Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bodoh 29


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 29



Kakek itu lalu membebaskan totokan yang mempengaruhi tubuh Lin Lin hingga gadis itu dapat bergerak kembali dan berlutut di depannya.

   "Lin Lin, kalian telah menanam bibit permusuhan dengan Song Kun yang merupakan lawan tangguh sekali. Jangankan kau, bahkan Cin Hai sendiri kalau tidak memiliki Pedang yang dapat melawan Ang-Ho Sian-Kiam agaknya akan sukar untuk dapat merobohkannya. Maka, sekarang kau ikutlah aku untuk memperdalam ilmu Pedangmu yang masih mentah. Dan kau, Cin Hai, kau pergilah ke Kan-Su. Di antara ratusan buah gua yang terdapat di Kan-Su, yaitu gua-gua Tun-Huang, di situ terdapat sebuah gua yang menyimpan sepasang Pedang Mustika, yaitu Liong-Cu Siang-Kiam atau Sepasang Pedang Mustika Naga. Hanya Pedang itulah agaknya yang sanggup dihadapkan Ang-Ho Sian-Kiam (Pedang Dewa Api Merah) dari Song Kun tadi! Kelak, kau boleh menyusul Lin Lin ke Gua Tengkorak."

   Cin Hai lalu berlutut dan menyatakan bahwa ia hendak mentaati perintah Suhunya itu. Kemudian Bu Pun Su meninggalkan tempat itu bersama Lin Lin setelah kedua orang muda itu saling lirik dengan pandangan mata yang mesra.

   Cin Hai lalu bangun dan berdiri memandang sampai bayangan dua orang itu lenyap di sebuah tikungan. Hatinya merasa lega dan gembira, Lin Lin telah tertolong dan selamat dan kini ia tidak perlu merasa kuatir lagi oleh karena di dalam tangan Bu Pun Su, gadis itu akan aman sentausa melebihi daripada dalam pelukan ibu sendiri! Ia lalu memikirkan keadaan Yousuf yang lenyap dan menguatirkan keadaan orang Turki yang budiman itu. Akan tetapi, kebetulan sekali ia mendapat tugas mencari Pedang di Propinsi Kan-Su dan ia mengambil keputusan untuk sekalian mencari jejak Yousuf dan apa bila perlu menolong orang Turki itu. Ia hanya menyayangkan bahwa dalam berlari mengejar Song Kun, ia telah meninggalkan hutan di mana Yousuf tinggal itu jauh sekali hingga ia pun tidak tahu di mana adanya burung Bangau yang ditinggalkannya di dalam hutan.

   Cin Hai tidak tahu bahwa Lin Lin yang menceritakan pengalamannya kepada Bu Pun Su di tengah jalan, lalu minta kepada Kakek itu untuk mampir di hutan itu. Mereka mencari jejak Yousuf dan mendengar dari seorang Turki bahwa Yousuf telah dilarikan oleh keponakannya sendiri dan kini entah berada di mana. Dan di dalam hutan itu juga, Lin Lin mendapatkan kembali meraknya, bahkan selain Sin-Kong-Ciak, di situ terdapat pula Ang-Siang-Kiam si Burung Bangau Besar itu hingga kedua burung sakti itu lalu dibawa oleh Bu Pun Su ke Gua Tengkorak. Cin Hai melanjutkan perjalanannya masuk Propinsi Kan-Su. Propinsi ini adalah daerah pegunungan yang tinggi dan terjal letaknya di sebelah Utara Propinsi Se-Cuan. Di sebelah Baratnya adalah Propinsi Cing-Hai dan sebelah Utaranya terletak Propinsi Ning-Sia dan kemudian perbatasan Mongolia.

   Tembok besar yang terkenal di Tiongkok itu dimulai dari Propinsi Kan-Su ini, terus memanjang menuju ke Timur, bahkan Sungai Kuning (Huang-Ho) juga melalui propinsi ini dan di sepanjang Sungai Kuning terdapat tanah pertanian yang subur. Iklim di daerah ini istimewa keringnya, hingga dengan adanya sungai Kuning yang lewat di daerah itu maka hal ini merupakan berkah yang besar bagi rakyat yang tinggal di Kan-Su. Propinsi Kan-Su memiliki banyak kekayaan alam dan pemandangan yang cukup indah. Di ibu Kota terdapat Bukit Pagoda Putih, Pegunungan Cilian yang penuh dengan hutan-hutan yang kaya akan berbagai binatang. Selain pertanian yang hidup subur di sepanjang lembah Sungai Kuning, juga usaha peternakan amat besar dikerjakan orang di tempat ini.

   Bulu onta dan daging lembu keluaran daerah ini terkenal sekali karena tinggi mutunya. Di Selatan terdapat padang-padang pengembalaan alam yang luas dan baik, rumputnya subur dan airnya jernih. Gua-gua Tun-Huang yang beratus-ratus, bahkan mungkin seribu lebih banyaknya itu, merupakan pemandangan indah peninggalan kesenian kuna. Gua-gua ini penuh dengan patung-patung dan lukisan-lukisan dinding Agama Budha yang dibuat kira-kira pada abad ke empat. Tidak heran apabila daerah ini menarik perhatian orang-orang dari luar negeri, dan yang terbanyak adalah orang-orang Turki yang datang mengembara dan mencari penghasilan di daerah yang kaya ini. Juga di sini terdapat banyak sekali suku-suku bangsa dari Barat dan Utara.

   Pada suatu hari Cin Hai tiba di Kota Ling-Sia. Kota ini berada di sebelah Utara tepi Sungai Huang-Ho. Dengan hati gembira Cin Hai memasuki Kota itu, berjalan perlahan di sepanjang jalan raya yang penuh dengan bangunan-bangunan besar di kanan kiri. Tiba-tiba ia mendengar suara Suling berbunyi aneh, maka ia segera menghampiri arah datangnya suara itu. Ternyata bahwa yang menyuling itu adalah seorang Turki yang bermain sulap di sebuah lapangan terbuka. Banyak orang menonton dan mengelilinginya. Orang Turki itu sudah tua dan ia duduk bersila di depan sebuah keranjang Bambu yang besar sambil meniup Sulingnya. Suling yang ditiupnya berbentuk ular dan ketika ia meniup Sulingnya makin keras, tiba-tiba tutup keranjang itu terbuka perlahan-lahan dari dalam dan tersembullah seekor kepala ular yang besar! Ular itu mendengar suara Suling lalu merayap keluar, melingkar di atas tanah dan lehernya terangkat ke atas.

   Ternyata ular itu besar sekali dan di bawah kepalanya melar merupakan sendok yang besar. Itulah semacam ular kobra atau ular sendok yang berbahaya, akan tetapi terhadap suara Suling itu ia terpengaruh hebat sekali hingga ia mulai menari-nari menggeleng-gelengkan kepalanya dan lehernya bergerak-gerak menari mengikuti irama suara Suling! Orang-orang yang menonton menjadi gembira dan mendengar suara kagum di sana-sini, ada juga suara orang yang menyatakan ngeri dan takut! Cin Hai tidak tertarik hatinya melihat ular itu, akan tetapi amat tertarik mendengar suara Suling dan diam-diam ia mengingat lagu Suling ini di dalam hatinya. Ketika ia meninggalkan tempat itu tiba-tiba di lain bagian lapangan itu ia mendengar suara gembreng dan tambur, dibarengi suara orang berkata-kata dan gelak suara para penonton. Ternyata di bagian itu juga terdapat orang yang sedang memperlihatkan kepandaiannya dan ketika ia mendekati,

   Alangkah herannya melihat bahwa yang menjual kepandaian di situ adalah seorang Hwesio dan seorang Tosu. Mudah saja baginya mengenal wajah Hwesio yang selalu tertawa dengan muka dan perut yang gemuk itu, dan mengenal wajah Tosu yang selalu mewek mau menangis! Hwesio itu sedang membadut, perutnya yang gendut dan tidak tertutup pakaian itu sebentar mengempis dan sebentar pula mengembang sampai besar dan gendut! Pemandangan ini bagi orang-orang biasa merupakan hal yang lucu sekali, akan tetapi bagi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, menimbulkan kekaguman. Oleh karena perbuatan Si Gendut itu menunjukkan bahwa ia memiliki Khikang yang tinggi hingga perut yang demikian besarnya dapat ditarik ke dalam hingga kempis sama sekali!

   "Cuwi sekalian,"

   Kata Si Gendut sambil tak pernah mengubah tarikan muka yang selalu tersenyum bagaikan sebuah patung Jai-Lai-Hud yang peramah.

   "Kepandaian mengempiskan perutku yang kecil ini banyak sekali gunanya. Di Tiongkok banyak terdapat daerah-daerah yang kekurangan makan, sedangkan pinceng adalah seorang perantau. Pada waktu pinceng berada di daerah kering, kalau tidak ada makanan yang boleh dimasukkan perut, pinceng lalu menarik perut ke dalam hingga menjadi kempis dan kecil, hingga diberi minum air semangka pun sudah kenyang! Sebaliknya, kalau pinceng berada di tempat yang subur seperti Kan-Su ini pinceng dapat melembungkan perut sebesar-besarnya agar dapat menikmati segala macan makanan. Bahkan daging unta pun bisa masuk ke dalam perutku!"

   Sambil berkata demikian, ia mengembang-kempiskan perutnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya yang bulat seperti bal. Kembali orang-orang tertawa geli dan Cin Hai juga ikut tertawa. Biarpun dulu kedua orang ini telah membawa lari perahunya, akan tetapi terhadap Si Gendut ini yang selalu tertawa, tak mungkin orang dapat marah kepadanya!

   "Akan tetapi,"

   Kata pula Hwesio itu.

   "Saudaraku yang kurus seperti cecak mati ini memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi."

   Sambil berkata demikian ia menuding ke arah Ceng To Tosu yang duduk berjongkok dengan muka seperti mau menangis. Tak perlu disertai kata-kata lucu, baru melihat mukanya saja sudah menimbulkan rasa geli di dalam hati hingga kembali orang-orang tertawa bergelak.

   "Jangan Cuwi mentertawakan Suhengku ini,"

   Kata pula Hwesio gendut tadi.

   "Banyak orang lihai dan berkepandaian di dunia ini, bahkan banyak pula orang yang memiliki kekebalan hingga segala macam senjata tajam tidak dapat melukai kulitnya! Akan tetapi, saudaraku ini lebih hebat lagi. Dia tidak bisa mati oleh karena dia ini tidak mempunyai darah!"

   Terdengar seruan-seruan tidak percaya.

   "Kalau orang tidak mempunyai darah, ia akan mati,"

   Terdengar suara seorang penonton mencela.

   "Memang kata-kata itu benar,"

   Kata Ceng Tek Hosiang.

   "Akan tetapi saudaraku itu adalah seorang sakti. Kalau Cuwi tidak percaya sekarang hendak kubuktikan!"

   Sambil berkata demikian, Si Gendut mengeluarkan sebuah pisau belati yang bergagang panjang. Pisau itu putih mengkilap, nampaknya tajam dan baru.

   "Nah, lihatlah baik-baik. Pisau ini akah kutusukkan kepadanya dan akan kutusuk tubuhnya sampai seluruh mata pisau ini terbenam ke dalam dagingnya!"

   Setelah berkata demikian, ia menghampiri Ceng To Tosu yang masih saja duduk dengan mewek. Benar saja, Hwesio itu menusuk leher Tosu itu hingga banyak orang memekik karena cemas. Bahkan Cin Hai merasa terkejut sekali melihat betapa pisau belati itu menancap di leher Ceng To Tosu sampai ke gagangnya! Ketika Ceng Tek Hosiang mencabut pisaunya, benar saja tidak nampak darah sedikitpun pada leher itu, bahkan luka sedikit pun tidak! Semua orang memandang dengan mata terbelalak, bahkan Cin Hai sendiri hampir tak percaya kepada kedua matanya sendiri. Bagaimana Tosu ini dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian anehnya?

   Ilmu kekebalan untuk menolak ujung senjata yang menusuk kulit, bukanlah hal yang aneh baginya, akan tetapi kulit dan daging yang sudah tertusuk pisau sekian dalamnya akan tetapi tidak terluka dan tidak mengeluarkan darah sama sekali, adalah hal yang tak mungkin terjadi. Ilmu sihirkah yang dipergunakan oleh kedua orang ini? Ceng To Tosu lalu membuka bajunya dan tiga kali ia ditusuk dadanya yang kurus seperti kerangka hidup itu, lalu lambungnya, dan bahkan pipinya mendapat tusukan pula. Dan semua tusukan itu walaupun dilakukan dengan kuat hingga pisau sampai menancap habis, namun setelah dicabut kembali, Tosu itu sama sekali tidak terluka sedikit pun. Kemudian Hwesio gendut itu lalu melempar pisau itu ke arah sebatang pohon dan pisau itu menancap dengan keras sampai ke gagangnya.

   "Nah, Cuwi lihat, bahkan batang pohon itu pun tertancap dengan mudah, menunjukkan bahwa pisau pinceng ini benar-benar tajam dan tidak palsu, namun menghadapi ilmu kepandaian Suhengku ini, pinceng tidak berdaya."

   "Lihai sekali..."

   Semua orang berseru. Hwesio gendut itu lalu menjura dan berkata,

   "Pertunjukkan kami selesai sampai di sini saja, kalau ada jodoh kita saling bertemu lagi!"

   Maka semua penonton lalu bubaran dan tiada hentinya mereka membicarakan kelihaian Tosu yang kurus kering itu. Cin Hai yang menyaksikan itu semua, dari rasa heran menjadi rasa penasaran hebat. Ia pernah menyaksikan kepandaian kedua Pertapa ini dan ternyata bahwa kepandaian mereka biarpun lihai, namun tidak melebihi kepandaiannya sendiri. Akan tetapi ilmu kepandaian yang baru diperlihatkan oleh Ceng To Tosu itu, benar-benar membuat kagum dan tidak mengerti. Maka setelah semua orang bubaran, ia lalu bertindak menghampiri dan menjura.

   "Jiwi-Suhu apakah baik-baik saja?"

   Ketika Hwesio dan Tosu itu melihat Cin Hai, keduanya merasa terkejut, akan tetapi Ceng Tek Hosiang tetap tertawa dan Ceng To Tosu tetap mewek.

   "Ah, ah, kiranya Sie-Taihiap Si Pendekar Bodoh!"

   Kata Ceng To Tosu.

   "Bagaimana bisa sampai di sini, Taihiap?"

   Sementara itu sambil tertawa-tawa, Ceng Tek Hosiang mendahului Cin Hai.

   "Dulu ketika kau dan Ang I Niocu melompat ke atas kapal, kami berdua menjadi ketakutan dan terpaksa pergi lebih dulu."

   Cin Hai terseyum.

   "Tidak apa, hal yang sudah lalu tak perlu digali lagi. Akan tetapi, dulu aku menemukan perahu kalian terbalik di atas laut, bagaimana kalian bisa selamat dan sampai di sini?"

   "Thian melindungi orang-orang baik,"

   Kata Hwesio gendut itu.

   "Maka kami terdampar ombak besar dan dilempar ke tepi laut dengan selamat."

   "Dan sekarang jiwi-Suhu berada di darat ini sedang apakah?"

   "Taihiap sudah menyaksikan sendiri bahwa kami menjual kepandaian sambil merantau,"

   Jawab Ceng To Tosu. Cin Hai mengangguk-angguk dan keterangan ini memang masuk di akal.

   "Kepandaianmu tadi benar-benar lihai sekali, Ceng To Totiang,"

   Katanya memuji akan tetapi dengan tertawa ha-ha hi-hi Ceng Tek Hosiang lalu mengeluarkan pisau belati itu dan berkata,

   "Dengan pisau yang sengaja kami buat khusus untuk keperluan ini, apakah yang lihai?"

   Cin Hai memegang pisau belati itu dan berkata,

   "Pisau ini pisau biasa dan tadipun dapat menancap di pohon, apanya yang aneh? Mungkin kalian telah mempergunakan ilmu sihir!"

   Tiba-tiba Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak sedangkan Ceng To Tosu yang sebetulnya hendak tertawa, akan tetapi mulutnya bahkan makin mewek dan makin menyedihkan!

   "Ah, ah, kami benar-benar merasa puas, puas, dan bangga! Pujian semua orang-orang itu bagi kami tidak ada artinya, akan tetapi keheranan pada muka Taihiap sungguh-sungguh membikin kami merasa puas dan bangga!"

   Ceng To Tosu juga berkata,

   "Sie-Taihiap, pisau kami itu ada rahasianya! Kau lihat besi kecil hitam pada gagangnya itu? Kalau besi kecil itu tidak ditekan, maka, pisau ini adalah pisau biasa yang akan melukai orang. Akan tetapi, coba kau tekan besi kecil itu, dan kau akan melihat keanehannya!"

   Cin Hai melihat besi hitam yang kecil pada ujung gagangnya dan ketika ia menekan, ternyata pisau itu apabila ditekan pada sesuatu lalu masuk ke dalam gagangnya yang panjang hingga tidak kelihatan lagi ujungnya! Demikian akal yang digunakan oleh kedua Pertapa itu. Ketika Si Hwesio menusukkan pisaunya pada tubuh Tosu itu, ia menekan besi hitam tadi hingga memang kelihatannya pisau itu menancap pada tubuhnya sampai ke gagang, padahal pisau itu ketika menekan kulitnya, lalu masuk ke dalam gagang dan tidak kelihatan lagi, seakan-akan semuanya masuk ke dalam tubuh orang yang ditusuk! Hampir saja Cin Hai tertawa bergelak karena geli. Ia mengangguk-angguk kagum dan hatinya merasa senang bertemu dengan kedua orang tua ini, karena dari pembukaan rahasia pisau ini saja dapat membuktikan bahwa mereka menaruh kepercayaan kepadanya.

   "Taihiap, sesungguhnya kami berdua sedang melakukan tugas!"

   Kemudian Ceng Tek Hosiang berbisik.

   "Tugas? Tugas apa dan dari siapa?"

   "Dari siapa lagi kalau bukan dari pemerintah kita. Kami berdua kini telah membantu Kerajaan. Panglima besar yang sekarang, Kam-Ciangkun, adalah seorang gagah yang budiman, maka kami berdua membantunya dan kini kami diutus datang ke propinsi ini untuk semacam tugas!"

   Cin Hai mengangguk.

   "Aku telah mendengar tentang berita menggirangkan itu. Syukurlah kalau memang demikian halnya, memang sudah waktunya bagi pemerintah Kerajaan untuk mengganti Panglima-Panglima dengan orang-orang yang benar-benar gagah dan budiman."

   "Memang kata-katamu ini benar sekali Taihiap, apalagi oleh karena sekarang keadaan negara sedang dalam bahaya besar."

   Cin Hai terkejut.

   "Apa maksudmu?"

   Dengan suara berbisik Ceng To Tosu berkata,

   "Terlihat gejala-gejala bahwa orang-orang Turki hendak mengadakan serangan ke daerah Tiongkok sesudah terjadinya perebutan Pulau Kim-San-To dulu itu. Dan sikap orang-orang Mongol juga amat mencurigakan hingga kita seakan-akan terancam dari dua pihak. Oleh karena inilah maka Kam-Ciangkun lalu mengadakan penyelidikan, sebagian ke daerah Utara dan sebagian pula ke daerah Barat. Kami mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka di Propinsi Kan-Su dan selain kami berdua, masih banyak pula Perwira-Perwira yang menyamar dan menjadi penyelidik, bahkan kabarnya Kam-Ciangkun sendiri pun hendak datang ke daerah ini oleh karena agaknya pergerakan musuh yang terbesar berada di daerah ini."

   Cin Hai mengangguk-angguk maklum dan berkata,

   "Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku, Totiang, akan tetapi harap kau berdua suka berhati-hati dan jangan sembarangan bicara dengan orang lain mengenai hal ini."

   Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak.

   "Tentu saja, Taihiap, kepadamu kami tak perlu menyimpan rahasia."

   Kedua orang Pendeta aneh itu lalu berpamit dan mereka lalu berpisah dari Cin Hai. Setelah berpisah dengan Ceng Tek Hosiang, dan Ceng To Tosu, Cin Hai lalu berjalan-jalan di luar Kota dan pergi ke tepi Sungai Huang-Ho yang airnya kuning. Keadaan di situ sunyi, penuh dengan sawah ladang dan rumput di sepanjang tepi sungai amat subur kehijau-hijauan.

   Keadaan ini membuat Cin Hai merasa girang sekali. Memang, semenjak pertemuannya dengan Lin Lin, ia merasa amat gembira dan kini setelah gadis itu pergi dengan Bu Pun Su untuk mempelajari ilmu silat, hatinya merasa tenteram dan aman. Sedikit ganjalan hati yang terbit oleh karena peristiwa yang menimpa diri Ma Hoa dan Kwee An, ia hibur dengan dugaan bahwa kedua orang itu pasti masih hidup oleh karena mayat mereka tak dapat diketemukan, juga pertemuannya dengan Kakek gagu di gua yang berada di bawah tebing di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh, juga surat yang dikirim oleh seorang sakti dan yang dikirim melalui kaki Merak Sakti dulu itu, mempertebal keyakinannya bahwa kedua orang kawannya itu pasti masih hidup.

   Cin Hai duduk di tepi sungai dan ia teringat akan Kakek bangsa Turki yang menyuling dan bermain-main dengan ularnya tadi. Ia mengingat-ingat lagu yang ditiup oleh Suling Kakek itu, kemudian tanpa terasa ia lalu mencabut keluar Sulingnya terus ditiup meniru lagu Kakek tadi! Dia memang pandai sekali meniup Suling dan ingatannya kuat hingga biarpun kurang sempurna namun ia dapat menyulingkan lagu yang didengarnya tadi dengan baik! Makin ditiup makin terasalah kenikmatan irama lagu yang asing itu, maka sebentar saja Cin Hai telah tenggelam dalam permainan Sulingnya. Tak disangka sama sekali, bahwa suara Sulingnya itu telah menarik perhatian sepasang ular sendok yang tinggal dalam sebuah lubang di tepi sungai itu.

   Tadinya Cin Hai tidak tahu akan kedatangan kedua ekor ular itu yang datang berlenggak-lenggok tanpa menerbitkan suara. Tahu-tahu dua ular itu telah berada di depannya dengan kepala terangkat tinggi-tinggi dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar sambil lehernya yang menggembung itu bergerak-gerak ke kanan kiri! Bukan main terkejut dan ngerinya rasa hati Cin Hai melihat betapa tiba-tiba saja, muncul dua ekor ular sendok besar dan panjang di depannya. Karena merasa terkejut dan jijik, ia menghentikan tiupan Sulingnya dengan tiba-tiba. Kedua ekor ular itu nampak marah dan bingung, lalu dari mulut mereka keluarlah suara mendesis yang keras dan tiba-tiba mereka menyerang Cin Hai yang sedang duduk di atas rumput itu dengan cepat sekali!

   Cin Hai berseru keras dan menangkis dengan Sulingnya. Tangkisannya itu dapat membuat seekor ular terpental ke samping, akan tetapi yang seekor lagi cepat mengelak dan terus menyerangnya dengan mulut terbuka lebar-lebar! Terpaksa Cin Hai menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan sampai jauh dari tempat itu. Ternyata bahwa ular itu pun mengejar dengan cepat! Cin Hai lalu melompat berdiri dan ia mulai menjadi marah. Ia melihat betapa ular yang terpental tadi pun kini telah merayap maju dengan kepala berdiri dan agaknya marah sekali kepadanya. Ia tak usah takut menghadapi dua ekor ular itu dan sebetulnya kalau pada saat itu ia lari pergi, kedua binatang itu pun takkan berdaya dan takkan dapat mengejarnya.

   Akan tetapi Cin Hai telah marah karena tadi benar-benar ia dikejutkan oleh kedua binatang itu. Ia tidak mau mengotorkan Sulingnya, maka ia lalu menyimpan Suling itu dan mencabut sebatang rumput alang-alang yang besar dan yang banyak tumbuh di dekat situ. Ketika ular yang pertama telah datang dekat dan menyambar kakinya, Cin Hai memukul dengan rumput alang-alang itu ke arah kepala ular sambil mengerahkan tenaga Lweekangnya. Akan tetapi ular itu benar-benar gesit karena dengan merendahkan kepala secara tiba-tiba, ia dapat mengelak dari sabatan Cin Hai! Pemuda itu menjadi kagum dan ia mulai merasa gembira menghadapi dua ekor binatang yang gesit ini! Ketika ia hendak menyabat kembali tiba-tiba terdengar seruan orang,

   "Jangan bunuh mereka!"

   Cin Hai cepat melompat ke belakang dan ketika ia menengok, ternyata seorang Turki yang berkulit hitam dan berambut putih karena sudah tua berlari mendatangi dengan cepat. Melihat gerakannya yang gesit dan larinya yang cepat, Cin Hai dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki ilmu kepandaian lumayan juga.

   "Menawan ular bukan seharusnya dipukul dengan senjata,"

   Katanya pula, lalu ia menghampiri kedua ular itu dengan merangkak di atas kedua pasang kaki tangannya! Ular-ular itu memandang tajam dan marah, lalu ular yang jantan menyambar ke arah lehernya untuk digigit! Kakek Turki itu lalu mengangkat tangannya dengan gerakan tangan seperti seekor ular juga dan ketika kepala ular itu sudah datang dekat, tiba-tiba jari-jari tangan kanannya dibuka seperti mulut ular sedang menyerang dan ia menerkam leher ular itu, dipegangnya dengan tepat dan erat-erat!

   Ular itu membelit-belit lengannya dan meronta-ronta akan tetapi dengan cepat sekali tangan kiri orang itu menangkap tubuh ular itu dan dibetot atau diurutnya ke belakang dengan kuat. Aneh sekali, setelah tubuhnya diurut ke belakang sampai pada ekornya, ular itu menjadi lumpuh dan ketika Kakek itu melepaskan punggungnya, ular itu menjadi lemas dan jatuh di atas tanah tanpa berdaya lagi. Ular betina menjadi marah sekali melihat kawannya dikalahkan, maka ia lalu mendesis-desis dan menyerang hebat. Akan tetapi, Kakek Turki yang gesit dan gagah itu kembali mengulangi perbuatannya dan ular betina ini pun dapat tertangkap dan kini kedua ekor ular itu berkelojotan di atas tanah dengan lumpuh. Setelah itu barulah Kakek Turki itu berpaling kepada Cin Hai sambil tersenyum.

   "Sepasang ular sendok jantan betina yang keluar bersama bukanlah hal yang mudah dijumpai. Hal ini menandakan bahwa ular betina ini tentu sedang bertelur dan telur-telur muda yang masih berada di dalam perutnya merupakan obat-obat yang luar biasa dan sukar didapat. Sungguh aku merasa beruntung sekali bertemu dengan kau dan dua ekor ular ini. Kalau tadi kau membunuh ular-ular itu, maka khasiat telur di dalam perutnya akan lenyap tak berguna lagi."

   Cin Hai memandang kagum.

   "Kau hebat sekali, Lopek,"

   Katanya karena selain ia merasa kagum akan kelihaian Kakek ini, juga ia merasa heran mengapa orang Turki ini fasih sekali bicara dalam bahasa Han, bahkan tidak kalah fasihnya daripada Yousuf sendiri.

   "Kau tentu seorang ahli penangkap ular."

   Kakek Turki itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Bukan, aku bukan penangkap ular, akan tetapi aku hanyalah seorang ahli pengobatan bangsa Turki yang sederhana pula."

   "Akan tetapi ilmu kepandaianmu hebat sekali!"

   "Tidak ada sepersepuluh bagian dari pada kepandaianmu, anak muda. Pada saat dunia sedang kacau balau dan banyak kejahatan merajalela di mana-mana kalau kita tidak memiliki sedikit tenaga, pasti sukar untuk hidup terus."

   Cin Hai terkejut. Orang ini tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Ia teringat akan cerita kedua Pendeta yang membantu Kerajaan. Apakah Kakek ini seorang yang penting dalam rombongan orang Turki yang hendak menyerang Tiongkok? Ia lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba Kakek itu berkata,

   "Anak muda, harap kau jangan menduga yang bukan-bukan! Kau tentulah Si Pendekar Bodoh, bukan? Aku bukanlah anggauta orang-orang Turki yang menyerang negerimu!"

   Hampir saja Cin Hai melompat tinggi karena kaget dan herannya.

   "Eh, Lopek, kau... bagaimana kau bisa tahu namaku dan bagaimana pula kau bisa membaca apa yang sedang kupikirkan?"

   Kakek itu tersenyum, lalu membungkuk dan menangkap leher ular yang masih bergerak-gerak, lalu dengan cekatan sekali ia menggulung tubuh ular itu bagaikan seorang menggulung sehelai tambang. Lalu ia mencabut rumput alang-alang dan mengikat gulungan tubuh ular itu dengan eratnya. Ular ke dua pun diperlakukan demikian hingga tak lama kemudian kedua ular itu telah merupakan dua buah gulungan yang tak bergerak, hanya lidah mereka saja masih seringkali menjulur-julur keluar. Kemudian ia duduk di atas rumput yang tebal dan memberi isyarat agar supaya Cin Hai duduk pula di sampingnya. Dengan penuh keheranan, Cin Hai lalu duduk di sampingnya.

   "Taihiap, aku dapat menduga bahwa kau tentu Sie Cin Hai Taihiap, karena selain gerakanmu yang lihai ketika kau diserang ular sendok tadi, juga siapakah orangnya yang pandai bermain Suling seperti kau itu? Kau tentu kenal kepada Yousuf, bukan?"

   Cin Hai mengangguk cepat.

   "Di mana dia? Bagaimana keadaannya?"

   Tanyanya.

   "Dia telah diselamatkan dan sekarang berangsur sembuh. Dari dialah maka aku dapat mengenalmu, karena ia telah menceritakan segala pengalamannya dan menyebut-nyebut namamu, juga nama lain-lain sahabat baiknya. Berhari-hari ia mengigau dan menyebut-nyebut nama anak angkatnya Lin Lin, bagaimanakah keadaan anak itu?"

   Cin Hai merasa girang dapat bertemu dengan orang yang agaknya menjadi sahabat baik Yousuf.

   "Lin Lin telah tertolong dan kini berada dengan Suhunya memperdalam ilmu silatnya,"katanya dan kemudian disambungnya.

   "Siapakah Lopek yang terhormat dan masih ada hubungan apakah dengan Yo-pekhu?"

   "Yousuf adalah muridku, dan namaku Ibrahim."

   Cin Hai terkejut sekali mendengar bahwa Kakek ini adalah Guru Yousuf, maka ia cepat berdiri dan menjura dengan hormat sekali.

   "Ah, tidak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang berilmu tinggi. Maafkan kelancanganku Locianpwe."

   Ibrahim melambai-lambaikan tangannya.

   "Jangan terlalu banyak sungkan anak muda, aku lebih menyukai kesederhanaan, karena hidup ini sudah terlalu kacau dan menjadi suram karena tertutup oleh kepalsuan segala peradatan dan kesopanan pura-pura!"

   Mendengar ucapan ini, Cin Hai teringat akan Suhunya, Bu Pun Su, yang agaknya mempunyai banyak persamaan dengan Kakek ini. Juga Bu Pun Su tidak menyukai segala penghormatan dan kesopanan, dan hidup dengan sederhana sekali. Maka ia makin menaruh hormat kepada Kakek ini yang dapat diduga tentu berkepandaian tinggi sekali, oleh karena baru muridnya saja, yaitu Yousuf, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat.

   "Locianpwe, aku mendengar desas-desus tentang pergerakan orang-orang Turki, apakah betul berita yang kudengar itu?"

   Kakek berambut putih itu menarik napas panjang. .

   "Memang betul, dan inilah yang menggelisahkan hatiku. Ketahuilah anak muda yang gagah, bahwa pada bangsa Turki terjadi perpecahan, yaitu di antara para pengikut Pangeran muda yang mempunyai kehendak untuk memerangi Tiongkok, dan antara pengikut Pangeran tua yang tidak menyetujui kehendak ini. Yousuf dan kawan-kawan kami termasuk golongan pengikut Pangeran tua, maka kami dimusuhi oleh pengikut-pengikut Pangeran muda yang terdiri dari banyak orang gagah di negeri kami, bahkan mereka itu telah berhasil membeli tenaga orang-orang kang-ouw dari bangsa Han sendiri! Bagiku sendiri, aku sudah merasa bosan dengan segala kekacauan dunia dan aku tidak mau ikut-ikut, kecuali kalau melihat kejahatan terjadi di depan mata barulah terpaksa aku harus turun tangan!"

   Kemudian Ibrahim menuturkan betapa Yousuf telah ditolong oleh seorang keponakannya sendiri dan sekarang berada dalam perawatannya dan tinggal di Kota Lan-Cou, ibu Kota Kan-Su. Ketika Cin Hai bertanya tentang pergerakan orang-orang Mongol, Kakek itu berkata,

   "Memang semenjak dahulu, orang-orang Mongol memiliki adat yang tinggi dan memandang rendah bangsa lain. Mereka ini agaknya merasa sakit hati dan marah sekali karena wilayah mereka dilanggar oleh barisan Turki ketika orang-orang Turki mengadakan ekpedisi ke Kim-San-To untuk mencari emas, hingga kini jago-jago mereka di bawah perintah Yagali Khan hendak mengadakan pembalasan oleh karena mereka tahu bahwa di daerah ini banyak terdapat orang-orang Turki. Ah, memang dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan yang semata-mata ditimbulkan oleh sifat ingin menang dan kesombongan kosong! Sie-Taihiap, kalau kau berada di Kota Lan-Couw, harap kau suka mampir untuk berjumpa dengan Yousuf. Kami tinggal di luar Kota sebelah Barat dan apabila kau keluar dari tembok Kota dan bertanya kepada orang-orang di situ, kiranya tidak ada yang tidak kenal namaku."

   Setelah berkata demikian, Kakek itu lalu memegang leher kedua ular sendok itu di kedua tangan, menjura kepeda Cin Hai dan sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari sepuluh kaki dan berlari cepat sekali meninggalkan tepi Sungai Huang-Ho!

   Cin Hai diam-diam merasa kagum sekali dan pertemuan dengan Ibrahim ini menggirangkan hatinya, oleh karena selain mendengar bahwa Yousuf telah tertolong dan selamat, juga ia kini makin terbuka matanya dan dapat mengerti keadaan-keadaan yang terjadi pada masa itu di daerah Kan-Su. Diam-diam berdebar tegang hatinya kalau mengingat betapa pada saat itu, di daerah Kan-Su terdapat empat rombongan yang berpaham lain dan yang mungkin akan bertemu dan merupakan permusuhan hebat, yaitu golongan pertama ialah golongan penyelidik Kerajaan Tiongkok, golongan ke dua adalah golongan orang-orang Mongol, sedangkan golongan ke tiga dan ke empat ialah para pengikut Pangeran tua dan Pangeran muda dari Turki!

   Cin Hai duduk lagi di atas rumput sambil melihat mengalirnya air sungai Huang-Ho. Ia melihat perahu-perahu nelayan pulang dengan perahu-perahu ikan dan para nelayan duduk di kepala perahu sambil bernyanyi. Lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu daerah yang sederhana akan tetapi oleh karena enam buah perahu itu semua ditumpangi oleh orang-orang yang bernyanyi gembira, maka suasana menjadi gembira sekali dan suara nyanyian itu terdengar merdu! Bunyi riak air di bawah kaki Cin Hai seakan-akan ikut berdentang hingga hati pemuda itu menjadi gembira sekali. Ia mencabut Sulingnya dan bersuling lagi, meniru lagu yang dinyanyikan oleh para nelayan itu! Mendengar bunyi Suling yang merdu, para nelayan memandang ke arahnya dan suara nyanyian mereka terdengar makin bersemangat dan mereka melambai-lambaikan tangan ketika perahu mereka lewat di depan Cin Hai.

   Ketika perahu itu telah lalu jauh dan suara nyanyian mereka telah terdengar sayup sampai, tiba-tiba Cin Hai yang masih meniup sulignya itu mendengar suara tetabuhan yang mengikuti lagu yang ditiup! Ketika ia memandang, ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu yang ditumpangi oleh seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan orang itu sedang memetik semacam alat tetabuhan seperti gitar yang nyaring dan merdu sekali suaranya! Laki-laki itu ternyata hanya duduk di dalam perahu yang dijalankan oleh tukang perahu, agaknya ia seorang pelancong yang menikmati keindahan suasana dan pemandangan di situ. Setelah lagu yang dimainkan habis, orang itu tertawa dan melambai kepada Cin Hai sambil berkata,

   "Anak muda, suara tiupan Sulingmu bagus sekali!"

   "Masih lebih bagus suara rebabmu itu!"

   
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Cin Hai sambil tertawa juga, wajah orang yang tampan itu mendatangkan rasa suka di dalam hatinya.

   "Saudara yang baik, kalau kau sudi, naiklah ke sini dan mari kita main bersama,"

   Kata Cin Hai lagi.

   "Anak muda, aku hanya menyukai suara Sulingmu, akan tetapi mukamu membuat mataku tak sedap melihatnya!"

   Jawab orang tua itu yang membuat Cin Hai memandang dengan penuh keheranan. Mengapa orang ini tiba-tiba menyatakan tidak suka kepadanya? Ia menjadi penasaran sekali karena

   (Lanjut ke Jilid 27)

   Pendekar Bodoh (Seri ke 03 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 27

   jawaban itu benar-benar menyakiti hatinya.

   "Ah, sayang, adatmu tidak sebaik suara rebabmu!"

   Jawabnya. Tiba-tiba orang itu pun berdiri di kepala perahu dan sekali ia gerakkan tubuhnya, ia telah melompat dari perahu dan dengan rebabnya ia menyambar dan memukul kepala Cin Hai yang masih berdiri di tepi sungai! Cin Hai terkejut bukan main melihat hebatnya gerakan ini, maka ia segera mengangkat Sulingnya menangkis.

   Tangkisan ini membuat orang itu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka sambil berseru keras ia melompat jauh dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi! Cin Hai menghela napas. Banyak sekali terdapat orang-orang aneh yang berkepandaian tinggi di daerah ini. Ia melihat bahwa orang tadi adalah seorang Han dan dari logat bicaranya, dapat diketahui bahwa orang itu datang dari Tiongkok Selatan. Yang mengherankan hatinya ialah mengapa orang yang berwajah tampan dan menyenangkan hatinya itu ternyata mempunyai adat yang buruk dan hati yang kejam. Kalau saja bukan dia yang diserang secara demikian, tentu orang yang diserang itu akan remuk kepalanya! Dari tangkisannya tadi ia maklum bahwa orang itu memiliki tenaga yang besar dan ilmu kepandaian yang tinggi.

   Tentu ia tak pernah menduga bahwa orang itu bukan lain ialah Sie Ban Leng, atau pamannya sendiri yang dulu mengkhianati dan mencelakakan orang tuanya! Dan ia tidak tahu pula bahwa Sie Ban Leng sedang mengikuti Ang I Niocu yang kebetulan sekali juga berada di Kota Ling-Sia. Melihat betapa Ang I Niocu bermalam dalam sebuah rumah penginapan di dalam Kota, Sie Ban Leng lalu melancong ke luar Kota dan menyewa perahu hingga tanpa sengaja ia bertemu dengan Cin Hai yang mengejutkan hatinya dan yang membuatnya jerih dengan tangkisan hebat itu! Cin Hai lalu kembali ke rumah penginapan dan malam itu ia tidak keluar dari kamar. Ia tidak tahu bahwa tidak jauh dari rumah penginapannya itu, dalam sebuah penginapan lain, bermalam Ang I Niocu yang telah hampir dilupakannya itu karena disangkanya telah mati!

   Ang I Niocu sendiri tidak tahu bahwa semenjak berpisah dari Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng, ia diikuti oleh Sie Ban Leng yang tergila-gila kepadanya. Dara Baju Merah ini melanjutkan perjalanan dan ketika tiba di Kota Ling-Sia, ia bermalam dalam sebuah hotel tanpa keluar lagi dari situ. Pada keesokan harinya pagi-pagi benar ia telah keluar dari hotel dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Lan-Cou untuk mencari Lin Lin dan Yousuf, serta kalau mungkin, mencari Cin Hai juga. Dia telah mengambil jalan sebelah Selatan hingga tidak dapat bertemu dengan Cin Hai, sedangkan Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng mengambil jalan di sebelah Utara, maka Cin Hai yang mengambil jalan di tengah-tengah antara keduanya itu tak dapat bertemu pula dengan rombongan ini.

   Jalan yang ditempuh oleh Ang I Niocu dan Cin Hai, bertemu di Kota Ling-Sia, akan tetapi mereka mendiami dua buah hotel yang berlainan dan tak dapat bertemu pula! Ketika Ang I Niocu melanjutkan perjalanan pada pagi hari itu, Cin Hai masih berada di dalam kamarnya! Hanya seorang yang memperhatikan keberangkatan Ang I Niocu bahkan orang segera mengikuti dengan diam-diam, yaitu Sie Ban Leng yang selalu mengikuti Dara Baju Merah itu dan mencari kesempatan yang baik untuk menghubunginya. Ang I Niocu yang melakukan perjalanan dengan cepat, tidak tahu sama sekali bahwa diam-diam ada orang yang mengikutinya. Ketika ia tiba di sebuah jalan yang sunyi dan di kanan-kirinya tampak tanah yang penuh rumput hingga merupakan padang rumput yang luas, hari telah menjadi senja.

   Para penggembala sedang menghalau ternak mereka untuk pulang ke kandang, hingga di tempat itu ramai suara lembu menguak dan domba mengembik. Tiba-tiba, dari jalan simpang sebelah kiri, muncul dua orang Pendeta yang ketika dekat segera menghadang di tengah jalan sambil memandang kepada Ang I Niocu dengan tajam. Pendeta-Pendeta itu bukan lain ialah Sian Kek Losu dan Thai Kek Losu, jago nomor satu dan nomor dua dari Mongol! Ang I Niocu mengenal Sian Kek Losu sebagai Pendeta yang pernah bertempur melawan orang sombong di dalam hutan itu, maka diam-diam ia menjadi terkejut. Ia tidak mempedulikan mereka dan hendak berjaIan terus, akan tetapi Sian Kek Losu lalu berkata kepada Suhengnya,

   "Inilah seorang di antara mereka."

   Kemudian sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan sengaja menghadang jalan gadis itu, ia membentak.

   "Mata-mata Kerajaan, kau hendak lari ke mana?"

   Sambil berkata demikian Pendeta pendek ini lalu mengeluarkan gendewanya dan tiba-tiba tiga batang anak panah menyambar ke arah tubuh Ang I Niocu di bagian leher, dada dan lambung!

   Ang I Niocu telah menyaksikan kelihaian anak panah Pendeta pendek ini, maka dengan cepat ia lalu mengenjot tubuhnya ke atas hingga tiga batang anak panah itu lewat di bawah kakinya dengan cepat sekali! Sebatang di antara tiga buah anak panah itu meluncur cepat dan tepat sekali menancap di punggung seekor lembu hingga binatang itu menguak kesakitan dan berlari menubruk sana-sini mengacaukan lembu-lembu dan domba-domba lain yang segera berlari cerai berai! Para penggembala menjadi terkejut sekali, mereka mengayun cambuk mereka yang panjang hingga terdengar suara cambuk riuh rendah, dibarengi teriakan-teriakan mereka dalam usaha menenangkan ternaknya dan mengumpulkan sekalian binatang yang berlari-larian itu! Ang I Niocu menjadi marah sekali.

   "Pendeta pengecut! kau kira aku takut kepadamu? Rasakan pembalasan Ang I Niocu!"

   Secepat kilat Ang I Niocu lalu mencabut Pedangnya Cian-Hong-Kiam pemberian tunangannya dan maju menerjang Pendeta pendek itu! Sian Kek Losu lalu mengangkat gendewanya dan mereka segera bertempur dengan seru! Sebagai jago nomor dua dari Mongol, tentu saja Sian Kek Losu memiliki ilmu silat yang telah berada di tingkat yang tinggi hingga Ang I Niocu mengerahkan kepandaiannya. Ia mainkan Ilmu Pedang Ngo-Lian-Hoan Kiam-Hwat, dibarengi dengan gerakan-gerakan Sianli-Utauw yang lihai dan indah.

   "Bagus, bagus sekali!"

   Thai Kek Losu memuji oleh karena Pendeta tua ini merasa kagum melihat ilmu Pedang yang amat indah gerakannya itu. Ia maklum bahwa gadis baju merah ini merupakan lawan yang tangguh, apa lagi setelah ia mendengar bahwa gadis ini bukan lain ialah Ang I Niocu yang telah tersohor namanya sebagai seorang Pendekar wanita yang lihai. Maka sambil berseru keras ia lalu maju menerjang dan membantu sutenya.

   Terkejutlah hati Ang I Niocu melihat betapa angin pukulan yang dilakukan dengan kebutan ujung lengan baju Thai Kek Losu luar biasa sekali. Diam-diam ia mengeluh oleh karena untuk menjatuhkan Sian Kek Losu saja ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, apalagi sekarang ada seorang Pendeta tua yang luar biasa dan yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada Pendeta pendek itu. Ia menggigit bibirnya dan mainkan ilmu Pedangnya dengan sekuat tenaga. Pedang Cian-Hong-Kiam berkelebat cepat merupakan segulung sinar berkilauan hingga seluruh tubuhnya terkurung rapat. Namun, serangan kedua orang Pendeta Sakya Buddha yang berjubah merah itu benar-benar luar biasa, terutama serangan ujung lengan baju Thai Kek Losu berat sekali menekannya hingga beberapa kali Pedangnya kena disampok hingga lengannya terasa kesemutan. Pada saat itu terdengar bentakan orang,

   "Pendeta-Pendeta jahat jangan kalian berani mengganggu kawan baikku!"

   Dan ketika seorang laki-laki melompat dan menggunakan senjatanya yang berupa rebab, tahulah Ang I Niocu bahwa orang ini bukan lain ialah Sie Ban Leng yang berjuluk Si Tubuh Baja itu. Betapapun tidak sukanya melihat kesombongan orang ini, namun bantuannya yang datang secara tiba-tiba membuat Ang I Niocu merasa berterima kasih dan bernapas lega. Ia lalu memutar Pedangnya dan menghadapi Thai Kek Losu yang lihai, sedangkan Sie Bang Leng lalu menyerang Sian Kek Losu hingga kedua orang ini bertempur lagi dengan seru.

   Para penggembala yang melihat pertempuran ini menjadi ketakutan dan sebentar saja tempat itu menjadi sunyi karena semua ternak telah dihalau dengan buru-buru oleh para penggembala hingga kini yang terdengar hanyalah suara rebab Sie Ban Leng beradu dengan gendewa Sian Kek Losu. Memang kedua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang setingkat tingginya hingga pertempuran mereka merupakan pertempuran yang ramai. Sementara itu, menghadapi kelincahan Ang I Niocu yang luar biasa, Thai Kek Losu merasa kewalahan juga dan tiba-tiba ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak anak kecil yang terikat dengan rantai. Begitu senjata itu menyambar, Ang I Niocu telah merasa bergidik bulu tengkuknya dan gerakan Pedangnya menjadi kacau. Tidak saja dari tengkorak itu mengeluarkan bau yang membuatnya menjadi muak dan pusing,

   Akan tetapi juga tengkorak yang meringis dan seakan-akan muka anak kecil tengah menangis itu membuat hatinya lemah dan ngeri. Sebentar saja permainan Pedangnya menjadi kalut dan Thai Kek Losu mendesaknya dengan hebat. Keadaan Ang I Niocu berbahaya sekali, dan hal inipun mempengaruhi Sie Ban Leng karena ketika ia melihat betapa gadis yang menggiurkan hatinya itu terancam bahaya, perhatiannya terpecah dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Kek Losu untuk mendesaknya dengan gendewanya yang digerakkan secara luar biasa. Seperti halnya Cin Hai ketika mengadapi Thai Kek Losu, maka tengkorak yang seperti muka seorang anak-anak sedang menangis itu membuat Ang I Niocu menjadi lemah dan ia tidak berani menggunakan Pedangnya untuk menangkis atau membacok tengkorak itu,

   Karena hal ini seakan-akan seperti ia membacok kepala seorang kanak-kanak. Hatinya tidak tega dan berbareng merasa ngeri oleh karena selama hidupnya belum pernah ia menghadapi sebuah senjata sehebat ini. Seorang yang sedang mainkan senjata, apalagi di waktu bertempur menghadapi seorang lawan tangguh, yang terutama harus berhati tabah, tenang dan perhatian harus dicurahkan seluruhnya terhadap pertempuran itu. Dengan demikian, barulah ia akan dapat berkelahi dengan baik dan sempurna. Maka, setelah perhatiannya sebagian besar dikacaukan oleh senjata lawan yang mengerikan itu, maka ilmu Pedang Ang I Niocu menjadi kacau balau dan ia banyak membuat kesalahan-kesalahan.

   Sementara itu, desakan-desakan Thai Kek Losu makin hebat saja! Hanya berkat ketangkasan kaki tangannya yang diperoleh dari banyak pengalaman berkelahi saja yang membuat Ang I Niocu masih dapat bertahan selama itu! Pada saat keadaan Ang I Niocu amat berbahaya dan juga Sie Ban Leng ikut pula terancam, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa dan dua bayangan tubuh orang berkelebat mendatangi lalu tanpa banyak cakap kedua orang ini lalu menyerbu dan membantu Ang I Niocu dan Sie Ban Leng! Ketika melihat bahwa yang datang membantu ini adalah seorang Tosu yang mulutnya mewek mau menangis dan seorang Hwesio yang mulutnya menyeringai kegirangan, bukan main herannya hati Ang Niocu. Tak terasa pula ia berseru,

   "Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu! Bagaimana kalian bisa sampai ke sini? Dari mana Jiwi tiba-tiba datang?"

   Akan tetapi sambil berseru demikian, Ang I Niocu tetap mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dari serangan Thai Kek Losu.

   "Ha, ha, ha, Ang I Niocu! Tak nyana kita dapat bertemu di sini!"

   Ceng Tek Hosiang menjawab.

   "Tentu saja pinceng datang dari alam kosong!"

   Setelah menjawab dengan kelakar ini, Ceng Tek Hosiang lalu membantu Sie Ban Leng menghadapi Sian Kek Losu, sedangkan Ceng To Tosu membantu Ang I Niocu menghadapi Thai Kek Losu! Biarpun ia dapat mendesak Ang I Niocu akan tetapi Thai Kek Losu maklum bahwa ia tidak dapat cepat-cepat menjatuhkan Ang I Niocu yang benar-benar gagah itu, sedangkan Sian Kek Losu hanya dapat melawan Sie Ban Leng dalam keadaan berimbang saja, maka kini melihat datangnya seorang Hwesio dan seorang Tosu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga diam-diam Thai Kek Losu menjadi gentar. Sambil tertawa bergelak, Ceng Tek Hosiang berkata

   "Eh, dua orang Pendeta merah, bukalah matamu lebar-lebar! Kalian ini anak-anak kemarin sore berani mengganggu kawan-kawan pinceng? Belum kenalkah kalian akan kesaktianku? Lihat ini!"

   Sambil berkata demikian, Hwesio gendut yang selalu tertawa itu mengeluarkan pisau belatinya yang mengkilap.

   Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu siap sedia melihat Hwesio itu mengeluarkan pisau belati oleh karena mereka menyangka bahwa pisau itu tentu akan dilontarkan ke arah mereka dan menduga bahwa Hwesio itu tentulah seorang ahli Hui-To (golok terbang). Akan tetapi alangkah heran mereka ketika melihat betapa pisau itu diayun, kemudian ditusukkan ke arah perut yang gendut itu hingga pisau itu menancap sampai ke gagangnya! Akan tetapi segera keheranan mereka berubah menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa setelah pisau itu dicabut, perut yang gendut itu sedikit pun tidak terluka! Berkali-kali Ceng Tek Hosiang menancapkan "Pisau wasiatnya"

   Ke dalam perut hingga kedua Pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa heran dan terkejut! Hanya Buddha sendiri yang dapat memiliki ilmu kesaktian seperti itu!

   "Cobalah kau tiru perbuatanku tadi, kalau kau sanggup, biarlah pinceng mengalah tanpa berkelahi!"

   Kata Ceng Tek Hwesio sambil melontarkan pisau itu ke arah dada Thai Kek Losu. Dengan mudah Thai Kek Losu menjepit pisau itu dengan dua jarinya dan karena ia merasa penasaran, ia lalu memeriksa pisau itu seperti apa yang diperbuat oleh Cin Hai ketika ia bertemu dengan Hwesio ini. Ketika ia melihat bahwa pisau itu benar-benar pisau tulen dan tidak palsu, maka buru-buru ia menjura sambil berkata,

   "Kami yang bodoh telah bertemu dengan seorang sakti. Maafkan kami!"

   Maka ia lalu melempar pisau itu dengan perlahan ke arah Ceng Tek Hwesio yang ketika menyambut gagang pisau itu merasa betapa tangannya menjadi tergetar,

   Akan tetapi pada saat itu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu yang merasa gentar menghadapi Hwesio gendut yang mukanya seperti Jai-Lai-Hud dan yang kesaktiannya dapat dibandingkan dengan Sang Buddha sendiri itu telah pergi dengan cepat sekali! Ang I Niocu sendiri berdiri bagaikan patung karena heran dan terkejutnya melihat pertunjukan ini, akan tetapi Sie Ban Leng yang sudah tahu, hanya tertawa saja. Sebenarnya, kedua orang Pendeta ini masih berada di bawah kekuasaan Sie Ban Leng, oleh karena ketika Kam-Ciangkun memberi perintah kepada mereka dan Perwira-Perwira lain, Sie Ban Leng ditunjuk sebagai Pemimpin tertinggi dan wakilnya! Diam-diam Sie Ban Leng memberi isyarat dengan kedua matanya, hingga kedua orang Pendeta itu segera menghampiri Ang I Niocu sambil menjura.

   "Apakah Niocu selama ini baik-baik saja?"

   Kata Ceng To Tosu sambil mewek.

   "Terima kasih, dan atas pertolongan Jiwi aku tak lupa menyatakan bersyukur dan terima kasih pula."

   Sambil berkata demikian, Ang I Niocu masih saja memandang kepada Ceng Tek Hosiang dengan kagum dan heran. Kepandaian seperti yang didemonstrasikan oleh Hwesio gendut, biarpun Bu Pun Su sendiri belum tentu akan sanggup melakukannya! Setelah menjura lagi kepada Ang I Niocu dan Sie Ban Leng, kedua Pertapa yang sudah mendapat perintah untuk pergi dengan isyarat mata dari Sie Ban Leng tadi, lalu meninggalkan mereka tanpa banyak cakap lagi.

   "Mereka itu orang-orang aneh,"

   Kata Ang I Niocu.

   "Memang, orang-orang sakti memang bersikap aneh,"

   Kata Sie Ban Leng sambil maju mendekati Ang I Niocu dengan senyum yang memikat. Sebenarnya yang mengherankan hati Ang I Niocu dan yang membuat ia menganggap mereka aneh itu adalah demonstrasi dengan pisau tadi. Dulu ia pernah bertempur dengan Ceng Tek Hosiang dan tahu sampai di mana kepandaiannya, mengapa sekarang Hwesio gendut itu dapat memiliki ilmu kesaktian sehebat itu? Kemudian Dara Baju Merah ini teringat bahwa ia telah ditolong oteh Sie Ban Leng, maka cepat ia menjura sambil berkata,

   "Sie-Enghiong telah menolongku, banyak-banyak terima kasih!"

   Sie Ban Leng membalas penghormatan ini dan berkata sambil tersenyum,

   "Ah, Niocu terlalu merendah dan sungkan. Di antara kita sendiri perlu apa harus berlaku sungKan-Sungkan? Kalau kita tidak saling membantu, apakah patut kita disebut orang-orang gagah? Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya, Niocu hendak pergi ke manakah?"

   "Aku hendak pergi ke Lan-Couw,"

   Jawab Ang I Niocu sejujurnya.

   "Kebetulan sekali, aku pun hendak ke ibu Kota itu. Kalau tidak menjadi halangan dan kalau kau sudi, marilah kita jalan bersama-sama agar setiap waktu kalau bertemu dengan orang-orang jahat, kita dapat saling membantu. Di daerah ini memang banyak sekali terdapat orang-orang Mongol yang jahat, dan ada pula orang-orang Turki yang suka mengganggu bangsa kita."

   Ang I Nocu merasa serba salah. Ia merasa sungkan untuk jalan bersama orang ini, akan tetapi, Ban Leng telah menolongnya dan mereka memang setujuan, bagaimana ia dapat mengeluarkan kata-kata menolak atau menyatakan keberatan?

   "Aku tidak takut segala macarn penjahat, biar bangsa apapun juga!"

   Jawabnya sambil memandang tajam.

   "Akan tetapi kalau tujuan perjalanan kita sama, tiada salahnya kita jalan bersama."

   Bukan main girang hati Ban Leng oleh karena kesempatan yang dinanti-nanti itu kini telah tiba. Ia tidak perlu lagi mengikuti Dara Baju Merah yang telah menawan hatinya itu! Dan oleh karena Ban Leng memang pandai membawa diri dan cukup cerdik untuk tidak bersikap sombong dan kurang ajar, bahkan ia selalu memperlihatkan sikap sopan dan menghormat terhadap Ang I Niocu maka gadis itu pun mulai percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang kawan baik. Ketika Ang I Niocu secara sambil lalu bertanya kepada Ban Leng tentang keperluannya mengembara di Barat dan pergi ke Kan-Su, Ban Leng menarik napas panjang dan menjawab,

   "Lihiap, sebetulnya hal ini merupakan rahasia besar dan belum pernah kuceritakan kepada orang lain."

   Semenjak Ang I Niocu menyatakan tidak suka disebut "Niocu"

   Maka Ban Leng lalu mengubah sebutan menjadi "Lihiap".

   "Ah, kalau memang rahasia, tak perlu pula diceritakan kepadaku,"

   Jawab Ang I Niocu.

   "Kepadamu aku tidak mempunyai rahasia sesuatu, Lihiap. Terus terang saja kuberitahukan kepadamu bahwa aku bekerja untuk Kaisar dan kedatanganku di daerah ini pun atas perintah Kerajaan."

   Ang I Niocu tercengang.

   "Ah, kalau begitu kau adalah seorang Perwira yang menyamar?"

   "Bukan, aku bukan seorang Perwira akan tetapi aku hanya diminta membantu saja, mewakili pekerjaan Kam-ciangin yang kini menjadi Pemimpin Perwira Kerajaan menggantikan kedudukan Beng Kong Hosiang yang telah tewas. Oleh karena banyak terjadi hal-hal yang mencurigakan di daerah Kan-Su ini, dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol, maka aku mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka. Bahkan kedua orang yang dulu menolong kita, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, juga menjadi pembantu-pembantuku. Kami bekerja dengan diam-diam dan sebelum mendapat bukti-bukti, kami tidak mau turun tangan, sesuai dengan perintah Kam-Ciangkun."

   Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum.

   "Sebetulnya, apakah yang dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol itu di daerah ini?"

   "Inilah yang sedang kami selidiki, dan menurut laporan-laporan para pembantuku, memang ada hal yang amat menarik hati di samping maksud-maksud serombongan orang Turki yang hendak menyerbu negeri kita. Menurut hasil penyelidikan di daerah Kan-Su selain menjadi sumber penghasilan bagi perantau-perantau itu, juga di ibu Kota terdapat harta terpendam yang luar biasa besar nilainya. Harta terpendam inilah agaknya yang menarik hati jago-jago dari Mongol dan Turki mendatangi tempat ini dalam usaha mereka untuk mencari dan mendapatkannya."

   Ang I Niocu merasa tertarik sekali, tetapi ia tidak banyak cakap dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri keadaan ini. Dalam perjalanan bersama ini, makin lama makin nampak jelas sikap Ban Leng yang seringkali memandang dengan mata mengandung perasaan hatinya secara terbuka, bahkan dalam sikapnya juga mudah saja diterka bahwa laki-laki ini "jatuh hati"

   Kepadanya. Hal ini tidak dipedulikan oleh Ang I Niocu walaupun ada juga sedikit perasaan iba di dalam hatinya. Entah bagaimana, dalam penglihatannya, kedua mata Ban Leng mengingatkan dia akan Cin Hai.

   Sama benar mata Ban Leng ini dengan mata Cin Hai, sama lebar dan sama tajam, hanya sedikit bedanya kalau Cin Hai menggerakkan bola matanya dengan tenang hingga nampak seperti orang bodoh, adalah Ban Leng menggerakkannya dengan lincah, tanda bahwa otaknya kerja cepat dan wataknya cerdik. Sementara itu, Cin Hai tertinggal dua hari oleh Ang I Niocu karena pemuda ini melakukan perjalanan dengan seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Tiap kali melalui bukit, ia menikmati tamasya alam di daerah itu dan tiap kali melalui dusun atau Kota, ia tentu berhenti sebentar, bahkan kadang-kadang bermalam untuk mengenal tempat itu lebih baik. Penghidupan di daerah itu menarik hatinya, terutama melihat banyaknya macam suku-suku bangsa yang berdiam di tempat itu secara berkelompok-kelompok.

   

Pendekar Sakti Eps 6 Pendekar Sakti Eps 2 Dara Baju Merah Eps 2

Cari Blog Ini