Ceritasilat Novel Online

Rajawali Emas 4


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Orang tua, akulah Ketua Hoa-San-Pai. Kau siapakah dan apa keperluanmu datang ke sini?"

   Kakek itu tertegun. Diam-diam Lian Ti Tojin memang terheran sekali. Benar-benar gadis cantik jelita dan muda belia inikah yang telah mengacau Hoa-San-Pai? Benarkah gadis ini yang sudah membunuh Sutenya, Lian Bu Tojin? Sukar untuk dapat dipercaya.

   "Kau Ketua Hoa-San-Pai? Apa buktinya?"

   Tanyanya memancing karena masih ragu-ragu. Tadi ia hanya dari jauh, malah mendengar pula betapa dua orang ini menewaskan lima Tosu itu, maka biarpun ia yakin bahwa dua orang ini pengacaunya, namun sama sekali tak pernah ia sangka bahwa wanitanya demikian muda belia, masih seperti kanak-kanak! Maka setelah berhadapan muka ia malah menjadi ragu-ragu. Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa mengejek, tangannya bergerak dan tahu-tahu pedang pusaka Hoa-San Po-Kiam telah dihunusnya.

   "Inilah tandanya bahwa aku Ketua Hoa-San-Pai!"

   Wajah kakek yang seperti mayat itu menjadi makin mengerikan ketika ia berdongak dan mengeluarkan keluhan panjang.

   "Aahhh... hukum karma... inilah hukum karma...! Kwa Hong, kau murid Hoa-San-Pai murtad, membunuh guru merampas pedang menduduki kursi Ketua dan aku... ha-ha-ha, akulah yang harus membasmi! Hukum karma...! Dahulu akupun melakukan perbuatan dosa seperti yang kau lakukan. Aku menyeleweng, menurutkan nafsu, mengganggu anak bini orang, membunuh jago-jago ternama. Ketika guru menegur, malah kulawan dan kubunuh, ha-ha-ha...! Aku berdosa besar... aku menyesal... kuserahkan kedudukan ketua kepada Sute Lian Bu Tojin. Aku menghukum diri di Im-Kan-Kok, puluhan tahun menyesali perbuatan sendiri tapi agaknya Thian masih belum sudi mengampuni dosa-dosaku. Buktinya, hari ini aku dihadapkan dengan engkau! Aku masih mempunyai tugas terakhir, menolong nama baik Hoa-San-Pai. Agaknya inilah penebusan dosaku... ha-ha-ha-ha, hukum karma...!!"

   Wajahnya berubah lagi dan sepasang matanya menyambar seperti kilat ketika ia membentak,

   "Kwa Hong, kau berhadapan dengan Supekmu. Hayo lekas berlutut minta ampun dan mengakui dosamu!"

   Suaranya seperti halilintar menyambar dan selagi Kwa Hong terpengaruh oleh bentakan hebat ini tiba-tiba secepat kilat tangan kakek itu bergerak merampas pedang. Kwa Hong kaget dan biarpun serangan itu mendadak sekali namun kedua kakinya yang bergerak aneh seperti kaki Burung dapat membuat ia mengelak. Sayang sekali, lengan tangan kakek itu setelah tidak berhasil merampas pedang masih terus bergerak mulur (memanjang) dan tahu-tahu pedang Hoa-San-Pai telah dapat dirampas oleh Lian Ti Tojin!

   "Ha-ha-ha, Po-Kiam ini memang seharusnya di tanganku..."

   Kakek itu bergelak akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika tiba-tiba tubuhnya terlempar ke samping dan terhuyung-huyung. Ternyata Koai Atong dengan gerakan "sayap Rajawali"

   Telah menyerangnya dan membuatnya terhuyung-huyung. Begitu hebatnya serangan Koai Atong ini. Di lain pihak, Koai Atong yang tadi marah sekali melihat orang itu berani merampas pedang dari tangan Kwa Hong, juga kaget dan kagum melihat kakek yang hampir mati saking tuanya itu hanya terhuyung-huyung dan tidak roboh terkena pukulannya Jing-Tok-Ciang yang ampuh.

   Lian Ti Tojin marah dan cepat memasang kuda-kuda, kemudian dua orang aneh itu saling serang dengan hebat. Kwa Hong memandang dengan muka pucat, apalagi ketika Lian Ti Tojin tiba-tiba dapat memisahkan diri dari Koai Atong dan dengan pedang pusaka di tangan melakukan penyerangan hebat sekali kepadanya. Serangan ini hebat bukan main, sinar pedang sampai menjadi panjang seperti pelangi dan sepasang mata Kwa Hong silau karenanya. Bahkan Koai Atong sendiri tidak berdaya melihat Kwa Hong terancam bahaya maut. Pedang pusaka Hoa-San-Pai yang ampuh di tangan Lian Ti Tojin yang lihai itu berkelebat menyambar kearah, tenggorokan Kwa Hong, agaknya takkan dapat dihindarkan lagi oleh Kwa Hong.

   "Traaaangggg!!"

   Bunga api muncrat menyilaukan mata. Lian Ti Tojin berteriak kaget dan heran. Pedang pusaka Hoa-San-Pai itu terlepas dari pegangannya yang terasa sakit dan sebelum pedang itu jatuh ke atas tanah, Kwa Hong sudah menyambar dan memegangnya. Di depan kakek ini berdiri seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah yang memegang sebatang pedang yang kini sudah buntung karena beradu dengan pedang pusaka Hoa-San-Pai tadi!

   Kakek sakti itu kaget dan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang biarpun masih muda namun memiliki kepandaian tinggi. Agaknya pemuda inilah yang tadi bernyanyi melawan pengaruh suaranya. Akan tetapi sebelum ia sempat menegur, Koai Atong sudah menerjangnya dengan hebat. Terpaksa Lian Ti Tojin mengelak dan melayani Koai Atong dan kembali dua orang aneh ini bertempur hebat. Pertempuran kini lebih hebat dan seru daripada tadi karena Lian Ti Tojin tidak memegang pedang lagi. Sementara itu, Kwa Hong dengan pedang pusaka di tangan, berdiri memandang laki-laki yang telah menolongnya dari ancaman maut tadi, wajahnya pucat, air matanya mengalir turun membasahi kedua pipinya.

   Sinar matanya penuh kasih mesra, penuh harap bercampur kekuatiran, bibirnya menggigil tanpa dapat mengeluarkan suara. Adapun laki-laki muda itu berdiri mematung memandang Kwa Hong, sinar matanya penuh iba hati dan juga penyesalan, anehnya, wajahnya yang tampan dengan kulit muka yang tadinya putih sehat itu perlahan-lahan mulai berubah kehijauan! Siapakah pemuda ini? Bukan lain orang, dia ini adalah Tan Beng San, pemuda yang menggemparkan dunia persilatan ketika beberapa bulan yang lalu ia secara tidak resmi merebut gelar kejuaraan ilmu pedang dan berhak disebut Raja Pedang! Tan Beng San inilah yang menjadi biang keladi sehingga timbul peristiwa hebat di Hoa-San-Pai, karena sesungguhnya dia inilah yang menghancurkan kalbu dan mematahkan hati Kwa Hong.

   Kwa Hong mencintanya sepenuh jiwa raganya dan di antara mereka telah ada hubungan yang sungguhpun terjadi bukan atas kehendak mereka melainkan karena pengaruh racun yang hebat, namun hubungan itulah yang mengakibatkan Kwa Hong mengandung! Dan, seperti kita telah baca dalam cerita Raja Pedang Beng San tidak bersedia menjadi Suami Kwa Hong karena memang dia telah mencinta orang lain yaitu, Kwee Bi Goat puteri tunggal Song-Bun-Kwi Kwee Lun. Melihat adanya seorang Tosu Hoa-San-Pai tua yang muncul pula di belakang Beng San, dapat diduga bagaimana Raja Pedang ini bisa sampai di tempat ini. Tak lain adalah Tosu Hoa-San-Pai lalu lari minta bantuan kepada Beng San di Min-San. Di sana ia menuturkan segala peristiwa yang terjadi di Hoa-San-Pai.

   Mendengar penuturan itu, Beng San menjadi marah dan berduka sekali. Hubungannya dengan Hoa-San-Pai amat baik dan ia amat sayang kepada Lian Bu Tojin, maka mendengar bahwa kakek ini dibunuh oleh Kwa Hong dan Koai Atong, ia menjadi berduka sekali. Apalagi yang membunuhnya adalah Kwa Hong! Kini begitu berhadapan dengan Kwa Hong, Beng San memandang penuh keharuan hatinya dan diam-diam ia harus mengakui bahwa sebetulnya dialah yang membuat gadis Hoa-San-Pai ini menjadi begini. Dua orang muda ini saling pandang tanpa menghiraukan Koai Atong yang bertempur mati-matian melawan Lian Ti Tojin, juga tidak pedulikan para Tosu Hoa-San-Pai yang baru sekarang berani muncul dari tempat sembunyi mereka semenjak munculnya Lian Ti Tojin yang mereka takuti.

   "San-Ko..."

   Akhirnya Kwa Hong dapat mengeluarkan kata-kata dengan suara setengah berbisik dan air matanya masih menitik turun.

   "Akhirnya kau... kau datang kepadaku...? Kau datang menyelamatkan nyawaku... dan kau hendak menerima diriku... hendak membawa aku pergi...? Begitukah, San-Ko...?"

   Pertanyaan terakhir ini diucapkan penuh harapan, mengiris hati Beng San dan hanya dengan pengerahan batin yang amat kuat saja Beng San dapat menahan air matanya supaya tidak membasahi mata. Beberapa kali Beng San menelan ludah menahan gelora hatinya, kemudian ia dapat mengatasi perasaannya dan menarik muka marah lalu berkata, suaranya penuh teguran.

   "Hong-moi, kenapa kau lakukan semua ini? kenapa kau mengajak Koai Atong membunuh Lian Bu Tojin dan mengacau Hoa-San-Pai? Kenapa kau menggila dan merampas kedudukan Ketua Hoa-San-Pai, malah membunuh banyak sekali orang gagah? Kulihat lima orang Tosu Bu-Tong-Pai yang terkenal gagah dan budiman juga sudah kau bunuh. Hong-moi, kenapa kau tersesat begini jauh? Kedatanganku ini untuk mencegah kau melanjutkan kegilaan ini!"

   "Ohhh...!"

   Kwa Hong terhuyung mundur tiga langkah dengan muka membayangkan hati yang perih seperti ditusuk jarum beracun. Kemudian setelah menghapus air matanya, ia maju lagi, wajahnya berubah beringas dan marah. Matanya bersinar-sinar penuh api dan bentak-nya,

   "Kaulah orang pertama yang ingin sekali aku membunuhnya!"

   Secepat kilat ia menggerakkan pedang pusaka Hoa-San-Pai di tangannya, sedangkan tangan kirinya juga menggerakkan cambuk dengan ilmu panah hijau itu ke arah Beng San. Gerakannya dahsyat, penuh kemarahan dan kebencian, gerakan maut mencari korban. Namun, kali ini serangan Kwa Hong yang dahsyat dan keji itu tidak berhasil. Kali ini ia menghadapi seorang yang telah mewarisi ilmu silat sakti, seorang yang telah menguasai ilmu silat Im-Yang Sin Kiam-Sut ciptaan Pendekar Bupun Su ratusan tahun yang lalu.

   Apalagi karena dalam mempelajari gerakan-gerakan Rajawali Emas, baru beberapa bulan saja Kwa Hong melatih diri, maka boleh dibilang kepandaiannya dalam ilmu yang mujijat ini belum masak benar. Mana bisa dia menghadapi serangan Raja Pedang seperti Beng San? Begitu orang muda itu menggerakkan tubuh dan kedua kaki tangannya bersilat, tahu-tahu pedang pusaka Hoa-San-Pai itu sudah terampas olehnya dan cambuk dengan lima anak panah itu terlepas dari pegangan Kwa Hong. Kwa Hong berdifi lemas, mukanya makin pucat ketika ia berhadapan dengan Beng San yang kini sudah berdiri di depannya memegang pedang Hoa-San Po-Kiam dengan kedua kaki tegak terpentang dan pandang mata tajam penuh kemarahan.

   "Hong-moi, sekali lagi kuperingatkan kau. Bertobatlah dan Jangan teruskan perbuatan-perbuatanmu yang keji dan jahat!"

   Tiba-tiba Kwa Hong membanting-banting kaki dan menangis tersedu-sedu. Melihat sikap itu, makin hancur hati Beng San. Kenal betul ia akan sifat Kwa Hong ini, masih sama dengan dulu, kalau jengkel membanting-banting kaki.

   "Aku memang tidak kuat melawanmu. Hayo... Beng San... kau boleh bunuh aku... mari, kau teruskan pedang itu ke perutku ini... ya ke perut ini, biar mati sekalian... anak kita... uhu-hu-hu..."

   Seperti orang gila Kwa Hong menerjang ke arah pedang di tangan Beng San yang menjadi kaget sekali mendengar ucapan terakhir yang keluar dari mulut Kwa Hong.

   "Apa kau bilang...??"

   Ia meloncat ke samping, mukanya kini berubah hijau sekali, hijau mengerikan. Inilah sifat aneh dari Raja Pedang Tan Beng San. Di dalam tubuhnya sudah penuh dengan dua macam hawa, yaitu hawa Thai-Yang dan Imkang yang amat luar biasa sehingga tiap kali ia merasa kaget atau malu, mukanya berubah hijau, Sebaliknya kalau marah mukanya akan berubah merah sekali sampai kehitaman! Dapat dibayangkan betapa hebat rasa kagetnya ketika ia mendengar ucapan Kwa Hong yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya itu.

   "Hayo... kau bunuh aku dan anak kita... makhluk yang tidak tahu apa-apa di perutku ini..."

   Kwa Hong masih maju-maju sambil rnenangis terisak-isak.

   "Hong-moi...! Kau maksudkan... kau... kau mengandung... karena... dahulu itu??"

   Setelah berkata demikian, Beng San terhuyung-huyung pedang pusaka Hoa-San-Pai terlepas dari tangannya. Ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya, seluruh tubuhnya gemetar lemah. Sementara itu, pertempuran antara Koai Atong dan Lian Ti Tojin berjalan amat serunya. Mereka berdua secara mati-matian bertempur, mengerahkan seluruh kepandaian mereka.

   Ilmu silat yang dimiliki Lian Ti Tojin adalah ilmu silat Hoa-San-Pai yang aseli dan selama puluhan tahun kakek ini sudah melatih diri sehingga tingkat ilmunya benar-benar sudah jauh melampaui tingkat kepandaian aseli dari Koai Atong. Akan tetapi, biarpun baru beberapa bulan mempelajari gerakan Rajawali Emas, ternyata Koai Atong telah mempelajari ilmu gerakan yang hebat sekali dan kepandaian baru inilah yang menyelamatkan dia sehingga sampai sekian lamanya belum juga Lian Ti Tojin berhasil memukulnya roboh. Di samping ini, memang Lian Ti Tojin sudah terlalu tua, sudah berpuluh tahun tidak pernah bertanding dan selain ini juga telah menderita luka dalam yang hebat ketika tadi "Bertanding kekuatan"

   Dengan Beng San melalui suara. Biarpun makin lama Koai Atong makin terdesak hebat, namun tidaklah mudah bagi Lian Ti Tojin untuk merobohkannya dengan cepat.

   Semenjak tadi Koai Atong kebingungan. Berkali-kali ia berteriak minta bantuan Kwa Hong, namun agaknya Kwa Hong sama sekali tidak pernah rnendengarnya. Kemudian setelah melihat Kwa Hong dikalahkan Beng San dan melihat "Isterinya"

   Itu menangis tersedu-sedu minta mati, makin kalut pikiran Koai Atong. Gerakannya makin tidak karuan dan beberapa kali ia terkena pukulan Lian Ti Tojin. Namun Begitu roboh ia bangun kembali dan menyerang lagi dengan nekat. Koai Atong sudah muntah-muntah darah dan ia maklum bahwa sebentar lagi ia pasti takkan kuat menahan. Pikiran ini membuat ia menjadi nekat. Ketika Lian Ti Tojin mendesaknya, ia malah membiarkan dirinya dipukul, akan tetapi juga kesempatan ini ia pergunakan untuk menghantam pundak lawannya itu dengan Jing-Tok-Ciang, menggunakan seluruh tenaganya yang masih ada.

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Rajawali Emas (Seri ke 02 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   "Plakk-plakk-blugg!"

   Tubuh Koai Atong terpental dan roboh tak berkutik lagi karena nyawanya sudah melayang, akan tetapi juga tubuh Lian Ti Tojin terlempar, Ia masih dapat mengimbangi dan tidak roboh, hanya terhuyung-huyung dengan muka pucat lalu muntahkan darah segar tiga kali. Mukanya yang seperti tengkorak itu makin menakutkan ketika ia menoleh ke arah Beng San dan Kwa Hong. la melihat Beng San menutupi muka dengan kedua tangan,

   Sedangkah Kwa Hong yang tadinya menangis ketika melihat Koai Atong tewas, cepat menyambar pedang pusaka Hoa-San-Pai di atas tanah dan cambuknya. Lian Ti Tojin marah sekali kepada Kwa Hong, biarpun ia sudah terluka parah ia masih mengerahkan tenaga dan lompat menerjang. Kwa Hong juga meloncat ke atas punggung Burungnya dan pada saat Lian Ti Tojin menubruk, ia disambut "Tendangan"

   Cakar Burung Rajawali. Tubuhnya bergulingan sampai beberapa meter jauhnya dan kakek ini bangun berdiri lagi dengan terheran-heran bukan main. Seorang jagoan ilmu silat yang bagaimanapun juga belum tentu akan dapat merobohkannya hanya dengan sekali "Tendang"

   Saja, akan tetapi Burung itu ternyata benar-benar telah merobohkannya dengan tendangan yang bukan main hebatnya. Ia merasa kepalanya pening, pandang matanya berkunang dan baru sekarang ia merasa dadanya sakit sekali.

   Tiba-tiba berkelebat sinar hijau di atas kepalanya. Lian Ti Tojin berusaha mengelak, namun telambat. Sambaran cambuk di tangan Kwa Hong dari atas itu amat dahsyat, apalagi Rajawali Emas terbang tanpa mengeluarkan bunyi. Belakang kepala Lian Ti Tojin terkena pukulan sebuah anak panah hijau dan kakek yang sudah tua renta ini roboh terjungkal, tewas tak jauh dari mayat Koai Atong. Setelah berhasil menewaskan Lian Ti Tojin, Kwa Hong di atas punggung Burungnya lalu menyerang dari atas hendak menyerang Beng San. Dengan suaranya yang melengking tinggi Kwa Hong memberi aba-aba kepada Burungnya untuk menyerang Beng San yang lihai. Baru sekarang ia teringat untuk rninta bantuan Rajawali Emas itu. Beng San masih berdiri membungkuk dengan kedua tangan menutupi mukanya. Ketika merasa ada angin bertiup dari atas kepalanya, secara otomatis ia menggerakkan kedua tangannya ke atas.

   Inilah gerakan seorang ahli silat yang sudah tinggi tingkatnya. Ilmu kepandaian ini sudah mendarah daging di tubuhnya sehingga jangankan baru dalam keadaan berduka dan masih sadar, biarpun sedang tidur andaikata ada sesuatu tentu secara otomatis ia dapat menjaga diri. Penjagaan ini dilakukan sesuai dengan datangnya serangan, maka ketika ia merasa ada angin bertiup dari atas yang mengandung tenaga dahsyat, ia segera menangkis. Hebat sekali tenaga tangkisan Beng San ini. Burung yang menerkamnya itu terpukul kembali oleh hawa tangkisan itu sehingga terbangnya menyeleweng dan terlempar ke samping dan beberapa helai bulunya gugur. Kwa Hong malah hampir terjungkal. dari tempat duduknya! Beng San kini memandang dan kaget melihat bahwa hampir saja ia mencelakai Kwa Hong tadi, maka katanya dengan suara lemah,

   "Kwa Hong, kau bunuhlah aku yang penuh dosa, tapi pergunakan tanganmu sendiri..."

   Kwa Hong yang sudah marah itu kembali memerintah Burungnya menyambar. Burung Rajawali itu sudah amat patuh kepada Kwa Hong. Apalagi tadi ia tertangkis hampir saja runtuh, maka iapun marah sekali. Sambarannya kini amat hebat, tidak hanya kedua kakinya menerkam, malah pelatuknya turut pula menyerang dan mematuk. Namun, kini Beng San berada dalam keadaan sadar. Mana bisa Burung itu mencelakainya? Dengan gerakan kaki yang ringan sekali Beng San dapat mengelak.

   "Aku tidak mau terbunuh oleh Burung bedebah ini, Hong-moi... kalau kau mau bunuh aku, turunlah dan bunuhlah aku dengan tanganmu sendiri..."

   Kwa Hong mengeluarkan suara aneh seperti orang menangis tapi juga seperti suara ketawa, lalu disambungnya,

   "Tidak...! Terlalu enak kalau kau mati... hi-hi-hik, kau harus hidup... Beng San, kau harus hidup menebus perbuatanmu yang menghancurkan hatiku...! Kau tunggu saja, kelak anak di kandunganku inilah yang akan membunuhmu. Anakmu sendiri... hi-hi-hik... anakmu sendiri akan membunuhmu...!"

   "Hong-moi..., jangan...! Kau bunuhlah aku sekarang...!"

   Teriak Beng San penuh kengerian, akan tetapi Burung itu telah terbang ke atas amat cepatnya dan sebentar saja sudah membawa Kwa Hong amat jauh, hanya kelihatan sebuah titik kuning emas di angkasa raya! Beng San merasa betapa matanya berkunang dan gelap, penuh oleh air mata sehingga ia pergunakan kedua tangannya untuk menutup mukanya dan menguatkan hati untuk menahan tekanan batin yang maha berat itu. Entah berapa lamanya ia berada dalam keadaan seperti itu dan baru ia sadar ketika mendengar suara orang berkata,

   "Tan-Taihiap, kau telah menyelamatkan Hoa-San-Pai kami dari tangan seorang iblis jahat. Tak lain kami semua murid Hoa-San-Pai menghaturkan terima kasih, dan mohon petunjuk selanjutnya."

   Beng San cepat mengeringkan air matanya dan mengangkat muka memandang. Ternyata bahwa para Tosu Hoa-San-Pai semua telah muncul di situ dan berlutut di depannya! Adapun yang bicara tadi adalah Tosu tua yang telah datang ke Min-San dan minta pertolongannya. Tentu saja ia menjadi kaget dan sibuk sekali melihat para Tosu itu berlutut memberi hormat kepadanya. Cepat-cepat ia berkata,

   "Para Totiang harap bangkit dan mari kita bicara baik-baik. Janganlah memberi hormat seperti ini, aku sama sekali tidak berani terima. Bangkitlah!"

   Di dalam suaranya mengandung pengaruh yang tak dapat dibantah lagi, maka para Tosu itu lalu bangun berdiri. Setelah para Tosu itu berdiri, terjadilah keributan. Beberapa orang Tosu menuding-nuding dan. rnencela Tosu-Tosu lain yang tadinya mereka anggap taat dan tunduk serta membantu Kwa Hong. Para Tosu itu tentu saja menjadi ketakutan dan menyangkal sehingga terjadi percekcokan dan keributan. Beng San yang memperhatikan keributan itu segera maju melerai sambil berkata,

   "Para Totiang harap jangan cekcok sendiri. Tidak ada gunanya saling menyalahkan dan tidak perlu menekan mereka yang tadinya jatuh ke bawah pengaruh Kwa Hong. Di dunia ini, manusia manakah yang tak pernah menyeleweng dan bersalah? Tanpa adanya kesalahan dan dosa, manusia takkan dapat sadar dan bertobat, takkan mampu membedakan baik benar. Yang penting adalah kesadaran akan dosa itu, maka biarpun tadinya ada beberapa orang Totiang yang bertindak keliru, asal sekarang sudah sadar dan bertobat, kiraku tidak perlu ditekan terus."

   Para Tosu dapat menerima ucapan ini dan kembali mereka berunding, kini dengan hati rukun dan tidak saling menyalahkan seperti tadi.

   "Tan-Taihiap, keadaan Hoa-San-Pai kami sudah morat-marit dan rusak. Mohon petunjuk Taihiap bagaimana supaya Hoa-San-Pai dapat dibangun kembali. Kami kehilangan pimpinan,"

   Kata Tosu tua.

   "Aku sudah mendengar bahwa Saudara Kui Lok dan Thio Bwee diusir oleh Kwa Hong. Cucu murid yang masih ada sekarang hanyalah Thio Ki yang sekarang tinggal di Tin-Yang menjadi Piauwsu (Pengawal Barang). Para Totiang harap tinggal di sini dan mengurus semua mayat ini secara baik-baik, biarlah aku yang pergi mengabarkan ke Sin-Yang dan minta kepada Saudara Thio Ki untuk datang ke sini dan mengurus pembangunan Hoa-San-Pai. Kurasa hanya dia seorang yang berhak, karena diapun murid dari mendiang Lian Bu Tojin."

   Para Tosu menyatakan persetujuan mereka dan berangkatlah Beng San turun gunung dengan wajah muram. Pertemuannya dengan Kwa Hong tadi benar-benar membuat ia berubah menjadi manusia lain. Ketika ia mendaki Puncak Hoa-San, Ia merupakan seorang manusia bahagia karena selama ini ia tinggal di Min-San bersama Isterinya, yaitu Kwee Bi Goat,

   Hidup dengan penuh cinta kasih dan damai, saling mencinta dan rukun. Ketika ada Tosu Hoa-San-Pai datang dan menceritakannya tentang malapetaka yang menimpa Hoa-San-Pai dan mohon pertolongannya, Beng San tak dapat menolak karena ia mengingat akan hubungannya dengan Partai itu. Isterinya mengatakan hendak ikut, akan tetapi oleh karena Beng San tahu bahwa akan buruk jadinya kalau Isterinya itu bertemu dengan Kwa Hong, maka ia mencegah dan menyatakan bahwa tidak baik bagi kesehatan Isterinya untuk melakukan perjalanan jauh, karena keadaan Bi Goat yang sedang mengandung itu. Demikianlah ia tinggalkan Bi Goat di Min-San bersama Ayah mertuanya, yaitu Song-Bun-Kwi Kwee Lun. Siapa sangka bahwa pertemuannya dengan Kwa Hong akan menghancurkan hatinya seperti ini!

   "Aduh... aku tidak berharga lagi mendekati Bi Goat..."

   Di sepanjang perjalanan menuju ke Sin-Yang mencari Thio Ki, Beng San membayangkan Isterinya dengan hati remuk redam. Setelah apa yang ia lakukan bersama Kwa Hong dan ternyata Kwa Hong mengandung keturunannya, ia merasa berdosa besar dan merasa tidak berharga untuk mendekati Isterinya terkasih dan suci. Ketika mendaki Puncak Hoa-San tadi ia masih merupakan seorang Suami yang berbahagia, sekarang ia meninggalkan puncak dengan hati terjepit derita sengsara. Namun dasar seorang berwatak satria, sungguhpun diri sendiri mengalami penderitaan batin yang maha besar, namun ia terus melanjutkan usahanya untuk menolong Hoa-San-Pai.

   la harus mencari Thio Ki dan menarik orang muda kakak Thio Bwee itu agar suka turun tangan membangun kembali Hoa-San-Pai yang dikacau oleh Kwa Hong. Mari kita mendahului perjalanan Beng San yang sedang menuju ke Sin-Yang untuk mencari Thio Ki dan kita melihat apa yang terjadi di Sin-Yang. Seperti telah dituturkan, Thio Ki adalah murid Hoa-San-Pai juga, malah dalam tingkatnya, ia adalah cucu murid yang paling tua. Thio Ki adalah kakak kandung Thio Bwee dan pemuda Hoa-San-Pai yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka tampan ini sekarang telah bekerja membuka Piauw-Kiok di Sin-Yang. Pada masa itu, perusahaan Piauw-Kiok (Kantor Exspedisi) amat maju karena banyaknya orang jahat sehingga para saudagar selalu mengirim barang-barangnya yang berharga di bawah perlindungan jago-jago dari Piauw-Kiok,

   Karena kepandaiannya memang tinggi dan sebagai murid Hoa-San-Pai, sebentar saja Thio Ki sudah membuat nama baik, ditakuti penjahat dan dipercaya langganan pengirim barang. Thio Ki telah menikah dengan seorang gadis bernama Lee Giok. Bukan gadis sembarangan. Selain cantik jelita juga gadis ini hebat kepandaiannya, bahkan lebih tinggi ilmu pedangnya kalau dibandingkan dengan Thio Ki sendiri. Hal ini tidak aneh karena Lee Giok adalah seorang gadis keturunan bangsawan Kerajaan Goan yang lalu, yang menjadi murid dari Bu-Tek Kiam-Ong Cia Hui Gan Si Raja Pedang Tanpa Tandingan! Selain menjadi murid orang sakti, juga Lee Giok terkenal sebagai seorang gadis patriot yang dalam jaman perjuangan melawan Kerajaan Mongol telah berjasa besar (baca Raja Pedang).

   Suami Isteri ini hidup rukun dan damai di Sin-Yang. Thio Ki amat mencintai Isterinya itu, sungguhpun sebetulnya di dalam hati kecilnya Lee Giok tidak mencinta Suaminya. Bukan karena Thio Ki kurang gagah atau kurang tampan, melainkan karena cinta kasih pertamanya telah gagal, dibawa mati seorang patriot besar murid Kun-Lun-Pai bernama Kwee Sin. Hal ini tidak aneh karena sebagai seorang patriot tentu saja ia kagum kepada lain orang patriot dan ketika orang yang dicintanya itu Kwee Sin, meninggal dunia, hatinya menjadi hampa dan ia tidak banyak membantah ketika ia dijodohkan dengan Thio Ki, seorang pemuda yang selain gagah juga tampan. Hanya sedikit hal yang mengecewakan hati Lee Giok, yaitu bahwa Suaminya ini sama sekali tidak memiliki jiwa patriotik. Di Sin-Yang mereka berdua hidup dalam keadaan cukup.

   Perusahaan Piauw-Kiok yang didirikan Thio Ki mendatangkan hasil lumayan. Mereka dapat membeli sebuah rumah yang cukup besar dengan pekarangan yang luas juga. Karena pekerjaan Suaminya itu mengharuskan Suaminya lebih sering keluar rumah daripada berada di rumah, untuk mengurangi kesepian, Lee Giok memelihara banyak ayam dan binatang ternak lain di rumahnya. Juga la menanam banyak kembang indah di pekarangannya. Pada sore hari itu di pekarangan rumah Thio Ki nampak sunyi. Sehari itu tidak nampak Lee Giok atau pelayannya keluar dari dalam rumah. Padahal sudah tiga hari Thio Ki berada di rumah. Dan pada hari itupun Thio Ki tidak pergi ke perusahaannya. Akan tetapi mengapa kelihatan begitu sunyi? Malah-malah tiga orang pelayan rumah tangga sejak pagi tadi sudah disuruh pulang semua dan disuruh libur sepekan lamanya oleh Lee Giok.

   Para pelayan itu terheran-heran, akan tetapi tidak berani membantah kehendak nyonya rumah itu. Apakah yang terjadi? Kalau kita menengok ke dalam rumah, keadaannya lebih aneh lagi. Thio Ki dan Lee Giok berada di ruang tengah, muka mereka agak pucat dan biarpun di dalam rumah, mereka berpakaian ringkas dan di pinggang mereka tergantung pedang seperti orang yang siap akan bertempur! Dan kedua orang Suami Isteri ini bersikap begini semenjak malam tadi. Memang tidak aneh kalau diketahui sebabnya. Ada bahaya maut mengancam keselamatan mereka, bahkan keselamatan para pelayan dan malah semua yang hidup di dalam rumah itu terancam bahaya maut. Malam tadi, lewat tengah malarn, dua orang Suami Isteri yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi ini mendengar tindakan kaki ringan di atas genteng rumah mereka.

   Thio Ki adalah seorang yang biasa melakukan perjalanan dan biasa berhadapan dengan orang-orang jahat, juga Lee Giok bukanlah pendekar kemarin sore, maka mendengar suara ini mereka dapat meloncat keluar dari kamar, tanpa mengeluarkan suara ribut-ribut mereka berdua sudah mengejar, seorang lewat pintu belakang, seorang melalui pintu depan, terus meloncat ke atas genteng rumah sendiri. Akan tetapi mereka tidak melihat sesuatu dan setelah mencari-cari beberapa lama, mereka melihat berkelebatnya bayangan orang dari bawah, baru saja orang itu meloncat keluar dari ruangan dalam. Gerakan orang itu gesit dan ringan sekali. Akan tetapi Lee Giok dan Thio Ki sudah cepat menerjang ke depan menghadang dan Thio Ki membentak,

   "Penjahat dari mana berani marnpus mengganggu rumahku?"

   Orang itu tertawa, suara ketawanya melengking tinggi dan sekali berkelebat sudah melayang melalui atas kepala Suami Isteri itu. Lee Giok dan Thio Ki kaget sekali cepat mengejar.

   Mereka tidak sempat melihat, wajah orang itu. Ketika melihat dua orang itu mengejar, Si Penjahat lalu membalikkan tubuh di tempat yang gelap, kedua tangannya bergerak dua kali ke depan seperti orang memukul. Thio Ki dan Lee Giok dapat menduga bahwa itu tentulah serangan gelap, mungkin senjata rahasia, maka mereka cepat berhenti dan siap siaga. Tidak ada senjata rahasia melayang datang, tapi, tiba-tiba mereka merasa terdorong ke belakang dan hampir terjengkang roboh kalau tidak cepat-cepat berjungkir-balik. Mereka merasa dada mereka agak sesak sekali oleh tenaga dorongan yang tidak kelihatan itu. Pada saat mereka berdiri kembali, penjahat itu telah lenyap, hanya rneninggalkan gema suara ketawanya yang melengking tinggi, suara ketawa wanita! Juga meninggalkan ganda yang harum semerbak.

   Thio ki dan Lee Giok mengejar sampai jauh keluar rumah, namun sia-sia saja. Dengan kecewa dan lesu mereka kembali memasuki rumah dan apa yang mereka lihat membuat mereka mengertak gigi saking marah, akan tetapi juga membuat wajah mereka pucat. Di dalam kamar mereka, di atas dinding yang putih, terdapat tulisan-tulisan corat-coret merah yang berbunyi: "SEBELUM LEWAT BESOK MALAM, SEMUA YANG BERNYAWA DI RUMAH INI AKAN MATI."

   Tidak ada tanda tangan apa-apa dan tulisan dilakukan dengan darah. Ketika rnereka memeriksa ke belakang, ternyata dua ekor anjing peliharaan yang tidur di belakang telah mati dengan kepala pecah. Agaknya darah anjing ini yang dipakai untuk menulis "surat maut"

   Itu.

   "Apa kau mengenal suaranya?"

   Akhirnya Thio Ki bertanya kepada Isterinya. Lee Giok menggeleng kepala dan keningnya berkerut,

   "Jelas dia seorang perempuan, akan tetapi karena gelap tidak dapat mengenalnya. Suaranyapun seakan-akan pernah mendengarnya tapi entah di mana."

   "Kepandaiannya hebat..."

   Thio Ki menarik napas panjang.

   "Entah mengapa dia melakukan ini?"

   "Dia tentu tidak datang seorang diri,"

   Kata Lee Giok, sepasang matanya yang jeli itu bergerak-gerak cerdik.

   "Tulisan ini baru saja ditulis, darahnya masih belum beku, bangkai anjing itupun masih hangat. Tentu hal ini dilakukan pada saat kita mengejar penjahat perempuan itu. Yang datang ke sini pada malam ini sedikitnya tentu dua orang, mungkin lebih."

   Thio Ki lebih gelisah mendengar ini. la tak dapat menyangkal pendapat Isterinya yang cerdik itu.

   "Seorang saja demikian lihainya, kalau mereka itu berkawan, benar... berbahaya...!"

   "Tak perlu gelisah. Kalau orang sudah menghendaki untuk memusuhi kita, tidak ada jalan lain kecuali melawan mati-matian. Hanya aku ingin sekali tahu siapa mereka dan apa sebabnya... Apakah selama beberapa bulan ini menjadi Piauwsu kau tidak menanam bibit permusuhan yang hebat dengan golongan hitam (penjahat)!"

   "Tidak, tidak ada. Melihat tulisan ini, agaknya Si Penulis mempunyai dendam yang amat mendalam terhadap kita."

   Muka Thio Ki makin pucat. Tiba-tiba Lee Giok mengangkat alisnya, matanya bersinar-sinar.

   "Ah, siapa lagi kalau bukan dia? Hemm, sejak dulu memusuhi aku, hemm... tapi... ah, kalau benar dia mengapa ilmu kepandaiannya begitu hebat?"

   "Siapakah? Siapakah yang kau maksudkan, Isteriku?"

   Thio Ki bertanya penuh perhatian.

   "Aku teringat akan Kim-Thouw Thian-Li..."

   Thio Ki menahan napas, iapun teringat sekarang. Memang agaknya kalau ada musuh besar wanita, kiranya dia itulah, Kim-Thouw Thian-Li Dewi Berkepala Emas, ketua dari Ngo-Lian-Kauw (Agama Lima Terang). Seorang Siluman yang hebat dan kejam. Apalagi gurunya yang bernama Hek-Hwa Kui-Bo (Setan Betina Hitam). Bergidiklah Thio Ki teringat mereka itu dan bulu tengkuknya meremang.

   "Kalau betul dia... Hek-Hwa Kui-Bo... ah... bagaimana baiknya?"

   Ia nampak ketakutan sekali dan sekali lagi di lubuk hati Lee Giok tertikam oleh kekecewaan Suaminya. Ia makin kenal betul bahwa di balik keangkuhan dan kegagahan Thio Ki terdapat sifat penakut yang tidak menyenangkan hatinya.

   "Orang-orang seperti kita ini apakah pantas ketakutan menghadapi ancaman musuh?"

   Dalam ucapan Lee Giok ini terkandung kekecewaan dan teguran yang amat terasa oleh Thio Ki. Maka ia segera berdiri dan menepuk dada sambil berkata,

   "Jangan kuatir Isteriku. Aku Suamimu tentu saja tidak takut menghadapi musuh yang manapun juga, tidak pula takut menghadapi kematian sebagai seorang gagah. Hanya aku meragukan apakah kita mampu melawan mereka itu kalau benar-benar mereka terdiri dari Hek-wa Kui-bo dan Kim-Thouw Thian-Li?"

   Agak senang juga hati Lee Giok. Memang beginilah seharusnya sikap orang yang menjadi Suaminya.

   "Kalau betul dugaan kita bahwa mereka itu adalah Kim-Thouw Thian-Li dan gurunya, sudah tentu kita bukanlah lawan mereka. Akan tetapi, nyawa berada di tangan Thian. Jangankan baru mereka berdua, biarpun kita diancam oleh seratus orang macam mereka, kalau Thian belum menghendaki mati, kiranya kitapun akan selamat. Sebaliknya, kalau Thian sudah menghendaki kematian kita, biarpun andaikata kita melarikan diri, tentu musuh akan dapat mengejar dan membunuh kita juga. Sama-sama mati, bukankah lebih baik mati sebagai orang gagah?"

   "Kau betul, Isteriku, Seribu kali lebih baik mati sebagai Harimau yang baru mati setelah melakukan perlawanan gigih daripada mati sebagai seekor babi yang tidak melakukan perlawanan malah melarikan diri."

   "Bukan begitu saja, pendirian seorang gagah malah lebih tinggi lagi. Lebih baik mati sebagai seekor Harimau daripada hidup sebagai seekor babi!"

   Thio Ki mengangguk-angguk.

   "Kau betul... kau betul..."

   "Kita harus berjaga-jaga,"

   Kata pula Lee Giok setelah agak lama mereka merenung.

   "Pertama-tama besok pagi-pagi tiga orang pelayan kita harus pergi dari sini pulang ke kampung masing-masing. Biar mereka berlibur sepekan, baru mereka diperbolehkan kembali ke sini. Aku tidak suka kalau karena permusuhan kita, orang lain yang tidak tahu apa-apa ikut terancam bahaya."

   Demikianlah, pada keesokan harinya, tiga orang pelayan mereka suruh pulang, diberi bekal uang dan dipesan supaya jangan kembali sebelum sepekan, Kemudian Suami Isteri ini berjaga-jaga sehari penuh dengan pedang selalu di pinggang. Mereka makan sambil berjaga-jaga dan tidak pernah berpisah sebentarpun juga. Mereka maklum akan kelihaian lawan, maka biarpun siang hari, mereka tidak berani meninggalkan kewaspadaan.

   Apalagi setelah hari itu menjelang malam, mereka makin berhati-hati. Pintu-pintu depan dan belakang mereka tutup dan dipalang kuat-kuat. Hanya pintu samping yang kecil mereka tutup saja tanpa dipalangi. Dengan cerdik Lee Giok memasangkan anak panah terpentang di busur yang dihubungkan dengan pintu-pintu dan jendela sehingga siapa saja berani memasuki rumah dengan jalan merusak, pasti akan disambut anak panah. Sedangkan dia sendiri dan Thio Ki selain membawa pedang juga menyediakan kantong senjata rahasia Piauw secukupnya. Tidak begini saja, malah di depan pintu Lee Giok menyebar paku-paku yang sudah ditekuk sehingga merupakan perintang bagi musuh. Setelah sore terganti malam, keadaan di rumah Thio Ki makin sunyi lagi. Memang rumah ini agak jauh dari tetangga dan mempunyai pekarangan yang luas.

   Apalagi Suami Isteri yang berjaga-jaga di ruangan dalam itu, Lampu-lampu penerangan di luar rumah dipasang semua, terang benderang, akan tetapi disebelah dalam, di ruangan itu, sengaja digelapkan. Inilah siasat Lee Giok agar mereka dapat melihat kedatangan musuh tanpa diketahui oleh musuh itu. Waktu merayap agak keras, menggerakkan daun-daun pohon, mengeluarkan bunyi yang terdengar amat mengerikan bagi orang-orang yang berada dalam cekaman ketegangan itu. Keduanya tidak dapat melihat apa-apa, biarpun mereka mengintai dari lubang-lubang di antara pintu keluar, keadaan sunyi saja, namun mereka memasang telinga baik-baik. Setiap bunyi harus terdengar oleh mereka dan ini penting sekali bagi ahli-ahli silat. Kadang-kadang telinga dapat mendahului mata dan telingalah yang menyelamatkan nyawa, kadang-kadang.

   Keadaan di ruangan itu begitu sunyi sehingga andaikata ada jarum jatuh, tentu akan terdengar oleh mereka. Beberapa kali terdengar suara orang atau kaki kuda dari jauh, hanya sayup sampai terbawa angin lalu, Thio Ki memandang bayangan Isterinya di dalam gelap dan bangkitlah kasih sayangnya yang besar. Ngeri ia kalau memikirkan bagaimana mereka nanti harus menghadapi musuh yang lihai. Bagaimana kalau sampai dia atau Isterinya tewas? Terharu hatinya memikirkan dan tak terasa pula ia menjamah tangan Isterinya dengan mesra dan penuh kasih. Agaknya Lee Giok merasai ini, maka cepat-cepat mengibaskan tangan Suaminya. Dalam keadaan seperti itu Lee Giok tidak mau memperlihatkan perasaan lemah, apalagi seluruh panca indera harus dipusatkan untuk memperhatikan keadaan di luar.

   "Ssttt, dengar... baik-baik..."

   Bisiknya rnemperingatkan Suaminya.

   
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Srrtt-srttt!"

   Suami Isteri itu menghunus pedang, digenggam erat-erat dan berdiri siap siaga. Mereka mendengar langkah kaki yang amat ringan datang dari depan!

   "Jaga kanan kiri pintu..."

   Bisik lagi Lee Giok. Thio Ki maklum akan maksud Isterinya dan ia lalu berdiri di sebelah kiri pintu sedangkan Isterinya menjaga di sebelah kanan. Menurut rencana Lee Giok, musuh itu biar mendobrak pintu kalau bisa melalui lantai penuh paku, kemudian menerima sambaran anak panah dan diterjang oleh mereka berdua dari kanan kiri.

   Biarpun musuh lebih pandai, kiranya takkan dapat menyelamatkan diri kalau dihujani serangan seperti ini. Suara langkah kaki yang ringan itu makin lama makin dekat, berhenti di depan pintu di mana telah disebar paku-paku oleh Lee Giok. Keadaan makin tegang dan makin sunyi setelah langkah kaki itu berhenti dan tak terdengar lagi. Lee Giok yang biasanya tabah dan sudah biasa menghadapi saat-saat tegang ketika ia masih menjadi pejuang dahulu, kini mau tidak mau mengeluarkan keringat dingin. Apalagi Thio Ki yang memang sudah merasa gelisah sekali. Tubuhnya menggigil dan setiap saat ia bisa kalap, meloncat dan menerjang siapa saja yang muncul di saat itu. Senjata-senjata rahasia sudah siap di tangan kedua orahg ini. Tiba-tiba terdengar suara perlahan di luar pintu, suara wanita yang bicara seorang diri setengah berbisik,

   "Aneh sekali... di luar terang mengapa di dalam gelap dan sunyi? Pergikah orang-orangnya? Dan paku-paku ini..."

   Suara itu berhenti sebentar lalu terdengar ia memanggil,

   "Enci Lee Giok...! Enci Lee Giok! Suci (Kakak Seperguruan)...!"

   Lega bukan main hati Lee Giok setelah mengenal suara ini, seakan-akan ia merasa batu besar yang menindih dadanya dilepaskan.

   "Sumoi (Adik Seperguruan)... kau kah itu, Sumoi...??"

   Tanpa disadari, suaranya mengandung isak.

   "Suci Lee Giok, kau kenapakah? Ah, tentu terjadi sesuatu yang hebat... jangan takut, Suci, aku datang..."

   Terdengar orang bergerak di luar pintu.

   "Nanti dulu, Sumoi... jangan masuk...!"

   Teriak Lee Giok akan tetapi terlambat. Pintu telah didorong dari luar sehingga terbuka dan palangnya patah. Pada saat itu anak panah rahasia yang dipasang Lee Giok melesat ke depan, tiga batang banyaknya.

   "Sumoi...!"

   Lee Giok menjerit. Dari luar berkelebat bayangan merah, bukan main cepatnya dan gesitnya gerakannya dan bagaikan seekor Burung walet menyambar kupu-kupu, bayangan itu menyambar tiga batang anak panah itu dan di lain saat ia telah meloncat masuk ke dalam ruangan, tiga batang anak panah sudah berada di tangannya.

   Dari sinar lampu yang menyorot masuk ke dalam ruangan melalui pintu yang terbuka, tampaklah orang itu. la seorang gadis cantik jelita berpakaian merah. Pakaiannya yang merah warnanya itu berpotongan ringkas dan membuat ia selain nampak cantik juga gagah sekali. Di belakang punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya dihias ronce-ronce dari benang kuning. Juga pengikai rambut, ikat pinggang, dan sepatunya berwarna seperti warna ronce-ronce pedangnya. Kulit mukanya putih halus dari manis bentuknya, rambutnya hitam panjang, sepasang mata, yang indah bentuknya itu bersinar-sinar dan bening seperti mata "Burung hong,"

   Hidung dan mulutnya bagaikan bunga-bunga yang memperindah taman sari wajahnya. Kesemuanya itu menjadikan dia seorang gadis berwajah ayu..

   Siapakah gadis jelita ini? Dia bukan lain adalah puteri tunggal dari Bu-Tek Kiam-Ong (Raja Pedang Tiada Bandingan) Cia Hui Gan, benama Cia Li Cu. la telah mewarisi ilmu silat Ayahnya Bahkan telah mewarisi Ilmu Pedang Sian-Li Kiam-Sut (Ilmu Pedang Bidadari) yang bukan main indah dan lihainya. Karena kepandaiannya dan kecantikannya inilah maka akhir-akhir ini Cia Li Cu mendapat julukan Thai-San Sian-Li (Dewi Gunung Thai-San) karena memang Ayahnya tinggal di Gunung Thai-San. Seperti pernah kita ketahui, apalagi sudah jelas diceritakan dalam Raja Pedang, gadis jelita ini dipertunangkan dengan Suhengnya`sendiri, yaitu Tan Beng Kui, Kakak dari Tan Beng San. Dapat dibayangkan betapa lega dan girangnya hati Lee Giok melihat kedatangan Sumoinya yang memiliki kepandaian amat tinggi itu. Saking girang dah terharunya ia segera menubruk, memeluk dan menciumi Sumoinya sambil menangis!

   "Eh-eh-eh... ada apakah Suci? Cihu (Kakak Ipar), ada apakah...?"

   Tanyanya berganti-ganti kepada Lee Giok dan Thio Ki.

   "Dan kenapa gelap amat di sini? Pasanglah pelita..."

   Thio Ki ragu-ragu, belum berani menyalakan lampu, akan tetapi Lee Giok di antara isaknya berkata,

   "Setelah Sumoi berada di sini, kita takut apa lagi? Hayo pasang lampunya."

   Thio Ki segera menyalakan lampu dan sebentar saja ruangan itu menjadi terang. Li Cu makin heran melihat keadaan suci dan Cihunya begitu tegang, malah di dalam rumah telah melakukan persiapan seperti itu seakan-akan sedang menghadapi musuh yang amat hebat. la sudah berpengalaman dan tentu saja tanpa diceritakan lagi ia sudah dapat menduga bahwa Sucinya menghadapi ancaman musuh. Sebetulnya Li Cu sendiri ketika datang, membawa hati yang sakit oleh urusan pribadinya, akan tetapi begitu melihat keadaan Lee Giok, urusan sendiri dilupakan dan ia menjadi marah sekali.

   "Suci, katakan siapa yang berani kurang ajar mengancam keselamatanmu, katakan! Aku yang akan menghadapinya!"

   Lee Giok menarik napas panjang, lalu menuntun tangan Li Cu diajak ke dalam kamar. Thio Ki maklum bahwa Isterinya hendak memperlihatkan tulisan darah anjing itu, maka iapun ikut masuk. Tanpa berkata apa-apa Lee Giok menuding ke arah coretan merah di tembok itu, Li Cu memandang dan sepasang matanya yang indah berkilat.

   "Keparat betul! Alangkah sombongnya. Binatang mana yang berani berbuat begini? la menghinamu, berarti menghinaku dan menghina Ayah. Biarkan dia datang, Suci, kita lawan dan bikin mampus Si Sombong!"

   Li Cu menjadi merah kedua pipinya saking marahnya.

   "Memang akupun tadi siap hendak melawannya, Sumoi. Dan alangkah senang hatiku melihat kau datang, kau tahu... mereka itu lihai sekali!"

   Lee Giok lalu menceritakan apa yang telah terjadi dan juga dugaannya bahwa penjahat itu tentu lebih dari seorang, Juga dugaannya bahwa agaknya yang akan mengganggu Itu tentulah Kim-Thouw Thian-Li dan mungkin juga bersama gurunya, Hek-Hwa Kui-Bo. Li Cu mengangguk-angguk, mengerti mengapa Sucinya menduga demikian. Ia tahu bahwa dahulu Sucinya ini mencinta mendiang Kwee Sin, adapun Kim-Thouw Thian-Li adalah kekasih Kwee Sin. Selain permusuhan karena cemburu ini, juga memang Kim-Thouw Thian-Li dahulunya adalah kaki tangan pemerintah Mongol, sebaliknya Lee Giok adalah seorang pejuang,

   "Kalau betul mereka yang datang, kau dan Cihu bersama sama hadapilah Ngo-Lian-Kauwcu (Ketua Ngo-Lian-Kauw) itu, biar aku yang menghadapji Hek-Hwa Kui-Bo!"

   Kata Li Cu dengan gagah dan bersemangat. Kembali mereka melakukan penjagaan.

   Akan tetapi sekarang keadaan Suami Isteri itu tidak sekuatir tadi, biarpun ketegangan masih tetap ada didalam hati mereka. Juga ruangan dimana mereka berjaga itu tidak digelapkan. Dalam keadaan sunyi ini teringatlah Li Cu kembali akan keadaan dirinya sendiri dan wajahnya yang ayu itu menjadi murung. Baiknya Lee Giok terlalu tegang hatinya sehingga tidak melihat keadaan Sumoinya ini. Menjelang tengah malam. Keadaan amat sunyi. Tiba-tiba terdengar suara ayam berkeok lalu sunyi lagi. Lee Giok bangkit dari tempat duduknya wajahnya tegang. Ia saling pandang dengan Suaminya dan dapat menduga bahwa tentu ada orang mengganggu binatang peliharaan mereka itu. Lee Giok memandang Li Cu dan pandang matanya mengisyaratkan bahwa agaknya musuh yang ditunggu-tunggu sudah datang!

   Lee Giok dan Thio Ki sudah berdiri dengan tangan di gagang pedang masing-masing. Hanya Li Cu yang masih duduk, sikapnya tenang. Tiba-tiba terdengar lagi suara ayam berkeok beberapa kali, lalu sunyi. Suami Isteri itu menggerakkan tangan kanan mencabut pedang, tangan kiri siap di kantong Piauw dan mata mereka memandang ke arah pintu yang sudah ditutup lagi. Li Cu masih seperti tadi, duduk dengan tenang seperti orang melamun. Agaknya ia masih tenggelam dalam lamunan duka tentang dirinya sendiri. Ketegangan Suami Isteri itu memuncak ketika di dalam kesunyian itu tiba-tiba terdengar suara ketawa dari jauh, setelah suara ketawa berhenti lalu terdengar suara suling ditiup perlahan. Mendengar suara suling ini, Lee Giok memegang tangan Sumoinya yang masih duduk dan berbisik,

   "Sumoi, bukankah itu si iblis Giam Kin?"

   Li Cu berdiri dan berkata,

   "Hemmm, makin banyak iblis makin baik, biar kita basmi mereka agar dunia terbebas dari genggaman mereka!"

   Suara ketawa makin lama makin dekat dan jelas terdengar bahwa suara itu adalah suara ketawa wanita, kemudian setibanya di depan rumah suara itu berhenti. Suara suling juga berhenti, keadaan sunyi sebentar lalu terdengar suara berisik mendesis-desis. Tiga orang yang berada di dalam rumah siap siaga, hanya Li Cu yang belum juga mencabut pedang. Memang bagi seorang ahli pedang seperti dia tidak mau sembarangan mencabut pedang kalau tidak perlu.

   "Brakkkk!"

   Tiba-tiba pintu depan pecah terbuka dan dari luar terdengar lagi suara suling lapat-lapat. Yang membuat tiga orang muda itu kaget adalah ratusan ekor ular besar kecil yang masuk ke rumah seperti banjir. Belasan ekor sudah memasuki ruangan itu melalui pintu.

   Lee Giok dan Thio Ki kaget sekali, akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar menyilaukan dan belasan ular itu sudah putus menjadi dua potong oleh sambaran pedang di tangan Li Cu. Sungguh hebat gerakan ini dan mengerikan sekali ular-ular yang sudah putus menjadi dua masih berkelojotan itu. Dari luar masih membanjir terus ular-ular besar kecil, merayap melalui bangkai ular-ular yang sudah sekarat. Kini Lee Giok dan Thio Ki sudah hilang kagetnya. Semangat mereka bangkit oleh gerakan Li Cu tadi, maka merekapun menyerbu ke depan dan membabati ular-ular dengan pedang mereka. Akan tetapi ular-ular itu masih saja membanjir masuk, malah kini merayap dari celah-celah jendela dan pintu belakang, dan baunya yang amat amis tak kuat tertahankan oleh tiga orang muda itu lebih lama lagi.

   "Keluar melalui jendela terus ke atas genteng...!"

   Kata Li Cu mendahului melompat ke jendela.

   Sekali tendang jendela terbentang lebar, pedangnya berkeredepan diputar di depan tubuh ketika tubuhnya melayang keluar, tangan kiri menyambar langkan lalu tubuhnya diayun terus ke atas ke arah genteng. Perbuatannnya ini disusul oleh Lee Giok dan Thio Ki. Baiknya Li Cu yang berada di depan karena segera tampak sinar hijau dan putih menyambar ke arah mereka. Namun sinar-sinar senjata rahasia ini dapat ditangkis runtuh semua oleh pedang di tangan Li Cu! Ketika mereka tiba di atas genteng dalam keadaan selamat, ternyata di situ telah berdiri dua orang wanita dan seorang laki-laki menghadapi mereka sambil tertawa mengejek. Tepat seperti yang diduga oleh Lee Giok, dua orang wanita itu bukan lain adalah Ngo-Lian-Kauwcu yang berjuluk Kim-Thouw Thian-Li bersama gurunya, Hek-Hwa Kui-Bo.

   Kim-Thouw Thian-Li yang sudah berusia empat puluh tahun itu masih nampak cantik jelita seperti gadis remaja saja, sikapnya genit dan angkuh. Ini masih tidak aneh, malah gurunya, Hek-Hwa Kui-Bo yang usianya sudah enam puluhan tahun, masih nampak cantik, memegang saputangan Sutera beraneka warna! Adapun laki-laki itu adalah seorang pemuda ganteng, mukanya pucat, pakaiannya serba kuning dan di tangannya terdapat sebatang suling. Pembaca Raja Pedang tentu mengenal siapa orang ini. Bukan lain adalah Giam Kin yang berjuluk Siauw-Coa-Ong (Raja Ular Kecil), murid iblis dari Utara Siauw-Ong-Kwi. Selain berilmu tinggi, Giam Kin ini juga memiliki kepandaian hebat, yaitu dengan sulingnya ia dapat memanggil ratusan ekor ular yang dapat ia perintah untuk menyerang musuhnya. Juga ia pandai sekali dalam hal penggunaan racun ular yang berbahaya.

   "Eh, kiranya ada Thai-San Sian-Li di sini!"

   Kata Kim-Thouw Thian-Li.

   "Pantas saja tuan dan nyonya rumah begini tabah!"

   Giam Kin memandang dengan mata melongo, penuh kekaguman kepada wajah yang disinari bulan yang sudah muncul sepenuhnya di langit, kemudian ia berseru sambil menarik napas panjang berkali-kali,

   "Aduh... aduh... bidadari baju merah dari Thai-San... hemmm, makin cantik jelita saja. Bidadari kahyangan tidak menang...!"

   Kemudian ia menoleh kepada Hek-Hwa Kui-Bo.

   "Lo-Cianpwe, kalau kali ini dapat menangkapkan bidadari merah ini untukku, aku berjanji akan menyembah seratus kali kepadamu."

   Hek-Hwa Kui-Bo mengibaskan tangannya.

   "Huh, laki-laki mata keranjang benar kau ini!"

   Tentu saja hati Li Cu mendongkol bukan main mendengar omongan-omongan kotor itu. Akan tetapi ia memandang rendah kepada Giam Kin dan Kim-Thouw Thian-Li, maka ia tidak pedulikan mereka dan langsung ia menghadapi Hek-Hwa Kui-Bo sambil menudingkan jarinya.

   "Hek-Hwa Kui-Bo, kau tergolong tingkatan tua yang sudah mendapat nama besar sebagai tokoh utama dari Selatan. Kenapa kau melakukan tindakan yang amat rendah, mengancam enciku dan Suaminya dan sekarang datang membawa dua orang manusia hina dina ini?"

   Hek-Hwa Kui-Bo tersenyum mengejek lalu berkata, suaranya mengandung sikap memandang rendah,

   "Kau bocah masih ingusan berani bicara begini kepadaku. Ayahmu sendiri kiranya tidak sekurang ajar engkau! Muridku masih teringat akan permusuhan lama, bersama Giam-Kongcu hendak membikin perhitungan dan pelunasan hutang-hutang lama. Aku hanya menonton kalau-kalau ada bocah ingusan lancang dan ikut-ikut campur!"

   "Siluman betina tua bangka! Kau dan antek-antekmu hendak menghina Suci dan Cihuku? Hemmm, selama di sini masih ada Cia Li Cu, jangan harap kalian akan dapat berlaku sewenang-wenang!"

   Bentak Li Cu sambil melintangkan pedangnya.

   "Lo-Cianpwe, kenapa layani dia bicara? Pegang saja, ringkus dan berikan kepadaku habis perkara!"

   Kata pula Giam Kin Sambil tersenyum-senyum dan matanya yang sipit itu memandang kepada Li Cu dengan kurang ajar.

   "Giam-ko, daripada banyak cerewet lebih baik turun tangan. Kau bereskan yang laki-laki, biar aku mampuskan budak she Lee ini!"

   Kata Kim-Thouw Thian-Li yang tidak suka melihat Giam Kin tergila-gila kepada Li Cu. Giam Kin tertawa mengejek ketika ia mendekati Thio Ki.

   Suami Isteri ini maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, akan tetapi mereka tidak takut dan dengan kemarahan meluap mereka lalu menerjang maju, Thio Ki menyerang Giam Kin sedangkan Lee Giok memutar pedang menyerang Kim-Thouw Thian-Li. Juga Cia Li Cu yang maklum bahwa menghadapi tiga orang jahat itu tidak perlu banyak bicara lagi, lalu menggerakkan pedang di tangannya menerjang Hek-Hwa Kui-Bo. Sambil tertawa-tawa Giam Kin menyambut serangan Thio Ki. Si Raja Ular Kecil ini memang amat tinggi kepandaiannya. Serangan pedang dari Thio Ki ia hadapi dengan permainan suling ularnya yang aneh gerakan-gerakannya. Tenaga Lweekangnya jauh lebih kuat daripada Thio Ki sehingga setiap kali pedang bertemu suling, tangan Thio Ki tergetar dan pedangnya hampir terlepas.

   Namun Thio Ki bermodal kenekatan dan menerjang terus sambil mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Betapapun juga dia adalah seorang murid Hoa-San-Pai yang baik, pernah mendapat bimbingan dari Lian Bu Tojin sendiri maka setelah ia bertempur dengan nekat Giam Kin tidak berani main-main lagi. Juga Kim-Thouw Thian-Li menghadapi perlawanan sengit dan nekat dari Lee Giok. Seperti halnya Suaminya, Lee Giok mendapat lawan yang lebih lihai darinya. Kim-Thouw Thian-Li benar-benar hebat kepandaiannya. Dengan ilmu silatnya dari golongan hitam yang penuh muslihat dan keji, ditambah Ilmu Pedang Thai-Yang yang sebagian telah ia warisi pula dari Hek-Hwa Kui-Bo, Ketua Ngo-Lian-Kauw ini benar-benar membuat Lee Giok tak berdaya.

   Senjata di tangan Kim-Thouw Thian-Li adalah sebatang golok ditangan kanan dan sehelai selampai merah di tangan kiri. Saputangan atau selampai merah inilah yang amat berbahaya karena mengandung pelbagai racun jahat. Akan tetapi karena ilmu pedang Lee Goat juga bukan ilmu pedang sembarangan, melainkan ilmu pedang yang ia warisi dari gurunya, Si Raja Pedang tentu saja ia tidak mau menyerah mentah-mentah dan bagi Kim-Thouw Thian-Li juga tidak begitu mudah untuk mendapatkan kemenangan dalam waktu singkat. Yang paling ramai adalah pertandingan antara Hek-Hwa Kui-Bo dan Cia Li Cu. Harus diketahui bahwa nama Hek-Hwa Kui-Bo untuk daerah Selatan adalah nama seorang jagoan kelas satu yang tak pernah terkalahkan, Ilmu silatnya tinggi sekali dan sebetulnya dahulu ilmu kepandaiannya bersumber kepada keahlian tenaga Thai-Yang,

   Sehingga setelah kepandaiannya rnenurun kepada Kim-Thow Thian-Li yang menjadi Ketua Ngo-Lian-Kauw perkumpulan inipun terkenal dengan keahlian mereka tentang Thai-Yang. Ilmu silat aliran Selatan sudah dikuasai Hek-Hwa Kui-Bo, ditambah lagi pengalamannya yang puluhan tahun dan belum lama ini ia telah dapat merampas kitab Thai-Yang dan telah menguasainya, maka kehebatannya bukan main. Sayang, tenaganya bersumber kepada Yangkang, sedangkan Thai-Yang bersumber kepada Imkang, maka ilmu pedangnya yang paling akhir dan paling hebat inipun tidak bisa mencapai puncaknya. Di lain pihak, lawannya adalah Cia Li Cu, puteri tunggal Raja Pedang Tanpa Tanding Cia Hui Gan yang memiliki ilmu pedang keturunan dari pendekar wanita Ang I Niocu ratusan tahun yang lalu.

   

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini