Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bodoh 24


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 24



"Ha, ha, Twako, jangan lepaskan dia, ha, ha!"

   Laki-laki setengah tua yang berjenggot hitam itu tertawa gembira dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menyambar ke arah Harimau yang sedang marah sekali itu.

   Harimau itu menggoyang-goyang tubuhnya membuka mulutnya lebar-lebar dan ekornya bergerak cepat dan tiba-tiba bagaikan sebatang Toya, ekor yang panjang itu menyambar kepala Kakek jenggot putih dari belakang. Cin Hai merasa terkejut akan tetapi tiba-tiba seakan-akan kepala Kakek itu ada mata di belakangnya, Kakek itu menundukkan kepalanya hingga sabetan ekor Harimau mengenai tempat kosong. Sementara itu, Si Jenggot Hitam yang telah melompat di dekat tubuh Harimau, lalu mengulur tangan kanan dan menjiwir telinga Harimau itu hingga binatang liar ini menggerung-gerung kesakitan. Ketika ekor Harimau itu menyabet kembali, dengan mudah Si Jenggot Hitam menangkap ekor tadi dan menahannya di belakang hingga Harimau yang hendak lari ke depan itu tertahan dan tak dapat bergerak.

   "Hayo, menyerah tidak kau!"

   Kata Kakek jenggot putih sambil menggenjot-enjot tubuhnya di punggung Harimau.

   Binatang itu hendak menggulingkan diri dan mencakar Kakek itu, akan tetapi ia merasa betapa tubuh Kakek itu bukan main beratnya hingga ia tidak kuat berdiri lagi dan perutnya menempel pada tanah. Cin Hai melihat dengan kagum dan heran akan kelihaian dan kegesitan kedua orang itu, dan pada saat itu, ia mendengar suara keras berbunyi di udara, dan ketika ia memandang, ternyata di udara sedang terjadi pertempuran yang lebih aneh lagi. Seekor burung Bangau besar sedang bertempur

   (Lanjut ke Jilid 22)

   Pendekar Bodoh (Seri ke 03 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22

   dengan ramainya melawan seekor burung Rajawali. Rajawali itu menyambar-nyambar dengan ganasnya akan tetapi dengan patuknya yang runcing dan panjang bagaikan dua batang Pedang itu, burung Bangau mempertahankan diri dengan baiknya. Ketika dua orang laki-laki itu menengok ke atas karena tertarik oleh suara burung-burung yang sedang berkelahi, mereka juga terkejut sekali.

   "Kau mendekamlah!"

   Seru Kakek jenggot putih sambil menepuk dan menotok urat di punggung Harimau dan aneh sekali, Harimau itu tiba-tiba menjadi lemas dan mendekam tanpa berdaya lagi. Ternyata bahwa Kakek itu tahu jalan-jalan darah binatang itu hingga dapat mengirim Tiam-Hwat (Totokan) dengan tepat sekali. Adapun Si jenggot Hitam segera memandang ke atas dan berseru keras,

   "Ang-Siang-Kiam, kau turunlah!!"

   Kemudian ia mengeluarkan suara bersuit yang keras sekali. Burung Bangau itu diberi nama Ang-Siang-Kiam atau Sepasang Pedang Merah oleh karena patuknya memang berwarna merah dan panjang seperti sepasang Pedang. Mendengar suitan ini, Bangau itu segera meluncur turun dengan cepat dan di belakangnya, Rajawali itu menyambar pula mengejar.

   "Rajawali keparat!"

   Si Jenggot Hitam itu memaki dan tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sebatang pelor putih yang bulat meluncur cepat ke arah dada Rajawali yang mengejar Bangau itu. Akan tetapi, Rajawali ini gesit sekali dan sebelum pelor mengenai dadanya, ia telah mengelak ke kiri. Sebutir pelor putih lain menyusul dan mengarah lehernya. Rajawali itu segera mengebutkan sayapnya dan pelor kena terpukul jatuh!

   Melihat kelihaian Rajawali itu, kedua orang laki-laki itu menjadi terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan, sedangkan Cin Hai yang juga memandang dengan perhatian lalu teringat akan Rajawali yang dulu pernah bertanding melawan Ang I Niocu di atas perahu. Banyak persamaannya antara kedua burung Rajawali itu. Sementara itu, burung Bangau yang diberi nama Ang-Siang-Kiam itu telah turun di atas tanah dan kini berdiri di dekat Kakek jenggot hitam. Tubuh burung Bangau itu tinggi sekali hingga merupakan seekor burung Bangau yang langka terdapat. Adapun Rajawali tadi karena tahu akan kelihaian dua orang manusia yang berada di bawah, lalu hanya terbang berputaran sambil mengeluarkan pekik menantang tanpa berani turun ke bawah. Pada saat itu terdengar bentakan halus,

   "Sin-Kim-Tiauw, jangan kurang ajar!"

   Mendengar suara ini, Rajawali tadi lalu melayang turun dan Cin Hai menjadi girang dan juga terkejut sekali oleh karena ia mengenal suara ini sebagai suara gurunya, Bu Pun Su! Benar saja, ketika kedua orang laki-laki itu pun memandang, dari sebuah tikungan, muncullah seorang Kakek tua sekali yang berpakaian penuh tambalan hingga merupakan seorang jembel tua. Rajawali emas tadi telah turun dan kini berjalan di belakang Kakek itu bagaikan seekor anjing yang jinak sekali.

   "Suhu!"

   Cin Hai berseru dan segera berlari dan menghampiri, akan tetapi hampir saja ia roboh terguling karena kepalanya terasa pening sekali ketika ia berlari itu. Untung ia masih dapat menetapkan kaki dan segera berlutut.

   "Cin Hai, lekas kau duduk dan kumpulkan semangat bersihkan napas!"

   Terdengar Kakek itu berseru setelah memandang wajah muridnya.

   Kakek sakti ini sekali pandang saja tahu bahwa muridnya ini telah terkena hawa beracun yang berbahaya sekali. Cin Hai biarpun merasa heran, segera menurut dan taat akan perintah gurunya itu. Ia segera duduk bersila, meramkan mata dan merangkapkan kedua tangan di depan dada. Tiba-tiba ia merasa betapa telapak tangan Suhunya yang halus itu memegang tangannya dan dari telapak tangan Suhunya mengalirlah hawa yang luar biasa hangat dan kuat melalui telapak tangannya sendiri dan terus membantu hawa kekuatan tubuhnya sendiri. Oleh karena ini, ia merasa betapa hawa tenaga di dalam tubuhnya menjadi berlipat ganda dan kini ia gunakan hawa itu diputar-putar ke seluruh tubuh karena tidak tahu akan maksud Suhunya.

   "Penuhkan di dada, bersihkan paru-paru dan usir hawa racun yang tadi masuk dari lubang hidungmu!"

   Kakek itu berbisik perlahan. Cin Hai diam-diam merasa terkejut dan teringatlah ia akan pertempurannya melawan Thai Kek Losu tadi. Jarum-jarum berbisa yang lihai dan yang keluar dari tengkorak Pendeta Sakia Buddha itu hampir saja tadi mengenainya dan menyambar dekat sekali di depan hidungnya hingga ia mencium bau yang amis dan busuk! Bukan main jahatnya jarum-jarum berbisa itu. Baru baunya telah mempengaruhinya, apalagi kalau sampai terluka oleh jarum itu!

   Cin Hai segera mengerahkan hawa di dalam tubuh itu di dikumpulkan di dada, mendesak keluar segala kekotoran yang terbawa masuk oleh pernapasan ke dalam paru-paru, hingga ketika ia mendesak hawa itu keluar hidungnya, kembali ia mencium bau yang amis dan busuk itu! Ternyata bahwa bau yang amis dari senjata tadi telah mengeram di dalam paru-parunya. Bukan main berbahaya dan jahatnya! Sementara itu, kedua orang penakluk Harimau tadi berdiri dengan heran dan kagum ketika melihat cara Guru itu menyembuhkan muridnya. Mereka maklum bahwa Kakek jembel itu tentu lihai sekali, maka mereka tidak berani mengganggu dan hanya berdiri memandang. Tak lama kemudian, Bu Pun Su melepaskan genggaman tangannya pada telapak tangan Cin Hai dan ia berdiri kembali.

   "Sudah, sudah bersih..."

   Katanya, Cin Hai membuka kedua matanya dan segera berlutut.

   "Senjata siapakah yang hampir mencelakaimu tadi, Cin Hai?"

   Cin Hai lalu menceritakan tentang pengalamannya, betapa ia menjadi utusan Kaisar, menyampaikan surat kepada Yagali Khan dan betapa ia mengadu kepandaian dengan Thai Kek Losu dan berhasil mengalahkannya tanpa menyadari bahwa ia telah hampir mendapat celaka karena senjata rahasia yang hebat dari Pendeta itu. Bu Pun Su mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Bagus, bagus memang itu sudah menjadi tugasmu..."

   Kedua orang pemilik burung Bangau tadi ketika mendengar cerita ini, segera menghampiri dan menjura dengan sikap hormat sekali.

   "Ah, tidak mengira bahwa kami berdua mendapat kehormatan besar sekali untuk bertemu dengan seorang Patriot yang gagah perkasa dan Suhunya yang sakti. Mohon tanya, siapakah Locianpwe ini dan siapa pula muridmu yang gagah perkasa?"

   Tanya Kakek jenggot putih itu sambil menjura kepada Bu Pun Su yang jauh lebih tua darinya. Bu Pun Su tidak membalas pemberian hormat itu, sebagaimana biasa ia memang tidak menyukai segala penghormatan, lalu menjawab seakan-akan mereka telah lama menjadi kawan baik saja,

   "Burung Bangaumu itu hebat sekali. Bukankah kau yang bernama Sie Lok dan yang disebut Si Pemelihara Harimau?"

   Kakek jenggot putih itu nampak tercengang.

   "Eh, sungguh heran! Locianpwe benar-benar berpemandangan tajam. Memang nama Siauwte Sie Lok dan ini adalah adikku Sie Kiong. Kami berdua saudara memang tukang memelihara Harimau. Bolehkah kami mengetahui nama Locianpwe yang mulia?"

   "Siapakah aku ini? Ah, aku sendiri sudah hampir lupa siapa namaku. Kalian tanya saja kepada muridku ini!"

   Jawabnya tak acuh sambil mendekati burung Bangau dan memeriksa seluruh bulu dan tubuh burung itu dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. Berkali-kali ia menganggukkan kepala dan berkata.

   "Bagus, bagus"

   Seakan-akan seorang ahli barang antik sedang mengagumi sebuah benda kuno yang berharga dan menarik. Cin Hai yang sudah tahu akan sifat aneh dari Suhunya, merasa kurang enak terhadap kedua orang tua itu, maka ia segera menjura dengan hormat sambil berkata,

   "Jiwi yang gagah, Suhuku itu bernama Bu Pun Su dan Siauwte sendiri bernama Sie Cin Hai."

   Kedua orang itu nampak terkejut karena mereka telah mendengar nama Bu Pun Su sebagai seorang Kakek sakti yang luar biasa. Akan tetapi, agaknya mereka lebih tertarik mendengar nama Cin Hai karena Kakek jenggot putih itu lalu melangkah maju dan bertanya,

   "Anak muda, wajahmu mengingatkan daku akan seseorang. Siapakah nama Ayahmu dan siapa pula nama ibumu?"

   Berdebarlah hati pemuda itu. Tadinya ia menyangka bahwa persamaan she dengan kedua orang itu hanya kebetulan saja, akan tetapi mendengar pertanyaan ini, timbul perasaan ganjil di dalam hatinya. Sambil menggeleng kepala ia menjawab,

   "Siauwte tidak tahu, tidak tahu siapa nama Ayah dan ibu..."

   Sampai di sini ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena hatinya merasa terharu. Tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara sambil lalu,

   "Eh, pemelihara Harimau, apakah kau ketahui tentang seorang she Sie yang terbunuh mati sekeluarganya, karena dianggap Pemberontak?"

   Mendadak kedua orang itu menjadi pucat wajahnya dan memandang kepada Bu Pun Su dengan mata terbelalak.

   "Locianpwe... apa... apa maksud pertanyaanmu ini...?"

   Kedua orang itu teringat bahwa pemuda itu adalah utusan Kaisar, maka tentu saja akan memusuhi orang-orang yang dianggap Pemberontak. Akan tetapi, Cin Hai yang mendengar pertanyaan Suhunya ini dan yang melihat sikap kedua orang itu, tiba-tiba makin berdebarlah.

   "Lo-peh, tahukah kau tentang dia yang memberontak itu? Tahukah kau...? Katakanlah, Lo-peh!"

   Kakek jenggot putih itu memandang tajam lalu bertanya.

   "Kau bilanglah dulu apa maksudmu dengan pertanyaan itu? Kau adalah seorang utusan Kaisar, apa hubungannya dengan segala Pemberontak?"

   "Pemberontak she Sie adalah Ayahku sendiri!"

   Kata Sie Cin Hai dengan suara pilu. Kini Kakek jenggot putih itu melangkah mundur dan wajahnya menjadi pucat, tanda bahwa ia terkejut sekali. Si Jenggot Hitam yang bernama Sie Kiong itu pun mengeluarkan seruan kaget.

   "Apa katamu... ? Anak muda... mukamu memang sama benar dengan Sie Gwat Leng, Pemberontak she Sie itu. Dia itu adalah adikku dan kakak dari Sie Kiong. Anak muda, apakah kau mau bilang bahwa kau adalah anak Gwat Leng...?"

   Dengan kedua mata terbelalak Cin Hai lalu bertanya, suaranya gemetar.

   "Katakanlah... katakanlah... apakah Jiwi kenal kepada seorang wanita bernama Loan Nio yang menjadi isteri Kwee In Liang?"

   "Tentu saja kenal. Dia adalah adik ipar dari Gwat Leng..."

   "Ya Tuhan...! Kalau begitu kau adalah paman-pamanku...!"

   Terdengar Cin Hai berkata dengan dada naik turun karena menahan gelora hatinya.

   "Pekhu... Siokhu... aku Sie Cin Hai memang putera Sie Gwat Leng itu... tak salah lagi..."

   Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu sambil menahan air matanya! Sie Lok dan Sie Kiong lalu menubruk Cin Hai dan memeluknya.

   "Kau anak Gwat Leng yang ikut Bibimu itu...? Ah, tak kusangka kita masih akan dapat bertemu...!"

   Kata Sie Lok. Bu Pun Su menghampiri mereka dan berkata,

   "Tidak ada perceraian yang tak berakhir. Agaknya Thian telah menghendaki hingga kalian dapat saling berjumpa dengan tak tersangka-sangka. Telah lama aku mendengar nama kalian berdua pemelihara Harimau, dan telah timbul persangkaanku, maka hari ini memang aku datang hendak menyelidiki. Siapa tahu, kebetulan sekali Cin Hai datang di sini pula dalam keadaan terpengaruh racun jahat. Sungguh, ini namanya jodoh!"

   "Siokhu, Pekhu, Suhuku inilah yang memungkinkan keponakanmu ini masih hidup sampai sekarang!"

   Kata Cin Hai setelah keharuan hati mereka mereda.

   "Telah lama kami mendengar nama besar Locianpwe, tidak tahunya Locianpwe adalah Guru dan penolong dari keponakan kami yang tunggal ini. Terimalah pernyataan terima kasih kami, Locianpwe!"

   Setelah berkata demikian, Sie Lok dan Sie Kiong lalu berlutut di depan Bu Pun Su.

   "Sudahlah, sudahlah, tak perlu bersikap seperti kanak-kanak,"

   Kata Bu Pun Su dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya menyentuh pundak kedua orang itu, mau tak mau keduanya harus berdiri lagi karena tenaga yang amat besarnya mengangkat mereka bangun! Kemudian, Bu Pun Su berkata kepada Cin Hai.

   "Muridku, setelah bertemu dengan kedua pamanmu, tentu kau akan mendengar riwayat orang tuamu. Sekarang aku akan pergi, tubuhku yang sudah amat tua dan lapuk ini tak kuat untuk merantau lebih lama lagi. Aku hendak kembali ke Gua Tengkorak dan membawa Sin-Kim-Tiauw bersamaku. Kalau kau bertemu dengan Im Giok, suruh dia menyusulku di sana! Cin Hai memandang kepada muka Suhunya dengan bengong.

   "Suhu maksudkan Ang I Niocu? Bukankah Niocu sudah... sudah..."

   Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

   "Kekuasaan Thian tidak ada batasnya, anak bodoh. Aku sendiri belum memastikan benar apakah Im Giok masih hidup dan bukankah pada saat peristiwa hebat itu terjadi, baik burung ini maupun Im Giok berada di pulau itu? Sudahlah, Cin Hai, kalau tidak dapat bertemu dengan Im Giok, akhirnya aku pun akan dapat menemuinya, entah di sini entah di sana..."

   Setelah berkata demikian, sekali saja Kakek itu mengebutkan lengan bajunya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tanpa berpamit kepada Sie Lok dan Sie Kiong! Memang demikianlah watak Bu Pun Su yang aneh dan selalu tidak mengacuhkan segala hal yang dianggapnya kurang perlu! Sin-Kim-Tiauw memekik keras dan terbang cepat menyusul Kakek itu. Sie Lok menghela napas.

   "Telah banyak aku melihat orang pandai dan sakti, akan tetapi baru kali ini aku melihat orang yang betul-betul pandai dan berilmu tinggi. Mari, Cin Hai, mari kita pulang ke rumahku dan di sana bercakap-cakap dengan leluasa. Hari ini adalah hari yang paling gembira dan baik semenjak kami ditinggal oleh Ayahmu."

   Sambil digandeng tangannya oleh Sie Kong, Cin Hai lalu ikut mereka pulang dan keluar dari hutan itu, sedangkan Harimau yang telah ditotok tadi, setelah dikalungi tambang dan dipulihkan keadaannya, lalu diseret dan akhirnya berlari mengikuti mereka dengan jinak. Ternyata bahwa Harimau itu pun maklum akan kelihaian Kakek itu hingga menyerah kalah dan tidak berani memberontak!

   Dan demikianlah cara kedua orang she Sie itu menangkap Harimau dan menjinakkannya. Setiap kali bertemu dengan Harimau buas, mereka lalu mengganggunya, mempermainkannya dengan kepandaian mereka yang tinggi, kemudian, setelah Harimau itu ditundukkan, leher Harimau dicancang dan dibawa pulang, bagaikan orang menuntun anjing saja. Setelah tiba di rumah Sie Lok dan Sie Kiong yang berada di atas sebuah lereng bukit penuh dengan pohon Pek dan Siong, Cin Hai merasa kagum sekali oleh karena ternyata di sekeliling rumah besar itu terdapat banyak sekali Harimau yang berkeliaran di sekitar rumah dengan jinak bagaikan binatang peliharaan biasa. Ketika Cin Hai mencoba untuk menghitung jumlah Harimau, yang kelihatan saja olehnya sudah ada dua puluh ekor lebih.

   Kemudian dia mendengar dari pamannya bahwa mereka mempunyai lebih dari empat puluh ekor Harimau yang besar dan galak. Bagaikan anjing-anjing penjaga rumah, ketika melihat Cin Hai dan menciumi bau manusia baru yang asing, Harimau-Harimau itu menggereng dan memperlihatkan gigi dan taring akan tetapi ketika kedua orang she Sie itu mengangkat tangan kanan, semua Harimau itu menjadi ketakutan dan mengundurkan diri. Bukan main kagum hati Cin Hai melihat pengaruh dan kekuasaan kedua orang pamannya itu atas sekian banyaknya Harimau buas. Setelah masuk ke dalam rumah duduk berhadapan, maka berceritalah Sie Lok kepada Cin Hai. Ternyata bahwa keluarga Sie terdiri dari empat orang saudara laki-laki bernama Sie Lok, Sie Gwat Leng, Sie Ban Leng dan Sie Kiong.

   Keempat saudara ini di waktu mudanya rajin mempelajari ilmu silat, dan di antara mereka, yang pandai sekali dan tinggi ilmu silatnya adalah Sie Gwat Leng dan Sie Ban Leng oleh karena kedua orang ini mendapat didikan dari seorang Pertapa sakti Go-Bi-San, sedangkan Sie Lok dan Sie Kiong mendapat didikan dari seorang Hwesio perantau yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi ahli penakluk semua binatang buas. Dari Hwesio inilah Sie Lok dan Sie Kiong mendapat ilmu atau cara menaklukkan Harimau dan lain-lain binatang buas, bahkan mereka mempelajari cara menotok tubuh binatang-binatang itu. Setelah tamat belajar, keempat saudara ini bertemu lagi dan ketika diadakan pengukuran kepandaian, ternyata bahwa Sie Gwat Leng adalah yang paling pandai, kemudian Sie Ban Leng, kemudian Sie Lok dan Sie Kiong sungguhpun bagi orang biasa boleh disebut telah memiliki ilmu silat yang amat tinggi,

   Namun dibandingkan dengan kedua saudaranya yang menjadi anak murid Go-Bi-San itu, kepandaian mereka masih jauh. Kecuali Sie Ban Leng yang mempunyai watak buruk, ketiga saudara yang lain adalah orang-orang yang berjiwa ksatria dan gagah, bahkan Sie Gwat Leng tiada hentinya mempergunakan kepandaian untuk menolong sesama manusia yang menderita. Gwat Leng merasa tidak puas sekali melihat keadaan rakyat jelata yang miskin dan papa, maka seringkali ia menyatakan ketidak-senangan hatinya terhadap Kaisar dan pemerintahnya. Berbeda dengan Gwat Leng dan yang lain-lain, Ban Leng selalu mengumbar hawa nafsu jahat, bergaul dengan segala macam penjahat dan membiasakan diri dengan segala macam permainan judi.

   Gwat Leng seringkali menegurnya sehingga beberapa kali mereka bercekcok oleh karena Ban Leng tak pernah takut atau tunduk kepada kakaknya ini. Adapun Sie Lok yang menjadi saudara tertua tak berdaya apa-apa oleh karena ia memang jauh lebih lemah dari pada Ban Leng. Namun, betapapun juga, Sie Ban Leng masih berlaku hati-hati dan tidak berani berlaku jahat secara berterang oleh karena ia takut kepada Suhunya yang telah menyuruhnya bersumpah ketika menjadi muridnya dulu. Kepada Gwat Leng ia tidak takut oleh karena biarpun ilmu kepandaian Gwat Leng lebih tinggi, namun ia tahu akan kesayangan kakaknya itu terhadap dirinya, maka ia yakin bahwa Gwat Leng tentu takkan tega untuk mencelakakannya. Kemudian Sie Gwat Leng menikah dengan seorang gadis dusun yang cantik dan halus budi bahasanya. Mereka berdua hidup dengan rukun dan saling mencinta, penuh kebahagiaan.

   Setahun kemudian terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Sie Hai yang kemudian ditambah dengan huruf "Cin"

   Oleh Loan Nio karena nyonya ini tidak ingin kalau ada orang mengetahui bahwa anak itu adalah putera Sie Gwat Leng yang memberontak. Akan tetapi celakanya ketika melihat isteri Sie Gwat Leng yang cantik manis, timbul hati jahat di dalam dada Ban Leng yang berwatak buruk itu. Ia mencoba untuk menggoda sosonya sendiri hingga timbullah pertengkaran yang diakhiri dengan perkelahian antara dia dan kakaknya. Ban Leng kena dikalahkan oleh Gwat Leng. Dengan hati sakit dan mendendam, Sie Ban Leng lalu lari meninggalkan saudara-saudaranya. Sampai bertahun-tahun tak terdengar lagi berita tentang dirinya. Akan tetapi, setelah Guru Gwat Leng, Pertapa Go-Bi-San itu meninggal dunia,

   Mereka mendengar lagi tentang keadaan Ban Leng dan ternyata bahwa Ban Leng telah berada di Kota Raja, menjadi seorang jago muda yang jarang mendapat tandingan dan disegani orang banyak hingga mendapat julukan Go-Bi Sin-liong atau Naga Sakti dari Go-Bi-San! Sie Gwat Leng masih saja bercita-cita untuk menolong kaum tani dan rakyat jelata yang lemah dan miskin. Ia mulai dengan usahanya di dalam dusun sendiri. Ia mengumpulkan orang-orang kampung, mendidik mereka dengan ilmu silat, lalu mendesak dengan kekerasan dan pengaruh kepandaiannya kepada mereka yang tergolong hartawan untuk mengulurkan tangan membantu hingga ia berhasil membuat kampungnya menjadi makmur. Semua orang bertubuh sehat dan mendapat didikan ilmu silat hingga dapat menjaga kampung dari serangan orang jahat dan tidak ada orang yang mengalami kemelaratan karena semua orang mendapat penghasilan yang cukup.

   Hal ini terdengar oleh kampung lain yang merasa iri dan kemudian dikabarkan orang bahwa keluarga Sie hendak mengadakan Pemberontakan dan telah bersiap dengan melatih orang-orang dusun dengan ilmu silat untuk kelak digunakan memberontak dan memukul Kerajaan! Hal ini terdengar oleh seorang Perwira yang bertugas di satu tempat tak jauh dari dusun itu. Perwira ini orangnya sombong dan tanpa menanti perintah dari pusat, ia telah lancang mengadakan tindakan sendiri untuk mencari pahala. Ia membawa anak buahnya sebanyak empat puluh orang dan menyerbu ke dusun itu! Anak buahnya mengamuk dan tidak hanya memukul dan menawan orang-orang, bahkan mengganggu anak bini orang dan merampas harta mereka! Tentu saja Sie Gwat Leng menjadi marah sekali. Ia mengumpulkan orang-orang dusun dan melawan penyerbu-penyerbu itu hingga tentara di bawah pimpinan Perwira sombong itu dapat dimusnakan berikut Pemimpinnya!

   Segera Kota Raja mendengar tentang peristiwa ini, dan Sie Gwat Leng lalu dianggap sebagai Pemberontak! Kaisar lalu memerintahkan Kwee In Liang untuk memimpin serombongan tentara terdiri dari seratus orang untuk menawan Pemberontak-Pemberontak itu. Dan di dalam rombongan ini ikut pula Sie Ban Leng karena orang ini mendapat kesempatan untuk membalas dendamnya kepada kakaknya sendiri. Walaupun ia tidak segera terang-terangan ikut di dalam rombongan Kwee-Ciangkun, akan tetapi diam-diam ikut pergi kembali ke dusunnya sendiri dengan maksud membantu penindasan Pemberontak, karena ia maklum bahwa dengan adanya ketiga saudaranya di dalam dusun, akan sukarlah bagi tentara Kerajaan untuk menindas dan mengalahkan dusun itu.

   Terjadilah pertempuran hebat antara tentara Kerajaan dan orang-orang dusun di bawah pimpinan ketiga saudara Sie yang melakukan perlawanan karena mereka telah merasa benci sekali terhadap Kerajaan, yang ditimbulkan oleh sepak terjang yang jahat dari para tentara di bawah pimpinan Perwira yang dulu menyerbu dan berhasil dihancurkan. Benar saja dugaan Ban Leng. Kwee Ciangkun tidak berdaya menghadapi ketiga saudara Sie yang benar-benar kosen dan tangguh. Selagi ia merasa bingung, datanglah Sie Ban Leng membantunya. Dengan licik dan curang sekali, Sie Ban Leng datang kepada kakaknya dan menyatakan penyesalannya, lalu berkata bahwa ia datang hendak membantu perjuangan saudara-saudaranya mengusir barisan Kerajaan. Tentu saja Gwat Leng, Sie Lok dan Sie Kiong merasa gembira sekali, dan menerima saudara yang sesat ini dengan kedua tangan terbuka.

   Tidak tahunya, pada malam harinya, ketika Sie Gwat Leng sedang tidur karena lelahnya memimpin orang-orang dusun melawan tentara negeri, Ban Leng berlaku curang dan menotok kedua pundak kakaknya yang sedang tidur itu! Sie Lok dan Sie Kiong melihat hal ini menjadi marah sekali lalu menyerang Ban Leng yang berkhianat akan tetapi kepandaian mereka belum dapat melawan Ban Leng dan pada saat itu, sesuai dengan rencana Ban Leng dan Kwee-Ciangkun, tentara negeri menyerbu! Dalam keadaan tidak berdaya karena totokan Ban Leng membuatnya lumpuh, Gwat Leng ditawan, orang-orang kampung banyak yang mati dan sebagian pula ditawan, kampung dibakar habis dan semua keluarga Sie ditawan pula! Di dalam suasana ribut itu, Ban Leng hendak menculik dan mengganggu isteri Gwat Leng, akan tetapi Kwee In Liang dengan marah mencegahnya.

   "Semua orang tidak boleh mengganggu wanita, siapa melanggar akan dihukum!"

   Katanya dengan garang.

   Ban Leng sendiri sebetulnya tidak takut kepada Kwee In Liang, akan tetapi tiba-tiba isteri Gwat Leng yang merasa putus harapan itu, menggunakan kesempatan ini untuk membenturkan kepala sendiri pada dinding hingga kepalanya menjadi pecah dan tewas pada saat itu juga. Dengan hati menyesal, Ban Leng lalu meninggalkan tempat itu. Adik perempuan isteri Gwat Leng yaitu Loan Nio, yang pada waktu itu sudah remaja puteri, sambil menggendong Sie Hai yang masih kecil mencoba lari, akan tetapi ia ditangkap oleh orang anggota tentara yang kagum melihat kecantikannya. Akan tetapi, untung bahwa pada waktu itu Kwee In Liang melihat hal ini terjadi. Perwira ini memberi pukulan keras hingga tentara itu pingsan, sedangkan ia lalu menolong Loan Nio dan anak kecil yang disangka anak Loan Nio itu, dibawa ke dalam rumahnya.

   Loan Nio lalu diambil sebagai pelayan di rumah gedung Kwee In Liang, dan gadis yang cerdik ini lalu menitipkan Sie Hai kepada seorang wanita di luar gedung dengan memberi belanja tiap pekan, yaitu uang gajinya sendiri, seluruhnya diberikan kepada wanita itu. Demikianlah, Sie Hai yang kemudian dinamakan Cin Hai oleh Loan Nio itu, yang di waktu itu baru berusia setahun lebih, dipelihara dengan diam-diam oleh Loan Nio. Dan setelah Loan Nio diambil sebagai isteri oleh Kwee-Ciangkun, barulah dia memberi tahu dengan sejujurnya kepada suaminya bahwa Cin Hai adalah putera Sie Gwat Leng. Karena mencintai dan sayang kepada isterinya yang baik budi ini, Kwee-Ciangkun mau juga menerima Cin Hai di dalam gedungnya.

   Adapun Sie Lok dan Sie Kiong yang memiliki ilmu kepandaian, dapat melarikan diri setelah mereka tidak berhasil menghukum Ban Leng yang jahat dan yang telah mengkhianati kakak sendiri itu. Mereka lalu merantau dengan hati duka. Apalagi ketika mereka mendengar betapa Gwat Leng dijatuhi hukuman mati dalam keadaan masih lumpuh, sedangkan isterinya mati membunuh diri dan keluarga lain dihukum mati pula, kedua saudara ini hanya bisa menangis dan sedih. Mereka merasa benci sekali kepada manusia, oleh karena dianggapnya manusia adalah mahluk yang sejahat-jahatnya. Seorang saudara kandung sendiri seperti Ban Leng dapat berlaku jahat itu, apalagi orang lain? Maka, mereka lalu mengasingkan diri di hutan, dan menaklukkan banyak Harimau untuk menjadi kawan-kawan dan penjaga mereka! Mendengar cerita Sie Liok ini, Cin Hai merasa sedih, terharu, marah dan menyesal sekali.

   "Pek-hu dan Siok-hu, di manakah adanya Paman Sie Ban Leng, manusia yang berwatak rendah dan biadab itu? Ingin sekali aku melihat muka orang yang berhati binatang itu!"

   Katanya gemas dan marah, sambil mengepal tangannya.

   "Entahlah, kami berdua dulu pernah mencarinya untuk membalas dendam, akan tetapi dua kali kami telah kena dikalahkan dan kemudian kabarnya ia merasa menyesal atas perbuatannya yang terkutuk itu dan ia telah mengasingkan diri entah di mana."

   Kemudian, atas permintaan kedua pamannya, Cin Hai dengan singkat lalu menceritakan pengalamannya. Kedua orang tua itu merasa kagum sekali. Akan tetapi, mereka masih penasaran kalau belum mencoba dan mengukur sendiri kelihaian keponakannya ini, maka Sie Kiong yang berwatak gembira lalu berkata,

   "Cin Hai coba kau perlihatkan kepandaianmu agar hatiku puas."

   Cin Hai tersenyum dan mengikuti mereka berdua keluar dari rumah di mana terdapat halaman yang cukup luas.

   "Bagaimanakah aku harus memperlihatkan kebodohanku?"

   Tanyanya kepada Sie Lok dan Sie Kiong.

   "Kau lawanlah kami berdua, agar kami dapat mengukur apakah kepandaianmu dapat dibandingkan dengan Ayahmu atau Pamanmu yang jahat itu?"

   Kata Sie Lok, yang segera menggulung lengan bajunya. Cin Hai maklum bahwa betapa pun tinggi ilmu kepandaian kedua pamannya ini, namun melihat gerakan mereka ketika menawan Harimau tadi, ia merasa yakin bahwa ia tentu akan dapat mengalahkan mereka.

   "Baiklah, aku akan berusaha menjaga diri,"

   Kata Cin Hai dengan tenang.

   "Awas serangan!"

   Tiba-tiba Sie Kiong berseru gembira dan ia lalu menerkam dengan serangan yang cukup lihai berbahaya sedangkan Sie Lok yang hendak menguji kelihaian keponakannya juga segera membarengi menyerang dari lain jurusan. Cin Hai mengerti akan kehebatan serangan kedua pamannya ini, maka tubuhnya lalu berkelebat dan ia mengeluarkan Ginkangnya yang sudah sempurna. Kedua mata Sie Lok dan Sie Kiong menjadi kabur ketika mereka melihat betapa tubuh keponakan itu tiba-tiba berkelebat dan lenyap dari tengah-tengah kepungan. Dan tiba-tiba mereka mendengar suara Cin Hai di tempat yang jauhnya tiga tombak lebih,

   "Aku berada di sini."

   Bukan main heran kedua orang tua itu, dan dengan cepat mereka lalu menerjang lagi, kini dengan cepat sekali agar jangan sampai pemuda itu mendapat kesempatan mengelak, Sie Lok menyerang dengan jari tangan kanan dibuka dan menotok ke arah jalan darah di lambung Cin Hai, sedangkan Sie Kiong menyerang dengan pukulan tangan miring ke arah leher keponakannya. Cin Hai berseru keras, dan dengan menundukkan kepala ia dapat mengelak dari pukulan Sie Kiong, sedangkan untuk menghadapi totokan Sie Lok, ia mengulur tangan dan mendahului dengan totokan ke arah pergelangan tangan pamannya itu. Sie Lok terkejut dan menarik kembali tangannya lalu menyerang lagi dengan hebat, demikian pula Sie Kiong. Akan tetapi, Cin Hai lalu mengeluarkan Ilmu Silat Sianli Utauw atau Tarian Bidadari sambil berkata,

   "Inilah Sianli Utauw yang kupelajari dari Ang I Niocu."

   Setiap serangan kedua orang tua itu ia kelit dan sampok dengan gerakan tubuh yang lemas seakan-akan orang menari, akan tetapi serangan-serangan kedua pamannya itu tidak mampu mengenai tubuhnya sama sekali. Kedua orang tua itu merasa kagum sekali dan juga heran betapa dengan menari-nari saja keponakannya ini dapat mengelak dari serangan-serangan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Cin Hai memang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya kepada kedua pamannya, karena ia ingin membuat kedua pamannya itu girang dan senang. Maka setelah memainkan Sianli Utauw beberapa belas jurus untuk menghadapi serangan-serangan kedua pamannya, ia lalu merubah gerakannya dan berkata pula,

   "Dan sekarang aku mainkan kepandaian pokok ilmu silat yang kupelajari dari Suhu Bu Pun Su!"

   Setelah ia berkata demikian, ia lalu memperhatikan gerakan-gerakan pamannya dan ia lalu mengembalikan setiap serangan dengan gerakan yang sama seperti ilmu silat kedua pamannya. Kalau tadi menyaksikan Sianli Utauw membuat kedua orang itu terheran-heran, kini menghadapi betapa keponakannya itu melawan mereka dengan ilmu silat mereka sendiri, kedua orang she Sie itu setelah mengeluarkan ilmu pukulan yang paling sulit dan berbahaya akan tetapi yang dikembalikan dengan sama baiknya oleh Cin Hai, keduanya tak dapat menahan keheranan mereka lagi dan dengan cepat melompat mundur.

   "Nanti dulu! Dari mana pula kau mempelajari ilmu silat kami itu?"

   Tanya Sie Lok dengan terheran-heran dan mata terbelalak!

   "Aku belum pernah mempelajari ilmu-ilmu silat itu, akan tetapi memang Suhu Bu Pun Su telah melatihku untuk mengetahui semua dasar-dasar ilmu silat yang pada hakekatnya sama, hingga tiap kali aku diserang dengan semacam ilmu silat, aku dapat meniru gerakan itu dan mengembalikannya kepada lawan dengan jurus itu juga."

   Sie Lok dan Sie Kiong saling pandang dengan heran dan mereka ini hampir tak dapat mempercayai keterangan ini, akan tetapi oleh karena tadi mereka telah menyaksikannya sendiri dan beberapa belas jurus pukulan yang paling terahasia dan terlihai dari mereka telah dilakukan dengan sempurna oleh Cin Hai, mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala.

   "Bukan main!"

   Kata Sie Kiong.

   "Akan tetapi Kanda Ban Leng memiliki kepandaian Eng-Jiauw-Kang yang lihai sehingga ia sanggup menghadapi kami berdua yang memegang senjata dengan bertangan kosong saja. Maka cobalah kau menghadapi kami dengan tangan kosong pula sedangkan kami menyerang dengan senjata tajam!"

   
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sie Lok juga menyetujui cara percobaan kepandaian ini dan Sie Kiong lalu berlari masuk untuk mengambil dua batang Pedang. Setelah menyerahkan sebatang kepada kakaknya, kedua orang tua ini lalu menghadapi Cin Hai, dan Sie Lok berkata,

   "Cin Hai kau berhati-hatilah, karena ilmu Pedang kami bukanlah kepandaian rendah!"

   Lalu ia melangkah maju dan mulai dengan serangannya. Demikianlah Sie Kong yang segera memutar Pedang di atas kepala dan mengirim serangan hebat.

   Cin Hai lalu memperlihatkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajari dari Bu Pun Su, yaitu Kong-Ciak Sin-Na. Tubuhnya dengan ringan sekali melompat-lompat ke atas bagaikan seekor burung Merak sedang terbang saja dan kemudian dari atas ia menghadapi serangan Pedang dengan tendangan dan cengkeraman untuk merampas senjata kedua pamannya. Sementara itu, semenjak tadi, burung Bangau yang besar itu hanya berdiri memandang, kadang-kadang terbang ke atas dan berputaran di atas kepala ketiga orang yang sedang bertempur. Akan tetapi, setelah ia menyaksikan betapa tubuh Cin Hai melayang ke atas bagaikan burung, ia lalu memekik keras dan tubuhnya melayang lalu menyambar dengan sepasang patuknya yang runcing bagaikan Pedang itu digerakkan secara hebat menyerang Cin Hai.

   "Ang-Siang-Kiam, jangan!"

   Teriak Sie Lok, akan tetapi Cin Hai lalu berkata sambil tersenyum.

   "Biarlah, Pek-hu, dia mau ikut bergembira, mengapa tidak boleh?"

   Demikianlah, dengan ilmu Silat Kong-Ciak Sin-Na, Cin Hai melayani kedua pamannya yang dibantu oleh burung Bangau itu hingga ia dikeroyok tiga.

   Akan tetapi ilmu silatnya sungguh hebat dan tubuhnya seakan-akan tak pernah mengambah bumi. Tiap kali tubuhnya turun, ia lalu menggunakan ujung sepatunya untuk menggenjot lagi hingga tubuhnya melayang ke atas. Serangan burung Bangau itu ia gagalkan dengan kepretan tangan ke arah paruh burung itu hingga tiap kali jari tangannya menyentuh paruh burung Bangau itu dan hampir jatuh ke bawah! Sementara itu, kedua Pedang Sie Lok dan Sie Kiong yang bergerak bagaikan dua ekor ular sakti menyambar-nyambar itu dapat dihindarkannya dengan tendangan kaki dan cengkeraman yang sebaliknya bahkan mengancam pergelangan tangan mereka dan bagian tubuh lain! Setelah menghadapi serangan ketiga pengeroyok ini sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba Cin Hai melompat turun dan berkata,

   "Sekarang setelah permainan Kong-Ciak Sin-Na tadi, aku akan mainkan Pek-In Hoat-Sut, juga yang diturunkan oleh Suhu Bu Pun Su!"

   Jauh sekali perbedaan ilmu silatnya ini dengan yang tadi. Kalau tadi gerakannya gesit sekali, sekarang ia berdiri dengan tenang dan kokoh di atas tanah, kedua lengan tangannya digerak-gerakkan dan tiba-tiba dari kedua lengan ini mengebul uap putih! Burung Bangau menyambar turun, lalu dikebut dengan tangan kiri dan ketika uap putih itu menyambar, burung itu memekik keras dan terlempar, lalu terbang lagi ke atas tanpa berani menyerang lagi!

   "Hebat!"

   Kata Sie Lok yang segera menyerang lagi, disusul oleh Sie Kiong. Akan tetapi alangkah terkejut mereka ketika sekali saja Cin Hai menangkis, Pedang mereka hampir saja terlepas dari pegangan!

   "Sungguh lihai!"

   Kata Sie Lok sambil berhenti menyerang dan memandang Cin Hai dengan wajah berseri.

   "Cin Hai, kalau tidak menyaksikan dan merasakan sendiri, aku takkan dapat percaya bahwa kau memiliki ilmu kepandaian seperti ilmu sihir saja! Ah, anakku, jangankan baru seorang Ban Leng, biar dia menjadi tiga pun tak mungkin dapat mengalahkan kau! Hebat, hebat!"

   "Akan tetapi, semenjak tadi Hai-ji (Anak Hai) hanya menangkis dan menjaga diri saja. Aku belum merasai kehebatan serangan balasannya. Cin Hai, coba kau cabut Pedangmu agar kami dapat pula menyaksikan Kiamsutmu!"

   "Baiklah,"

   Kata Cin Hai sambil mencabut keluar Liong-Coan-Kiam dari pinggangnya.

   "Nah, Pek-hu dan Siok-hu, bersiap sedialah, aku hendak menyerang dengan Ilmu Pedang Daun Bambu!"

   Sie Lok dan Sie Kong segera memutar Pedang mereka untuk melindungi diri dan jangankan Pedang lawan, biarpun air sepikul pun kalau disiramkan ke arah mereka tak mungkin akan dapat menembus sinar Pedang mereka yang melindungi tubuh! Cin Hai lalu menggerakkan Pedangnya. Gerakannya cepat sekali dan matanya yang tajam sudah dapat melihat lowongan-lowongan di antara sinar Pedang kedua pamannya.

   "Awas!"

   Teriaknya dan dua kali Pedangnya berkelebat secara luar biasa sekali dan terdengarlah kain robek dua kali dan Cin Hai menarik kembali Pedangnya dan berdiri tegak! Sie Lok dan Sie Kiong merasa heran dan segera menghentikan gerakan mereka pula. Alangkah terkejut hati mereka ketika melihat betapa baju di dada mereka telah robek dan bolong terkena ujung Pedang Cin Hai yang baru menyerang segebrakan saja itu! Keduanya lalu melempar Pedang masing-masing dan maju memeluk Cin Hai. Tak terasa pula, mata mereka berlinang air mata karena girang, puas dan bangga.

   "Hai-ji... kalau bangsat Ban Leng itu berada di sini, akan mampus dia di tanganmu!"

   Kata Sie Lok.

   "Cin Hai, anakku yang gagah perkasa! Ah... kalau saja Kanda Gwat Leng masih hidup, tentu ia akan merasa bangga sekali melihat kau selihai ini..."

   Kata Sie Kiong dan orang tua berjenggot hitam ini menggunakan punggung tangan untuk mengusir pergi dua butir air mata yang terloncat keluar dari kedua matanya. Dengan hati terharu Cin Hai lalu bertanya,

   "Di manakah makam Ibu? Dan di manakah pula jenazah Ayah dikuburkan?"

   "Ibumu dikuburkan di dusun Kang-Cou, dan jenazah Ayahmu yang dibakar oleh para petugas di Kota Raja, dapat kami curi dan kami tanam pula di dekat makam Ibumu. Dusun itu berada di kaki Bukit Houw-San."

   Untuk dua pekan lamanya Cin Hai tinggal bersama kedua pamannya dan selama itu ia mempelajari cara-cara menangkap binatang buas. Burung Bangau menjadi kawan baiknya dan ia merasa suka sekali kepada burung ini hingga burung itu menjadi jinak dan ke mana ia pergi burung itu selalu mengikutinya. Melihat hal ini, kedua pamannya lalu menyatakan bahwa burung itu diberikan kepada Cin Hai untuk menjadi kawan seperjalanannya.

   "Bawalah Ang-Siang-Kiam, dia dapat menjadi kawan baik dalam perjalanan,"

   Kata Sie Lok dan Cin Hai menerimanya dengan girang hati. Dalam waktu senggang, Cin Hai menuturkan pengalaman-pengalamannya dan menceritakan pula tentang sahabat-sahabatnya, tentang Nelayan Cengeng, tentang Kwee An dan Ma Hoa, dan tidak lupa pula menceritakan tentang diri Lin Lin yang diakuinya sebagai calon isterinya hingga kedua orang tua itu menjadi girang sekali.

   "Kelak kalau kau akan menikah, tak boleh tidak kau harus memberi kabar agar kami dapat datang minum arak kegirangan."

   Kemudian Cin Hai berpamit karena ia telah terlalu lama meninggalkan Lin Lin. Kedua pamannya tidak dapat menahannya dan berangkatlah ia meninggalkan kedua pamannya dengan semua Harimau itu, pergi dengan berlari cepat. Burung Bangau yang besar terbang di atasnya dan ikut pergi bersamanya. Karena Cin Hai melakukan perjalanan dengan mempergunakan ilmu lari cepat dan jarang berhenti dalam kerinduannya hendak segera bertemu kembali dengan Lin Lin,

   Sambil tidak lupa mencari-cari jejak Kwee An dan Ma Hoa yang lenyap tak meninggalkan bekas itu, maka beberapa hari kemudian tibalah ia di kaki bukit tempat tinggal Yousuf. Ia merasa heran sekali melihat betapa dusun-dusun di sekitar bukit itu telah kosong dan tiada bermanfaat lagi! Dengan hati berdebar cemas ia berlari ke atas bukit dan betul saja seperti apa yang ia kuatirkan, rumah Yousuf telah roboh dan nampak seperti bekas dibakar! Dengan hati cemas dan wajah pucat Cin Hai mencari dan membongkar tumpukan puing, akan tetapi ia menjadi lega oleh karena tidak melihat tanda-tanda bahwa kekasihnya dan Yousuf menjadi korban api yang membakar rumah. Ia berdiri di depan tumpukan puing dengan tubuh lemas, dan tiba-tiba ia mendengar suara ringkik kuda dari jauh.

   "Pek-Gin-Ma!"

   Ia berseru dan melompat terus lari cepat mengejar ke arah suara itu. Dan di dalam sebuah hutan ia melihat kuda itu sedang makan rumput dan kadang-kadang meringkik sedih seakan-akan kehilangan kawan dan merasa kesunyian. Ketika Cin Hai lari menghampiri, ia mengangkat kepalanya dan meringkik lagi, seakan-akan hendak menceritakan sesuatu. Cin Hai memeluk leher kuda itu dan merasa menyesal sekali mengapa tidak menjadi kuda saja agar dapat mengerti apa yang hendak diceritakan oleh Pek-Gin-Ma tentang kekasihnya!

   "Pek-Gin-Ma, apakah yang terjadi pada mereka? Pek-Gin-Ma, kalau kau tahu tempat mereka, bawalah aku kepada Lin Lin..."

   Akan tetapi, kuda itu hanya menggaruk-garuk tanah dengan kedua kaki depannya.

   Sementara itu, burung Bangau yang ikut datang bersama Cin Hai, terbang berputaran di atas melihat-lihat daerah yang asing baginya itu. Cin Hai lalu menunggang Pek-Gin-Ma dan bersuit memanggil Ang-Siang-Kiam yang segera meluncur turun dan mengikuti ke mana pemuda itu melarikan kudanya. Cin Hai turun dari lereng dan memeriksa dusun-dusun di sekitar daerah itu. Ketika ia sedang berdiri di tengah dusun yang kosong sambil menuntun Pek-Gin-Ma, tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki. Ia segera melompat ke belakang sebuah pohon besar dan dapat menangkap lengan tangan seorang penduduk dusun yang hendak melarikan diri. Orang itu masih muda dan meronta-ronta, kemudian setelah merasa bahwa ia tidak kuasa melepaskan diri lalu menjatuhkan diri berlutut sambil memohon.

   "Ampun, Hohaii, jangan bunuh aku,"

   Katanya dengan tubuh menggigil.

   "Berdirilah, sahabat. Aku bukan orang jahat, dan aku hanya hendak bertanya kepadamu apa yang telah terjadi di pegunungan ini. Kemana perginya semua penduduk dusun ini dan tahukah kau ke mana perginya orang Turki dan nona yang dulu tinggal di lereng itu?"

   Ketika melihat bahwa Cin Hai bukanlah orang yang ditakutinya, pemuda dusun itu lalu bercerita bahwa beberapa hari yang lalu, pegunungan itu didatangi serombongan orang-orang Turki yang terdiri dari puluhan orang banyaknya menunggang kuda-kuda besar sambil menyerang dusun-dusun seperti orang-orang gila. Kemudian orang-orang Turki menyerbu ke atas bukit untuk menangkap Yousuf. Terjadilah pertempuran hebat dan orang-orang dusun yang bersembunyi lalu melihat betapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti melarikan diri dari situ dengan cepat, dikejar-kejar oleh rombongan orang Turki itu!

   "Entah ke mana mereka melarikan diri, agaknya mereka tidak kuat menghadapi serbuan orang-orang Turki itu!"

   Pemuda dusun tadi mengakhiri ceritanya. Cin Hai merasa terkejut sekali. Kalau Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti sampai tidak kuat menghadapi rombongan itu, tentu di dalam rombongan itu terdapat orang-orang pandai, pikirnya. Ia heran sekali, siapakah orangnya yang dapat mengalahkan Lin Lin yang sudah ia latih dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu? Ia benar-benar tidak mengerti dan kemudian turun gunung dengan hati cemas dan pikiran bingung, diikuti oleh burung Bangau yang dengan setia terbang rendah di atas kepalanya.

   Marilah kita ikuti pengalaman Kwee An dan Ma Hoa semenjak mereka terguling ke dalam jurang tebing yang amat curam itu. Telah diceritakan di bagian depan bahwa Kwee An terkena dorongan hawa pukulan Angin Taufan dari Ke Ce yang lihai hingga ia terguling ke dalam tebing, sedangkan Ma Hoa cepat melompat menyusul kekasihnya itu hingga mereka berdua ketika jatuh ke dalam tebing saling berpegangan tangan dan mendapat kekuatan batin luar biasa dari sentuhan tangan ini! Namun, betapapun juga, merasa betapa tubuhnya meluncur turun dengan cepatnya ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu tanpa berdaya sedikit pun, Ma Hoa merasa ngeri sekali hingga ia menjadi pingsan! Sebaliknya, Kwee An biarpun juga tidak berdaya, namun ia masih sadar dan di dalam jatuhnya, ia masih berusaha menggerakkan tubuhnya dan mengulur tangan untuk mencari pegangan!

   Akhirnya ia berhasil dan sebelah tangannya dapat menangkap sebatang pohon yang tumbuh di permukaan jurang yang curam itu. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa betapa tangan Ma Hoa yang memegangnya menjadi lemas dan ketika pegangan tangannya pada cabang pohon itu menahan luncuran tubuhnya, pegangan pada tangan Ma Hoa itu terlepas tanpa dapat ia tahan lagi hingga tubuh Ma Hoa terus ke bawah, terpisah darinya! Kwee An merasa betapa tangannya yang memegang pohon itu sakit dan seakan-akan sambungan tulang pada pundaknya terlepas oleh karena sentakan tenaga luncurannya yang tiba-tiba tertahan itu keras sekali. Ia berpegang kuat-kuat pada pohon itu sambil memandang ke bawah dengan penuh kengerian. Melihat betapa tubuh kekasihnya itu terus meluncur ke bawah hingga lenyap tertutup halimun tebal, ia mengeluh keras-keras.

   "Ma Hoa..."

   Kemudian ia pun roboh pingsan! Untung baginya bahwa di mana ia berada itu mempunyai banyak cabang dan daun, hingga ketika tubuhnya terkulai karena ia roboh pingsan, tubuhnya tertahan oleh ranting-ranting pohon dan tidak sampai jatuh ke bawah.

   Setelah beberapa lama berada dalam keadaan pingsan, lambat laun ia siuman kembali dan teringat akan nasib Ma Hoa, Kwee An menangis sedih di atas dahan pohon itu. Ia ingin melempar dirinya ke bawah untuk ikut mati bersama Ma Hoa, akan tetapi masih belum putus harapan. Siapa tahu kalau Ma Hoa juga tertolong jiwanya? Ia harus menyelidiki dulu dengan teliti. Maka ia lalu merangkak dengan hati-hati sekali di antara cabang pohon. Ia melihat betapa pohon itu tumbuhnya melintang dan bahwa permukaan jurang itu lurus ke atas dan tak mungkin dilalui. Dengan amat hati-hati ia lalu menggunakan batu-batu menonjol di pinggir atau dinding tebing itu untuk merayap ke atas. Dengan pertolongan batu-batu karang dan akar-akar pohon, ia dapat juga meninggalkan pohon di mana ia tersangkut tadi dan akhirnya ia mendapatkan sebuah gua di dinding tebing.

   Karena merasa lelah sekali, ia masuk ke dalam gua kecil itu dan beristirahat. Semalam penuh ia beristirahat di dalam gua itu, memikirkan nasib Ma Hoa dengan gelisah dan mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya merayap dan mencari jalan keluar dari dinding tebing yang curam dan luas itu, kemudian mencari kekasihnya. Sementara itu, tubuh Ma Hoa meluncur ke bawah dengan kecepatan makin besar. Tak dapat disangsikan lagi, kalau tubuh dara ini jatuh menimpa batu atau tanah, pasti tubuhnya akan hancur lebur. Akan tetapi, Thian Yang Maha Agung mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas. Kalau belum dikehendakinya, ada saja jalan atau penolong yang menyelamatkan nyawa seseorang dari kematian. Ketika tubuh Ma Hoa telah meluncur mendekati tanah, tiba-tiba terdengar orang mengeluarkan seruan kaget,

   "Ya Tuhan Yang Agung!"

   Seruan ini dikeluarkan oleh seorang Kakek berkepala botak. Secepat kilat Kakek botak ini lalu menanggalkan mantelnya dan ketika tubuh Ma Hoa jatuh hendak menimpa tanah, ia menggerakkan mantel itu yang menangkap tubuh Ma Hoa, dan sekali mantel disentakkan,

   Tubuh Ma Hoa yang tadinya meluncur ke bawah, lalu dibelokkan tenaga luncurannya ke kiri, kemudian diteruskan ke atas hingga tubuh itu melayang ke atas! Inilah cara luar biasa untuk mematahkan tenaga luncuran yang keras itu. Ketika tubuh Ma Hoa melayang lagi ke bawah, jauh berkurang dan telah patah tenaga luncurannya, Kakek botak itu lalu menangkapnya dan membawanya masuk ke dalam sebuah gua yang berada tak jauh dari tempat itu. Setelah memeriksa keadaan Ma Hoa, Kakek botak itu menarik napas lega oleh karena ia tahu bahwa gadis itu pingsan bukan karena menderita luka, akan tetapi oleh karena kengerian, ketakutan dan juga karena tekanan hawa yang menyesakkan pernapasannya ketika ia jatuh dari tempat yang luar biasa tingginya itu tadi!

   Maka Kakek botak itu lalu membiarkan saja Ma Hoa pingsan, karena memang sebaiknya gadis itu dibiarkan sampai siuman sendiri. Ia hanya mengangkat kedua tangan Ma Hoa beberapa kali dan mengurut-urut leher gadis itu untuk memulihkan kembali jalan pernapasannya, kemudian ia membiarkan gadis itu terlentang di atas tanah, lalu ia duduk di atas batu hitam yang bundar dan lebar untuk bersamadhi, seakan-akan tidak terjadi sesuatu. Tak lama kemudian, dari luar gua masuklah seorang tua lain yang tinggi kurus. Ketika melihat tubuh Ma Hoa yang rebah terlentang di atas tanah, di belakang Kakek botak yang duduk bersamadhi, orang tua tinggi kurus ini membelalakkan kedua matanya dan mengeluarkan suara,

   "Ah, ah, uh, uh..."

   Lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya. Ternyata bahwa dia adalah seorang Kakek gagu! Kakek botak itu membuka matanya dan tersenyum melihat lagak Si Gagu.

   "A Tok! Jangah kau heran! Gadis ini bukan turun dari langit, akan tetapi ia terjatuh dari atas tebing itu. Ia mempunyai tulang dan bakat baik sekali untuk menjadi muridku, maka semenjak sekarang, ia menjadi Sumoimu! Keluarlah kau mencari Daun Siu-Hwa putih untuk mengobati pengaruh kaget dan takutnya."

   A Tok yang gagu itu lalu terkekeh girang dan pergi dari situ. Akan tetapi, tak lama kemudian ia kembali lagi sambil tangannya membawa beberapa helai daun yang berwarna putih dan tangannya lalu bergerak-gerak dan dikembangkan ke kanan-kiri meniru gerakan burung dan mulutnya tetap mengeluarkan suara,

   "Ah, ah, uh, uh"

   Seperti tadi.

   "Hm, burung besar? Biarlah aku keluar melihatnya, A Tok!"

   Kakek botak itu lalu bertindak keluar dengan tenang, dan benar saja, ia melihat seekor burung Merak yang besar dan indah melayang turun dengan kedua mata mencari-cari seperti lakunya seekor Rajawali mencari mangsa. Ini adalah Sin-Kong-Ciak yang disuruh oleh Lin Lin untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa. Ketika melihat Kakek yang berdiri di depan gua itu, Sin-Kong-Ciak lalu turun menyambar dengan cepat, kedua kakinya siap mencengkeram dan patuknya siap menotok.

   "Ha, ha, burung Merak yang lihai!"

   Kata Kakek botak itu sambil menggerakkan tangan kanannya. Dari tangan itu menyambar hawa yang kuat dan yang mendorong Merak itu hingga terpental kembali ke atas. Merak Sakti maklum bahwa Kakek itu lihai sekali, maka ia hanya memekik-mekik keras sambil terbang berputaran di atas kepala Kakek botak itu. Sedangkan Kakek itu lalu mengeluarkan kertas dan menulis beberapa huruf yang dicoret-coret, kemudian ia mengambil sehelai tali yang mengikat batu karang kecil pada ujungnya.

   "Merak baik, kau kembalilah dan berikan surat ini kepada orang-orang yang menyuruhmu turun!"

   Ia lalu menyelipkan kertas bersurat itu pada tali dan sekali ia menggerakkan tangan, batu karang berikut tali dan surat itu melayang bagaikan seekor ular terbang menuju ke arah Merak Sakti! Sin-Kong-Ciak menyangka bahwa Kakek itu menyambitnya dengan batu atau senjata lain, maka ia cepat mengelak, akan tetapi aneh sekali, ternyata bahwa Kakek itu menyambit dengan cara yang luar biasa hingga ketika Merak itu mengelak, ujung tali membelit sebuah kakinya dan batu itu terputar-putar sedemikian rupa hingga tali membelit dengan erat pada kaki itu! Sin-Kong-Ciak biarpun tidak merasa sakit, akan tetapi ia terkejut sekali hingga kembali ia memekik-mekik keras, kemudian ia terbang ke atas karena takut dan ngeri menghadapi Kakek botak yang luar biasa itu!

   Demikianlah, Kakek botak itu memberi tahu kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan suratnya sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan. Ketika akhirnya Ma Hoa siuman kembali dan membuka kedua matanya, ia merasa heran mendapatkan dirinya rebah di atas tanah yang lembek dan berada di dalam sebuah gua yang gelap. Ia lalu bangun duduk dan timbul perasaannya bahwa ia mungkin sudah mati karena segera terbayang kembali peristiwa tadi. Ia memandang ke sekeliling untuk mencari Kwee An, dan alangkah herannya ketika melihat bahwa di atas dua buah batu besar, ia melihat dua orang Kakek sedang duduk bersamadhi. Kakek botak itu mendengar gerakannya, lalu membuka mata dan turun dari atas batu.

   "Anak, jangan kau kaget, kau berada di tempat yang aman,"

   Katanya halus.

   "Teecu... berada di manakah... dan siapakah Locianpwe?"

   "Kau tadi terjatuh dari atas dan kebetulan sekali bertemu dengan aku hingga aku berhasil mencegah tubuhmu dari kehancuran. Kau makanlah daun-daun ini untuk melenyapkan rasa kagetmu."

   Sambil berkata demikian, Kakek botak itu memberikan lima helai daun-daun kecil yang berwarna putih dan yang tadi ia suruh A Tok mencari. Tanpa ragu-ragu lagi Ma Hoa menerima daun-daun itu dan memakannya. Rasanya agak masam, akan tetapi oleh karena memang ia merasa betapa dada kirinya berdenyut-denyut keras, ia lalu makan habis daun itu dan aneh, denyutan keras itu segera mengurang dan akhirnya lenyap. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kakek botak itu dan berkata,

   

Pendekar Sakti Eps 24 Pendekar Sakti Eps 17 Pendekar Sakti Eps 36

Cari Blog Ini