Pendekar Bodoh 20
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 20
Perahu yang ditumpangi Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa bergerak maju dengan cepat meninggalkan pulau yang telah berkobar dan dimakan api. Tak lama kemudian, terdengar suara burung Merak sakti dan Lin Lin menjadi girang sekali melihat Merak sakti melayang turun dan berdiri di atas perahu. Akan tetapi ia merasa kuatir karena tidak melihat Nelayan Cengeng. Juga Ma Hoa semenjak tadi melihat ke arah air oleh karena maklum bahwa Suhunya tentu akan menyusul dengan berenang.
"Kong-Ciak-Ko, di mana Kong Hwat Lojin?"
Lin Lin bertanya sambil memegang leher Merak sakti. Binatang itu hanya mengeluarkan suara perlahan dan memandang ke arah pulau, seakan-akan hendak mengatakan bahwa tadi mereka berpisah di pantai Pulau Kim-San-To. Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gelisah sekali, demikian pun Yousuf. Mereka bertiga lalu berdiri di pinggir perahu sambil memandang ke air. Tiba-tiba, di bawah cahaya api yang berkobar besar, mereka melihat bayangan hitam bergerak di permukaan air.
"Itu tentu Suhu!"
Kata Ma Hoa dengan girang sekali dan ia yakin bahwa yang begerak-gerak itu tentu Suhunya yang berenang cepat laksana seekor ikan.
Mendengar seruan ini, Lin Lin dan Yousuf juga ikut bergirang hati. Tiba-tiba terdengar letusan hebat dari pulau itu dan ketiganya terhuyung dan jatuh di dalam perahu. Bukan main terkejut hati mereka dan sebelum mereka sempat melihat di mana adanya Nelayan Cengeng, tiba-tiba datang gelombang sebesar gunung yang membawa perahu mereka terlempar jauh sekali. Yousuf dengan dibantu kedua orang gadis itu, mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk mencegah perahu mereka terbalik dan dalam keadaan tak berdaya mereka terpaksa mengikuti kemana ombak besar membawa perahu mereka. Kalau perahu itu kecil, mungkin mereka masih sanggup menguasainya di antara permainan ombak,
Akan tetapi perahu mereka besar dan berat hingga mereka benar-benar tak berdaya. Ombak demi ombak datang menyerbu dan membawa perahu mereka makin jauh dari tempat yang mereka tuju. Perahu itu terus terbawa menuju ke Utara. Sampai satu malam penuh mereka terbawa makin jauh dan pada keesokan harinya barulah ombak menjadi lemah hingga mereka dapat mendayung perahu itu ke arah pantai. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka telah terdampar jauh sekali dari pantai yang hendak mereka tuju. Ketika mereka telah mendarat dan beristirahat oleh karena lelah sekali, tiba-tiba datang barisan besar ke tempat itu. Kagetlah Yousuf ketika mendapat kenyataan bahwa barisan ini adalah tentara Turki yang sengaja datang menyusul rombongan pertama. Melihat Yousuf, Pemimpin barisan itu lalu berseru,
"Tangkap pengkhianat itu!"
Banyak anggota tentara menyerbu hendak menangkap Yousuf, akan tetapi beberapa orang di antara mereka jatuh tunggang langgang karena dihantam dengan sengit oleh Lin Lin dan Ma Hoa. Pemimpin barisan merasa kaget dan heran sekali, mengapa Yousuf dibela oleh dua orang gadis Han yang cantik jelita, maka ia lalu tertawa menghina dan memaki,
"Bagus sekali, Yousuf! Kau tidak saja pandai mengkhianati Kerajaan dan menipu kami, akan tetapi juga pandai membujuk dua orang gadis Han yang cantik untuk menjadi bini muda dan pembela. Ha-ha-ha...!"
"Bangsat anjing bermulut jahat!"
Lin Lin memaki sengit karena gadis ini sedikit-sedikit telah mempelajari bahasa Turki dari Yousuf maka ia dapat mengerti ucapan Pemimpin itu.
Dalam kemarahannya, Lin Lin mencabut Pedang dan menyerang Pemimpin barisan itu. Akan tetapi, puluhan tentara Turki lalu maju mengeroyok karena agaknya mereka ini suka sekali untuk menghadapi dua orang gadis cantik itu. Mereka berniat mempermainkan kedua dara jelita ini, tidak tahunya, begitu Lin Lin bergerak diikuti oleh Ma Hoa, beberapa orang serdadu terguling mandi darah. Kini mereka baru tahu bahwa kedua orang gadis itu adalah Pendekar Pedang yang luar biasa, maka sambil berteriak-teriak marah, Lin Lin dan Ma Hoa dikeroyok oleh puluhan orang, sedangkan ratusan tentara berteriak-teriak di belakang mereka yang mengeroyok. Yousuf marah sekali dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menangkap dua orang tentara yang diputar-putar di sekelilingnya dan digunakan sebagai senjata.
Tentara Turki terkejut sekali dan mereka menjadi jerih karena telah tahu bahwa Yousuf adalah seorang jagoan terkenal di negeri mereka, maka dengan amukan Yousuf ini, kepungan mengendur dan pengeroyok-pengeroyok berkelahi dengan hati-hati. Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari atas dan tahu-tahu seekor burung Merak yang indah dan besar, menyambar-nyambar turun dan tiap kali sayapnya menyampok, seorang Turki terpukul roboh tanpa dapat bangun kembali. Amukan burung Merak ini ternyata lebih hebat daripada amukan Yousuf. Menghadapi empat lawan yang tangguh luar biasa ini pengeroyokan tentara Turki menjadi kacau balau dan Yousuf yang tidak saja segan untuk melawan dan mengamuk bangsa sendiri akan tetapi juga berpikir bahwa tak mungkin mereka harus menghadapi jumlah lawan yang sedikitnya ada lima ratus orang itu, lalu berseru,
"Mari kita pergi!"
Lin Lin dan Ma Hoa mengerti pula bahwa jumlah musuh terlalu banyak, maka tanpa membantah, mereka lalu ikut melompat pergi, melalui kepala pengeroyok dan menggulingkan tiap penghalang. Juga Sin-Kong-Ciak memekik nyaring dan mengikuti ketiga orang itu. Sebenarnya burung Merak ini merasa kecewa karena baru enak-enak membabat lawan-lawannya yang empuk itu, kini diperintahkan untuk pergi. Ilmu berlari cepat dari ketiga orang itu cukup tinggi untuk memungkinkan mereka lari segera meninggalkan mereka yang mengejar sambil berteriak-teriak, dan tak lama kemudian mereka bertiga tak mendengar lagi suara teriakan barisan Turki yang mengejar itu. Merak sakti tetap terbang di atas mereka dan ketika Yousuf berhenti, Merak itu pun melayang turun dan membelai-belai tangan Lin Lin dengan leher dan kepalanya.
"Lin Lin dan Ma Hoa,"
Kata Yousuf yang kini juga menyebut nama Ma Hoa biasa saja oleh karena orang tua ini sudah menganggap dia sebagai keluarga sendiri.
"Kalian tahu bahwa aku dikejar-kejar dan dimusuhi, oleh karena dianggap menipu dan mengkhianati mereka."
Ia menghela napas panjang.
"Maka, demi keselamatan kalian berdua, kalian kembalilah ke pedalaman Tiongkok untuk mencari kawan-kawanmu, dan untuk mencari Nelayan Cengeng. Biarkan aku melarikan diri dan bersembunyi di gunung sebelah Utara itu. Kalau kalian bersama dengan aku maka kalian hanya akan menghadapi bahaya saja."
"Ayah, jangan kau berkata begitu,"
Bantah Lin Lin.
"Bagiku, kau adalah Ayahku sendiri, dan ke mana kau pergi, aku sudah sewajarnya ikut."
"Yo Peh-peh,"
Kata Ma Hoa yang kini menyebut Peh-peh atau uwa kepada Yousuf.
"Benar seperti yang dikatakan Lin Lin. Semenjak berlayar kita telah bersama-sama dan aku pun menganggap kau sebagai orang tua sendiri, maka mengapakah sedikit bahaya saja membuat kita harus berpisah? Marilah Peh-peh bersama aku dan Adik Lin Lin kembali ke Selatan dan mencari Suhu dan kawan-kawan lain. Adapun tentang segala bahaya yang menyerang dirimu, akan kita hadapi bertiga, bahkan berempat dengan Sin-Kong-Ciak."
Yousuf merasa terharu sekali. Ia menggunakan kedua tangannya untuk memegang tangan Lin Lin dan Ma Hoa.
"Kalian memang anak-anak baik dan berhati mulia. Aku semenjak dulu hidup sebatang kara, setelah bertemu dengan kalian, seakan-akan mendapat kurnia besar sekali. Takkan ada di dunia ini perkara yang lebih kusukai daripada hidup di dekat kalian dan sahabat-sahabat baik seperti Kong Hwat Lojin, akan tetapi kalian anak-anak muda harus tahu bahwa aku adalah seorang Turki. Mungkinkah aku harus melawan dan membunuh tentara bangsaku sendiri? Ah, tak mungkin. Lebih baik untuk sementara waktu aku bersembunyi di tempat sunyi dan kelak apabila tentara Turki sudah kembali ke negeriku dan keadaan sudah aman kembali, barulah aku menyusul ke Selatan dan mencari kalian."
Namun Lin Lin merasa tidak tega untuk meninggalkan Yousuf dalam keadaan dikejar-kejar itu. Bagaimana kalau ia diketemukan dan akhirnya sampai mati?
"Tidak, Ayah. Biarlah aku ikut kau bersembunyi untuk sementara waktu, dan apabila keadaan telah aman kembali, kita bersama menuju ke Selatan mencari kawan-kawan."
Ma Hoa yang berpikir bahwa keadaan itu takkan berlangsung lama, karena setelah ternyata bahwa Pulau Kim-San-To terbakar habis, tentu tentara Turki itu tidak mau lama-lama tinggal di tempat yang bukan menjadi daerah mereka ini, maka ia segera berkata,
"Memang demikian sebaiknya, Yo Peh-peh. Lin Lin dan aku akan ikut kau bersembunyi untuk beberapa pekan, atau beberapa bulan kalau memang keadaan menghendaki."
Yousuf merasa girang sekali dan wajahnya yang agak kecoklat-coklatan itu berseri bergembira.
"Bagus, anak-anakku, kalian benar-benar membuat aku merasa berbahagia sekali. Jangan kalian kuatir, di lereng bukit dekat tapal batas Tiongkok, aku dulu telah meninggalkan sebuah rumah yang mungil dan indah. Marilah kita pergi ke sana dan untuk sementara waktu kita tinggal di tempat itu, di mana pemandangan indah dan hawanya sejuk. Tentang biaya, jangan kuatir!"
Sambil berkata demikian, Yousuf mengeluarkan sekantung emas yang disimpan di dalam saku dalam bajunya. Demikianlah, ketiganya, berempat dengan Merak Sakti, lalu cepat menuju ke bukit yang dimaksudkan oleh Yousuf. Benar saja sebagaimana kata Yousuf, keadaan di situ menyenangkan sekali. Tamasya alam indah mengagumkan, hawa pegunungan segar dan menyehatkan. Orang-orang yang tinggal di sekitar bukit itu adalah orang-orang petani yang ramah tamah dan hidup sederhana.
Rumah Yousuf masih ada dan bagus, hanya agak kotor karena tidak terawat. Ketiganya lalu bekerja keras membereskan rumah itu. Lin Lin dan Ma Hoa lalu mengatur taman di sekitar rumah, oleh karena di bukit itu terdapat banyak kembang-kembang yang indah. Beberapa hari kemudian, para petani yang lewat di depan rumah itu, tidak habisnya mengagumi keindahan tempat itu dan mereka merasa seakan-akan tempat ini berubah semenjak rombongan ini tiba. Memang, siapa yang tidak kagum? Rumah itu kecil tapi indah bentuknya, dikelilingi oleh kembang-kembang tanaman kedua gadis itu, dan rumah ini ditinggali oleh seorang bangsa Turki yang bersikap halus dan ramah tamah, bersama dua orang gadis yang cantik jelita bagaikan dua orang bidadari dari kahyangan, ditambah lagi dengan adanya seekor Merak yang berbulu bagus sekali!
Yousuf dengan hati sungguh-sungguh lalu melatih ilmu silat kepada Lin Lin dan Ma Hoa dan oleh karena ilmu silat Turki jauh berbeda dalam gaya dan variasi jika dibandingkan dengan ilmu silat Tiongkok walaupun pada dasarnya tak berbeda jauh, maka Lin Lin dan Ma Hoa merasa suka sekali mempelajari ilmu silat ini. Tingkat kepandaian Yousuf memang lebih tinggi dari tingkat mereka dan berkat latihan-latihan ini, kepandaian kedua orang gadis ini maju pesat. Oleh karena tiap hari belajar ilmu silat, ketiga orang itu tidak merasa sunyi dan bahkan merasa betah dan senang tinggal di tempat itu. Hanya, kadang-kadang saja, Lin Lin dan Ma Hoa terkenang kepada pujaan hati masing-masing yang membuat mereka termenung, akan tetap pikiran ini segera terhibur apabila mereka mengingat bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali.
Sementara itu, Merak Sakti yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, tiap hari hanya berjalan-jalan di dalam taman atau kadang-kadang terbang tinggi sekali berputar-putar hingga mengagumkan orang-orang yang melihatnya. Merak ini agaknya pun senang sekali tinggal di situ dan bulunya makin indah mengkilap. Pada suatu pagi yang cerah, di kala matahari dengan sinarnya yang nakal mengusiri awan dan halimun pagi dari udara dan muka bumi dan burung-burung menyambut kedatangan Raja Siang itu dengan nyanyian dan pujian yang merdu dan sedap didengar, Lin Lin dan Ma Hoa telah berada di taman bunga mereka dan mencabuti rumput-rumput liar yang hendak mengganggu keindahan bunga. Mereka bekerja sambil bersendau gurau karena memang hawa pagi itu membuat dan memaksa orang untuk bergembira.
"Lin Lin,"
Kata Ma Hoa sambil tersenyum manis.
"Alangkah senangnya hatimu kalau pada saat yang indah ini Saudara Cin Hai berada di sini!"
Menghadapi serangan godaan ini, Lin Lin yang pandai bicara dan lincah itu juga tersenyum dan memandang tajam lalu mengangguk-anggukkan kepala dan menjawab,
"Memang betul, tentu saja hatimu akan senang sekali, akan tetapi kau bersabarlah, kawan! Tak lama lagi tentu kau akan dapat bertemu kembali dengan dia itu!"
Ma Hoa melengak dan tidak mengerti.
"Ih, eh, apa maksudmu? Siapa yang kau maksudkan dengan dia itu?"
Lin Lin berpura-pura memandang heran.
"Siapa lagi, bukankah kau tadi maksudkan Engko Kwee An?"
"Eh, anak bengal! Apakah telingamu sudah menjadi tuli? Kau dengar aku bilang apakah tadi?"
Lin Lin memandang kepada Ma Hoa dengan wajah berseri.
"Enci Hoa, bukankah kau tadi berkata begini. Alangkah senang hatiku kalau pada saat yang indah ini Kanda Kwee An berada di sini?"
Ma Hoa memandang gemas dan mengulurkan tangan hendak mencubit Lin Lin, akan tetapi gadis itu segera mengelak.
"Lin Lin, jangan kau bicara tak karuan! Aku tak pernah mengeluarkan ucapan itu dari mulutku."
"Tapi siapakah yang mendengar ucapan mulutmu? Aku tadi mendengar suara yang keluar dari hatimu hingga aku tidak mendengar jelas suara yang keluar dari mulutmu! Bukankah hatimu tadi berkata seperti yang kuulangi tadi?"
Ma Hoa mengerling tajam dengan bibir menyatakan kegemasan hatinya. Memang biarpun mulutnya menyatakan dan menyebut-nyebutnya, nama Cin Hai, namun, tepat sebagaimana godaan Lin Lin, hatinya memaksudkan Kwee An! Maka karena malu dan gemas, Ma Hoa lalu mengejar Lin Lin hendak dicubitnya, akan tetapi Lin Lin berlari mengitari bunga-bunga sambil tertawa-tawa dan berkata,
"Awas, Enci Hoa, kalau engkau mencubit aku, nanti aku akan minta Engko An untuk membalasnya."
Ma Hoa makin gemas dan sambil tertawa, mereka berkejaran di dalam taman bunga itu, bagaikan dua ekor kupu-kupu yang cantik dan indah. Tiba-tiba keduanya berhenti tertawa, bahkan lalu berdiri diam sambil memasang telinga dengan penuh perhatian. Di antara kicau burung yang bermacam-macam itu, terdengar Merak Sakti yang memekik-mekik aneh sekali karena mereka belum pernah mendengar suara Merak itu memekik seperti ini hingga mereka tidak tahu apakah Merak itu sedang marah atau sedang bergirang. Biasanya kedua orang gadis ini telah hafal akan tanda-tanda yang dikeluarkan oleh suara Merak Sakti, akan tetapi kali ini mereka saling pandang dengan heran dan terkejut. Kemudian, serentak mereka lalu melompat dan berlari cepat ke arah suara tadi.
Ketika mereka tiba di sebuah lereng yang penuh rumput hijau, mereka menyaksikan pemandangan yang membuat mereka tertegun dan berhenti dengan tiba-tiba. Di atas rumput yang tebal itu, Sin-Kong-Ciak mendekam seperti berlutut dan mengangangguk-anggukkan kepalanya ke bawah sambil mengeluarkan pekik yang aneh itu, sedangkan seorang Kakek yang tua sekali dan yang memakai pakaian penuh tambalan dan butut, sedang membelai-belai leher dan kepala Merak itu. Yang membuat Lin Lin dan Ma Hoa terheran sekali adalah sikap Merak itu. Kedua orang gadis ini cukup kenal adat Merak Sakti yang angkuh dan tidak mau tunduk kepada siapapun juga, maka melihat betapa Merak itu kini berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala, mereka menjadi heran sekali.
Tiba-tiba Kakek itu lalu memegang kedua kaki Merak Sakti, melemparkannya ke atas sambil tertawa-tawa, dan ketika Merak yang menurut saja dan membiarkan dirinya dilemparkan tanpa mengembangkan sayap untuk terbang itu jatuh kembali, lalu diterima oleh tangan kiri pada dua kakinya, dilempar lagi ke atas berulang-ulang. Permainan ini dilakukan oleh Kakek itu sambil tertawa-tawa girang, sedangkan Merak Sakti juga mengeluarkan suara yang dikenal oleh orang gadis itu sebagai pernyataan hatinya yang senang dan gembira. Biarpun mendengar suara gembira dari Merak itu namun Lin Lin menjadi marah sekali dan menyangka bahwa Kakek ini tentu menggunakan kepandaiannya yang membuat Merak Sakti tak berdaya kemudian mempermainkan burung itu. Gadis ini melompat maju dan membentak,
"Kakek jahat, lepaskan burung merakku!"
Akan tetapi, jangankan mentaati perintah Lin Lin bahkan Kakek itu menengokpun tidak, terus melempar-lemparkan tubuh burung itu ke atas sambil tertawa dan kemudian bertanya kepada Merak Sakti,
"Kong-Ciak, apakah kau sudah puas?"
Lin Lin marah sekali lalu maju menyerang dan memukul dengan tangan kanan ke arah dada Kakek itu untuk mendorongnya roboh. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia merasa betapa kepalan tangannya seakan-akan memukul kapas hingga tenaga pukulannya menjadi lenyap sendiri, sedangkan Kakek tua itu sama sekali tidak memandangnya seakan-akan Lin Lin tidak ada di situ.
Ma Hoa yang melihat Lin Lin mulai menyerang Kakek itu, lalu membantu dan kedua orang gadis ini lalu menyerang berbareng kepada si Kakek tua itu. Sementara itu, Merak Sakti yang agaknya telah merasa puas dengan permainannya lalu mengembangkan sayapnya dan terbang ke atas cabang pohon, bertengger di situ sambil menonton pertempuran. Sebetulnya ucapan ini saja sudah cukup bagi kedua gadis itu untuk menyadari bahwa Kakek tua ini tidak bermaksud jahat akan tetapi karena Lin Lin dan Ma Hoa merasa marah dan penasaran maka mereka lalu maju berbareng dan menyerang dengan hebat. Akan tetapi, biarpun Kakek tua itu agaknya tidak berpindah dari tempatnya, namun pukulan kedua orang dara muda itu satu kalipun tak pernah berhasil mengenai tubuhnya.
Lin Lin merasa penasaran sekali, demikianpun Ma Hoa karena mengira bahwa Kakek ini tentu mempergunakan ilmu sihir. Makin besar dugaan mereka ketika mereka merasa telah hampir mengenai tubuh orang tua itu, tiba-tiba saja tangan mereka melesat ke samping seakan-akan didorong oleh tangan kuat yang tidak kelihatan. Mereka ini keduanya sama sekali tidak tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan tokoh persilatan tertinggi yang bukan lain orang adalah Bu Pun Su sendiri. Sebenarnya, Bu Pun Su tidak mempergunakan ilmu sihir, hanya mengerahkan tenaga Khikangnya yang telah sempurna itu hingga hawa yang keluar dari kedua tangannya cukup kuat untuk menangkis tiap pukulan Lin Lin dan Ma Hoa. Pada saat kedua orang gadis itu menjadi sibuk dan makin terheran dan marah tiba-tiba terdengar bentakan orang,
"Kakek tua! Jangan kau mengganggu kedua anakku!"
Ternyata yang datang ini adalah Yousuf sendiri. Lin Lin dan Ma Hoa merasa girang sekali dan Lin Lin segera berteriak,
"Ayah, kau usir Kakek yang pandai sihir ini!"
Juga Ma Hoa berkata,
"Dia telah menyihir dan mempermainkan Sin-Kong-Ciak!"
Yousuf menjadi marah sekali, lalu membentak kedua gadis itu,
"Kalian minggirlah, biarkan aku menghadapinya!"
Kemudian ia meloncat ke depan Bu Pun Su dan membentak.
"Kakek tua! Memalukan sekali untuk mengganggu seekor burung Merak dan dua orang anak masih bodoh. Marilah kita tua lawan tua!"
Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh hingga ia cepat-cepat mempergunakan tenaga dalamnya untuk menolak tenaga yang keluar dari suara ketawa ini.
"Hi-hi-hi, kau orang Turki ini sungguh-sungguh berbeda dengan yang lain! Kau benar-benar lain daripada yang lain. Bagus, bagus! Kau lucu sekali! Usiamu paling banyak hanya setengah umurku, tapi kau bilang tua lawan tua! Eh, Kakek-Kakek tua bangka, mari kita main-main sebentar,"
Ucapan Bu Pun Su ini mendapat sambutan suara Merak Sakti yang mengeluarkan suara terkekeh-kekeh pula, suara yang dikenal oleh Lin Lin dan Ma Hoa apabila Merak itu merasa gembira. Sungguh aneh. Lin Lin masih menyangka bahwa Merak itu masih terkena sihir, maka ia segera menghampiri di bawah pohon di mana Merak itu bertengger dan memanggil,
"Kong-Ciak-Ko, kau turunlah ke sini!"
Akan tetapi Merak Sakti itu sama sekali tidak mau turun. Hal ini makin mempertebal dugaan Lin Lin dan Ma Hoa bahwa Kakek luar biasa itu tentu telah menyihir Merak Sakti, karena biasanya Merak itu sangat taat terhadap perintah Lin Lin.
"Ha, ha, ha! Nona, jangan kau heran, Kong-Ciak itu bukannya bersifat palsu dan karena mendapat kawan baru lalu melupakan kawan lama. Akan tetapi adalah bertemu majikan lama melupakan majikan baru."
"Kakek tua, majulah dan hendak kulihat sampai di mana kesaktianmu!"
Teriak Yousuf melihat betapa Kakek itu memandang ringan kepada mereka semua. Sambil berkata demikian, Yousuf lalu menyerang dengan kedua tangannya dengan ilmu silat Turki yang paling lihai. Kedua tangannya ini yang kanan memukul, yang kiri mencengkeram ke arah lambung lawan, dan kaki kirinya juga menendang ke depan dengan cepat.
"Ha, ha, ha! Bagus, aku mendapat kesempatan menyaksikan ilmu silat Turki yang lihai!"
Kata Kakek itu yang masih tertawa haha-hihi sambil mengelak perlahan.
Aneh sekali, agaknya Kakek itu telah tahu bahwa di antara ketiga serangan ini, yang sungguh-sungguh adalah serangan kaki, oleh karena kedua tangan yang menyerang hanya untuk menarik dan mengalihkan perhatian lawan saja. Bu Pun Su sama sekali tidak mengelak dari serangan kedua tangan, hanya mengelak dari tendangan kaki Yousuf. Tendangan ini ketika tidak mengenai sasaran, tidak ditarik mundur sebagaimana biasa tendangan dalam ilmu silat Tiongkok, akan tetapi diteruskan dan dibanting ke pinggir terus memutar ke belakang hingga tubuh Yousuf terputar di atas sebelah kaki dan sekali putaran ia lalu mengayun lagi kaki itu menendang, dibarengi dengan serangan kedua tangan lagi! Ini adalah gerak tipu yang luar biasa dan tak terduga dan biasanya dengan gerakan ini, Yousuf dapat menjatuhkan lawannya.
Akan tetapi, kali ini benar-benar kecele, karena Bu Pun Su agaknya sudah tahu akan maksud dan gerakannya hingga dapat mengelak di waktu yang tepat. Bahkan ketika Kakek jembel ini membalas menyerangnya, Yousuf melengak karena Bu Pun Su menggunakan serangan yang persis seperti yang dilakukannya tadi. Bahkan gerakan Kakek jembel ini lebih cepat dan lebih hebat daripada gerakannnya sendiri. Yousuf penasaran sekali lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya, akan tetapi, makin lama ia makin heran hingga ia bertempur dengan mata terbelalak dan mulut menyelangap oleh karena makin banyak ia mengeluarkan kepandaiannya, makin banyak pula gerakan-gerakannya ditiru dengan tepat oleh Bu Pun Su! Juga Lin Lin dan Ma Hoa ketika melihat betapa Kakek itu melawan Yousuf dengan ilmu silat Turki yang sama, tak terasa pula saling pandang dengan terheran-heran.
"Ayah, ia tentu menggunakan ilmu sihir!"
Lin Lin memberi peringatan kepada Ayah angkatnya. Yousuf teringat dan timbul persangkaan demikian pula, maka tiba-tiba orang Turki ini mengheningkan cipta, mengumpulkan tenaga di dalam pusar dan setelah mengerahkan seluruh tenaga batinnya ke mulut, ia membentak sambil menunjuk ke arah dada Kakek jembel itu dan kedua matanya yang amat tajam dan hitam itu menatap mata Kakek itu,
"Kau berlututlah!"
Ini adalah semacam ilmu sihir yang didasarkan tenaga batin untuk mempengaruhi semangat dan kemauan lawan yang disebut Ilmu Penakluk Semangat. Bahkan Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak diserang langsung oleh ilmu ini, akan tetapi karena mereka memperhatikan dan mendengar bentakan yang memerintah dan berpengaruh itu, tak terasa pula mendapat desakan hebat dan tiba-tiba tanpa disadarinya lagi mereka lalu menjatuhkan diri berlutut! Akan tetapi setelah mengeluarkan bentakan bukan Kakek jembel itu yang berlutut, bahkan Yousuf sendiri yang menjatuhkan diri berlutut di depan Kakek jembel!
"Ha, ha, ha! Aku tua bangka jembel tak layak menerima penghormatan ini!"
Kata Bu Pun Su sambil tertawa bergelak dan suara ketawanya ini agaknya membuyarkan ilmu sihir Yousuf hingga ketiga orang itu sadar bahwa mereka sedang berlutut di depan Si Kakek jembel! Yousuf terkejut sekali oleh karena yang dapat melawan ilmunya ini adalah gurunya sendiri, seorang Pertapa tua yang sakti di Turki dan ia ingat gurunya pernah menerangkan bahwa apabila Ilmu Penakluk Semangat ini digunakan untuk menyerang orang yang mempunyai ilmu batin lebih tinggi dan kuat,
Maka akibatnya dapat terbalik karena tenaga itu terpental dan memukul dirinya sendiri! Yousuf lalu melompat bangun dengan muka merah, sedangkan kedua orang gadis itu pun dengan malu lalu mencabut Pedang mereka. Yousuf juga mencabut Pedangnya dan ketiga orang ini lalu menyerbu dan menyerang Bu Pun Su! Tiba-tiba terdengar pekik marah dari atas dan Merak Sakti lalu sambil mengibaskan sayapnya menangkis Pedang ketiga orang itu! Karena Merak Sakti itu pun memiliki tenaga besar, maka ia berhasil menangkis senjata Yousuf dan Lin Lin, bahkan Pedang di tangan Lin Lin terpental jauh sekali! Akan tetapi, ternyata bahwa Merak Sakti itu tidak berniat jahat dan hanya ingin mencegah ketiga orang itu menyerang Bu Pun Su dengan senjata tajam dan setelah menangkis satu kali, Merak itu lalu terbang lagi ke cabang tadi!
"Ha, ha, ha, bagus, Kong-Ciak! Tak percuma aku memeliharamu semenjak kecil!"
Kata Kakek jembel itu sambil tertawa girang. Yousuf dan Ma Hoa tercengang mendengar ini akan tetapi Lin Lin yang merasa marah sekali karena Pedangnya dibikin terpental oleh Merak Sakti, lalu tak terasa lagi mencabut keluar Pedang karatan yang dulu ia ambil dari gua di pulau Kim-San-To. Dengan Pedang buntung yang bobrok ini ia maju lagi menyerang. Tiba-tiba wajah Bu Pun Su berubah ketika ia melihat Pedang itu dan cepat sekali tangannya bergerak ke depan. Lin Lin tidak tahu bagaimana Kakek itu bergerak karena tahu-tahu Pedangnya telah pindah tangan.
"Han Le... betul-betulkah kau telah mendahului aku?"
Kata Bu Pun Su sambil memandang Pedang itu dengan muka berduka dan kepalanya yang putih tiada hentinya menggeleng-geleng.
"Han Le Sute... mengapa kau mendahului Suhengmu? Ah, aku Bu Pun Su benar-benar telah tua sekali dan sudah cukup lama hidup di dunia ini..."
Setelah berkata demikian, ia menghela napas panjang. Bukan main terkejutnya Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf, mendengar bahwa Kakek luar biasa ini adalah Bu Pun Su, Guru dari Cin Hai. Yousuf pernah diceritakan oleh Lin Lin tentang kehebatan kepandaian Cin Hai, dan menceritakan pula bahwa Suhu pemuda itu bernama Bu Pan Su, tokoh yang telah terkenal namanya di seluruh penjuru. Lin Lin dan Ma Hoa lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su, sedangkan Yousuf segera membungkuk dalam-dalam hingga jidatnya hampir menyentuh tanah, satu cara penghormatan yang paling besar dari bangsa Turki.
"Locianpwe, mohon beribu ampun bahwa Teecu telah berani berlaku kurang ajar,"
Kata Lin Lin dengan hormat. Bu Pun Su menghela napas.
"Sudahlah, aku orang tua tak tahu diri yang harus minta maaf. Ketahuilah, kadang-kadang aku mempunyai keinginan untuk menjadi anak-anak kembali dan ingin mempermainkan orang. Agaknya aku telah pikun dan telah terlalu tua..."
Kemudian ia berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Aku tahu siapa kalian ini. Kau tentu Lin Lin tunangan muridku Cin Hai. Syukur bahwa kau terlepas dari cengkeraman Boan Sip si jahat itu. Dan kau ini tentu Ma Hoa murid Nelayan Cengeng. Hm, kepandaianmu yang kau keluarkan tadi jelas menunjukkan bahwa kau adalah murid Si Cengeng itu. Dan kau, Sahabat, kau tentulah Yo Su Pu yang terkenal."
Memang, nama Yousuf kalau diucapkan oleh lidah orang Han akan berubah, ada yang menyebut Yo Suhu, Yo Se Fei, Yo Su Pu dan lain-lain. Yousuf kembali menjura,
"Saya yang bodoh dan rendah mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan Lo-Suhu yang sakti?"
Bu Pun Su lalu berkata lagi,
"Apakah artinya kesaktian dan kepandaian? Hanya sepintas lalu saja. Siapa mau belajar dia tentu akan menjadi pandai. Tidak dengan sengaja aku bertemu dengan Kong-Ciak di tempat ini, maka aku merasa ingin tahu siapa yang membawa Kong-Ciak ke sini? Dan melihat Pedang ini di tangan Lin Lin, tahulah aku bahwa kalian tentu telah mengunjungi pulau itu. Dan Pedang yang menceritakan padaku bahwa Suteku yang tinggal di pulau itu telah meninggal dunia, karena ini adalah Pedangnya! Coba kau tuturkan pengalamanmu mendapatkan Pedang dan burung Merak ini,"
Perintahnya kepada Lin Lin. Sementara itu, Merak Sakti telah terbang turun dan dan hinggap di atas pundak Bu Pun Su. Lin Lin dengan singkat menuturkan pengalaman mereka di Pulau Kim-San-To dan ketika ia menceritakan betapa pulau itu terbakar musnah, Bu Pun Su mengangguk-angguk.
"Ya, ya, ya. Aku kemarin telah melihat dari pantai bahwa pulau itu telah lenyap dari permukaan laut. Dan Harimau bertanduk serta Rajawali emas tentu telah tewas pula."
Kakek ini menghela napas dan ketika mendengar disebutnya kedua binatang itu, Si Merak Sakti lalu mengeluarkan keluhan panjang dan dua butir air mata runtuh dari sepasang matanya yang indah. Kemudian Merak ini terbang ke atas dan berputar di udara.
"Hm, Kong-Ciak itu memang perasa sekali. Tentu ia bersedih mendengar nasib kedua kawannya. Ketahuilah, Merak itu dan dua binatang lain di atas pulau yang musnah adalah binatang-binatang peliharaanku. Terutama Merak ini semenjak kecil telah ikut aku di pulau itu. Setelah aku meninggalkan pulau, maka suteku yang bernasib malang itu tinggal di pulau dan bertapa di sana. Tidak tahunya sekarang ia telah menjadi rangka dan Pedangnya pun telah tinggal sepotong. Hm, demikianlah nasib manusia. Kepandaiannya yang luar biasa pun turut lenyap tak berbekas. Manusia... manusia... kau calon rangka dan debu ini, masih mau mengagulkan apamukah...?"
Kata-kata ini diucapkan oleh Kakek itu sambil memandang ke atas dan Yousuf merasa terkena sekali hatinya hingga ia menundukkan muka dengan penuh khidmat.
"Lin Lin,"
Kata Bu Pun Su.
"Kau memang berjodoh dengan Pedang ini maka Suteku sengaja memilih kau untuk memilikinya. Ketahuilah, Pedang ini bukan Pedang sembarangan dan yang tinggal sepotong ini adalah sari Pedang itu. Tadi kulihat ketika kau memegang Pedang pendek ini, agaknya kau lebih pandai mempergunakan Pedang pendek, maka biarlah Pedang potong ini kubuat menjadi Pedang pendek untukmu."
Lin Lin merasa girang sekali dan ia lalu menghaturkan terima kasih pada Bu Pun Su. Kakek tua itu lalu tinggal di atas bukit itu selama tiga pekan untuk menggembleng dan membuat Pedang pendek dari sisa Pedang berkarat itu. Kemudian ia berikan Pedang yang menjadi sebatang belati panjang kepada Lin Lin sambil berkata,
"Terimalah Pedang pendek ini yang kuberi nama Han-Le-Kiam untuk memperingati nama Suteku Han Le. Dan untuk memperlengkapi kehendak Suteku, yang memberi Pedang ini kepadamu, kau berhak menerima pelajaran ilmu silat dari persilatan kami."
Bukan main girangnya hati Lin Lin yang lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kakek sakti itu.
"Akan tetapi bukan aku si tua bangka yang hendak menurunkan kepandaian ini kepadamu. Aku telah satu kali menerima murid dan itu sudah lebih dari cukup. Cin Hai atau calon suamimu itulah yang akan bertugas menurunkan kepandaian kepadamu. Jangan menganggap aku main-main, akan tetapi tanpa perkenanku, nanti dia tidak berani menurunkan ilmu kepandaian yang dipelajarinya dariku, biar kepada isterinya sekalipun."
Lin Lin segera bertanya dengan berani,
"Akan tetapi, Locianpwe, Teecu masih belum tahu di mana adanya... dia!"
Ma Hoa dan Yousuf diam-diam tersenyum dan Bu Pun Su tertawa bergelak,
"Seperti juga tidak ada persatuan yang tidak berakhir, demikian pun tidak ada perceraian yang kekal. Kelak tentu tiba saatnya kau bertemu kembali dengan Cin Hai dan Ma Hoa dengan Kwee An. Dan kalau kau sudah bertemu calon suamimu itu, sampaikanlah pesanku supaya kau diberi pelajaran pokok yang telah kuajarkan kepadanya, kemudian memberi pelajaran ilmu Pedang yang baru diciptakannya kepadamu."
Kemudian sambil memandang kepada Yousuf, Bu Pun Su berkata pula.
"Kau tidak salah memilih Saudara Yo Su Pu ini sebagai Ayah angkatmu karena memang dia ini orang baik dan berhati mulia. Saudara Yo, akan lebih baik lagi kalau mimpi buruk yang mengganggu hatimu itu dapat dilenyapkan sama sekali."
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yousuf terkejut sekali, oleh karena mendengar ucapan ini ia dapat mengetahui bahwa Kakek sakti ini ternyata telah dapat membaca isi hatinya yang bercita-cita menjadi Kaisar di negerinya. Ia lalu tersenyum dan menjura sambil berkata,
"Lo-Suhu, terima kasih atas nasihatmu ini. Memang, semenjak bertemu dengan anakku ini, cita-cita gila itu telah kubuang jauh-jauh."
"Bagus sekali, itu hanya menambah tebal keyakinanku bahwa kau memang memiliki kebijaksanaan besar yang jarang dimiliki oleh sembarangan orang."
Kemudian Bu Pun Su pergi dari tempat itu setelah membelai leher dan kepala Merak Sakti yang nampak sedih ditinggalkan oleh majikan lamanya ini.
Oleh karena menyangka kalau-kalau Lin Lin dan Ma Hoa telah mendahului pulang ke kampung Lin Lin, maka Kwee An dan Cin Hai lalu menuju ke Selatan untuk kembali ke daerah Tiang-An. Ketika mereka langsung menuju ke rumah Kwee An, ternyata bahwa rumah itu masih tertutup dan ketika mereka bertanya kepada orang di kampung itu yang menyambut kedatangan Kwee An dengan girang, mereka mendapat keterangan bahwa Lin Lin belum pernah kembali ke situ, dan bahwa Kwee Tiong masih tetap tinggal di kelenteng Ban-Hok-Tong di Tiang-An, dan bahwa Kwee Tiong kini bahkan telah mencukur rambutnya dan masuk menjadi Hwesio! Hal ini mengejutkan hati Kwee An, maka ia lalu mengajak Cin Hai mengunjungi kakaknya itu di Kelenteng Ban-Hok-Tong di Kota Tiang-An.
Ketika mereka tiba di kelenteng Ban-Hok-Tong yang mengingatkan Cin Hai akan pengalamannya ketika masih kecil dan belajar ilmu kesusastraan dari Kwi-Sianseng Guru Sasterawan yang kurus kering itu, mereka disambut oleh seorang Hwesio tua yang bertubuh tegap dan sikapnya masih gagah. Hwesio ini adalah Tong Kak Hosiang, Hwesio perantau yang mengajar silat pada putera-putera Kwee Ciangkun, seorang Pendeta yang selain memiliki ilmu silat cukup tinggi dari cabang Kun-Lun-Pai, juga mempunyai pengertian yang dalam tentang Agama Buddha serta menjalankan ibadat dengan sungguh-sungguh. Ketika Tong Kak Hosiang mendengar pengakuan Kwee An bahwa pemuda ini adalah putera termuda dari Kwee In Liang, ia menyambut dengan girang sekali.
"Ah, kiranya Kwee-kongcu! Silakan masuk!"
Hwesio ini memandang kepada Kwee An dengan mata kagum oleh karena Kwee Tiong seringkali menceritakan tentang kegagahan dan ketinggian ilmu silat adiknya ini.
"Lo-Suhu, Teecu mohon bertemu dengan kakakku Kwee Tiong."
Tong Kak Hosiang tersenyum,
"Baik, baik, tentu saja, Kwee-kongcu,"
Tiong Yu memang sudah lama merindukan kau. O ya, hampir lupa pinceng memberitahukan bahwa kakakmu kini bernama Tiong Yu Hwesio."
Ketika Hwesio tua itu mengantar mereka masuk ke ruang dalam, mereka mendengar suara Kwee Tiong yang lantang membaca Liamkeng (kitab suci yang dibaca sambil berdoa) dan suara kayu dipukul-pukulkan untuk mengikuti irama doa dan untuk menghalau segala gangguan yang memasuki pikiran di waktu membaca Liamkeng.
"Tiong-ko!"
Kwee An memanggil dengan suara di kerongkongan.
Suara Liamkeng berhenti dan Kwee Tiong berpaling. Alangkah bedanya wajah pemuda ini dibandingkan dengan dulu dan hal ini pun dilihat jelas oleh Cin Hai. Pada wajah yang cakap itu kini terbayang kesabaran dan ketenangan yang besar hingga diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali dan juga girang melihat perubahan besar. Ketika melihat Kwee An, Kwee Tiong lalu bangkit berdiri dengan tenang dan keduanya lalu berpelukan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Agaknya dalam pelukan mesra ini keduanya telah mencurahkan keharuan hati masing-masing. Ketika Kwee Tiong melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Kwee An sambil memandang wajah adiknya, ia melihat dua butir air mata membasahi mata Kwee An. Kwee Tiong lalu tersenyum membesarkan
(Lanjut ke Jilid 19)
Pendekar Bodoh (Seri ke 03 - Serial Pendekar Sakti)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 19
hati adiknya sambil mengguncang-guncangkan pundak adiknya dan berkata lantang,
"An-te, kau kelihatan makin gagah dan tampan saja!"
Sambil berkata demikian, Kwee Tiong cepat menggunakan ujung lengan bajunya menghapus dua tetes air mata yang telah menetes di atas pipi adiknya.
"Tiong-ko, kau..."
Akan tetapi Kwee Tiong tidak memberi kesempatan kepada adiknya untuk melanjutkan kata-katanya dan untuk melampiaskan keharuan hatinya, maka ia lalu menarik tangan adiknya itu ke ruang tamu dengah muka girang, sedangkan gerakan kakinya masih menunjukkan kegagahan dan kejantanannya seperti yang dulu. Cin Hai yang menunggu di ruang tamu ketika melihat Kwee Tiong, lalu menjura dengan hormat.
"Eh, eh, Pendekar Bodoh ikut datang pula! Kau memang hebat sekali, Cin Hai adikku. Tiada habisnya aku mengagumi kau."
Ucapan ini keluar dari hatinya yang tulus hingga Cin Hai merasa girang dan terharu, maka ia lalu angkat kedua tangan memberi hormat lagi.
"Tiong Yu Hwesio saudaraku yang baik. Kebijaksanaanmu yang telah mengambil jalan suci ini membuat aku yang bodoh dan kasar menjadi malu saja."
Kwee Tiong menghampiri Cin Hai dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Aah, jangan begitu, Cin Hai! Aku masih Kwee Tiong bagimu, seperti dulu. Hanya saja bedanya, kini telah terbuka kedua mataku dan aku benar-benar girang bertemu dengan kau. O ya, di mana Lin Lin adikku yang manis?"
Matanya mencari-cari dan mengharapkan munculnya Lin Lin di situ. Setelah duduk menghadapi meja, Kwee An lalu menceritakan pengalamannya dan bahwa kini mereka berdua sedang mencari Lin Lin. Ketika mendengar tentang pembalasan sakit hati yang hampir selesai dan tinggal Hai Kong seorang itu, pada wajah Kwee Tiong tidak nampak kegirangan sebagaimana yang diduga semula, bahkan pemuda yang menjadi Hwesio itu menghela napas dan merangkapkan kedua tangan, lalu berkata,
"Aah, inilah yang membuat aku mengambil keputusan untuk menjadi seorang yang beribadat. Tadinya aku selalu merasa takut kepada musuh, sedih karena kehilangan orang tua dan saudara-saudara, penasaran karena ingin membalas dendam. Tapi apakah artinya semua perasaan yang hanya mengganggu batin itu? Setelah aku mendapat petunjuk dari Tong Kak Suhu dan masuk menjadi Hwesio, baru terbukalah mataku. Aku sekarang merasa berbahagia dan tidak menakuti sesuatu oleh karena di dalam hatiku memang tidak ada perasaan bermusuh kepada siapapun juga. Tentang pembalasan sakit hati itu, Adikku, biarlah kau yang berkepandaian tinggi dan yang merasa sakit hati, kau perjuangkan sebagai sebuah tugas suci berdasarkan kebaktian. Sedangkan aku, yang tiada berkepandaian ini, biarlah aku setiap saat berdoa untuk keselamatanmu, keselamatan Lin Lin, dan keselamatan kawan-kawan baik semua."
Cin Hai yang mendengar ucapan ini, mengangguk-angguk dan ia maklum sepenuhnya bahwa memang jalan yang diambil oleh Kwee Tiong itu dianggapnya tepat sekali. Setelah menuturkan pengalaman masing-masing dan melepaskan kerinduan dengan mengobrol semalam penuh, pada keesokan harinya Kwee An dan Cin Hai meninggalkan Kelenteng Ban-Hok-Tong.
"Kwee An marilah kita mampir sebentar di Tiang-An, karena sudah lama aku tidak pernah menginjakkan kaki di Kota itu. Seringkali aku terkenang kepada Kota di mana aku tinggal ketika kita masih kecil."
Juga Kwee An ingin melihat Kota kelahirannya maka ia menyetujui ajakan Cin Hai ini dan keduanya lalu memasuki Kota Tiang-An yang berada di dekat Kelenteng Ban-Hok-Tong itu. Mereka lalu berjalan-jalan di dalam Kota itu sampai sore. Dan ketika mereka berjalan sampai di ujung Timur, tiba-tiba mereka mendengar suara yang lantang dari dalam sebuah rumah. Mendengar suara ini, Cin Hai menyentuh tangan Kwee An dan berbisik,
"Coba, kau dengarkan itu, apakah kau masih mengenalnya?"
Kwee An memasang telinga dengan penuh perhatian dan dari jendela rumah itu terdengar suara yang jelas sekali.
"Su-Hai-Ci-Lwe-Kai-Heng-Te-Yaaaa..."
Kwee An hampir tertawa bergelak, tapi cepat-cepat ia menggunakan tangan kanan untuk menutup mulutnya dan menahan ketawanya.
"Itulah Kwi Sianseng!"
Katanya. Cin Hai tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Kalau tidak salah tentu dia. Siapa lagi yang dapat mengucapkan ujar-ujar itu demikian bagusnya? Tahukah kau berapa kali ia dulu pernah memukul dan menggetok kepalaku yang dulu gundul?"
Kwee An hampir tertawa keras-keras dan ia membelalakkan kepada Cin Hai sambil tersenyum lebar.
"Kau juga??"
Cin Hai bertanya heran,
"Apa maksudmu?"
"Kau juga menjadi korban kesukaannya memukul kepala murid-muridnya? Ha, ha, jangankan kau yang dulu memang banyak orang membenci, sedangkan aku sendiri pun entah sudah berapa kali merasai ketokan di kepalaku."
Cin Hai benar-benar tak pernah menyangka hal ini dan sedikit kebencian yang berada di hatinya terhadap Kai Sianseng lenyap seketika.
"Kalau begitu, Si Tua itu tentu masih saja mengobral hadiah ketokan kepala itu kepada anak-anak yang sekarang menjadi murid-muridnya. Hayo, kita mengintai dia!"
Bagaikan dua orang anak-anak nakal, Cin Hai dan Kwee An menghampiri rumah kecil itu dengan perlahan dan mengintai dari balik jendela. Benar juga dugaan mereka, di dalam rumah itu Kwi Sianseng yang tampak sudah tua sekali dan tubuhnya makin kurus kering, sedang berdiri dengan tangan kanan di belakang punggung dan tangan kiri memegang sebuah kitab yang dikenal baik oleh Cin Hai dan Kwee An, oleh karena kitab yang terbungkus kulit kambing itu adalah kitab yang dulu dipakai untuk mengajar mereka pula. Di depan Kakek sastrawan ini duduk di bangku dengan kedua tangan bersilang, tiga orang anak laki-laki yang mengerutkan kening bagaikan Kakek-Kakek yang sedang berpikir keras.
"Kalian anak-anak goblok, bodoh dan tolol! Dengarkan sekali lagi! Seng-Cia-Cu-Seng-Ya. Ji-To-Cu-To-Ya! Apakah artinya, siapa tahu?"
Kwee An dan Cin Hai mengintai dan menahan geli hatinya, dan Cin Hai lalu teringat akan segala yang dialaminya di waktu kecil, karena sifat dan sikap Kwi Sianseng sama sekali tidak berubah seperti dulu. Seorang di antara para murid yang jumlahnya tiga orang anak-anak itu bangkit berdiri dan mengacungkan tangan, lalu berkata dengan suara lantang,
"Seng-Cia-Cu-Seng-Ya. Ji-To-Cu-To-Ya, artinya: kesempurnaan hati suci murni harus dicapai sendiri dengan penyempurnaan watak pribadi. Jalan kebenaran yang menjadi sifat setiap orang harus diajukan dalam perbuatan sendiri."
Kakek kurus kering itu mengangguk-anggukkan kepala seperti burung makan padi.
"Bagus, bagus! Begitulah sifat seorang Kuncu (Budiman) tulen!"
Ia memuji.
"Kok-ji, kitab apa yang mengandung ujar-ujar itu dan fasal ke berapa?"
Anak yang tadi menjawab dengan lagak bagaikan seorang ahli pikir yang sudah Kakek-Kakek itu menjawab lantang,
"Terdapat di dalam kitab Tiong-Yong, fasal... fasal..."
Ia tidak dapat melanjutkan jawabannya dan memandang ke kanan kiri dengan bingung.
"Anak bodoh dan tolol!"
Gurunya memaki dan Cin Hai baru melihat bahwa makian ini agaknya memang telah menjadi kembang bibir Kwi Sianseng. Baru saja anak itu dipuji-pujinya sekarang telah dimaki tolol. Kemudian Kwi Sianseng berkata lagi.
"Dengarlah, ujar-ujar itu terdapat dalam... fasal..."
Ia juga lupa dan mencari-cari di dalam kitabnya, membuka-buka buku kitab itu dengan bingung. Sambil menahan gelinya yang membuat perutnya kaku, Cin Hai menjawab dari luar,
"Dalam fasal dua puluh lima ayat pertama!"
Kwi Sianseng terkejut sekali dan menoleh ke arah jendela yang rendah dan masuk ke dalam kamar. Kedua anak muda itu lalu menjura dan memberi hormat kepada Kwi Sianseng. Cin Hai berkata,
"Kwi Sianseng, Hakseng berdua menghaturkan hormat."
Kwi Sianseng terheran dan ragu-ragu.
"Jiwi ini siapakah?"
"Kwi Sianseng,"
Kata Kwee An.
"sudah lupakah kepadaku? Aku adalah Kwee An, putera Kwee-Ciangkun!"
Kwi Sianseng melengak, kemudian setelah teringat, ia lalu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri, nampak sekali kebanggaannya melihat betapa muridnya telah menjadi dewasa, gagah, dan cakap! Ia lalu memegang lengan Kwee An dan dengan muka yang terang berkata kepada ketiga anak muridnya,
"Nah, kalian lihatlah! Kwee-kongcu ini dulu adalah muridku yang baik dan pandai. Kalau kalian belajar baik-baik dari aku, kelak kau pun akan menjadi seorang berguna seperti dia ini!"
Kemudian ia teringat kepada Cin Hai yang telah dapat menemukan fasal dalam kitab Tiong Yong maka ia lalu menjura dengan hormat kepada Cin Hai dan bertanya,
"Dan kongcu yang cerdik pandai dan hafal akan fasal dan ayat dalam kitab Nabi kita ini, siapakah namamu yang mulia?"
Cin Hai menahan geli hatinya, menjawab sambil menjura,
"Sianseng, sudah lupakah kepada Hakseng yang tolol dan bodoh?"
Selagi Kwi Sianseng memandang heran dan mengingat-ingat, Kwee An yang tak dapat menahan kegembiraan hatinya lalu berkata,
"Kwi Sianseng, ini adalah Cin Hai, juga muridmu yang belajar darimu di Kelenteng Ban-Hok-Tong!"
Cin Hai tertawa bergelak.
"Kwee Sianseng, sekarang Hakseng tidak berani menggunduli kepala lagi, supaya jangan dijadikan sasaran pukulan dan ketokan!"
Merahlah muka Kwi Sianseng dan ia merasa betapa ia dulu memang sering kali memukul kepala anak gundul ini. Akan tetapi, sebagaimana sudah lazimnya sifat manusia yang teringat selalu adalah sifai-sifat keburukan orang lain, maka Kwi Sianseng lalu memegang tangan Cin Hai dan kini dengan suara sungguh-sungguh berkata kepada para muridnya,
"Lihatlah Kongcu ini, demikian gagah dan tampannya! Ketahuilah, dia ini dulu juga seorang muridku! Aku sayang sekali kepadanya maka tidak heran sekarang menjadi seorang pandai dan sekali mendengar saja sudah dapat menjawab pertanyaan tentang fasal tadi! Kalian tadi mendengar bahwa dulu aku sering mengetok kepalanya? Nah, jangan kira bahwa ketokan kepalanya tidak ada gunanya! Tanpa diketok kepalanya, seorang murid takkan menjadi pandai!"
Hati Cin Hai yang dulu seringkali mengenangkan Guru ini dengan benci dan mendongkol, kini menjadi lemah, bahkan ia merasa kasihan sekali melihat betapa pakaian Guru ini butut dan tambal-tambalan, tanda bahwa keadaannya miskin sekali, sedangkan tubuhnya makin kurus kering dan lemah bagaikan mayat hidup! Betapapun juga, guru-guru yang pandai ujar-ujar akan tetapi tak mampu melaksanakan ini patut dikasihani oleh karena dia adalah seorang jujur dan rela hidup dalam kemiskinan dan masih tekun menurunkan ilmu-ilmu batin yang hanya dikenal dibibir saja itu kepada anak-anak dengan menerima upah kecil! Ia mengerti bahwa segala penderitaan, makian, pukulan yang diterima dari Guru ini dalam waktu mengajar, bukan tidak ada gunanya! Sakit dan derita merupakan obat pahit yang dapat menguatkan batin dan meneguhkan iman. Maka teringatlah ia kepada ucapan Bu Pun Su dulu,
"Segala apa di dunia ini mempunyai dua muka yang berlainan dan baik buruknya muka itu terpandang oleh seseorang, hal ini tergantung sepenuhnya kepada orang itu sendiri, oleh karenanya banyak pertentangan di dunia ini yang terjadi karena perbedaan pandangan ini!"
Dan ia merasa betapa tepatnya ucapan ini. Dulu ia memandang perbuatan Kwi Sianseng kepadanya amat buruk dan kejam sehingga menimbulkan rasa benci dan sakit hati.
Akan tetapi sekarang, ia telah mempunyai pandangan lain dan menganggap bahwa perbuatan Kwi-Sianseng itu telah menjadi watak Guru ini dan bukan timbul karena membencinya, maka ia bahkan menganggap semua siksaan itu baik, hingga sebaliknya kini menimbulkan rasa terima kasih! Cin Hai lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Kwee An dan ia merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa potong uang emas yang ada padanya. Ia masukkan uang itu ke dalam saku Kwi-Sianseng tanpa dilihat oleh Guru ini, kemudian setelah mereka berkelebat maka lenyaplah keduanya dari depan Kwi-Sianseng. Tentu saja hal ini tak terduga sama sekali oleh Guru itu, juga oleh anak anak tadi yang menganggap kedua pemuda ini main sulap.
"Hebat, hebat... mereka telah menjadi orang-orang gagah yang berkepandaian luar biasa,"
Katanya kemudian ia berkata keras-keras agar terdengar oleh murid-muridnya yang kecil-kecil.
"Mereka hebat sekali dan mereka itu adalah murid-muridku. Kalian bertiga yang bodoh ini kalau mau belajar sungguh-sungguh, kelak pun akan menjadi seperti mereka."
Ketika seorang muridnya menjatuhkan kitab ke atas tanah karena terheran-heran melihat lenyapnya Kwee An dan Cin Hai hingga tanpa disengaja kitab yang dipegangnya jatuh, Kwi-Sianseng marah sekali dan melangkah maju, siap dengan jari-jarinya untuk mengetuk kepala yang gundul itu. Akan tetapi tiba-tiba bayangan Cin Hai muncul dan Guru ini teringat akan kejadian dulu-dulu, maka ia lalu menahan tangannya, dan sebaliknya ia lalu mengetok kepalanya sendiri yang sudah botak.
"Jangan kau lakukan kepada orang lain apa yang kau sendiri tidak mau diperlakukan oleh orang lain kepadamu,"
Kata-kata Cin Hai yang dulu bergema di dalam telinganya. Semenjak saat ini Kwi-Sianseng mempunyai kebiasaan baru, yaitu tiap kali ia mengetok kepala muridnya, tentu ia juga menambahkan sebuah ketokan kepada kepalanya sendiri. Cin Hai dan Kwee An sambil tertawa-tawa mengenangkan peristiwa pertemuan dengan Kwi-Sianseng tadi, lalu berjalan cepat meninggalkan Tiang-An. Mereka keluar dari Kota itu dari jurusan Timur dan tidak melewati Kelenteng Ban-Hok-Tong yang berada di sebelah Barat Kota itu. Hari telah agak gelap ketika mereka tiba di sebuah hutan di luar Kota.
Tiba-tiba mereka mendengar suara orang berseru minta tolong dan ketika mereka lari menghampiri, ternyata seorang laki-laki tua yang berpakaian seperti Piauwsu (pengawal kiriman barang berharga) sedang dikeroyok oleh lima orang Perampok. Piauwsu ini biarpun melawan dengan nekad dan memutar-mutar Goloknya, namun pengeroyoknya ternyata memiliki kepandaian yang lihai hingga pundak kiri Piauwsu itu telah berlumur darah karena mendapat luka bacokan Pedang. Akan tetapi, sambil berseru minta tolong, Piauwsu itu terus saja melawan dengan nekad. Cin Hai marah sekali melihat pengeroyokan ini dan sekali pandang saja ia maklum bahwa Piauwsu ini tentu dirampok, oleh karena di pinggir tampak sebuah kereta dan para pendorongnya yang terdiri dari empat orang telah berjongkok sambil menggigil ketakutan di belakang kereta.
"Perampok ganas, pergilah dari sini!"
Katanya dan tubuhnya telah menyambar cepat ke arah tempat pertempuran. Cin Hai tidak mau membuang banyak waktu, ia segera mempergunakan kepandaian Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-Ciak Sin-Na yang hebat. Memang ilmu silat yang belum lama ia pelajari dari Bu Pun Su ini lihai sekali.
Begitu kedua tangannya bergerak, Pedang kelima orang Perampok itu tahu-tahu telah kena dibikin terpental dan sebelum kelima orang Perampok yang juga memiliki ilmu silat lumayan itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu mereka telah dipegang oleh tangan kanan kiri pemuda itu dan dilempar-lemparkan ke kanan kiri bagaikan orang melempar-lemparkan kentang busuk saja. Tentu saja mereka merasa jerih dan ngeri melihat ilmu kepandaian sehebat ini dan tanpa menoleh lagi mereka lalu berlari secepatnya ke jurusan yang sama hingga merupakan balap lari yang ramai. Kwee An tertawa bergelak, sedangkan Cin Hai hanya tersenyum saja melihat pemandangan yang lucu itu. Sedangkan Piauwsu itu ketika melihat pemuda luar biasa lihainya yang telah menolong jiwanya, lalu melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai sambil berkata dengan suara terharu,
"Taihiap yang gagah perkasa telah menolong jiwaku yang tak berharga, aku tua bangka lemah takkan dapat membalas budi besar ini dan untuk menyatakan terima kasihku, biarlah Taihiap menyebut nama Taihiap yang mulia agar dapat kuingat selama hidupku!"
Cin Hai merasa tidak enak sekali melihat dirinya dihormati sedemikian oleh Piauwsu itu maka buru-buru ia memegang pundak Piauwsu itu dan menariknya berdiri sambil berkata,
"Lo-Piauwsu janganlah berlaku demikian. Pertolongan yang tidak ada artinya ini untuk apa dibesar-besarkan?"
Ketika Piauwsu tua itu mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang luar biasa lebar, Cin Hai merasa bahwa ia seperti pernah melihat muka ini, akan tetapi tidak ingat lagi di mana dan bilamana. Tiba-tiba Kwee An berseru sambil meloncat menghampiri,
"Tan-Kauwsu! kau kah ini?"
Memang benar, Piauwsu itu ternyata adalah Tang-Kauwsu, Guru silat yang dulu pernah mengajar silat kepada putera-putera keluarga Kwee In Liang! Tan-Kauwsu memandang heran dan ia segera mengenali Kwee An, maka sambil menjura ia berkata girang,
"Kwee-kongcu! Tak tersangka kita telah bertemu di sini! Ah, aku orang tua telah mendengar tentang kemajuan dan kelihaianmu dan telah mendengar pula bahwa engkau telah menjadi murid Eng Yang Cu-Locianpwe, tokoh Kim-San-Pai yang lihai itu! Sukurlah kepandaianmu tentu telah berlipat ganda dan aku orang tua yang tak berguna ini hanya merasa gembira!"
Kemudian ia memandang kepada Cin Hai dengan mata kagum dan melanjutkan kata-katanya.
"Akan tetapi, siapakah Taihiap yang muda akan tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian lihainya hingga belum pernah mataku yang tua menyaksikan kelihaian seperti yang telah Taihiap lakukan tadi?"
Cin Hai ketika mengingat bahwa Piauwsu ini bukan lain adalah Tan-Kauwsu yang dulu membencinya dan bahkan mengejarnya untuk membunuh, timbul pula rasa bencinya, maka ia tidak mau menjawab dan hanya memandang tajam dengan muka tidak senang. Kwee An belum pernah mendengar tentang kekejaman Tan-Kauwsu kepada Cin Hai, oleh karena Cin Hai memang tidak menceritakan hal itu kepada siapapun juga, maka Kwee An lalu tertawa girang dan berkata,
Pendekar Sakti Eps 5 Pendekar Sakti Eps 13 Pendekar Sakti Eps 30