Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti 17


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 17



Ia berusaha sedapat mungkin agar tidak bertemu dengan orang lain, atau lebih tepat lagi agar jangan sampai ada urusan yang menghambat perjalanannya. Dua pekan kemudian, setelah bertanya-tanya kepada orang di mana letak sungai Yalu, tibalah dia di kota Ang-tung, kota yang berada di tepi Sungai Yalu, yakni di bagian sungai itu memuntahkan airnya di Laut Kuning. Kota Ang-tung amat besar dan ramai, karena kota ini merupakan pusat perdagangan yang menghubungkan pedalaman Tiongkok dengan pedagang-pedagang dari Korea. Banyak sekali perahu nelayan dan pedagang berada di pinggir sungai dan pemandangan di situ amat indahnya. Akan tetapi ketika Kwan Cu mencari perahu nelayan untuk di sewanya, tak seorangpun sanggup menyewakan perahunya, biarpun dengan bayaran tinggi.

   "Laut di Selatan tidak aman, Kongcu,"

   Kata seorang nelayan tua.

   "selain sekarang muncul ikan-ikan buas yang besar dan yang sering kali mengganggu perahu nelayan, juga bajak-bajak laut sekarang banyak sekali. Kami semua adalah tukang-tukang perahu yang hanya sanggup membawa barang-barang dagangan dengan berlayar di tepi pantai, atau kalau mencari ikan juga, tidak terlalu jauh dari pantai. Kalau Kongcu menghendaki menyewa perahu untuk dipakai memasuki laut bebas, kiranya akan bisa Kongcu dapatkan di perkampungan nelayan Kim-Le-Pang."

   "Di mana letaknya perkampungan Kim-Le-Pang itu, Lopek?"

   Tanya Kwan Cu dengan girang.

   "Tidak jauh, kurang lebih lima belas li di sebelah Timur kota ini."

   Tanpa membuang banyak waktu Kwan Cu lalu menuju ke Timur dan mencari perkampungan Kim-Le-Pang yang diceritakan oleh nelayan tua itu. Benar saja, di pantai laut dekat dusun itu banyak sekali terdapat perahu-perahu kecil dan para nelayan sedang bekerja sibuk. Ada yang menjemur ikan-ikan kering, ada pula yang menjemur jala-jala yang rusak. Ada pula yang menjahit layar atau membetulkan perahu yang bocor.

   Mereka ini nampak miskin dan sederhana, namun sebagian besar bertubuh tegap dan kuat, dengan kulit yang kehitaman karena setiap hari terbakar oleh matahari. Ketika Kwan Cu menghampiri para nelayan ini, mereka tidak mengacuhkannya, sama sekali tidak kelihatan tertarik atau ingin menawarkan perahu mereka. Dapat diduga bahwa nelayan-nelayan ini tinggi hati dan angkuh. Memang mereka ini adalah sekelompok peranakan suku Bangsa Han. Meraka berdarah Hui dan Han, dan merupakan suku Bangsa yang hidupnya mengandalkan penghasilan dari laut. Mereka adalah pelaut-pelaut tulen yang lebih leluasa hidup di atas perahu dari pada di darat. Melihat sikap mereka yang acuh tak acuh, Kwan Cu merasa tak enak hati. Akan tetapi oleh karena dia memang membutuhkan perahu untuk disewa, dia lalu menghampiri mereka dan menjura sambil bertanya,

   "Saudara-saudara, harap maafkan kalau aku mengganggu kalian."

   Seorang Kakek yang mulutnya menggigit huncwe kecil panjang dan matanya sipit, berpaling kepadanya dan tanpa melepaskan huncwenya dia berkata,

   "Kalau tidak mengganggu, tak perlu minta maaf. Kalau memang hendak mengganggu, mengapa pakai minta maaf segala?"

   Merah muka Kwan Cu mendengar ucapan yang jujur dan kasar ini. Ia dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang sederhana, jujur, dan keras hati.

   "Lopek, sebetulnya aku bukan bermaksud hendak mengganggu. Akan tetapi siapa tahu kalau kedatanganku ini saja sudah merupakan gangguan bagimu."

   Kini Kakek itu menghentikan pekerjaannya menambal layar, dan sambil mencabut huncwenya dia menghadapi Kwan Cu, memandangnya dari atas terus ke bawah, lalu bertanya,

   "Kau mau apakah?"

   "Aku mencari perahu yang disewakan."

   "Dengan orangnya?"

   "Kalau mungkin, lebih baik lagi."

   "Ke mana?"

   Kwan Cu merasa tidak enak dengan percakapan yang singkat-singkat ini, akan tetapi apa boleh buat, orang ini agaknya lebih suka bicara singkat.

   "Hendak menyeberangi laut, mencari pulau-pulau di dekat pantai."

   "Tak mungkin! Tidak ada perahu disewakan!"

   Jawab Kakek itu sambil menancapkan huncwenya di mulut lagi.

   "Lopek, aku tidak hendak menyewa perahumu kalau kau tidak menyewakannya. Akan tetapi aku akan menyewa perahu siapa saja yang suka menyewakan kepadaku,"

   Kata Kwan Cu agak keras karena dia merasa mendongkol sekali. Lalu pemuda ini memandang ke sekelilingnya dan berteriak,

   "Hei, saudara-saudara. Siapakah yang suka menyewakan perahunya kepadaku untuk menyeberangi laut mencari pulau? Aku berani membayar berapa saja yang dimintanya!"

   Mendengar pemuda ini berteriak-teriak, para nelayan lalu berlari-lari mendatangi. Mereka sebentar saja mengurung Kwan Cu dan Kakek itu sambil melepaskan huncwenya berkata kepada orang banyak,

   "Dengarkan orang gila ini! Dia hendak menyewa perahu menyeberangi laut mencari pulau. Agaknya dia sudah bosan hidup. Ha-ha-ha!"

   Ramailah suara para nelayan ketawa mengikuti Kakek itu.

   "Dengar!"

   Kwan Cu membentak! "kalau kalian begitu pengecut dan takut, biarlah aku menyewa perahunya saja. Tak usah aku diantar oleh penakut-penakut macam kalian. Biarkan aku menyewa perahu saja, berilah perahu yang baik dan kuat dan aku akan membayar mahal!"

   "Kau akan membayar dengan apa?"

   "Dengan emas. Lihat, aku mempunyai sekantong emas!"

   Kwan Cu lalu memperlihatkan sekantong emas yang dia dapat "Ambil"

   Dari rumah gedung seorang Bangsawan kaya raya ketika dia tiba di kota besar. Memang, pemuda ini yang tahu bahwa dia harus memiliki emas untuk menyewa perahu, telah mencuri uang emas sekantong dari Hartawan itu pada malam hari!

   "Hah, apa artinya emas? Tidak mengenyangkan perut!"

   Kakek itu berkata dan semua nelayan mengangguk menyatakan setuju.

   "Mengacaukan saja!"

   Kwan Cu tertegun dan penasaran.

   "Habis, apa yang kau kehendaki sebagai pembayaran sewa perahu?"

   "Apapun pembayaran yang kau janjikan, anak muda, di dusun kami tidak ada orang yang begitu gila untuk memberikan perahunya padamu, karena kalau perahu di berikan padamu, berarti perahu itu akan lenyap tenggelam di laut bersamamu!"

   Kwan Cu mendongkol sekali,

   "Tak kusangka orang-orang yang kelihatan kuat dan gagah seperti kalian ini, hatinya kecil dan penakut. Pula selain penakut tidak ramah dan tidak menolong orang. Hemmm, kecewa sekali aku datang ke tempat ini."

   Setelah berkata demikian, Kwan Cu hendak pergi dari situ, di dalam hatinya mengambil keputusan untuk mencuri saja sebuah perahu dan meninggalkan uang emasnya sebagai pembayaran! Akan tetapi, tiba-tiba terdengar seorang pemuda nelayan berkata kepada Kakek itu.

   "Lo-pek-pek, mengapa tidak kau suruh dia menyewa perahu Nenek gila?"

   Mendengar ucapan ini, semua orang ketawa.

   "Cocok sekali! Memang pantas kalau pemuda yang nekat dan bosan hidup ini berlayar dengan Nenek gila atau puteranya yang berotak miring!"

   Terdengar suara di antara gelak ketawa, Kwan Cu terheran, orang-orang ini tadinya pendiam dan berwajah keras, akan tetapi setelah disebutnya nama Nenek gila ini semua orang tertawa geli! Ia tertarik sekali dan menahan tindakan kakinya.

   "Di manakah dia si Nenek gila itu? Apakah betul-betul dia mempunyai perahu dan sekiranya dia mau menyewakan perahunya, biarpun gila akan kucoba datangi."

   Kakek nelayan itu menggelengkan kepalanya.

   "Anak muda, biarpun urusanmu tidak ada sangkut pautnya dengan kami dan kenekatanmu juga tidak merugikan kami, akan tetapi melihat sikapmu yang halus ini aku merasa kasihan juga. Memang di sini ada seorang Nenek gila dan puteranya yang setengah gila pula. Akan tetapi, mereka ini berbahaya sekali dan terasing hidupnya. Kalau kau mencoba mendekati mereka, aku khawatir kalau-kalau kau akan mati sebelum menyeberangi laut."

   Makin tertarik hati Kwan Cu.

   "Biarlah, di mana mereka tinggal? Akan kucoba menghubungi mereka."

   Kakek itu mengangkat pundaknya.

   "Benar kata mendiang Ayah dahulu bahwa orang-orang Selatan memang aneh sekali wataknya. Kau mau tahu? Pergilah ke pantai sebelah Barat kampung ini dan kau akan melihat sebuah pondok menyendiri di pantai yang ada hutannya. Di sana mereka tinggal."

   "Terima kasih, Lopek. Selamat tinggal!"

   Setelah mengucap demikian, Kwan Cu mempergunakan kepandaiannya meloncat pergi. Bengonglah semua nelayan ketika melihat betapa sekali berkelebat saja pemuda itu telah meloncat amat jauhnya dan sebentar pula lenyap dari pandangan mata! Kwan Cu melanjutkan perjalanannya dengan cepat, menuju ke hutan pinggir pantai seperti yang ditunjukkan oleh Kakek nelayan itu.

   Benar saja, dia melihat sebuah pondok kecil yang berbentuk segi empat di pinggir hutan, dekat pantai. Keadaan di situ amat sunyi karena di sekitar tempat itu tidak ada rumah lain. Juga di pekarangan yang kotor dari rumah itu tidak kelihatan seorang pun manusia. Keadaan benar-benar sunyi sekali. Kwan Cu menghampiri pondok itu dan keadaan di situ nampak menyeramkan. Tidak ada perabot rumah di situ, hanya ada dua buah batu karang yang besar di dalam rumah. Di antara batu karang ini, terdapat pula batu yang licin dan lebih besar, agaknya itulah kursi dan meja dari tuan rumah. Ia dapat melihat semua ini Karena rumah itu tidak ada daun pintunya. Demikianpun jendelanya di kanan kiri rumah tidak ada daun jendelanya, tinggal terbuka saja pintu dan jendelanya. Sampai lama Kwan Cu menanti, akan tetapi sudah jelas bahwa di dalam rumah itu tidak ada orangnya. Ia mencari-cari di depan dan belakang rumah, namun tidak kelihatan bayangan orang.

   Bahkan di pantai juga tidak kelihatan ada perahu. Namun jelas ada tanda-tanda bahwa tempat itu memang ditinggali orang, karena di sana-sini terdapat bekas-bekas orang, seperti tapak-tapak kaki, mangkok-mangkok pecah, dan pecahan-pecahan jala, bahkan ada berserakan tulang-tulang ikan di sana-sini. Juga ada tempat api di sudut dalam rumah itu. Kwan Cu sampai merasa kesal menanti di luar rumah, kemudian karena melihat di dalam rumah itu ada hiasan-hiasan dinding berupa gambar-gambar dan tulisan-tulisan sajak, dia memberanikan diri memasuki ambang pintu. Alangkah tertariknya ketika dia melihat lukisan-lukisan yang cukup indah, dan sajak-sajak tulisan dari Pujangga ternama. Hanya orang yang mengerti kesusastraan dengan baik saja yang mau menggantungkan lukisan dan sajak-sajak seindah itu, pikirnya.

   Makin tertariklah dia kepada penghuni rumah yang dikatakan gila oleh para nelayan itu. Siapakah mereka dan bagaimana mereka nanti menyambutnya? Akan tetapi, menanti-nanti datangnya penghuni rumah ini merupakan ujian berat bagi Kwan Cu karena ditunggu-tunggu sampai menjelang senja, belum juga penghuninya kelihatan kembali! Apakah mereka sudah meninggalkan rumah ini dan tidak akan kembali lagi? Ataukah barangkali para nelayan itu mempermainkannya? Akan tetapi tidak mungkin, karena tanda-tanda bahwa rumah ini masih ditinggali orang, ternyata dari adanya hiasan-hiasan dinding itu. Kalau mereka pergi takkan kembali lagi tentu lukisan-lukisan itu mereka bawa. Maka dia mengambil keputusan untuk menanti terus, dan kalau perlu dia akan bermalam di situ sampai besok pagi

   Senja telah berganti malam dan bulan sepotong muncul di langit Timur. Kwan Cu berdiri di depan jendela dan termenung, mengharapkan datangnya tuan rumah. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang amat menarik perhatiannya, di depan jendela itu ada semacam tumbuh-tumbuhan yang tadinya tidak menarik perhatiannya. Tetumbuhan ini batangnya hitam dan daun-daunnya tidak berapa banyak, berbentuk lonjong bundar dan tulang-tulang daunnya nampak jelas sekali, kehitaman membayang pada daun yang putih itu. Tidak ada yang aneh pada tetumbuhan ini, juga tidak kelihatan bunga atau buahnya. Akan tetapi yang amat menarik perhatian Kwan Cu, adalah kejadian yang bukan main anehnya. Tadinya daun-daun itu tidak bergerak sama sekali karena memang tidak ada angin yang dapat meniup daun-daun itu. Angin dari laut tertahan oleh bangunan rumah sehingga daun-daun itu terlindungi dari pada hembusan angin.

   Akan tetapi, ketika malam tiba dan beberapa ekor jengkerik datang, dan jangkerik-jangkerik itu menempel pada daun, mereka lalu jatuh ke bawah dan mati! Kwan Cu terheran-heran dan membungkuk untuk melihat lebih jelas keadaan jangkerik-jangkerik itu, dan apa yang dilihatnya? Jangkerik-jangkerik itu telah hangus badannya! Kwan Cu berdiri seperti patung, terkejut dan terheran-heran. Ia berlaku hati-hati dan tidak berani menjamah daun-daun itu, sungguhpun hatinya ingin sekali karena dia ingin tahu mengapa jangkerik-jangkerik itu bisa mati hangus begitu tersentuh pada daun-daun itu. Maka ketika ada beberapa ekor jangkerik terbang lalu, dia menyambar dengan tangannya dan menangkap tiga ekor jangkerik. Setelah itu, dia melemparkan jangkerik-jangkerik itu satu persatu menempel pada pohon dan akibatnya... benar-benar hebat! Binatang-binatang kecil itu lalu jatuh dan mati hangus pula!

   "Hebat,"

   Pikir Kwan Cu.

   "Daun mujijat apakah ini?"

   Akan tetapi pada saat itu, dari atas tanah merayap tiga ekor ulat berwarna hijau.

   Ulat-ulat itu besarnya sama dengan Ibu jari tangan manusia dan dengan gerakan yang menggelikan ulat-ulat itu merayap ke batang pohon kecil yang berdaun mujijat itu. Kwan Cu menduga bahwa tiga ekor ulat yang berjalan beriring-iringan ini tentu akan mengalami nasib serupa dengan para jengkerik, akan tetapi aneh. Kali ini ulat-ulat itu merayap dengan amat aman dan selamat, bahkan ketiga-tiganya lalu memilih daun yang segar digerogoti dengan rakusnya! Memang betul bahwa begitu ada ulat yang menempel pada sehelai daun, semua daun pohon itu serentak bergoyang-goyang dan bangkit seperti tadi, akan tetapi ulat-ulat itu tidak jatuh, bahkan merasa enak diayun-ayun oleh daun yang dimakan dan menambah kelezatan makannya. Sebentar saja masing-masing ulat telah menghabiskan sehelai daun!

   "Luar biasa sekali!"

   Pikir Kwan Cu.

   "Ada daun yang aneh, kini muncul ulat-ulat yang hebat pula!"

   Ia menjadi amat gembira dan lupa akan segalanya, lupa bahwa telah amat lama dia menanti di situ. Perhatiannya tertuju sepenuhnya pada ulat-ulat yang kini sudah mulai menggerogoti lain daun yang segar.

   Tiba-tiba terdengar suara melengking yang tinggi sekali sehingga menyakitkan anak telinga. Kwan Cu melihat sinar-sinar kecil menyambar ke arah pohon tadi dan alangkah kagetnya ketika melihat betapa ulat-ulat itu telah tertancap pada daun, di tubuh setiap ulat tertancap sebatang jarum putih yang halus sekali dan ada kepalanya merupakan titik bulat. Ulat-ulat itu tertancap dan tertusuk seperti disate, kini tak dapat melepasakan diri dari daun itu, hanya menggeliat-geliat! Bukan main heran dan kagetnya hati Kwan Cu. Orang yang dapat melepaskan jarum dari jarak jauh mengenai ulat-ulat itu dengan demikian tepatnya, tentulah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya dalam ilmu melepas Am-gi (Senjata-Gelap)! Dan hanya orang yang lihai sekali ilmu silatnya saja yang dapat melakukan hal itu.

   Ia tertarik dan hendak mengulur tangannya hendak mencabut jarum itu untuk di periksanya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara melengking mengerikan dan menyambarlah angin yang dahsyat dari luar jendela. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan jendela muncul bayangan seorang Nenek berpakaian putih dan berwajah pucat seperti mayat dan yang mengulurkan tangan kanannya yang berbentuk seperti cakar Burung! Nenek itu sambil mengeluarkan suara lengkingan tinggi mencakar ke arah dada Kwan Cu. Pemuda ini terkejut sekali dan cepat melompat mundur dengan muka pucat. Serangan tadi benar-benar berbahaya dan melihat cara Nenek ini menyerang, agaknya Nenek ini adalah seorang ahli ilmu silat Eng-Jiauw-Kang (Ilmu silat Cengkeraman Garuda). Cengkeraman itu tidak saja dapat merobek kulit daging bahkan akan dapat menghancurkan batu karang yang keras!

   "Suthai, harap maafkan Teecu,"

   Kata Kwan Cu cepat-cepat.

   "Teecu telah berlaku lancang berani memasuki rumah Suthai."

   Melihat cara Nenek itu berpakaian, dia mengira bahwa Nenek itu tentulah seorang pertapa, maka dia menyebut Suthai.

   "Apakah kau mau mencuri daun-daun Liong-Cu-Hio (Daun Mustika Naga) ini?"

   Tanya Nenek itu dan sepasang matanya terputar-putar dan mulutnya menyeringai. Suaranya tinggi dan kecil seperti Suling ditiup.

   "Tidak, tidak, Suthai. Teecu mana berani mencuri daun-daun mujijat itu? Bahkan menyentuh pun Teecu tidak berani, setelah melihat betapa daun-daun itu dapat menghanguskan tubuh binatang-binatang jangkerik."

   Nenek itu tertawa dengan suara menyeramkan.

   "HI-hi-hi-hi-hi! Kau telah melihatnya, bukan? Hi-hi-hi, kau mengetahui kelihaiannya? Kalau kau menyentuh daunnya, tanganmu akan menjadi hangus, hi-hi-hi!"

   Kemudian Nenek itu memandang kepada ulat-ulat yang masih tertancap oleh jarum-jarumnya.

   "Hah, ulat-ulat menjemukan. Hanya binatang ini saja yang sanggup makan Liong-Cu-Hio dengan enaknya. Akan kubasmi semua ulat ini!"

   Ia mencabuti jarum-jarumnya dan melepaskan ulat-ulat itu dari jarum-jarum, terus memasukkan tiga ekor ular itu ke dalam mulutnya yang ompong! Dengan enaknya dia mengunyah tubuh ulat-ulat yang kehijauan itu dan ada air yang kehijauan mengalir di pinggir bibirnya terus ke dagu. Kwan Cu bergidik menyaksikan kejadian yang amat mengerikan hati ini. Tak terasa pula dia menelan ludahnya melihat betapa Nenek itu makan ulat hidup demikian enaknya, bukan sekali-kali karena dia ingin dan timbul seleranya, dia ingin muntah dan terpaksa menelan ludah untuk menahan keinginannya itu.

   "Kau ingin makan ulat ini?"

   Tanya Nenek itu kepada Kwan Cu. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat.

   "Tidak, tidak, terima kasih banyak, Suthai. Teecu sudah makan tadi di dusun Kim-Le-Pang."

   Nenek itu kembali memandangnya dengan mata yang aneh.

   "Kau nelayan?"

   "Bukan, Suthai. Teecu adalah seorang perantau yang sengaja datang ke tempat ini untuk berusaha menyewa sebuah perahu."

   "Mau menyewa perahu mengapa datang kesini? Apakah kau tidak mendengar bahwa siapa yang memasuki rumahku ini harus mati?"

   Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang amat gesit, Nenek itu melompat dari jendela, memasuki rumah itu dan langsung menyerang Kwan Cu! Serangannya ini tak salah lagi adalah Eng-Jiauw-Kang seperti yang pernah Kwan Cu pelajari dari Suhunya. Maka dengan cepat dia melompat mundur sambil mengelak.

   "Suthai, maafkan Teecu. Teecu datang bukan dengan maksud buruk. Harap maafkan kelancangan Teecu."

   "Hi, hi, hi, kau dapat mengelak dari seranganku? Hendak kulihat sampai berapa lama kau dapat bertahan!"

   Setelah berkata demikian, Nenek itu terus mendesak dengan serangan-serangannya yang lihai. Terpaksa Kwan Cu melayaninya dan pemuda inipun lalu mengeluarkan ilmu silatnya untuk mengimbangi serangan Nenek itu. Kalau dia hanya mempertahankan diri, banyak bahayanya dia akan terluka. Kedua tangan Nenek itu benar-benar berbahaya sekali, kukunya panjang dan tangannya amat kuatnya, tanda bahwa tenaga Lweekang Nenek itu sudah tinggi.

   "Hi-hi-hi, kau dapat melawanku, benar-benar mengagumkan! Eh, ilmu silatmu hampir sama dengan Pai-Bun-Tui-Pek-To!"

   Kwan Cu terkejut. Memang dalam menghadapi serangan Nenek itu, dia tadi bermain ilmu silat Pai-Bun-Tui-Pek-To yang mempunyai daya tahan kuat sekali. Bagaimana Nenek aneh ini dapat mengenal ilmu silatnya?

   "Memang Teecu mainkan Pai-Bun-Tui-Pek-To, Suthai. Teecu belajar dari Ang-Bin Sin-Kai Guruku!"

   Ucapan ini sengaja dia keluarkan dengan harapan kalau-kalau Nenek itu sudah mengenal Suhunya dan dapat menghentikan serangannya. Akan tetapi, tiba-tiba Nenek itu menyerang makin hebat lagi.

   "Bagus, hendak kulihat sampai di mana kepandaian murid Ang-Bin Sin-Kai si Pengemis jembel!"

   Menghadapi serangan Eng-Jiauw-Kang yang dilakukan dengan gerakan lincah dan cepat sekali, Kwan Cu menjadi kewalahan dan terpaksa dia mengeluarkan Sulingnya. Kini dia mainkan ilmu Pedang Hun-Kai Kiam-Hoat dengan Sulingnya, juga dia membalas dengan serangan yang hebat sekali. Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda tinggi besar dari pintu yang tak berdaun itu. Pemuda ini membawa sebatang dayung yang panjang dan lebar.

   "Ibu, siapakah sahabat yang gagah perkasa ini?"

   Tanya pemuda itu sambil memukulkan dayungnya pada tanah sehingga tergetarlah rumah itu. Kwan Cu terkejut sekali. Pemuda ini memiliki tenaga Gwakang yang demikian besarnya, kalau dia ikut maju, dia akan menghadapi dua orang lawan yang sama sekali tak boleh dipandang ringan! Akan tetapi, tiba-tiba Nenek yang aneh itu tertawa berkikikan dan menghentikan serangannya.

   "Kong Hoat, inilah pemuda yang ada harapan,"

   Katanya kepada pemuda yang ternyata adalah puteranya dan bernama Kong Hoat itu.

   "Dia inilah murid Ang-Bin Sin-Kai, jago tua yang amat kukagumi."

   Kwan Cu cepat menoleh dan dia melihat seorang pemuda tinggi besar yang berwajah gagah sekali, usianya hanya lebih dua tahun dari padanya, akan tetapi mempunyai potongan tubuh yang lebih besar darinya. Ia kagum sekali melihat pemuda ini yang tertawa-tawa seperti orang yang gembira selalu. Dengan amat hormat, Kwan Cu menjura kepada pemuda itu dan kepada Nenek yang tadi menyerangnya.

   "Aku yang bodoh bernama Lu Kwan Cu, murid dari Ang-Bin Sin-Kai. Harap dimaafkan apabila tanpa mendapat ijin, aku berani memasuki rumah ini. Kedatanganku sebetulnya atas petunjuk para nelayan di dusun Kim-Le-Pang, karena aku mencari sewaan sebuah perahu. Besar harapanku akan mendapat pertolongan dari Ji-wi yang mulia."

   "Kau mencari perahu, sahabat? Untuk dipakai kemanakah?"

   Tanya Kong Hoat sambil memandang tajam. Suara pemuda ini besar dan parau dan pandangan matanya amat jujur. Kwan Cu merasa tidak enak kalau berbohong akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat menceritakan rahasia dan cita-citanya.

   "Sesungguhnya, aku bermaksud untuk menyeberangi laut dan akan melakukan perantauan ke pulau-pulau yang berada di tengah laut. Aku mendengar dari Guruku bahwa pulau-pulau itu mengandung rahasia-rahasia yang menarik hati, dan sebagai seorang pemuda, aku amat tertarik dan ingin sekali menyaksikan dengan mata sendiri."

   Kong Hoat melemparkan dayungnya ke sudut lalu pergi duduk di atas sebuah batu karang yang berada di dalam rumah.

   "Aneh, aneh sekali! Tahukah kau bahwa pulau-pulau itu didiami oleh makluk-mahluk aneh yang amat berbahaya? Jangankan kau seorang diri yang masih muda, Ibuku sendiripun tak berani pergi ke pulau-pulau itu."

   "Siapa yang pergi kepulau-pulau itu, sama halnya dengan mencari kematian sendiri. Hi-hi-hi, murid Ang-Bin Sin-Kai, kau benar-benar lucu dan aneh, lebih aneh dari pada Ang-Bin Sin-Kai sendiri. Kau mati sih tidak apa, akan tetapi sayang sekali karena kau masih muda dan juga tampan dan gagah. Batalkan saja kehendakmu itu."

   Mendengar ucapan ini, Kwan Cu maklum bahwa Nenek itu sama sekali tidak gila, apalagi puteranya, biarpun pakaian puteranya itu tidak karuan dan amat bersahaja, yakni celana pendek sebatas lutut dan baju yang hanya sebatas siku lengannya saja.

   "Terima kasih atas nasihatmu, Suthai dan kau juga, saudara. Akan tetapi, justru keanehan dan bahaya itulah yang menarik hatiku untuk mengunjunginya. Kalau sekiranya Ji-wi tidak berani mengantar, aku akan meminjam perahu Ji-wi saja atau menyewanya, dan aku akan mendayungnya seorang diri ke tempat itu."

   Kong Hoat bangkit berdiri dan membanting-banting kedua kakinya di atas tanah. Kembali terasa tanah bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga bantingan kaki pemuda tinggi besar ini.

   "Itulah, itulah! Sudah berkali-kali aku rindu akan perantauan yang banyak bahayanya, akan tetapi Ibu..."

   "Kong Hoat! Siapa yang melarang kau pergi? Pergilah kalau kau memang sudah tega meninggalkan Ibumu mati kesunyian."

   Kong Hoat tertawa dan aneh sekali! Biarpun mulutnya tertawa, namun kedua matanya mengeluarkan air mata bercucuran! Kwan Cu berdiri bengong melihat keanehan ini? Kalau tidak gila, mengapa dia tertawa sambil mengucurkan air mata?

   "Ibu, kau lucu sekali. Kau melepaskan anakmu, akan tetapi mengikat kedua kakiku dengan omongan itu. Aku mana bisa meninggalkan Ibu? Biar mati aku tidak mau meninggalkan Ibu tercinta!"

   Dan kini Nenek itulah yang menangis terisak-isak lalu menghampiri puteranya yang segera di peluknya.

   "Kong Hoat, Kong Hoat, kau puteraku yang paling baik""

   Terharu hati Kwan Cu menyaksikan cinta kasih seorang Ibu dan bakti seorang putera terhadap Ibunya.

   
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Saudara Kwan Cu, kalau kau nekat hendak melakukan perjalanan berbahaya itu, kau pakailah perahuku."

   "Aku akan meyewanya, di sini aku membawa sekantong uang emas untuk menyewa perahu itu""

   Tiba-tiba Nenek itu melompat dan menyerangnya dengan cengkeraman tangannya. Kwan Cu cepat mengelak dan Kong Hoat berseru,

   "Ibu jangan"!"

   Ibunya menarik kembali seranganya dan pemuda tinggi besar itu berkata kepada Kwan Cu.

   "Saudara, kau menghina kami! Baiknya aku ingat bahwa kau bermaksud baik, kalau tidak tentu aku akan membantu Ibu membunuhmu karena kau telah menghina kami orang-orang miskin".

   "Maaf, maaf, aku tidak bermaksud menghina..."

   Kata Kwan Cu kaget sekali.

   "Kami tahu, dan karena itu sudahlah jangan bicara lagi tentang sewa perahu. Aku memberikan perahu kami kepadamu dan habis perkara! besok pagi-pagi, kau boleh berangkat dan malam ini biarlah kita bercakap-cakap sambil menanti datangnya fajar. Berangkat di waktu fajar menyingsing baik sekali, angin tenang dan tidak ada ombak. Aku pun baru saja kembali mencari ikan dan mari kita makan ikan yang kudapat dari laut."

   Kwan Cu tidak berani banyak omong lagi, khawatir kalau-kalau kesalahan bicara lagi. Kong Hoat lalu berlari keluar dan tak lama kemudian dia kembali membawa seekor ikan yang sebesar paha. Ikan ini aneh sekali, badannya seperti ikan biasa yang bersisik besar-besar warna merah, akan tetapi kepalanya bulat dan kedua matanya berhimpitan di atas sedangkan mulutnya berada di bawah. Kepala ikan ini seperti kepala kucing, akan tetapi warna aneh, mengingatkan orang akan muka atau kepala seekor binatang suci Kilin.

   "Ha, Kong Hoat, anak baik. Jadi kau berhasil menangkapnya?"

   "Setelah berjuang mati-matian dari pagi sampai malam, Ibu,"

   Jawab Kong Hoat sambil tertawa bergelak dan kembali dari kedua matanya bercucuran air mata! Kwan Cu menjadi bengong.

   "Eh, saudara Kong Hoat, maafkan aku. Apakah kau mau artikan bahwa sehari semalam kau berlayar mencari ikan hanya untuk menangkap seekor ikan aneh ini?"

   Kong Hoat dan Ibunya saling pandang, kemudian tertawa bergelak-gelak dan kelihatan geli sekali.

   "Saudara Kwan Cu, nasibmu memang baik maka datang-datang kau mendapat suguhan ikan ini. Ketahuilah, ikan seperti ini di seluruh laut kuning barangkali hanya ada beberapa puluh ekor saja. Disebutnya ikan Kilin dan selain sukar didapatkan, juga amat sukar ditangkap. Hampir aku mati kehabisan napas dalam air ketika aku berusaha menangkapnya, padahal dia telah terkena tusukan tombakku."

   "Mengapa kau mati-matian menangkapnya? Apakah karena dagingnya enak sekali?"

   Kembali Ibu dan anak itu tertawa bergelak,

   "Ah, orang kota hanya memikirkan tentang kelezatan makanan, sama sekali tidak memikirkan khasiatnya,"

   Mendengar ini merahlah wajah Kwan Cu

   "Maafkan aku yang bodoh,"

   Kata Kwan Cu.

   "Sesungguhnya bukan karena aku terlalu temaha akan makanan enak, hanya karena aku sama sekali belum mengerti ikan. Harap Ji-wi (kalian berdua) sudi memberi penjelasan tentang ikan Kilin ini dan segala keanehanya."

   Setelah tertawa geli tanpa maksud menghina tamunya, pemuda tinggi besar itu lalu berkata,

   "Saudara Kwan Cu, ketahuilah bahwa ikan Kilin ini terdapat di sekitar Laut Po-hai terus ke Timur. Akan tetapi, jarang sekali ikan Kilin mau berenang ke pinggir pantai dan merupakan hal yang amat langka bagi seorang nelayan untuk mendapatkan ikan ini. Oleh karena itu ketika beberapa lama yang lalu aku melihat seekor ikan Kilin berenang di pinggir perahu, aku terkejut dan tidak pernah dapat tidur nyenyak sebelum aku berhasil menangkapnya."

   "Kalau begitu memang ikan yang aneh dan sukar didapat,"

   Kata Kwan Cu sambil tersenyum melihat sikap pemuda nelayan itu yang bercerita dengan gaya lucu.

   "Akan tetapi, apakah khasiat dari daging ikan ini?"

   Pemuda yang bernama Kong Hoat itu menengok kepada Ibunya dan bertanya,

   "Bolehkah aku menceritakannya Ibu?"

   Nenek yang berwajah mengerikan itu mengangguk.

   "Boleh saja, dia adalah seorang pemuda gagah yang berbakat baik dan sebagai murid Ang-Bin Sin-Kai, dia bahkan berhak merasai daging ikan Kilin. Kau berceritalah sementara aku mengurus ikan ini."

   Setelah berkata demikian, Nenek itu lalu mengangkat ikan tadi, dibawanya ke dapur. Adapun Kong Hoat tertawa-tawa, lalu berkata kepada Kwan Cu.

   "Saudara yang baik, maafkan kalau tadi aku ragu-ragu karena aku harus minta ijin dari Ibuku lebih dulu sebelum membuka rahasia tentang ikan itu."

   "Tidak apa, saudara Kong Hoat. Aku bahkan kagum sekali melihat sikapmu kepada Ibumu, sebagai sikap seorang Hauw-ji (anak berbakti) tulen!"

   "Mendiang Susiok (Paman Guru),"

   Kata Kong Hoat tanpa memperdulikan pujian Kwan Cu.

   "Adalah seorang ahli dalam ilmu berenang dan menyelam. Dari Susiok inilah aku mendengar bahwa untuk dapat menjadi ahli dalam air, maka obat yang paling baik adalah ikan Kilin. Dagingnya dapat menguatkan tubuh dan lemaknya apabila dimakan, membuat kulit kita tahan akan tekanan air dingin dan gigitan air garam. Tulang-tulang siripnya kalau dikeringkan dan dijadikan bubuk, dapat menjadi obat yang mujarab sekali bagi kita sehingga tulang-tulang kaki tangan kita menjadi amat kuat untuk memukul air dalam berenang. Lemaknya dapat dijadikan minyak dan apabila kita menggunakan minyak ini untuk membasahi kulit, maka tubuh kita akan menjadi licin sehingga memudahkan kita bergerak di dalam air. Yang hebat adalah paru-parunya, karena paru-paru ini merupakan obat sehingga kita akan kuat bertahan lama-lama di dalam air tanpa kehabisan napas."

   Akan tetapi Kwan Cu tidak tertarik oleh semua ini. Memang dia tidak tertarik akan kepandaian di dalam air. Sebagai seorang yang biasa merantau di darat, tentu saja dia tidak begitu tertarik seperti Kong Hoat yang memang semenjak kecil bermain-main di dekat air selalu.

   Betapapun juga, ketika daging ikan Kilin disuguhkan, Kwan Cu makan beberapa potong dan merasa betapa daging itu mendatangkan hawa hangat di dalam perut dan dadanya. Tahulah dia bahwa memang daging ini mengandung khasiat yang amat baik bagi peredaran darahnya, sehingga dia menjadi girang dan menghaturkan terima kasihnya. Kini mereka bercakap-cakap bertiga. Dalam percakapan ini tahulah Kwan Cu bahwa wanita tua itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal dan yang pernah disebut-sebut namanya oleh Suhunya, yakni yang disebut-sebut Liok-Te Mo-Li (Iblis Wanita Bumi). Adapun Kong Hoat adalah putera tunggalnya yang dididik ilmu silat olehnya semenjak kecil sehingga pemuda itu pun memiliki kepandaian yang tinggi.

   "Saudara Kwan Cu, sungguh amat mengherankan hati kami. Kau yang begini muda mempunyai keinginan mengarungi samudra, berkelana dengan perahu di daerah yang terkenal amat berbahaya ini, sebenarnya kau mencari apakah?"

   Tanya Kong Hoat. Kwan Cu tersenyum. Ia merasa tidak enak untuk membohong kepada orang-orang yang jujur dan baik ini, akan tetapi untuk berkata terus terang bahwa ia mencari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, dia pun tidak berani. Suhunya sudah memesan kepadanya dengan sungguh-sungguh agar dia jangan sekali-kali menceritakan kepada siapapun juga tentang kitab itu. Maka dia berkata,

   "Saudara yang baik, sebagai seorang pemuda aku hanya ingin meluaskan pengetahuanku saja, hendak melihat apakah yang terdapat di sebelah sana samudera yang luas ini."

   Kong Hoat memandang kepadanya dengan kagum dan dari pandangan mata ini tahulah Kwan Cu bahwa sebetulnya pemuda itu ingin pergi seperti dia. Tak terasa pula fajar telah menyingsing dan Kwan Cu segera berdiri lalu berpamit kepada tuan rumah.

   "Nanti dulu, kau boleh mempergunakan dayung simpananku yang paling baik,"

   Kata Kong Hoat yang segera berlari ke belakang. Tak lama kemudian dia kembali membawa sebatang dayung berwarna hitam yang panjang dan berat.

   "Dayung ini jauh lebih baik dari pada lima batang dayung biasa."

   Kata Kong Hoat gembira.

   "Kau seorang pemuda gagah perkasa, amat cocok memegang dayung ini, saudara Kwan Cu."

   Kwan Cu menerima dayung itu dan ternyata bahwa dayung itu terbuat dari pada baja hitam yang kuat sekali. Selain dapat digunakan sebagai dayung, juga dapat dipergunakan sebagai senjata yang boleh diandalkan.

   "Terima kasih saudara Kong Hoat. Kau baik sekali dan mudah-mudahan saja aku akan mendapat kesempatan membalas budimu yang baik ini."

   Kata Kwan Cu girang. Kong Hoat lalu memberikan perahunya kepada Kwan Cu, bahkan membantu Kwan Cu mengangkat perahu itu ke pinggir dan menurunkannya di air. Matahari baru nampak sinarnya yang kemerahan di permukaan laut, akan tetapi Raja siang itu sendiri belum memperlihatkan dirinya yang agung.

   "Ingat, saudara Kwan Cu, dalam bulan ini angin bertiup dari Selatan menuju ke Utara dan ombak yang paling dahsyat terdapat di mulut Laut Po-hai. Bagian Barat tidak berbahaya akan tetapi kalau kau memasuki Laut Po-hai hati-hati jangan kau membiarkan perahumu mendekati kepulauan yang berada di sebelah Utara dekat mulut Sungai Yalu, karena di situ terdapat pulau-pulau aneh yang amat berbahaya, selain itu, terdapat pula batu-batu karang yang sukar dilalui perahu. Itu semua masih belum hebat, karena sebelum tiba di daerah berbahaya itu, kau akan berhadapan dengan ikan-ikan hiu yang amat liar dan ganas."

   "Terima kasih atas segala nasihatmu, saudara Kong Hoat, akan kuingat baik-baik semua nasihat itu,"

   Jawab Kwan Cu. Tiba-tiba Nenek tua Liok-Te Mo-Li datang berlari-lari. Tangannya membawa bungkusan kuning dan ia berkata kepada Kwan Cu,

   "Kau seorang pemuda yang berani, dan sebagai tamuku, sudah semestinya kalau aku memberi sedikit bekal. Nah, kau terimalah beberapa helai daun Liong-Cu-Hio (Daun Mustika Naga) ini untuk bekal di tengah pelayaranmu yang berbahaya itu."

   Sambil berkata demikian, Nenek itu memberikan bungkusan kuning kepada Kwan Cu. Kwan Cu menerimanya sambil menghaturkan terima kasih. Akan tetapi ketika dia teringat akan nama daun itu sebagai daun ajaib, yang membunuh jangkrik-jangkrik malam tadi, dia menjadi ngeri.

   "Maaf, Suthai, biarpun Teecu berterima kasih sekali, akan tetapi tolonglah menerangkan kepada Teecu yang bodoh tentang khasiat daun-daun ini untuk Teecu. Terus terang saja Teecu masih merasa ngeri apabila melihat keliahaian daun ini. Sekarang Suthai memberi bekal ini, bagaimanakah Teecu harus mempergunakannnya?"

   Liok-Te Mo-Li tertawa berkikikan.

   "Memang, siapa orangnya yang takkan merasa ngeri? Memegang saja tanganmu akan menjadi hangus! Akan tetapi ada daya penolaknya, anak muda, sebelum kau memegang daun-daun ini, kau basahi kedua tanganmu dengan air laut lebih dulu. Air garam itu mempunyai daya untuk menolak racun yang keluar dari daun-daun itu. Pada saat kau menghadapi bahaya dari ikan-ikan buas, kau lemparkan saja daun-daun ini ke air dan karena air laut menutupi racun daun, tentu ikan-ikan itu tidak mengetahui akan bahayanya daun-daun ini dan mereka akan menelannya mentah-mentah. Dan kalau mereka kemasukan daun-daun ini di dalam perutnya, ha-ha-ha, kau akan melihat pesta yang hebat akan tetapi terhindar dari ancaman ikan-ikan itu. Nah, selamat kau akan berlayar, anak muda. Apabila bertemu dengan Gurumu, katakan bahwa Liok-Te Mo-Li masih hidup dan mengharapkan dapat bertemu dengan dia."

   Sambil tertawa-tawa Nenek itu lau berlari pergi meninggalkan Kwan Cu dan Kong Hoat.

   "Selamat saudara Kwan Cu. Ternyata Ibuku amat suka kepadamu, kalau tidak demikian tidak mungkin kau akan diberi daun Liong-Cu-Hio itu. Kau tahu, dia amat sayang kepada daun-daun aneh itu dan agaknya dia rela mengorbankan nyawa untuk menjaga daun-daun itu. Sekarang atas kehendak sendiri ia memberi daun-daun kepadamu, itu pertanda bahwa kita memang berjodoh. Harap kau berhasil dengan usahamu, saudaraku yang baik."

   Kwan Cu terkejut dan memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan kepada pemuda tinggi besar itu. Kong Hoat tertawa bergelak dan kembali kedua matanya mengucurkan air mata!

   "Jangan heran, kawanku. Kami bukanlah orang jahat dan juga orang-orang terlalu bodoh. Ibu dan aku sudah dapat menduga bahwa kau tentu mencari sesuatu atau setidaknya mengandung maksud tertentu sehingga kau berani berlayar menuju ke pulau-pulau aneh itu. Kalau tidak demikian, sungguh hanya seorang yang miring otaknya yang mau pergi berlayar ke sana tanpa tujuan tertentu. Dan kami tahu betul bahwa kau tidak berotak miring, bahkan cerdik sekali."

   "Akan tetapi, alasan itu tidak cukup untuk membuat kalian menduga bahwa aku pergi dengan tujuan sesuatu,"

   Kwan Cu membantah.

   "Sahabat baik, Kau kira kami orang-orang yang tidak bertelinga? Sudah biasanya bahwa tempat-tempat yang aneh dan berbahaya terdapat barang-barang yang aneh dan berbahaya pula. Mustika yang paling baik adalah mustika naga. Gigi yang baik adalah gigi Harimau, dan tanduk yang paling kuat adalah tanduk di mulut gajah. Kami sudah mendengar bahwa di pulau-pulau yang amat aneh dan berbahaya itu terdapat barang-barang aneh dan amat berharga. Aku sendiri kalau tidak ditahan oleh Ibuku, sudah lama menyelidiki keadaan pulau-pulau aneh itu."

   Ketika mengeluarkan kata-kata ini, Kong Hoat Nampak kecewa sekali. Akan tetapi dia segera menyambungnya,

   "Apapun juga yang kupikirkan, memang Ibu lebih benar. Kepandaianku belum cukup untuk dapat kupergunakan menyelidiki pulau-pulau yang berbahaya itu, berbeda dengan kau, saudara Kwan Cu. Kepandaianmu amat tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada kepandaian Ibu sendiri, maka hanya kau lah yang kiranya akan dapat mendatangi pulau itu dengan berhasil."

   "Kau terlalu memuji, saudara Kong Hoat. Akan tetapi biarlah pujianmu itu kuangggap sebagai doa mu dan terima kasih banyak atas keramahanmu dan juga sampaikan terimakasihku kepada Ibumu mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali kelak."

   Setelah berkata demikian, Kwan Cu mulai mendayung perahunya ketengah, dipandang oleh Kong Hoat yang berdiri bagaikan Raksasa muda, dengan kedua kakinya dipentang lebar dan kedua tangannya di pinggang. Pemuda ini merasa iri hati dan ingin sekali dia dapat mengggantikan Kwan Cu berlayar menuju pulau-pulau yang penuh rahasia itu.

   Dayung pemberian Kong Hoat memang baik sekali. Dayung ini panjang berat dan ujungnya lebar serta cekung sehingga sekali saja mendayung, perahu bergerak maju dengan pesatnya. Kwan Cu merasa gembira sekali dan setelah beberapa kali menggerakkan dayungnya, perahunya meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Pemandangan indah sekali. Permukaan air bagaikan kaca, diam tak bergerak dan berkilauan, berwarna hijau kemerahan karena sinar matahari yang merah terbayang di permukaan air. Air yang diterjang oleh kepala perahunya pecah menjadi dua seperti sutera digunting. Tenaga dayungnya demikian kuat sehingga air pecah oleh perahunya tidak mengeluarkan suara. Perahunya meluncur cepat tanpa bergoyang, enak dan nyaman sekali. Kehidupan di laut nampak mati tiada seekor pun Burung laut terbang di atas air, tiada seekor pun ikan nampak bergerak di permukaan laut.

   Benar-benar hening dan sunyi menimbulkan suasana yang menyeramkan, seakan-akan laut itu berubah menjadi alam maut yang tiada ujungnya. Namun Kwan Cu tidak merasa takut. Biarpun dia tidak pernah berlayar dan tidak pernah berada di laut, hatinya berdebar penuh ketegangan. Ia teringat bahwa dia dianggap sebagai "Anak laut"

   Oleh Ang-Bin Sin-Kai dan Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu, dua Kakek yang menemukan dia terlempar oleh ombak samudra. Agaknya kenangan inilah yang membuat Kwan Cu selalu berdebar aneh apabila dia teringat akan laut. Kini setelah dia mendapatkan dirinya terapung di atas laut seorang diri di dalam perahunya, dia merasa seakan-akan dia telah kembali ke alam asalnya dari mana dia datang! Setelah matahari mulai nampak di permukaan laut, merupakan bola besar berwarna merah yang bernyala-nyala, kehidupan mulai tampak.

   Air yang tadinya "tidur"

   Mulai bergerak sedikit dan di kanan kirinya mulai kelihatan air itu berkeriput. Mulai terdengar suara mencicit dari Burung-Burung laut yang berterbangan di atas air, menyambar-nyambar ke air mencari mangsa pengisi perut. Mulai terdengar air berkecipak kalau ada ikan yang mulai "Mandi"

   Cahaya matahari di permukaan air. Mulai kelihatan kehidupan di dalam air melalui sinar matahari, karena kini makin banyaklah kelihatan ikan berenang ke sana ke mari seperti kesibukan orang-orang yang bangun dari tidur dan mulai dengan pekerjaan masing-masing. Melihat semua ini, Kwan Cu tertarik sekali dan dia menghela napas berulang-ulang. Ia ingat akan ajaran-ajaran dari Gui Tin atau Gui-Siucai yang sudah meninggal dunia. Gurunya itu dahulu seringkali mengajarkanya tentang filsafat hidup, tentang ujar-ujar para cerdik pandai di jaman dahulu.

   Alam itu kekal abadi

   karena hidup bukan untuk diri pribadi

   Ucapan di atas itu dari Nabi Lo Cu dan kini Kwan Cu menyaksikan betapa hebatnya dan besarnya alam dunia. Hidup dekat dengan masyarakat, yakni dengan sesama manusia, ucapan ini takkan ada artinya atau setidaknya takkan kelihatan isi atau inti sarinya. Ini dikarenakan manusia memang hidup penuh nafsu dan selalu melakukan sesuatu dengan tujuan demi kepentingan diri pribadi. Mementingkan diri pribadi inilah sumber dari pada segala malapetaka yang terjadi di antara manusia. Kini, setelah berada seorang diri di atas lautan, Kwan Cu terbuka matanya dan dia melihat, dan mengakui kebesaran alam yang kekal abadi, melihat pula apa maksud kata-kata Pujangga atau Nabi Lo Cu tentang alam yang hidup bukan untuk kepentingan diri pribadi. Lihat saja matahari itu.

   Dia muncul dan tenggelam sesuai dengan tugasnya yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Dia melakukan tugasnya, semata-mata untuk memberi atau menjadi kegunaan bagi setiap yang membutuhkannya, sedikit pun tidak pernah meminta, itulah sang matahari. Lihatlah lautan bebas, pusat kehidupan, tidak saja pusat kehidupan berjuta macam ikan dan benda hidup lainya, juga pusat kehidupan manusia dan makluk di darat. Dari laut datangnya zat kehidupan, karena dari lautlah datangnya air di darat. Akan tetapi, seperti matahari sifatnya, laut pun tak pernah meminta, hanya memberi sifat alam yang suci. Alam memberi, memberi dan memberi, tak pernah meminta. Segala sesuatu di alam ini, dapat di pergunakan oleh manusia, bahkan setelah manusia mati, bumi masih memberi tempat untuk menyelimuti jenazahnya!

   Melihat Burung beterbangan di angkasa dan ikan-ikan berenang di dalam air dengan bebas dan senangnya, tersenyumlah Kwan Cu. Mengapa justeru Burung diberi sayap sehingga pandai terbang di angkasa sedangkan ikan diberi kesanggupan hidup di dalam air? Alangkah besar perbedaan antara kedua jenis binatang ini dan mereka ini keduanya adalah makluk hidup! Alangkah besar kekuasaan Thian, alangkah indahnya alam dan isinya, alangkah gaib dan penuh rahasia mujijat yang luar biasa hebatnya adalah pekerjaan Thian. Dan dia, seorang manusia, seorang makluk jenis lain pula, kini saksi segala keindahan itu. Sambil menikmati kehebatan pembukaan kebesaran alam di depan matanya Kwan Cu melanjutkan gerakan dayungnya, menuju ke arah kelompok pulau terdekat yang nampak dari situ sebagai bayang-bayang membiru.

   Hatinya diliputi kesegaran semangat dan kegembiraan. Dorongan aneh membuat dia demikian girang sehingga pemuda ini sambil mendayung perahunya lalu bernyanyi! Menjelang tengah hari belum juga perahunya tiba di kelompok pulau yang sudah kelihatan semenjak pagi tadi. Kwan Cu terheran-heran. Pulau-pulau itu tidak juga berubah. Apakah perahunya tidak bergerak maju? Tidak mungkin, pikirnya. Memang karena di seluruh penjuru perahu hanya kelihatan air belaka, nampaknya perahu itu tidak bergerak. Akan tetapi kalau dilihat air yang terpecah oleh kepala perahunya, jelas kelihatan bahwa perahunya bergerak dengan pesat ke depan. Inilah keanehan pertama yang dialami oleh pemuda ini. Sebetulnya kelompok pulau-pulau itu masih amat jauh.

   Hanya sinar matahari yang menipunya sehingga kelihatannya amat dekat kelompok pulau itu. Ia merasa penasaran dan mengerahkan tenaganya, mendayung lebih cepat lagi, ke arah kelompok pulau itu. Ia memang tidak tahu di mana letaknya pulau yang dijadikan tempat menyimpan kitab rahasia Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng karena di dalam kitab sejarah penginggalan Gui-Siucai hanya ditulis bahwa kitab rahasia itu disimpan di dalam sebuah pulau kosong, kecil berbentuk bundar yang ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih, yang terdapat di antara pulau-pulau besar di lautan ini. Akan tetapi, Kwan Cu mengambil keputusan untuk mengunjungi semua pulau yang berada di situ dan akhirnya tentu dia akan dapat mencari pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih itu.

   Akan tetapi setelah matahari condong ke Barat, terjadi keanehan kedua. Kalau tadi kelompok pulau-pulau itu tak pernah juga kelihatan makin dekat biar pun dia telah mendayung perahunya secara cepat sekali selama setengah hari, kini tiba-tiba kelompok pulau itu bahkan menghilang dari pandangan mata! Kwan Cu menghentikan gerakan dayungnya dan memandang ke sekeliling dengan bingung. Tak salah lagi tadi kelompok pulau itu berada di depan, mengapa sekarang tiba-tiba lenyap? Hal ini pun akibat permainan matahari yang membuat kepulauan itu lenyap ditelan uap putih yang membubung naik dari laut sehingga pandang mata pemuda itu tak dapat menembusnya dan membuat kelompok kepulauan itu tidak kelihatan olehnya. Kwan Cu teringat akan kata-kata Kong Hoat tentang keanehan lautan ini maka dia tersenyum dan berkata,

   "Memang aneh sekali. Akan tetapi biarlah, aku harus melanjutkan dan mengambil jurusan yang berlawanan dengan matahari, siapa tahu kalau-kalau kepulauan tadi akan mucul pula setelah puas menggodaku."

   Pemuda yang tabah ini lalu mendayung terus dan mulau berpeluh karena matahari telah membakar kulitnya. Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan gemuruh yang mengerikan dari arah kiri. Kwan Cu yang tidak bisa berlayar, tidak tahu suara apakah itu. Ia menghentikan gerakan dayungnya, akan tetapi setelah dia memandang ke sekelilingnya dia tidak melihat sesuatu, hanya nampak awan-awan hitam di arah Selatan dan Timur. Kembali terdengar suara itu, kini lebih hebat lagi dan Kwan Cu merasa seakan-akan suara itu timbul dari dasar laut.

   "Hebat! Suara siapakah itu? Suara Hai-Liong-Ong (Naga Raja Laut) ataukah suara makhluk lain yang hebat? Hem, benar-benar luar biasa hebat alam ini, besar dan berkuasa!"

   Ia merasa dirinya amat kecil tak berarti dan lambat-laun timbul juga kengerian dalam hatinya,

   Sesungguhpun tak boleh dibilang bahwa Kwan Cu merasa takut. Namun, dia merasa lebih tenang andaikata Ang-Bin Sin-Kai Gurunya berada di situ bersamanya pada saat itu. Ia teringat akan Suhunya dan diam-diam ia tertawa dengan hati penuh kasih sayang kepada Suhunya itu. Suhunya seorang manusia aneh yang kuat dan hebat seperti lautan ini. Kembali terdengar suara gemuruh dan kini suara ini terdengar begitu hebat sehingga Kwan Cu tidak tahan untuk tidak menengok ke belakang. Tiba-tiba anak muda ini memandang dengan mata terbelalak ke arah kiri. Dari tengah lautan yang tidak bertepi itu dia melihat sesuatu yang tinggi dan panjang datang bergulung kepadanya. Sesuatau yang nampak belang-belang putih hitam, seperti seekor naga.

   "Naga Laut""

   Bisiknya sambil menahan napas.

   "Hai-Liong-Ong""

   Kata suara hatinya penuh kengerian. Memang hebat sekali penglihatan pada waktu itu.

   Dari arah kiri, datang benda itu, makin lama makin panjang dan besar, dan biarpun benda itu masih jauh, telah datang angin bertiup keras, membuat air di depan perahu bergelombang. Gelombang makin besar dan tiba-tiba Kwan Cu merasa terkejut sekali karena berbareng dengan suara gemuruh seperti derap kaki ribuan ekor kuda di samping suara lengking tinggi panjang seperti suara ribuan batang Suling yang ditiup secara aneh seperti kalau Yok-Ong meniup Suling, perahunya terangkat tinggi-tinggi dan permukaan laut tiba-tiba naik tinggi sekali, lalu turun lagi seperti kalau di daratan terjadi gempa bumi yang hebat. Dan kini benda panjang seperti Naga itu telah datang dekat, membawa bunyi gemuruh dan tahulah Kwan Cu dengan hati tidak karuan rasanya bahwa yang disangka Naga itu sebenarnya adalah gelombang laut hebat!

   "Celaka!"

   Serunya dan dia mencoba untuk menahan keseimbangan perahunya dengan dayung. Akan tetapi, di dalam tangan samudra yang besar kuat dan hebat tenaganya itu, tenaga Kwan Cu merupakan tenaga seekor semut bagi seorang Raksasa. Perahu berikut Kwan Cu masih memegang dayung terputar-putar, membuat kepala pemuda itu menjadi pening sekali.

   Namun dia masih dapat berlaku tenang dan cepat Kwan Cu melemparkan dayungnya ke dalam perahu, dan dengan kedua tangan dia memegangi ombak laut dan satu-satunya harapan baginya adalah perahunya itu. Biarpun perahunya akan terbalik, tetap saja perahu kayu itu takkan tenggelam dan akhirnya tentu akan terapung juga. Kalau dia tidak terlepas dari perahu, dia masih ada harapan untuk menyelamatkan dirinya. Tiba-tiba, sebuah gelombang atau lebih tepat disebut anak gelombang yang nakal memegang perahu dan melontarkannya ke atas bagikan seorang anak kecil melontarkan sebutir batu kerikil saja. Perahu terlempar ke atas. Dayungnya terlempar keluar dan karena dayung itu terbuat dari baja, maka benda ini jatuh lebih dulu, ditelan gelombang dan agaknya akan menjadi tontonan bagi penghuni laut.

   Adapun Kwan Cu yang ikut terlempar ke atas, hampir saja direnggutkan keluar dari perahu pula. Baiknya dia berlaku gesit dan cepat, kedua tangannya memeluk perahu sekuat tenaga dan agaknya hanya maut saja yang kuasa merenggutnya terlepas dari perahu itu! Mati hidup aku harus bersama perahuku ini, pikirnya nekat. Perahu bersama Kwan Cu terhempas kembali ke dalam air, disambut oleh gelombang, diputar-putarkan, dipermainkan, dikocok ke sana ke mari dengan hebatnya. Kwan Cu masih memeluk perahu, kadang-kadang ia berada di atas perahu, kadang-kadang dia berada di bawah perahu dan hanya dapat menahan napas lalu berusaha membalikkan tubuhnya sehingga berhasil di atas perahu,

   Kadang-kadang dia dan perahunya lenyap ditelan gelombang dan timbul pula di tempat lain. Siksaan ini dibarengi dengan bunyi-bunyian yang luar biasa dan yang membuat pemuda itu merasa seakan-akan dia telah berada di dasar neraka. Satu keanehan terjadi. Ketika dia dipermainkan oleh gelombang menderu, tiba-tiba dia teringat akan sesuatau dan seakan-akan terbayang dalam ingatannya suatu pengalaman yang hampir sama dengan pengalaman yang sedang dia alami sekarang ini. Tiba-tiba saja teringatlah dia betapa dia pernah menjadi permainan gelombang dan ombak seperti ini, teringat pula betapa orang-orang sekapal telah tenggelam ditelan gelombang, betapa kapal itu karam dan membawa pula dua orang yang kini terbayang di depan matanya.

   "Ayah"! Ibu"!"

   Tiba-tiba Kwan Cu memekik keras. Kini terbayanglah seorang laki-laki dan seorang wanita dan baru sekarang dia tahu bahwa wajah-wajah ini adalah wajah-wajah Ayah bundanya yang tewas dalam amukan gelombang! Tahulah dia sekarang mengapa dia ditemukan oleh Ang-Bin Sin-Kai dan Jeng-Kin-Jiu dan dianggap sebagai "Anak laut". Ayah bundanya tewas di lautan dan agaknya dia sendiripun akan mengalami nasib yang sama.

   "Ayah... Ibu... tolonglah anakmu""

   Ia berbisik. Kemudian timbul marahnya kepada gelombang dan laut.

   "Kakek laut tak mungkin kau dapat menewaskan aku!"

   Pekiknya nyaring sambil memeluk perahu itu erat-erat. Sebagai jawaban, sebuah gelombang yang besar mengangkat perahunya dan melemparkan perahu itu ke atas jauh dari situ. Kwan Cu ikut terlempar, akan tetapi kini terbangun semangatnya untuk melawan gelombang yang sudah menewaskan kedua orang tuanya, timbul semangatnya untuk berjuang menghadapi kekuatan alam ini, untuk hidup.

   "Kakek gelombang, setelah membunuh orang tuaku, tak mungkin kau dapat membunuhku pula. Orang tuaku akan mencegahmu!"

   Teriaknya berkali-kali. Kwan Cu bagaikan gila. Biarpun dia diterima oleh gelombang lain, dilemparkan dan diterima kembali seperti sebuah bal dalam sebuah permainan serombongan anak-anak nakal, dia tetap bersemangat, bahkan kini dia tidak merasa takut sedikitpun juga. Rasa takutnya berubah menjadi kegembiraan!

   (Lanjut ke Jilid 17)

   Pendekar Sakti/Bu Pun Su Lu Kwan Cu (Seri ke 01 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17

   "Kakek laut, mari kita bermain-main!"

   Serunya berkali-kali.

   "Mari kita berkelahi sebagai laki-laki kalau kau memang jantan!"

   Demikianlah, biarpun sedang dipermainkan oleh gelombang laut dan taufan menghebat, sedikitpun Kwan Cu tidak merasa takut, sebaliknya dia menantang dan merasa gembira. Hal inilah yang sesungguhnya menolong nyawanya. Orang-orang yang menghadapi maut, kalau dia dapat berlaku tenang dan tak putus asa, akalnya akan bertambah dan dia tidak menjadi gugup. Demikianpun Kwan Cu, kegembiraan dan semangatnya membuat dia tahan menderita, bahkan tenaganya menjadi besar dan kini dia mulai mempergunakan kaki tangannya untuk memukul dan mendorong ombak, mencari jalan bagi perahunya agar meluncur ke tempat yang aman. Memang, kalau diperhatikan di antara gelombang yang menghebat itu, terdapat air yang tenang yakni air yang berada diantara dorongan dua gelombang yang membalik.

   Kwan Cu berjuang mati-matian dengan hati gembira, sambil menantang-nantang gelombang dan akhirnya dia berhasil mendorong perahunya ke tempat yang agak aman, yakni yang gelombangnya tidak begitu besar. Ia berhasil membalikkan perahunya dan duduk di dalam perahu. Memang betul di situ masih ada ombak menyerang, akan tetapi dengan kedua tangannya di pinggir perahu menekan-nekan dan mendorong-dorong air, dia dapat mencegah perahunya berputar dan dapat beristirahat sejenak setelah menjadi permainan ombak yang membuat tenaganya habis dan tubuhnya lelah sekali. Ia tidak tahu bahwa gelombang tadi telah membawa perahunya ke tengah laut dan telah membawa dia jauh sekali dari tempat di mana dia bertemu dengan taufan.

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 18 Pendekar Kelana Eps 2 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 13

Cari Blog Ini