Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bodoh 22


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



Telah beberepa hari ini, Ma Hoa selalu melepaskan rambutnya yang hitam dan kering indah di atas pundaknya. Rambutnya yang indah melambai-lambai tertiup angin dan mengeluarkan keharuman bunga yang selalu menghias rambutnya. Hal ini terjadi semenjak malam terang bulan di waktu ia berjalan-jalan bersama Kwee An bermandikan cahaya bulan yang sejuk. Angin gunung bertiup perlahan dan tiba-tiba ikatan rambut Ma Hoa terlepas, hingga rambutnya itu terurai ke atas pundaknya. Kebetulan sekali ia berdiri menghadapi bulan hingga mukanya tertimpa cahaya sepenuhnya. Ketika ia menggunakan kedua tangannya hendak menyanggul dan mengikat rambutnya, Kwee An yang berdiri memandangnya dengan mata terbelalak segera mengangkat tangan berkata,

   "Jangan... jangan sanggul rambutmu, Hoa-moi, biarkan saja..."

   "Eh, eh, kau kenapa, An-ko?"

   Tanya Ma Hoa dengan heran sambil melepaskan kembali rambutnya yang telah dipegangnya.

   "Kau... kau nampak cantik sekali dalam keadaan seperti ini, Moi-moi. Dengan rambutmu yang halus hitam berombak-ombak di sekitar lehermu, melambai tertiup angin, seakan-akan setiap lembar rambut itu hidup dan bernyawa kau seperti seorang bidadari yang baru turun dari surga. Demi segala kecantikan dan keindahan, jangan kau sanggul rambutmu, Moi-moi, biarkan saja terurai di atas kedua pundakmu!"

   Sampai bertitik dua butir air mata dari mata Ma Hoa karena amat terharu dan girang mendengar pujian yang keluar dari mulut kekasihnya ini dan semenjak saat itu ia berjanji tidak akan menyanggul rambutnya lagi.

   Tentu saja ia tidak memberi tahu kepada orang lain tentang hal ini dan hanya mengatakan bahwa ia lebih suka mengurai rambutnya. Lin Lin dan Cin Hai, juga Yousuf, menyatakan kagumnya karena dengan mengurai rambutnya yang berombak menghitam itu sesuai sekali dengan potongan wajahnya yang membulat telur. Pada suatu hari, ketika Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri sambil mengagumi pemandangan di sebuah lereng yang baru kali itu mereka datangi, menikmati pemandangan yang ditimbulkan oleh matahari yang baru saja muncul hingga indah luar biasa itu, tiba-tiba mereka melihat dua orang mendaki bukit dengan tindakan kaki cepat sekali. Keduanya merasa terkejut oleh karena kedua orang itu lari cepat sekali, tanda Ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Keduanya lalu berdiri menanti dengan hati berdebar-debar dan menduga-duga, siapa gerangan orang asing itu.

   Ketika mereka datang dekat Kwee An dan Ma Hoa, ternyata bahwa mereka adalah seorang Hwesio gundul yang tua dan seorang laki-laki muda yang rambutnya juga panjang terurai tertiup angin. Selain berambut panjang, laki-laki itu pun berpakaian secara aneh sekali, potongan baju itu berbeda dengan pakaian bangsa Han yang biasa dipakai orang. Juga kakinya mengenakan sepatu yang panjang sampai ke atas betis. Akan tetapi gerak-gerik laki-laki ini gesit dan cepat, agaknya kepandaiannya tidak di sebelah bawah Hwesio gundul itu. Agaknya kedua pendaki bukit yang aneh itu pun telah melihat Kwee An dan Ma Hoa, karena mereka segera menujukan ke arah kedua anak muda itu. Setelah tiba di hadapan Kwee An dan Ma Hoa yang memandang heran, Hwesio tua itu lalu menjura dan bertanya,

   "Jiwi mohon tanya di mana rumah seorang Turki bernama Yousuf?"

   Kwee An dan Ma Hoa saling pandang, sedangkan orang muda berambut panjang itu memandang Ma Hoa dengan sinar mata kagum yang tidak disembunyikan.

   "Suhu ini siapakah dan apakah perlunya mencari rumah Yo-Sianseng?"

   Tanya Kwee An yang berlaku hati-hati karena menaruh curiga kepada dua orang pengunjung ini.

   "Eh, siapakah nama Nona yang cantik seperti bidadari ini? Kumaksudkan rambutnya yang cantik dan indah, alangkah bagusnya,"

   Kata pemuda berambut panjang itu dengan kagum. Suaranya juga aneh, karena terdengar seperti suara wanita halus dan merdu, akan tetapi tak dapat disangsikan lagi bahwa dia adalah seorang pria, karena selain potongan tubuhnya yang kuat dan dadanya yang bidang itu, juga jelas nampak kalamenjing di lehernya yang takkan terdapat pada leher seorang wanita. Ma Hoa menjadi marah sekali dan memandang dengan mata bernyala. Ia hendak menegur dan mendamprat, akan tetapi Kwee An memberi isyarat agar supaya ia bersabar.

   "Pinceng hendak mencari dua orang gadis yang berada dengan orang Turki itu. Kenalkah Jiwi kepada dua orang nona bernama Ma Hoa dan Lin Lin?"

   Makin curiga dan terkejutlah Kwee An dan Ma Hoa mendengar pertanyaan ini.

   "Akulah yang bernama Ma Hoa. Suhu mencari aku ada keperluan apakah?"

   Tiba-tiba mata Hwesio itu terbelalak dan ia tertawa terbahak-bahak dengan girang.

   "Ha, ha, ha! Dicari-cari sampai pusing tidak bertemu, tahu-tahu mencari keterangan pada orang yang dicari! Ini namanya memang harus mampus di tangan pinceng ini hari!"

   Bukan main terkejutnya hati Kwee An dan Ma Hoa mendengar ini, karena sungguh tak pernah mereka sangka bahwa Hwesio tua ini mencari Ma Hoa dan Lin Lin dengan maksud jahat! Kwee An melompat maju dengan marah.

   "Hwesio tua? Apa maksud kata-katamu yang jahat itu? Siapakah kau dan mengapa kau datang-datang mengandung maksud yang buruk dan jahat?"

   "Buka lebar-lebar mata dan telingamu! Pinceng adalah Bo Lang Hwesio dan Boan Sip adalah muridku. Muridku itu terbunuh mati oleh Ma Hoa dan Lin Lin, maka sekarang pinceng mencari dua orang pembunuh itu untuk maksud apa lagi?"

   Sambil berkata demikian, Bo Lang Hwesio tertawa lagi bergelak.

   "Dan ketahuilah bahwa anak muda kawanku ini adalah Ke Ce, Pendekar gagah dari Mongolia Dalam. Dia adalah adik sepupu Pangeran Vayami dan datang hendak membalas dendam kepada Yousuf! Karena Yousuf orang Turki itulah yang telah menggagalkan usaha Pangeran Vayami dan mungkin orang Turki itu pula yang telah membunuh Pangeran Vayami!"

   Bukan main marahnya Kwee An mendengar ucapan ini.

   "Hm, jadi kau ini Guru Boan Sip yang jahat? Pantas muridnya jahat, tidak tahu, gurunya juga berpemandangan sempit dan berpikiran dangkal! Adapun pembunuh Vayami bukanlah Yo-Sianseng akan tetapi Hek Pek Mo-ko dan tak perlu kau mencari kedua orang tua itu, cukup aku wakilnya!"

   "Bagus!"

   Bo Lang Hwesio membentak marah dan ia segera melompat ke arah Ma Hoa dan mengirim serangan kilat!

   "Bo Lang Suhu, jangan kau bunuh bidadari itu, tangkap hidup-hidup untukku!"

   Teriak Ke Ce sambil menyerbu dan menyerang Kwee An.

   "Ha, ha, ha, dasar kau mata keranjang!"

   Kata Bo Lang Hwesio. Ma Hoa terkejut melihat serangan Bo Lang Hwesio yang mencengkeram dan hendak menangkap pundaknya, karena serangan ini mendatangkan angin gerakan yang lihai.

   Ia maklum bahwa Lweekang Hwesio tua ini tinggi sekali dan merupakan lawan yang tangguh, maka ia cepat mempergunakan Ginkangnya untuk melompat ke pinggir dan mengelak. Sementara itu, Kwee An dengan tenang lalu menangkis pukulan Ke Ce dan keduanya berseru heran dan kagum karena ketika kedua lengan tangan mereka beradu, keduanya terpental mundur karena hebatnya tenaga lawan. Diam-diam Kwee An terkejut karena tak disangkanya bahwa Pendekar dari Mongolia Dalam ini memiliki tenaga dalam yang demikian besarnya hingga tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Maka ia lalu membalas dengan serangan kilat dan mengerahkan kepandaiannya karena maklum bahwa kali ini lawannya bukan orang lemah.

   Pada waktu Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri di dekat tebing gunung yang curam sekali hingga hutan dan pohon-pohon nampak kecil di bawah mereka maka ketika mereka berdua diserang, mereka sedang berdiri membelakangi tebing itu hingga keadaan mereka amat berbahaya. Hal ini pun diketahui oleh Bo Lang Hwesio dan Ke Ce, maka mereka mendesak dengan hebat dan tidak memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berpindah tempat. Kwee An masih dapat mempertahankan diri dari serbuan Ke Ce dengan ilmu silatnya yang tinggi, bahkan ketika ia membalas dengan serangan-serangannya, Ke Ce menjadi sibuk sekali karena harus berlaku awas untuk menghindarkan diri dari kaki dan tangan Kwee An yang mempunyai gerakan gesit dan tak terduga sama sekali itu.

   Akan tetapi Ma Hoa yang menghadapi Bo Lang Hwesio, menjadi terdesak hebat sekali hingga gadis ini makin mundur mendekati tebing yang curam dan berbahaya! Kwee An yang melihat hal ini, merasa kuatir sekali, maka ia segera mengirim serangan kilat dengan tipu gerakan menyerampang dengan kaki kanan dan membarengi memukul dengan tangan kanan hingga Ke Ce terpaksa harus mempergunakan gerakan Ikan Leehi Melompati Ombak. Tubuh pemuda berambut panjang itu melompat ke atas dan berjungkir balik ke belakang dan karenanya dapat menghindarkan diri dari serangan Kwee An yang berbahaya tadi. Kesempatan ini digunakan oleh Kwee An untuk melompat ke dekat Ma Hoa sambil berseru,

   "Hoa-moi, hati-hati di belakangmu tebing!"

   Sambil berseru demikian, ia lalu menyerbu untuk menahan serangan Bo Lang Hwesio yang lihai itu. Akan tetapi, pada saat itu, Ke Ce yang sudah mengejarnya, lalu mengirim pukulan yang berupa dorongan dengan kedua telapak tangan dibarengi bentakan yang keras sekali, bagaikan seekor Harimau mengaum! Kwee An merasa terkejut sekali ketika dari dorongan ini keluar tenaga dan angin yang luar biasa hingga ia terhuyung ke belakang dan pada saat itu, Bo Lang Hwesio yang tahu bahwa Kwee An memiliki ilmu kepandaian cukup lihai, lalu mengejar dan mengirim tendangan maut ke arah perut Kwee An yang sedang terhuyung ke belakang itu! Ma Hoa menjerit ngeri melihat ini karena tendangan ini benar-benar berbahaya sekali dan agaknya Kwee An tak dapat mengelak lagi.

   Akan tetapi, Kwee An telah memiliki ketenangan dan kepandaian yang hampir sempurna, maka ketika merasa betapa tendangan maut mengancam perutnya, ia berseru keras dan tubuhnya mumbul ke atas dengan gesit bagaikan seekor burung Walet. Cara menghindarkan diri dari tendangan maut ini sama sekali tidak diduga oleh Bo Lang Hwesio sendiri hingga tak terasa lagi Hwesio ini mengeluarkan seruan kagum. Akan tetapi, selagi tubuh Kwee An masih berada di udara, tiba-tiba Ke Ce menyerang lagi dengan pukulan atau dorongan kedua telapak tangan dibarengi bentakan hebat tadi. Kembali Kwee An merasa betapa besar tenaga yang mendorongnya sedangkan pada saat itu tubuhnya masih terapung di udara. Tanpa dapat dicegah lagi ia terdorong mundur dan ketika tubuhnya melayang turun, ia telah berada di sebelah sana tebing.

   Ma Hoa menjerit lagi dengan lebih ngeri dan ketika tubuh dara ini berkelebat, ternyata ia telah menyusul melompat ke dalam tebing yang curam itu, menyusul tubuh Kwee An yang sudah meluncur ke bawah. Keduanya jatuh ke dalam tebing yang tak dapat diukur dalamnya. Ketika, Kwee An melihat betapa tubuh Ma Hoa juga jatuh menyusulnya, ia segera mengulur tangannya. Ma Hoa menangkap tangan itu dan keduanya meluncur terus ke bawah sambil saling berpegangan tangan. Entah bagaimana, setelah mereka berpegang tangan, rasa takut karena terjatuh itu lenyap sama sekali. Inilah daya rasa cinta yang besar dan ia mengalahkan segala rasa takut, bahkan maut sendiri tak dapat melenyapkan perasaan sentausa dan aman yang ditimbulkan oleh rasa cinta. Melihat betapa Ma Hoa ikut meloncat ke dalam jurang yang curam itu, Ke Ce menyatakan penyesalannya.

   "Sayang... sayang sekali"

   Katanya", akan tetapi sebaliknya Bo Lang Hwesio tertawa bergelak.

   "Boan Sip, muridku!"

   Teriaknya bagaikan gila sambil berdongak ke atas memandang awan.

   "seorang pembunuhmu telah tewas, kau terimalah nyawanya, kini tinggal yang seorang lagi!"

   "Pendeta jahat dan rendah! Kau apakan kedua anak muda itu?"

   Tiba-tiba terdengar suara yang keras dan Yousuf yang berlari mendatangi telah berada di situ. Dari jauh tadi ia telah melihat betapa Kwee An dan Ma Hoa terguling ke dalam jurang, maka alangkah marah dan terkejutnya. Ketika ia memandang kepada pemuda berambut panjang itu, ia berkata lagi,

   "Hm, Ke Ce, kau juga menempuh kejahatan, apakah kau tidak takut akan tertimbun oleh dosa?"

   Melihat kedatangan Yousuf, Ke Ce menjadi marah sekali.

   "Bangsat rendah!"

   Ia memaki.

   "Kau lah yang berdosa besar, kau telah merintangi kehendak Kakanda Vayami yang suci, bahkan kau telah memberanikan diri untuk berusaha merampas Pulau Kim-San-To!"

   Sambil berkata demikian, Ke Ce lalu menerjang dan menyerang dengan sengit. Yousuf yang merasa gelisah memikirkan nasib Kwee An dan Ma Hoa, segera menyambutnya dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Melihat bahwa kegesitan dan tenaga orang Turki ini masih mengatasi Ke Ce, Bo Lang Hwesio tidak mau membuang waktu lagi dan segera maju mengeroyok.

   "Majulah, majulah! Biar kubinasakan sekalian kau Hwesio jahat, untuk membalaskan kedua anak muda itu!"

   Teriak Yousuf dengan gemas karena kalau ia teringat akan kedua anak muda yang dilihatnya terguling ke dalam jurang tadi, ia rasanya mau menangis dan berteriak keras. Akan tetapi, ia segera terkejut sekali oleh karena ilmu kepandaian dan tenaga Hwesio gundul ini benar-benar lihai sekali. Baru menghadapi Ke Ce saja, mungkin setelah bertempur lama baru ia akan dapat mengalahkannya, apalagi sekarang ditambah dengan Bo Lang Hwesio yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi lagi. Tak terasa lagi Yousuf lalu mengumpulkan Khikangnya dan berseru memanggil,

   "Lin Lin"! Cin Hai...!! Lekas ke sini...!!"

   "Ha, ha, ha! Kau memanggil kawan-kawanmu, ha, ha!"

   Ke Ce menyindir dengan tertawa menghina.

   "Panggillah semua agar lebih puas hatiku membasmi kau sekalian kaki tanganmu."

   Akan tetapi Bo Lang Hwesio menjadi girang sekali ketika mendengar nama Lin Lin disebut. Akan terlaksana agaknya usaha membalas dendam kali ini. Kalau benar-benar yang bernama Lin Lin itu adalah Kwee Lin pembunuh muridnya, maka akan bereslah tugasnya membalas dendam. Teriakan Yousuf itu dilakukan dengan tenaga Khikang sepenuhnya, maka suaranya bergema keras dan dapat terdengar sampai di tempat jauh. Ketika itu, Lin Lin dan Cin Hai sedang berlatih ilmu Pedang di dekat rumah, maka ketika mendengar teriakan memanggil ini, keduanya terkejut sekali. Lin Lin lalu segera meloncat tanpa membuang waktu lagi, sambil membawa Han-le-kam di tangan kanannya. Cin Hai juga lalu meloncat bahkan ia mendahului Lin Lin oleh karena ia maklum bahwa Yousuf berada dalam bahaya.

   Pendengarannya yang lebih tajam daripada pendengaran Lin Lin dapat menangkap suara yang penuh kecemasan itu. Cin Hai yang datang lebih dulu dari pada Lin Lin, ketika melihat Yousuf didesak dan dikeroyok dua oleh seorang Hwesio dan seorang gagah yang berpakaian aneh dan berambut panjang, tanpa banyak cakap lagi lalu menyerbu karena ia melihat betapa kedua orang lawan Yousuf itu tangguh dan hebat ilmu silatnya. Ia tidak mau mencabut Pedangnya karena melihat betapa ketiga orang itu pun bertempur dengan tangan kosong dan memang menjadi pantangan bagi Cin Hai untuk melawan musuh yang bertangan kosong dengan menggunakan senjata. Apalagi memang dengan kedua tangannya ia cukup kuat menghadapi musuh yang bagaimana lihai pun, maka kalau tidak sangat terpaksa, ia tidak mau menggunakan Liong-Coan-Kiam.

   Sebaliknya, ketika Bo Lang Hwesio dan Ke Ce melihat sepak terjang anak muda ini, mereka terkejut sekali karena baik kegesitan maupun tenaga Cin Hai benar-benar luar biasa, dan membuat mereka menjadi gentar! Bo Lang Hwesio menjadi penasaran oleh karena belum pernah ia melihat seorang yang masih begini muda dapat memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi darinya, maka ia lalu mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan ilmu kepandaian untuk menghadapi Yousuf seorang diri dan pertempuran berjalan seru dan hebat! Tak lama kemudian sampailah Lin Lin di tempat pertempuran dan begitu melihat bahwa yang sedang bertempur melawan Cin Hai adalah Hwesio tua yang telah dikenalnya sebagai Guru Boan Sip, ia segera berteriak keras,

   "Hai-ko, iblis tua itu adalah Bo Lang Hwesio, Suhu dari Boan Sip yang jahat!"

   Cin Hai terkejut sekali dan tanpa terasa ia melompat mundur. Juga Bo Lang Hwesio yang melihat Lin Lin, segera bertanya,

   "Apakah kau yang bernama Kwee Lin dan yang telah membunuh muridku?"

   "Benar!"

   Jawab Lin Lin tanpa takut sedikitpun juga.

   "Aku dan Ma Hoa telah menghancurkan kepala Boan Sip, kau mau apa?"

   "Celaka dan sayang"

   Tiba-tiba Ke Ce yang juga berhenti sebentar dan bersama Yousuf memperhatikan percakapan mereka berkata.

   "Mengapa musuh-musuhmu demikian cantik-cantik seperti bidadari, Bo Lang Suhu? Celaka, celaka dan sayang sekali!"

   "Anak muda!"

   Kata Bo Lang Hwesio kepada Cin Hai.

   "Kau mendengar sendiri bahwa Nona itu adalah pembunuh muridku, maka jangan kau ikut campur. Biarkan aku bertempur mengadu jiwa dengan dia!"

   Ucapan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia merasa jerih terhadap Cin Hai yang lihai. Akan tetapi sambil tersenyum, Cin Hai menjawab,

   "Bo Lang Hwesio, ketahuilah bahwa kalau kiranya aku bertemu dengan muridmu itu, aku pun tentu akan membunuhnya untuk yang kedua kalinya! Muridmu adalah pembunuh keluarga nona ini, dan kebetulan sekali ibu nona ini adalah bibiku pula! Muridmu telah membunuh keluarganya dan dia telah membalas dan membunuh muridmu yang murtad itu, bukankah ini sudah pantas? Kalau sekarang kau membela murid jahat itu, maka banyak kemungkinan semua orang akan menuduh bahwa kau lah orangnya yang salah mendidik murid itu! Peribahasa menyatakan bahwa pohon yang tidak sehat menghasilkan buah yang masam, berarti bahwa Guru yang buruk tentu menjadikan muridnya jahat pula."

   Merahlah muka Bo Lang Hwesio mendengar ini karena marahnya.

   "Jangan banyak cakap, kalau kau mau membela perempuan ini, pinceng pun tidak takut!"

   "Hai-ko, biarkan aku melawan sendiri Pendeta Siluman ini dengan Pedangku!"

   Lin Lin berseru dan Cin Hai yang maklum bahwa gadis ini tentu hendak mencoba Ilmu Pedang Han-Le Kiam-Sut yang baru dipelajarinya, segera berpikir bahwa baik juga membiarkan gadis itu mencoba ilmu Pedangnya karena ia telah memberi latihan Ginkang dan Lweekang. Akan tetapi oleh karena ilmu Pedang itu baru saja dipelajari hingga tentu saja belum matang dan sempurna ia lalu berkata,

   "Baik, Moi-moi, kau lawanlah dia, kalau dia terlalu berat bagimu, baru aku yang akan turun tangan!"

   Dengan seruan garang, Lin Lin lalu maju menerjang dengan Pedang Han-Le-Kiam. Ketika mencipta ilmu Pedang ini,

   Lin Lin yang berwatak jenaka dan gembira itu telah memberi nama pada tiap jurus dan gerakan bersama dengan Cin Hai. Maka muncullah sebutan-sebutan aneh dan lucu dalam tiap gerakan yang hanya dikenal dan dimengerti oleh Lin Lin dan Cin Hai. Ada gerak tipu-gerak tipu yang diberi nama Cin-Hai-Kwa-Houw atau Cin Hai Menunggang Harimau, ada Pula Lin-Lin-Chio-Cu atau Lin Lin Merebut Mustika, bahkan ada nama Ang-I-Lo-Be atau Ang I Niocu Turun Dari Kuda. Ketika ia menerjang maju, ia menggunakan tipu gerakan Lin Lin-Chio-Cu, tangan kanan yang memegang Pedang menusuk tenggorokan Bo Lang Hwesio, sedangkan tangan kiri bukan diangkat ke belakang sebagai imbangan badan, akan tetapi bahkan melaksanakan serangan pula dengan sebuah gerakan dari Ilmu Silat Kong-Ciak Sin-Na.

   Hebatnya Ilmu Pedang Han-Le Kiam-Sut ini ialah perkembangan atau perubahannya yang benar-benar tidak terduga dan semua serangan hanya merupakan pancingan belaka yang kemudian disusul menurut gerak dan serangan pembalasan lawan. Maka ketika Bo Lang Hwesio yang mempergunakan kedua ujung lengan bajunya, mengebut ke arah Pedang pendek yang menyambar tenggorokan sedangkan lengan kiri dengan tenaga Lweekang sepenuhnya menghantam pergelangan tangan Lin Lin yang mencengkeram dada, tiba-tiba Pedang pendek itu telah meluncur ke bawah mengubah sasaran dan kini bergerak menusuk iga kiri, sedangkan tangan kiri dara itu yang tadi mencengkeram dada ketika hendak dihantam oleh tangan Bo Lang Hwesio, tiba-tiba ditarik mundur dan terus diluncurkan ke atas dengan dua jari terbuka, mengarah kedua mata lawan.

   Bukan main terkejutnya Hwesio itu melihat perubahan gerakan yang sekaligus mematahkan serangan atau tangkisannya itu dan yang terus dilanjutkan dengan serangan lain. Ia cepat mengebutkan ujung lengan bajunya yang panjang untuk menangkis dan membelit Pedang lawan yang mengarah iga kirinya, sedangkan untuk menghindari serangan jari pada matanya, ia menundukkan kepala. Akan tetapi, kembali Lin Lin merubah gerakannya karena sebelum Pedangnya tertangkis dan terlibat oleh ujung lengan baju, Pedang itu dengan mengeluarkan suara angin telah berkelebat dengan belokan indah dan kini melakukan serangan hendak memenggal leher Hwesio yang sedang menundukkan kepala itu, sedangkan tangan kiri ditarik dan langsung menyodok perut.

   Memang hebat sekali llmu Pedang Han-Le Kiam-Sut ciptaan Cin Hai ini. Gerakan-gerakannya demikian cepat dan perubahannya amat tidak terduga hingga tiap kali serangan tidak berhasil, lalu disusul dengan gerak serangan lain yang disesuaikan dengan kedudukan atau posisi lawan. Sayang sekali bahwa Lin Lin belum mahir dan belum cepat betul dalam menjalankan serangan-serangan hingga biarpun perubahannya cepat, namun semua masih dapat dilihat oleh lawan hingga masih sempat mengelak. Kalau saja yang mainkan itu Cin Hai atau Ang I Niocu yang sudah memiliki kecepatan tubuh yang otomatis dan memiliki gaya gerakan yang tidak sewajarnya hingga dapat membuat gerakan palsu yang tidak terduga, tentu ilmu Pedang ini akan merupakan ilmu Pedang yang amat sukar dilawan.

   Betapapun juga, Bo Lang Hwesio dapat dibikin bingung dan untuk menghindari serangan-serangan selanjutnya yang bertubi-tubi dan yang seakan-akan otomatis dan timbul dari cara ia menangkis atau mengelak itu, ia lalu berseru dan melangkah ke belakang dua tombak lebih jauhnya. Setelah jauh dari Lin Lin barulah ia terhindar dari serangan yang bertubi-tubi dan kini ia menghadapi gadis itu dengan hati-hati sekali, lalu maju menyerang dengan cepat, memutar-mutar dua ujung lengan baju bagaikan kitiran angin cepatnya! Sementara itu, Ke Ce semenjak tadi hanya berdiri dan memandang dengan kagum, sama sekali lupa kepada Yousuf yang masih berdiri saja karena orang Turki ini tidak akan mau menyerang apabila tidak diserang.

   Yousuf hanya berdiri dengan tegak sambil memandang pertempuran itu dan ia pun merasa kagum sekali melihat kehebatan ilmu Pedang Lin Lin. Karena ia maklum bahwa gadis itu mendapat latihan dan pelajaran dari Cin Hai, maka makin kagum dan hormatlah ia terhadap pemuda itu. Tiba-tiba melihat betapa Bo Lang Hwesio agaknya tak dapat mengalahkan Lin Lin dalam waktu pendek, Ke Ce yang curang hatinya itu lalu membentak keras dan kedua lengan tangannya mendorong ke arah Lin Lin. Inilah Pukulan Angin Taufan yang hebat dan merupakan semacam pukulan Khikang yang tinggi tingkatnya di daerah Mongolia Dalam dan yang tidak sembarang orang dapat menguasai atau mempelajarinya dengan sempurna. Tenaga Khikang Ke Ce sudah hampir sempurna, maka Kwee An sendiri sampai tak dapat menahan serangan ini!

   Akan tetapi, kali ini Ke Ce tercengang sekali ketika tiba-tiba angin pukulannya yang dahsyat bagaikan tenaga angin taufan itu membalik dan membuat ia sendiri bergoyang-goyang! Ketika ia memandang, ternyata bahwa dari tempat di mana ia berdiri, Cin Hai dengan tubuh setengah membongkok, juga mengulur kedua tangan dan melakukan gerakan yang sama dengan gerakannya sendiri dan ternyata bahwa tenaga pukulan atau dorongan yang keluar dari kedua lengan anak muda itu lebih kuat hingga telah berhasil menggempur tenaga dorongannya! Terbelalak mata Ke Ce memandang oleh karena bagaimana seorang bangsa Han dapat memiliki ilmu dorong ini? Ia tidak tahu bahwa Cin Hai mengerti semua gerakan ilmu pukulan dan baru melihat gerakan pundak dan lengannya saja, pemuda itu telah dapat menirunya dan pada saat tepat telah mengirim kembali tenaga yang tadinya ditujukan dengan maksud merobohkan Lin Lin itu.

   "Eh, jangan main curang, kawan!"

   Kata Cin Hai sambil tersenyum memandang. Yousuf menjadi marah sekali melihat betapa dengan curangnya Ke Ce telah menyerang Lin Lin yang masih bertempur ramai melawan Bo Lang Hwesio, maka ia berseru,

   "Ke Ce, kalau sudah gatal-gatal tubuhmu ingin dipukul, akulah lawanmu!"

   Ia lalu menerjang dengan marah dan hebat hingga Ke Ce terpaksa melayani. Cin Hai memandang dengan penuh perhatian dan sebentar saja maklumlah dia bahwa biarpun ilmu kepandaian kedua orang ini tidak jauh selisihnya, namun kepandaian Yousuf masih lebih kuat dan tak perlu dikuatirkan keadaannya. Maka ia lalu memusatkan perhatiannya kepada Lin Lin lagi. Ia melihat betapa gadis itu dengan garang melakukan penyerangan, akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio ia kalah pengalaman. Bo Lang Hwesio, ternyata gagah sekali dan Cin Hai maklum bahwa apabila pergelangan tangan Lin Lin kena dikebut oleh ujung lengan baju atau Pedang Han-Le-Kiam dilibat, tentu Lin Lin akan kalah dan mendapat celaka.

   Baru saja ia berpikir demikian, tiba-tiba dengan bentakan keras Bo Lang Hwesio menyerang dengan telapak tangan dimiringkan memukul leher gadis itu dan ketika Lin Lin dengan lincahnya berkelit, tiba-tiba ujung lengan baju Hwesio yang kosen itu telah berhasil melibat ujung Pedang Han-Le-Kiam. Lin Lin berusaha mencabutnya, akan tetapi Pedang itu seakan-akan telah melengket pada lengan baju dan tidak dapat ditarik kembali. Cin Hai berseru keras dan sekali tubuhnya berkelebat ia dapat mengirim serangan ke arah leher Hwesio itu yang cepat mengangkat tangan yang tadinya dipakai memukul leher Lin Lin untuk menangkis karena sudah tidak ada jalan lain lagi baginya untuk mengelak. Ketika kedua lengan tangan mereka beradu, Bo Lang Hwesio mengerahkan seluruh tenaga Lweekangnya, maka ketika Lin Lin menarik Pedangnya,

   "Brett!"

   Sobeklah ujung lengan bajunya! Sedangkan tubuhnya menjadi terhuyung mundur ketika tenaga Cin Hai yang luar biasa mendorongnya dari pertemuan lengan itu!

   "Hebat!"

   Serunya sambil melompat mundur lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat.

   "Aku yang tua dan lemah tak kuat melawan terus, biar lain kali bertemu pula! Ke Ce hayo kita pergi!"

   Teriaknya kepada kawannya yang sementara itu telah didesak hebat oleh Yousuf!

   "Sampai lain kali!"

   Kata Ke Ce dan pada saat itu juga tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik empat kali di udara dan turun melayang ke tempat agak jauh hingga tentu saja kegesitan ini membuat Yousuf dan yang lain-lain merasa kagum sekali. Memang sungguh hebat gerakan tadi dan jarang dapat dilakukan oleh orang yang ilmu Ginkangnya belum tinggi! Setelah kedua orang berlari turun gunung dengan cepat, Yousuf lalu menceritakan bahwa Kwee An dan Ma Hoa telah terdorong masuk ke dalam jurang!

   "Celaka!"

   Kata Cin Hai dan Lin Lin yang segera berlari ke pinggir jurang dan menjenguk. Lin Lin menjerit ngeri dan menangis sedih ketika melihat betapa jurang itu dalamnya tak terkira hingga tidak kelihatan dasarnya! Cin Hai menggeleng-gelengkan kepala.

   "Ayah, kenapa kau tadi tidak memberitahu?"

   Kata Lin Lin sambil menangis dan membanting-banting kaki dengan gemasnya.

   "Kalau aku tahu, tentu aku takkan melepaskan dua binatang kejam dan busuk itu!"

   Juga Cin Hai merasa kecewa karena kalau ia tahu bahwa Kwee An dan Ma Hoa terbinasa dan terlempar ke dalam jurang oleh kedua orang tadi tentu ia juga tidak akan melepas mereka! Yousuf merasa menyesal sekali dan merasa bahwa ia telah lupa sama sekali untuk menceritakan hal itu.

   "Biar aku mencari mereka di dalam jurang!"

   Kata Yousuf yang lalu berlari secepat terbang ke rumahnya. Tak lama kemudian ia kembali lagi membawa segulung tambang yang panjang sekali.

   "Peganglah ini, Cin Hai, aku hendak turun dan mencari Kwee An dan Ma Hoa,"

   Katanya sambil memberikan tambang itu kepada Cin Hai.

   "Jangan, Yo-pe-peh, biar aku saja yang turun. Kau dan Lin Lin yang memegang tambang itu!"

   Kata Cin Hai.

   "Biarkanlah aku yang turun,"

   Kata pula Yousuf dan tiba-tiba dari kedua mata orang tua ini mengalir turun air mata! Lin Lin dan Cin Hai maklum bahwa orang tua ini merasa bersalah sekali dan ia merasa demikian menyesal hingga sekarang ia hendak menebus kesalahannya dan ingin turun mencari mereka yang jatuh ke dalam jurang. Lin Lin merasa amat terharu dan lalu menubruk dan memeluk pundak Ayah angkat itu,

   "Ayah... maafkanlah kami berdua... kami tidak menyalahkan kau. Ayah... biarkan Hai-ko saja yang turun."

   "Benar, Yo Peh-peh, kau sudah tua dan aku yang muda lebih bertanggung jawab akan tugas berat ini. Tidak ada yang bersalah dalam hal ini dan soal kedua orang bangsat kecil itu, biar lain kali kita mencari mereka untuk membalas dendam!!"

   Akhirnya Yousuf menurut juga dan tambang yang panjang itu lalu dilempar ke bawah dan ujungnya dipegang oleh Yousuf dan Lin Lin. Akan tetapi ternyata bahwa tambang yang panjangnya tidak kurang dari seratus kaki itu masih bergoyang-goyang, yang menandakan bahwa tambang itu belum mencapai dasar jurang! Lin Lin bergidik dan ngeri.

   "Alangkah dalamnya!"

   Katanya dengan bibir gemetar.

   "Di rumah sudah tidak ada tambang lagi,"

   Kata Yousuf yang juga pucat wajahnya.

   "Biarlah, sebegini juga cukuplah. Biar aku turun sampai di ujung tambang dan melihat apa yang berada di bawahnya,"

   Kata Cin Hai.

   "Peganglah tambang kuat-kuat!"

   Pemuda itu melangkah ke pinggir jurang dan tiba-tiba Lin Lin memegang lengannya. Cin Hai menengok.

   
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ko-ko... hati-hatilah kau..."

   Cin Hai tersenyum dan meraba dagu gadis itu, kemudian ia lalu turun ke bawah menyusur tambang. Karena ia telah memiliki kepandaian Ginkang yang sempurna, maka mudah saja ia merayap melalui tambang itu. Ternyata bahwa tebing itu tinggi sekali dan di bawahnya tertutup oleh awan atau halimun tebal hingga keadaannya gelap benar. Setelah kedua kakinya merasa telah tiba di ujung tambang paling bawah, Cin Hai meraba-raba dengan kaki dan ternyata memang benar bahwa tambang itu masih tergantung di udara dan belum sampai ke tanah. Ia lalu mengayun tubuh ke depan hingga tambang itu ikut terayun.

   Tubuhnya terayun-ayun beberapa kali, makin lama makin keras dan akhirnya ia dapat menyentuh tanah di depannya. Ternyata bahwa tanah itu bukan batu karang yang keras ditumbuhi rumput dan pohon kecil. Akan tetapi karena tanah itu letaknya tegak lurus ke atas, tentu saja tak mungkin baginya untuk mendarat di situ. Ia berkali-kali memejamkan mata dan membukanya lagi untuk dapat membiasakan mata itu menembus halimun. Kemudian matanya memandang ke sekelilingnya mencari-cari. Baik Cin Hai maupun Lin Lin dan Yousuf sama sekali tak pernah menyangka dan menaruh curiga terhadap Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya kedua orang itu masih belum pergi dari situ. Memang benar bahwa mereka telah lari turun gunung, akan tetapi tiba-tiba Ke Ce berhenti berlari dan berkata perlahan,

   "Bo Lang Suhu, mari kita kembali ke atas!"

   "Apa kau gila?"

   Seru Bo Lang Hwesio yang tak dapat menangkap maksudnya,

   "Dara manis itu... ia cantik jelita dan ia musuhmu, bukan? Kalau saja kita bisa menyergapnya, tanpa bantuan Yousuf dan pemuda lihai itu, kita berdua masa tak dapat menangkapnya?"

   Sambil berkata demikian, kedua mata Ke Ce yang cerdik itu berputar-putar dan mulutnya tersenyum. Untuk beberapa lama Bo Lang Hwesio tertegun merasa malu dan rendah untuk melakukan hal ini, akan tetapi menghadapi mereka bertiga yang tangguh, sampai kapan ia dapat membalas sakit hati muridnya terhadap Lin Lin?

   Akhirnya ia anggukkan kepalanya yang gundul mereka berdua dengan berindap-indap dan sembunyi-sembunyi lalu naik lagi ke atas bukit. Pada saat mereka tiba di tempat itu sambil mengintai dan bersembunyi di balik pohon, Cin Hai masih berada di bawah dan ujung tambang masih dipegang oleh Lin Lin dan Yousuf. Bukan main girang hati Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Sambil tertawa dan membentak keras mereka berdua keluar dari tempat persembunyian mereka dan lari cepat ke arah Yousuf dan Lin Lin yang masih memegang tambang di mana tubuh Cin Hai bergantung di bawah. Alangkah terkejut hati Yousuf dan Lin Lin melihat kedatangan mereka tak perlu diceritakan lagi. Keduanya memandang dengan wajah pucat sekali dan merasa bahwa kini mereka berdua berikut Cin Hai, pasti akan binasa.

   "Pegang tambang itu kuat-kuat, aku melawan mereka mati-matian,"

   Kata Yousuf. Lin Lin lalu memegang tambang itu seorang diri dengan sekuat tenaga karena biarpun sebenarnya tenaganya sudah lebih dari cukup untuk memegang ujung tambang yang digantungi tubuh kekasihnya, akan tetapi oleh karena perasaan takut kalau kalau tambang itu terlepas dari tangan dan ngeri memikirkan nasib Cin Hai kalau terjadi hal demikian, maka ia memegangnya erat-erat, seakan-akan nyawanya sendiri yang tergantung di ujung tambang itu.

   Yousuf yang tadi ketika mengambil tambang juga mengambil Pedangnya, lalu mencabut Pedang itu dan menyambut mereka sambil berlari agar pertempuran dapat dilakukan di tempat yang jauh dari Lin Lin. Akan tetapi, Bo Lang Hwesio dan Ke Ce yang hendak bertindak cepat, lalu menerjang dengan hebat hingga sebentar saja Yousuf terkurung dan terdesak hebat sekali. Sementara itu, Cin Hai yang tidak tahu apa-apa tentang peristiwa yang sedang terjadi di atas, masih mencari-cari dengan matanya. Ketika ia menggunakan ketajaman matanya menembus halimun tebal dan melihat ke bawah, ia hanya melihat warna putih kebiru-biruan yang bergerak-gerak di bawah kakinya, jauh di bawah.

   Ia menduga bahwa itu mungkin juga daun-daun pohon. Cin Hai lalu mencari akal, dan ketika tangannya menyentuh akar-akar dan daun pohon kecil, ia lalu memegang akar pohon kuat-kuat dan sambil menggantungkan kedua kakinya pada akar pohon, ia lalu mempergunakan kedua tangan untuk mengikat ujung tambang itu pada pinggangnya. Dengan demikian, ia mulai mencari-cari ke kanan-kiri sambil merayap dan berpegangan pada akar-akar pohon tanpa takut terpeleset atau akar itu patah, karena pinggangnya telah terikat tambang. Pada saat Lin Lin memandang dengan berdebar cemas betapa Yousuf terkurung hebat oleh kedua orang musuh yang tangguh itu tiba-tiba ia mendengar suara di atas kepalanya. Alangkah girangnya karena melihat Merak Sakti terbang berkeliling di atasnya.

   "Kong-Ciak-Ko, lekas tolong Ayah!"

   Teriak Lin Lin dengan keras. Merak Sakti menyambar turun bagaikan tahu akan perintah Lin Lin, dan juga berkat rasa kesetiannya melihat Yousuf dikeroyok itu timbul, lalu ia menyambar ke arah Ke Ce sambil memekik keras!

   Ke Ce terkejut sekali ketika melihat bayangan kuning kebiru-biruan menyambar turun dari angkasa ke arah kepalanya. Ia cepat mengelak dan mengeluarkan keringat dingin ketika patuk Merak yang kecil merah dan tajam itu meluncur dekat kepalanya, hampir saja berhasil mematuk matanya! Ketika Merak Sakti menyambar lagi, ia cepat mengulur tangan dengan gerakan Eng-Jiauw-Kang untuk mencengkeram dan menangkap leher Merak yang bagus itu. Akan tetapi Merak itu bukanlah burung sembarang burung, melainkan peliharaan orang sakti dan telah menerima latihan-latihan hingga ia menjadi seekor Merak sakti. Menghadapi serangan ini, ia tidak gentar dan sambil terbang ia mengebut tangan yang hendak mencengkeramnya itu dengan sayap.

   "Blekk!"

   Dan Ke Ce hampir saja mengeluarkan pekik karena tangannya yang terpukul sayap itu terasa sakit dan pedas. Ternyata bahwa kebutan sayap Merak itu mengandung tenaga yang bukan main besarnya! Ke Ce menjadi marah sekali dan mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan untuk mendorong jauh Merak yang lihai itu. Namun Merak Sakti agaknya yang telah maklum akan kelihaian pukulan yang mendatangkan angin ini hingga tiap kali Ke Ce memukul, ia selalu mengelak cepat. Betapapun juga, serangan Ke Ce dengan ilmu pukulan ini membuat Merak itu tak berdaya untuk menyerangnya.

   Biarpun kini hanya menghadapi seorang lawan saja, namun oleh karena kepandaian Bo Lang Hweso lebih tinggi daripada kepandaiannya, tetap saja Yousuf terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya! Lin Lin mengeluarkan keringat dingin ketika melihat betapa bantuan Sin-Kong-Ciak tetap belum dapat menolong Ayah angkatnya, bahkan kini Merak itu hanya berani terbang berputaran di atas kepala Ke Ce oleh karena tadi hampir saja pukulan Angin Taufan orang mongol itu mengenai dadanya! Lin Lin mulai menarik-narik tambang membetot-betot untuk memberi tanda kepada Cin Hai, tiba-tiba ia merasa tambang itu dikedut dari bawah, tanda bahwa Cin Hai telah merasa akan isarat yang ia berikan dan kini membalas dengan kedutan seakan-akan hendak bertanya.

   "Hai-ko... lekas kau naik...!"

   Lin Lin berteriak ke arah bawah tebing, akan tetapi suaranya ditelan halimun dan tak dapat menembus ke bawah. Ia berteriak berkali-kali dan Ke Ce yang melihat hal ini, segera melompat ke arahnya! Lin Lin segera mempergunakan tangan kiri untuk menahan tambang sedangkan tangan kanannya mencabut Pedangnya! Ia hanya berdiri dengan mata tajam menentang Ke Ce dan Pedangnya siap di tangan kanan. Tekadnya hendak melawan mati-matian dan apabila ia kalah, ia takkan melepaskan tambang itu dan bersedia melompat ke dalam tebing menyusul kekasihnya! Sementara itu, Sin-Kong-Ciak ketika melihat betapa Ke Ce menghampiri Lin Lin, lalu berteriak-teriak nyaring dan mulai menyambar kepala Ke Ce lagi! Ke Ce memukul Merak itu mengelak terbang lagi ke atas dengan jerih. Ke Ce tertawa menyeringai dan menghadapi Lin Lin sambil berkata,

   "Nona manis, kau lepaskan saja tambang itu dan kau ikut aku pergi ke""

   Pada saat itu, Sin-Kong-Ciak menyambar lagi dan mencakar ke arah mukanya sehingga terpaksa Ke Ce mengelak dan tak dilanjutkan ucapannya terhadap Lin Lin.

   "Burung celaka!"

   Makinya.

   "Burung bedebah! Kalau aku dapat menangkapmu, akan kupanggang dagingmu sampai gosong!"

   Akan tetapi Merak Sakti itu hanya terbang mengelilingi di atas kepalanya sambil mengeluarkan pekik nyaring berkali-kali. Pekik inilah yang terdengar oleh Cin Hai dan yang membuat pemuda itu menjadi curiga,

   Apalagi karena ia merasa betapa tambang itu berkali-kali ditarik dari atas. Dengan cepat Cin Hai lalu mulai memanjat tambang itu untuk naik kembali ke atas oleh karena penyelidikannya tidak menghasilkan sesuatu. Sementara itu, berkat sambaran-sambaran Sin-Kong-Ciak, Ke Ce tiada mendapat kesempatan untuk mengganggu Lin Lin, karena apabila ia telah usir Merak itu dengan pukulan Angin Taufannya dan ia menghampiri Lin Lin, gadis itu telah siap dengan Pedangnya yang tidak boleh dipandang ringan biarpun gerakannya tidak leluasa karena tangan kiri memegang tambang. Sebelum Ke Ce dapat bertindak lebih jauh, Merak itu sudah turun menyambar lagi hingga pemuda Mongol ini menjadi marah benar-benar. Lin Lin yang merasa gugup dan cemas melihat keadaan Yousuf dan keadaannya sendiri, beberapa kali berseru,

   "Hai-ko, lekas... lekas keluar...!"

   Mendengar ini dan melihat betapa tambang di tangan Lin Lin bergoyang-goyang, Ke Ce menjadi takut. Hanya Cin Hai saja yang ia takuti, maka kini menduga bahwa pemuda itu akan segera muncul, ia lalu angkat kaki lebar sambil mengajak Bo Lang Hwesio,

   "Bo Lang-Suhu, lekas pergi!"

   Sementara itu, Yousuf telah beberapa kali terkena sampokan ujung lengan baju Bo Lang Hwesio yang lihai, bahkan pukulan terakhir yang mengenainya telah menghantam pundak dekat leher yang membuat dadanya terasa sesak dan sakit. Akan tetapi berkat ilmu Lweekangnya yang sudah tinggi, ia dapat mengumpulkan tenaga dan masih dapat melawan dengan gigih! Bo Lang Hwesio merasa heran sekali melihat keuletan orang Turki ini, karena pukulan-pukulan ujung lengan bajunya tadi cukup untuk menewaskan seorang lawan gagah dengan sekali pukul saja. Kakek Turki ini telah empat kali menerima pukulannya dan masih saja kuat melakukan perlawanan!

   Diam-diam ia merasa kagum dan gentar juga. Apakah Kakek ini memiliki ilmu kekebalan yang hebat? Karena hatinya telah gentar, maka ketika Ke Ce melarikan diri dan mengajak ia untuk kabur, ia lalu meloncat jauh dan mengejar kawannya itu, lari turun gunung dengan cepat. Dan kali ini mereka benar-benar lari dari atas gunung itu karena takut akan pembalasan Cin Hai! Ketika Cin Hai telah mendarat dan berada di atas tebing, ia menjadi terkejut sekali melihat Lin Lin memegang ujung tambang dengan Pedang di tangan kanan dan air mata gadis itu mengalir di kedua pipi. Ketika ia memandang ke arah Yousuf, ia segera berseru kaget karena Kakek itu roboh tak sadarkan diri! Keduanya lalu berlari menghampiri dan sambil memeriksa keadaan luka-luka di dalam tubuh Yousuf, Cin Hai mendengar keterangan Lin Lin dengan mata berapi dan muka merah.

   "Keparat betul kedua bangsat rendah itu!"

   Katanya sambil mengertak gigi.

   "Alangkah curang dan rendahnya perbuatan mereka!"

   Cin Hai agak lega melihat bahwa biarpun Yousuf mendapat luka-luka yang hebat, namun tenaga dalam Kakek itu telah cukup kuat untuk melindungi jantung dan paru-parunya hingga tidak sampai menderita luka. Akan tetapi ia memerlukan rawatan teliti dan lama sebelum dapat sembuh sama sekali. Kemudian ia lalu memondong tubuh Yousuf dan bersama Lin Lin ia kembali ke rumah untuk segera memberi pertolongan kepada orang Turki itu. Setelah mendapat urutan dan pencetan pada jalan darahnya, Kakek itu siuman kembali dan ia tersenyum melihat bahwa Lin Lin dan Cin Hai masih selamat dan berada di dekatnya!

   "Lain kali akan kubalas dia..."

   Katanya lemah. Kemudian Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya ketika ia mencari-cari jejak kedua kawan yang terjatuh ke dalam tebing.

   "Halimun terlalu tebal dan tebing itu terlalu dalam hingga sukar untuk melihat nyata. Akan tetapi oleh karena tebing itu merupakan lereng gunung, aku akan mencoba untuk mencari dari kaki gunung dan hendak memanjat ke atas pada tempat itu. Mudah-mudahan saja Thian Yang Maha Kuasa melindungi mereka berdua!"

   Tiba-tiba Lin Lin menepuk jidatnya dengan perlahan.

   "Ah... mengapa kita begitu bodoh? Kong-Ciak-Ko tentu dapat mencari mereka."

   Mendengar ini, Cin Hai dan Yousuf girang sekali karena mereka juga berpendapat bahwa burung Merak itu tentu saja dapat mencari mereka.

   "Pergilah kalian segera membawa Sin-Kong-Ciak dan suruh burung itu mencari Kwee An dan Ma Hao. Lekas!"

   Kata Yousuf dengan suara gembira. Lin Lin dan Cin Hai lalu berlari-lari keluar dan Lin Lin bersuit memanggil burung Merak yang segera terbang datang.

   "Kong-Ciak-Ko, mari kau ikut kami!"

   Katanya sambil berlari cepat kembali ke tebing tadi. Burung Merak itu mengeluarkan suara girang dan terbang mengikuti di atas mereka. Setelah tiba di tebing, Lin Lin lalu memberi tanda dengan tangannya menyuruh burung Merak itu turun. Kemudian, sambil menunjuk ke bawah tebing, Lin Lin berkata,

   "Kong-Ciak-Ko dengarlah baik-baik! Kwee An dan Ma Hoa hilang di bawah sana, kau carilah mereka sampai dapat!"

   Setelah mengulangi perintah ini sampai beberapa kali, tiba-tiba Merak itu lalu memekik girang dan segera terbang ke bawah tebing. Ternyata ia telah dapat menangkap maksud perintah tadi! Lin lin merasa begitu tegang dan gembira hingga ia memegang tangan Cin Hai dan keduanya lalu berdiri menanti di tepi tebing dengan wajah agak tegang dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Hanya hati kedua anak muda ini yang berdebar dan bersama-sama berdoa semoga burung Merak itu akan dapat menemukan kedua kawan mereka dan kembali sambil membawa berita baik! Lama sekali mereka menanti dan tiba-tiba mereka mendengar Merak itu memekik di sebelah bawah. Dan bukan main heran mereka karena pekik Merak itu adalah pekik kemarahan, seperti biasanya dikeluarkan apabila ia menghadapi seorang lawan! Berkali-kali Merak itu memekik dan dengan wajah pucat Lin Lin bertanya kepada Cin Hai,

   "Siapakah gerangan yang membuat Kong-Ciak-Ko demikian marah?"

   Cin Hai juga tak dapat menduga dan hanya menjenguk ke bawah yang putih gelap tertutup halimun itu dengan penuh perhatian dan harap-harap cemas. Setelah terdengar pekik marah itu beberapa kali lagi, lalu di bawah menjadi sunyi, sunyi yang makin menggelisahkan hati kedua teruna remaja itu. Tiba-tiba terdengar bunyi pukulan sayap Merak itu dan muncullah Sin-Kong-Ciak menembus halimun, terbang ke atas dan langsung mendarat di dekat Lin Lin. Ia mengangguk-anggukkan kepala sambil mengeluarkan keluhan-keluhan aneh dan ketika Cin Hai dan Lin Lin memandang, ternyata bahwa di kaki Merak itu telah terlibat oleh seutas tali hijau yang ternyata terbuat daripada semacam akar pohon.

   Tali itu di bagian depan mengikat sepotong batu karang kecil yang agaknya digunakan untuk disambitkan hingga tali dapat melibat kaki Merak Sakti. Tentu saja ilmu kepandaian melempar tali dengan batu karang ini yang dapat melibat kaki Merak Sakti, menunjukkan bahwa pelemparnya tentulah seorang luar biasa. Jangankan tali itu sampai dapat melibat kaki Merak Sakti yang lihai dan pandai mengelak, sedangkan untuk menangkap burung biasa dengan cara aneh itu pun agaknya takkan mudah dilakukan oleh sembarang orang! Dan yang membuat kedua anak muda itu merasa heran adalah sepotong kertas yang berada di ujung tali itu. Cin Hai cepat mencabut kertas itu dan ternyata bahwa di situ terdapat tulisan yang dilakukan dengan corat-coret kasar dan berbunyi, Pergilah kalian dan pelihara Merak ini baik-baik. Kalau ada jodoh, kelak bertemu.

   "Aneh..."

   Kata Cin Hai.

   "tulisan siapakah ini dan apa maksudnya? Apa hubungannya dengan Kwee An dan Ma Hoa?"

   Lin Lin yang membaca surat itu berkali-kali, juga tidak mengerti dan hanya memandang dengan bengong.

   "Tentu ada seorang yang luar biasa pandai di sebelah bawah yang penuh rahasia itu,"

   Katanya.

   "Dengan batu ia dapat membelitkan tali bersurat kepada kaki Kong-Ciak-Ko dan ia dapat mengetahui pula keadaan kita berdua di sini. Sungguh heran dan ajaib!"

   Sekali lagi Cin Hai membaca surat itu dengan teliti.

   "Dengan kata-kata pergilah kalian, orang aneh itu telah mengetahui bahwa kita berdua berada di sini dan menyuruh pergi tentu karena kedua orang saudara kita itu selamat. Ia menyuruh kita memelihara Merak baik-baik karena agaknya ia kagum dan suka sekali kepada Merak ini, sedangkan

   (Lanjut ke Jilid 21)

   Pendekar Bodoh (Seri ke 03 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21

   kata-kata kalau ada jodoh kelak bertemu adalah ucapan yang biasa dilakukan oleh Pertapa atau orang-orang tua yang sakti. Ini hanya dugaanku saja, terutama tentang keselamatan Kwee An dan Ma Hoa, aku sendiri belum dapat memastikan benar."

   Mereka lalu kembali ke rumah Yousuf dan menceritakan peristiwa itu sambil memperlihatkan surat itu. Yousuf juga merasa heran akan tetapi ia berkata dengan suara mengandung penuh harapan,

   "Orang yang mengirim surat secara aneh ini tentu seorang pandai dan kalau ia dapat mengetahui keadaan kalian di atas tebing, tentu ia tahu pula apa yang kalian cari. Maka menurut dugaanku, Kwee An dan Ma Hoa tentu tertolong olehnya!"

   "Akan, tetapi, kalau benar demikian halnya, mengapa ia tidak menyuruh An-ko dan Ma Hoa kembali ke sini?"

   Tanya Lin Lin. Yousuf menggeleng-geleng kepala dan memejamkan matanya karena pembicaraan ini walaupun dilakukan sambil berbaring, cukup melelahkan tubuhnya yang lemah. Yousuf adalah seorang perantau yang banyak pengalaman dan ia mengerti pula cara pengobatan, maka ia dapat merawat luka-lukanya sendiri. Semenjak terjadinya peristiwa yang menguatirkan itu, yaitu lenyapnya Kwee An dan Ma Hoa serta terlukanya Yousuf, Cin Hai lalu menggembleng Lin Lin lebih rajin dan tekun lagi sambil memberi nasihat agar supaya gadis kekasihnya itu melatih diri baik-baik siang dan malam karena Cin Hai hendak meninggalkannya.

   "Kau harus dapat menguasai Ilmu Pedang Han-Le-Kiam-sut serta kedua Ilmu Pukulan Pek-In Hoat-Sut dan Kong-Ciak Sin-Na baik-baik untuk menjaga bahaya mendatang, karena aku harus meninggalkan kau dan Yo Peh-peh beberapa lama untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa. Hatiku takkan tenteram sebelum dapat menemukan mereka,"

   Katanya. Lin Lin juga mengatakan setuju. Tentu saja ia ingin sekali ikut akan tetapi keadaan Yousuf yang rebah dengan tubuh masih lemah dan belum sembuh lukanya itu memerlukan tenaga bantuan dan rawatannya, hingga ia tidak tega untuk meninggalkan Ayah angkatnya yang dikasihinya itu. Demikianlah, mereka berlatih siang malam tanpa mengenal lelah hingga setelah digembleng secara demikian untuk sebulan lamanya, Cin Hai menjadi puas sekali.

   "Lin-moi,"

   Katanya girang setelah ia mencoba melawan Lin Lin dan mendapat kenyataan bahwa ilmu Pedang gadis itu kini benar-benar telah hebat sekali.

   "Sekarang, biarlah Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, bahkan biarlah mereka itu membawa dua tiga orang kawan lagi. Dengan adanya kau di sini, seorang diri saja kau akan sanggup memukul roboh mereka semua."

   "Benarkah itu, Koko? Menurut pendapatku sendiri, kepandaianku masih sama saja."

   Cin Hai tersenyum

   "Memang demikianlah adanya. Kemajuan sendiri takkan pernah terasa atau terlihat sendiri, orang lain yang bisa menentukannya. Makin pandai seseorang ia akan makin merasa dirinya bodoh. Kau ingat akan nama Guru kita? Bu Pun Su, artinya Tiada Kepandaian! Suhu yang ilmunya telah mencapai puncak kesempurnaan itu, bahkan mengaku bahwa Beliau tidak memiliki kepandaian sama sekali. Kepandaianmu sekarang telah berlipat beberapa kali kalau dibandingkan dengan sebulan yang lalu. Kalau tidak percaya, mari kita tanyakan kepada Yo-pekhu."

   Keduanya lalu mendatangi Yousuf yang berangsur sembuh dan kini telah dapat duduk.

   "Yo-pekhu, coba kau lihat ilmu Pedang Lin Lin dan nyatakan pendapatmu!"

   Kata Cin Hai. Yousuf tersenyum dan mengangguk-angguk dan Lin Lin lalu bersilat dengan Pedang pendeknya di depan Yousuf.

   Pedang pendek Han-Le-Kiam menyambar-nyambar dan merupakan sinar putih kebiru-biruan berkelebat di sekeliling tubuh Lin Lin yang menari-nari dengan gaya indah. Walaupun Pedang itu pendek saja, namun sinarnya seakan-akan menjadi senjata yang panjang hingga dapat dibayangkan bahwa gerakan Pedang itu cepat sekali. Yang hebat ialah bahwa tangan kiri Lin Lin tidak tinggal diam, akan tetapi membarengi gerakan tangan kanan yang memegang Pedang pendek dan melakukan penyerangan pula sambil mainkan jurus-jurus yang lihai dan aneh dan Ilmu Silat Pek-in Hoat-Sut dan Kong-Ciak Sin-Na. Setelah ia berhenti mainkan ilmu Pedangnya sambil memandang ke arah Ayah angkatnya itu dengan mata mengandung pertanyaan, Yousuf menarik napas panjang karena tadi ia seperti menahan napas karena kagumnya.

   "Ah, sungguh sukar dipercaya bahwa kepandaian ini baru kau pelajari beberapa puluh hari saja. Terus terang saja, aku sendiri belum tentu kuat menghadapimu dalam sepuluh jurus. Kau hebat, anakku dan terima kasih kepada Cin Hai yang telah mendidikmu."

   Cin Hai tersenyum girang, lalu menjura sambil berkata,

   "Terima kasih itu tak seharusnya ditujukan kepadaku, Yo-pekhu, akan tetapi kepada Suhu Bu Pun Su. Sekarang aku hendak turun gunung dan mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Dengan kepandaian Lin Lin sekarang, aku dapat meninggalkan kalian dengan hati tenteram. Lin-moi, harap kau jangan malas untuk melatih diri selama aku pergi."

   Lin Lin mengerling tajam.

   "Apakah memang aku biasanya malas? Koko, jangan terlalu lama pergi!"

   "Mana aku kuat meninggalkan kau terlalu lama?"

   Kemudian, setelah sekali lagi memandang kepada Lin Lin dan menjura kepada Yousuf, Cin Hai lalu melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan kedua orang itu.

   "Lin Lin, kau bahagia sekali mendapat jodoh seperti Cin Hai,"

   Kata Yousuf dengan gembira. Lin Lin tidak menjawab, hanya menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi pembaringan Yousuf sambil tersenyum dan pandang matanya melayang jauh dalam lamunan. Cin Hai mempergunakan ilmunya untuk berlari cepat menuruni bukit itu. Ia terus turun sampai di kaki bukit, lalu mengambil jalan memutar menuju ke kaki gunung di bawah tebing yang curam di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh. Ternyata bagian ini, ialah bagian sebelah Timur, penuh dengan hutan belukar dan lereng gunung itu walaupun terdiri dari tanah yang tidak keras,

   Akan tetapi sukar dilalui karena penuh dengan jurang-jurang dan rawa-rawa yang penuh alang-alang. Bahkan ada bagian yang nampaknya seperti tanah rata ditumbuhi rumput tebal, akan tetapi ketika terinjak, ternyata bahwa di bawahnya merupakan tanah lumpur yang berbahaya karena sekali kedua kaki masuk ke situ, orang takkan mampu menarik kembali kedua kakinya yang makin lama tersedot makin dalam! Karena rawa yang demikian ini luas sekali dan tak mungkin diloncati begitu saja karena lebarnya, Cin Hai lalu mencari akal. Ia menggunakan Pedangnya untuk memotong banyak batang pohon Bambu dan melemparkan Bambu itu ke atas rumput itu. Ia membawa beberapa batang Bambu yang panjang dan menginjak Bambu yang telah dilempar di atas rumput, kemudian ia menurunkan Bambu sebatang lagi disambungkan kepada Bambu yang diinjaknya.

   Dengan cara demikian ia membuat jembatan Bambu yang sambung menyambung dan yang dapat diinjak tanpa kuatir tenggelam, hingga akhirnya setelah menghabiskan tujuh Bambu panjang, ia dapat juga menyeberang rawa yang aneh dan berbahaya ini! Cin Hai terus maju dengan hati-hati sekali, Pedang Liong-Coan-Kiam siap di tangan karena ia tidak tahu apa yang akan muncul di tempat yang belum pernah terinjak oleh kaki manusia itu. Akhirnya ia tiba juga di suatu tempat yang merupakan lereng yang curam dan yang tegak ke atas. Ketika ia memandang ke atas ternyata di atas penuh dengan halimun dan mengira-ngira di mana kiranya Kwee An dan Ma Hoa terjatuh. Ketika ia maju sedikit ia melihat banyak gua di lereng itu, besar-besar dan gelap. Hatinya berdebar keras. Boleh jadi sekali orang aneh yang telah mengirim surat itu tinggal di sebuah di antara gua-gua ini!

   

Pendekar Kelana Eps 19 Pendekar Kelana Eps 16 Dara Baju Merah Eps 5

Cari Blog Ini