Siapakah dia ini?
Siu Bi kembali membawa dua buah kulit labu yang penuh air jernih, dan selain air, juga ia membawa banyak buah-buah manis yang dipetiknya dari dalam hutan. Dengan hati-hati agar jangan tumpah, ia menaruh kulit labu yang dipakai menjadi tempat air itu di atas tanah, kemudian ia pun mulai makan daging kelinci. Keduanya makan dengan lahap, tanpa bicara, hanya kadang-kadang pandang mata mereka bertemu sebentar. Yo Wan duduk di atas batu, Siu Bi duduk bersila di atas tanah berumput. Api bekas pemanggang daging masih bernyala sedikit. Tak sampai sepuluh menit habislah daging kelinci, tinggal tulang-tulangnya. Setelah minum air dan mencuci mulut dengan air, keduanya makan buah. Barulah Yo Wan berkata,
"Nona, kau baik sekali kepadaku. Terima kasih, daging kelinci tadi gurih dan mengenyangkan perut airnya jernih segar sekali, dan buah-buah ini pun manis. Kau memang baik."
"Terima kasih segala, untuk apa? Tidak ada kau pun aku toh harus makan dan minum. Kau berkali-kali menolongku, aku pun tidak bilang terima kasih padamu."
Yo Wan tersenyum. Dekat dan bicara dengan nona ini memaksanya untuk sering tersenyum.
"Aku tidak menolongmu, tak perlu berterima kasih, Nona."
"Siapakah kau ini? Siapa namamu?"
Yo Wan menggerakkan alisnya yang tebal. Baru terasa olehnya betapa lucu dan janggal keadaan mereka berdua.
"Ah, kita sudah cekcok bersama, makan minum bersama, mengobrol bersama, tapi masih belum saling mengenal. Namaku orang menyebutku Jaka Lola, Nona."
"Jaka Lola? Ayah Bundamu... sudah tiada?"
Yo Wan mengangguk sunyi. Kemudian balas bertanya,
"Kau sendiri? Siapakah namamu kalau aku boleh bertanya?"
"Orang-orang di dusun, para petani itu menyebutku Cui-Beng Kwan-Im. Adapun namaku... ah, kau tidak memperkenalkan namamu, masa aku harus menyebutkan namaku?"
Kembali Yo Wan tersenyum.
"Namaku Yo Wan, hidupku sebatangkara, tiada sanak tiada kadang, tiada tempat tinggal tertentu, rumahku dunia ini, atapnya langit, lantainya bumi, dindingnya pohon, lampu-lampunya matahari, bulan dan bintang."
Siu Bi tertawa, lalu bangkit berdiri dan menirukan lagak dan suara Yo Wan ia berkata,
"Namaku Siu Bi, hidupku sebatangkara, tiada sanak kadang, tiada tempat tinggal tertentu, rumahku di mana aku berada, atap, lantai dan dindingnya, apa pun jadi!"
Dan ia tertawa lagi. Yo Wan mau tidak mau ikut pula tertawa. Kalau gadis ini sedang berjenaka, sukar bagi orang untuk tidak ikut gembira. Suara ketawa dan senyum gadis ini seakan-akan menambah gemilangnya sinar matahari pagi.
"Nona, namamu bagus sekali. Akan tetapi siapakah shemu (nama keturunan)"
"Cukup Siu Bi saja, tidak ada tambahan di depan maupun embel-embel di belakangnya. Nah, sekarang kita sudah tahu akan nama masing-masing. Kau siap dan keluarkan senjatamu!"
Kata Siu Bi sambil mencabut Cui-Beng Kiam yang ia selipkan di ikat pinggangnya. Pedang itu berada di tangannya, digerakkan di depan dada dengan sikap hendak menyerang. Yo Wan terkejut.
"Eh, eh, eh, apa pula ini?"
"Artinya, aku hendak menguji kepandaianmu. Gerak-gerikmu penuh rahasia, aku masih belum yakin benar apakah kau memang memiliki kelihaian seperti yang kusangka."
"Wah, aneh-aneh saja kau ini, nona Siu Bi. Aku orang biasa, tidak punya kepandaian apa-apa, jangan kau main-main dengan Pedang itu, Nona."
"Tak usah kau pura-pura, kau mau atau tidak, harus melayani aku beberapa jurus. Bersiaplah! Awas, pedang!"
Serta merta Siu Bi menerjang dan mengirim tusukan secepat kilat.
"Wah, gila...!"
Yo Wan mengeluh di dalam hatinya. la cepat membuang diri mengelak, maklum akan keampuhan Pedang bersinar hitam itu.
Akan tetapi Siu Bi sudah menyerangnya secara bertubi-tubi, malah gadis itu mulai menggerakkan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Hek-In-Kang! Yo Wan yang menangkis sambaran tangan kiri ini terpental dan merasa betapa lengannya yang menangkis terasa panas dan sakit. la kaget sekali dan timbul rasa gemasnya. Gadis ini benar-benar liar pikirnya. Akan tetapi Pedang bersinar hitam itu sudah datang lagi mengirim tusukan bertubi-tubi diseling dengan pukulan yang membawa uap berwarna kehitaman. Hebat! Gadis ini ternyata memiliki ilmu yang amat ganas dan dahsyat. Kalau aku tidak memperlihatkan kepandaian, ia akan terus berkepala batu dan tinggi hati. Cepat tangan kanan Yo Wan merogoh ke balik jubahnya dan di lain saat Pedang kayu cendana sudah berada di tangannya, Pedang buatannya sendiri di Himalaya. Ketika sinar hitam menyambar dia menangkis.
"Dukkk!"
Siu Bi melangkah mundur tiga tindak, tangannya linu dan pegal. Heran ia mengapa Pedang lawannya itu ketika bertemu dengan pedangnya terasa seperti benda lunak, seperti kayu, tidak menimbulkan suara nyaring. Ketika ia memandang lebih jelas, betul saja bahwa Pedang itu memanglah sebatang Pedang kayu! Mukanya seketika menjadi merah sekali. Penasaran ia. Masa pedangnya, Cui-Beng Kiam yang ampuh itu hanya dilawan oleh Yo Wan dengan sebatang Pedang kayu? la mengeluarkan seruan keras dan menerjang lagi, mengerahkan seluruh tenaga Hek-In-Kang untuk membabat putus Pedang kayu itu.
Akan tetapi ia salah duga. Pedang di tangan Yo Wan biarpun hanya terbuat dari kayu cendana yang mengeluarkan bau harum kalau diayun, namun yang mengerahkan adalah tangan yang terisi ilmu, tangan yang mengandung hawa Sinkang dan mempunyai tenaga dalam yang sudah amat tinggi tingkatnya. Bukan saja Pedang kayu itu tidak rusak, malah dia sendiri beberapa kali hampir melepaskan pedangnya karena tangannya terasa panas dan sakit apabila kedua senjata itu bertemu. Ia mulai kagum bukan main. Tidak salah dugaannya. Pemuda ini lihai bukan main. Akan tetapi di samping kekagumannya, ia pun penasaran dan marah sekali. Masa dia, Cui-Beng Kwan-Im, hanya dilawan dengan Pedang kayu? Bukan Pedang sungguh-sungguh, melainkan pedang-pedangan yang patut dipakai mainan anak kecil.
Rasa penasaran dan marah membuat Siu Bi bergerak makin ganas dan dahsyat. Yo Wan diam-diam mengeluh. Kepandaian gadis ini kalau sudah matang, benar-benar berbahaya sekali, apalagi pukulan-pukulan tangan kiri yang melontarkan hawa beracun, benar-benar sukar dilawan kalau tidak menggunakan Sinkang yang kuat. la pun mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu pedangnya dari Sin-Eng-Cu. Namun, ilmu pedangnya itu hanya sanggup menandingi Ilmu Pedang Cui-Beng Kiam-Sut dari Siu Bi dan perlahan-lahan gadis itu mendesaknya dengan pukulan-pukulan Hek-In-Kang. Kini Siu Bi tidak hanya menguji ilmu atau main-main, melainkan menyerang dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Kalau tidak dilayani dengan sepenuhnya, tentu akan lama pertandingan itu dan akan berubah menjadi pertandingan mati-matian.
"Benar-benar kau aneh sekali. Nona,"
Seru Yo Wan ketika dia terpaksa berjungkir balik untuk
(Lanjut ke Jilid 07)
Jaka Lola (Seri ke 04 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
menghindarkan sebuah pukulan tangan kiri gadis itu. Tangan kiri itu kini mengeluarkan uap hitam dan makin lama makin dahsyat pukulannya sehingga Yo Wan tidak berani menangkis, bukan takut kalau ia terluka, melainkan khawatir kalau-kalau tangkisannya yang terlalu kuat akan mencelakai nona itu. Sambil berjungkir balik ini, la mencabut keluar cambuknya yang melingkar di pinggang. Kini tangan kirinya memegang cambuk dan "Tar-tar-tar "
Cambuk itu menyambar-nyambar bagaikan petir di atas kepala Siu Bi.
"Ayaaa...!"
Siu Bi kaget bukan main. Apalagi ketika melihat betapa cambuk itu berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang membingungkan. Seketika itu juga keadaan menjadi berubah Dia terdesak hebat, beberapa kali pedangnya hampir terlibat cambuk lawan. Namun, bukan watak Siu Bi untuk menjadi gentar. Dia makin bersemangat.
"Wah, benar-benar keras hati dia...? pikir Yo Wan dan cepat ia mempergunakan langkah-langkah Si-Cap-It Sin-Po. Seketika lenyap dari depan Siu Bi dan gadis itu dalam kebingungannya, cepat berbalik ketika mendengar desir cambuk dari belakang. Baru satu kali tangkis, pemuda itu lenyap lagi dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya, lalu lenyap, muncul di sebelah kiri, lenyap lagi, muncul di sebelah kanannya. Bingung ia dibuatnya dan kepalanya menjadi pening!
"Sudahlah, cukup, Nona. Kau lihai sekali..."
Berkali-kali Yo Wan berseru, namun mana Siu Bi mau sudah dan mengalah? la menggigit Bibir dan menerjang seperti seekor harimau gila, nekat dan tidak takut mati.
"Awas pedangmu!"
Yo Wan berseru dan lenyap. Ketika Siu Bi membalik, terasa sesuatu membelit pundaknya. la merasa ngeri dan menggeliat seakan-akan ada ular yang melilit puncak. Kiranya cambuk lawannya yang melilitnya, membuat ia sukar bergerak dan pada saat itu, ujung Pedang kayu Yo Wan menotok pergelangan tangan kanannya. Pedangnya jatuh! Dengan marah sekali, Siu Bi berdiri di depan Yo Wan, membanting-banting kaki dan memandang penuh kebencian.
"Maaf, Nona, aku... aku tidak sengaja. Kau telah mengalah..."
Akan tetapi Siu Bi membanting kaki lagi, terisak lalu membalikkan tubuh dan lari cepat, tidak peduli lagi akan pedangnya yang tergeletak di atas tanah.
"He, nona Siu Bi... tunggu... pedangmu...!"
Yo Wan mengambil Pedang itu dan cepat mengejar. Akan tetapi Siu Bi sudah lari jauh dan menghilang di balik pohon-pohon di dalam hutan. Yo Wan berhenti sebentar, menggeleng-geleng kepala dan menarik nafas panjang.
"Wah, benar-benar luar biasa anak itu. Wataknya seperti setan!"
Akan tetapi diam-diam ia mengagumi kepandaian Siu Bi yang memang jarang dicari bandingnya.
"Entah anak siapa dia itu, dan entah siapa pula yang mewariskan kepandaian dan watak segila itu."
la lalu mengejar lagi, tidak bermaksud segera menyusul karena ia maklum bahwa agaknya membutuhkan beberapa lama untuk membiarkan gadis itu agak mendingin hatinya. Kalau sedang panas dan marah seperti itu, agaknya tidak akan mudah dibujuk dan tentu sukar bukan main diajak bicara secara baik-baik. Seorang gadis yang luar biasa masih amat muda. Mengapa sudah merantau seorang diri di dunia ini? Betulkah dia pun sebatangkara? Kasihan! Wataknya keras, berbahaya sekali kalau tidak ada yang mengamat-amati. Sayang kalau seorang dara masih remaja seperti itu mengalami malapetaka atau menjadi rusak. Hati Yo Wan mulai gelisah ketika sudah mengejar seperempat jam lebih, belum juga ia melihat bayangan Siu Bi.
"Nona Siu Bi! Tunggu...
"
Serunya sambil mengerahkan khikang sehingga suaranya bergema di seluruh hutan. Namun tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri. la mengejar lebih cepat lagi. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan berhenti. Di depan kakinya tergeletak sehelai saputangan sutera kuning. Bukankah ini saputangan yang dia lihat tadi mengikat rambut Siu Bi? Dipungutnya saputangan itu dan jari-jari tangannya menggigil. Saputangan itu berlepotan darah! Sepasang matanya menjadi beringas ketika ia menoleh ke kanan kiri, lalu dia meloncat ke atas pohon, memandang ke sana ke mari.
"Nona Siu Bi! Di mana kau...!!...!"
Li berseru memanggil. Tetap sunyi tiada jawaban.
"Celaka, apa artinya ini...?"
Yo Wan meloncat turun lagi, memandangi saputangan di tangannya.
"Jangan-jangan..."
La tidak berani melanjutkan kata-kata hatinya, melainkan mengantongi kain sutera itu dan berkelebat cepat ke depan untuk melakukan pengejaran lebih cepat lagi. Apakah yang terjadi dengan diri Siu Bi? Gadis itu merasa amat marah, penasaran, malu dan kecewa sekali setelah mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaiannya jauh kalah oleh Yo Wan.
Memang Siu Bi berwatak aneh, mudah sekali berubah. Tadinya ia hendak menguji kepandaian Yo Wan dan kalau ternyata Yo Wan benar lihai, akan dijadikan sahabatnya menghadapi musuh besarnya. Akan tetapi setelah ternyata ia kalah jauh, ia kecewa dan marah, lalu pergi sambil menangis! Malah ia tinggalkan begitu saja pedangnya yang terlepas dari tangan. Siu Bi menggunakan ilmu lari cepat. la maklum bahwa Yo Wan tentu akan mengejarnya, lari sekuat tenaga. Kemudian, sampai di pinggir hutan ia melihat bahwa daerah itu banyak terdapat batu-batu besar yang merupakan dinding lereng gunung dan tampak bahwa tempat itu terdapat banyak guanya yang gelap dan terbuka seperti mulut raksasa. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu membelok ke daerah ini, memilih sebuah gua yang paling gelap dan besar, lalu menyelinap masuk.
Gua itu gelap sekali dan lebar. Begitu masuk, tubuhnya diselimuti kegelapan, sama sekali tidak tampak dari luar. la masuk terus dan ternyata terowongan dalam gua itu membelok ke kiri sehingga ia terbebas sama sekali dari sinar matahari. Terlalu gelap di situ, melihat tangan sendiri pun hampir tidak kelihatan. Siu Bi meraba-raba dan ketika mencapatkan sebuah batu yang licin dan bersih, ia duduk di situ terengah-engah. Disusutnya air matanya dengan ujung lengan bajunya. Tiba-tiba ia hampir menjerit saking kagetnya ketika terdengar suara orang tertawa, apalagi ketika disusul dengan dua buah tangan yang merangkul pundaknya! Otomatis tangan kirinya bergerak, menghantam ke belakang. Karena kaget, maka sekaligus ia mengerahkan Hek-In-Kang. Tangannya yang terbuka bertemu dengan bagian perut yang lunak.
"Bukkk!"
Orang yang punya perut itu merintih dan terlempar ke belakang. Siu Bi melompat bangun, akan tetapi mendadak ia mencium bau harum yang luar biasa, yang membuat kepalanya pening dan matanya melihat seribu bintang terhuyung-huyung dan roboh dalam pelukan dua buah lengan yang kuat! Beberapa detik kemudian, dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, melompat keluar dari dalam gua. Seorang di antara mereka, yang berjenggot kaku, memondong tubuh Siu Bi yang pingsan. Setibanya di luar gua, mereka memandang wajah Siu Bi dan si pemondong tertawa,
"Ha... ha... ha, luar biasa sekali, Bian-te (adik Bian). Kita menangkap seorang bidadari!"
Kawannya, yang mukanya pucat, tertawa masam.
"Bidadari tapi pukulannya seperti setan! Kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengerahkan Sinkang, kiranya isi perutku sudah hancur dan hangus. Heran, gadis cilik secantik ini kepandaiannya hebat dan pukulannya dahsyat."
"Dia tentu murid orang pandai. Jangan-jangan berkawan yang lebih lihai lagi. Mari kita cepat bawa pergi. Gong-Twako bersama perahunya tentu berada di pantai. Hayo, cepat!"
"Dua orang itu berlari cepat sekali menuju ke Barat. Tak lama kemudian mereka tiba di tepi Sungai Fen-ho. Si muka pucat bersuit keras sekali dan tiba-tiba dari rumpun alang-alang muncul sebuah perahu kecil cat hitam yang didayung oleh seorang laki-laki berambut putih, berusia lima puluh tahunan.
"He, kalian membawa seorang gadis, untuk apa? Siapa dia?"
Dua orang tinggi besar itu melompat ke dalam perahu dengan gerakan yang ringan. Si jenggot kasar merebahkan tubuh Siu Bi yang masih pingsan ke dalam bilik perahu, kemudian ia keluar lagi untuk bercakap-cakap dengan dua orang temannya.
"Kami tidak tahu dia siapa. Seorang bidadari!"
Katanya.
"Bidadari yang pukulannya seperti setan!"
Sambung si muka pucat dan tiba-tiba meringis, lalu muntahkan darah yang menghitam. Dua orang temannya kaget. Kakek rambut putih itu memandang dengan kening berkerut.
"Bian-te, kau terluka dalam yang hebat."
"Lekas kita pergi ke Ching-Coa-To. Gong-Twako, gadis itu seorang yang cantik dan pandai, tentu Kongcu (Tuan muda) akan senang sekali mendapatkannya, dan kita akan mendapat jasa besar. Juga Bian-te perlu segera diobati. Agaknya hanya Toanio (nyonya) yang mampu mengobatinya. Pukulannya hebat dan agaknya mengandung racun yang aneh."
Si rambut putih bersuit dan muncullah perahu kedua, didayung seorang laki-laki muda.
"Kau menjaga di sini, kami akan ke Pulau,"
Pesannya dan didayunglah perahu hitam itu dengan cepat sekali, mengikuti aliran sungai sehingga meluncur dengan lajunya. Beberapa jam kemudian, si muka pucat muntah-muntah lagi, keadaannya makin payah. Dua orang temannya berusaha untuk mengurut jalan darah dan menempelkan telapak tangan pada punggungnya untuk membantu pengerahan Sinkang, namun hasilnya tidak banyak, hanya membuat si muka pucat itu dapat bernafas lebih leluasa. Mukanya makin pucat dan matanya beringas.
"Keparat, aku harus membalas ini."
La bangkit hendak memasuki bilik perahu.
"Bian-te, sabarlah,"
Cegah si brewok.
"Perjalanan ini masih lama, agaknya aku takkan kuat. Tak lama lagi aku mati, dan sebelum mati, aku harus melampiaskan penasaran."
"Jangan bunuh dia, Bian-te..."
Cegah si rambut putih.
"Agaknya dia sudah terkena bius racun merah kita, ia tidak berdaya lagi. Itu sudah merupakan pembalasan dan nanti kalau ia terjatuh ke tangan Kongcu, Ha... ha... ha, tentu tak lama lagi dihadiahkan kepadamu. Masih banyak waktu untuk membalas penasaranmu."
"Tidak bisa menunggu lagi. Sesampainya di sana, aku sudah menjadi mayat. Gong-Twako, lukaku hebat, aku merasa ini. Biarkan aku memilikinya sebelum aku mati."
"Bian-te, dia hendak kami berikan kepada Kongcu. Kalau kau mendahuluinya, tentu kau akan dihukum Kongcu."
"Kongcu tidak tahu tentang dia, laginya, kalau sebentar lagi aku mati, kong-cu mau bisa berbuat apa kepadaku?"
Si muka pucat memasuki bilik dan dua orang kawannya hanya saling pandang.
"Dia terluka hebat dan agaknya betul-betul tidak akan dapat ditolong, biarkanlah dia menebus kekalahannya dan membalas dendam,"
Kata si rambut putih sambil mengeluarkan pipa tembakaunya dan mengisap. Si brewok juga mengangkat pundak.
Siu Bi telah terkena bubuk beracun Ang-hwa-tok (Racun Kembang Merah) yang membuatnya mabuk dan pingsan. Akan tetapi gadis ini adalah murid dari Hek Lojin, seorang tokoh dunia hitam. Ketika gadis ini mempelajari Lweekang, latihannya dengan berjungkir balik sehingga dalam pengerahan Hek-In-Kang, jalan darahnya membalik dan Sinkang di tubuhnya membentuk hawa Hek-In-Kang yang beracun hitam. Oleh karena itu, ketika ia terkena pengaruh racun Ang-hwa-tok, hanya sebentar saja ia tercengkeram dan pingsan. Pada saat itu, ia sudah mulai bergerak, biarpun masih pening dan ketika ia membuka matanya, cepat ia meramkan lagi karena segala yang tampak berputaran sedangkan darahnya di kepala berdenyut-denyut. Cepat ia mengerahkan Sinkang untuk mengusir pengaruh memabukkan ini.
Untung baginya, ketika tadi terkena racun Ang-hwa-tok, ia baru mengerahkan Hek-In-Kang sehingga tenaga mujijat inilah yang menolak sebagian besar pengaruh racun. Kini dengan Sinkang, ia berhasil mengusir hawa beracun, akan tetapi pikirannya masih belum sadar benar dan ia merasa seakan-akan melayang di angkasa, belum sadar benar dan belum ingat apa yang telah terjadi dengan dirinya. la merasa seperti dalam alam mimpi. Mendadak ada orang menubruk dan memeluknya sambil mencengkeram pundak. Siu Bi kaget bukan main, cepat membuka matanya. Hampir ia menjerit ketika melihat bahwa yang menindihnya adalah seorang laki-laki bermuka pucat bermata beringas dan mulutnya menyeringai liar, dari ujung Bibirnya bertetesan darah menghitam! la tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang mengerikan ini terhadap dirinya, ia menyangka bahwa ia akan dibunuh dan dicekik,
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka cepat Siu Bi mengerahkan seluruh tenaga Hek-In-Kang yang ada pada dirinya, kemudian sambil meronta ia menggunakan kedua tangannya menghantam dengan pengerahan Hek-In-Kang. Lambung dan leher orang yang bermuka pucat itu dengan tepat kena dihantam, dia memekik keras, tubuhnya terpental dan roboh terguling ke bawah dipan. Ketika Siu Bi melompat bangun, ternyata orang itu sudah rebah dengan mata mendelik dan dari mulutnya bercucuran darah, nafasnya sudah putus! Siu Bi bergidik mengenangkan bahaya yang hampir menimpa dirinya. Dengan penuh kebencian ia menendang mayat itu sehingga terlempar ke luar dari pintu bilik kecil. Sementara itu, si brewok dan si rambut putih yang sedang enak-enak duduk di atas perahu, terkejut bukan main mendengar pekik tadi. Cepat mereka melempar pipa tembakau ke samping dan melompat, menyerbu ke dalam bilik.
Sesosok bayangan menyambar mereka. Si brewok menyampok dan bayangan itu adalah temannya sendiri, si muka pucat yang sekarang sudah menjadi mayat! Tentu saja di samping rasa kaget, mereka berdua marah sekali melihat seorang teman mereka tewas dalam keadaan seperti itu. Bagaikan due ekor beruang, mereka berteriak keras dan menyerbu ke dalam bilik. Siu Bi menjadi nekat. la sudah siap dan telah mengerahkan Hek-In-Kang untuk melawan. Akan tetapi sedikit banyak racun Ang-hwa-tok masih mempengaruhinya. la mencoba untuk menerjang kedua orang yang menyerbu itu dengan pukulan Hek-In-Kang. Namun dua orang lawannya bukanlah orang lemah. Mereka itu, terutama si rambut putih, adalah jagoan-jagoan dari"
Ching-Coa-To dan mereka sudah tahu akan kelihaian ilmu pukulan Siu Bi, maka cepat mereka mengelak lalu balas menyerang.
"Gong-Twako, kita tangkap hidup-hidup!"
Seru si brewok. Si rambut putih maklum akan kehendak kawannya ini. Memang, setelah gadis ini berhasil membunuh seorang kawan, kalau dapat menangkapnya dan menyerahkannya hidup-hidup kepada Kongcu mereka di Ching-Coa-To, bukanlah kecil jasanya.
Pertama, dapat menangkap musuh yang membunuh seorang anggota Ang-Hwa-Pai (Perkum-pulan Kembang Merah), kedua kalinya, dapat menghadiahkan seorang gadis yang cantik molek kepada Kongcu! Siu Bi melawan dengan nekat, menangkis sepenuh tenaga dan mencoba merobohkan mereka dengan pukulan Hek-In-Kang. Namun, kedua orang musuhnya amat kuat dan gesit, sedangkan kepalanya masih terasa pening. Tiba-tiba tampak sinar merah dan Siu Bi cepat-cepat menahan nafasnya, namun terlambat. Kembali ia mencium bau yang amat harum dan tiba-tiba ia menjadi lemas dan roboh pingsan lagi! Ternyata bahwa si rambut putih telah berhasil merobohkannya dengan bubuk racun merah, senjata rahasia yang menjadi andalan para tokoh Ching-Coa-To.
Siapa mereka ini? Mereka bukan lain adalah tokoh-tokoh yang menjadi anggota sebuah perkumpulan yang disebut Ang-Hwa-Pai. Sesuai dengan namanya, para tokoh ini mempunyai tanda setangkai bunga berwarna merah menghias sebagai sulaman pada baju yang menutup dada kiri. Ang-Hwa-Pai bersarang di Pulau Ching-Coa-To, yaitu Pulau Ular Hijau. Kiranya para pembaca cerita Pendekar Buta masih ingat akan nama Ching-Coa-To. Pulau ini adalah tempat tinggal Ching-Toanio, Ibu dari Giam Hui Siang dan Ibu angkat dari Hui Kauw isteri Pendekar Buta. Setelah Ching-Toanio meninggal dan kedua orang puterinya itu menikah dan meninggalkan Ching-Coa-To, Pulau itu menjadi kosong, hanya ditinggali bekas anak buah Ching-Toanio yang hidup sebagai perampok dan bajak sungai.
Beberapa bulan kemudian, muncullah seorang wanita yang kulitnya agak kehitaman, pakaiannya serba merah, wanita yang galak dan genit, yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, akan tetapi masih kelihatan pesolek dan genit sekali. Dia ini bukanlah wanita sembarangan dan para pembaca dari cerita Pendekar Buta tentu mengenalnya. Dia merupakan seorang di antara tiga saudara Ang-Hwa-Sam Ci-moi yang amat lihai ilmu silatnya. Di dalam cerita Pendekar Buta, tiga orang kakak beradik ini bertanding hebat melawan Pendekar Buta. Dua di antara mereka, yaitu Kui Biauw dan Kui Siauw, tewas dan yang tertua, Kui Ciauw, berhasil melarikan diri sambil membawa mayat kedua orang saudaranya. Wanita yang datang ke Ching-Coa-To adalah Kui Ciauw inilah. Tentu saja para anak buah Ching-Coa-To telah mengenalnya.
Di dunia hitam, siapa yang tidak mengenal Ang-Hwa-Sam Ci-moi yang malah lebih lihai daripada suci mereka, si wanita iblis Hek-hwa Kui-bo yang telah tewas pula? Karena percaya akan kelihaian Kui Ciauw, para anak buah Ching-Coa-To mengangkat Kui Ciauw menjadi kepala dan wanita ini lalu mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Ang-Hwa-Pai, sesuai dengan julukannya, yaitu Ang-Hwa Nio-Nio. la sengaja mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, dipilih yang memiliki kepandaian tinggi, malah ia lalu melatih mereka dan menurunkan kepandaian melepas bubuk racun kembang merah kepada para pembantunya. Setelah masa peralihan kekuasaan, menggunakan keadaan yang kacau, perkumpulan hitam ini merajalela, merampok membajak dan keadaan mereka makin menjadi kuat karena banyak perampok ternama dan lihai yang melihat kemajuan dan pengaruh Ang-Hwa-Pai, lalu menggabungkan diri.
Ang-Hwa Nio-Nio atau Kui Ciauw ini tak pernah melupakan dendam hatinya terhadap Pendekar Buta yang telah membunuh dua orang adiknya. Akan tetapi maklum bahwa tidak mudah membalas dendam kepada orang sakti itu, ia tekun memperdalam ilmunya, bahkan ia menyusun kekuatan partainya dengan maksud kelak akan menyerang ke Liong-thouw san. Ang-Hwa Nio-Nio, seperti lainnya para tokoh dunia gelap, biarpun sudah berusia hampir setengah abad, namun masih merupakan seorang wanita cabul yang gila laki-laki. Oleh karena itu, bukan rahasia lagi bagi para anak buahnya akan kesukaan Ketua ini mengumpulkan laki-laki yang masih muda dan tampan, menjadikan mereka itu kekasih atau "Selir,"
Tentu saja banyak di antara mereka yang melakukan hal ini karena dipaksa dengan ancaman maut. Baru setelah muncul seorang pemuda tampan bernama Ouwyang Lam, kerakusannya mengumpulkan pemuda-pemuda tampan berhenti.
Ouwyang Lam adalah seorang pemuda dari daerah Shan-tung, bertubuh tegap kuat berwajah tampan, anak seorang bajak tunggal. Bersama Ayahnya, Ouwyang Lam menggabungkan diri pada Ang-Hwa-Pai dan tentu saja pemuda tampan ini tidak terlepas dari incaran Ang-Hwa Nio-Nio. Akan tetapi, kali ini Ang-Hwa Nio-Nio "jatuh hati"
Betul-betul kepada Ouwyang Lam. Agaknya cinta tidak memilih umur sehingga dalam usia hampir setengah abad, Ang-Hwa Nio-Nio benar-benar kali ini jatuh cinta! Segala kehendak Ouwyang Lain dituruti dan pertama-tama yang diminta oleh pemuda pintar ini adalah mengusir atau membunuhi puluhan orang "Selir"
Laki-laki itu! la ingin memonopoli Ketua Ang-Hwa-Pai, bukan karena cantiknya, melainkan karena kedudukannya yang mulia dan karena pemuda ini ingin mewarisi kepandaiannya.
Dan demikianlah kenyataannya. Ouwyang Lam diambil sebagai "Putera angkat"
Oleh Ang-Hwa Nio-Nio, mendapat sebutan Kongcu (Tuan muda), dihormat oleh seluruh anggota Ang-Hwa-Pai dan selain kedudukan yang tinggi ini, juga pemuda yang cerdik ini setiap hari memeras ilmu-ilmu kesaktian dari "ibu angkat"
Alias kekasihnya ini untuk dimilikinya. Terdorong cinta kasih yang membuatnya tergila-gila, Ang-Hwa Nio-Nio tidak segan-segan menurunkan ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu beberapa tahun saja ilmu kepandaian Ouwyang Lam amat hebat. Bahkan Ilmu Pedang Hui-seng Kiam-Sut (Ilmu Pedang Bintang Terbang) yang menjadi kebanggaan Ang-Hwa-Sam Ci-moi dahulu, telah diajarkan kepada Ouwyang Lam.
Dasar Ouwyang Lam memang pandai mengambil hati, maka dia bersumpah kepada kekasihnya bahwa kelak dia sendiri yang akan membalaskan dendam kekasihnya itu kepada Pendekar Buta. Tentu saja untuk ini dia memerlukan ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat berhasil? Tidak ini saja, malah pemuda tampan ini begitu dimanja sehingga segala permintaannya dituruti, termasuk kegemarannya akan wanita cantik. Ang-Hwa Nio-Nio yang sudah setengah tua itu tidak mempunyai hati cemburu, bahkan rela membagi cinta kasih Ouwyang Lam. Demikianlah sekelumit keadaan Ang-Hwa-Pai di Ching-Coa-To. Kalau kepalanya bergerak ke Utara, tak mungkin ekornya menuju ke Selatan demikian kata orang-orang tua. Dengan pimpinan macam Ang-Hwa Nio-Nio dan Ouwyang Lam, dapat dibayangkan betapa bobroknya moral para anak buah dan anggota Ang-Hwa-Pai.
Mereka ini seperti mendapat contoh dan demikianlah, seluruh wilayah di sebelah Barat dan Selatan Kota Raja, penuh oleh orang-orang Ang-hwa pai yang bergerak dan merajalela menjadi perampok atau bajak yang malang-melintang tanpa ada yang berani melawan mereka. Asal ada penjahat yang memakai tanda bunga merah di dada yang melakukan gerakan, tidak ada yang berani berkutik! Ouwyang Lam amat pandai sehingga untuk memperkuat kedudukannya, dia tidak segan-segan mempergunakan uang untuk menyuap sana-sini, menghubungi para pembesar dan menghamburkan uang secara royal kepada para pembesar korup yang memenuhi negara pada masa itu. Para pembesar korup amat berterima kasih dan menganggap orang-orang Ang-Hwa-Pai amat baik, tidak peduli mereka ini bahwa uang yang dipakai menyogok dan menyuap mereka itu adalah uang hasil rampokan! Siu Bi sungguh malang nasibnya, terjatuh ke tangan tiga orang tokoh Ang-Hwa-Pai.
Akan tetapi baiknya ia memiliki wajah yang amat jelita sehingga hal ini menggerakkan hati dua orang penawannya untuk mencari jasa hendak mempersembahkan dia kepada Ouwyang Lam! Tentu saja hal ini baik baginya, karena dalam keadaan pingsan di perahu itu, nasibnya sudah berada di tangan si rambut putih dan si brewok. Namun, mengingat akan hadiah dan kedudukan yang mungkin dinaikkan, dua orang itu tidak berani mengganggu Siu Bi, ingin mempersembahkan gadis ini pada Kongcu mereka dalam keadaan utuh! Mereka hanya mengikat kaki tangan Siu Bi dan cepat-cepat mereka mendayung perahu, langsung menuju ke Ching-Coa-To. Dan inilah sebabnya mengapa Yo Wan sia-sia saja mengejar. la tidak mengira bahwa Siu Bi ditangkap orang di dalam gua kemudian dilarikan dengan perahu. Terlalu lama dia mencari-cari di dalam hutan, berputar-putar tanpa hasil.
Baru setelah menjelang senja, ia sampai di pinggir Sungai Fen-ho, berdiri termangu-mangu di tepi sungai. Ketika sadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya dalam keadaan terikat kaki tangannya dan rebah di atas pembaringan dalam perahu, Siu Bi menjadi marah dan mendongkol sekali. Ia merasa lega bahwa tubuhnya tidak terasa sesuatu, tidak menderita luka. Akan tetapi ketika ia mencoba untuk mengerahkan tenaga melepaskan diri dari belenggu, ia mendapat kenyataan bahwa tali-tali yang mengikat kaki tangannya amatlah kuat, tak mungkin diputus mempergunakan tenaga. la mengeluh dan mulailah ia menyesal. Mengapa ia melarikan diri, meninggalkan Yo Wan? Kalau ada Yo Wan di dekatnya, tak mungkin ia sampai mengalami bencana seperti ini. Lebih menyesal lagi ia mengapa pedangnya, Cui-Beng Kiam, ia tinggalkan di depan kaki Yo Wan.
Kalau perginya membawa senjatanya yang ampuh itu, lebih baik lagi kalau ia tidak bertanding melawan Yo Wan, kalau... kalau... ah, tidak akan ada habisnya hal-hal yang sudah terlanjur dan sudah lalu disesalkan. Sesal kemudian tiada guna. Perahu itu dengan cepatnya meluncur sepanjang Sungai Fen-ho, sampai masuk Sungai Kuning di Selatan kemudian membelok ke Timur melalui Sungai Kuning yang lebar dan diam. Selama beberapa hari melakukan perjalanan melalui air ini, Siu Bi tetap dalam belenggu. Akan tetapi gadis ini tidak diganggu dan karena mengharapkan sewaktu-waktu mendapat kesempatan membebaskan diri, Siu Bi tidak menolak suguhan makan minum yang setiap hari diberi oleh dua orang penawannya. la harus menjaga kesehatannya dan memelihara tenaga agar dapat dipergunakan sewaktu ada kesempatan.
Perjalanan dilangsungkan melalui darat. Dua orang itu dengan mudah mendapatkan tiga ekor kuda dari kawan-kawan mereka yang memang banyak terdapat di sekitar daerah itu, merajalela dan boleh dibilang menguasai keadaan di sebelah Selatan dan Barat dan Kota Raja. Akhirnya mereka menyeberang telaga dan mendarat di Pulau Ching-Coa-To di tengah telaga. Pulau ini sekarang berubah keadaannya jika dibandingkan belasan tahun yang lalu. Setelah Ang-Hwa-Pai berdiri dan Pulau ini dijadikan pusat, Pulau ini dibangun dan darii jauh saja sudah tampak bangunan-bangunar yang besar dan megah. Taman bunga yang dahulu menjadi kebanggaan Ching-Toanio dan puteri-puterinya, terpelihara baik-baik, malah dilengkapi pondok-pondok mungil karena tempat ini terkenal sebagai tempat Ang-Hwa Nio-Nio dan Ouwyang Lam bersenang-senang.
Siu Bi merasa heran dan kagum juga setelah ia dibawa mendarat dari perahu yang menyeberangi telaga. Pulau itu benar indah, juga megah. Apalagi ketika mereka mendarat di Pulau, mereka disambut oleh sepasukan penjaga yang berpakaian lengkap, seragam dan bersikap gagah. Di dada kiri mereka tampak sebuah lencana, yaitu sulaman berbentuk bunga merah. Si rambut putih yang agaknya memiliki kedudukan lumayan di Pulau ini, segera menyuruh seorang penjaga lari melapor kepada Pangcu (ketua) dan kong-cu (Tuan muda). Penjaga itu beriari cepat. Siu Bi digiring berjalan memasuki Pulau dengan perlahan, diiringkan sepasukan penjaga dan diapit oleh kedua orang penawannya. Tak lama kemudian rombongan ini berhenti dan dari depan tampak serombongan orang berjalan datang dengan cepat.
Siu Bi membelalakkan mata, memandang penuh perhatian. la melihat barisan wanita-wanita muda cantik yang gagah sikapnya, memegang Pedang telanjang di tangan, berjalan dengan teratur di kanan kiri. Di tengah-tengah tampak berjalan dua orang. Yang seorang adalah wanita tua yang berkulit hitam dan pakaiannya biarpun terdiri dari sutera mahal dan amat mewah, akan tetapi sungguh tidak serasi karena warnanya merah darah dan berkembang-kembang. Amat tidak cocok dengan kulit hitam itu, apalagi karena muka itu biarpun dibedaki dan ditutupi gincu, tetap saja memperlihatkan keriput-keriput usia tua. Seorang Nenek yang amat pesolek dan sinar matanya tajam dan liar. Akan tetapi langkah kakinya demikian ringan seakan-akan tidak menginjak bumi, menandakan bahwa Ginkang dari Nenek ini luar biasa hebatnya.
Orang kedua adalah seorang laki-laki muda, kurang lebih dua puluh tahun, tubuhnya tegap, agak pendek tapi wajahnya tampan sekali dengan kulit yang putih kuning, alis hitam panjang dan matanya bersinar-sinar. Mereka ini bukan lain adalah Ang-Hwa Nio-Nio atau Pangcu, Ketua dari Ang-Hwa-Pai, bersama Ouwyang Lam atau Kongcu yang sesungguhnya memiliki kekuasaan tertinggi di situ karena si Ketua itu berada di telapak tangan si pemuda ganteng! Tempat itu kini penuh dengan para anggota Ang-Hwa-Pai dan semua orang memandang Siu Bi penuh perhatian. Mereka bersikap hormat ketika Ketua mereka muncul. Si rambut putih dan si brewok juga segera berlutut memberi hormat, lalu berdiri lagi. Pandang mata Ouwyang Lam untuk sejenak menjelajahi Siu Bi dari rambut sampai ke kaki, kemudian menoleh kepada si rambut putih. Adapun Ang-Hwa Nio-Nio segera menegur.
"Betulkah seperti yang kudengar bahwa bocah ini telah membunuh A Bian? Mengapa kalian tidak segera membunuhnya dan perlu apa dibawa-bawa ke sini?"
"Maaf, kami sengaja menangkap dan membawanya ke sini agar mendapat putusan sendiri tentang hukumannya dari Pangcu dan Kongcu,"
Kata si rambut putih dengan nada suara menjilat.
"Pula, bagaimana kami dapat membuktikan tentang kematian A Bian kalau pembunuhnya tak kami seret ke sini?"
"Hemmm, bocah yang berani membunuh seorang pembantuku, apalagi hukumannya selain mampus? Biar aku sendiri membunuhnya!"
Tangan Nenek ini bergerak, terdengar angin bercuitan ketika angin pukulan meluncur ke arah dada Siu Bi. Gadis ini kaget bukan main. Hebat pukulan ini dan karena kedua tangannya masih dibelenggu, hanya kedua kakinya saja yang bebas, ia terpaksa melompat cepat ke kiri.
"Srrrttt!"
Pinggir bajunya tersambar angin pukulan, pecah dan hancur berantakan. Wajah Siu Bi berubah. la maklum bahwa Nenek ini merupakan lawan yang berat, seorang yang amat lihai ilmunya.
"Ihhh, kau berani mengelak?"
Nenek itu memekik, suaranya melengking tinggi dan kembali tangannya bergerak, sekarang angin yang berciutan itu menyambar ke arah leher Siu Bi.
Gadis ini kembali mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga pundaknya terhajar. Baiknya ia telah siap dan mengerahkan Hek-In-Kang di tubuhnya, maka ia tidak mengalami luka, hanya terhuyung dan roboh miring di atas tanah. Muka Nenek itu berubah. Baru kali ini ia mengalami hal seaneh ini. Biasanya, kalau pukulannya dilakukan, tentu seorang lawan akan roboh binasa. Apalagi kalau pukulannya yang mengandung hawa racun merah ini mengenai sasaran, tentu yang terkena akan terluka dalam. Akan tetapi gadis ini hanya terhuyung dan roboh tapi tidak terluka. Ini membuktikan bahwa gadis ini "Ada isinya."
Saking penasaran, ia mengerahkan tenaga dan hendak memukul lagi. Akan tetapi Ouwyang Lam mencegah, menyentuh lengan Nenek itu sambil berkata,
"Nio-Nio, harap sabar dulu..."
"Apa?"
Kau masih belum puas dengan mereka itu dan hendak mengambil dia? Hati-hati, perempuan seperti ia bukan untuk hiburan, sekali ia lolos akan mendatangkan bencana!"
Kata Ang-Hwa Nio-Nio sambil menuding ke arah Siu Bi yang sudah melompat bangun lagi dan memandang mereka dengan mata terbelalak penuh kemarahan dan kebencian. Sedikit pun gadis ini tidak memperlihatkan rasa takut.
"Bukan begitu, Nio-Nio. Ingat Nona ini memiliki kepandaian, akan tetapi menghadapi seorang nona muda, dua orang kita menawannya dan membelenggunya seperti itu, sudah merupakan hal yang meremehkan nama besar kita. Apalagi sekarang kau hendak membunuhnya dalam keadaan terbelenggu, aku khawatir nama besarmu akan ternoda. Nio-Nio, biarkan aku menghadapinya setelah belenggunya dilepas, agaknya ia lihai, patut aku berlatih dengannya. Eh, Nona, setelah kau lancang tangan membunuh seorang pembantu kami dan kau telah ditangkap ke sini, kau hendak berkata apa lagi?"
Siu Bi mengerutkan alisnya, matanya seolah-olah mengeluarkan api ketika memandang kepada wajah tampan itu.
"Mengapa banyak cerewet? Mau bunuh boleh bunuh, siapa takut mampus? Pura-pura akan membebaskan, hemmm, kalau benar-benar kedua kakiku bebas, aku akan membunuhi kalian ini semua, tak seekor pun akan kuberi ampun!"
Inilah makian dan hinaan hebat. Semua orang sampai melongo. Alangkah beraninya bocah ini. Sudah tertawan, berada di tangan musuh dan tidak berdaya, nyawanya tergantung di ujung rambut, masih begitu besar nyalinya.
Benar-benar hal yang amat mengherankan bagi seorang gadis remaja seperti ini. Akan tetapi Ouwyang Lam tertawa girang. Hatinya amat tertarik kepada gadis ini. Cantik jelita dan gagah perkasa. Biarpun baginya tidaklah sukar untuk mencari gadis cantik, malah boleh jadi lebih cantik daripada Siu Bi, namun takkan mudah mendapatkan seorang gadis yang begini gagah perkasa dan bernyali harimau. Kalau dia bisa mendapatkan seorang seperti itu di sampingnya, selain dia mendapatkan pasangan yang setimpal, juga gadis ini dapat merupakan penambahan tenaga yang amat penting dan memperkuat kedudukan mereka. Memang Ouwyang Lam orangnya cerdik, penuh tipu muslihat dan akal yang halus sehingga biarpun dia mempunyai niat di hatinya yang tidak baik, namun pada lahirnya dia bisa kelihatan amat baik dan peramah.
"Nona, kau seorang gagah, maka kuberi kesempatan untuk membela diri. Kami dari Ang-Hwa-Pai juga orang-orang gagah dan menghargai kegagahan. Nah, kau kubebaskan dari belenggu dan boleh membela diri dengan kepandaianmu!"
Tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu belenggu pada kedua tangan Siu Bi sudah putus. Kiranya itu tadi adalah sinar Pedang di tangan Ouwyang Lam! Siu Bi kagum. Maklum ia bahwa juga pemuda ini merupakan lawan yang berat. Namun, mana ia menjadi gentar karenanya? la tersenyum mengejek, menggerak-gerakkan kedua lengannya untuk mengusir rasa pegal. Berhari-hari ia dibelenggu dan hal ini membuat kedua lengannya terasa pegal. la mengerahkan tenaga Sinkang untuk mendorong peredaran darahnya, terutama di bagian kedua lengan sehingga ia dapat mengusir semua rasa kaku dan dapat bergerak lincah kembali. Setelah merasa dirinya sehat kembali, ia menghadapi Ouwyang Lam dan berkata,
"Nah, aku siap. Siapa akan maju menghadapi aku? Ataukah barangkali kalian mengandalkan kegagahan dengan cara pengeroyokan?"
Ucapan ini merupakan tantangan yang mengandung ejekan. Muka Ang-Hwa Nio-Nio yang hitam sampai berubah menjadi makin hitam saking marahnya. Gadis ini benar-benar memandang rendah Ang-Hwa-Pai. Akan tetapi Ouwyang Lam tersenyum dan melangkah maju. Pedangnya masih berada di tangan, akan tetapi dia tidak segera menyerang, melainkan berkata halus,
"Nona, aku sudah siap dengan pedangku. Harap kau suka mengeluarkan senjatamu."
Diam-diam Siu Bi menghargai sikap pemuda tampan ini, setidaknya pemuda ini mempunyai watak yang gagah, tidak seperti Nenek yang tak tahu malu menyerangnya ketika masih terbelenggu kedua tangannya tadi. Akan tetapi Pedang Cui-Beng Kiam ia tinggalkan di depan kaki Yo Wan.
"Aku mengandalkan kedua kepalan tangan dan kakiku. Kalau pedangku Cui-Beng Kiam berada di sini, mana orang-orangmu mampu menghinaku?"
Ouwyang Lam makin besar rasa kagumnya dan dia yakin bahwa gadis ini tentulah seorang Pendekar wanita yang gagah. la segera menyimpan kembali pedangnya dan berkata,
"Kalau begitu, marilah kita main-main dengan tangan kosong. Majulah, Nona."
Siu Bi tidak mau sungkan-sungkan lagi. Setelah sekarang ia ditantang dan tidak dikeroyok, ini merupakan keuntungannya dan ia harus membela diri sekuat tenaga. Sambil berseru panjang ia lalu menerjang maju. Akan tetapi betapapun juga, ia ingat akan budi pemuda ini. Biarpun merupakan seorang musuh, pemuda ini harus ia akui telah menolong nyawanya tadi ketika ia hendak dibunuh dalam keadaan terbelenggu oleh Nenek yang lihai itu. Maka ia pun hanya ingin merobohkan pemuda ini saja, kalau mungkin tanpa melukainya, apalagi membunuhnya. Oleh karena inilah maka ia lalu mainkan ilmu silat biasa yang ia pelajari dari Ayahnya dan dari Hek Lojin. Gerakannya gesit, serangannya ganas dan dahsyat, juga tenaga dalamnya amat kuat.
"Bagus!"
Ouwyang Lam berseru ketika menyaksikan ketangkasan lawannya. la juga menggerakkan kaki tangannya, bersilat dengan gaya yang indah.
Dalam sekejap mata saja, keduanya sudah saling terjang, saling serang dengan hebat, gerakan mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata karena bayangan itu sudah menjadi satu. Angin pukulan dan gerakan tubuh menyambar-nyambar ke kanan kiri dan empat puluh jurus lewat dengan amat cepatnya. Diam-diam Ang-Hwa Nio-Nio mendongkol melihat murid dan kekasihnya itu tidak segera menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Hui-seng-kun-hoat, yaitu Ilmu Silat Bintang Terbang yang merupakan ilmu silat tertinggi yang dimilikinya. Sementara itu, diam-diam Siu Bi mengeluh. Kiranya pemuda ini benar-benar lihai sekali sehingga jangan bicara tentang merobohkan tanpa melukai, mengalahkan pemuda ini saja masih merupakan hal yang belum tentu kecuali kalau ia mainkan Hek-In-Kang. Akan tetapi kalau ia keluarkan ilmu ini, tak mungkin lagi mengalahkan tanpa membahayakan jiwa lawannya.
"Kenapa tidak keluarkan Hui-seng (Bintang Terbang)??"
Tiba-tiba Nenek itu berseru menegur murid dan kekasihnya. Melihat Ouwyang Lam sampai puluhan jurus belum mampu mengalahkan lawan, Ang-Hwa Nio-Nio menjadi marah dan penasaran. Hal ini akan membikin malu dirinya, merendahkan nama Ang-Hwa Nio-Nio sekaligus Ang-Hwa-Pai!
Memang hal ini amat luar biasa bagi para anggota Ang-Hwa-Pai. Biasanya, Ouwyang-Kongcu merupakan orang yang amat lihai, hanya kalah oleh Ang-Hwa Nio-Nio dan begitu ia turun tangan semua tentu beres. Belum pernah para anggota ini melihat ada lawan yang mampu melawan Ouwyang-Kongcu lebih dari sepuluh jurus. Akan tetapi sekarang, dara remaja yang menjadi tawanan dua orang pembantu itu ternyata mampu menahan terjangan Ouwyang-Kongcu sampai begitu lama tidak tampak terdesak! Tentu saja hal ini tidak mengherankan bagi Ouwyang-Kongcu dan bagi Ang-Hwa Nio-Nio karena kedua orang ini cukup maklum bahwa dua orang pembantu mereka sama sekali bukanlah lawan gadis ini. Mereka dapat melawannya tentu karena hasil dari Ang-Tok-san yaitu bubuk racun merah yang dapat membius lawan.
Mendengar seruan Ang-Hwa Nio-Nio, Ouwyang Lam ragu-ragu. Betapapun juga, dia belum kalah dan biarpun dia tidak dapat mendesak gadis itu, namun sebaliknya dia pun tidak terdesak. Mereka sama kuat dan hal ini membuat hatinya gembira dan kagum bukan main. Belum pernah selamanya ia bertemu dengan seorang gadis yang begini hebat. Tadinya dia sama sekali tidak mengira bahwa Siu Bi akan begini kosen sehingga dapat mengimbangi permainan silatnya. Tentu saja hal ini membuat rasa sayangnya terhadap Siu Bi makin menebal. la tidak tega untuk mempergunakan ilmu silat yang lebih dahsyat, khawatir kalau-kalau melukai Siu Bi dan membikin gadis itu menjadi sakit hati. la hendak membaiki gadis ini, hendak memikat hatinya karena dia betul-betul jatuh hati yang baru pertama kali ini dia alami.
Akan tetapi, di pihak Siu Bi, seruan itu merupakan tanda bahaya. Kalau lawannya mempunyai "Simpanan"
Yang belum dikeluarkan, ini berbahaya. la tidak mau didahului, maka tiba-tiba Siu Bi mengeluarkan seruan nyaring seperti pekik burung elang dan kedua lengannya bergerak aneh, diputar-putar secara luar biasa. Akan tetapi segera tampak sinar menghitam menyambar-nyambar, dari kedua lengan itu tampak uap hitam dan Ouwyang Lam merasai sambaran hawa pukulan yang amat dahsyat. Ketika dia menangkis, lengannya terasa panas sekali dan nyeri sampai menembus ke ulu hati. Kagetlah dia dan terhuyung-huyung dia ke belakang dengan muka pucat. Akan tetapi karena dia maklum bahwa lawannya ini benar-benar hebat, memiliki simpanan ilmu dahsyat yang baru sekarang dikeluarkan, cepat dia mengerahkan tenaga mengusir rasa nyeri,
Berbareng dia membentak keras dan tubuhnya mumbul ke atas, lalu menukik ke bawah melakukan penyerangan balasan. Inilah sebuah jurus dari Ilmu Silat Hui-seng-kun-hoat, ilmu silat Bintang Terbang yang Selain hebat sekali gerak-geriknya, juga mengandung hawa pukulan beracun, racun Ang-Tok (racun merah)! Ketika Siu Bi menangkis dengan tenaga Hek-In-Kang, keduanya terhuyung mundur dengan muka berubah. Tahulah mereka bahwa masing-masing kini telah mengeluarkan kepandaian dan tenaga simpanan. Ilmu Pukulan Hek-In-Kang yang mengandung racun hitam kini bertemu tanding dengan hawa pukulan racun merah. Namun keduanya menyesal bukan main karena kalau dilanjutkan, mereka berdua terpaksa akan mempergunakan dua macam ilmu dahsyat ini dan akibatnya, yang kalah tentu akan celaka, kalau tidak tewas sedikitnya tentu akan terluka parah di sebelah dalam tubuh!
"Tahan dulu...!"
Tiba-tiba Ang-Hwa Nio-Nio berseru dan melayanglah tubuhnya menengahi kedua orang muda yang sedang bertanding itu. Karena Nenek ini menggunakan kedua tangan mendorong, kedua orang muda itu terpaksa meloncat ke belakang.
"Kau mau mengeroyok?"
Siu Bi mendahului membentak. Bentakan yang merupakan gertak belaka karena sesungguhnya di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau Nenek ini benar-benar mengeroyoknya. Kalau benar demikian, biarpun ia tidak akan mundur, namun boleh dipastikan bahwa ia akan kalah dan roboh. Dalam pertemuan tenaga dengan pemuda itu tadi saja sudah dapat ia bayangkan bahwa takkan mudah baginya mengalahkan Ouwyang Lam. Apalagi kalau Nenek ini yang agaknya malah lebih lihai lagi daripada si pemuda, turun tangan mengeroyoknya. Akan tetapi Ang-Hwa Nio-Nio tidak bergerak menyerang. Wajahnya keren dan suaranya berwibawa,
"Bocah, jangan sombong terhadap Ang-Hwa Nio-Nio! Kau tadi mainkan Hek-In-Kang, orang tua Hek Lojin masih terhitung apamukah?"
Siu Bi kaget. Baru kali ini semenjak ia turun gunung, ada orang yang mengenal Hek-In-Kang. Banyak orang lihai ia temui, termasuk Jenderal Bun, isterinya, puteranya dan Si Jaka Lola. Akan tetapi mereka itu tidak mengenal ilmunya. Bagaimana Nenek genit ini dapat mengenal Hek-In-Kang? Malah tahu pula bahwa Hek-In-Kang adalah ilmu mendiang Kakeknya, Hek Lojin yang dikenalnya pula? Setelah Nenek ini mengetahui semuanya, agaknya tidak perlu lagi berbohong, malah ia hendak menyombongkan Kakeknya yang ia tahu amat lihai dan amat terkenal di dunia kang-ouw.
"Hek Lojin adalah Kakekku. Mau apa kau tanya-tanya?"
Jawabnya dengan nada suara sombong dan tidak mau kalah.
"Kakekmu?"
Keriput-keriput pada wajah Nenek itu mendalam.
"Bagaimana bisa jadi? Maksudmu Kakek Guru? Kau mengenal The Sun?"
Berdebar jantung Siu Bi. Terang bahwa Nenek ini bukan orang asing bagi Ayah dan Kakeknya. Biarpun di dalam hati ia tidak mau lagi mengakui The Sun sebagai Ayahnya karena ia maklum sekarang bahwa The Sun memang bukan Ayahnya, akan tetapi agaknya nama The Sun dan Hek Lojin akan dapat menolongnya pada saat itu, Siu Bi biarpun seorang yang amat tabah dan tidak takut mati, namun ia bukan gadis bodoh. la amat cerdik dan ia maklum bahwa saat ini ia berada di sarang harimau. la berada di Pulau orang, musuh-musuhnya lihai dan berjumlah banyak. Nekat memusuhi mereka berarti mati. Maka ia lalu menekan perasaannya dan menjawab,
"Dia adalah Ayahku."
Segan hatinya menyebut nama The Sun, maka ia hanya menyebut "Dia"
Saja. Tiba-tiba terjadi perubahan hebat pada muka Nenek itu. Sejenak ia memandang Siu Bi dengan mata terbelalak, mulut ternganga, kemudian perlahan-lahan kedua mata itu menitikkan air mata dan ia lalu lari merangkul Siu Bi sambil menangis! Tentu saja Siu Bi jadi tercengang keheranan.
"Aihhh, siapa kira... kita adalah orang-orang sendiri, anakku...!"
Meremang bulu tengkuk Siu Bi dan tiba-tiba perutnya menjadi mulas mendengar ini karena timbul dugaan yang mengerikan di dalam hatinya. Jangan jangan... jangan-jangan... la tidak saja bukan anak The Sun, akan tetapi juga bukan anak Ibunya dan... dan... perempuan mengerikan ini adalah Ibu kandungnya! Dengan muka pucat diam-diam berdoa semoga dugaan ini tidak benar adanya. Akan tetapi hatinya demikian risau, membuat tenggorokannya serasa tercekik dan ia tidak mampu bertanya apa yang dimaksudkan oleh Nenek ini dengan kata-kata "Orang-orang sendiri tadi. Adalah Ouwyang Lam yang luga terheran-heran itu yang mengajukan pertanyaan,
"Nio-Nio, apakah artinya ini? Siapakah Nona ini?"
Ang-Hwa Nio-Nio tersenyum dibalik air matanya, melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Siu Bi.
"Mari kita pulang, mari... kita adalah orang sendiri. Mari dengarkan keteranganku di rumah... ah, untung tadi kau keluarkan Hek-In-Kang itu, anakku..."
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo