Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kelana 19


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



"Kurang lebih setengah bulan,"

   Jawab Si Kong sebenarnya.

   "Ia seorang gadis yang amat lihai dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bukan?"

   "Memang ia lihai, mewarisi ilmu-ilmu Ayah ibunya."

   Kembali Si Kong menjawab dengan wajar, namun hatinya mulai heran mengapa Bwe Hwa bicara tentang Hui Lan dan tadi Hui Lan bicara tentang Bwe Hwa. Benar mirip sekali watak dua orang gadis ini. Si Kong memandang wajah Bwe Hwa dan melihat dagu yang indah itu terhias tahi lalat yang membuat ia nampak semakin manis. Akan tetapi hanya sebentar Si Kong memandang, lalu menunduk lagi.

   "Dan ia canti jelita! Jarang sekali ada gadis secantik ia yang memiliki ilmu kepandaian setinggi ia. Betulkah, Kong-ko?"

   Heran bin ajaib, pikir Si Kong. Mengapa sama benar arah percakapan Bwe Hwa ini dengan Hui Lan tadi? Seolah mereka berdua telah bersepakat untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Terpaksa kembali dia menjawab sejujurnya.

   "Betul memang ia cantik jelita dan lihai."

   "Ya, aku tahu. Memang ia paling cocok kalau mendampingimu, menjadi pasanganmu!"

   Si Kong tertegun. Mengapa persis benar?

   "Apa... apa maksudmu dengan ucapan itu, Hwa-moi?"

   "Tanpa kau akui akupun sudah dapat menerka, Kong-ko. Engkau dahulu begitu tergesa meninggalkan aku sehingga aku tidak sempat bicara banyak. Engkau begitu angkuh! Akan tetapi sekarang engkau melakukan perjalanan bersama Hui Lan sampai setengah bulan. Itu hanya mempunyai satu arti saja, yaitu bahwa engkau dan Hui Lan saling mencinta. Benar bukan?"

   Bwe Hwa kini menatap wajah Si Kong dengan tajam penuh selidik.

   "Ah, tidak sampai begitu jauh, Hwa-moi. Kami melakukan perjalanan bersama karena kebetulan saja, yaitu kami berdua mempunyai keinginan yang sama untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Harap jangan menyangka yang bukan-bukan!"

   "Aih, Kong-ko, aku dapat melihat pandang mata Hui Lan begitu bersinar penuh cinta ketika memandangmu. Hui Lan mencintamu, itu sudah jelas."

   "Aku tidak tahu akan hal itu, Hwa-moi."

   "Jangan pura-pura, engkau sendiri juga mencintanya, bukan?"

   "Ah, aku tidak tahu, Hwa-moi. Aku belum pernah memikirkan tentang hal itu. Aku adalah murid mendiang Ceng Lo-jin, sedangkan Hui Lan adalah cucu buyutnya, maka aku merasa seperti melakukan perjalanan dengan saudara sendiri."

   Percakapan itu terhenti oleh panggilan Hui Lan.

   "Kong-ko, aku sudah selesai, engkau mandilah!"

   "Baik, engkau kembalilah kesini, Lan-moi. Aku akan segera menggantikanmu."

   Si Kong menyambar buntalan pakaiannya lalu pergi dari situ ketika melihat Hui Lan datang memasuki guha itu.

   Dia merasa tidak enak kalau berada di dalam guha menghadapi dua orang gadis itu. Hui Lan menduga bahwa dia tertarik kepada Bwe Hwa dan sebaliknya Bwe Hwa menduga bahwa dia mencinta Hui Lan. Dia merasa seperti menjadi seekor domba yang akan diperebutkan oleh dua ekor singa betina! Dia memang kagum kepada Hui Lan akan kecantikan dan kelihaiannya, akan tetapi dia juga kagum kepada Bwe Hwa. tidak terbayangkan olehnya tentang cinta! Orang seperti dia, hidup sebatangkara, tanpa sanak kadang, miskin tidak mempunyai apa-apa, seorang petualang miskin, bagaimana sempat memikirkan tentang cinta dan perjodohan? Kalaupun ada perasaan cinta masuk ke dalam hati akal pikirannya, seketika akan diusirnya dengan penuh kesadaran bahwa perjodohan bukanlah milik seorang petualang miskin seperti dia.

   Demikianlah, Si Kong berpikir-pikir sambil mandi. Dia sengaja membawa buntalan pakaiannya karena dia merasa tidak tahan lagi kalau menghadapi dua orang gadis yang seolah-olah saling cemburu itu. Akan tetapi hatinya masih meragu apakah sikapnya tidak terlalu kaku terhadap dua orang gadis itu kalau dia meninggalkan mereka! Sementara itu, Bwe Hwa memandang Hui Lan yang baru selesai mandi itu dengan pandang mata iri. Dalam pandangannya Hui Lan cantik sekali dan inilah yang membuat ia merasa iri. Ia hampir merasa yakin bahwa Si Kong saling mencinta dengan Hui Lan. Kalau memang benar demikian, ia harus mengalah. Akan tetapi siapat tahu Si Kong benar-benar belum jatuh cinta kepada Hui Lan seperti yang dikatakan tadi. Kalau benar demikian, masih ada kesempatan baginya untuk mengharapkan pemuda itu dapat mencinta dirinya.

   "Adik Hui Lan, engkau nampak cantik sekali sehabis mandi dengan rambut terurai itu."

   Hui Lan memandang kepada Bwe Hwa sambil tersenyum.

   "Terima kasih, enci Bwe Hwa. Engkau sendiri juga cantik bukan main."

   Hui Lan duduk di atas lantai dan mengeringkan rambutnya.

   "Hemm, setiap orang pria tentu akan mudah jatuh cinta kepadamu, Hui Lan!"

   Bwe Hwa tersenyum. Hui Lan mengangkat muka menatap wajah Bwe Hwa lalu berkata,

   "Ihh, enci Bwe Hwa. Mengapa engkau berkata begitu? Aku tidak perduli ribuan orang pria jatuh cinta kepadaku. Demikian pula engkau tentu mudah merobohkan hati pria yang manapun dengan kecantikanmu dan kepandaianmu."

   "Aku tidak akan merobohkan hati pria manapun, adik Lan. Akan tetapi jelas nampak olehku betapa engkau saling mencinta dengan Si Kong! hayo sangkal kalau kata-kataku tidak benar!"

   Biarpun dalamn nada suaranya terdengar pahit, namun Bwe Hwa memandang Hui Lan dengan senyum manis. Hui Lan menghentikan kedua tangannya yang sejak tadi menggosok untuk mengeringkan rambutnya dengan kain. Ia memandang Bwe Hwa dengan mata terbelalak, kemudian menggelung rambutnya seolah tidak pernah mendengar kata-kata Bwe Hwa tadi.

   "Bagaimana, Lan-moi? Kata-kataku benar, bukan? Mudah saja bagiku untuk melihat bahwa engkau mencinta dia dan diapun mencintamu. Jawablah!"

   Hui Lan menyelesaikan gelung rambutnya dan ia memandang Bwe Hwa dengan wajah serius.

   "Enci Bwe Hwa, kepadamu aku tidak perlu berbohong. Engkau mengatakan bahwa aku mencinta Kong-ko, dan hal itu tidak perlu kusangkal. Memang benar aku kagum dan tertarik sekali kepada Kong-ko, akan tetapi itu tidak berarti bahwa diapun suka kepadaku. Dan akupun dapat menduga bahwa engkau juga suka dan kagum kepadanya, bahwa engkau mencintanya, enci Bwe Hwa!"

   Wajah Bwe Hwa berubah kemerahan, akan tetapi sebagai seorang gadis yang gagah perkasa ia tidak berpura-pura. Seperti juga Hui Lan ia berani mengakui apa yang tersembunyi di dalam hatinya.

   "Terus terang saja, dugaanmu itu benar, Lan-moi. Belum pernah aku tertarik kepada pria kecuali dia. Akan tetapi apakah dia suka kepadaku, hal ini masih belum dapat diketahui."

   Hening sejenak. Kedua orang gadis perkasa dan cantik jelita itu menundukan muka dengan alis berkerut. Mereka menyadari bahwa diantara mereka terdapat jurang pemisah yang ditimbulkan oleh rasa cinta mereka terhadap seorang pemuda! Mereka seolah menjadi saingan.

   "Ternyata kita mencintai orang yang sama, Lan-moi. Sungguh sebuah kenyataan yang pahit sekali. Tidak mungkin kita memperebutkan hati seorang pria. Sekarang begini saja, Lan-moi. Kita lihat saja nanti, siapa diantara kita yang dicinta oleh Kong-ko, ialah yang berhak menjadi pasangannya. Yang tidak dicinta harus mengalah. Bagaimana pendapatmu?"

   Kedua pipi Hui Lan berubah kemerahan, Bwe Hwa telah bicara dari hati ke hati, secara terbuka dan sejujurnya. Ia harus menghargai sikap ini, walaupun terdengar memalukan dua orang gadis membicarakan cintanya terhadap seorang pemuda dengan gadis lain! Akan tetapi ia dapat menghargai kejujuran Bwe Hwa. Dalam urusan hati seperti ini memang sebaiknya kalau mereka berdua bersikap terbuka dan jujur sehingga tidak menimbulkan dendam diantara mereka seperti kalau hal itu tidak dibicarakan sejujurnya dan disimpan menjadi rahasia sehingga mereka berdua akansaling cemburu.

   "Lega hatiku mendengar keterbukaan, enci Bwe Hwa. Dengan kejujuranmu ini kita berdua tidak perlu saling bersaing dan saling cemburu. Aku setuju dengan pendapatmu. Cinta tidak dapat dipaksakan dan kita lihat saja nanti siapa diantara kita yang dicinta Kong-ko."

   "Aku juga girang dengan kejujuranmu, adikku!"

   Bwe Hwa merangkul Hui Lan dan mereka saling berangkulan dengan hati lega dan terharu. Setelah lama mereka menanti munculnya Si Kong dan pemuda itu belum juga datang, mereka merasa heran. Hui Lan lalu bangkit dan berjalan keluar guha, diikuti oleh Bwe Hwa.

   "Kong-ko, sudah selesaikah engkau mandi?"

   Hui Lan berteriak lantang, akan tetapi tidak terdengar jawaban.

   "Kong-ko, dimana engkau?"

   Teriak Bwe Hwa sambil mengerahkan khi-kang sehingga suaranya dapat terdengar sampai jauh. Akan tetapi Bwe Hwa inipun tidak memperoleh jawaban. Suasananya sunyi saja. Matahari telah naik di langit timur dan kedua orang gadis itu saling pandang dengan heran. Mereka berdua berseru kembali beberapa kali untuk memanggil Si Kong, namun tetap saja tidak ada jawaban.

   "Hatiku merasa tidak enak, Lan-moi. Mari kita lihat di pancuran air,"

   Kata Bwe Hwa. Kedua gadis itu lalu pergi ke tempat air memancur di mana mereka tadi mandi dan mencuci pakaian. Akan tetapi tidak nampak Si Kong di sana. Mereka lalu memandang ke kanan kiri sambil berteriak memanggil nama Si Kong.

   "Enci Bwe Hwa, lihat di sana itu!"

   Kata Hui Lan. Bwe Hwa menengok dan melihat apa yang ditunjuk oleh Hui Lan. Di tanah padas yang berbentuk dinding nampak coretan-coretan. Mereka berdua lalu melompat mendekat dan benar apa seperti dugaan mereka, coret-coretan itu merupakan huruf-huruf yang diukir pada tanah padas itu. Kedua orang gadis itu berlumba membacanya dengan hati khawatir.

   "Seekor burung gagak yang papa
tidak pantas berdekatan dengan
sepasang burung Hong yang mulia!
Seekor burung gagak yang papa
terbang naik ke angkasa
sendirian bermain di udara
bebas dan merdeka
tak terikat apapun juga!"

   Setelah membaca bunyi tulisan di tanah padas itu, Hui Lan dan Bwe Hwa merasa betapa tubuh mereka menjadi lemas. Mereka berdua mengerti benar bahwa Si Kong sengaja menjauhkan diri dari mereka, karena merasa tidak berharga untuk berdekatan lebih lama dengan mereka yang disebut burung-burung Hong yang mulia.

   "Kong-ko...!"

   Hampir berbareng mereka menyerukan nama ini dan mereka menjatuhkan diri duduk di atas batu sambil termenung.

   "Enci Bwe Hwa, agaknya dia... dia telah mendengar percakapan kita di..."

   Bwe Hwa mengangguk.

   "Kong-ko adalah seorang pemuda yang rendah hati sekali. Dari tulisannya itu kita tahu bahwa dia tidak mencinta kita, menganggap diri terlalu rendah untuk mencinta kita. Seperti pernah kukatakan, Lan-moi, cinta tidak dapat dipaksakan! Cinta tidan mungkin hanya terjadi sepihak saja. Sekarang bagaimana kehendakmu, Lan-moi?"

   "Kita cari pedang Pek-lui-kiam enci Bwe Hwa."

   "Benar, kita mencari pedang pusaka itu dan siapapun yang mendapatkan harus diserahkannya kepada Kong-ko."

   "Ah, betapa mendalam rasa cintamu. Biarpun tidak mendapat sambutan engkau tetap memikirkan dia! Akan tetapi pendapatmu itu memang tepat. Aku telah mendengar dari Kong-ko bahwa dia mencari pedang itu untuk dikembalikan kepada seorang gadis bernama Tan Kiok Nio yang kini tinggal di kota Ci-bun."

   Bwe Hwa mengerutkan alisnya.

   "Pedang itu akan diserahkan kepada seorang gadis? Apakah gadis itu..."

   Ia tidak melanjutkan dan Hui Lan menjelaskan.

   "Jangan mengira bahwa Kong-ko jatuh cinta kepada gadis itu, enci Bwe Hwa. gadis itu adalah puteri mendiang Tan Tiong Bu yang tadinya menjadi pemilik pedang pusaka Pek-lui-kiam. Tan Tiong Bu tewas oleh seseorang dan ada dugaan bahwa pembunuhnya adalah Ang I Sianjin yang kemudian mencuri pedang pusaka itu. Nah, gadis itu minta pertolongan Kong-ko untuk mencari pembunuh Ayahnya dan merampas kembali pedang pusaka milik mendiang Ayahnya itu."

   Bwe Hwa mengangguk-angguk.

   "Tidak mengherankan kalau begitu. Kong-ko memang memiliki watak yang budiman dan tangannya selalu terbuka untuk menolong siapa saja. Kalau begitu, sebaiknya kita berpisah, Lan-moi. Kita mendaki secara terpisah dan marilah kita berlumba untuk mendapatkan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu. Siapa yang mendapatkannya tentu akan menyerahkannya kepada Kong-ko dan siapa tahu, hal itu akan melunakkan hatinya."

   Hui Lan tersenyum dan ia semakin yakin bahwa cinta Bwe Hwa terhadap Si Kong memang mendalam sekali. Ia hanya menghela napas dan berkata.

   "

   Baiklah, mari kita mengambil jalan masing-masing. Aku tidak akan merasa menyesal kalau engkau yang akan dapat menguasai pedang itu."

   Setelah berkemas, kedua orang gadis itu lalu meninggalkan guha dan melanjutkan pendakian ke puncak dengan mengambil jalan terpisah.

   Si Kong berjalan seorang diri sambil termenung. Dia terpaksa meninggalkan dua orang gadis yang dikagumi dan disukanya setelah mendengar percakapan mereka. Dia mendengarkan itu tanpa disengaja. Setelah mandi, dia sudah memikirkan bahwa sebaiknya dia berpamit dari mereka dan mencari jalannya sendiri. Akan tetapi ketika dia mendekati guha, dia mendengar dua orang gadis itu bercakap-cakap mengenai dirinya. Dia menjadi bingung dan bersedih. Tak disangkanya dua orang gadis itu menaruh hati kepadanya. Bagaimana mungkin dia menyambut cinta kasih seorang gadis seperti mereka yang menjadi puteri pendekar besar, serba kecukupan? Apalagi diperebutkan antara dua orang gadis yang dikaguminya itu.

   Dia merasa bahwa sebagai seorang kelana miskin dan yatim piatu seperti dia amat tidak sepadan kalau berpasangan dengan Hui Lan maupun Bwe Hwa. Dia mengeraskan hatinya dan mengambil keputusan untuk pergi begitu saja tanpa pamit. Akan tetapi untuk tidak membuat dua orang gadis itu penasaran, dia meninggalkan coretan-coretan di batu padas itu. Dengan pikiran dipenuhi bayangan kedua orang gadis itu, Si Kong melanjutkan perjalanan. Niatnya hanya untuk menyelidiki pembunuh pendekar Tan Tiong Bu dan merampas kembali pedang pusaka Pek-lui-kiam untuk dikembalikan kepada Tan Kiok Nio. Kenapa dia harus terlibat dalam urusan cinta dengan seorang diantara dua orang gadis itu? Karena tidak ingin tersusul oleh dua orang gadis itu, Si Kong mengambil jalan ke barat melalui lereng-lereng perbukitan itu.

   Dia harus mendaki puncak melalui lereng sebelah barat agar tidak sampai bertemu dengan Hui Lan atau Bwe Hwa. Akan tetapi, sambil melangkah ke depan, dia merasa betapa perasaan hatinya berat seperti terhimpit perasaan bersalah. Dua orang gadis itu dengan jujur mengatakan bahwa mereka mencintanya. Dan sekarang, dia pergi begitu saja tanpa memberi tahu. Hal ini tentu saja akan membuat mereka bersedih dan kecewa. Berulang kali dia bertanya kepada hatinya sendiri, gadis mana diantara keduanya itu yang dia cinta. Jawaban hatinya membingungkannya. Dia kagum kepada keduanya dan merasa suka kepada keduanya. Apakah dia mencinta mereka? Mencinta seorang diantara mereka? Entahlah, dia jawab sendiri pertanyaan itu. Dia ragu dan bingung, tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Dia tidak tahu dan belum mengenal apa itu yang disebut cinta.

   Dia memang suka kepada mereka, kagum kepada mereka karena mereka adalah dua orang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi, gagah perkasa dan budiman, puteri dari pendekar-pendekar kenamaan. Cinta asmara memang mendatangkan banyak macam akibat, dapat membahagiakan seseorang namun dapat pula menyengsarakan seseorang. Cinta asmara adalah cinta yang diboncengi nafsu. Ingin menyenangkan dan disenangkan, memiliki dan dimiliki, menguasai dan dikuasai. Kalau semua keinginan ini dipenuhi maka hatinya mengaku cinta. Dilayani, dimanja, disukai, betapa menyenangkan semua itu. Akan tetapi begitu muncul kenyataan lain, tidak lagi dilayani, tidak lagi dimanja, tidak lagi disenangi, maka cinta asmara pun terbang pergi seperti kabut terkena sinar matahari, dan cinta asmara berganti dengan kebencian.

   Kegagalan cinta asmara membuat seseorang menjadi kecewa, duka dan merasa sengsara sekali. Bagaimana kalau cinta asmara terpenuhi dan disambut dengan baik? tentu saja mendatangkan kesenangan besar yang dianggap sebagai bahagia. Akan tetapi betapa pendeknya usia kebahagiaan itu. Betapa rapuhnya hati yang mengaku cinta. Si Kong belum pernah jatuh cinta, maka dia tidak dapat membedakan antara rasa suka dan rasa cinta. Rasa kagum dan suka tidak menuntut balasan, tidak ingin menguasai, memiliki atau ingin menyenangkan diri sendiri. Orang tidak akan pernah patah hati kalau rasa sukanya lenyap atau berubah, karena tidak merasa kehilangan. Rasa suka diantara sahabat tidak ingin memiliki, maka tidak akan merasa kehilangan. Si Kong berhenti melangkah dan seluruh perhatiannya kini dipusatkan kepada mata dan telinganya.

   Dia mendengar langkah kaki yang datang dari jauh, akan tetapi derap langkah itu sudah terdengar dari situ, seolah yang datang mendekat adalah seekor gajah besar yang amat berat! Setelah dekat, Si Kong memandang dengan heran dan kagum karena yang datang menghampirinya adalah seorang kakek tinggi kurus yang usianya lebih dari enam puluh tahun. Pakaiannya ringkas dan mewah, dan disabuknya terselip sebuah kantung dan tangan kirinya memegang sebuah kong-ce (tombak cagak), mukanya penuh brewok sehingga wajah itu nampak bengis. Karena kakek itu menghampiri dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, Si Kong lalu mengangkat kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat. Dia dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek yang berilmu tinggi.

   "Selamat siang, lo-cianpwe."

   Sepasang mata kakek itu mencorong mengamati Si Kong dari atas yang memakai caping lebar sampai ke kaki yang mengenakan sepatu butut dan pakaiannya yang sederhana.

   "Hemm, siapa engkau?"

   Tanya kakek itu penuh kecurigaan.

   "Namaku Si Kong, Locianpwe."

   "Engkau anggauta Kwi-jiauw-pang?"

   "Bukan, Locianpwe."

   "Hemm, kalau bukan anggauta Kwi-jiauw-pang, lalu mengapa engkau berada di sini?"

   "Aku... aku tidak inginkan sesuatu..."

   Jawab Si Kong dengan gugup karena dia meragu apakah dia harus berterus terang atau tidak.

   "Hemm, engkau datang ke Kwi-liong-san untuk mencari Pek-lui-kiam, bukan?"

   Semua orang yang datang ke sini mencari dan hendak memperebutkan Pek-lui-kiam, maka diapun menjawab sejujurnya.

   "Benar, Locianpwe, namun aku tidak yakin apakah aku mampu..."

   "Kalahkan aku dulu kalau engkau mau memperebutkan Pek-lui-kiam disini!"

   Kakek itu menggerakkan tangan kanannya, memukul ke arah dada Si Kong dengan cepat dan kuat sekali. Tahu-tahu tangannya yang kanan telah hampir mengenai dada Si Kong. Hawa pukulan yang dahsyat sudah terasa oleh pemuda itu. Dia cepat melangkah mundur selangkah lalu mendorong pula dengan tangan kanan untuk menyambut pukulan lawan itu. Untuk mengelak sudah tidak ada waktu lagi dan satu-satunya jalan untuk menangkis pukulan yang dipenuhi tenaga sinkang itu hanyalah menyambutnya dengan tangan juga.

   "Wuuuuutttt... dessss!"

   Dua telapak tangan bertemu dan tubuh Si Kong terhuyung mundur lima langkah. Akan tetapi kakek itu juga terhuyung mundur lima langkah. Si Kong merasa betapa dadanya sesak dan tahulah dia bahwa kakek itu menggunakan sinkang yang amat kuat sehingga pertemuan tangan itu membuat isi dadanya terguncang. Maklum bahwa dia menghadapi lawan tangguh yang berbahaya, Si Kong tidak ingin melanjutkan perkelahian tanpa sebab yang kuat itu. Maka diapun lalu melompat dari situ dan pergi melanjutkan perjalanannya. Kakek itu agaknya juga maklum bahwa pemuda itu seorang yang tangguh sekali, maka diapun tidak melakukan pengejaran. Siapakah kakek tinggi kurus brewok yang amat tangguh ini? Kalau Si Kong mendengar nama julukan kakek itu, tentu dia tahu dengan orang macam apa dia berhadapan.

   Kakek itu bukan orang sembarangan, melainkan datuk besar dari timur yang berjuluk Tung-giam-ong (Raja Maut Timur)! Seperti para datuk yang lain, dia mendaki Kwi-liong-san dengan dua tujuan. Pertama, memenuhi undangan Toa Ok dan Ji Ok yang hendak menentukan siapa diantara para datuk besar yang patut dipilih sebagai datuk nomor satu di dunia. Dan kedua, tentu saja, untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Ketika bertemu dengan Si Kong, dia menduga bahwa pemuda itu tentu seorang diantara orang kangouw yang hendak memperebutkan pedang pusaka. Setiap orang yang hendak memperebutkan pedang itu dianggapnya sebagai musuh yang patut di bunuh untuk mengurangi jumlah saingan. Maka dia lalu menyerang dengan pukulan maut, dan dia hampir yakin bahwa sekali pukul saja pemuda itu tentu akan mati!

   Pukulannya itu mengandung tenaga sinkang yang panas dan amat kuat, dilakukan dengan penuh tenaga karena dia bermaksud membunuh pemuda itu dengan sekali pukul. Akan tetapi dia menjadi terkejut setengah mati ketika pemuda itu menyambut dorongannya dengan telapak tangan pula dan ketika kedua tangan bertemu, dia terdorong ke belakang sampai lima langkah! Dan diapun merasa betapa isi perutnya terguncang dan cepat dia mengumpulkan hawa murni untuk melindungi isi perutnya agar jangan terluka dalam. Maka diapun sama sekali tidak mengejar ketika pemuda itu lari dari situ. Sementara itu, Si Kong merasa heran dengan munculnya kakek sakti itu dan dia tahu bahwa memperebutkan pedang Pek-lui-kiam sungguh merupakan pekerjaan yang amat sulit dengan adanya orang-orang sakti di tempat itu.

   Dia berjalan dengan hati-hati karena maklum bahwa perjalanan itu berbahaya, terdapat banyak jurang dan siapa tahu disitu terdapat pula perangkap dan jebakan yang dipasang oleh orang-orang Kwi-jiauw-pang. Selagi dia berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba dia mendengar seruan orang dari belakang. Dia menengok dan melihat seorang kakek lari mengejarnya dengan kecepatan yang mengagumkan. Tadinya Si Kong mengira bahwa kakek tadi yang mengejarnya. Dia bersiap untuk lari lebih cepat, akan tetapi ketika dia melihat bahwa kakek yang mengejarnya itu adalah seorang kakek yang bertubuh sedang, tidak memegang tombak cagak seperti tadi, dia merasa lega dan menanti dengan siap siaga.

   Kakek itu mempergunakan ginkang yang hebat sehingga sebantar saja sudah tiba di depan Si Kong. Si Kong memandang penuh perhatian. Kakek inipun sudah berusia enam puluh tahun lebih. Tubuhnya sedang dan tegap. Alisnya tebal dan matanya mencorong membuat wajah yang tampan itu nampak berwibawa. Dipunggungnya terselip sebatang pedang dan dipinggangnya terdapat belasan batang anak panah kecil. Melihat panah itu, Si Kong terkejut karena dia teringat akan anak panah tangan yang biasa dipergunakan oleh Cu Yin! Dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah datuk besar selatan yang berjuluk Lam Tok! Si Kong tidak mencari permusuhan, apalagi dengan Lam Tok Ayah dari Cu Yin yang pernah menjadi sahabat baiknya. Datuk besar ini tentu lihai sekali, dan keadaannya sendiri belum pulih dari guncangan akibat beradu tenaga dengan kakek tinggi kurus yang amat lihai.

   Maka kalau dipaksa harus bertanding melawan Lam Tok, lebih baik dia menghindarkan diri. Ketika bertemu kakek pertama, dia menegur lebih dulu, akan tetapi akibatnya, dia diserang secara hebat sekali. Siapa tahu Lam Tok juga akan menyerangnya kalau kakek ini mengira dia hendak memperebutkan Pek-lui-kiam. Watak para datuk besar ini amat aneh. Kalau mereka hendak menguasai Pek-lui-kiam, maka setiap orang yang bermaksud memperebutkan Pek-lui-kiam tentu dianggap musuh yang harus dibunuh! Setelah berpikir demikian, Si Kong merasa lebih baik menjauhkan diri dari perkelahian dengan kakek itu. Tidak ada gunanya melayani para datuk yang suka berkelahi tanpa sebab. Berbeda kalau andaikata dia sudah mendapatkan Pek-lui-kiam, tentu dia akan menghadapi siapapun yang hendak merampas dari tangannya.

   "Hei, orang muda. Tunggu dulu!"

   Lam Tok berteriak sambil meloncat dan mengejar. Akan tetapi Si Kong menggunakan ilmu berlari cepat Liok-te Hui-teng sehingga sebentar saja tubuhnya lenyap di balik pohon-pohon dan semak belukar. Lam Tok merasa heran dan penasaran tidak dapat mengejar pemuda itu, akan tetapi dia tidak mengejar terus karena diapun harus berhati-hati berada di pegunungan yang asing baginya itu.

   Setelah merasa yakin bahwa dia tidak dikejar lagi, barulah Si Kong menghentikan larinya dan menyelinap di balik semak belukar untuk mengaso. Dia menanti sampai lama akan tetapi tidak ada yang mengejarnya. Legalah hatinya dan kini tenaganya juga sudah pulih kembali karena selama menanti itu dia bersamadhi mengumpulkan hawa murni untuk menghilangkan bekas pertemuan tenaganya dan tenaga kakek tinggi kurus brewok yang lihai itu. Matahari telah naik tinggi dan Si Kong melanjutkan perjalannnya mendaki puncak, menyelinap diantara pohon-pohon dan semak belukar. Para pimpinan Kwi-jiauw-pang di puncak Kwi-liong-san sudah bersiap menyambut kunjungan para tokoh kang-ouw yang hendak memperebutkan Pek-lui-kiam. Kedudukan Kwi-jiauw-pang kuat sekali. Toa Ok, Ji Ok dan Sam Ok telah mendatangkan banyak balabantuan.

   Coa Leng Kun telah mengundang See-thian Su-hiap, empat orang tokoh Pek-lian-kauw yang memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu sihir. Disitu berkumpul pula Bu-tek Ngo-sian, lima orang tangguh yang sudah lama menjadi pembantu Toa Ok dan Ji Ok. Mereka merupakan tiga belas orang yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang dapat diandalkan. Selain mereka, masih ada pula seregu pasukan Pek-lian-pai yang jumlahnya kurang lebih seratus orang dan yang kini sudah bergabung dengan pasukan Kwi-jiauw-pang sendiri yang berkekuatan seratus orang lebih. Pek-lian-pai telah berhasil menghasut Gubernur Ji dari propinsi Ce-kiang untuk memberontak. Dengan janji bahwa kalau pemberontakan mereka berhasil Gubernur Ji akan mereka angkat menjadi kaisar baru, Gubernur Ji setuju dan dia segera bersekongkol dengan Pek-lian-pai dan Kwi-jiauw-pang.

   Karena mereka merasa belum kuat untuk memberontak dan menyerang pasukan kerajaan, maka kini mereka berniat untuk mengadu domba orang-orang kang-ouw dengan umpan pedang Pek-lui-kiam. Hal ini selain dilakukan untuk mengacau ketenteraman, juga untuk melemahkan dunia kangouw yang sebagian besar condong membantu dan mendukung pemerintah kerajaan. Juga untuk memancing para tokoh kangouw membantu persekongkolan mereka dengan menjanjikan kedudukan yang tinggi kalau pemberontakan berhasil. Tiga belas orang itu kini berkumpul mengadakan rapat untuk mengatur siasat. Para anak buah Kwi-jiauw-pang disebar untuk mengamati gerakan orang-orang yang mendaki Kwi-liong-san, dibantu oleh orang-orang Pek-lian-pai. Toa Ok dan Ji Ok memimpin pertemuan itu di dalam ruangan yang luas dalam rumah induk Kwi-jiauw-pang.

   "Coba ceritakan kembali pertemuan kalian dengan pemuda dan gadis yang lihai itu. Benarkah mereka telah membunuh sepuluh orang kita dan melukai belasan orang lainnya?"

   Tanya Toa Ok kepada Bu-tek Ngo-sian. Ciok Khi sebagai orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian menjawab.

   "Ketika itu kami berlima melihat seorang pemuda dan seorang gadis mengamuk dan merobohkan belasan orang anggauta Kwi-jiauw-pang yang mengeroyok mereka. Kami segera menyerang mereka, akan tetapi ternyata mereka lihai sekali. Bahkan gadis itu memiliki ilmu sihir. Terpaksa kami melarikan diri karena tidak kuat melawan mereka."

   "Bodoh kalian! Melawan seorang muda dan seorang gadis saja tidak mampu mengalahkan mereka!"

   Toa Ok mengomel dan lima orang itu hanya menunduk saja. Mendengar Toa Ok menegur Bu-tek Ngo-sian dengan marah, See-thian Su-hiap saling pandang dan orang tertua dari mereka, Kui Hwa Cu segera berkata.

   "Harap Toa-pangcu tidak menegur mereka Bu-tek Ngo-sian. Pemuda dan gadis itu memang lihai bukan main. Kami sendiri sudah bertemu dan mengeroyok mereka dan mereka memang orang-orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Ketika kami mengeroyok nona Pek Bwe Hwa, mereka berdua muncul dan terpaksa kami menggunakan bahan peledak untuk menyingkir. Nona Pek Bwe Hwa dan dua orang muda itu merupakan lawan yang tangguh, Toa-pangcu dan ini harus kami akui."

   Dengan hati kega Bu-tek Ngo-sian mendengarkan pembelaan secara tidak langsung ini dan Ciok Khi berani membuka mulut melapor.

   "Ada satu hal lagi yang perlu kami laporkan kepada Sam-wi Pangcu (tiga ketua) bahwa ternyata pemuda dan gadis itu tidak berbohong ketika mereka mengatakan bahwa yang membunuh sepuluh orang anggauta Kwi-jiauw-pang itu bukan mereka."

   "Hemm, bagaimana engkau bisa tahu bahwa bukan mereka pembunuhnya? Lalu siapa yang membunuh?"

   "Dari para anggauta yang melakukan penguburan kami mendengar bahwa sepuluh orang itu tewas terkena anak panah beracun. Kami mendatangi kuburan mereka dan menyuruh gali kembali untuk memeriksa. Dan ternyata mereka itu terkena anak panah dan pada gagangnya terdapat tulisan Lam Tok."

   "Ahhh...! Jadi Lam Tok kiranya yang membunuh mereka?"

   Bentak Toa Ok marah.

   "Agaknya memang benar begitu, Toa-pangcu."

   "Keparat Lam Tok. Belum bertemu dengan kami telah turun tangan membunuh anak buah kami. Pasti akan kutegur perbuatannya itu!"

   Pada saat itu, seorang anggauta Kwi-jiauw-pang masuk dengan muka pucat dan melapor kepada Toa Ok.

   "Toapangcu di lereng selatan ada seorang gadis dan seorang pemuda yang sedang mengamuk!"

   Mendengar laporan ini, Toa Ok marah sekali.

   "Mari kita semua pergi ke sana! Dua orang muda itu harus dibunuh!"

   Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Semua orang bangkit dari tempat duduknya dan serentak mereka berlari menuruni puncak bagian selatan, dan pelapor tadi menjadi penunjuk jalan. Setelah tiba di lereng bagian selatan, mereka melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan sedang dikeroyok belasan orang anggauta Kwi-jiauw-pang yang dibantu lima orang angguta Pek-lian-kauw. Sudah ada beberapa orang pengeroyok yang roboh dan dua orang muda itu masih mengamuk, si pemuda memainkan sebatang pedang dan gadis itupun mengamuk dengan pedangnya. Melihat mereka, See-thian Su-hiap dan Bu-tek Ngo-sian berbisik,

   "Bukan, bukan mereka...!"

   Mendengar ucapan mereka itu, Toa Ok lalu melompat maju dan membentak.

   "Bocah-bocah lancang! Berani benar kalian mengacau di Kwi-liong-san!"

   Bentakan itu mengandung tenaga khikang yang amat kuat sehingga suara itu seolah menggetarkan bumi. Pemuda dan gadis itu bukan lain adalah Tio Gin Ciong dan Siangkoan Cu Yin! Mendengar bentakan yang dahsyat itu, Gin Ciong dan Cu Yin maklum bahwa yang datang adalah seorang yang sakti bersama belasan orang lainnya. Cu Yin dan Gin Ciong melompat ke belakang dan sekali tangan Cu Yin bergerak, tiga batang anak panah sudah meluncur ke arah Toa Ok!

   "Sing-sing-singgg...!"

   Toa ok menyambut dengan kedua tangannya dan dia sudah menangkap tiga batang anak panah itu. Ketika dia memeriksa, mata anak panah itu mengandung racun dan pada gagangnya terdapat dua huruf: Lam Tok. Segera dia dapat menduga siapa adanya gadis yang ganas itu.

   "Hemm, engkau puteri Lam Tok, bukan? Ada urusan apa engkau berani mengacau di tempat ini?"

   Biarpun maklum bahwa tiga belas orang yang datang adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun Cu Yin sama sekali tidak kelihatan jerih.

   "Aku memang puteri Lam Tok. Aku dan kawanku ini sedang melakukan perjalanan disini, mengapa orang-orang ini mengeroyok kami? Kalian datang hendak membantu mereka?"

   "Hemm, gadis kecil, Ayahmu sendiri Si Racun Selatan tidak berani memandang rendah kami! Dan engkau, anak muda. Siapakah engkau?"

   Toa Ok mengamati wajah Gin Ciong dengan tajam penuh selidik karena tadipun dia melihat sepak terjang pemuda ini cukup hebat. Gin Ciong tersenyum bangga.

   "Ayahku adalah Majikan Pulau Beruang!"

   Toa Ok membelalakkan matanya.

   "Jadi engkau putera Tung-giam-ong Si Datuk Timur? Bagaimana kalian dapat berada disini? Di mana Ayah kalian?"

   Toa Ok mendapat pikiran yang bagus sekali. Gadis dan pemuda ini ternyata adalah puteri dan putera Lam Tok dan Tung-giam-ong. Alangkah baiknya kalau dia dapat menarik mereka menjadi sekutu, dengan demikian ada harapan baginya untuk menarik Lam Tok dan Tung-giam-ong menjadi sekutu pula.

   "Bagus sekali! Kiranya kalian adalah puteri dan putera Lam Tok dan Tung-giam-ong yang memang kami tunggu-tunggu sebagai tamu-tamu kami. Nona, siapakah namamu, dan engkau muda, siapa namamu?"

   Melihat sikap ramah kakek yang berkepala botak dan besar itu, Cu Yin mengerutkan alisnya.

   "Sebelum kami memperkenalkan diri lebih dulu engkau yang mengatakan siapakah engkau dan apa hubunganmu dengan Kwi-jiauw-pang?"

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Toa Ok tertawa bergelak.

   "Anak Lam Tok ternyata bernyali besar, tidak percuma menjadi puteri Lam Tok. Kalian ingin tahu siapa kami? Aku dan adikku ini adalah datuk-datuk dari barat."

   Cu Yin menyipitkan matanya.

   "Toa Ok dan Ji Ok?"

   Tanyanya.

   "Ha-ha-ha, bagus kalau engkau sudah mengetahuinya. Akan tetapi sekarang kami menjadi ketua Kwi-jiauw-pang aku menjadi Toa Pangcu, adikku menjadi Ji Pangcu dan yang berjubah merah itu adalah Sam Pangcu."

   Mendengar bahwa gadis dan pemuda itu adalah anak-anak Lam Tok dan Tung-giam-ong, Bu-tek Ngo-sian segera memperkenalkan diri mereka,

   "Kami adalah Bu-tek Ngo-sian!"

   "Perkenalkan, aku adalah Coa Leng Kun."

   Leng Kun juga memperkenalkan diri kepada gadis yang cantik molek itu, senyumnya memikat dan pandang matanya bersinar-sinar!

   "Kami berempat adalah See-thian Su-hiap."

   Empat orang Tosu itiu tidak mau kalah memperkenalkan diri. Mendengar sederetan nama julukan itu, diam-diam Cu Yin terkejut bukan main. Baru Toa Ok dan Ji Ok itu saja sudah merupakan dua orang tokoh yang kedudukannya setingkat dengan Ayahnya. Dan masih banyak nama julukan yang terkenal mendampingi mereka! Iapun maklum bahwa terhadap mereka ini ia tidak boleh bersikap kasar karena mereka semua adalah orang-orang tangguh. Cu Yin cukup cerdik untuk mengubah sikap menjadi ramah kepada mereka.

   "Aih, kiranya kalian adalah orang-orang yang menjadi sahabat Ayah. Aku bernama Siangkoan Cu Yin dan temanku putera Tung-giam-ong ini bernama Tio Gin Ciong. Tadi terjadi kesalah-pahaman antara orang-orangmu dan kami. Kami dicurigai dan diusir dari tempat ini, maka terjadilah perkelahian."

   "Ah, tidak mengapa, nona. Mereka itu bodoh dan tidak tahu berhadapan dengan siapa maka berani bertindak kasar. Harap nona dan kongcu suka memaafkan anak buah kami."

   "Hemm, tidak mengapa paman. Kami tidak terluka dan syukur kami tidak membunuh seorangpun dari orang-orangmu. Eh, kalau tidak salah, Sam Pangcu ini yang berjuluk Ang I Sianjin, bukan?"

   Kakek berjubah merah itu mengelus jenggotnya.

   "Nona Siangkoan ternyata bermata tajam dan cerdik sekali. Aku memang Ang I Sianjin, akan tetapi sekarang aku berjuluk Sam Ok dan berkedudukan sebagai Sam Pangcu di Kwi-jiauw-pang."

   "Hemm-hemmm... aku mendengar bahwa engkau telah membunuh pendekar Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin dan telah merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Benarkah kabar itu?"

   "Ah, nona Siangkoan. Aku yang sudah tua ini tidak membutuhkan pedang pusaka itu, walaupun benar aku telah mengambilnya. Ketahuilah, aku membunuh Tan Tiong Bu dan merampas Pek-lui-kiam karena dahulu dia telah membunuh keluargaku dengan menggunakan pedang pusaka itu. Aku sudah tua, pedang pusaka itu lebih patut menjadi milik seorang muda seperti nona."

   "Heh-heh-heh, nona Siangkoan. Marilah kita pergi kerumah perkumpulan agar dapat bicara lebih leluasa. Nona dan kongcu menjadi tamu kehormatan kami. Kami mengundang ji-wi (kalian) untuk menunjukkan penyesalan kami atas sikap anak buah kami."

   Cu Yin dan Gin Ciong saling pandang dan gadis itu menganggukkan kepalanya maka Gin Ciong juga menyetujuinya. Siangkoan Cu Yin terlalu percaya kepada diri sendiri dan nama besar Ayahnya. Tidak mungkin ada yang berani mengganggunya! Beramai-ramai mereka pun mendaki puncak menuju ke sarang Kwi-jiauw-pang. Sebuah perjamuan makan dihidangkan untuk menghormati dua orang muda yang menjadi tamu agung itu. Coa Leng Kun segera bermanis-manis muka terhadap Cu Yin, bahkan mengambil tempat duduk di sebelah kanan Cu Yin ketika mereka duduk menghadapi meja perjamuan. Diam-diam Gin Ciong merasa tidak senang, akan tetapi karena Leng Kun bersikap sopan dan agaknya Cu Yin juga menerima uluran persahabatan Leng Kun dengan senang hati, diapun tidak dapat mencegah.

   "Akupun sependapat dengan Sam Pangcu yang tadi mengatakan bahwa pedang Pek-lui-kiam lebih pantas kalau berada di tangan seorang pendekar wanita muda seperti nona Siangkoan,"

   Kata Leng Kun sambil tersenyum manis dan mengerling ke arah gadis itu.

   "Ah, Sam Pangcu tentu berkata hanya untuk main-main saja,"

   Kata Cu Yin sambil tersenyum.

   "Mana
mungkin pusaka yang diperebutkan orang-orang kang-ouw itu diberikan begitu saja kepadaku?"

   "Ha-ha-ha, apa gunanya bagi kami untuk berbohong, nona Siangkoan?"

   Kata Toa Ok sambil mengangkat cawan araknya dan minum habis sekali tenggak.

   "Kami akan menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu dengan senang hati kepada nona, asal saja nona mau membantu kami menghadapi orang-orang kang-ouw yang hendak merampas dan memperebutkan pedang pusaka itu. Kepada puteri Lam Tok kami merasa seperti berhadapan dengan keponakan sendiri dan kalau kami menyerahkan pedang Pek-lui-kiam kepadamu, tentu Lam Tok tidak akan bersusah payah memperebutkan pusaka itu lagi bahkan membantu agar pedang pusaka itu tidak terlepas dari tanganmu dan direbut lain orang!"

   Siangkoan Cu Yin yang cerdik itu segera mengerti bahwa pihak tuan rumah mau menyerahkan pedang akan tetapi ada syaratnya, yaitu bahwa dia harus membantu mereka.

   "Bantuan apa yang dapat kuberikan kepada paman sekalian?"

   Tanya Siangkoan Cu Yin.

   "Tidak banyak dan tidak sukar, nona. Engkau dan putera Tung-giam-ong tinggal disini sebagai tamu kehormatan kami dan kalian berdua membantu kami menghadapi musuh-musuh kami yang berdatangan dengan niat merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Bagaimana?"

   "Hemm, menghadapi para tokoh kangouw merupakan pekerjaan berbahaya! Akan tetapi kapankah kalian hendak menyerahkan pedang pusaka itu?"

   "Sekarang juga kami serahkan kalau nona mau berjanji akan membantu kami!"

   Kata Toa Ok sambil mengeluarkan pedang Pek-lui-kiam. Dia mencabut pedang itu dan nampak sinar kilat berkelebat ketika pedang itu terhunus.

   "Nah, terimalah Pek-lui-kiam ini, nona Siangkoan!"

   Cu Yin menjadi girang bukan main. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapatkan pedang pusaka itu
(Lanjut ke Jilid 19)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19
sedemikian mudahnya! Ia lalu menerima pedang yang sudah disarungkan kembali itu dan untuk meyakinkan hatinya, ia mencabut kembali pedang Pek-lui-kiam itu dan matanya silau melihat sinar berkilat dari pedang itu. Dengan girang ia menyarungkan kembali dan berkata,

   "Terima kasih, Toa Pangcu. Tentu aku akan membantu kalian, dan kalau bertemu Ayah, aku akan meminta Ayah membantu pula."

   "Itu bagus sekali, nona Siangkoan."

   "Akupun akan membujuk Ayah untuk membantu kalau aku bertemu dengan Ayah di sini,"

   Kata Tio Gin Ciong, ikut gembira melihat Siangkoan Cu Yin demikian senang hatinya. Malam itu Cu Yin mendapatkan sebuah kamar yang lengkap, dan disebelah kiri kamarnya adalah kamar yang diberikan kepada Gin Ciong. Akan tetapi malam itu Cu Yin tidak dapat tidur. Seluruh hati dan pikirannya terkenang kepada Si Kong dan ada rasa rindu yang mendalam terhadap pemuda itu. Ia membayangkan ketika masih menyamar sebagai Siangkoan Ji ia melakukan perjalanan bersama Si Kong dan ia merasa bahagia sekali.

   Akan tetapi perasaannya terpukul ketika ia teringat betapa Si Kong menolak cintanya. Sakit rasanya dan ia merasa benci sekali kepada Si Kong. Namun di lain saat ia merasa rindu. Harus diakuinya bahwa ia mencintai Si Kong dengan sepenuh hatinya dan ia merasa menyesal mengapa ia muncul sebagai Siangkoan Cu Yin di depan Si Kong sehingga pemuda itu tidak mau lagi melakukan perjalanan bersamanya. Kalau saja ia masih menjadi pengemis muda, tentu sekarang ia masih bersama Si Kong dan membantu pemuda itu mendapatkan Pek-lui-kiam! Ah, bagaimana kalau ia menyerahkan Pek-lui-kiam kepada Si Kong? Barangkali saja pemuda itu akan berubah dan membalas cintanya kalau ia menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya! Dengan pikiran ini Cu Yin dapat juga tidur pulas dan bermimpi tentang Si Kong.

   Bwe Hwa berjalan seorang diri sambil berpikir tentang pengalamannya yang baru terjadi tadi. Kalau diingat kembali, timbul rasa malu dan penyesalan di dalam hatinya. Jelas bahwa ia telah jatuh cinta kepada Si Kong. Akan tetapi pantaskah kalau ia seperti memaksakan cintanya itu agar dibalas oleh Si Kong? Dan ia merasa begitu cemburu kepada Hui Lan! Kalau Si Kong mencintai Hui Lan, pantaskah kalau ia mencampuri dan hendak menghalangi? Berpikir tentang pemuda yang dicintanya itu, ia teringat akan sajak yang ditinggalkan Si Kong untuk ia dan Hui Lan. Tak mungkin ia melupakan sajak itu, seolah telah terukir bukan di tanah padas, melainkan di dalam hatinya. Mulut dara ini berkemak-kemik membaca sajak itu.

   "Seekor burung gagak yang papa
tidak pantas berdekatan dengan
sepasang burung Hong yang mulia!
Seekor burung gagak yang papa
terbang naik ke angkasa
sendirian bermain di udara
bebas dan merdeka
tidak terikat apapun juga!"

   Bwe Hwa menghela napas panjang dan berkata seorang diri dalam bisikan lirih.

   "Seekor burung gagak yang papa? Aih, Kong-ko, betapa engkau telah merendahkan diri sedemikian rupa sehingga merasa tidak pantas berdekatan dengan kami."

   Ia lalu membayangkan keadaan pemuda itu sehingga pemuda itu begitu merendahkan dirinya. Si Kong seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, murid mendiang Ceng Lo-jin.

   Tidak, Si Kong bukan merendahkan diri karena kepandaian. Kepandaiannya masih lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya atau kepandaian Hui Lan. Akan tetapi dia seorang yatim piatu, tidak bersanak kadang, tidak mempunyai apa-apa di dunia ini, bahkan tempat tinggalpun dia tidak punya. Inilah kiranya yang membuat pemuda itu merasa kehilangan harga diri dan begitu merendahkan diri. Kemudian ia teringat akan Hui Lan. Sudah jelas bahwa Hui Lan mencintai Si Kong, dan apakah Si Kong juga mencintai Hui Lan? Sangat boleh jadi demikian, mengingat bahwa Si Kong mau melakukan perjalanan bersama gadis itu. Akan tetapi tulisan sajak dari Si Kong itu menunjukkan lain. Pemuda itu agaknya tidak mencintai mereka berdua dan menganggap dirinya tidak pantas bersanding dengan Hui Lan atau ia!

   Bwe Hwa yang sedang melamun itu tiba-tiba terkejut ketika dua orang laki-laki muncul di depannya. Yang muncul itu adalah seorang pemuda dan seorang yang lebih tua berusia kurang lebih empat puluh tahun. Tentu anggota Kui-jiaw-pang atau Pek-lian-pai, pikirnya. Tanpa banyak cakap lagi karena dua orang itu tentu hendak menangkapnya dan khawatir kalau yang lain-lain akan segera muncul, Bwe Hwa mencabut Kwan-im-kiam dan tanpa berkata apa-apa ia lalu menyerang mereka dengan dahsyat. Pedangnya berkelebat, membacok leher pemuda itu dan ketika pemuda itu mengelak dengan loncatan ke belakang, pedangnya terus menusuk ke arah dada orang yang lebih tua. Akan tetapi orang itupun dapat mengelak dengan cepat. Melihat gerakan mereka, tahulah Bwe Hwa bahwa dua orang itu memiliki ilmu silat yang tangguh.

   "Hei, tahan dulu!"

   Bentak orang yang lebih tua.

   "Kenapa engkau menyerang kami, nona?"

   Mendengar seruan ini, Bwe Hwa menahan gerakannya dan melintangkan pedangnya di depan dada. Jari telunjuknya yang kiri menuding ke arah mereka.

   "Kalian tentulah kaki tangan Kwi-jiauw-pang! Bersiaplah untuk mati!"

   Bentaknya dan iapun meloncat ke depan, menerjang dengan cepat dan kuat. Akan tetapi kembali kedua orang itu dapat mengelak dengan lompatan ke belakang.

   "Tahan dulu nona! Kami sama sekali bukan kaki tangan Kwi-jiauw-pang!"

   Kata pria setengah tua itu. Mendengar ini, Bwe Hwa mengerutkan alisnya tanpa menyimpan pedangnya karena ia masih curiga.

   "Kalau kalian bukan kaki tangan Kwi-jiauw-pang, lalu siapakah kalian dan mengapa berkeliaran disini?"

   Tanyanya sambil mengelebatkan pedangnya. Yang muda kini mengamati pedang di tangan Bwe Hwa dan dia berseru,

   "Bukankah itu Kwan-im-kiam yang kau pegang, nona?"

   Kini Bwe Hwa yang terkejut dan ia memandang penuh selidik kepada pemuda itu. Seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun dan berwajah tampan dan gagah.

   "Bagaimana engkau dapat mengenal pedangku?"

   Tanya Bwe Hwa, semakin curiga. Pemuda itu memandang Bwe Hwa dengan penuh perhatian, lalu dia berkata,

   "Bukankah engkau nona Pek Bwe Hwa?"

   Bwe Hwa terkejut dan heran, akan tetapi semakin curiga dan menduga bahwa pemuda ini tentu ada hubungannya dengan Kwi-jiauw-pang maka mengerti namanya dan mengenal pedangnya.

   "Siapakah engkau?"

   Tanyanya.

   "Aku bernama Cang Hok Thian, datang dari kota raja."

   Pemuda itu memperkenalkan dirinya. Bwe Hwa teringat. Nama keluarga Cang itu adalah keluarga Pangeran Cang Sun. Ayahnya pernah bercerita bahwa Pangeran Cang Sun dikenalnya dengan baik dan pangeran itu telah menikah dengan dua orang wanita. Yang seorang bernama Mayang dan yang kedua bernama Tang Cin Nio.

   "Apakah Ayahmu bernama Cang Sun?"

   Tanyanya. Wajah yang tampan itu berseri.

   "Benar sekali, nona. Aku adalah puteranya. Kita tidak pernah saling bertemu akan tetapi telah diceritakan oleh orang tua kita, bukan?"

   "Mengapa engkau dari kota raja datang ke tempat ini? Apakah engkau juga ingin memperebutkan Pek-lui-kiam?"

   "Tidak, aku datang untuk ikut paman Gui Tin ini. Perkenalkan, ini adalah paman Gui Tin, seorang panglima kota raja yang menyamar sebagai petani biasa untuk menyelidiki tentang Kwi-jiauw-pang."

   Bwe Hwa terkejut dan memandang kepada orang tua gagah itu dengan pandang mata penuh selidik.

   "Seorang panglima? Apakah yang hendak paman lakukan di sini?"

   "Terdapat desas-desus bahwa Kwi-jiauw-pang bersekutu dengan Pek-lian-pai untuk melakukan pemberontakan, bahkan mereka telah berhasil menghasut Gubernur Ce-kiang untuk bersekutu dengan mereka. Karena itulah kami bertugas untuk melakukan penyelidikan tentang kebenaran berita itu."

   "Berita itu benar dan tidak perlu disangsikan lagi, paman."

   "Bagaimana engkau dapat begitu yakin, adik Bwe Hwa? Aku boleh menyebutmu adik, bukan?"

   "Tentu saja, kalau engkau putera bibi Maya berarti kita adalah orang sendiri. Akupun akan menyebutmu koko. Tentu saja aku yakin akan kebenaran berita itu karena aku baru saja meninggalkan Kwi-jiauw-pang. Tadinya aku disambut dengan baik sebagai tamu terhormat. Akan tetapi aku kemudian mengetahui bahwa mereka adalah sekumpulan orang jahat. Ada tokoh-tokoh Pek-lian-kauw di sana, dan kabarnya ada pula sepasukan orang Pek-lian-pai yang sudah siap membantu."

   Mendengar ini Cang Hok Thian berpaling kepada Gui Tin dan berkata,

   "Paman Gui Tin tidak perlu meragukan lagi. Keterangan adik Bwe Hwa tentu benar, maka sebaiknya kalau kita mempersiapkan pasukan untuk mengepung puncak ini."

   "Benar sekali, kita harus cepat mempersiapkan pasukan kita,"

   Kata Gui Tin.

   "Sekarang juga kita berangkat!"

   "Adik Bwe Hwa, sebaiknya kalau engkau ikut pula dengan kami dan membantu kami menghancurkan para pemberontak."

   "Biarlah Paman Gui Tin dan engkau saja yang melakukan persiapan itu, Thian-ko. Aku hendak menyelidiki di mana adanya Pek-lui-kiam yang berada di tangan mereka. Aku harus merampas pusaka itu. Selamat berpisah!"

   Setelah berkata demikian, Bwe Hwa mengangkat kedua tangan depan dada lalu sekali berkelebat Bwe Hwa sudah lenyap di antara pohon-pohon. Cang Hok Thian memandang dengan kagum ke arah lenyapnya Bwe Hwa. Dia terpesona oleh kecantikan dan kecepatan gerakan gadis itu. Gui Tin tersenyum memandang pemuda yang terpesona itu.

   "Dara itu seorang pendekar wanita yang hebat."

   Hok Thian tersadar dari lamunannya dan tergugup berkata,

   "Ah, benar sekali paman."

   Sambil tersenyum Gui Tin berkata,

   "Mari kita berangkat, Kongcu."

   "Ya, baiklah, paman!"

   Pemuda itu berkata seakan menjadi orang yang canggung sekali. Semangatnya seperti hilang setengahnya terbawa terbang gadis yang membuatnya terpesona itu. Mereka lalu menuruni lereng itu untuk bergabung dengan pasukan yang telah dipersiapkan di lereng terbawah.

   Si Kong berindap-indap mendekati suara orang berbantahan itu. Dari balik sebatang pohon besar dia mengintai. Jantungnya berdebar ketika dia melihat dua orang kakek itu berdiri saling berhadapan dengan wajah tak senang, bahkan marah. Dia mengenal kedua orang kakek itu yang bukan lain adalah Lam Tok dan Tung-giam-ong! Datuk besar selatan dan datuk besar timur itu saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago sedang berlagak.

   "Lam Tok!"

   
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seru Tung-giam-ong sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka datuk besar selatan itu.

   "Kedatangan kita ke sini bukan saja untuk menentukan siapa yang terkuat diantara para datuk empat penjuru, juga untuk memperebutkan Pek-lui-kiam! Nah, sekarang kebetulan kita saling bertemu di sini, maka kita tentukan siapa diantara kita yang lebih berhak memiliki Pek-lui-kiam!"

   "Ha-ha-ha, bagus sekali, Tung Giam Ong!"

   Jawab Lam Tok dengan suara menyindir dan mengejek.

   "Apa kau kira aku gentar menghadapi tua bangka macam engkau? Memang sebaiknya kita tentukan dari sekarang agar kita tidak menghadapi terlalu banyak saingan!"

   "Lam Tok, pukulan beracunmu tidak akan meruntuhkan selembar rambutku! Dan engkau tidak akan dapat menahan pukulan dari Thai-yang Sin-ciang!"

   "Ha-ha-ha, aku sudah mendengar bahwa engkau menyempurnakan pukulan dari tanganmu yang panas, akan tetapi ilmumu itu bagiku seperti permainan kanak-kanak saja! Majulah kalau ingin kuhajar!"

   "Lam Tok, sombong sekali engkau. Bersiaplah untuk mampus di tanganku hari ini!"

   "Ha-ha-ha, selain tidak mungkin engkau dapat mengalahkan aku, juga kalau engkau sampai dapat membunuhku, berarti engkau membunuh puteramu sendiri!"

   "Apa maksudmu?"

   Tung Giam Ong memandang dengan heran dan kaget.

   "Maksudku puteramu jatuh cinta dan tergila-gila kepada puteriku! Kalau engkau membunuhku, apa kau kira puteriku sudi berdekatan dengan puteramu? Ia bahkan akan membalas dendam kepadamu!"

   Ucapan ini benar-benar mengejutkan hati Tung Giam Ong.

   "Puteraku Gin Ciong jatuh cinta kepada puterimu? Apa buktinya?"

   "Ha-ha, buktinya? Belum lama ini aku bertemu dengan mereka berdua di pegunungan ini. Puteramu bahkan hendak membantu puteriku untuk mendapatkan Pek-lui-kiam. Lucunya, puteramu itu sungguh tidak tahu malu! Dia tergila-gila kepada puteriku padahal puteriku itu tidak mencintanya, meliankan mencinta seorang pemuda lain! Ha-ha, sungguh lucu. Anaknya dan bapaknya sama bodohnya!"

   "Keparat!"

   Tung Giam Ong marah dan menerjang dengan pukulannya yang ampuh, yang di sebut Thai-yang Sin-ciang yang berhawa panas.

   Akan tetapi dengan mudah dielakkan oleh Lam Tok yang membalas dengan serangannya Lam-hai-sin-ciang (Tangan Sakti Lautan Selatan) yang datangnya seperti gelombang lautan. Akan tetapi Tung Giam Ong juga dapat menghindarkan diri dengan mudah. Si Kong yang menonton pertandingan itu menjadi terkejut. Dia tahu bahwa kedua orang kakek itu menggunakan ilmu-ilmu pukulan yang amat ampuh dan dapat mematikan. Kakek itu memperebutkan Pek-lui-kiam dengan taruhan nyawa. Mengingat bahwa Lam Tok adalah Ayah kandung Cu Yin, Si Kong merasa tidak tega kalau kakek itu terancam bahaya maut. Maka selagi kedua orang kakek itu bertanding hebat, Si Kong melompat ke tengah-tengah diantara mereka dan mendorong ke kanan kiri. Dua orang kakek itu terkejut sekali ketika merasakan betapa dari dorongan itu terkandung tenaga dahsyat yang membuat mereka mundur dan menahan gerakan berikutnya.

   "Ji-wi Locianpwe, harap jangan berkelahi. Pek-lui-kiam yang ji-wi perebutkan berada di tangan ketua Kwi-jiauw-pang!"

   Dua orang kakek itu mengamati wajah Si Kong dan Tung Giam Ong mengenalnya sebagai pemuda yang dapat menahan pukulan saktinya.

   "Kiranya engkau, bocah setan!"

   Bentaknya.

   "Hemm, orang muda, mengapa engkau melerai pertandingan kami? Siapa engkau?"

   Tanya Lam Tok sambil mengamati wajah pemuda itu penuh selidik.

   "Saya berani melerai karena yang ji-wi perebutkan itu berada di tangan para pimpinan Kwi-jiauw-pang. Jadi tidak ada gunanya berkelahi memperebutkan pedang yang berada di tangan orang lain. Merugikan saja."

   "Siapa namamu?"

   Lam Tok mengulang. Si Kong memberi hormat kepada kakek ini dan mejawab,

   "Nama saya Si Kong..."

   "Jahanam! Jadi engkau yang telah menghina nama keluargaku?"

   Bentak Lam Tok marah sekali.

   "Apa maksud Locianpwe?"

   Tanya Si Kong kaget karena dia sama sekali tidak merasa pernah melakukan penghinaan terhadap keluarga datuk ini.

   "Hemm, maksudku sudah jelas! Engkau berani menolak cinta anakku Cu Yin, bukankah itu penghinaan namanya? Karena itu engkau sekarang harus mati di tanganku!"

   Setelah berkata demikian, Lam Tok segera menerjang Si Kong dengan pukulan maut sambil mengerahkan tenaga Jeng-kin-lat (Tenaga Seribu Kati)!

   "Eh, nanti dulu, Locianpwe!"

   Kata Si Kong sambil mengelak ke belakang.

   "Jadi engkaukah pemuda yang menghalangi cinta puteraku terhadap puteri Lam Tok? Memang engkau harus mampus!"

   

Pendekar Mata Keranjang Eps 40 Kumbang Penghisap Kembang Eps 11 Kumbang Penghisap Kembang Eps 24

Cari Blog Ini