Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bodoh 19


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



"Ah, Saudara Merak Sakti. Sungguh kau benar-benar baik hati dan pandai."

   Sambil berkata demikian Lin Lin mengeluarkan tangan menerima rumput atau daun-daun panjang itu dari kaki merak. Kemudian dengan mesra Lin Lin mengelus-elus bulu Merak yang indah sekali dan halus serta bersih itu. Merak itu menggunakan lehernya yang panjang untuk dibelai-belaikan kepada lengan tangan gadis yang mengelus-elusnya itu, seakan-akan ia merasa gembira sekali. Sikapnya seperti seekor binatang peliharaan yang amat jinak. Sedangkan Harimau bertanduk dan Rajawali Emas itu pun melangkah maju perlahan-lahan dengan mata mengeluarkan pandangan mengiri. Lin Lin tertawa dan dengan tabahnya ia pun lalu menghampiri kedua binatang buas itu dan mengelus-elus punggung mereka.

   Si Harimau bertanduk menggoyang-goyangkan ekornya dan mengeluarkan keluhan perlahan seperti seekor kucing yang merasa senang dan manja, sedangkan Rajawali Emas itupun lalu mengembangkan sayapnya dan merendahkan diri sambil membuka paruhnya seperti seekor burung murai yang dibelai oleh pemiliknya dengan kasih sayang. Tiba-tiba Harimau itu mencium-cium ke arah pinggang Lin Lin dan tiba-tiba ia menggeram keras sehingga gadis itu terkejut, juga Rajawali Emas dan Merak Sakti nampak kaget. Lin Lin teringat akan Pedang karatan yang berada di pinggangnya dan otomatis ia mencabut Pedang itu, dan aneh. Ketika melihat Pedang karatan itu, ketiga binatang itu lalu mengeluarkan keluhan panjang dan sedih dan ketiganya lalu mendekam di hadapan Lin Lin seakan-akan berlutut. Lin Lin adalah seorang gadis yang cerdik dan dapat mengerjakan otaknya cepat sekali.

   Ia dapat menduga tepat bahwa ketiga binatang sakti ini tentulah murid-murid atau binatang-binatang peliharaan orang sakti yang telah meninggal dunia di dalam gua dan kini ketiga ekor binatang ini mengenal Pedang Pusaka orang sakti itu! Maka Lin Lin lalu berlutut pula dan mengangkat Pedang itu tinggi-tinggi, seakan-akan hendak memperlihatkan kepada ketiga binatang itu bahwa dia juga menjunjung tinggi dan menghormat pemilik Pedang itu. Kemudian ia berdiri dan memasukkan Pedang bobrok itu ke dalam ikat pinggang lagi. Kini ketiga binatang nampak girang sekali dan mereka menjadi begitu jinak seperti tiga ekor anjing yang amat menurut. Pada saat itu terdengar seruan heran dan ketika Lin Lin memandang, ternyata bahwa Nelayan Cengeng dan Ma Hoa telah berdiri mengintai dari balik pohon dengan mata terbelalak heran. Lin Lin tersenyum lalu berkata kepada binatang itu dengan suara keras tapi halus,

   "Sin-Kong-Ciak (Merak Sakti), Sin-Kim-Tiauw (Rajawali Emas Sakti), dan kau It-Kak-Houw (Harimau Tanduk Satu). Lihatlah baik-baik kepada dua orang itu. Mereka adalah sahabat-sahabat baikku dan janganlah kalian mengganggunya. Juga kawan yang sedang terluka oleh ular berbisa itu adalah kawan baikku!"

   Ketiga ekor binatang sakti itu mengangguk-angukkan kepala seakan-akan mereka dapat mengerti ucapan Lin Lin hingga Nelayan Cengeng dan Ma Hoa menjadi terheran dan girang sekali. Kini mereka tidak ragu-ragu lagi dan melangkah maju serta mengelus-elus pundak ketiga binatang itu yang menjadi heran sekali. Terutama Ma Hoa, gadis ini merasa suka benar kepada Sin-Kong-Ciak dan mengagumi bulu Merak itu tiada habisnya. Kemudian mereka lalu kembali ke gua, diikuti oleh tiga ekor binatang itu. Ternyata bahwa tadi Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendengar suara binatang-binatang itu hingga mereka lalu memburu keluar karena kuatir kalau-kalau Lin Lin berada dalam bahaya, akan tetapi mereka berdiri tercengang dan mengintai dari balik pohon ketika melihat peristiwa yang aneh dan menakjubkan yang terjadi antara Lin Lin dan ketiga binatang itu.

   Lin Lin lalu meremas-remas daun Racun Ular dan obat ini digunakan untuk mengobati luka Yousuf, dibalurkan di tempat bekas gigitan dan sebagian airnya diminumkan. Tak lama kemudian Yousuf siuman kembali dan keadaannya baik sekali. Ketika melihat betapa Lin Lin merawatnya dengan telaten dan open, tak terasa pula air mata mengalir turun dari kedua matanya. Apalagi ketika Ma Hoa menceritakan betapa Lin Lin menyedot keluar semua racun yang berada di tubuhnya dengan menggunakan mulutnya, Orang Turki ini tak dapat menahan keharuan hatinya dan ia menangis terisak-isak di atas pembaringannya. Ia tak dapat mengucapkan kata-kata, hanya memandang kepada Lin Lin dengan pandangan penuh mengandung pernyataan terima kasih yang besar. Lin Lin tersenyum dengan muka merah.

   "Enci Ma Hoa,", katanya kepada gadis itu.

   "Mengapa kau ceritakan hal itu? Kau hanya melelebih-lebihkan hal yang tidak ada artinya."

   Kemudian kepada Yousuf ia berkata.

   "Yo-Sianseng, kita adalah sahabat-sahabat baik yang berada di tempat asing dan berbahaya. Kalau kita tidak saling menolong, bagaimana kita bisa hidup? Aku yakin bahwa kau pun tentu takkan ragu-ragu lagi melakukan hal ini apabila aku yang mendapat kecelakaan."

   Yousuf hanya mengangguk-anggukkan kepala, akan tetapi ia masih belum dapat mengeluarkan kata-kata oleh karena hatinya merasa terharu sekali dan penyesalan besar membuat ia tak kuasa membuka mulut. Ia ingin sekali membenturkan kepalanya pada dinding gua karena menyesal kepada diri sendiri dan diam-diam ia memaki pada diri sendiri.

   "Ah, Yousuf! Kau manusia tersesat dan gila! Mengapa kau biarkan Setan menguasai hati dan pikiranmu hingga kau pernah tergila-gila dan mempunyai pikiran buruk terhadap seorang gadis yang demikian mulia hatinya? Kalau kau mempunyai seorang anak perempuan pun belum tentu ia akan semulia dan sebakti gadis ini!"

   Demikianlah Yousuf menyesali diri oleh karena memang ia pernah mengandung maksud untuk mengambil Lin Lin sebagai permaisurinya kalau tercapai cita-citanya. Semenjak saat itu rasa cintanya kepada Lin Lin sama sekali berubah dari cinta seorang laki-laki kepada seorang wanita menjadi cinta kasih seorang Ayah terhadap seorang anak perempuannya!

   "Lin Lin,"

   Katanya ketika gadis itu menyiapkan obat untuknya dan mereka berada berdua saja, karena Ma Hoa dan Nelayan Cengeng dengan ditemani oleh Harimau bertanduk dan Rajawali Emas sedang keluar mencari buah-buahan yang enak dimakan.

   "Setelah apa yang kau lakukan untuk membelaku, sudilah kiranya kau menyebut Ayah kepadaku? Kau kuanggap anakku sendiri, Lin Lin, dan oleh karena kau tak berayah ibu lagi, biarlah aku menjadi pengganti Ayahmu. Sukakah kau, Nak?"

   Mendengar suara yang diucapkan dengan menggetar dan melihat betapa wajah Yousuf memandangnya dengan penuh harapan, Lin Lin menjadi terharu dan teringat kepada Ayahnya. Maka ia lalu berlutut di depan pembaringan Yousuf dan tanpa ragu lagi ia menyebut,

   "Ayah!"

   Sambil menangis. Yousuf yang sudah kuat kembali tubuhnya lalu bangun dan duduk. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kepala gadis itu dan berkata,

   "Lin Lin, semenjak saat ini kau adalah anakku dan aku akan membelamu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, semoga Dewata Yang Agung memberkahimu."

   Ketika Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendengar tentang pemungutan anak ini, mereka berdua juga merasa girang sekali. Nelayan Cengeng telah percaya penuh akan ketulus ikhlasan dan kejujuran hati orang Turki itu, maka ia pun tidak merasa keberatan apa-apa, sedangkan Ma Hoa yang juga telah kehilangan Ayahnya, lalu menangis dengan terharu sekali sambil memeluk leher Lin Lin. Nelayan Cengeng menghela napas,

   "Ma Hoa, aku tahu apa yang menjadikan kau merasa sedih, akan tetapi kau ingatlah, Ma Hoa, bahwa semenjak saat kau merantau denganku, aku Kong Hwat Lojin sudah menjadi Guru dan Ayahmu sendiri! Biarpun kau menyebut Suhu kepadaku, namun kau kuanggap anak sendiri dan hal ini pun kau maklumi, maka janganlah kau bersedih, Anakku."

   Ma Hoa menjatuhkan diri berlutut di depan Suhunya dan berkata,

   "Terima kasih, Suhu, dan demi Tuhan, sedikit pun tak pernah Teecu meragukan kemuliaan hati Suhu."

   Setelah Yousuf sembuh kembali, mereka melanjutkan pemeriksaan dan mencari harta di pulau itu, akan tetapi kalau dulu Yousuf mencari dengan cita-cita hendak mengangkat diri menjadi Kaisar dan mengawini Lin Lin, kini cita-citanya itu diubah sedikit. Ia masih ingin menjadi Kaisar dan memiliki harta besar itu, akan tetapi semua itu demi kemuliaan Lin Lin yang akan dijadikan seorang puteri Kerajaan yang agung.

   Akan tetapi ternyata setelah bebeapa hari tinggal di pulau itu belum juga didapatkan tanda-tanda bahwa pulau itu benar-benar mengandung banyak emas seperti yang tadinya disangka. Dan pada suatu hari, ketika Yousuf dan kawan-kawannya sedang memeriksa di puncak bukit, mereka melihat banyak sekali Pendeta-Pendeta Sakia Buddha anak buah Pangeran Vayami naik di pulau itu dan melakukan pemeriksaan pula. Yousuf dan kawan-kawannya lalu cepat mempergunakan alang-alang dan pohon-pohon kecil untuk dipakai menutupi gua mereka sehingga tidak mungkin akan terlihat oleh orang lain dan diam-diam mereka mengintai Pendeta-Pendeta itu untuk melihat apa yang mereka kerjakan. Ketika Nelayan Cengeng mengusulkan untuk menyerang Pendeta-Pendeta Jubah Merah itu, Yousuf mencegahnya dan berkata,

   "Aku tahu, mereka ini adalah kaki tangan Vayami, Pangeran dari Mongol dan agaknya mereka sudah tahu di mana letak harta terpendam. Baiknya kita menanti sampai mereka mendapatkannya baru kita turun tangan. Sementara itu, biarlah kita mengintai saja dan melihat apa yang mereka lakukan."

   Lin Lin lalu memerintahkan kepada ketiga binatang sakti untuk berdiam diri dan jangan menyerang orang-orang itu. Selama tiga hari Pendeta-Pendeta itu bekerja, akan tetapi sebagaimana hasil kerja Yousuf, mereka juga tidak mendapatkan apa-apa.

   Kemudian, dengan terkejut sekali Yousuf dan kawan-kawannya melihat datangnya perahu-perahu barisan Turki yang disusul dan dikejar oleh perahu-perahu barisan Kerajaan. Yousuf tahu bahwa barisan bangsanya telah tiba dan hendak menguasai pulau itu sebagaimana direncanakannya dan tahu pula bahwa kalau mereka melihatnya, tentu ia akan ditangkap oleh karena selama itu ia tidak memberi kabar tentang hasil penyelidikannya dan ia dapat dituduh sebagai pengkhianat yang hendak mengambil sendiri harta itu. Kemudian mereka melihat pertempuran besar yang terjadi antara barisan Turki dan barisan Tiongkok, dan ketika Yousuf menyelidiki keadaan Pendeta Sakia Buddha itu, ia menjadi terkejut sekali oleh karena Pendeta-Pendeta itu lalu menyalakan api dan membakar danau minyak yang berkobar hebat menjadi lautan api.

   "Celaka! Danau itu dibakar dan mungkin akan meledak. Hayo, cepat kita harus pergi dari pulau neraka ini!"

   Katanya. Kawannya menjadi panik dan Nelayan Cengeng segera memanggil Lin Lin dan Ma Hoa yang masih mengintai dan menonton pertempuran hebat dari jauh.

   Kedua orang gadis itupun terkejut sekali mendengar berita ini dan Lin Lin lalu memberi tanda suitan memanggil ketiga binatang sakti itu. Mereka lalu lari cepat ke perahu mereka yang disembunyikan di balik alang-alang, diikuti oleh ketiga binatang itu. Akan tetapi, ketika mereka telah naik ke atas perahu, tiba-tiba ketiga binatang itu memekik keras dan ketiganya lalu membalikkan diri dan kembali ke pulau. Lin Lin berteriak-teriak memanggil sambil mengejar dan ketika ia memasuki gua, ternyata ketiga ekor binatang sakti itu mendekam dan berlutut di depan makam rangka yang mereka tanam dulu. Lin Lin membetot-betot mereka, akan tetapi ketiganya tidak mau pindah dari tempat mereka, seakan-akan bersiap untuk mati di depan kuburan tuannya. Lin Lin menjadi bingung dan memeluk leher Merak Sakti, ia berkata sambil menangis,

   "Saudara Merak Sakti, bagaimana aku dapat tega meninggalkan kau? Kau adalah seperti saudaraku sendiri, dan pulau ini akan terbakar habis. Marilah kau ikut padaku. Tegakah kau membiarkan aku merasa sedih seumur hidupku?"

   Merak Sakti itu mengeluarkan keluhan panjang dan dari kedua matanya yang indah itu mengalir keluar dua butir air mata.

   Dari jauh terdengar suara Yousuf memanggil-manggil namanya, dan Lin Lin terpaksa keluar dari gua sambil menangis. Beberapa kali ia menengok memandang ketiga kawannya yang aneh ini. Dan ketika ia berlari ke perahu dengan tubuh lemas dan hati berduka, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kepalanya dan ternyata bahwa Merak Sakti itu telah menyusulnya. Lin Lin menjadi girang sekali dan segera lari ke perahu diikuti oleh Merak Sakti yang agaknya tidak tega untuk melepas Lin Lin pergi seorang diri dan ikut menyusul. Baru saja Lin Lin naik ke perahu, tiba-tiba serombongan Pendeta Baju Merah itu melihat mereka. Sambil berteriak-teriak buas mereka menyerbu dan Nelayan Cengeng serta kawan-kawannya segera menyambut serangan mereka dan terjadilah pertempuran sengit.

   "Lekas, kalian bertiga jalankan perahu, biar aku sendiri yang menahan serbuan anjing-anjing merah ini!"

   Kata Nelayan Cengeng. Yousuf yang melihat betapa api berkobar makin hebat, lalu cepat menjalankan perahu, akan tetapi Ma Hoa berteriak,

   "Suhu jangan melawan mereka seorang diri, Teecu akan membantumu!"

   "Jangan!"

   Teriak Si Nelayan Cengeng dengan suara tetap dan keras.

   "Kau harus ikut pergi lebih dulu! Aku tidak takut segala anjing ini, dan biarpun tanpa perahu, aku mudah saja menyeberang ke daratan Tiongkok!"

   Jawab Suhunya yang gagah perkasa sambil memutar-mutar dayungnya mengamuk hebat. Lin Lin mendapatkan akal. Ia lalu menghampiri Merak Sakti dan berkata,

   "Saudaraku yang baik. Kau bantulah Nelayan Cengeng dan cakarlah habis-habis Pendeta busuk itu!"

   Sin-Kong-Ciak mengeluarkan pekik keras, tanda bahwa ia girang sekali menerima tugas ini dan sebentar saja tubuhnya melesat dan melayang ke atas. Setelah Merak Sakti ini menyerbu, maka terdengarlah jerit dan tangis yang ribut sekali di kalangan para Pendeta Sakia Buddha ini dan Nelayan Cengeng menjadi gembira sekali.

   "Bagus Kong-Ciak-Ko, bagus! Hayo, kita hantam bersama!"

   Perahu yang ditumpangi oleh Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa, telah pergi jauh dan Pendeta-Pendeta Baju Merah itu merasa tidak kuat menghadapi Nelayan Cengeng yang tangguh dan yang dibantu oleh Merak Sakti yang aneh itu. Maka sambil berteriak-teriak ketakutan mereka lalu melarikan diri ke arah perahu-perahu kecil mereka di lain bagian. Dengan cepat mereka lalu melarikan diri dengan perahu-perahu itu dari pulau yang telah mulai berkobar hebat itu. Nelayan Cengeng juga tidak membuang waktu lagi, ia berkata kepada Merak Sakti,

   "Kong-Ciak-Ko, sekarang kau terbanglah menyusul perahu Lin Lin dan aku akan berenang. Hayo kita berlumba, kau terbang dan aku berenang. Siapa yang lebih cepat menyusul perahu, dia menang!"

   Merak Sakti agaknya mengerti omongan ini dan sambil mengeluarkan teriakan panjang dan girang, ia lalu terbang melayang ke atas dan mencari-cari perahu Lin Lin yang telah berlayar jauh sekali. Sementara itu, Nelayan Cengeng juga segera menceburkan diri ke dalam laut dan mempergunakan kepandaian tenaganya yang luar biasa untuk berenang ke daratan pantai Tiongkok. Akan tetapi ia telah tertinggal jauh dan ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengejar perahu itu hingga ia berenang cepat sekali bagaikan seekor ikan besar. Air tidak kelihatan terpercik ke atas, namun tubuhnya bergerak maju pesat sekali.

   Akan tetapi, tiba-tiba setelah ia dapat melihat bayangan perahu itu dalam gelap, terdengar letusan hebat dari pulau yang terbakar itu hingga Kong Hwat Lojin terlempar jauh, terbawa ombak yang datang setinggi gunung dan yang melemparkannya ke arah lain, jauh dari kapal itu, dan di lain jurusan! Ilmu kepandaian di dalam air yang dimiliki oleh Nelayan Cengeng memang hebat sekali, maka ketika melihat betapa dirinya menjadi permainan ombak, ia lalu menahan napas dan menyelam ke dalam. Tekanan air makin ke bawah makin kuat, akan tetapi tidak bergelombang sehebat di permukaan air itu. Dengan demikian, Nelayan Cengeng dapat berenang terus, dekat di atas dasar laut itu dan ia menuju ke pantai. Akan tetapi oleh karena gelombang yang hebat itupun membuat perahu yang ditumpangi oleh Yousuf dan kedua gadis itu terbawa ombak dan tidak tentu arahnya, ketika Nelayan Cengeng sudah muncul di darat,

   Ia berada jauh sekali dari perahu itu, dan sedikit pun tidak tahu dirinya berada di mana! Dan pada saat ia melompat ke darat, datanglah Hek Pek Mo-ko, dan Pek Mo-ko lalu menyerangnya hingga terjadi pertempuran sengit yang kemudian disusul oleh datangnya Biauw Suthai dan Pek I Toanio dan yang mengeroyok Hek Pek Mo-ko. Sebagaimana telah diketahui, akhirnya karena Kwee An ikut mencampuri pertempuran itu, Hek Mo-ko bertempur sendiri melawan Pek Mo-ko yang mengakibatkan tewasnya kedua orang Iblis Hitam dan Putih itu! Kwee An dan Cin Hai merasa senang sekali mendengar bahwa Lin Lin dan Ma Hoa berada di bawah perlindungan Yousuf yang baik hati. Biarpun mereka tidak tahu ke mana perginya ketiga orang itu, namun mereka percaya bahwa kedua gadis itu tentu berada dalam keadaan selamat.

   Sementara itu, Pulau Kim-San-To masih saja berkobar sampai dua hari dua malam! Cin Hai berkeras tidak mau meninggalkan pantai sebelum keadaan aman kembali dan ia berniat hendak menggunakan perahu mencari Ang I Niocu! Semua orang tahu akan isi hati dan kehancuran kalbu pemuda ini, maka oleh karena mereka semua pun merasa kagum dan kasihan kepada Ang I Niocu, mereka juga menunggu di pantai sambil melihat ke arah pulau yang musnah dimakan api itu. Pada hari ke tiga, padamlah api yang membakar seluruh Pulau Kim-San-To dan lenyaplah gelombang-gelombang besar yang diakibatkan oleh peristiwa mengerikan itu. Laut menjadi tenang kembali dan semua orang memandang ke arah pulau itu, hati mereka tertegun dan untuk beberapa lama tak seorang pun di antara mereka dapat mengeluarkan kata-kata.

   Ternyata bahwa pulau yang tadinya menjulang dari permukaan laut dan pada malam hari nampak bagaikan sorga itu, kini telah lenyap sama sekali, bagaikan sepotong kue besar yang habis ditelan oleh mulut raksasa. Sedikit pun tak nampak bekas-bekasnya lagi. Semua orang lalu mulai dengan usaha mereka mencari-cari, akan tetapi ke manakah mereka harus mencari Ang Niocu? Cin Hai sendiri lalu mempergunakan perahu kecil bersama Kwee An dan mendayung perahu itu ke tempat di mana tadinya terdapat pulau itu. Mereka melihat banyak barang mengambang di permukaan air laut, orang besar kecil yang merupakan benda-benda hitam memenuhi air laut itu. Ketika mereka telah berputar-putar sehari lamanya dan orang-orang lain telah kembali ke pantai oleh karena telah berputus asa, tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu mengambang di air dan ia lalu menjerit dengan suara mengandung isak tangis.

   "Niocu!"

   Kemudian pemuda ini lalu melompat ke dalam air. Kwee An terkejut sekali dan mendayung perahunya mengejar Cin Hai yang berenang cepat ke depan. Ia melihat Cin Hai mengambil sesuatu dari permukaan air laut itu dan ketika dilihatnya, ternyata bahwa yang dipegang oleh Cin Hai adalah selembar kain berwarna merah. Cin Hai sambil menangis berenang lagi ke perahu dan naik ke dalam perahu sambil memegang potongan kain merah itu erat-erat, lalu ia terduduk menangis dan menyembunyikan mukanya di dalam kain itu sambil mengeluh tiada hentinya.

   "Niocu... Niocu..."

   Kwee An teringat bahwa kain ini sama benar dengan kain pakaian yang biasa dipakai olen Ang I Niocu, maka ia menjadi amat terharu dan tak dapat berkata-kata apa kecuali menggunakan tangannya menepuk-nepuk Cin Hai.

   "Kuatkanlah hatimu, Cin Hai... dan bolehkah aku mendayung perahu kembali ke pantai?"

   Cin Hai tak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk dengan muka masih tersembunyi ke dalam sobekan kain merah itu.

   Agaknya Ang I Niocu telah hancur tubuhnya karena ledakan dahsyat itu dan secara ajaib sekali sepotong pakaiannya telah terlempar dan terbawa hawa ledakan hingga jatuh di air dan tidak ikut terbakar. Tentu saja Cin Hai menjadi sedih sekali oleh karena sobekan pakaian ini menjadi bukti nyata bahwa Gadis Baju Merah itu telah tewas dan hanya meninggalkan sesobek kain dari pakaiannya. Nelayan Cengeng yang hampir sehari penuh berenang kian-kemari mencari-cari, juga tidak menemukan sesuatu dan sekarang telah berada di pantai dengan orang-orang lain. Ketika mereka melihat kain merah yang ditemukan Cin Hai, mereka hanya dapat menghela napas saja, bahkan Pek I Toanio tak dapat menahan keharuan hatinya lalu berkata kepada Cin Hai.

   "Jangan kau terus bersedih hati, karena itu tidak ada gunanya. Ang I Niocu agaknya telah tewas akan tetapi ia tewas sebagai seorang Pendekar gagah perkasa dan boleh dibanggakan maka tak perlu kita terlalu menyedihi kematiannya. Bukankah kita semua ini kelak pun akan pergi ke tempat di mana dia mendahului kita? Lebih baik sekarang kita berusaha mencari di mana adanya Lin Lin dan Ma Hoa."

   Nelayan Cengeng yang diam-diam juga mengalirkan air mata tanda menangis itu lalu menggunakan ujung lengan bajunya yang basah karena air untuk mengusap pipinya sambil mengangguk-angguk.

   "Benar ucapan Biauw Suthai. Marilah kita sekarang menyusul dan mencari ke mana mendaratnya perahu Yousuf itu."

   Kata-kata ini memperingatkan Cin Hai bahwa Lin Lin masih hidup dan hal ini merupakan hiburan yang besar sekali. Ia lalu mempertahankan dan menguatkan hatinya, lalu memandang kepada mereka.

   "Maafkanlah kelemahanku dan terima kasih kuucapkan kepada Cuwi sekalian yang telah begitu baik hati untuk ikut bersusah payah."

   Setelah mengadakan perundingan, maka diputuskan bahwa mereka akan terpecah menjadi tiga rombongan dalam usaha mereka mencari dua gadis itu. Kwee An hendak pergi bersama Cin Hai, Pek Toanio bersama gurunya dan Nelayan Cengeng pergi seorang diri. Tempat dimana perahu orang Turki itu mendarat belum diketahui maka mereka segera berpencar dan mulai mencari dan menyusul Lin Lin, Ma Hoa, dan Yousuf.

   Berkat kecerdikannya dan kepandaian Supeknya yang gagu, Hai Kong Hosiang berhasil melarikan diri dari Pulau Kim-San-To dan karenanya ia terhindar dari bahaya maut. Ketika perahunya mendarat, ia pun dapat melihat pertempuran yang terjadi antara Nalayan Cengeng yang dibantu Biauw Suthai dan Toanio melawan Hek Pek Mo-ko, akan tetapi oleh karena melihat bahwa yang bertanding itu adalah tokoh-tokoh ternama yang berkepandaian tinggi sekali terutama Hek Pek Mo-ko yang telah ia ketahui memiliki ilmu kepandaian luar biasa, Hai Kong Hosiang lalu mengajak Supeknya yang gagu untuk terus berlari dan jangan mencampuri urusan mereka. Hatinya merasa mendongkol dan marah sekali oleh karena kembali ia telah mengalami kesialan. Pertama, ia telah kena dibujuk oleh Pangeran Vayami, kedua ia telah bertemu dengan Balutin dan bertempur tanpa bisa merobohkan Pendeta asing itu, dan ketiganya ia hampir saja mendapat celaka besar di pulau yang terbakar dan meledak.

   Di sepanjang jalan Hai Kong Hosiang menyumpah-nyumpah Cin Hai. Ia merasa menyesal sekali mengapa dulu ketika Cin Hai terjatuh ke dalam tangan Pangeran Vayami, ia tidak lekas-lekas membunuh anak muda itu. Sekarang, anak muda itu tentu masih hidup dan selanjutnya akan merupakan halangan besar baginya oleh karena bahwa Cin Hai bersama beberapa orang kawannya tentu takkan tinggal diam saja dan akan mengejar-ngejarnya untuk membalas dendam atas kematian keluarga Kwee! Sedangkan kepandaiannya sendiri yang tadinya dibangga-banggakan itu baru menghadapi Balutin saja belum mampu mengalahkannya! Maka lalu mengajak Supeknya, yakni Kiam Ki Sianjin yang sudah pikun dan gagu untuk bersembunyi di atas sebuah gunung yang sunyi, lalu ia mengerahkan seluruh perhatiannya untuk memperdalam ilmu silatnya di bawah pimpinan Kim Ki Sianjin yang lihai!

   Dengan bujukan-bujukan dan pujian-pujian, ia berhasil mengeduk semua ilmu yang dimiliki Kim Ki Sianjin yang lihai, sehingga kepandaian Hai Kong Hosiang sudah meningkat tinggi sekali, bahkan ia dengan giatnya meyakinkan ilmu Lweekang yang berdasarkan ilmu yoga dari Barat. Lweekang ini melatihnya secara terbalik, yaitu mengatur pernapasan dan pergerakan tenaga dalam secara jungkir balik, kepala di bawah dan kedua kaki di atas. Berkat latihan ini, maka Hai Kong Hosiang memiliki ilmu silat yang diajarkan oleh Supeknya, yakni Ilmu Silat Kalajengking yang amat lihai. Ilmu silat ini bukan digerakkan dengan tubuh dalam keadaah biasa, akan tetapi dalam keadaan kaki di atas dan kepala di bawah! Dengan kepala di atas tanah, kedua kaki Hai Kong Hosiang dapat bergerak secara lihai sekali,

   Mengirim serangan-serangan maut yang tak terduga datangnya dan oleh karena tenaga kaki memang lebih besar daripada tenaga tangan, maka kedua kaki yang menendang-nendang dan menyerang hebat itu sukar ditahan oleh lawan. Ini masih belum hebat, akan tetapi kedua tangannya pun tidak tinggal diam dan melancarkan serangan-serangan dari bawah dengan secara tiba-tiba dan sukar dilawan. Kalau lawan sampai kena terpegang kakinya oleh tangan Hai Kong Hosiang yang berada di bawah, maka celakalah dia! Ilmu kepandaian Kiam Ki Sianjin lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian Hek Pek Mo-ko, sedangkan dalam usia yang sangat tua saja ia sudah amat lihai, maka kini setelah Hai Kong Hosiang dapat mewarisi seluruh kepandaiannya dapat dibayangkan betapa hebatnya kelihaian Hai Kong Hosiang yang masih kuat dan bertenaga besar itu!

   Selain Ilmu Silat Kalajengking yang lihai ini, juga Hai Kong Hosiang mempelajari Ilmu Kebal Kim-Ciong-Ko yang membuat kulit dan dagingnya dapat menahan serangan senjata tajam. Kim-Ciong-Ko yang bisa dipelajari oleh Hai Kong Hosiang ini bukanlah Kim-Ciong-Ko yang biasa dipelajari dalam dunia persilatan, oleh karena didasarkan Khikang yang dilatih secara jungkir balik hingga ia bisa menyalurkan tenaga dalamnya disertai hawa dalam badan yang membuat kulitnya dapat melembung dan mengempis seperti karet dan jangankan Pedang biasa, bahkan Pedang Pusaka yang tajam pun apabila digunakan oleh orang yang memiliki tenaga biasa takkan dapat melukainya! Setelah merasa bahwa kepandaiannya telah sempurna betul, Hai Kong Hosiang turun dari gunung dan bersama Supeknya lalu pergi ke Kota Raja. Di situ ia mendengar tentang terbunuhnya Boan Sip.

   Maka kebencian dan kemarahannya terhadap Cin Hai dan kawan-kawannya makin meluap dan bersumpah hendak membunuh mereka ini semua! Nama-nama Cin Hai, Kwee An, Lin Lin, Nelayan Cengeng, Ma Hoa, Biauw Suthai, dan Pek I Toanio termasuk dalam daftarnya dan ia hendak mencari orang-orang ini untuk dibinasakan! Tentu nama Bu Pun Su juga tak pernah terlupa olehnya walaupun ia masih merasa jerih dan ragu-ragu apakah ia akan dapat menghadapi Kakek jembel yang amat kosen itu! Pada suatu hari, Hai Kong Hosiang dalam perantauannya tiba di sebuah dusun kecil dan oleh karena di dusun itu tidak ada penginapan, ia lalu memilih sebuah rumah yang terdekat dan masuk saja tanpa permisi kepada tuan rumah. Seorang petani tua yang mendiami rumah itu menjadi marah sekali melihat seorang gundul memasuki rumahnya begitu saja, maka ia lalu membentak,

   "Eh, eh, Hwesio dari manakah dan perlu apa memasuki rumahku tanpa permisi."

   Hai Kong Hosiang memandang kepada petani tua itu dengan mendelik dan sekali ia mengulurkan tangan, pundak petani itu telah kena ia pegang dan ia lalu melemparkan tuan rumah itu keluar jendela. Tubuh petani itu jatuh berdebuk di luar rumah dan bergulingan beberapa kali. Untung sekali Hai Kong Hosiang tidak berniat membunuhnya dan ia terbanting di atas rumput tebal, kalau tidak tentu ia akan tewas seketika itu juga. Petani ini menjadi marah sekali dan ia lalu memaki-maki sambil berlari ke dalam kampung memberitahukan kepada semua tetangga. Beberapa orang laki-laki yang mendengar kekurangajaran ini, segera membawa senjata hendak mengusir Hai Kong Hosiang, akan tetapi baru saja mereka tiba di muka rumah kecil itu, Hai Kong Hosiang telah melompat keluar dengan bertolak pinggang.

   "Kalian ini orang-orang dusun mau apakah?"

   Tanyanya dengan muka bengis.

   "Hwesio kurang ajar! Mengapa kau merampas rumah orang begitu saja?"

   "Siapa merampas rumah? Aku hendak meminjamnya sebentar untuk beristirahat. Kalian ini orang-orang kampung sungguh tidak tahu aturan. Sepatutnya kalian segera menghidangkan makanan dan minuman untukku sebagaimana layaknya tuan rumah menghormati tamunya."

   "Mana ada aturan macam itu?"

   Berkata seorang petani lain yang menjadi marah melihat sikap dan mendengar perkataan yang keterlaluan ini.

   "Kau bukanlah seorang tamu, akan tetapi kau masuk rumah orang seperti Perampok, bahkan telah berani melempar tuan rumah yang mempunyai rumah ini."

   "Sudahlah jangan banyak cakap. Kalian mau memberi hidangan cepat keluarkan dan jangan banyak mengobrol karena aku menjadi tidak sabar lagi."

   "Hweso jahat!"

   Teriak orang-orang kampung itu lalu menyerbu hendak memukul dan mengusir Hai Kong Hosiang.

   Akan tetapi, orang-orang kampung yang lemah dan yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini mana dapat menghadapi seorang kosen seperti Hai Kong Hosiang yang memiliki kepandaian tinggi. Ketika berbagai senjata menyambar ke arah tubuhnya, Hai Kong Hosiang lalu menggunakan lengan kirinya untuk menangkis senjata-senjata itu, sedangkan tangan kanannya tetap bertolak pinggang. Semua petani berteriak kesakitan ketika senjata-senjata mereka beradu dengan lengan tangan Hai Kong Hosiang, karena senjata-senjata itu terpental dan terlepas dari pegangan, sedangkan telapak tangan

   (Lanjut ke Jilid 18)

   Pendekar Bodoh (Seri ke 03 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18

   mereka menjadi perih dan sakit. Beberapa orang yang berhati tabah masih merasa penasaran dan maju memukul, akan tetapi ketika kepalan tangan mereka mengenai dada Hai Kong Hosiang yang bidang, mereka kembali menjerit-jerit kesakitan dan tangan mereka menjadi bengkak-bengkak.

   "Ha-ha-ha! Cacing tanah busuk! Hayo kalian lekas ambil pergi semua makanan yang enak untukku kalau tidak, semua orang kampung ini akan kubikin mampus semua!"

   Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang bergerak cepat dan melempar-lemparkan orang-orang yang terdekat dengannya bagaikan orang melempar-lemparkan rumput kering saja. Orang-orang kampung berteriak-teriak kesakitan. Mereka merasa terkejut sekali dan juga takut menghadapi Hwesio yang jahat seperti Setan dan yang memiliki ilmu kepandaian mujijat yang belum pernah mereka saksikan selama hidupnya. Maka sambil berteriak-teriak mereka lalu melarikan diri dan sekali lagi Hai Kong Hosiang membentak,

   "Tidak lekas kau sediakan makanan enak dan arak yang baik? Atau kalian menunggu sampai aku membikin dusun ini hancur lebur?"

   Takutlah orang-orang kampung itu mendengar ancaman ini oleh karena mereka percaya bahwa Hwesio jahat ini pasti sanggup membuktikan ancamannya itu. Maka mereka lalu cepat mengeluarkan semua hidangan yang ada pada mereka dan menyuguhkan kepada Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, demi melihat suguhan-suguhan yang terdiri dari sayuran-sayuran dah hanya sedikit terdapat daging, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan sekali ia menggerakkan kakinya, semua hidangan melayang dan hancur berantakan di atas tanah. Orang-orang kampung mundur ketakutan dan Hwesio jahat itu lalu membentak,

   "Bawa ke sini seekor Babi. Hayo cepat!"

   "Kami...kami orang sedusun tidak mempunyai Babi seekor pun,"

   Jawab seorang petani mewakili kawan-kawannya.

   "Tidak ada Babi? Awas, jangan kau membohong! Kalau kau membohong, kau sendirilah yang kujadikan Babi dan kupanggang tubuhmu!"

   "Benar-benar kami tidak mempunyai Babi, Losuhu,"

   Kata seorang petani lain. Hai Kong Hosiang baru mau percayai keterangan mereka.

   "Kalau begitu, bawa seekor kerbau ke sini!"

   Orang-orang kampung itu menjadi pucat.

   "Kami hanya mempunyai beberapa ekor kerbau yang kami pekerjakan sebagai penggarap sawah ladang. Kalau Losuhu mengambilnya, bagaimana nasib kami?"

   "Tutup mulut dan lekas bawa seekor kerbau yang paling gemuk! Awas, aku sudah lapar sekali dan kalau aku habis sabar, mungkin kau yang akan kumakan!"

   Tentu saja semua orang terkejut dan ngeri mendengar ancaman ini dan mereka terpaksa lalu menuntun kerbau tergemuk di kampung itu ke hadapan Hai Kong Hosiang. Hwesio itu memandang tubuh kerbau yang gemuk ini dan mulutnya tersenyum lebar.

   "Nah, ini pun boleh!"

   Secepat kilat ia merampas sebatang Golok dari tangan seorang petani dan sekali saja tangannya bergerak, leher kerbau itu telah putus. Darah menyembur-nyembur keluar dari dalam perut binatang itu melalui lehernya yang berlubang dan kedua mata binatang itu masih terbuka lebar. Keempat kakinya berkelojotan lalu terdiam. Terdengar pekik seorang kanak-kanak dan tiba-tiba dari rombongan para petani yang memandang penyembelihan kerbau secara istimewa ini dengan wajah pucat dan mata terbelalak, keluar berlari seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun lebih. Anak ini segera menubruk tubuh kerbau yang telah mati itu sambil menangis keras,

   "He, siapakah anjing kecil ini?"

   Tanya Hai Kong Hosiang kepada seorang wanita yang menarik-narik anak itu sambil mengeluarkan kata-kata hiburan.

   "Dia... dia ini adalah anakku dan kerbau itu adalah kerbau kesayangannya. Semenjak kecil ia bersama-sama kerbau ini, maka ia menjadi sayang sekali. Maafkan dia Losuhu, karena dia tidak tega melihat kawan bermainnya itu terbunuh."

   "Ha-ha-ha! Anak goblok! Anak bodoh! Dia belum tahu bagaimana rasanya daging sahabatnya itu. Kalau sudah tahu, ha-ha-ha! Tentu ia akan senang melihat sahabatnya disembelih! Hayo anak kau ikut aku pesta dan menikmati daging sahabatmu ini!"

   Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang memegang tangan anak itu dan menariknya ke dalam rumah. Ketika ibunya hendak mengejar, Hai Kong Hosiang membentak.

   "Aku hendak mengajak anakmu makan besar, apa salahnya! Kalau kau mengganggu, aku akan bunuh kamu berdua!"

   Terpaksa ibu ini melangkah mundur dengan muka pucat, kemudian ia menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis. Seorang tetangganya lalu menariknya pergi dari situ oleh karena kuatir kalau Hwesio jahat itu akan marah dan benar-benar melakukan pembunuhan.

   "Hayo lekas masak daging ini!"

   Hai Kong Hosiang memerintah sambil minum arak yang disuguhkan di atas meja dalam rumah itu. Anak yang tadi ditariknya kini didudukkan di depannya dan sambil memandang anak itu, Hai Kong Hosiang tiada hentinya minum arak sambil tertawa-tawa. Anak itu duduk dengan muka pucat dan tubuh menggigil, tetapi ia tidak berani berteriak! Setelah masakan daging kerbau telah matang dan disuguhkan di atas meja depan Hai Kong Hosiang dan anak itu, Hai Kong Hosiang lalu mulai makan dengan enaknya.

   "Hayo kau makan daging kawanmu ini. Enak dan lezat sekali rasanya!"

   Kata Hai Kong Hosiang kepada anak itu. Akan tetapi sambil menggigit bibirnya dan menahan runtuhnya air mata yang mengembeng di bulu matanya, anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Hayo makan!"

   Teriak Hai Kong Hosiang dengan suara yang menggeledek bagaikan guntur hingga semua orang tani yang berada di luar rumah itu menjadi terkejut dan kuatir sekali. Akan tetapi, sekali lagi anak itu menggelengkan kepala karena jangankan harus makan daging kerbaunya yang dikasihinya itu, baru melihat saja betapa daging kawan baiknya kini telah dimasak dan dimakan oleh Hwesio itu, hatinya telah terasa perih dan hancur sekali. Melihat kekerasan anak ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan penasaran. Ia lalu mengambil sepotong daging dengan tangannya dan begitu mengulur tangan, maka tangan kirinya telah menangkap mulut anak itu hingga dipaksa menyelangap dan lalu memasukkan daging itu ke dalam mulut anak tadi!

   Anak itu membelalakkan matanya dan ketika merasa betapa daging itu dimasukkan ke dalam mulutnya, tiba-tiba ia muntah-muntah! Bukah main marahnya Hai Kong Hosiang melihat hal ini. Ingin ia memukul mati anak di depannya ini, akan tetapi baru saja ia mengangkat tangannya untuk memukul, ia teringat bahwa jika membunuh anak ini, maka setidaknya tentu terjadi heboh dan ribut yang hanya akan mengganggu istirahatnya saja. Maka ia tidak jadi memukul, akan tetapi memegang batang leher anak itu dan sekali ia menggerakkan tangan, anak itu menjerit karena tubuhnya terlempar keluar pintu! Baiknya di luar pintu, orang-orang tani sedang duduk berkumpul dengan hati berdebar penuh kekuatiran, maka tubuh anak kecil itu jatuh menimpa mereka hingga tidak mengalami luka hebat.

   Anak itu jatuh pingsan karena sedih, ngeri dan takutnya dan orang-orang kampung itu lalu menggotongnya pulang sambil menghela napas, bahkan ada yang mengucurkan air mata karena merasa sedih, dan tak berdaya! Hai Kong Hosiang melanjutkan makan-minumnya seakan-akan tak pernah ada gangguan apa-apa. Nafsu makannya besar sekali dan sebentar saja hidangan yang disuguhkan di atas meja itu habis bersih! Memang Hwesio ini mempunyai sifat aneh. Ia dapat bertahan tidak makan sampai tiga hari tiga malam, dan sekali ia makan, agaknya ia hendak menebus hutangnya kepada perutnya itu dan takaran makan yang tiga hari disekalikan! Setelah hidangan itu habis semua, ia lalu merebahkan dirinya di atas sebuah balai-balai reyot di dalam rumah petani itu dan sebentar lagi terdengar suaranya mendengkur keras,

   Seakan-akan kerbau yang dagingnya telah memasuki perutnya itu tiba-tiba bangkit kembali di dalam perut dan menguak-uak! Semalam suntuk Hai Kong Hosiang tertidur tanpa berkutik dari tempatnya. Telah beberapa pekan ia meninggalkan Kota Raja dan Supeknya ditinggal di Kota Raja, oleh karena Supeknya yang sudah tua itu menyatakan lelah dan bosan merantau, hingga Hai Kong Hosiang pergi seorang diri. Pada keesokan harinya, kebetulan sekali Biauw Suthai dan Pek I Toanio yang pergi mencari jejak Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf tiba di dusun itu. Kedua orang ini merasa heran melihat kelesuan muka orang-orang kampung itu ketika pada pagi hari itu mereka memanggul cangkul pergi ke ladang. Pek I Toanio lalu bertanya kepada seorang petani tua yang bertemu di jalan,

   "Lopeh (Uwa), agaknya kalian penduduk desa ini berduka dan bingung. Malapetaka apakah gerangan yang menimpa desamu?"

   Tadinya si petani tidak berani banyak bicara, akan tetapi ketika melihat gagang Pedang yang tergantung di punggung Pek I Toanio timbul kepercayaannya, bahkan ia lalu mengharap kalau-kalau kedua wanita yang nampak gagah ini akan dapat menolong desanya.

   "Ketahuilah, Toanio. Desa kami kedatangan seorang Hwesio jahat sekali yang mengganggu kami dan bahkan merampok kami. Itu masih belum seberapa, bahkan ia berani memukul dan melukai orang."

   
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bangkitlah semangat Pendekar dalam dada Pek I Toanio ketika mendengar penuturan ini, sedangkan Biauw Suthai yang lebih sabar lalu minta kepada petani tua itu untuk menuturkan sejelasnya. Petani itu lalu menceritakan tentang kejahatan Hai Kong Hosiang dan Biauw Suthai menjadi marah sekali, apalagi ketika mendengar betapa Hwesio jahat itu memaksa anak kecil itu makan daging kerbaunya sendiri dan kemudian melempar tubuh anak itu keluar ketika dia tidak mau makan daging kerbau kesayangannya.

   "Hwesio bangsat kurang ajar! Hendak kulihat siapakah dia yang begitu jahat tak mengenal kemanusiaan itu."

   Setelah berkata demikian, Biauw Suthai dengan tindakan kaki lebar dan diikuti oleh muridnya, lalu pergi menuju ke rumah yang diceritakan oleh petani tadi. Sementara itu, petani tua itu lalu menceritakan kepada kawan-kawannya, sebentar saja semua orang tahu bahwa ada dua orang wanita gagah yang hendak mengusir dan menghukum Hwesio jahat yang mengganggu mereka.

   Semua orang lalu meninggalkan pekerjaan mereka dan beramai-ramai menuju ke rumah itu. Akan tetapi mereka tidak datang dekat, hanya memandang dari jauh dengan perasaan tegang. Ketika melihat bahwa pintu rumah itu masih tertutup, Biauw Suthai dan Pek I Toanio lalu melompat ke atas genteng dan membuka dua genteng dan mengintai ke dalam. Dan mereka melihat pemandangan yang aneh. Seorang Hwesio yang bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis menakutkan sedang berdiri dengan kepala di tanah dan kedua kaki di atas. Hwesio ini menaruh kedua tangannya di belakang kepala dan saat itu sedang memutar-mutar tubuhnya sedemikian rupa hingga kelihatan dari atas seperti sebuah gangsingan atau semacam barang permainan yang terputar-putar.

   Di dekatnya kelihatan menggeletak sebuah topi Bambu yang lebar. Ketika Biauw Suthai dan muridnya memandang dengan penuh perhatian, mereka terkejut sekali karena mengenal Hwesio itu yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang. Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang sedang melatih Lweekangnya yang hebat dan aneh. Kepalanya dapat berloncat-loncat dan berpindah-pindah dengan cepat tanpa mengeluarkan suara, sedang sepasang kakinya bergerak-gerak hingga di dalam kamar itu berkesiur angin yang kuat. Tiba-tiba terdengar Hai Kong Hosiang tertawa bergelak dan tahu-tahu kedua kakinya ditendangkan ke atas. Angin hebat menyerang ke atas genteng di mana Biauw Suthai dan Pek I Toanio sedang mengintai.

   "Awas!"

   Seru Biauw Suthai dan untung ia masih keburu membetot lengan muridnya, oleh karena tiba-tiba genteng di mana mereka tadi berdiri tiba-tiba pecah dan terpental ke atas tinggi sekali sebagai akibat pukulan angin tendangan Hai Kong Hosiang yang dahsyat.

   "Hai Kong Pendeta bangsat!"

   Biauw Suthai memaki keras dan tiba-tiba tubuh Hai Kong Hosiang sudah berada di luar dan berdiri sambil tertawa berkakakan dan memandang ke atas genteng di mana Biauw Suthai dan Pek I Toanio masih berdiri. Biauw Suthai menjadi marah sekali dan sambil mencabut senjata yang istimewa, yaitu sebuah kebutan berbulu merah, ia lalu melayang turun dari genteng diikuti oleh Pek I Toanio yang juga telah mencabut keluar Pedangnya.

   "Ha, ha, ha, Tokauw mata satu yang buruk! Akhirnya aku dapat bertemu dengan engkau. Dan agaknya engKau lah orang pertama yang akan mampus di tanganku, mendahului anjing-anjing lain yang hendak kubasmi semua. Dan muridmu yang cantik ini pun takkan ketinggalan dan mengiringkan kau! Ha, ha, ha!"

   "Hai Kong Hwesio keparat yang pantas mampus. Memang sudah lama pinni hendak menyingkirkan kau dari muka bumi ini oleh karena kedosaanmu telah melewati takaran. Bersedialah untuk mati!"

   Sambil berkata demikian, Biauw Suthai menggerak-gerakkan Hudtimnya yang lihai.

   Kalau dulu sebelum memperdalam ilmu silatnya, jika ia harus berhadapan dengan Biauw Suthai, tentu Hai Kong Hosiang akan merasa jerih oleh karena ia telah maklum akan ketangguhan Tokauw mata satu ini, dan karena ia maklum akan kelihaian para musuh-musuhnya, maka ia lalu mengajak Supeknya untuk menemaninya dalam perantauan. Akan tetapi, sekarang setelah mempelajari banyak macam ilmu silat yang lihai-lihai dari Kiam Ki Sianjin, ia memandang rendah kepada musuh-musuhnya, dan melakukan perjalanan seorang diri tanpa dikawani Supeknya. Memang Hai Kong Hosiang mempunyai dasar watak yang sombong dan tinggi hati serta memandang rendah kepandaian orang lain, akan tetapi harus diakui bahwa ia memang mempunyai dasar atau bakat yang baik sekali. Jarang ada orang yang dapat mempelajari ilmu silat sebaik dan secepat dia.

   Ilmu Silat Kalajengking yang aneh gerakannya dan dilakukan secara berjungkir balik itu telah dapat dimainkan dengan sempurna dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan saja. Juga selain ilmu silat ini, ia telah meyakinkan ilmu-ilmu silat lain dan bahkan telah mendapat kemajuan ilmu Lweekang yang berdasarkan yoga dari Barat. Kini melihat betapa Biauw Suthai telah menggerak-gerakkan ujung kebutan yang lihai hingga bulu-bulu halus kebutan itu mulai menggetar dan seakan-akan menjadi hidup oleh karena tenaga dalam Tokauw itu telah disalurkan ke dalam senjatanya untuk menghadapi Hwesio yang amat tangguh ini, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak lagi dan tiba-tiba ia menyerang dengan tangan kosong. Serangan ini berarti penghinaan dan memandang rendah kepada Biauw Suthai yang memegang kebutan, maka Tokauw ini menjadi marah sekali.

   Benar-benarkah Hwesio ini mengangap ia begitu ringan hingga tak perlu dilawan dengan senjata? Ia berseru keras dan menggerakkan kebutannya dalam tipu gerakan Angin Badai Memutar Ombak. Terdengar angin bersuitan ketika Hudtim berkelebat merupakan sinar merah dan dalam segebrakan saja ujung Hudtimnya menyambar-nyambar ke tiga tempat, pertama ke arah pelipis kepala Hai Kong Hosiang lalu ke dua meluncur terus ke arah jalan darah di leher untuk melakukan totokan maut dan terus disambung lagi dengan serangan ke tiga yaitu mengebut ke arah uluhati Hwesio itu. Akan tetapi Hai Kong Hosiang memang lihai sekali. Melihat gerakan serangan yang sekali serang mengancam tiga tempat yang berbahaya dan yang membawa hawa maut ini, ia tidak menjadi gugup.

   Ia gunakan kedua tangannya yang dibuka untuk digerak-gerakkan ke arah ujung kebutan dan ternyata tenaga Khikang yang kuat sekali itu berhasil memukul buyar ujung Hudtim sebelum senjata itu mengenai tubuhnya. Biauw Suthai terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian Hai Kong Hosiang telah maju sedemikian hebatnya dan diam-diam ia maklum bahwa tenaga dalam Hwesio ini telah maju pesat dan telah berada di tingkat yang lebih tinggi daripada tenaga dalamnya sendiri. Akan tetapi, Hai Kong Hosiang terlampau memandang rendah Biauw Suthai. Ia tidak tahu bahwa Tokauw ini adalah tokoh persilatan yang boleh dibilang "Kawakan"

   Atau jago tua yang telah malang melintang dalam dunia kang-ouw sampai puluhan tahun lamanya dan jarang menemui tandingan.

   Biauw Suthai telah terlalu sering menghadapi orang-orang pandai dan lawan-lawan tangguh, hingga ia tidak menjadi jerih menghadapi Hai Kong Hosiang, biarpun ia maklum bahwa Hwesio ini berkepandaian tinggi sekali. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang terlihai dan kini kebutannya bergerak bagaikan seekor Naga mengamuk dan semua serangannya ditujukan ke arah urat-urat kematian Hai Kong Hosiang untuk mempertahankan nyawanya lagi. Setelah bertempur dengan hebat sampai lima puluh jurus lebih, Hai Kong Hosiang terpaksa mengakui keunggulan permainan silat Biauw Suthai dalam lima puluh jurus lebih itu, telah beberapa kali ia mengeluarkan keringat dingin dan menjadi pucat karena hampir saja ia menjadi korban senjata Hudtim lawannya. Maka ia segera berseru keras,

   "Biauw Suthai, rasakan kerasnya senjataku!"

   Dan ia lalu mencabut keluar tongkat ularnya yang terkenal ganas dan ampuh.

   "Hai Kong manusia sombong! Hayo kau keluarkan semua kesaktianmu, dan jangan kira aku takut kepadamu!"

   "Ha, ha, ha! Biauw Suthai, kematian sudah di depan mata tapi kau masih berani berlagak. Sungguh-sungguh tua bangka tak tahu diri. Muridmu yang cantik itu telah menjadi pucat dan tak berani bergerak, maka jagalah dirimu!"

   Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang menubruk maju sambil menggerakkan tongkatnya yang istimewa hingga Biauw Suthai harus berlaku hati-hati karena maklum akan berbahayanya tongkat ini. Sementara itu, Pek I Toanio mendengar hinaan Hai Kong Hosiang yang mengatakan bahwa ia pucat dan takut bergerak menjadi marah sekali. Sambil melompat maju ia menyerang dengan Pedangnya dan membentak,

   "Hwesio gundul keparat! Aku Pek I Toanio tidak takut iblis macam kau!"

   "Jangan maju!"

   Teriak Biauw Suthai memperingatkan muridnya, akan tetapi terlambat.

   Ketika Pedang Pek I Toanio menusuk dada Hai Kong Hosiang, Pendeta gundul ini sama sekali tidak menangkis karena maklum bahwa tenaga Pek I Toanio tak perlu ia takuti maka sengaja ia pasang dadanya untuk menerima tusukan itu. Terdengar bunyi kain terobek Pedang akan tetapi Pek I Toanio terkejut sekali karena di balik pakaian itu, ujung Pedangnya membentur kulit dan daging yang keras dan dapat membuat Pedangnya terpental kembali seakan-akan ia menusuk sebuah benda yang keras dan licin. Sebelum hilang kagetnya, ujung tongkat Hai Kong Hosiang yang sebenarnya adalah seekor ular kering dan berbisa itu telah menyambar dan tepat mengenai lehernya. Pek I Toanio memekik perlahan sambil memegangi lehernya, tubuhnya terhuyung dan kemudian roboh dan tewas dengan muka dan leher berubah menjadi hitam karena pengaruh bisa yang keluar dari tongkat itu.

   "Ha, ha, Biauw Suthai, lihatlah! Muridmu yang cantik telah berubah buruk seperti mukamu!"

   Bukan main marah dan sedihnya hati Biauw Suthai melihat hal ini. Ia berubah menjadi buas dan liar karena marahnya.

   "Hai Kong, kalau bukan kau yang mampus biarlah aku yang tewas saat ini!"

   Lalu Hudtimnya diputar hebat dan ia menyerang dengan mati-matian! Belum pernah selama hidupnya Biauw Suthai marah seperti ini dan tentu saja serangannya menjadi ganas dan berlipat ganda lebih hebat daripada biasa. Hai Kong Hosiang terkejut dan diam-diam ia mengakui bahwa ilmu kepandaian Biauw Suthai benar-benar hebat.

   Ia memainkan tongkatnya dengan hati-hati dan tidak berani berlaku sembrono, karena maklum bahwa serangan-serangan tokoh yang disertai kemarahan hebat dan penuh dendam ini bukanlah hal yang boleh dipandang ringan! Setelah mereka bertempur seratus jurus lebih dengan ramai dan hebat sekali hingga orang-orang kampung yang tadinya menonton dari jauh dan takut melihat betapa Pek I Toanio tewas, kini tidak berani bergerak atau mengeluarkan suara melihat pertempuran luar biasa ramainya itu, tiba-tiba Biauw Suthai lalu merubah gerakannya dan kini ia menujukan perhatian serta mencurahkan tenaganya untuk merampas tongkat Hai Kong Hosiang yang lihai. Pada suatu saat ujung kebutan Biauw Suthai berhasil membelit ujung tongkat ular itu dengan erat sekali. Hai Kong Hosiang mengerahkan tenaganya untuk menarik kembali tongkatnya, akan tetapi tidak berhasil.

   Tiba-tiba Hai Kong Hosiang mengeluarkan seruan aneh dan menyeramkan dan tahu-tahu tubuhnya berjungkir balik, kepalanya di atas tanah dan pada saat itu juga, kedua kaki dan tangannya bergerak menyerang Biauw Suthai! Gerakan ini sungguh-sungguh diluar dugaan Biauw Suthai. Tadi setelah ujung Hudtimnya berhasil membelit, Hai Kong Hosiang berusaha membetot tongkatnya, maka ia mengerahkan Lweekangnya untuk menahan dan ketika tiba-tiba Hai Kong Hosiang melepaskan pegangan, tongkat itu tertarik oleh Hudtim dan melayang kepadanya, maka cepat-cepat Biauw Suthai mengelak. Akan tetapi ia tidak menyangka sama sekali bahwa Hai Kong Hosiang setelah melepaskan tongkatnya, lalu berjungkir balik dan menyerangnya dalam keadaan yang aneh hingga ia jadi bingung.

   Sebagaimana sudah jadi watak wanita, paling takut ia diserang dari bawah, maka Biauw Suthai terlalu mencurahkan perhatian kepada kedua tangan Hai Kong Hosiang yang bergerak menyerang dari bawah! Ia menggerakkan Hudtimnya untuk menyapu ke bawah dan menangkis pukulan-pukulan itu, akan tetapi tahu-tahu sepasang kaki Hai Kong Hosiang bergerak bagaikan dua batang cangkul ke arah pundaknya di kanan kiri dengan tenaga yang hebat sekali! Biauw Suthai terkejut hingga mengeluarkan seruan kaget serta cepat miringkan tubuh. Ia berhasil mengelak dari serangan pada pundak kanannya, akan tetapi pundak kirinya dengan telak telah kena terpukul oleh ujung sepatu dari kaki Hai Kong Hosiang. Terdengar jerit perlahan dan tubuh Biauw Suthai terhuyung-huyung ke belakang. Tokauw bermata satu ini telah menderita pukulan maut yang hebat sekali dan kalau lain orang yang terkena pukulan ini, pasti di saat itu juga telah roboh tak bernyawa!

   Biauw Suthai yang telah menderita luka dalam yang hebat oleh karena totokan keras di pundak ini tidak saja membuat tulang punggungnya remuk, akan tetapi hawa pukulan juga menyerang jantungnya, masih kuat melayangkan kebutannya dengan gerakan terakhir yang hebat ke arah tubuh Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, biarpun keadaannya berjungkir dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki di atas, namun gerakan Pendeta gundul ini tidak kalah cepatnya. Kepalanya membuat gerakan dan tubuhnya tiba-tiba rebah di atas tanah, hingga sambitan Hudtim itu tidak mengenai sasaran. Hudtim itu melayang cepat dan menghantam sebuah batu besar di belakang Hai Kong Hosiang. Terdengar suara keras dan sebagian besar batu itu hancur terpukul Hudtim! Dapat dibayangkan bahwa jika Hudtim itu mengenai tubuh manusia maka tentu akan hancur lebur.

   Demikianlah hebatnya tenaga sambitan yang dilakukan dengan tenaga terakhir itu. Setelah menyambit dengan Hudtimnya, Biauw Suthai lalu roboh dan ternyata ia telah menghembuskan napas terakhir. Tubuhnya menggeletak di samping tubuh Pek I Toanio. Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak, akan tetapi setelah melakukan pembunuhan hebat ini ia merasa lebih aman untuk segera meninggalkan tempat itu, oleh karena siapa tahu kalau-kalau kawan-kawan Tokauw itu berada di dekat tempat itu. Bukan karena ia takut kepada mereka, akan tetapi oleh karena dalam pertempuran dengan Biauw Suthai tadi ia telah mengerahkan banyak sekali tenaga dan telah menjadi lelah, maka kalau sekarang harus menghadapi musuh tangguh yang lain lagi, hal ini akan berbahaya. Maka ia segera angkat kaki dan meninggalkan tempat itu.

   Setelah melihat bahwa Hwesio jahat itu betul-betul telah pergi meninggalkan kampung mereka, para petani baru berani beramai-ramai menghampiri kedua mayat yang menggeletak di situ. Mereka merasa terharu sekali oleh karena kedua wanita itu binasa dalam tugas membela mereka sekampung. Maka kedua jenazah Biauw Suthai dan muridnya lalu diurus baik-baik, ditangisi dan dikabungi, lalu dikebumikan dengan penuh penghormatan. Bahkan petani tua yang rumahnya dirampas oleh Hai Kong Hosiang, lalu menyimpan Hudtim Biauw Suthai dan Pedang Pek I Toanio yang dipasangnya di dinding rumahnya sebagai perhormatan dan setiap orang kampung apabila melihat kedua senjata ini, mereka menundukkan kepala kepada dua senjata itu untuk memberi hormat.

   

Dara Baju Merah Eps 6 Dara Baju Merah Eps 18 Pendekar Sakti Eps 17

Cari Blog Ini