Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bodoh 30


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



Pada suatu hari Cin Hai melihat serombongan orang Turki terdiri dari lima orang berjalan masuk ke dalam sebuah dusun. Ketika melihat bahwa Wai Sauw Pu, Kakek bersorban itu berada di dalam rombongan tadi, timbul keinginan hati Cin Hai untuk mengikuti mereka. Kelima orang itu masuk ke dalam sebuah pondok dan karena hari itu sudah mulai gelap, dengan berani dan cekatan Cin Hai melompat ke atas genteng dan bersembunyi di atas sambil mengikuti. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika mendengar pembicaraan mereka dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tidak mengerti. Ia hendak meninggalkan tempat itu akan tetapi ketika ia mendengar Wai Suaw Pu menyebut-nyebut nama Yousuf, ia membatalkan niatnya itu dan terus mengintai.

   Tak lama kemudian, kelima orang itu yang agaknya menanti sampai malam tiba, lalu meninggalkan pondok dan menuju ke sebuah pondok yang terpencil dan berada di sebelah Utara di ujung dusun itu. Wai Sauw Pu mengetuk pintunya dan ketika pintu dibuka oleh seorang Turki yang sudah tua, kelima orang itu tanpa permisi lalu melangkah masuk. Cin Hai melihat betapa kedua mata Kakek Turki itu terbelalak ketakutan, maka ia lalu melompat naik ke atas genteng dan membuka sebuah genteng melakukan pengintaian. Cin Hai melihat betapa kelima orang itu melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan wajah bengis, sedangkan Kakek itu menjawab dengan takut-takut seakan-akan kelima orang itu sedang mendesak untuk mengakui sesuatu yang disangkal oleh Kakek itu,

   Ternyata bahwa berkali-kali ia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangan. Kemudian agaknya Wai Sauw Pu menjadi marah sekali karena dengan tangan kiri ia memegang leher baju orang tua itu sambil membentak-bentaknya. Kemudian tangan kanannya menampar hingga tubuh Kakek itu terlempar dan menubruk dinding. Tamparan tangan Wai Sauw Pu keras sekali hingga Kakek itu mengeluh dengan suara perlahan dan tak dapat bangun pula. Wai Sauw Pu melangkah maju, hendak menampar pula agaknya, akan tetapi pada saat itu, sebuah benda melayang dari atas dan hampir saja mengenai tangannya kalau saja ia tidak cepat mengelak. Sambaran benda yang ternyata sepotong genteng itu, disusul oleh melayangnya tubuh Cin Hai dalam pondok, sambil membentak,

   "Orang-orang kejam jangan menyiksa orang tua yang lemah!"

   Bukan main terkejutnya hati Wai Sauw Pu ketika melihat bahwa yang melayang turun itu adalah pemuda yang dulu membela Yousuf dan Lin Lin di dalam hutan. Ia telah merasai kelihaian pemuda ini, maka hatinya menjadi gentar. Tidak demikian dengan keempat orang kawannya yang belum mengenal Cin Hai, maka dengan Golok di tangan mereka maju menerjang pemuda asing ini.

   Cin Hai menggerakkan kedua tangannya dan oleh karena kawan-kawann Wai Siauw Pu itu ternyata memiliki ilmu silat biasa saja, sekali tubuhnya bergerak, dua batang Golok telah dapat dirampas dan pemilik-pemilik Golok terpelanting roboh! Dua batang Golok yang kini berada di tangan Cin Hai itu tiba-tiba dilontarkan ke arah Wai Siauw Pu yang segera melompat ke samping dan Kakek bersorban ini terus melompat melalui jendela dan lari! Kawan-kawannya juga segera melarikan diri keluar dari pintu, sedangkan dua orang yang tadi terpelanting jatuh, merayap-rayap dan kemudian lari pula ke luar. Ternyata bahwa Wai Siauw Pu tidak berani menghadapi Cin Hai seorang diri saja oleh karena kawan-kawannya adalah orang biasa yang tak dapat diandalkan tenaganya. Cin Hai tidak mau mengejar, hanya menghampiri Kakek yang masih rebah di atas lantai sambil merintih-rintih itu.

   "In-Kong (Tuan Penolong)... terima kasih... terima kasih..."

   Katanya dalam bahasa Han yang kaku sambil terengah-engah. Ketika Cin Hai mengangkat tubuh Kakek itu untuk dibaringkan di atas dipan, ia menjadi terkejut sekali oleh karena melihat betapa kepala Kakek itu yang tadi terbentur tembok telah mendapat luka yang besar dan berbahaya sekali.

   "Lopek, mengapa mereka itu memusuhimu?"

   "Mereka adalah pengikut-pengikut"Pangeran muda... kejam dan ganas..."

   Akan tetapi tiba-tiba wajah yang menyeringai kesakitan itu lalu tersenyum.

   "Akan tetapi jangan harap akan dapat merampas ini... biar mereka membunuhku sekalipun..."

   Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya. In Kong... aku sudah tua, lukaku berat, tiada gunanya kau tolong aku... kalau kau memang seorang gagah yang berhati mulia... tolonglah saja benda ini, jangan sampai terjatuh ke dalam tangannya..."

   Cin Hai menerima bungkusan itu dengan perasaan kasihan dan terheran. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan bertanya,

   "Lopek, apakah kau seorang pengikut Pangeran tua dan kenalkah kau kepada Ibrahim dan Yousuf?"

   Mata yang sudah layu itu bercahaya kembali.

   "Tentu saja... Yousuf adalah kemenakanku... kau...kau jagalah benda ini baik-baik... mereka menghendaki benda ini... bangsa-bangsa itu, agaknya berani mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini... In-Kong, kau boleh pergunakan benda ini dan... dan selain Yousuf atau Ibrahim sendiri, jangan berikan benda ini kepada orang lain!"

   "Baiklah, Lopek. Kau tidak memilih keliru, karena terus terang saja, aku ialah seorang sahabat baik dari Yousuf."

   Wajah Kakek itu berseri, akan tetapi segera berkata,

   "Pergilah, lekas pergi!"

   Ketika melihat wajah Cin Hai yang ragu-ragu dan tidak tega meninggalkannya dalam keadaan demikian, Kakek itu berkata lagi.

   "Pergilah lekas dan jangan kuatirkan aku... aku dapat merawat diri sendiri...!"

   Terpaksa Cin Hai lalu melompat pergi dari tempat itu dengan benda terbungkus itu di dalam saku bajunya. Ia tidak tahu bahwa belum lama ia pergi, beberapa bayangan orang Turki masuk ke dalam pondok itu dan kemudian setelah mereka meninggalkan pondok, Kakek itu telah tak bernyawa pula dengan dada tertusuk pisau!

   Sambil melanjutkan perjalanannya, Cin Hai mencoba untuk melihat apa gerangan isi bungkusan yang demikian dikehendaki oleh Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya. Benda itu terbungkus dengan kain kuning dan ketika ia membuka bungkusan itu, ternyata bahwa isinya hanyalah sebuah tutup cawan terbuat daripada perak! Cin Hai hampir tak dapat menahan gelak tawanya melihat benda ini. Hanya tutup cawan dari perak yang harganya tidak beberapa banyak! Ia membolak-balik benda itu di atas telapak tangannya dan memandangnya dengan heran. Tutup cawan itu kecil saja, terbuat daripada perak bakar dan pada mukanya terdapat ukiran-ukiran berupa bunga-bunga yang tak dapat disebut indah. Selain ukiran ini, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan pada tutup cawan ini.

   Kalau saja tidak teringat akan permintaan Kakek itu, tentu Cin Hai sudah melemparkan benda itu jauh-jauh, karena menurut pendapatnya, apakah harganya sebuah tutup cawan? Akan tetapi Cin Hai memiliki watak yang setia dan sifat yang gagah, maka sekali berjanji, betapapun juga tentu akan memegang teguh janjinya itu. Maka sambil tersenyum ia lalu membungkus kembali tutup cawan itu dan memasukkannya kembali ke dalam saku. Ketika ia melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba dari belakang terdengar derap kaki kuda dan ketika enam orang peunggang kuda telah datang dekat, ternyata bahwa mereka itu adalah Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya! Wai Sauw Pu melompat turun dari kudanya dan menjura kepada Cin Hai yang memandangnya dengan terheran tanpa membalas penghormatan itu.

   "Sicu, kami harap kau suka mengembalikan tutup cawan itu kepada kami."

   "Apa maktudmu?"

   Cin Hai membentak marah.

   "Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan kalian dan selama hidupku belum pernah aku meminjam atau menerima sebuah tutup cawan dari kalian!"

   Wai Sauw Pu tersenyum akan tetapi matanya memandang tajam.

   "Sicu, harap kau maafkan kalau beberapa kali kita bertemu dalam keadaan yang kurang enak. Sebetulnya kami tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan Sicu atau dengan kawan-kawan Sicu. Akan tetapi tutup cawan itu adalah barang Pusaka kami yang tercuri oleh Kakek tua itu, maka tentu saja Sicu takkan sudi untuk menyimpannya lebih jauh oleh karena kami tahu bahwa maling tua itu telah memberikannya kepadamu."

   "Memang barang itu ada padaku akan tetapi aku telah berjanji kepada Kakek tua itu untuk menyimpannya dan tak boleh memberikannya kepadamu!"

   "Jadi Sicu lebih percaya kepada maling tua yang jahat itu?"

   "Maling tua itu, kalau benar-benar ia maling, tidak lebih jahat dari pada kau dan kaki tanganmu!"

   Bentak Cin Hai yang marah ketika teringat betapa Kakek bersorban yang tinggi besar ini telah memukul Kakek itu dengan kejam. Mendengar ini, Wai Sauw Pu menjadi marah sekali dan cepat ia mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu segulung Tasbeh dari gading. Juga kawan-kawannya telah mengeluarkan senjata masing-masing. Ketika Cin Hai memandang, ia melihat bahwa di antara semua kawanan itu, terdapat juga Lok Kun Tojin, Tosu yang bersenjata sepasang roda pakai tali itu! Ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang tangguh. Apalagi sekarang ia tidak mempunyai Pedang dan terpaksa harus melawan mereka dengan tangan kosong, paling banyak dengan Sulingnya!

   "Sicu, sekali lagi dengarlah kata-kataku. Kau masih muda dan gagah, sedangkan di antara kita tidak ada permusuhan sesuatu. Tutup cawan dari perak itu, apakah harganya bagimu? Kalau kau suka, kami sanggup mengganti atau menukarnya dengan tutup cawan dari emas tulen!"

   Kata pula Wai Sauw Pu membujuk.

   "Eh, sebenarnya, apakah kehendak kalian dengan tutup cawan itu?"

   Tanya Cin Hai.

   "Aku mengukuhi benda itu bukan karena ingin memilikinya, akan tetapi hanya karena aku sudah berjanji untuk melindunginya. Ini tidak aneh, akan tetapi kalian ini benar-benar aneh! Mengapa untuk sebuah tutup cawan dari perak kalian hendak menggantinya dengan sebuah dari emas?"

   "Sicu, ini adalah urusan dan kepentingan pribadi, kepentingan bangsa kami. Sudah kukatakan tadi bahwa benda itu adalah barang Pusaka Kerajaan kami, maka harap Sicu suka memaklumi hal ini dan mengembalikan barang itu,"

   Kata pula Wai Sauw Pu, bahkan kawan-kawannya pun memandangnya dengan heran.

   "Malaikat Tasbeh! Kau jangan membohongi aku, karena biarpun aku disebut Pendekar Bodoh, akan tetapi aku bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Kau tadi menyebut Kerajaan Turki sebagai Kerajaan kalian sedangkan aku tahu bahwa kau adalah seorang dari Sin-kiang! Bahkan beberapa orang kawanmu ini pun bukan seorang bangsa Turki. Apakah kau ini seorang belian dari Turki, ataukah sekarang Sin-kiang sudah menjadi tanah jajahan Turki? Ha, ha, ha! Wai Sauw Pu, peribahasa kuno menyatakan bahwa anak yang melawan orang tuanya adalah seorang durhaka, akan tetapi seorang yang mengkhianati negara sendiri adalah orang yang berbatin rendah sekali! Dan kau tentu tidak suka kalau disebut seorang pengkhianat negara?"

   "Bangsat bermulut lancang!"

   Wai Sauw menggerakkan Tasbehnya dengan marah.

   "Jangan banyak cakap, pendeknya kau kembalikan benda itu atau tidak?"

   "Tidak ada persoalan menerima dan mengembalikan,"

   Jawab Cin Hai dengan tenang.

   "Aku tak pernah menerimanya darimu dan takkan mau pula mengembalikan. Ucapan dan janji seorang gagah lebih berharga daripada jiwa, tahukah kau?"

   "Keparat!"

   Wai Sauw Pu lalu menggerakkan Tasbehnya dan manyerang ke arah Cin Hai! Pemuda ini dengan sigapnya mengelak, akan tetapi kawan-kawan Wai Sauw Pu telah melompat turun dan menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Cin Hai yang bertangan kosong! Cin Hai terpaksa mencabut keluar Sulingnya karena menghadapi sekian orang lihai dengan bertangan kosong adalah amat berbahaya. Walaupun Sulingnya hanya terbuat daripada Bambu tipis, akan tetapi oleh karena ia mainkan Suling itu dalam Ilmu Pedang Daun Bambu, maka ujung Sulingnya mengancam jalan darah semua lawannya hingga mereka tidak berani mengurung terlalu dekat! Akan tetapi, Tasbeh dari Wai Sauw Pu dan senjata roda Lok Kun Tojin benar-benar berbahaya dan tiap kali Sulingnya yang ringan itu akan terbentur oleh kedua senjata itu,

   Sulingnya terpaksa ia gerakkan untuk menghindari benturan ini karena takut kalau-kalau Sulingnya pecah dan rusak! Sebetulnya kalau Cin Hai tidak menguatirkan kerusakan Sulingnya, ia tak usah merasa gentar, oleh karena yang terlihai di antara semua pengeroyoknya hanyalah Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin, sedangkan empat orang yang lainnya adalah orang-orang yang memiliki tenaga besar belaka, akan tetapi ilmu silat mereka masih jauh di bawah tingkatnya. Akan tetapi ia pikir bahwa sesungguhnya ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan mereka, maka tidak ada perlunya untuk menewaskan mereka atau melayani mereka lebih lama lagi. Ia segera memutar-mutar Sulingnya dan memainkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Pek-In Hoat-Sut hingga dua orang pengeroyok dapat ia robohkan tanpa menderita luka hebat,

   Kemudian ia lalu lompat keluar dari kurungan mereka berlari secepatnya meninggalkan tempat itu! Lawan-lawannya segera mengejar sambil menunggang kuda, akan tetapi mereka tak dapat mengejar Cin Hai yang mempergunakan Ilmu Lari Cepat Jouw-Sang-Hui, hingga sebentar saja ia telah meninggalkan mereka jauh-jauh! Akan tetapi musuh-musuhnya itu tidak mau membiarkan dia pergi dengan aman dan semenjak saat itu, Cin Hai selalu merasa bahwa ia diikuti orang! Ke mana juga ia pergi, bahkan ketika ia bermalam di hotel-hotel ia merasa pasti bahwa dirinya sedang diintai dan diikuti orang secara diam-diam. Ia menjadi jengkel sekali dan mulai merasa betapa tugas yang ditimpakan oleh Kakek Turki itu ke atas pundaknya, bukanlah tugas yang ringan.

   Ia maklum bahwa pada suatu saat, orang-orang Turki pengikut Pangeran muda itu pasti akan muncul dan mengeroyoknya dengan tenaga sepenuhnya. Maka ia menjadi gelisah juga, karena sedikitnya, walaupun ia tak pernah merasa takut, hal ini mengganggu tidurnya dan ia tidak dapat menikmati perjalanannya, karena ia selalu harus berlaku waspada dan hati-hati. Dua hari kemudian, sampailah ia di Lan-Couw, ibu Kota Kan-Su. Ketika ia tiba di luar tembok Kota, ia melihat sebuah rumah terpencil di pinggir jalan. Tadinya ia hendak melewatinya saja, akan tetapi, tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa orang Turki berkelebat di rumah itu, maka ia menjadi tertarik dan segera melompat pula menghampiri pondok itu. Ketika ia tiba di dekat jendela pondok yang terbuka, ia mendengar suara orang bicara.

   Pada saat itu ia mengalami dua macam hal yang amat mengejutkan hatinya, bahkan membuat wajahnya menjadi pucat. Yang pertama ialah suara yang keluar dari dalam pondok itu! Jelas terdengar olehnya dua orang, seorang laki-laki dan seorang wanita, sedang bicara dan suara wanita itu mengingatkan ia kepada Ang I Niocu! Hal kedua yang mengejutkan hatinya ialah ketika mendapat kenyataan bahwa rumah itu berikut dirinya, telah terkurung dari segenap penjuru oleh orang-orang Turki yang dikepalai oleh Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin, bahkan Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli juga kelihatan bayangannya! Akan tetapi hal ke dua ini tidak ia pedulikan, yang lebih menarik hatinya adalah suara wanita itu. Ia mendekatkan telinganya pada jendela dan mendengar suara wanita itu berkata dengan suara yang tandas dan nyaring, akan tetapi merdu,

   "Jangan kau ulangi lagi ucapanmu tadi!"

   "Lihiap... tidak kasihankah kau kepadaku? Biarlah kau boleh menjadi marah dan boleh pula membunuhku, akan tetapi aku harus selalu mengulangi pernyataanku tadi. Aku cinta kepadamu, Lihiap! Apa dayaku? Aku adalah seorang berdosa besar yang tadinya hendak mengasingkan diri dan menyucikan diri untuk menebus dosaku, akan tetapi, semenjak aku melihat wajahmu, timbul kegembiraan hidupku. Lihiap, mungkin di dunia ini ada orang yang mencintaimu seperti aku!"

   Terdengar suara seorang laki-laki berkata.

   "Cukup tutup mulutmu! Untuk ucapan ini saja kalau aku tidak ingat bahwa kau pernah menolongku, dan tidak ingat bahwa kau mengingatkan daku akan seorang yang amat kuhargai, tentu sekarang juga sudah kucabut Pedangku untuk menabas batang lehermu!"

   "Lihiap, kalau aku melawan, belum tentu kau akan dapat menang, akan tetapi, aku tak sampai hati mengangkat tangan melawanmu. Kau boleh perlakukan aku sesuka hatimu, akan tetapi kasihanilah aku dan janganlah kau sia-siakan cinta kasihku!"

   Cin Hai tak dapat menahan lagi gelora hatinya oleh karena ia tak ragu-ragu lagi bahwa itu adalah suara Ang I Niocu! Ia cepat membuka daun jendela dan memandang ke dalam. Benar saja, yang berada di dalam pondok itu adalah Ang I Niocu dan seorang laki-laki. Ang I Niocu berdiri tegak dengan tangan kanan di gagang Pedangnya sedangkan laki-laki itu berlutut di depannya!

   "Niocu...!"

   Cin Hai berteriak dengan wajah pucat dan bibir menggigil karena masih belum percaya bahwa dara yang baju merah itu benar-benar Ang I Niocu! Dara Baju Merah itu berpaling cepat dan mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat Cin Hai.

   "Hai-Ji..."

   Serunya dengan suara menggetar, lalu tubuhnya melompat keluar jendela. Mereka berdiri berhadapan, sedangkan Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.

   "Niocu... Niocu... benar-benarkah kau ini... apakah aku tidak sedang bermimpi..."

   Sambil berkata demikian, air mata mengalir ke atas kedua pipi Cin Hai. Ang I Niocu memegang kedua tangan Cin Hai.

   "Hai-ji... tidak, kau tidak sedang dalam mimpi. Aku betul Kiang Im Giok yang telah terlepas dari bencana di Pulau Kim-San-To."

   Saking girangnya, ingin Cin Hai memeluk dara ini, akan tetapi sebaliknya lalu menjatuhkan diri berlutut. Ang Niocu mengangkat bangun padanya lalu sambil menaruh kedua tangan pada pundak pemuda itu, dan air mata berlinang di bulu matanya, Ang I Niocu berkata sambil tersenyum penuh keharuan hati dan kegirangan,

   "Hai-ji, kau benar-benar telah dewasa sekarang. Bahkan kau telah nampak masak. Di mana Lin Lin?"

   "Dia ikut belajar silat dengan Suhu."

   Ang I Niocu mengangguk girang, dan sebelum ia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dari jendela itu berkelebat bayangan Ban Leng yang segera mengayun rebabnya ke atas kepala Cin Hai. Cin Hai berkelit cepat dan sekarang barulah ia mengenal laki-laki ini sebagai orang yang dulu pernah pula menyerangnya di tepi Sungai Huang-Ho.

   "Eh, eh, tunggu dulu, kawan!"

   Teriaknya dengan marah dan heran, sedangkan Ang I Niocu membentak pula,

   "Saudara Sie Ban Leng, jangan kau sembarangan turun tangan!"

   Bukan main terkejut hati Cin Hai mendengar nama ini hingga ia tertegun bagaikan patung dan memandang ke arah pamannya itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Jadi inilah paman Sie Ban Leng yang dulu mengkhianati Ayah bundanya? Akan tetapi, sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba orang-orang Turki yang tadi ia lihat, telah mendatangi dengan cepat dan mengurung rumah itu! Sie Ban Leng terkejut sekali dan tiba-tiba ia bersuit keras memberi tanda kepada kawan-kawannya, lalu ia sendiri tanpa banyak cakap lalu memutar-mutar rebabnya menyerang Wai Sauw Pu. Wai Sauw Pu menggerakkan Tasbehnya dan berkata dengan marah,

   "Tangkap tiga tikus ini!"

   Maka majulah semua orang Turki mengeroyok, hingga Ang I Niocu lalu mencabut Pedangnya dan Cin Hai juga menggerakkan Sulingnya, bertempur menghadapi sekian banyaknya pengeroyok di dekat Ang I Niocu. Tak lama kemudian, datanglah kawan-kawan Sie Ban Leng, yaitu Perwira-Perwira yang menyamar, bahkan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu muncul pula hingga sebentar saja terjadi pertempuran hebat antara orang-orang Kaisar melawan orang-orang Turki.

   "Niocu, sebenarnya mereka ini datang untuk menangkap aku!"

   Kata Cin Hai sambil menangkis serangan lawan yang kini tidak begitu rapat lagi karena datangnya bala bantuan.

   "Mengapa?"

   Tanya Ang I Niocu sambil mengirim tendangan kepada seorang pengeroyok hingga orang yang tertendang itu terguling dan tak dapat bangun pula.

   "Karena aku membawa sebuah tutup cawan perak yang tidak berharga!"

   Jawab Cin Hai sambil tertawa. Akan tetapi mendengar jawaban ini, tiba-tiba Ang I Niocu memandangnya dengan mata terbelalak.

   "Tutup cawan perak yang berukir di atasnya?"

   Tanyanya.

   "Betul,"

   Jawab Cin Hai sambil memandang heran.

   "Bagaimana kau bisa tahu?"

   "Hai-ji, cepat! Mari kita keluar dari kepungan ini! Saat yang baik kita pergunakan. Selagi mereka bertempur, kita boleh bekerja cepat!"

   Biarpun tidak mengerti akan maksud gadis itu, namun Cin Hai lalu memutar Sulingnya dan dengan cepat lalu mengikuti Ang I Niocu yang telah melompat keluar dari kalangan pertempuran, lalu keduanya lari cepat memasuki Kota Lan-Couw. Ternyata Ang I Niocu membawanya menuju ke Gua Tun-Huang yang beratus-ratus banyaknya itu.

   "Coba kau keluarkan tutup cawan itu, Hai-ji,"

   Kata Ang I Niocu dan ketika Cin Hai membuka bungkusan tutup cawan dan memberikannya kepada gadis itu, Ang I Niocu juga mengeluarkan sebuah cawan dan ternyata bahwa tutup itu memang pas betul. Ketika tutup cawan itu dipasang di atas cawan, Ang I Niocu memperhatikan gambar ukirannya dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berseri-seri, dan ia berkata,

   "Gua ke tiga puluh enam dari kiri! Hayo Cin Hai, jangan membuang waktu!"

   Sambil berlari-lari mencari gua ke tiga puluh enam dari kiri Cin Hai tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang rahasia cawan dan tutupnya.

   "Ketahuilah bahwa sepasang cawan dan tutupnya ini merupakan peta yang menunjukkan kita ke arah tempat penyimpanan Harta Pusaka terpendam yang berada di dalam gua-gua ini."

   Cin Hai makin terheran dan ia segera berkata,

   "Niocu, aku pun mendapat tugas dari Suhu untuk mencari sepasang Pedang, yaitu Liong-Cu-Kiam yang katanya berada di dalam gua-gua di Tun-Huang ini."

   "Nah, itulah,"

   Kata Ang I Niocu girang.

   "Dan selain sepasang Pedang itu, masih terdapat harta yang luar biasa banyaknya!"

   Cin Hai hendak bertanya lagi, akan tetapi mereka telah tiba di gua ke tiga puluh enam itu dan segera mereka masuk ke dalam gua yang besar itu.

   "Mari kita memeriksa kalau-kalau ada terowongan atau pintu tembusan!"

   Kata Ang I Niocu. Keduanya lalu memeriksa seluruh lantai dan dinding gua yang penuh dengan ukiran dan batu-batu berupa patung-patung Buddha, akan tetapi tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan. Mereka mendorong-dorong dinding, membersihkan lantai, memeriksa dengan amat teliti, akan tetapi hasilnya nihil. Cin Hai lalu tidak sabar dan ia lalu duduk mengaso dan berkata kepada Ang I Niocu yang masih mencari-cari.

   "Niocu, untuk apakah tergesa-gesa? Marilah kita duduk bercakap-cakap dulu dan kau ceritakan pengalamanmu semua. Aku ingin sekali mendengar dan juga kau tentu ingin mendengar pengalamanku semenjak berpisah."

   "Nanti saja, Hai-ji, orang-orang Mongol dan Turki serta orang-orang Kaisar juga mencari Harta Pusaka ini. Kalau mereka tahu kita berada di sini tentu mereka akan datang menyerbu,"

   Kata Ang I Niocu sambil masih memeriksa kanan kiri.

   "Tentang pengalamanmu, sebagian banyak aku sudah mendengar dari Kwee An dan Ma Hoa."

   "Apa??"

   Cin Hai melompat memegang lengannya.

   "Kau telah bertemu dengan mereka? Masih hidupkah mereka?"

   Ang I Niocu tersenyum manis sambil memandangnya.

   "Kalau mereka sudah meninggal, bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka?"

   Bukan main girang hati Cin Hai mendengar warta ini.

   "Aduh, alangkah mulia dan besarnya hari ini!"

   Ia berkata memandang ke atas seakan-akan berdoa dan memuji nama Thian Yang Agung.

   "Melihat Niocu masih hidup, mendengar Ma Hoa dan Kwee An selamat"

   Tiba-tiba ia melompat bangun dan berkata,

   "Niocu kita sudah memeriksa lantai dan dinding, mengapa kita lupakan di atas?"

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Ang I Niocu heran.

   "Langit-langit itu,"

   Kata Cin Hai sambil menuding ke atas.

   "Siapa tahu kalau-kalau di situ letak rahasia yang kita cari?" Ang I Niocu berseri dan pada wajahnya yang cantik timbul harapan baru. Mereka lalu memeriksa lagi dengan teliti dan akhirnya mereka harus memeriksa cawan itu lagi dengan segala ukiran. Setelah memeriksa sampai mata mereka terasa pedas, akhirnya mereka mendapatkan sebuah lukisan pada tutup cawan itu yaitu lukisan patung Buddha yang duduk bersila.

   "Ah, aku tadi pernah melihat lukisan ini!"

   Kata Cin Hai dan ia bersama Ang I Niocu mulai mencari-cari lagi dan memeriksa seluruh ukiran yang berada di dinding dan di langit-langit.

   
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Itulah dia!"

   Kata Ang I Niocu sambil menunjuk ke atas.

   Benar saja, di ujung kiri dari langit-langit gua ini, terdapat sebuah lukisan yang serupa benar dengan ukiran pada kepala cawan itu, yaitu sebuah patung Buddha yang duduk bersila. Mereka lalu meneliti cawan itu lagi, oleh karena masih belum tahu apa maksud persamaan ukiran ini. Dan tahulah mereka kini. Biarpun ukiran itu campur aduk, akan tetapi apabila diteliti melihatnya, ternyata Setangkai bunga yang menghubungkan Patung Buddha itu ke bawah. Mereka lalu mencari tangkai bunga ini di dinding gua dan akhirnya mereka dapat menemukannya. Dari ukiran di atas itu terdapat ukiran bunga yang terus menuju ke bawah dan berakhir pada punggung sebuah batu yang berdiri di dekat dinding.

   "Jangan-jangan inilah rahasianya!"

   Kata Cin Hai sambil memutar-mutar patung itu, ternyata biarpun tidak berapa besar, akan tetapi patung itu berat sekali.

   "Niocu, mari kita pindahkan patung yang berat ini, siapa tahu kalau-kalau di bawahnya terdapat pintu rahasia!"

   Ang I Niocu lalu membantu dan dengan persatuan tenaga mereka, terangkatlah patung itu.

   "Awas!!"

   Tiba-tiba Ang I Niocu berseru. Mereka segera menurunkan kembali patung itu dan cepat melompat mundur karena dari atas tiba-tiba terbuka sebuah lubang di atas itu! Ternyata bahwa patung ini, dipasangi tali baja yang menghubungkan patung itu dengan sebuah pintu di langit-langit gua. Tali baja ini tidak dapat dilihat oleh karena dipasang di dalam dinding batu yang sengaja dibuat oleh orang-orang kuna untuk menutupi rahasia ini. Ang I Niocu dan Cin Hai merasa terkejut sekali akan tetapi juga girang. Mereka berdua saling pandang sambil tersenyum dan biarpun hati mereka sangat ingin membuka peti itu, akan tetapi mereka masih berdebar-debar dan untuk beberapa lama mereka hanya berdiri saja.

   "Niocu, hayo kita buka peti itu. Siapa tahu di dalamnya penuh dengan emas permata!"

   "Jangan-jangan terisi binatang beracun. Bagaimana kalau ada ular berbisa di dalamnya?"

   Kata Ang I Niocu sambil tertawa. Keduanya lalu maju dan bersama-sama membuka tutup peti itu dan mereka tercengang sekali. Ketika tutup peti itu dibuka, nampaklah sinar cahaya yang berkilauan gemilang keluar dari peti itu dan ketika mereka telah membiasakan mata mereka yang tadinya menjadi kesilauan, mereka melihat bahwa peti kecil itu terisi dua batang Pedang yang indah sekali dan yang mengeluarkan cahaya berkilauan!

   "Ah, inilah Liong-Cu-Kiam!"

   Kata Cin Hai dan Ang I Niocu mengangguk.

   "Agaknya benar juga, inilah Pedang yang dimaksudkan oleh Susiok-Couw Bu Pun Su itu!"

   Otomatis mereka lalu mengulurkan tangan dan tanpa disengaja mereka telah mengambil Pedang yang sesuai dengan mereka. Cin Hai mengambil Pedang yang lebih panjang dan yang pada gagangnya selain tertulis nama Pedang itu, yaitu Liong-Cu-Kiam, juga terdapat huruf "jantan", sedangkan Pedang yang terambil oleh Ang I Niocu terdapat huruf "Betina"!

   "Bagaimana Niocu? Harus kita apakan Pedang ini?"

   "Eh, anak bodoh!"

   Kata Ang I Niocu dan wajah Cin Hai menjadi merah berseri karena sudah lama ia rindu akan sebutan ini yang keluar dari mulut Ang I Niocu.

   "Tentu saja Pedang ini kita serahkan kepada Susiok-Couw! Akan tetapi sementara ini biarlah kita membawa Pedang ini seorang satu."

   "Niocu, lubang di atas itu besar dan gelap, mungkin di situlah tersimpannya harta yang kau sebutkan itu."

   Keduanya lalu berdiri dan memandang ka atas akan tetapi karena lubang itu benar-benar gelap menghitam, mereka tidak melihat sesuatu.

   "Marilah kita periksa ke atas, biarkan aku memasukinya,"

   Kata Cin Hai akan tetapi pada saat itu di luar terdengar banyak suara kaki orang.

   "Hai-ji, lekas kita kembalikan patung itu!"

   Keduanya lalu mengangkat kembali patung tadi ke tempat semula dan aneh! Lubang itu tertutup dengan sendirinya dari atas! Cin Hai hendak berlari keluar, akan tetapi tiba-tiba tangan Ang I Niocu memegang lengannya,

   "Jangan keluar dulu, mungkin kalau terlihat oleh mereka, akan menimbulkan kecurigaan!"

   Keduanya lalu bersembunyi sambil mengintai dari dalam gua dan setelah rombongan orang yang terdengar bunyi kakinya itu lewat, Ang I Niocu dan Cin Hai lalu melompat keluar dari dalam gua dengan Pedang Liong-Cu-Kiam di tangan. Setelah tiba di luar gua, keduanya memandang kepada Pedang masing-masing dengan amat kagum oleh karena setelah berada di tempat terang kedua Pedang ini mengeluarkan cahaya yang amat indahnya. Sinar matahari yang menimpa mata Pedang, terpantul kembali menimbulkan berbagai warna pada sinar Pedang itu hingga keduanya selain merasa kagum, juga merasa girang sekali.

   "Lebih baik kita simpan Pedang ini, kalau terlihat orang akan menimbulkan keheranan,"

   Kata Ang I Niocu dan keduanya lalu menyimpan Pedang itu di dalam baju masing-masing.

   "Sekarang tiba waktunya bagimu untuk menceritakan segala pengalamanmu, Niocu. Aku sudah amat ingin mendengarkannya,"

   Kata Cin Hai sambil duduk di atas sebuah batu yang besar. Ang I Niocu duduk di dekatnya dan mulailah bercerita tentang segala hal yang dialaminya. Akan tetapi ia masih merasa malu untuk menceritakan tentang pertunangannya dengan Lie Kong Sian. Ketika ia menceritakan pertemuannya dengan Sie Ban Leng, Cin Hai berkata,

   "Dia itu adalah pamanku sendiri yang telah mengkhianati Ayah Bundaku."

   Terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ucapan ini.

   "Ah, pantas saja ada persamaan pada mukanya dan mukamu. Hayo, kau sekarang ceritakan pengalamanmu!"

   Cin Hai juga menceritakan semua pengalamannya, dan ketika pemuda itu bercerita tentang pertandingannya melawan Song Kun, Ang I Niocu tanpa terasa ia berseru,

   "Ah, Song Kun itu adalah Sutemu yang jahat!"

   "Sute siapa?"

   Tanya Cin Hai terheran. Tiba-tiba wajah Ang I Niocu menjadi merah.

   "Sute dia"

   Eh, penolongku itu, Lie Kong Sian. Mereka berdua adalah murid-murid dari Han Le Sianjin, adik seperguruan Susiok-Couw!"

   Akhirnya, mengertilah Cin Hai dan ia berkata,

   "Menurut Suhu Bu Pun Su Pedang yang dapat menghadapi Pedang Song Kun yang jahat itu hanyalah Pedang Liong-Cu-Kiam ini. Sekarang Pedang ini telah kupegang, maka aku tidak takut lagi menghadapi dia!"

   "Jangan kuatir, Hai-ji, aku pun bersedia membantumu untuk merobohkan dia itu, biarpun kepandaianku jauh berada di bawah tingkat kepandaianmu!"

   "Ah, jangan kau terlampau merendahkan diri, Niocu."

   Kemudian, Ang I Niocu lalu minta kepada Cin Hai agar supaya pemuda ini memperlihatkan ilmu Pedang yang dulu diciptakan atas bantuannya. Dengan suka hati, Cin Hai lalu mengeluarkan Pedang Liong-Cu-Kiam dan mulai bersilat hingga Ang I Niocu menjadi kagum sekali.

   "Ah, kepandaianmu makin maju saja,"

   Katanya.

   "Sungguh aku merasa gembira melihat kawan-kawan mendapat kemajuan hebat. Terutama sekali yang sekarang menerima ilmu silat luar biasa adalah Ma Hoa. Ia sungguh lihai sekali dan permainannya Bambu runcing benar-benar mengagumkan,"

   "Tak disangka bahwa Ma Hoa yang tadinya terjerumus ke dalam tebing yang demikian tinggi, tidak saja selamat, bahkan menerima pelajaran ilmu silat tinggi sungguh nasib orang tidak tentu. Akan tetapi, selain Ma Hoa, Lin Lin juga bernasib baik oleh karena kini ia mendapat gemblengan dari Suhu."

   Ketika membicarakan hal kekasihnya ini, wajah Cin Hai berseri dan matanya bersinar.

   "Hai-ji demikian besar kasih sayangmu kepada Lin Lin,"

   Kata Ang I Niocu sambil tersenyum.

   "Dan aku percaya bahwa cinta kasih gadis itu kepadamu tidak kalah besarnya. Aku girang sekali melihat kau bahagia, Hai-ji."

   Cin Hai merasa terharu sekali karena teringat akan pengorbanan Ang I Niocu di Pulau Kim-San-To demi kebahagiaannya dan Lin Lin. Dengan mesra dan suara penuh harapan, Cin Hai memandang Ang I Niocu dan berkata,

   "Niocu, memang kau mulia sekali. Kudoakan sepenuh hatiku semoga kau pun akan dikaruniai kebahagiaan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan mendapatkan seorang jodoh yang baik, sebagaimana diharapkan pula oleh Suhu."

   Merahlah seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya mendengar ucapan pemuda itu. Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau Nona Baju Merah itu marah mendengar kata-katanya yang lancang itu, maka ia buru-buru melanjutkan bicaranya.

   "Maaf, Niocu, aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu..."

   Ang I Niocu mengerling kepadanya dan tersenyum manis.

   "Mengapa minta maaf? Aku tidak marah dan ucapanmu itu memang berharga untuk dipertimbangkan. Mari kita kembali ke gua itu. Mereka telah pergi dan sekarang kita ada kesempatan untuk mencari harta terpendam yang menurut keterangan harus ada di tempat itu."

   Cin Hai merasa girang sekali mendengar ucapan Ang I Niocu dan diam-diam ia mengharapkan perubahan perasaan Ang I Niocu terhadap Kang Ek Sian, pemuda yang amat mencinta Dara Baju Merah itu. Mendengar ajakan Ang I Niocu untuk mencari harta terpendam, sungguhpun ia sendiri tidak ingin mendapatkan harta itu, namun tanpa membantah lagi ia lalu bangun berdiri dan mengikuti nona itu kembali ke dalam gua di mana mereka tadi mendapatkan Liong-Cu-Kiam.

   "Niocu, lubang di atas itu kecil dan takkan dapat dimasuki oleh dua orang, biarlah nanti aku saja yang masuk dan kau menjaga di luar gua, takut kalau-kalau ada orang yang akan melihat kita dan mengetahui rahasia tempat ini."

   "Baik, akan tetapi kau berhati-hatilah karena bukan tak mungkin bahwa dalam tempat yang aneh terdapat hal-hal yang aneh dan berbahaya pula, dan kabarnya Pendeta-Pendeta yang dulu menyimpan benda-benda ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi."

   Cin Hai menjadi tertarik sekali.

   "Niocu, sebelum kita bertindak lebih jauh, terlebih dulu harap kau suka ceritakan padaku tentang riwayat harta terpendam itu karena tak enak mengerjakan sesuatu yang belum diketahui baik keadaannya."

   Ang I Niocu dapat mengerti perasaan dan pendapat Cin Hai ini, maka ia lalu duduk di atas sebuah batu dalam gua itu dan berkata,

   "Memang seharusnya kau tahu akan hal itu, akan tetapi aku sendiri pun hanya mendengar dari lain orang dan ceritanya hanya samar-samar saja,"

   Nona Baju Merah itu lalu menceritakan riwayat harta terpendam di dalam gua itu sebagaimana yang ia dengar dari lain orang. Menurut pendengarannya, diceritakan orang bahwa ratusan tahun yang lalu, ketika Pendeta-Pendeta Buddha mulai memperluas perkembangan agamanya ke daerah Timur,

   Mereka mendapat tantangan keras dari orang-orang yang tidak menyetujui pelajaran agama mereka hingga tidak jarang terjadi pertempuran hebat yang mengorbankan banyak jiwa orang. Pada masa itu, di dekat perbatasan Tiongkok sebelah Barat laut terdapat suku bangsa Kazak yang tangguh dan kuat, akan tetapi dipimpin oleh seorang jahat. Orang-orang Kazak ini tidak hentinya menyerang ke pedalaman dan melakukan Perampokan-Perampokan yang ganas, mengumpulkan barang-barang berharga hingga mereka memiliki banyak sekali emas dan permata hasil Perampokan itu. Hal ini membuat Kaisar menjadi marah dan karena keadaan mereka memang kuat sekali, akhirnya Kaisar membaiki para Pendeta Buddha dan dapat mempergunakan tenaga mereka untuk menyerbu dan menghancurkan bangsa Kazak yang suka merampok itu.

   Akan tetapi, setelah para Pendeta Buddha itu berhasil membasmi para Perampok dan merampas kembali barang-barang berharga, Kaisar berlaku curang dan bahkan mengerahkan tentara untuk

   (Lanjut ke Jilid 28)

   Pendekar Bodoh (Seri ke 03 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28

   mengusir Pendeta-Pendeta itu dan merampas barang-barang berharga itu. Para Pendeta itu karena tidak pernah menyangka-nyangka, dapat terpukul hingga cerai-berai dan sebagian di antara mereka segera melarikan diri ke gua-gua Tun-Huang dan menyimpan harta benda itu di tempat rahasia. Akan tetapi, mereka itu dapat dikejar dan ditewaskan hingga tak seorang pun tahu di mana tempat Harta Pusaka itu disimpan. Hanya seorang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dan kemudian membuat peta pada cawan dan tutupnya.

   "Nah, hanya sekianlah yang kudengar dari keterangan orang-orang, benar tidaknya entahlah,"

   Kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang mendengarkan dengan hati tertarik.

   "Kalau begitu, seandainya kita mendapatkan kembali harta itu, kita pergunakan untuk apakah?"

   Tanyanya dengan muka memandang bodoh. Ang I Nicu tersenyum.

   "Hai-ji, kau benar-benar linglung! Baru kau saja orangnya yang tidak tahu harus mempergunakan harta benda untuk apa! Biarlah kita mencarinya dulu dan kalau sudah berhasil, kita bertanya kepada Susiok-Couw yang tentu akan tahu apa yang harus kau lakukan."

   "Tapi, kau sendiri, Niocu? Untuk apakah harta benda itu bagimu?"

   "Anak bodoh! Aku sih hanya membantu kau saja. Aku sendiri tidak membutuhkan barang-barang itu!"

   "Aku pun tidak membutuhkan! Kalau begini halnya, mengapa kita berdua harus bersusah payah mencarinya?"

   "Hai-ji, ketahuilah. Selain kita, masih banyak pihak yang mencari harta itu dan apabila harta benda yang besar itu terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan menimbulkan malapetaka belaka!"

   Cin Hai mengangguk-angguk dan berkata,

   "Benar, benar, sekarang aku teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa harta benda di tangan orang budiman akan merupakan alat hidup yang berguna dan mulia, akan tetapi sebaliknya apabila harta benda terjatuh di tangan orang rendah budi akan menjadi alat hidup yang jahat dan merusak. Kau benar, Niocu!"

   Ang I Niocu tertawa

   "Ah, kau dan ujar-ujarmu! Hayo kita bekerja dan jangan mencoba menjadi Guru sastera di dalam gua ini!"

   Cin Hai Juga tertawa, kemudian mereka lalu bekerja sama untuk menggerakkan patung yang menjadi kunci pembuka pintu di atas guha. Setelah lubang di langit-langit gua itu terbuka, Cin Hai lalu melompat ke atas dan mempergunakan tangan kanan untuk menyambar pinggiran lubang dan bergantungan di situ, kemudian ia mengayun kakinya dan masuk merayap ke dalam lubang kecil itu.

   "Ah, gelap sekali, Niocu!"

   Katanya.

   "Biasakan dulu matamu di tempat yang gelap itu, aku akan membuat api unggun di dalam gua ini agar cahayanya akan masuk ke situ dan menerangi dalam lubang,"

   Kata Ang I Niocu yang segera mengumpulkan kayu-kayu kering di luar gua. Tiba-tiba ketika ia sedang mengumpulkan kayu bakar itu, ia melihat dari jauh mendatangi seorang Perwira. Cepat ia masuk ke dalam gua dan berkata kepada Cin Hai,

   "Hai-ji kau cepatlah bekerja, di luar sana ada orang, biar aku pancing dia pergi ke tempat lain!"

   Setelah menyalakan api unggun, Ang I Niocu lalu meninggalkan Cin Hai dan berlari ke luar dari gua. Ia mengintai dan melihat betapa Perwira itu berjalan dengan langkah lebar menuju ke situ! Ang I Niocu segera melompat jauh dan memapaki orang itu dan setelah dekat hingga Perwira itu melihatnya, ia lalu membelok ke kanan dan memperlihatkan muka takut-takut. Perwira itu merasa curiga melihat seorang wanita di tempat yang sunyi itu yang memperlihatkan sikap takut-takut dan bersembunyi ketika melihatnya. Maka ia segera mengejar dan berseru,

   "Nona, tunggu dulu!"

   Akan tetapi, Ang I Niocu berlari terus menjauhkan diri dari gua di mana Cin Hai sedang mencari Harta Pusaka dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh,

   Ia berhenti berlari dan berdiri sambil bertolak pinggang. Perwira itu cepat sekali larinya dan setelah berhadapan muka, ia memandang kepada Ang I Niocu dengan heran dan kagum. Tadinya ia mengira bahwa wanita itu adalah seorang penduduk situ, seorang perempuan suku bangsa Hui, akan tetapi alangkah herannya ketika sekarang melihat bahwa wanita yang dikejarnya adalah seorang perempuan yang cantik jelita bagaikan seorang bidadari! Ia memandang dengan mata terbelalak dan lupa untuk menegur karena kagumnya. Sementara itu, Ang I Niocu juga tercengang ketika menyaksikan betapa Perwira itu tadi telah mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup mengagumkan, dan tahulah ia bahwa Perwira ini bukanlah orang sembarang. Ia lalu memandang penuh perhatian.

   Perwira itu memakai topi pahlawan yang indah dan dihias bulu-bulu, sedangkan rambutnya yang panjang dan hitam itu dikuncir dan tergantung pada punggungnya. Usianya masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun, tubuhnya sedang dan nampak kuat, sedangkan pada pinggangnya tergantung sebatang Pedang. Sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh. Ang I Niocu tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan Panglima tertinggi di seluruh Kerajaan pada waktu itu, yaitu Kam Hong Sin, yang menjadi Panglima nomor satu di Kerajaan! Ia datang menyusul anak buahnya karena menganggap bahwa keadaan di Barat amat genting hingga perlu turun tangan sendiri. Karena berhak bekerja secara diam-diam, maka Perwira ini meninggalkan kudanya dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.

   "Perwira gadungan!"

   Ang I Niocu sengaja memaki untuk mencari perkara agar Perwira itu tidak melanjutkan perjalanannya dan melihat Cin Hai.

   "Mengapa kau mengejarku?"

   Dimaki demikian itu, Kam Hong Sin hanya tersenyum dan menjawab,

   "Nona yang cantik, mengapa pula kau melarikan diri dariku? Kau adalah seorang Han, apa kerjamu di daerah ini?"

   "Kau peduli apa? Pergi!"

   Ang I Niocu yang segera mengulur tangan kanan mendorong agar Perwira itu roboh dan lari ketakutan. Dorongannya ini bukanlah gerakan sembarangan saja, karena ia mempergunakan pukulan dari Ilmu Silat Pek-In Hoat-Sut yang kelihaiannya luar biasa dan tak mungkin ditangkis oteh orang sembarangan saja. Akan tetapi bukan main terkejutnya ketika tubuh Perwira itu tiba-tiba berkelebat dan berhasil mengelak dengan gerakan cepat sekali! Juga Perwira itu terkejut melihat serangan yang demikian hebat dan mendatangkan angin yang terasa panas ketika menyerempet ujung jari tangannya itu!

   "Eh, eh, siapakah kau yang lihai ini?"

   Teriaknya, akan tetapi Ang I Niocu menyerang lagi dengan penasaran sambil membentak.

   "Peduli apakah kau siapa adanya aku?"

   Kini Perwira tertinggi di Kerajaan itu tidak berani main-main lagi dan ia lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya untuk menghadapi serangan-serangan Ang I Niocu yang tak boleh dibuat gegabah.

   Ang I Niocu merasa kagum dan terheran-heran melihat seorang Perwira Kerajaan yang dapat menghadapi ilmu silatnya Pek-In Hoat-Sut dan bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan yang tak kurang hebatnya! Ilmu Ginkang dari Perwira muda itu benar-benar membuat Ang I Niocu tertegun karena gerakannya demikian ringan hingga tubuhnya berkelebat bagaikan seekor burung saja hingga setiap serangan dari Pek-In Hoat-Sut dapat dihindarkannya dengan cepat, bahkan Lweekang dari Perwira itu pun tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Ang I Niocu merasa penasaran sekali melihat betapa serangan-serangannya tak mendatangkan hasil, maka sambil membentak marah ia mencabut Liong-Cu-Kiam yang tersembunyi di dalam jubahnya.

   "Perwira gadungan, rasakan kelihaian Ang I Niocu!"

   Bukan main terkejutnya Kam Hong Sin mendengar bahwa wanita baju merah ini adalah Ang I Niocu yang tersohor dan yang sudah lama ingin sekali dijumpainya. Ia melompat ke belakang lalu mengangkat kedua lengan sebagai penghormatan.

   "Ah, ah, tidak tahunya Siauwte berhadapan dengan Ang I Niocu yang telah menggemparkan dunia kang-ouw. Maaf, maaf Siauwte tidak tahu maka berani berlaku kurang ajar kepada Lihiap."

   "Ciangkun siapakah?"

   Tanya Ang I Niocu heran.

   "Siauwte adalah Kam Hong Sin."

   Kini Ang I Niocu yang terkejut karena tidak pernah disangkanya bahwa Perwira muda itu adalah Panglima tertinggi di Kerajaan. Pantas saja kepandaiannya demikian hebat.

   "Ah, kiranya Kam-Ciangkun yang gagah perkasa. Mengapa Ciangkun meninggalkan Kota Raja dan berada di tempat asing dan sunyi ini?"

   Akan tetapi pada saat itu, kedua mata Kam Hong Sin yang tajam itu sedang memandang dengan penuh perhatian kepada Pedang Ang I Niocu hingga ia tidak menjawab pertanyaan gadis itu, bahkan membalas dengan sebuah pertanyaan pula,

   "Lihiap, bukankah Pedang di tanganmu itu Pedang Liong-Cu-Kiam?"

   "Ciangkun, di dunia kang-ouw terdapat peraturan yang tidak membenarkan orang bertanya tentang Pedang lain orang."

   Kam Hong Sin tersenyum, lalu berkata dengan suara tenang,

   "Siauwte tahu akan peraturan itu. Akan tetapi harap diingat bahwa pada saat ini Siauwte bukan berhadapan dengan Lihiap sebagai seorang yang menaruh perhatian dan kagum. Kalau kiranya Lihiap merasa keberatan untuk menjawab, Siauwte masih akan mengulangi pertanyaan itu dengan mengingat kedudukan Siauwte sebagai seorang Perwira yang bertugas mencari Pedang Pusaka Kerajaan yang hilang pada ratusan tahun yang lalu. Benarkah Pedang di tanganmu itu Pedang Liong-Cu-Kiam?"

   Terpaksa Ang I Niocu yang tak mau membohong menganggukkan kepala.

   "Dari manakah kau dapatkan Liongcu-kiam ini, Lihiap?"

   Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hal ini tak perlu kuberitahukan kepada siapapun juga,"

   Jawab Ang I Niocu setengah marah. Kam Hong Sin tertawa dan berkata,

   "Biarpun kau tak memberitahukan, aku tahu bahwa Pedang ini tentu kau dapatkan di sebuah di antara gua-gua Tun-Huang ini. Lihiap, Pedang ini adalah Pedang Pusaka Kerajaan dan yang berhak mempunyai dan menyimpannya adalah Kaisar sendiri. Maka, kuminta kau dengan hormat sukalah kau mengembalikan Pedang itu kepadaku agar dapat kuserahkan kepada Kaisar."

   Ang I Niocu tersenyum sindir.

   "Enak saja kau bicara, Ciangkun. Aku yang mendapatkan Pedang ini dan akulah yang berhak! Selain aku, orang-orang Turki dan Mongol juga mencarinya dan kalau Pedang ini terjatuh ke dalam tangan mereka, apakah mereka mau mengembalikan kepadamu?"

   Kam Hong Sin memandang tajam,

   "Lihiap, sudah lama aku mengagumi namamu sebagai seorang Pendekar besar, dan aku merasa segan sekali untuk melawanmu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa aku merasa takut. Akan tetapi, kalau kau tidak mau menyerahkan Pedang itu, sebagai seorang Panglima yang setia terpaksa aku harus menggunakan kekerasan!"

   Sepasang mata Ang I Niocu yang indah itu bercahaya marah.

   "Bagus, hendak kulihat bagaimana caramu menggunakan kekerasan!"

   "Sudah kukatakan bahwa aku mengagumi padamu, akan tetapi bukan berarti takut!"

   Kata Kam Hong Sin dengan suara masih tenang akan tetapi tiba-tiba ia mencabut Pedangnya yang pada gagangnya tergantung sehelai tali hitam panjang. Ia membelitkan tali itu pada pergelangan tangannya dan berkata.

   "Lihiap, kalau kau tidak mau menyerahkan Pedang Kerajaan itu dengan jalan damai dan tak mau memberitahukan di mana pula tempat Harta Pusaka itu, terpaksa aku menggunakan jalan kekerasan dengan Pedang di tangan!"

   "Siapa takut padamu?"

   Bentak Ang I Niocu dengan marah sambil menyerang dengan Pedang Liong-Cu-Kiam. Kam Hong Sin lalu berseru keras dan menangkis dengan Pedangnya yang juga bukan Pedang sembarangan, lalu balas menyerang dengan hebat.

   Ilmu Pedang Perwira ini luar biasa sekali karena selain gerakannya cepat dan kuat, juga mengandalkan Ginkangnya yang luar biasa membuat tubuhnya berkelebat bagaikan halilintar menyambar. Akan tetapi Ang I Niocu telah memiliki ilmu Pedang yang mencapai tingkat tinggi hingga ia melakukan desakan-desakan hebat dan tubuhnya berputar cepat menggerakkan Liong-Cu-Kiam yang bercahaya berkilauan itu. Dengan gerakannya yang indah dan cepat, Ang I Niocu mendesak terus hingga Kam Hong Sin benar-benar merasa kagum dan terkejut. Sudah lama ia mendengar bahwa ilmu Pedang Ang I Niocu telah menggemparkan dunia persilatan dan sudah lama ia ingin bertemu dan kalau mungkin mencoba kepandaian Pendekar wanita itu. Kini keinginannya terkabul karena bukan saja ia berkesempatan mencoba ilmu Pedang gadis itu, bahkan mereka bertempur dengan mati-matian.

   Terpaksa ia mengandalkan Ginkangnya untuk menghindarkan diri dari rangsekan gadis itu. Ang I Niocu merasa penasaran karena belum juga ia dapat merobohkan lawan yang tangguh dan gesit ini, maka lalu maju menyerang dan merobah ilmu Pedangnya, meniru gerakan Cin Hai dengan serangan Ilmu Pedang Daun Bambu yang lihai. Biarpun ia tidak mempelajari ilmu Pedang ini, namun ketika menciptakan ilmu Pedang ini Cin Hai mendapat bantuan darinya, maka sedikitnya ada beberapa jurus terlihai yang masih teringat olehnya dan kini ia mendesak sambil mengeluarkan ilmu silat itu. Melihat hebatnya Liong-Cu-Kiam yang digerakkan menyambar pinggangnya dari arah kiri ke kanan, Kam Hong Sin merasa terkejut sekali dan sambil bersuara keras ia mengenjot tubuhnya ke atas sambil berputar. Ginkangnya benar-benar hebat dan mengagumkan sekali.

   Dengan gerakan itu, ia melompat tinggi dengan tubuh berputar beberapa kali hingga terhindar dari serangan maut yang dilancarkan oleh Ang I Niocu. Kemudian, dari atas Kam Hong Sin membalas serangan Ang I Niocu dengan meluncurkan Pedangnya ke arah kepala Ang I Niocu dan aneh! Pedangnya itu terlepas dari tangannya dan melayang ke arah kepala Ang I Niocu bagaikan sebatang tombak yang diluncurkan! Ang I Niocu cepat mengelak dan ketika Pedang itu meluncur hendak menyentuh tanah, tiba-tiba Pedang itu dapat bergerak kembali ke tangan Kam Hong Sin yang sudah melompat turun! Bukan main terkejutnya Ang I Niocu melihat ilmu Pedang yang aneh dan lihai ini dan baru ia tahu bahwa tali hitam panjang yang mengikat gagang Pedang dan yang dibelitkan di pergelangan tangan Perwira itu bukan tidak ada gunanya.

   Dengan tali panjang itu, maka Pedang dapat disambitkan dan dapat menyerang lawan dari jarak jauh tanpa kuatir Pedang itu akan lenyap karena dapat dibetot kembali pada saat Pedang itu tidak mengenai sasaran! Hal ini tidak begitu mengherankan, akan tetapi yang mengagumkan adalah cara Kam Hong Sin menggerakkan Pedangnya di waktu menyambit. Agaknya ia telah mempelajari ilmu Pedang yang aneh ini sampai mendalam betul hingga Pedang itu dapat dilepas dan ditarik sesuka hatinya. Menghadapi ilmu Pedang yang aneh dan lihai ini, Ang I Niocu berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan ilmu Pedangnya yang paling hebat. Mereka bertempur lagi dengan seru dan kali ini karena mengandalkan Pedangnya yang seringkali diluncurkan untuk menyerang dari jauh, Kam Hong Sin dapat mengimbangi permainan Pedang Ang I Niocu yang kini menjadi terdesak oleh serangan-serangan aneh dan berbahaya itu.

   Ia merasa seakan-akan Kam Hong Sin memiliki ilmu kepandaian Kiam-Sut yang disebut Hui-Kiam atau Pedang Terbang yang sering ia dengar dari dongeng-dongeng yang belum pernah disaksikan. Kini mengertilah Ang I Niocu bahwa yang disebut Hui-Kiam atau Pedang terbang itu tentulah ilmu Pedang seperti yang dimiliki oleh Kam Hong Sin ini, yaitu pada gagang Pedang diikat dengan sehelai tali panjang yang dapat mulur hingga Pedang dapat disambitkan, dilayangkan dengan betotan pada talinya. Namun, biarpun Ang I Niocu terdesak oleh Perwira yang tangguh dan ilmu kepandaiannya benar-benar tinggi itu, ia sama sekali tidak menjadi gentar karena bagi Ang I Niocu, tak pernah ada rasa takut menghadapi lawan di dalam hatinya. Ia melawan dengan gerakan-gerakan tenang dan cukup kuat hingga sukarlah agaknya bagi Kam Hong Sin untuk merobohkan lawan luar biasa ini.

   Diam-diam Perwira itu mengeluh karena kalau saja ia bisa menarik gadis lihai ini menjadi kawan di pihaknya, maka ia tentu akan lebih yakin akan berhasilnya tugas yang dijalankannya. Pada saat pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar suitan tiga kali dari jauh. Kam Hong Sin memperlihatkan muka girang dan membalas bersuit keras tiga kali pula. Tak lama kemudian, muncullah Sie Ban Leng dan dua orang Pertapa yang bukan lain ialah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang! Melihat betapa Kam Hong Sin bertempur dengan Ang I Niocu, Sie Ban Leng teringat akan sakit hatinya terhadap Dara Baju Merah yang telah menolak cintanya itu, maka ia lalu melompat menghampiri dan berkata,

   "Ang I Niocu! Mengapa kau memusuhi Kam-Ciangkun pula?"

   Melihat datangnya tiga orang ini, Ang I Niocu dan Kam Hong Sin menunda senjata masing-masing dan melompat mundur.

   "Ang I Niocu!"

   Seru pula Ceng To Tosu sambil mewek hampir menangis "Mengapa Lihiap bertempur melawan Kam-Ciangkun?"

   Sementara itu, Ceng Tek Hosiang berpaling kepada Kam Hong Sin dan berkata,"Kam-Ciangkun, Nona ini adalah Ang I Niocu seorang Pendekar gagah, bukan musuh kita!"

   Kam Hong Sin tersenyum.

   "Aku pun segan melawan dia. Akan tetapi, ia telah mendapatkan tempat itu, dan tidak mau memberitahukan kepadaku."

   "Apa...?"

   Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang berseru keras sambil membelalakkan mata penuh ketidak percayaan.

   "Lihat saja, ia telah mendapatkan Pedang Liong-Cu-Kiam, dan juga ia tidak mau mengembalikan Pedang itu kepadaku."

   Tiba-tiba Sie Ban Leng mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam.

   "Ha-ha-ha, Ang I Niocu, tidak tahunya kedatanganmu di sini karena kau juga mengingini Harta Pusaka dan Pedang itu! Kembalikanlah Pedang Liong-Cu-Kiam kepada kami, kalau kau membangkang berarti kau akan mendapat bencana."

   "Aku tidak hendak menyerahkan Pedang ini, habis kalian mau apa?"

   Bentak Ang I Niocu dengan garang.

   "Memang kau tidak tahu budi! Kau pernah kutolong, akan tetapi kau bahkan menghinaku dan menolak maksud baikku, sekarang kau mencuri Pedang Kerajaan pula,"

   Cela Sie Ban Leng dengan gemas. Tiba-tiba Ang I Niocu menudingkan Pedangnya ke arah muka Sie Ban Leng dan memaki.

   

Pendekar Sakti Eps 36 Dara Baju Merah Eps 1 Pendekar Sakti Eps 31

Cari Blog Ini