Pendekar Sakti 30
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 30
"Bagus sekali! Ilmu silat seperti itu belum pernah aku melihatnya! Saudara Sin-Kai (Pengemis Sakti), terus hajar dia. Bunuh saja orang tidak berbudi itu"
Lu Thong yang terdesak hebat itu, tiba-tiba lalu berjongkok dan sekali dia menggerakkan kedua tangan ke depan sambil membentak.
"Hah!"
Kedua tangan itu mendorong ke depan dengan tubuhnya berjongkok. Inilah semacam Sinkang yang luar biasa sekali, yang merupakan kepandaian simpanan dari Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu. Hebatnya pukulan ini luar biasa sekali. Han Le merasa betapa dari dua tangan lawan itu menyambar tenaga yang bukan main hebatnya, yang mendorongnya dengan hebat. Terkejutlah dia dan pemuda ini cepat melompat ke atas berpoksai di udara. Biarpun dia dapat menggagalkan serangan lawan ini, namun tetap saja hawa pukulan itu membuat dia terlempar sampai tiga tombak lebih!
Pemuda tampan yang menjadi penonton melakukan gerakan berbareng dengan Sui Ceng. Keduanya melompat dan menghadapi Lu Thong, terus menyerang tanpa bertanya lagi! Pemuda tampan itu menyerang dengan pukulan hebat ke arah lambung Lu Thong dari sebelah kanan, sedang Sui Ceng yang menyambar bagaikan seekor Burung garuda, memukul pula dari atas sebelah kiri dengan tangan kanannya menotok pundak! Lu Thong terkejut sekali. Gerakan dua orang ini tidak kalah cepatnya dari pada gerakan Han Le, maka diam-diam dia mengeluh dan secepat kilat dia menggulingkan diri, terus bergulingan sehingga terhindar dari pukulan-pukulan itu. Kemudian dia melompat cepat dan dengan marah membentak,
"Kalian ini anjing-anjing pengecut hendak melakukan pengeroyokan. Jangan Kau kira aku takut. Tunggu aku mengambil senjataku!"
Setelah berkata demikian, LuThong berlari memasuki gedungnya dan tak lama kemudian dia telah keluar lagi sambil menyeret sebuah toya yang besar, panjang dan hebat.
Sementara itu, Han Le memandang kepada Sui Ceng dan pemuda tampan itu dengan muka terheran. Tak disangkanya bahwa dua orang ini memiliki ilmu silat, tinggi pula. Memang dia sudah dapat menduga bahwa Sui Ceng, gadis yang dua kali dijumpainya di dalam restoran, adalah seorang kang-ouw, akan tetapi tak disangkanya bahwa gadis itu memiliki gerakan yang demikian cepatnya ketika tadi menyerang Lu Thong. Adapun Sui Ceng dan pemuda tampan itu saling pandang, agaknya mereka seperti pernah saling bertemu, namun lupa lagi entah di mana dan bilamana. Sebelum mereka keburu membuka mulut, Lu Thong sudah keluar pula dan dengan amat marahnya dia lalu menyerang HanLe. Pemuda jembel ini mengelak dengan lompatan jauh sambil merogoh ikat pinggangnya yang tertutup oleh baju luar dan tahu-tahu di tangannya telah kelihatan sebatang Pedang yang berkilauan cahayanya.
Ternyata bahwa dia telah membawa sebatang Po-Kiam (Pedang Pusaka) yang disembunyikan di belakang baju luarnya. Pertempuran hebat terjadi lagi antara Han Le dan Lu Thong. Kini bahkan lebih seru daripada tadi karena keduanya mempergunakan senjata. Namun, seperti juga tadi, Lu Thong memperlihatkan bahwa dia benar-benar patut menjadi murid Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu, karena ilmu toyanya memang kuat sekali. Sungguhpun permainan Pedang Hun-Khai Kiam-Hoat dari Han Le juga hebat, namun pertahanan Lu Thong tidak dapat di-bobolkan. Beberapa kali Han Le mengeluarkan tipu-tipu yang amat aneh, bukan Hun-Khai Kiam-Hoat dan juga bukan dari cabang persilatan lain, amat aneh gerakannya dan tiap kali pemuda jembel itu mengeluarkan serangan yang aneh ini,
Lu Thong menjadi bingung dan terpaksa melompat mundur sambil memutar toya menjaga diri. la benar-benar tidak dapat menghadapi ilmu Pedang yang aneh sekali, yang digerakkan dengan membuat lingkaran-lingkaran besar kecil, nampaknya kacau namun berisi tenaga yang kuat dan sinar Pedangnya menyilaukan mata. Akan tetapi, setelah lawannya mundur, Han Le tidak dapat melanjutkan ilmu Pedangnya yang aneh ini dan kembali melawan dengan Hun-Khai Kiam-Hoat, seakan-akan dia memiki semacam ilmu Pedang aneh yang belum dipelajarinya sampai hafal benar. Sementara itu, pemuda tampan yang tadi ikut menyerang Lu Thong, kini setelah melihat Sui Ceng, memandang seperti orang terkena pesona. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata, kemudian dengan hati berdebar dia melangkah maju, menghadapi Sui Ceng lalu menegur halus,
"Nona, kalau aku tidak salah duga, bukankah Nona ini nona Bun Sui Ceng murid dari Kiu-Bwe Coa-Li?"
Sui Ceng terkejut. Memang sejak tadi pun ia merasa sudah kenal pemuda ini, akan tetapi ia lupa lagi. Mendengar pemuda itu menyebut namanya, ia lalu berkata,
"Bagaimana saudara bisa tahu bahwa aku adalah Bun Sui Ceng murid Kiu-Bwe Coa-Li? siapakah saudara?"
Mendengar ini, tiba-tiba wajah yang tampan itu berseri gembira dan sepasang matanya bersinar-sinar, membuat wajah itu nampak makin tampan.
"Sekali bertemu aku sudah menduga! Apalagi menyaksikan cara kau menyerang Bangsat she Lu itu! Nona, aku adalah The Kun Beng""
Seketika itu juga, wajah Sui Ceng menjadi merah sekali sampai ke telinganya. Ia hanya dapat membuka mulut dan dari bibirnya keluar kata-kata,
"Ah"
Ahhh" "
Bagaimana ia takkan merasa jengah dan gugup bertemu dengan pemuda yang ternyata adalah tunangannya itu! Kun Beng mengerti bahwa tunangannya itu tentu jengah dan malu-malu, maka dia cepat mencari jalan untuk menghilangkan perasaan tidak enak ini. Katanya dengan wajah berseri,
"Ceng-moi, marilah kita membantu pemuda itu untuk membinasakan jahanam Lu Thong. Mari kita bertiga berlumba, siapa yang akan dapat merobohkan dia lebih dulu!"
Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu mencabut senjatanya, yakni sebatang tombak pendek. Sui Ceng berani lagi mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Empat mata bertemu pandang dan keduanya mendapat kenyataan yang amat menyenangkan, yakni bahwa orang yang dipastikan menjadi jodoh masing-masing itu bukan tidak menyenangkan hati.
Kun Beng tersenyum, Sui Ceng tersenyum pula sambil mengangguk ia mencabut Pedangnya. Keduanya lalu melompat dan menyerbu Lu Thong yang masih bertempur ramai menghadapi Han Le. Kepandaian Sui Ceng dan Kun Beng sudah amat tinggi, tidak kalah oleh tingkat kepandaian dua orang muda yang sedang bertempur itu atau setidaknya berimbang. Maka menyerbunya dua orang ini membuat Lu Thong menjadi sibuk sekali. Menghadapi Pedang di tangan Han Le saja sudah berat baginya, apalagi kini ditambah oleh Pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng. Mereka bertiga adalah murid-murid dari tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, maka betapapun tangguh ilmu toyanya, dia terdesak hebat sekali.
"Kalian curang! Main keroyokan!"
Bentaknya berulang-ulang sambil memutar toyanya dengan nekat.
"Membunuh seekor anjing jahat atau ular keji tak perlu,menggunakan aturan lagi. Kau lebih jahat daripada anjing penjilat atau ular!"
Seru Kun Beng sambil mempercepat permainan tombaknya. Sui Ceng juga mempercepat gerakan Pedangnya.
"Traaang! Traaang!"
Lu Thong mengeluh dan roboh. Ia berhasil menangkis Pedang dan tombak Sui Ceng dan Kun Beng, akan tetapi karena datangnya serangan itu cepat dan kuat sekali, toyanya terlepas, dari tangannya dan pada saat itu, Han Le dapat mengirim tendangan yang mengenai lututnya sehingga Lu Thong terlempar dan roboh dengan sambungan lutut terlepas! Ia tak berdaya lagi dan meramkan mata sambil menggigit bibir, menanti datangnya senjata lawan yang akan menamatkan riwayatnya.
"Tahan dulu! Jangan bunuh dia!!"
Tiba-tiba terdengar suara orang berseru dan tahu-tahu ketika bayangan orang berkelebat, di depan Lu Thong telah berdiri seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan bersikap tenang sekali. Sui Ceng berubah air mukanya ketika mengenal bahwa pemuda yang datang ini bukan lain adalah Kwan Cu! Akan tetapi, di depan tunangannya, ia diam saja karena merasa malu untuk menegur pemuda ini, apalagi kedatangannya demikian aneh, seakan-akan hendak membela Lu Thong, manusia yang dianggap tidak berbudi dan patut dibunuh itu.
"Hm, siapakah kau dan mengapa kau menahan kami yang hendak membunuh Bangsat ini?"
Tanya Han Le penasaran dan sepasang matanya yang amat tajam menentang pandang mata Kwan Cu. Akan tetapi yang dipandang tidak menjadi gentar, bahkan dengan suara bersungguh-sungguh dan kening dikerutkan dia berkata,
"Aku tahu bahwa sesungguhnya kalian berhak membunuhnya, karena dia memang telah tersesat dan melakukan hal yang amat tidak patut. Aku percaya bahwa kalian hendak membunuh dia karena kalian adalah Pejuang-Pejuang Rakyat yang membenci Penjajah yang menguasai tanan air kita. Akan tetapi ada satu hal yang kuminta kalian ingat, yakni bahwa pemuda ini adalah keturunan terakhir daripada Menteri Lu Pin!"
"Kau mengoceh! Justeru karena dia keturunan Menteri Lu Pin maka harus dibinasakan!"
Seru Han Le yang sudah marah sekali. Pedangnya berkelebat membacok ke arah Lu Thong, akan tetapi tiba-tiba dia merasa ada sambaran angin dari sisinya dan Pedang serta tangannya yang sedang menyerang Lu Thong itu terpental ke samping. Bukan main marahnya pemuda jembel ini. Ia cepat melompat dan membalikkan tubuh menghadapi Kwan Cu.
"Kau agaknya juga kaki tangan Penjajah, patut dibikin mampus lebih dulu!"
Segera dia menyerang dengan Pedangnya, mainkan ilmu Hun-Khai Kiam-Hoat yang amat berbahaya.
Kwan Cu mengelak cepat dan tertegun menyaksikan ilmu Pedang pemuda jembel yang gagah perkasa ini. Karena dia merasa tidak mungkin pemuda ini mainkan Hun-Khai Kiam-Hoat yang dikenalnya baik, dia sengaja mengelak terus sambil memperhatikan gerakan-gerakan pemuda itu. Adapun Sui Ceng memandang dengan bengong. Pemuda jembel itu mengaku sebagai murid Ang-Bin Sin-Kai, mengapa dengan Kwan Cu mereka tidak saling mengenal? Bukankah Kwan Cu juga murid Ang-Bin Sin-Kai? Gadis ini benar-benar merasa heran sehingga ia hanya berdiri seperti patung dan menonton mereka yang sedang bertempur. Kun Beng juga tidak ingat lagi siapa adanya pemuda yang datang melindungi Lu Thong itu, maka dengan tersenyum dia lalu menggerakkan tombaknya dan berkata kepada Sui Ceng.
"Ceng-moi, biar aku binasakan dulu pengkhianat itu, kemudian kita membantu Han Le membikin mampus pengkhianat yang baru datang."
Cepat tombaknya bergerak menusuk dada Lu Thong.
"Trang!!"
Tombaknya terpental dan Kun Beng memandang kepada Sui Ceng dengan muka pucat dan mata terbelalak.
"Ceng-moi, mengapa kau menangkis tombakku? Apa artinya ini?"
"Dia itu adalah Lu Kwan Cu, murid dari Ang-Bin Sin-Kai, bukan pengkhianat. Kita dengarkan dulu apa yang hendak dia katakan maka dia mencegah kita membunuh pengkhianat ini."
Kun Beng terkejut dan cepat dia memandang kepada Kwan Cu yang dengan tangan kosong selalu mengelakkan diri dari serangan Pedang Han Le.
"Lu Kwan Cu bocah gundul dahulu itu...??"
Tanyanya seperti kepada diri sendiri. Sementara itu, Kwan Cu menjadi makin terheran-heran karena ketika Han Le yang pandai mainkan Hun-Khai Kiam-Hoat itu tidak berhasil merobohkannya, lalu tiba-tiba Han Le mengubah ilmu Pedangnya, mengeluarkan ilmu Pedang yang aneh, yakni dengan membuat lingkaran-lingkaran dengan Pedangnya, mengurung tubuh Kwan Cu.
"Heeeeei...! Berhenti dulu! Siapakah kau yang bisa mainkan Ilmu Pedang Hun-Khai Kiam-Hoat dan ilmu Pedang menurut Ilmu Silat Thian-Te Sin-Coan {Lingkaran Sakti Langit Bumi) ini?"
Han Le juga terkejut mendengar seruan Kwan Cu, akan tetapi pemuda ini sudah terlalu panas perutnya karena sebegitu jauh dia belum berhasil merobohkan pemuda yang bertangan kosong itu. Tanpa menjawab dia mempercepat gerakan Pedangnya. Akan tetapi ia terkejut sekali karena lawannya bergerak mengikuti serangannya dan tiba-tiba saja lawannya itu mendahului gerakannya yang agaknya sudah dimengerti betul oleh lawannya, lalu tahu-tahu gagang Pedangnya kena dicengkeram dan dirampas!
"Nanti dulu, kau siapakah? Dari mana kau bisa mendapatkan Ilmu Pedang Hun-Khai Kiam-Hoat? Dari mana pula kau bisa mainkan ilmu Pedang berdasarkan Thian-Te Sin-Coan? Hayo jawab!"
Muka Kwan Cu menjadi tegang. Han Le kaget bukan kepalang melihat betapa lawannya dengan satu kali gebrakan saja setelah membalas serangan-serangannya telah berhasil merampas Pedangnya. Ia masih penasaran dan cepat tangan kanannya memukul dada Kwan Cu. Pukulan ini dahsyat sekali dan hawa pukulan ini pun menurut petunjuk daripada ukiran-ukiran di dalam Goa Pulau Pek-Hio-To! Kwan Cu cepat melompat ke belakang beberapa kaki jauhnya.
"Kau pernah apakah dengan Suhu Ang-Bin Sin-Kai? Dan bagaimana kau bisa mainkan ilmu silat yang terdapat di Pulau Pek-Hio-To?"
Kembali Kwan Cu mendesak. Mendengar ini, Han Le menjadi pucat dan dia berdiri seperti patung dengan mata terbelalak.
"Kau... Kau siapakah?"
"Aku murid Ang-Bin Sin-Kai, Lu Kwan Cu namaku."
Han Le mengeluarkan teriakan girang lalu dia menubruk dan berlutut di depan Kwan Cu, memeluk kedua kaki pemuda itu.
"Aduh, Suheng! Suheng Lu Kwan Cu yang sudah lama kucari-cari! Tidak kusangka dapat bertemu di sini. Harap Suheng mengampunkan kekurang-ajaranku "
Katanya. Kwan Cu memegang kedua pundak Han Le dan sekali dia menggerakkan tangannya, biarpun Han Le sudah mengerahkan Lweekangnya, tetap saja pemuda jembel ini kena ditarik naik dan terpaksa berdiri.
"Hayo bilang, kau siapa? Jangan main-main!"
Seru Kwan Cu.
"Siauwte adalah murid Ang-Bin Sin-Kai pula. Setelah Suheng pergi, Suhu mengambil aku bocah sengsara sebagai murid, kemudian Suhu yang menyuruh aku menyusul Suheng ke Pek-Hio-To!"
Kwan Cu tercengang dan tak dapat berkata-kata saking herannya.
"Kwan Cu, kau sudah lupa pulakah kepadaku?"
Tiba-tiba pemuda tampan yang dia lihat berdiri di dekat Sui Ceng berkata.
"Aku adalah The Kun Beng, murid Pak-Lo-Sian!"
Kwan Cu kembali berubah air mukanya dan dia memandang kepada Sui Ceng, hatinya tidak karuan rasanya.
"Dia ini Bun Sui Ceng yang dulu itu, dia tunanganku "
Kun Beng memperkenalkan.
"Koko!"
Sui Ceng menegur tunangannya itu. Hati Kwan Cu terpukul. Panggilan gadis itu dengan sebutan "koko"
Terhadap Kun Beng terdengar begitu manis dan mesra, juga amat menusuk jantungnya. Ia memandang kepada Kun Beng dengan wajah dingin karena dia teringat akan nasib Gouw Kui Lan. Tanpa berkata sesuatu Kwan Cu menghampiri Lu Thong, lalu dia cepat mengetuk dan mengurut kaki kakak angkatnya ini sehingga tersambung kembali lutut yang tadi terlepas.
"Suheng, mengapa kau mencegah Siauw-te membunuhnya?"
Han Le bertanya.
"Dia ini patut dikasihani. Seluruh keluarganya telah musnah, dan dia tersesat karena berada di lingkungan orang-orang yang berhati khianat. Lu Thong, apakah kau sekarang sudah insyaf? Lihatlah mereka ini, mereka ini adalah orang-orang muda yang membantu Rakyat. Kau sebagai seorang pemuda Han yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa kau tidak dapat mencontoh mereka? Mengapa kau tidak mau menyumbangkan tenaga untuk tanah air dan Bangsa? Ingatlah, kong-kong Lu Pin telah meninggal dunia dalam keadaan amat mengenaskan. Seluruh keluargamu terbinasa pula. Tidak ingatkah kau kepada Ayah bundamu yang menjadi korban jahanam An Lu Shan?"
Menitik air mata dari kedua mata Lu Thong.
"Aku... tadinya aku bermaksud mencapai kedudukan tinggi, sebagai Kaisar aku akan lebih mudah membalas musuh-musuhku... menjunjung tinggi nama keluargaku, mencuci noda mereka yang dianggap sebagai Pemberontak..."
"Kau keliru! Mereka bukan Pemberontak, akan tetapi mereka tewas sebagai Pahlawan-Pahlawan Bangsa! Dan ke mana larinya cita-citamu yang terlalu muluk itu? An Lu Shan terbunuh oleh puteranya sendiri, kemudian puteranya terbunuh pula oleh Si Su Beng. Dan kau... apakah Kau kira akan dapat mengharapkan kurnia dari Si Su Beng?"
Pada saat itu, terdengar derap kaki banyak orang dan terdengar Sui Ceng berseru,
"Pasukan Gi-Lim-Kun (Pasukan pengawal Kaisar) datang menyerbu!"
Empat orang muda itu bersiap-siap. Sui Ceng melintangkan Pedangnya di depan dada. Han Le memegang kembali Pedangnya yang dia terima dari Kwan Cu. Kun Beng memegang tombaknya erat-erat dan Kwan Cu juga bertolak pinggang dan sepasang matanya bersinar-sinar. Setelah menepuk-nepuk lututnya dan merasa bahwa lututnya dapat digerakkan biarpun masih agak sakit, Lu Thong lalu mengambil toyanya yang tadi terlepas dari tangannya.
"Kau mau apa?"
Bentak Sui sambil menodongkan Pedangnya di dada Lu Thong. Akan tetapi yang ditodong tidak menghiraukannya dan masih terus mengambil toyanya.
"Hendak kulihat apakah yang akan mereka lakukan di sini,"
Katanya dengan suara dingin dan matanya mengeluarkan sinar yang amat berlainan dari tadi.
"Lu Thong, keturunan Pemberontak, menyerahlah! Kami datang atas nama Kaisar untuk menangkapmu!"
Terdengar teriakan komandan barisan Gi-Lim-Kun yang sudah datang di luar pekarangan rumahnya.
"Apa kataku, Lu Thong? Kaisar begitukah yang hendak kau bela dengan mempertaruhkan nyawa Bangsamu?"
Kata Kwan Cu perlahan, akan tetapi cukup membakar isi dada Lu Thong. Dengan muka merah dan mata melotot, toya dipegang erat-erat, Lu Thong berteriak kepada barisan yang terdiri dari tiga puluh orang itu,
"Anjing-anjing keparat! Dengarlah baik-baik. Sekarang baru terbuka mataku dan kulihat kepalamu semua bukan kepala manusia, melainkan kepala anjing-anjing penjilat. Dan aku Lu Thong keturunan Lu Pin dan Ang-Bin Sin-Kai Lu Sin, mulai sekarang tugasku ialah menghancurkan kepala-kepala anjing!"
Sambil berkata demikian, dia memutar toyanya dan berlari terpincang-pincang menyerbu barisan Gi-Lim-Kun. Kwan Cu segera menyusulnya, setelah melirik ke arah Sui Ceng, Han Le, dan Kun Beng dengan pandang mata penuh arti.
Tiga orang muda ini saling pandang dan diam-diam mereka membenarkan, pembelaan Kwan Cu terhadap Lu Thong tadi, karena sekarang ternyata Lu Thong yang khianat telah sekaligus berubah menjadi Lu Thong yang mengandung penuh dendam terhadap Penjajah yang sudah memusnahkan seluruh keluarga! Mereka pun lalu berlari menyusul dan memutar senjata mengamuk dan menyerbu barisan Gi-Lim-Kun! Mana bisa barisan Gi-Lim-Kun kuat menghadapi lima orang muda ini? Mereka ini adalah orang-orang muda murid tokoh-tokoh yang sakti, yang memiliki kepandaian luar biasa sekali. Biarpun barisan Gi-Lim-Kun terdiri dari ahli-ahli silat yang pandai, namun menghadapi serbuan lima orang muda ini, sebentar saja mereka menjadi kocar-kacir.
Mayat bergelimpangan yang amat mengerikan. Yang paling hebat amukannya adalah Lu Thong. Toyanya menyambar-nyambar dan sedikitnya ada lima orang anggauta Gi-Lim-Kun yang pecah kepalanya terkena pukulan toyanya! Di antara mereka semua, hanya Kwan Cu seorang yang lain lagi sepak-terjangnya. ia tidak tega menjadi alat ini, entah karena terdorong oleh keinginan mendapatkan harta, atau pun terkena tipu dan bujukan maka mereka menjadi barisan Gi-Lim-Kun. Oleh karena itu, pemuda ini hanya bergerak dengan tangan kosong dan dia cukup puas asalkan dapat menotok roboh mereka itu tanpa membahayakan nyawa mereka. Han Le agaknya juga tidak begitu kejam karena Pedangnya hanya merobohkan orang dan melukainya tanpa mematikan lawan. Sebaliknya, Sui Ceng benar-benar seperti Gurunya.
Setiap kali Pedangnya bergerak, seorang anggauta Gi-Lim-Kun menjerit kesakitan dengan lengan putus, kaki putus, bahkan ada yang lehernya putus! Demikian pula Kun Beng mengamuk, akan tetapi pemuda ini tidak seganas Sui Ceng atau Lu Thong. Akan tetapi, lima orang jago muda ini mengamuk di tengah-tengah Kota Raja dan hal ini bukanlah merupakan pekerjaan main-main yang mudah saja. Tak lama kemudian, datanglah barisan baru yang jauh lebih kuat daripada barisan Gi-Lim-Kun yang sudah dapat diobrak-abrik, karena barisan ini adalah barisan Si-wi, yakni pengawal pribadi Kaisar, dan dipimpin pula oleh Kiam Ki Sianjin, dan Panglima-Panglima yang berkepandaian tinggi! Pertempuran berjalan makin hebat. Kwan Cu yang mengetahui bahwa bagi empat orang kawannya, Kiam Ki Sianjin terlampau tangguh, cepat mencabut Sulingnya dan menghadapi Kakek ini.
Akan tetapi tetap saja empat orang kawannya menjadi terkurung seperti tadi, dan terpaksa bersilat cepat untuk melindungi tubuh daripada hujan senjata lawan yang amat banyak jumlahnya itu. Akan tetapi, sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka otomatis tahu bagaimana caranya untuk melayani keroyokan yang demikian banyaknya. Tanpa ada yang mengomando, mereka otomatis berkelahi berdekatan satu sama lain, bahkan lalu membuat lingkaran dengan punggung dihadapkan kepada kawan sendiri sehingga mereka merupakan lingkaran segi empat yang tak dapat diserang dari belakang! Dengan jalan ini, Lu Thong, Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le dapat mempertahankan diri dengan kuatnya dan kadang-kadang terdengar pekik orang dan terjungkalnya seorang anggauta Si-wi.
Namun, Sui Ceng amat kecewa tidak melihat Kwan Cu berada di lingkaran mereka itu. Hal ini adalah karena Kwan Cu sengaja menghadapi Kiam Ki Sianjin, mencegah Kakek ini ikut menyerang empat orang kawannya. Sui Ceng mengira bahwa karena kepandaiannya tidak tinggi, kwan Cu sudah tertawan atau melarikan diri. Ia menggigit bibir dengan gemas kalau memikirkan bahwa pemuda itu sudah melarikan diri meninggalkan kawan-kawannya. Ia tidak tahu bahwa kepandaian Kwan Cu sudah tinggi sekali. Kemenangan Kwan Cu atas Han Le tadi tidak membikin dia merasa heran karena sebagai murid-murid seguru, tentu saja Kwan Cu sudah mengetahui semua cara bersilat dari Han Le dan dapat memenangkannya!
Demikian pula Kun Beng sama sekali tidak mengira bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian tinggi. Hanya Han Le dan Lu Thong yang mengetahuinya baik-baik. Lu Thong yang sudah pernah merasai kelihaian Kwan Cu, adapun Han Le lebih-lebih lagi. Tidak saja dia sudah dapat menduga bahwa Suhengnya yang sudah tinggal di Pulau Pek-Hio-To itu telah mempelajari ilmu kesaktian yang luar biasa, juga tadi dia telah merasai sendiri kehebatan kepandaian Suhengnya. Makin lama kurungan makin rapat. Pihak pengeroyok memang luar biasa banyaknya. Roboh satu datang dua, roboh lima datang sepuluh. Empat orang jago muda itu sudah bertempur tiga jam lebih dan mereka mulai lelah sekali. Apalagi Lu Thong lututnya terasa sakit dan dia menjadi makin lambat gerakannya. Akhirnya, sebuah tusukan tombak melukai pahanya dan dia terhuyung-huyung roboh.
Baiknya Han Le cepat menyambar tangannya dan menariknya ke dalam lingkaran, sehingga tubuh Lu Thong terlindung oleh tiga orang muda itu. Di lain fihak, Kwan Cu yang tadinya menghadapi Kiam Ki Sianjin, sekarang ternyata telah dikeroyok tiga orang, yakni Kiam Ki Sianjin sendiri dan dua orang Panglima yang lihai sekali ilmu goloknya. Kwan Cu melayani mereka dengan gagah dan sedikit pun tidak terdesak, bahkan pada jurus ke lima puluh lebih, dia berhasil merobohkan seorang Panglima dengan pukulan-pukulan Pek-In Hoat-Sut. Namun, sebagai gantinya datang pula dua orang Panglima lain, sedangkan Kiam Ki Sianjin masih terus melawannya dengan amat kuatnya, dan kali ini agaknya tidak mudah bagi Kwan Cu untuk mengalahkan Kiam Ki Sianjin. Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le sudah lelah dan mulai terdesak.
Biarpun korban fihak musuh yang jatuh tak terhitung banyaknya, namun setiap kali ada yang jatuh, mereka yang jatuh diangkat pergi dan sebagai gantinya datang pengeroyok-pengeroyok lain yang masih segar dan memiliki kepandaian silat tinggi juga. Tiga orang muda ini maklum bahwa kalau diteruskan, mereka pasti akan celaka semua. Kini mereka tidak begitu mudah lagi menjatuhkan lawan, karena para pengeroyok kini terdiri dari orang-orang yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat lumayan. Kwan Cu maklum pula akan hal ini. Tiba-tiba pemuda ini menyimpan Sulingnya dan ketika dua orang Panglima menyerang dari kanan kiri dan Kiam Ki Sianjin mendesak dari depan, dia melayani dua orang Panglima yang bergolok itu dengan Ilmu Silat Kong-Ciak Sin-Na, sedangkan terhadap Kiam Ki sianjin dia melancarkan pukulan-pukulan Pek-In Hoat-Sut.
Tosu itu sudah cukup mengenal kelihaian lengan tangan yang mengebulkan uap itu, maka cepat-cepat dia menjatuhkan diri untuk menyimpan napas dan mengerahkan Lweekang agar dia cukup kuat menghadapi serangan ilmu pukulan Pek-In Hoat-Sut, akan tetapi dua orang Panglima yang belum mengenal Kwan Cu baik-baik, terus mendesak pernuda itu. Dan sebelum mereka tahu bagaimana terjadinya, pundak mereka telah terkena cengkeraman IImu Silat Kong-Ciak Sin-Na dan golok mereka terlempar. Kwan Cu tidak mau berlaku kepalang tanggung. Ia mengangkat tubuh dua orang ini, yang seorang dia lemparkan ke arah Kiam Ki Sianjin dan menggunakan kesempatan itu untuk memutar-mutarkan orang ke dua dan membobolkan kepungan yang mengurung tiga orang kawannya yang masih melawan mati-matian.
"Kawan-kawan, mari kita pergi!"
Katanya setelah berhasil menyerbu dan memasuki kurungan. Sui Ceng dan Kun Beng tertegun melihat bahwa Kwan Cu ternyata masih hidup dan berada di situ, dan diam-diam Sui Ceng merasa girang sekali. Ternyata pemuda ini tidak melarikan diri seperti yang tadi ia khawatirkan. Kemudian Kwan Cu melihat Lu Thong yang terduduk dan luka kakinya. Cepat Kwan Cu melemparkan Panglima itu kepada Kun Beng dan berkata,
"Kun Beng, kau terima ini dan pergunakan sebagai senjata mencari jalan keluar. Aku akan menggendong Lu Thong!"
Kun Beng menyambut datangnya tubuh Panglima itu dengan tangan kiri dan sekali dia mengulur tangan, dia telah berhasil membekuk batang leher Panglima itu yang masih hidup akan tetapi sudah tidak berdaya karena jalan darahnya telah ditotok oleh Kwan Cu.
"Lebih baik kalian juga menangkap seorang lawan untuk dijadikan senjata!"
Kata Kun Beng. Sui Ceng dan Han Le mengerti apa yang dikehendaki oleh kawan ini. Dengan cepat mereka mendesak maju dan sebentar saja Han Le dan Sui Ceng sudah dapat menangkap masing-masing seorang pengeroyok dan mengamuklah tiga orang ini, mencari jalan keluar, membobolkan kurungan sambil memutar-mutar tubuh lawan yang mereka pegang kakinya! Dalam pengamukan ini, Sui Ceng, Han Le dan Kun Beng lagi-lagi kehilangan Kwan Cu. Ke mana perginya pemuda itu? Setelah mengempit tubuh Lu Thong dengan tangan kirinya, Kwan Cu melompat cepat melalui kepala para pengurung itu dan dia sengaja melarikan di dekat Kiam Ki Sianjin yang menyumpah-nyumpah marah melihat kawan-kawannya dibikin kocar-kacir oleh tiga orang muda itu.
"Bodoh, goblok! Menghadap tiga orang saja tidak becus menangkap dan mengalahkan."
Tosu ini memaki-maki anak buahnya.
"Locianpwe, mereka menggunakan kawan kami sebagai senjata untuk mengamuk,"
Jawab seorang Perwira Si-wi.
"Bodoh! Bacok mampus saja semuanya, biar kawan sendiri kalau sudah mereka tangkap, perlu apa takut membacoknya?"
Demikianlah, para Si-wi itu lalu mengepung kembali dan kini mereka menggunakan senjata untuk menangkis dan membacok tiga orang muda itu sehingga senjata mereka tentu saja mengenai kawan sendiri yang diputar-putarkan oleh tiga orang muda perkasa itu. Melihat kenekatan para pengeroyok ini, Sui Ceng dan kawan-kawannya terkejut. Tentu saja mereka lalu melemparkan orang yang mereka pegang karena tubuh orang itu hancur terkena hujan senjata kawan-kawan sendiri dan mulailah menangkap lain orang untuk dijadikan senjata. Biarpun mereka agak lambat maju, namun mereka dapat juga menipiskan kepungan dan keadaan mereka tidak terdesak seperti tadi. Apalagi sekarang mereka tidak perlu melindungi Lu Thong seperti tadi.
"Eh, mana Kwan Cu"?"
Tanya Sui Ceng yang merasa heran sekali. Tadi Kwan Cu berada di dalam kepungan, jadi di belakangnya, juga di belakang Kun Beng dan Han Le, karena Kwan Cu menghampiri Lu Thong yang berada di tengah-tengah. Akan tetapi mengapa sekarang Kwan Cu dan Lu Thong sudah lenyap dari situ? Juga kedua orang kawannya tidak tahu kemana perginya Kwan Cu mengempit tubuh Lu Thong, akan tetapi oleh karena mereka selalu menghadapi keroyokan musuh, mereka tidak sempat melihat Kwan Cu yang melompat cepat sekali melalui kepala mereka dan para pengeroyok! Adapun Kwan Cu sebagaimana dituturkan di atas, sengaja lari membawa Lu Thong mendekati Kiam Ki Sianjin. Tentu saja melihat pemuda itu mengempit tubuh Lu Thong, Kiam-Ki-Sianjin cepat mengejar dengan Pedang di tangan.
"Bangsat Lu Kwan Cu, ternyata engkau hendak mati-matian membela Pemberontak!"
Serunya. Kwan Cu tersenyum sindir.
"Kiam Ki Sianjin, dia ini adalah keturunan Menteri Lu Pin, bagaimana aku takkan membelanya?"
Pemuda ini menyimpan Sulingnya dan kini tahu-tahu tangannya telah memegang sebatang Pedang yang bercahaya gemilang. Inilah Liong-Coan-Kiam, Pedang peninggalan Menteri Lu Pin yang sengaja diberikan kepadanya. Kiam Ki Sianjin tertegun dan merasa agak jerih. Baru sekarang dia melihat pemuda ini memegang Pedang. Biasanya, dengan tangan kosong atau paling-paling dengan sebatang Suling di tangan, pemuda itu sudah terlampau tangguh baginya, apalagi sekarang memegang sebatang Pedang mustika!
"Kiam Ki Sianjin, apakah kau tidak melihat siapa adanya pendekar-pendekar muda itu? Lihatlah baik-baik, gadis perkasa itu adalah murid tunggal dari Kiu-Bwe Coa-Li, pemuda bertombak itu adalah murid terkasih dari Pak-Lo-Sian Siang-koan Hai, dan pemuda sederhana itu adalah Suteku! Aku tanggung bahwa kalau kau terus mengurung mereka, semua anak buahmu akan hancur lebur. Dan bukan itu saja, kalau sampai mereka terluka, tentu para Locianpwe itu akan bersumpah membalas dendam kepadamu."
"Habis, apa kehendakmu?"
Tanya Kiam Ki Sianjin memandang tajam.
"Kalau kau hendak menghalangi mereka lari, kau tahu bahwa aku akan menyerangmu mati-matian dan mungkin sekali aku akan dapat menewaskan engkau. Akan tetapi kalau kau mau melepaskan mereka lari, kita kelak akan dapat bertemu pula dan aku takkan melupakan maksud baikmu ini."
Sampai beberapa lama Kiam Ki Sian-jin diam saja, matanya memandang ke arah tiga orang muda yang tengah mengamuk hebat mencari jalan keluar. Memang sepak terjang mereka hebat sekali dan sekarang pun para anak buahnya sudah mulai kocar-kacir. Akhirnya dia mengangguk dan Kwan Cu girang sekali.
"Terima kasih, Kiam Ki Sianjin. Kau ternyata berpemandangan jauh."
Ia lalu membawa Lu Thong melompat ke Barat!
"Sui Ceng, Kun Beng dan Sute! Lari melalui pintu Barat!"
Tiga orang muda itu ketika mendengar seruan Kwan Cu yang tiba-tiba ini, menjadi terheran, akan tetapi mereka lalu memutar senjata memaksa para Si-wi yang masih berani mengeroyok untuk mundur dan larilah mereka ke Barat. Kwan Cu sudah tidak kelihatan lagi oleh mereka. Aneh sekali, setelah mereka tiba di dinding sebelah Barat, di situ tidak kelihatan ada musuh, maka mudah saja mereka melompati tembok itu. Dan ternyata bahwa Kwan Cu sudah berada di bawah tembok sambil mengempit Lu Thong.
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau sudah di sini?"
Tanya Kun Beng tak mengerti. Juga Sui Ceng terheran, akan tetapi Han Le diam-diam makin kagum akan kepandaian Suhengnya itu.
Kiam Ki Sianjin memenuhi janjinya. Ia tidak memberi perintah kepada anak buahnya untuk mengejar, melainkan menyuruh mereka merawat kawan-kawan yang luka serta mengurus mayat mereka yang tewas. Oleh karena itu, kawanan orang muda perkasa itu dengan mudah dapat melarikan diri keluar dari Kota Raja dan memasuki hutan sebelah Barat. Dengan Kwan Cu di depan, mereka berlari terus sampai jauh dari Kota Raja. Kemudian mereka berhenti dan Kwan Cu segera mengambil saputangan untuk membalut luka di paha Lu Thong dan setelah mengurut serta menotok jalan darah di kaki pemuda ini, Lu Thong dapat berdiri dan berjalan pula, sungguhpun masih terasa amat sakit pahanya yang terluka itu.
"Kwan Cu, kau cerdik sekali, bisa mencarikan jalan keluar yang tak terjaga untuk kita,"
Kata Kun Beng memuji dan bibirnya tersenyum kalau dia mengingat betapa bodohnya pemuda itu diwaktu masih kecilnya.
"Kwan Cu, pertemuan kita dalam keadaan yang menguntungkan telah membuat kita bertemu sebagai sahabat, aku senang sekali akan hal ini. Sekarang, biarlah kita berpisah dan kelak aku mengharapkan sekali kedatanganmu untuk menghadiri... pernikahan kami."
Sambil berkata demikian, pemuda yang tampan itu melirik ke arah Sui Ceng. Gadis itu menjadi jengah dan malu, mengerling tajam dan menegur tunangannya dengan pandangan matanya itu. Akan tetapi tak seorang pun tahu betapa mendongkol dan marah hati Kwan Cu terhadap Kun Beng. Ingin dia menceritakan tentang Gouw Kui Lan, ingin dia menampar muka pemuda yang tampan itu. Akan tetapi Kwan Cu dapat menekan nafsunya dan dia hanya tersenyum dan mengangguk tanpa menjawab sesuatu.
"Ceng-moi, marilah kita pergi,"
Ajak Kun Beng kepada Sui Ceng dengan suara mesra.
"Ke... Manakah? Aku... Aku hendak kembali mencari Suthai."
"Hendak menemui Kiu-Bwe Coa-Li Suthai? Baiklah, mari kita bersama menjumpainya, memang perlu kita memberitahukan kepada Gurumu tentang penetapan hari pernikahan."
Sui Ceng makin merah mukanya. Untuk sekejap ia melirik kearah Kwan Cu dan bukan main heran hatinya melihat pandangan mata Kwan Cu yang berapi-api ditujukan kepada Kun Beng yang demikian mengerikan dan dia bergidik. Alangkah anehnya Kwan Cu setelah dewasa, aneh dan menarik hati. Akan tetapi pandang mata itu membayangkan kebencian yang hebat dan Sui Ceng merasa tidak enak hati.
"Marilah,"
Katanya perlahan dan ia lalu melompat tanpa berpamit kepada Kwan Cu atau yang lain-lain, sedangkan Kun Beng juga melompat menyusul dengan wajah berseri-seri. Kwan Cu menggigit bibirnya dan mengepal tinjunya, memandang ke arah perginya dua orang itu tanpa bergerak seperti patung. Lu Thong yang kini sudah terbuka matanya dan sadar akan kesesatannya, duduk memisahkan diri di bawah pohon. Dia merenungkan dan kadang-kadang menggigit bibir, mengepalkan tinju, wajahnya pucat seperti seorang yang kehilangan semangatnya.
"Suheng."
Han Le menegur Kwan Cu yang masih berdiri seperti patung itu. Kwan Cu tersadar dan cepat menoleh wajahnya merah sekali ketika dia melihat pandang mata pemuda itu. Mata itu seakan-akan dapat membaca isi hatinya.
"Suheng, mengapa kau kelihatan berduka?"
Kwan Cu menjadi sadar betul-betul dan dengan tersenyum dia lalu memegang lengan pemuda itu.
"Tidak apa-apa, Sute. Sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau bisa menjadi murid Suhu, semenjak kapan kau belajar ilmu silat kepada Suhu dan bagaimana pula kau bisa mainkan ilmu silat yang hanya terdapat di atas Pulau Pek-Hio-To?"
Karena melihat Lu Thong masih duduk melamun seorang diri, kedua orang pemuda ini lalu duduk di atas batu dan berceritalah Han Le.
"Aku adalah seorang anak sengsara. Kedua orang tuaku menjadi korban perang dan mereka tewas oleh bala Tentara Pemberontak An Lu Shan. Baiknya ketika aku sedang dikeroyok oleh balaTentara Pemberontak dan hampir mengalami kebinasaan, datanglah Suhu yang menolongku. Hal itu terjadi tidak lama setelah kau berpisah dari Suhu. Suhu lalu mengambil murid kepadaku. Sebelum itu aku adalah anak murid dari Kun-Lun-Pai, dan karena semenjak kecil aku sudah belajar ilmu silat, tidak sukar bagiku untuk menerima gemblengan dari Suhu. Kemudian, Suhu mendengar tentang jatuhnya pemerintah Tang dan didudukinya kerajaan oleh An Lu Shan. Suhu marah dan hendak memberi hajaran kepada orang-orang kang-ouw yang membantu Pemberontak. Aku hendak ikut, akan tetapi dilarangnya dengan alasan bahwa kepandaianku masih jauh daripada mencukupi untuk berhadapan dengan tokoh-tokoh kang-ouw itu. Bahkan Suhu lalu menyuruh aku menyusulmu ke Pulau Pek-Hio-To. Akan tetapi ketika tiba di pulau itu, kau tidak ada dan aku mendapatkan ukiran-ukiran di dalam Goa. Karena tertarik aku lalu berlatih seorang diri mempelajari semua ukiran itu dan mendapat kenyataan bahkan semua itu adalah pelajaran ilmu silat yang luar biasa sekali, akan tetapi sukar sekali dipelajarinya. Suheng, melihat ilmu silatmu, agaknya kau sudah dapat memecahkan semua rahasia dari pelajaran itu, bukan?"
Kwan Cu mengangguk.
"Sute, ilmu silatmu sendiri sudah amat tinggi dan baik. Tidak mudah untuk memecahkan rahasia ilmu silat itu, karena ketahuilah bahwa lukisan-lukisan itu adalah petunjuk dari ilmu-ilmu silat yang terdapat dalam kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng."
Berseri wajah Han Le yang tampan.
"Ah, kalau begitu benar kata Suhu. Suheng telah mewarisi ilmu silat dari Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng!"
Wajahnya bersinar penuh kekaguman. Kwan Cu menarik napas panjang.
"Ilmu kepandaian itu tidak ada batasnya, Sute. Sepandai-pandainya orang, masih ada yang melebihinya, akhirnya dia akan mengaku bahwa dia amat lemah apabila menghadapi musuh yang berada di dalam hati sendiri."
Kwan Cu termenung dan dia teringat akan Sui Ceng. Ia benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu, akan tetapi gadis itu telah bertunangan dengan Kun Beng. Hal inilah yang menyakitkan hatinya. Andai kata gadis itu bertunangan dengan pemuda lain, agaknya akan mudah baginya untuk menyerah dan berusaha melupakan gadis itu. Akan tetapi Kun Beng? Nama ini membuat dia otomatis teringat akan Kui Lan dan timbullah penasaran dan sakit hatinya. Tidak, Sui Ceng tidak boleh menikah dengan pemuda itu!
"Han Le, kau tentu akan membantu perjuangan Rakyat bukan?"
"Tentu saja, Suheng. Orang tuaku tewas oleh Penjajah dan aku belum puas kalau para Penjajah belum terusir dari negara kita."
"Bagus, kalau begitu kau bawalah Lu Thong. Obat satu-satunya bagi dia adalah perjuangan membela tanah air dan Bangsanya untuk menebus kesesatannya."
Kwan Cu menghampiri Lu Thong, diikuti oleh Sutenya. Lu Thong sudah sadar dari lamunannya dan dia memandang kepada Kwan Cu dengan bibir tersenyum pahit.
"Kwan Cu, kau tentu cinta kepada Sui Ceng, bukan?"
Bukan main kagetnya Kwan Cu mendengar ucapan ini. Memang, berbeda dengan Kwan Cu atau Han le, Lu Thong sudah kenyang dengan pengalaman tentang hubungan pria dan wanita, tentang kasih asmara dan tanda-tandanya. Biarpun dia hanya sekelebatan saja melihat semua pertemuan dan percakapan itu, akan tetapi dia sudah dapat menduga dengan tepat sekali.
"Lu Thong, omongan apakah yang kau keluarkan ini? Sekarang bukan waktunya bicara yang bukan-bukan. Sebaliknya aku hendak bertanya kepadamu, apakah sekarang kau sudah insyaf betul-betul dan sadar bahwa yang sudah-sudah kau telah tersesat jauh sekali?"
Lu Thong menarik napas panjang.
"Memang aku bodoh dan mudah tertarik oleh kedudukan dan harta, Kwan Cu. Akan tetapi apakah yang dapat kulakukan sekarang? Keluargaku telah terbinasa, dan kalau kuingat-ingat aku adalah anak yang paling Puthauw (tidak berbakti), anak durhaka."
Tiba-tiba Lu Thong menangis sambil menutupi kedua matanya dengan tangan. Kwan Cu terharu.
"Lu Thong, sudah menjadi kewajibanmu untuk menebus dosa itu dan membalaskan sakit hati orang tuamu."
Lu Thong menurunkan tangannya, air matanya mengalir perlahan melalui pipinya.
"Apa dayaku? Musuh-musuhku adalah Penjajah dan mereka amat kuat. Baru menghadapi Pasukan Si-wi saja, aku sudah terluka, apalagi kalau menghadapi barisan Penjajah? Pula di sana ada orang-orang sakti seperti Kiam Ki Sianjin dan lain-lain."
"Kau tidak berdiri sendiri, Lu Thong. Di fihak kita pun ada ratusan laksa Rakyat yang berjuang dengan penuh dendam terhadap Penjajah. Sukakah kau membantu perjuangan mereka?"
"Membantu para Pemberontak?"
"Nah, itulah kepicikanmu, Lu Thong. Memang, Pejuang-Pejuang Rakyat itu disebut Pemberontak oleh Penjajah, akan tetapi bagaimana orang-orang gagah yang membela tanah air dan Bangsa dari tindasan Penjajah asing disebut Pemberontak? Insyaflah bahwa para Pejuang Rakyat itu sudah dibikin sakit hati oleh Penjajah."
Lu Thong melompat bangun.
"Kau benar, Kwan Cu. Baik, aku bersedia untuk membantu perjuangan Rakyat dengan taruhan nyawaku."
Kwan Cu sebaliknya menjadi girang sekali.
"Bagus, kalau begitu kau benar-benar saudaraku! Kau ikutlah dengan Suteku ini dan dia akan membawamu ke tempat Rakyat yang sedang menyusun kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan Penjajah. Aku akan menyusul kelak."
Maka berangkatlah Lu Thong dan Han Le, menuju ke markas Pasukan Pejuang Rakyat yang terdekat, karena memang sebelum pergi ke Kota Raja, Han Le sudah dengah aktif sekali membantu para Pejuang ini. Adapun Kwan Cu sendiri, tadinya dia berniat untuk menyusul perjalanan Sui Ceng dan Kun Beng. Ingin sekali dia mencegah mereka melakukan perjalanan bersama. Ingin sekali dia membongkar rahasia Kun Beng di depan Sui Ceng, agar gadis yang dicintanya itu tahu betapa buruk watak tunangannya, yang sudah merusak kehormatan seorang gadis yang menjadi adik dari Suhengnya sendiri! Akan tetapi, dia teringat akan tugas-tugasnya, yakni membalas sakit hati Guru dan kong-kongnya.
"Urusan pribadi harus dikesampingkan,"
Pikirnya dengan hati getir.
"lebih dulu aku harus mencari mereka yang telah menewaskan Suhu, kemudian aku akan mencari keturunan An Lu Shan yang tinggal seorang itu, yakni An Kai Seng."
Kwan Cu teringat akan tantangan, Pek-Eng Sianjin, maka dia lalu menuju ke Bukit Leng-San. Tadinya memang dia sudah mengeluarkan nama Pek-Eng Sianjin dari daftar orang-orang yang hendak dibalasnya karena membunuh Suhunya. Hal ini karena dia sudah mendengar sumpah Pek-Eng Sianjin bahwa Tosu ini tidak ikut mengeroyok dalam pembunuhan Ang-Bin Sin-Kai. Akan tetapi, sebaliknya Pek-Eng Sianjin merasa terhina dan menantangnya untuk datang ke Leng-San. Kalau dia tidak meladeni tantangan ini yang diucapkan di hadapan tokoh-tokoh besar seperti Kiam Ki Sian-jin, Bian Ti Hosiang, dan Bin Ti Siansu, tentu namanya akan jatuh sebagai seorang muda pengecut.
"Aku harus memenuhi tantangannya lebih dulu baru aku akan mencari tempat tinggal Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu, Hek-I Hui-Mo Thian Seng Hwesio, dan Siluman Toat-Beng Hui-Houw,"
Pikimya sambil berlari cepat sekali ke Selatan.
Kiam Ki Sianjin yang menjadi pembantu utama dari Si Su Beng yang kini menduduki istana kerajaan, dapat melihat bahwa perjuangan Rakyat amat kuatnya dan mengancam kedudukan yang dipertuan. Ia tahu bahwa kekuatan perjuangan Rakyat itu karena Rakyat dari segala lapisan serentak bangkit dan dipimpin pula serta dibantu oleh orang-orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, dia mendapatkan sebuah pikiran yang amat baik. Ia mengirim surat kepada semua partai persilatan yang besar-besar seperti Siauw-Lim-Pai, Bu-Tong-Pai, Thian-San-Pai, Go-Bi-Pai dan lain-lain. Juga dia mengundang kepada tokoh-tokoh besar seperti Kiu-Bwe Coa-Li, Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai, Seng Thian Siansu dari Kun-Lun-Pai dan fihak-fihak yang kelihatannya anti Kaisar Penjajah untuk mengadakan pertemuan atau yang disebutnya musyawarah besar di Bukit Tai-Hang-San pada Gouw-gwe Cap-gouw (Bulan lima tanggal lima belas),
Di mana akan dirundingkan dan diperdebatkan pendirian mereka yang bertentangan. Diam-diam tentu saja Kiam Ki Sianjin mengumpulkan tokoh-tokoh yang kiranya akan berdiri di fihaknya, yakni seperti Hek-I Hui-Mo Thian Seng Hwesio, Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu, Toat-Beng Hui-Houw, Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang yang disebut Bu-eng Siang- hiap dan yang tadinya membantu putera An Lu Shan dan setelah putera mahkota itu dibinasakan oleh Si Su Beng, lalu menyerah dan membantu pula kepada Si Su Beng. Masih banyak tokoh-tokoh berkepandaian tinggi yang berdiri di fihaknya, maka sekali ini Kiam Ki Sianjin bermaksud mengundang semua tokoh dan apabila fihak yang anti Kaisar masih tidak mau mengalah, di puncak Tai-Hang-San itu akan dijadikan tempat pembasmian mereka!
Banyak Ketua-Ketua partai persilatan dan tokoh-tokoh besar sengaja datang kepada Kiam Ki Sianjin untuk minta penjelasan setelah menerima surat itu. Di antara mereka yang datang adalah Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-Tong-Pai dan Bin Hong Siansu tokoh ke dua dari Kim-San-Pai. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dua orang tokoh ini kebetulan sekali bertemu dengan Kwan Cu di gedung Kiam Ki Sian-jin dan telah mencoba kepandaian pemuda itu pula. Kini mereka pergi dari istana untuk kembali ke tempat masing-masing, menyampaikan hasil penyelidikan mereka setelah mereka bertemu dengan Kiam Ki Sianjin. Biarpun mereka keluar dari istana tidak bersama-sama, namun setelah tiba di luar Kota Raja, mereka bertemu dan melakukan perjalanan bersama.
"Bin Hong Toyu, bagaimana pendapatmu tentang bocah yang mengaku sebagai murid Ang-Bin Sin-Kai itu?"
Di tengah perjalanan Bian Ti Hosiang bertanya. Mereka melakukan perjalanan sambil menggunakan ilmu lari cepat sehingga tubuh mereka bergerak seperti terbang saja, akan tetapi mereka tidak kelihatan lelah, bahkan masih dapat bercakap-cakap. Ini menunjukkan betapa tingginya ilmu kepandaian mereka. Bin Hong Siansu menghela napas panjang.
"Kita harus mengaku bahwa kita sudah tua dan ketinggalan jaman. Belum pemah selama hidupku melihat seorang pemuda yang demikian lihainya."
"Kalau begitu, fihak yang anti Kaisar tentu jauh lebih kuat daripada fihak yang membantu Kaisar,"
Kata pula Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-Tong-Pai itu.
"Belum tentu demikian. Biarpun pemuda itu lihai, tak mungkin kepandaiannya akan bisa mengatasi Hek-I Hui-Mo atau Toat-Beng Hui-Houw, Kiam Ki Sian-jin juga belum tentu kalah, tadi kelihatan kalah karena mereka bertempur mempergunakan meja, hal yang amat aneh!"
Jawab Bin Hong Siansu.
"Bagiku sendiri, kurasa pendirian Kiam Ki Sianjin lebih benar. Kalau orang kang-ouw tak mau membantu Kaisar, hal itu berarti bahwa mereka akan mendatangkan bencana yang lebih besar kepada Rakyat. Kalau Pemberontakan-Pemberontakan itu ditindas dan keadaan negara aman kembali, tentu Rakyat hidup tenang dan damai. Kaisar adalah pilihan Yang Maha Kuasa, jatuh bangunnya sebuah kerajaan, menang kalahnya perebutan kedudukan Kaisar, telah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Mengapa harus membangkang terhadap keputusan nasib yang ditentukan oleh Thian?"
Bian Ti Hosiang mengerutkan kening.
"Pinceng masih belum dapat mengambil keputusan, terserah kepada Suheng Bian Kim Hosiang saja."
Memang di dalam hatinya, Hwesio Bu-Tong-Pai ini masih ragu-ragu untuk menyetujui pendapat Tosu dari Kim-San-Pai itu. Dia pun terpengaruh oleh bujukan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi karena dia tahu bahwa Suhengnya sering kali menyatakan tidak sukanya kepada pemerintah Penjajah, maka dia sendiri tidak berani mengambil keputusan. Perjalanan dilanjutkan cepat sekali dan tahu-tahu siang telah berganti senja dan angkasa gelap sekali, agaknya akan turun hujan.
"Kita harus mencapai tempat bermalam,"
Kata Bin Hong Siansu kepada kawannya.
"Benar, agaknya akan turun hujan dan kita masih berada di dalam hutan. Apakah ada Goa untuk berlindung di hutan ini?"
"Jangan khawatir,"
Kata Bin Hong Siansu.
"Di luar hutan ini terdapat sebuah hutan dan di situ ada seorang kenalanku. Dia adalah Siok Tek Tojin yang mengepalai sebuah Kuil."
Mereka mempercepat larinya dan tak lama kemudian benar saja, setelah keluar dari hutan mereka tiba di sebuah dusun.
Bin Hong Siansu membawa kawannya ke sebuah Kuil yang cukup besar, disambut oleh seorang Tosu bertubuh tinggi kurus dan bermata seperti mata Burung. Bian Ti Hosiang yang berpemandangan awas, dapat menduga bahwa Tosu yang menyambut mereka ini berhati kejam, akan tetapi karena tuan rumah adalah kawan dari Bin Hong Siansu dan menyambut mereka dengan ramah, dia pun tidak memperlihatkan kecurigaannya. Dengan ramah Siok Tek Tojin menyambut dua orang tamunya, mengeluarkan hidangan dan bercakap-cakaplah mereka dengan asyiknya. Dari percakapan tuan rumah, Bian Ti Hosiang tahu pula bahwa Tosu ini adalah seorang yang memuji-muji Kaisar dan memuji-muji pula Kiam Ki Sianjin. Malam hari itu, Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu menginap di kamar yang berlainan. Hal ini adalah atas kehendak tuan rumah yang ingin menghormati tamu-tamunya dan ingin menyediakan tempat yang enak bagi tamunya.
"Di sini ada banyak kamar, harap Ji-wi Beng-yu (dua sahabat) jangan sungkan-sungkan,"
Katanya berkali-kali sambil tersenyum. Menjelang tengah malam, ketika Bian Ti Hosiang masih duduk bersamadhi di atas tempat tidurnya, tiba-tiba dia mendengar suara dari arah jendela dan ketika dia membuka mata dan memandang,
Terkejutlah dia melihat asap bergulung-gulung masuk dari jendela itu! Ia melompat turun akan tetapi segera terguling karena tercium olehnya bau yang harum dan keras sekali. Ia maklum bahwa asap itu adalah asap beracun yang dapat membius orang akan tetapi sebentar saja dia telah pingsan. Ketika dia sadar kembali, dia mendapatkan dirinya masih rebah di atas lantai dengan kedua tangan ke belakang dan ketika dia hendak mengerahkan Lweekangnya, ternyata bahwa seluruh tubuhnya telah lemas, tanda bahwa jalan darahnya telah ditotok orang secara lihai sekali. Asap telah menghilang akan tetapi Hwesio ini masih merasa pening. Dengan tubuhnya yang amat lemah karena jalan darahnya tidak lancar, dia bergulingan dan dengan susah payah dapat juga dia duduk dan menyandarkan punggungnya pada tiang pembaringan. Kemudian dia berseru,
"Penjahat manakah yang begitu curang menyerang orang tanpa memberi tahu lebih dulu?"
Dari luar jendela terdengar suara orang ketawa mengejek,
"Kiu-Bwe Coa-Li, apakah kau sudah membereskan Siok Tek Tojin?"
Suara itu bertanya, dijawab oleh suara wanita yang kecil tinggi melengking.
"Sudah, hanya Tosu dari Kim-San-Pai itu yang masih harus kita bereskan. Bagaimana, Pak-Lo-Sian, apakah babi gemuk itu sudah dapat dibikin beres?"
"Ha, ha, ha, sudah beres, dia sudah tidak berdaya. Marilah kita bekuk Bin Hong Siansu "
Kata suara pertama yang besar dan parau. Diam-diam Bian Ti Hosiang tertegun dan terheran. Benarkah pendengarannya? Benar-benarkah dua orang yang herada di luar jendela itu Kiu-Bwe Coa-Li dan Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai? Kalau memang benar, mengapa dua orang tokoh besar yang luar biasa lihainya itu melakukan perbuatan sepcrti ini terhadap dia? Ia teringat akan sahabatnya yang menurut pembicaraan tadi belum tertawan, maka dia cepat berseru sambil mengerahkan Lweekangnya,
(Lanjut ke Jilid 29)
Pendekar Sakti/Bu Pun Su Lu Kwan Cu (Seri ke 01 - Serial Pendekar Sakti)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 29
"Bin Hong Toyu!! Hati-hatilah, ada dua orang jahat di tempat ini...!"
Belum lama gema suaranya lenyap, pintu kamamya ditendang orang dan masuklah Bin Hong Siansu.
"Bian Ti Hosiang, ada terjadi apakah"??"
Tosu dari Kim-San-Pai ini bertanya. Akan tetapi sebagai jawaban pertanyaan ini, tiba-tiba dari jendela menghembus asap tebal, asap hitam dan putih yang sebentar saja memenuhi kamar itu.
"Bin Hong Siansu, hati-hatilah terhadap asap beracun itu. Cepat-cepat kau pergilah!"
Teriak Bian Ti Hosiang. Mendengar ini Bin Hong Siansu kaget sekali dan cepat melompat keluar dari kamar. Akan tetapi baru saja sampai di pintu sudah penuh oleh asap hitam, dia roboh terkena pukulan yang amat dahsyat, tepat pada dadanya. Pemukul yang tidak kelihatan karena terhalang oleh asap hitam itu tentu memiliki kepandaian tinggi sekali karena pukulannya jatuh tanpa dapat ditangkis atau dielakkan lagi. Bin Hong Siansu terhuyung-huyung tanpa disadarinya mengisap asap itu dan roboh pingsan.
Demikian pula Bian Ti Hosiang, biarpun sudah berusaha dengan merebahkan tubuhnya di atas lantai agar jangan kena mengisap asap itu, akhirnya dia pun pingsan karena tidak tahan pula dengan asap yang ternyata bisa mengapung rendah itu. Di dalam kamar yang penuh asap itu, berkelebat bayangan yang berbaju hitam. Ia menghampiri Bian Ti Hosiang, memukul pelipis Hwesio ini perlahan kemudian dia melakukan hal yang sama kepada Bin Hong Siansu. Setelah melakukan hal ini, dia tertawa bergelak dan sekali berkelebat saja, dia telah menghilang keluar dari kamar itu, masuk di dalam gelap. Akan tetapi belum lama dan belum jauh dia meninggalkan rumah itu, tiba-tiba berkelebat bayangan lain di depannya dan tahu-tahu seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana telah berdiri menghadangnya. Pemuda itu menegurnya.
"Siapakah Lo-Suhu ini dan mengapa malam-malam berlari-larian seperti dikejar orang?"
Pemuda itu bukan lain adalah Lu Kwan Cu yang kebetulan pada malam hari itu tiba di dusun ini sepulangnya dari Leng-San dan hendak mulai perjalanannya mencari musuh-musuh besar Gurunya. Ia memandang dengan penuh perhatian dan melihat bahwa orang yang berlari dengan gerakan luar biasa cepatnya itu adalah seorang Hwesio yang bertubuh tinggi kecil, bermuka menyeramkan dan berpakaian serba hitam, mengingatkan dia akan pakaian Hek-I Hui-Mo! Ketika Hwesio ini menjawab, hati Kwan Cu berdebar. Suara Hwesio ini demikian tinggi kecil seperti suara wanita!
"Bedebah perlu apa kau bertanya tanya? Minggirlah!"
Dan tangan Hwesio itu mencengkeram ke arah pundaknya. Inilah ilmu silat semacam Eng-Jiauw-Kang (Pukulan Kuku Garuda) yang lihai sekali! Kwan Cu tidak berani berlaku lambat karena ketika angin pukulan ini menyambar, dia. mencium bau yang amat amis, dan dia menduga dengan hati bergidik bahwa tangan Hwesio ini tentulah mengandung racun berbahaya pula. Dengan sigapnya Kwan Cu mengelak dan sebelum dia menegur, Hwesio itu yang juga tercengang melihat betapa pemuda yang dikiranya pemuda dusun ini dapat mengelakkan diri dari pukulannya, cepat berlari pergi. Kwan Cu diam-diam mempergunakan kegesitannya dan sekali mengulur tangan dia telah berhasil menjambret baju hitam yang panjang itu sehingga sepotong kain hitam tertinggal di dalam tangannya.
Kwan Cu hendak mengejar, akan tetapi malam gelap sekali dan Hwesio itu dapat berlari cepat. Ia tidak mengenal Hwesio itu dan tidak tahu urusannya, tidak enaklah kalau dia terus mengejar maka dia lalu melompat ke arah Kuil yang berada di dekat situ, dari mana Hwesio yang aneh itu tadi melarikan diri. Robekan kain hitam dikantonginya dan dia melakukan ini tanpa disadarinya. Dengan hati-hati Kwan Cu melakukan penyelidikan dan dia masih mencium bau harum yang menyesakkan dada ketika dia mendekati Kuil itu. Cepat pemuda ini mengatur napas dan mengerahkan tenaga Lweekang yang didapatinya ketika bersamadhi di atas Pulau Pek-Hio-To untuk mengusir racun dan untuk "Menyaring"
Pendekar Kelana Eps 17 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 10 Kumbang Penghisap Kembang Eps 32