Pendekar Bodoh 32
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 32
Ia teringat betapa anehnya ia mendapatkan cawan berukir itu, yaitu dari seorang gila! Ketika itu ia sedang berjalan menuju ke Kan-Su, yaitu sebelum bertemu dengan Cin Hai. Tiba-tiba ia melihat seorang yang berpakaian tidak karuan dan hampir telanjang duduk di tepi jalan, tertawa-tawa seorang diri. Orang itu adalah seorang Turki sudah tua, dan yang amat aneh ialah biarpun pakaiannya compang-camping tidak karuan dan keadaannya menunjukkan kemiskinan yang amat besar, namun ia memegang sebuah cawan perak yang indah! Ketika Ang I Niocu sedang memandang dengan terheran-heran, datanglah tiga orang bangsa Hui yang mendekati orang gila itu dengan mata melirik ke sana ke mari. Melihat bahwa tempat itu sunyi dan hanya ada seorang gadis baju merah berdiri di tempat yang agak jauh, ketiga orang itu lalu maju dan hendak merampas cawan perak itu. Si Gila lalu berteriak-teriak, berdiri dan menendang-nendang, mencakar-cakar melakukan perlawanan, sambil mulutnya mengomel,
"Pergi, pergi! Kalian tidak berhak mendapatkan Harta Pusaka ini! Pergi!"
Seorang di antara tiga orang yang hendak merampas cawan itu lalu mengubah siasat dan sambil tersenyum ia berkata,
"Kakek sinting, biarlah kami tukar dengan uang untuk membeli nasi!"
Orang itu lalu mengeluarkan uang perak beberapa potong, akan tetapi orang gila itu mendekap cawan itu erat-erat sambil memaki.
"Perampok-Perampok, pergi! Aku tidak butuh uang! Harta Pusaka ini milikku!"
Tiga orang itu menubruk dan merampas cawan, tiba-tiba mereka roboh sambil merintih-rintih. Ternyata Ang I Niocu telah bertindak karena kasihan kepada orang gila itu. Tiga orang laki-laki bangsa Hui itu bangkit lagi dan hendak menyerang, akan tetapi kembali tubuh Ang I Niocu bergerak cepat dan sebelum mereka tahu apakah yang terjadi dan menimpa diri mereka, tahu-tahu ketiga orang itu telah terlempar lagi dengan tubuh sakit-sakit! Mereka memandang dengan mata terbelalak ketakutan seakan-akan melihat Setan di tengah hari, lalu berlari pergi secepat kaki mereka dapat bergerak! Orang gila itu menghampiri Ang I Niocu dan karena orang itu bertubuh tinggi sekali, maka ketika ia mengulurkan kedua tangannya yang kotor ke atas kepala Ang I Niocu, kedua tangan itu menumpang di atas kepala gadis itu, seakan-akan seorang Pendeta memberi berkah.
"Kau gagah, ha, ha, mereka lari pontang-panting, ha-ha-ha! Kau patut menjadi ratu, patut memiliki Harta Pusaka itu. Ini, kau terima Harta Pusaka yang tak ternilai harganya!"
Ia memberikan cawan perak itu kepada Ang I Niocu yang menerimanya dengan heran.
"Untuk apa cawan ini?"
Tanyanya. Orang gila itu memandangnya dengan marah.
"Untuk apa katamu? Itu bukan cawan. Bodoh, menyebut Harta Pusaka sebagai cawan biasa!"
Si Gila itu lalu pergi dengan langkah lebar dan terdengar ia bernyanyi dalam bahasa Turki yang tidak karuan. Ang I Niocu mengamat-amati cawan itu dan melihat ukir-ukiran yang indah, hingga timbul sayangnya. Ia lalu masukkan cawan itu ke dalam saku dan tidak tahu maksud ucapan orang gila itu sampai ia bertemu dengan Cin Hai yang membawa tutup cawannya. Demikianlah, sambil mengenangkan peristiwa semua ini, Ang I Niocu tak sengaja berhenti depan toko barang antik itu sambil melamun.
Tiba-tiba ia melihat dua orang Turki berkelebat masuk ke dalam toko dan ketika seorang di antara mereka memandang keluar toko, maka nampak wajahnya yang dibayangi ketakutan hebat! Ang I Niocu menjadi tertarik dan curiga, maka ia segera melompat ke pinggir rumah dan terus mengintai dari atas genteng. Ia melihat dua orang itu bicara dengan seorang Turki lainnya dan agaknya mereka membicarakan hal-hal yang mengandung rahasia. Akan tetapi sebuah perkataan saja yang dimengerti oleh Ang I Niocu karena mereka bicara dalam bahasa Turki, yaitu kata-kata mereka.
"Yousuf"! Kata-kata ini cukup untuk membuat ia memperhatikan mereka baik-baik dan ketika ketiga orang itu keluar dari luar rumah melalui pintu belakang lalu berlari-lari cepat, ia lalu mengikuti mereka dengan diam-diam.
Dengan mudah ia dapat mengikuti ketiga orang itu tanpa mereka mengetahuinya. Untuk beberapa lama ketiga orang itu masuk keluar hutan dan kemudian tiba di sebuah perkampungan kecil di mana banyak terdapat rumah-rumah model Turki. Tiga orang Turki itu masuk ke dalam rumah yang terbesar. Ang I Niocu segera melompat naik ke atas genteng dari bagian belakang dan menuju ke wuwungan di sebelah tengah. Ia membuka genteng dan mengintai ke dalam dengan hati-hati. Dilihatnya ketiga orang tadi masuk ke dalam sebuah ruangan yang kebetulan berada di bawahnya. Di dalam ruangan yang lebar nampak duduk dua orang Turki. Seorang di antara mereka telah tua sekali, dan yang seorang lagi setengah tua, sikapnya gagah.
Juga Kakek yang sudah tua dan rambutnya sudah putih semua sehingga menimbulkan kontras yang mencolok dengan kulitnya yang hitam, nampak lemah lembut akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh. Tiga orang Turki itu setelah melihat mereka, lalu maju dan memberi hormat dengan membungkukkan tubuh dalam-dalam dan kedua tangan di depan. Mereka bertiga lalu bicara seakan-akan membuat laporan kepada dua orang itu. Tak lama kemudian, orang setengah tua tadi menjawab dengan beberapa perkataan yang agaknya memberi perintah, karena setelah mendengar ucapan itu, tiga orang pendatang tadi lalu pergi lagi. Tiba-tiba, orang setengah tua itu tertawa dan sambil menengok ke atas ke arah genteng yang dipijak oleh kaki Ang I Niocu ia berkata dalam bahasa Han yang lancar,
"Sahabat yang berada di atas genteng, harap kau suka turun saja apabila ada perlu dengan kami."
Ang I Niocu terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa orang itu dapat melihat atau mendengarkannya, dan selagi ia merasa ragu-ragu, tiba-tiba Kakek rambut putih itu juga berkata,
"Nona berbaju merah agaknya Ang I Niocu! Kalau benar, kami persilakan turun karena kita masih kawan sendiri!"
Makin terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ini. Kalau laki-laki setengah tua itu hanya dapat mengetahui bahwa di atas genteng terdapat orang mengintai, adalah Kakek berambut putih itu bahkan tahu bahwa yang mengintai adalah seorang gadis baju merah, bahkan dapat menduga namanya dengan tepat! Ang I Niocu masih merasa ragu-ragu untuk turun, maka ia teringat sesuatu dan bertanya,
"Apakah seorang diantara Jiwi ada yang bernama Yousuf?"
Mendengar pertanyaan ini, laki-laki setengah tua itu berseri wajahnya dan sambil berdiri ia menjawab girang.
"Akulah yang bernama Yousuf! Kalau begitu Nona tentu benar-benar Ang I Niocu adanya! Lihiap, silakan turun!"
Kini Ang I Niocu tidak merasa ragu-ragu lagi. Ia membuka beberapa potong genteng dan melayang turun sambil berkata,
"Mohon dimaafkan sebanyaknya atas kelancanganku!"
Yousuf memandang kepada Nona Baju Merah itu dengan mata kagum, kemudian ia menjura sambil berkata girang,
"Betul, betul! Kau tentu Ang I Niocu. Aku telah lama mengenalmu dari penuturan anakku Lin Lin!"
Ang I Niocu menjadi girang sekali.
"Dan aku pun telah lama mengenal nama Yo-Lopek dari kawan-kawan."
Mendengar bahwa tanpa ragu-ragu lagi Ang I Niocu menyebutnya Lopek (Uwa) seperti Cin Hai, Kwee An dan yang lain-lain. Yousuf merasa girang sekali.
"Ang I Niocu, kedatanganmu ini bagiku laksana jatuhnya sebuah bintang dari langit! Kau disangka telah tewas di atas Pulau Kim-San-To hingga melihat kesedihan kawan-kawan kita, aku sendiri merasa amat berduka. Dan sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dalam keadaan yang kebetulan sekali!"
Ang I Niocu memandang ke arah Kakek berambut putih yang lihai tadi dan bertanya,
"Siapakah Locianpwe yang terhormat ini?"
Kakek itu tertawa bergelak dan menjawab,
"Ang I Niocu, kau tentu belum pernah mendengar namaku, sungguhpun telah seringkali aku mendengar namamu dari muridku ini."
"Ah, kalau begitu Locianpwe tentu yang bernama Ibrahim!"
Kata Ang I Niocu. Baik Ibrahim maupun Yousuf menjadi tercengang.
"Bagaimana kau bisa tahu, Lihiap?"
Tanya Yousuf heran. Ang I Niocu lalu menceritakan pengalamannya, dan bahwa Cin Hai pernah bercerita tentang pertemuannya dengan Guru Yousuf itu ketika Ibrahim menangkap ular. Bukan main girangnya hati Yousuf ketika mendengar bahwa Ma Hoa dan Kwee An berada dalam keadaan selamat, bahkan kini sedang menuju ke Lan-Couw sehingga banyak kemungkinan ia akan bertemu dengan mereka. Kalau tadinya ia masih agak muram wajahnya, kini ia menjadi riang gembira dan berkata,
"Lihiap, tadi kukatakan bahwa kedatanganmu ini seperti bintang jatuh dari langit, akan tetapi sekarang ternyata bahwa kau bukan merupakan bintang saja, bahkan seakan-akan bulan sendiri jatuh di pangkuanku! Kau tidak saja memperkuat fihakku, bahkan kau membawa berita yang amat menggirangkan hatiku. Patut aku mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Tunggal."
Sambil berkata demikian, orang Turki itu mengangkat kedua tangan ke atas sebagai puji syukur kepada Tuhan.
"Sebenarnya, apakah yang sedang terjadi, Yo-Lopek? Tadi aku melihat tiga orang itu dan aku merasa curiga. Ketika mendengar namamu disebut-sebut, aku lalu mengikuti mereka ke sini dan agaknya mereka membuat laporan. Ada apakah?"
Tanya Ang I Niocu yang sama sekali tidak mengerti karena selama ini semua pembicaraan dilakukan dalam bahasa Turki. Yousuf menarik napas panjang.
"Sebetulnya hal yang sedang terjadi dan akan terjadi ini adalah urusan pribadi Turki sendiri. Akan tetapi, oleh karena di sini terkandung juga soal-soal kejahatan, maka kami percaya bahwa kau tentu akan suka membantu kami. Orang-orang Turki yang berada di daerah ini terpecah menjadi dua rombongan, yaitu pengikut-pengikut Pangeran Tua yang pada waktu ini masih menjadi Raja di Turki, dan sebagian pula pengikut-pengikut Pangeran Muda yang selalu menimbulkan kekacauan. Kami adalah pengikut-pengikut Pangeran Tua, kami selalu mengambil sikap baik dan bersahabat terhadap negerimu, akan tetapi politiknya yang bersahabat itu dikacau dan dirusak oleh Pangeran Muda yang selalu mencari perkara. Kini pengikut-pengikut Pangeran Muda itu bahkan mempunyai maksud menyerbu ke pedalaman Tiongkok, dan mereka datang hendak mencari Harta Pusaka yang bukan menjadi hak orang Turki. Nah, kami para pengikut Pangeran Tua mendapat tugas untuk menghalangi maksud jahat ini, karena kalau maksud mereka itu dilanjutkan, yang akan menderita rugi adalah bangsa kami sendiri, karena tentu dianggap jahat oleh bangsamu. Kami bertugas menghalangi maksud mereka mencuri Harta Pusaka itu, dan mencegah mereka melanjutkan usaha menyerbu ke pedalaman Tiongkok!"
Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum.
"Kalau begitu, kau dan kawan-kawanmu memang orang-orang gagah yang mulia, Yo-Lopek. Aku pun pernah mendengar sedikit-sedikit tentang maksud orang-orang Turki itu, akan tetapi tak pernah menyangka bahwa ada dua rombongan yang bertentangan. Di fihak siapakah orang-orang seperti Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan yang lain-lain itu berdiri?"
Tiba-tiba Ibrahim berdiri dari tempat duduknya dan berkata dengan gemas,
"Nah, itulah yang amat menyebalkan hati kami. Para pengikut Pangeran Muda itu telah mempergunakan cahaya emas untuk menggunakan orang-orang jahat seperti mereka itu dalam usaha mereka yang rendah. Yang menyebalkan hati, bagaimana orang-orang Han sendiri sudi membantu usaha pengikut-pengikut Pangeran Muda, yang mempunyai maksud buruk terhadap negeri mereka sendiri?"
Ibrahim menarik napas panjang. Ang I Niocu tersenyum.
"Tidak sangat aneh, Locianpwe. Iman yang lemah dikuasai hati, hati yang kotor dikuasai pikiran dan pikiran yang picik dikuasai oleh mata. Kalau mata mereka sudah silau dan buta karena cahaya harta benda, kejahatan apakah lagi yang pantang bagi mereka?"
Ibrahim mengangguk-angguk.
"Kau benar, kau benar..."
Lalu Kakek rambut putih itu duduk melamun tidak mempedulikan lagi keadaan di sekelilingnya.
"Ang I Niocu,"
Kata Yousuf.
"sekarang kami menghadapi puncak pertentangan antara kami dan mereka. Tadi kawan-kawan melaporkan bahwa pengikut-pengikut Pangeran Muda agaknya telah mendapatkan kunci yang membawa mereka kepada tempat Harta Pusaka itu! Kabarnya bahwa mereka telah berhasil mendapatkan cawan yang berukirkan peta yang menunjukkan di mana tempat harta itu, yang dirampasnya dari seorang gila. Kalau hal ini betul, kami harus menghalangi mereka!"
Ang I Niocu tersenyum.
"Tak usah, Yo-Lopek. Harta Pusaka itu telah diketemukan dan yang mendapatkannya bukan lain ialah aku sendiri dan Cin Hai."
Yousuf memandangnya dengan bengong sehingga Ang I Niocu segera menceritakan pengalamannya. Yousuf menjadi girang sekali sehingga ia segera berpaling kepada gurunya dan menuturkan semua cerita Ang I Niocu dengan cepat kepada gurunya dalam bahasa Turki, karena tadi ketika Ang I Niocu bercerita, agaknya Kakek itu masih melamun dan tidak mendengar apa-apa! Ibrahim juga merasa girang dan tertawa senang.
"Akan tetapi, Lihiap, sekarang mereka sedang menuju ke sini untuk menyerbu kami, demikian menurut laporan kawan-kawan. Kami telah siap sedia menghadapi serbuan mereka dan kalau perlu, kami bersedia untuk bertempur pula."
"Jangan kuatir, Yo-Lopek. Aku telah berada di sini dan aku pasti akan membantu kalian."
Pada saat itu, dari luar masuk seorang penjaga dan memberi laporan singkat kepada Yousuf yang segera dijawabnya dengan perintah singkat pula. Orang itu pergi lagi dan Yousuf lalu berkata kepada Ang I Niocu,
"Mereka telah datang dan kuminta Pemimpin-Pemimpin mereka datang ke sini untuk mengadakan pembicaraan."
"Kalau begitu aku harus mengundurkan diri,"
Kata Ang I Niocu, yang menganggap bahwa tidak sepantasnya ia ikut bicara tentang urusan negara orang lain, apalagi kalau mereka bicara dalam bahasa mereka yang tidak dimengertinya sama sekali itu. Akan tetapi Yousuf mengangkat tangan.
"Tak usah Lihiap. Kau duduklah saja di sini, mengawani kami berdua. Mereka yang datang ini pun hanya wakil-wakil dan utusan-utusan saja dan pembicaraan akan dilakukan dalam bahasa Han, karena mereka itu sebagian besar juga orang-orang Han yang telah kau kenal tadi."
Rombongan tamu yang datang itu adalah tujuh orang yang terdiri dari seorang Turki tua yang bersorban merah, diiringkan oleh Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan ketiga Kang-lam Sam-lojn, yaitu Giok Im Cu, Giok Yang Cu dan Giok Keng Cu. Yousuf menyambut mereka dengan dingin dan angkuh, karena sebagai Pemimpin pengikut Pangeran Tua itu merasa lebih tinggi derajatnya, sedangkan Ibrahim hanya duduk saja tak mempedulikan mereka sama sekali dan Ang I Niocu duduk dengan tegak dan gagah. Rombongan itu merasa heran juga ketika melihat bahwa penyambut mereka hanya tiga orang saja, akan tetapi ketika mereka melihat bahwa Ang I Niocu berada di situ, mereka menjadi terkejut.
"Hm, agaknya kau juga sudah mendapat bantuan seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!"
Kata Pemimpin Turki sambil tersenyum sindir. Seperti keterangan Yousuf tadi, orang Turki ini menggunakan bahasa Han oleh karena para pembelanya menghendaki demikian.
"Nona yang berdiri di pihakku adalah seorang Pendekar wanita yang membela persahabatan dan keadilan, tidak seperti pembantu-pembantumu yang hanya membela uang dan emas yang kau sodorkan kepada mereka, mana mereka bisa dipersamakan?"
Jawab Yousuf menyindir hingga wajah enam orang itu menjadi merah karena marah dan malu. Yousuf lalu berkata lagi kepada Pemimpin orang Turki itu,
"Sahabat, apakah maksud kedatanganmu membawa sekalian tukang-tukang pukulmu ini?"
Sahimba tertawa, kemudian berkata dengan sikap angkuh,
"Yousuf, di negeri kami kau boleh berlaku sebagai seorang kepercayaan Raja dan kami harus tunduk terhadapmu. Akan tetapi sekarang kita berada di negeri orang lain dan kau tak berhak untuk mencampuri urusan kami! Kami melakukan usaha kami sendiri mencari keuntungan di tempat ini, mengapa kau dan orang-orangmu begitu tidak tahu malu untuk menghalangi kami menimbulkan permusuhan di antara bangsa sendiri?"
"Sahimba, kalau usahamu itu baik dan jujur, siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu? Akan tetapi, kau menurut perintah dan nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak mengacau negeri lain orang, bahkan hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini tentu saja akan memalukan bangsa kita, dan sebagai seorang Patriot, tentu saja kami takkan membiarkannya saja! Dengan perbuatanmu yang memalukan bangsa sendiri, kau boleh dianggap sebagai seorang pengkhianat yang merusak nama negara dan bangsa, apakah ini harus didiamkan saja?"
"Yousuf kau manusia sombong! Kau mengandalkan apakah maka berani berkata demikian? Orang yang mencampuri urusan lain orang dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang yang rendah! Kuperingatkan kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa, lebih baik kau lepaskan tangan dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami tak usah merepotkan tangan membasmi kau dan kawan-kawanmu!"
Yousuf menjadi marah sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum ketika menjawab,
"Sahimba, kau bicara tanpa mempergunakan pikiran sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran Tua yang menjadi Raja di negeri kita, sedangkan kau adalah pengikut seorang Pangeran yang selalu membuat kacau, ada apakah lagi yang dapat dirundingkan antara kita? Jangan kau anggap kami merasa takut akan ancaman-ancamanmu yang hanya merupakan raung anjing di waktu malam terang bulan!"
"Kalau begitu, kita harus putuskan hal ini dengan senjata!"
Kata Sahimba dengan marah, dan ia bersama keenam orang-orangnya itu meraba gagang senjata!
"Terserah kepadamu, Sahimba!"
Kata Yousuf sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala lubang pintu muncullah puluhan orang dengan senjata lengkap! "Kami sudah bersiap sedia!"
Sahimba dan kawan-kawannya memandang ke sekeliling dan ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf yaitu pengikut Pangeran Tua telah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat!
"Kau hendak menggunakan orang banyak mengeroyok kami?"
Kata Sahimba dengan senyum sindir untuk menyembunyikan kegelisahannya.
"Hanya orang-orang macam kau lah yang suka mengeroyok dan mengandalkan banyak kawan!"
Jawab Yousuf.
"Kawan-kawanku siap sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi untuk menjaga kalau-kalau kau yang berkawan banyak ini berani berlagak!"
"Yousuf!"
Terdengar si Nenek Bongkok Siok Kwat Mo-li berseru.
"Jangan kau sesombong itu! Kalau kau memang laki-laki, marilah kita adu kepandaian, seorang lawan seorang, jangan main keroyok."
Ibrahim mengeluarkan suara batuk-batuk dan sikapnya masih tenang ketika dia berkata,
"Aduh, galak benar! Yousuf, kalau tamu-tamu kita menghendakinya, kita sebagai tuan rumah seharusnya menerima untuk membuktikan keramahan terhadap tamu-tamu yang datang tanpa diundang!"
Yousuf lalu menghadapi Sahimba.
"Kau telah mendengar sendiri ucapan Guruku dan kalau kau menghendaki, boleh kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!"
"Boleh-boleh! Inilah kesempatan baik untuk membikin mampus kalian dalam sebuah pertandingan yang jujur."
Jawab Sahimba. Yousuf lalu memberi aba-aba dan beberapa orang penjaga lalu masuk untuk membersihkan ruangan yang lebar itu. Meja kursi disingkirkan dan kini ruangan itu menjadi sebuah tempat yang cukul luas di mana orang boleh bertempur sesuka hatinya. Yousuf berkata lagi,
"Karena pihakku hanya ada tiga orang jago, sedangkan kulihat bahwa kau membawa enam orang tukang pukul, maka kau boleh majukan tiga orang tukang pukulmu."
"Orang sombong, kau anggap kami tukang pukul? Jaga lidahmu baik-baik!"
Kata Giok Yang Cu, orang ke dua Kang-Lam Sam-Lojin yang bertubuh tinggi besar. Yousuf tersenyum dan memandangnya dengan mengejek,
"Aku adalah tuan rumah, mengapa harus menjaga lidah? kau lah yang harus menjaga lagakmu baik-baik. Apakah kau merupakan orang pertama yang maju mewakili pihakmu?"
Sebelum Giok Yang Cu menjawab, terdengar suara tertawa bergelak dari luar rumah dan terdengarlah suara orang,
"Sahabatku Yo Se Pu, jangan kau borong semua Babi-Babi itu, berilah kesempatan kepadaku untuk menikmati dagingnya juga!"
Dan dari luar berkelebatlah tiga bayangan orang memasuki rumah itu. Mereka ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng yang mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee An dan Ma Hoa! Bukan main girangnya hati Yousuf melihat Kwee An dan Ma Hoa hingga ia melompat maju dan memeluk mereka berdua seakan-akan seorang Ayah bertemu dengan dua orang anaknya yang telah disangka mati. Kedua mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia pun lalu memegang tangan Nelayan Cengeng dengan girang dan berkata kepada Sahimba,
"Dasar kau yang sedang berbintang gelap! Dengan datangnya ketiga orang ini, keadaan kita menjadi berimbang jumlahnya!"
Kemudian, tanpa mempedulikan Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu memperkenalkan Ibrahim kepada Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An hingga mereka bertiga lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh Ibrahim.
"Nama kalian telah kukenal lama sekali dan setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa kagum saja!"
Kata Kakek itu. Sementara itu, Giok Yang Cu yang sudah maju ke depan akan tetapi tidak mendapat pelayanan dari tuan rumah yang sebaliknya sibuk bercakap-cakap dengan pendatang-pendatang baru itu, menjadi mendongkol sekali.
"Yousuf apakah tidak ada orang yang berani melawanku?"
Tegurnya marah. Melihat laku Giok Yang Cu, Nelayan Cangeng tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada Yousuf,
"Saudara Yo, mengapa kau tidak segera memberi sepotong tulang busuk kepada anjing itu agar ia tidak melolong-lolong lagi?"
Kemudian ia tertawa lagi dengan geli hati hingga keluar air mata bercucuran dari kedua matanya!
"Orang gila jangan kau menghinaku!"
Seru Giok Yang Cu yang segera mencabut Pedangnya. Akan tetapi sebelum ia maju menyerang Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di depannya dan berkata,
"Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan lebih dulu!"
Orang Turki ini lalu mencabut Pedangnya pula dan kedua orang ini segera bertempur hebat, disaksikan oleh semua orang yang berada di situ. Ilmu Pedang Liong-San Kiam-hwat telah banyak mengalami perubahan dan kemajuan hingga ilmu kepandaian Giok Yang Cu jauh lebih lihai daripada dulu, sedangkan Pertapa tinggi besar ini terkenal sebagai ahli Gwakang yang memiliki tenaga sebesar gajah, maka ketika ia mainkan Pedangnya, Pedang itu mendatangkan angin dan mengeluarkan suara. Akan tetapi Yousuf selain tinggi ilmu kepandaiannya juga telah banyak sekali pengalamannya bertempur menghadapi orang-orang pandai, maka ia dapat bergerak dengan tenang menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari lawannya itu.
Juga, semenjak dekat dengan Nelayan Cengeng, Lin Lin dan yang lain-lain, Yousuf telah banyak memahamkan rahasia-rahasia ilmu silat Tiongkok hingga pengertiannya menjadi luas dan kepandaiannya banyak maju. Giok Yang Cu tadinya merasa girang melihat bahwa yang maju menghadapinya adalah orang Turki itu, karena betapapun juga, ia anggap bahwa kepandaian orang itu tentu tak seberapa tinggi. Akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus lebih ia menjadi terkejut dan diam-diam mengeluh, karena dalam hal kecepatan dan tenaga, orang Turki itu tidak kalah bahkan lawannya itu hebat sekali gerakan Pedangnya dan tingkat Ginkangnya lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kejerihannya dan maju mendesak makin hebat dengan serangan-serangan yang ditujukan ke bagian-bagian yang berbahaya.
Yousuf tidak menjadi gugup sungguhpun desakan lawannya yang menggunakan gerakan terlihai dari Liong-San-Hwat yang disebut Naga Liong-San Mengamuk itu hebat sekali. Dengan ketenangannya yang diperkuat oteh kekuatan batinnya, Yousuf menghadapi serbuan sambil mainkan Pedangnya dengan cepat hingga tubuhnya tertutup oleh gulungan sinar Pedangnya. Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan Giok Yang Cu dan Si Tinggi Besar itu roboh dengan dada terluka oleh Pedang Yousuf. Walaupun luka itu tidak membahayakan nyawanya, akan tetapi cukup membuat ia pada waktu itu tidak berdaya lagi dan harus mengundurkan diri sambil dibantu oleh adiknya yaitu Giok Keng Cu. Yousuf juga melangkah mundur dan berkata kepada Sahimba,
"Seorang tukang pukulmu telah kalah, Sahimba!"
Terdengar bentakan keras dan tahu-tahu Giok Im Cu, saudara tertua dari Kang-Lam Sam-Lojin telah melompat maju dengan gesit sekali dan di tangannya memegang sebatang Bambu panjang. Giok Im Cu hendak menebus kekalahan sutenya, maka tanpa bertanya lagi kepada Sahimba ia telah melompat ke tengah lapangan bersilat.
"Biar pinto menerima pengajaran dari tuan rumah!"
Katanya.
"Pek-hu, biarkan aku main-main dengan Tosu ini,"
Kata Ma Hoa yang mendahului Ang I Niocu, karena ia merasa tertarik melihat bahwa Tosu itu pun bersenjata sebatang tongkat.
"Kau?"
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yousuf memandang ragu-ragu, akan tetapi Nelayan Cengeng segera berkata,
"Saudara Yo, keponakan Ma Hoa ini telah mempelajari cara memukul anjing, biarkan dia maju!"
Yousuf selamanya tak pernah meragukan ucapan Nelayan Cengeng apa lagi dalam hal ini tentu saja Nelayan Cengeng takkan membiarkan muridnya yang terkasih itu menghadapi bencana, maka ia lalu menganggukkan kepala sambil berkata kepada Ma Hoa,
"Baiklah, akan tetapi kau berhati-hatilah!"
Ma Hoa tersenyum dan segera melangkah maju menghadapi Giok Im Cu yang merasa tidak enak sekali. Ia merasa sungkan dan dipandang rendah. Masa ia seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw harus menghadapi seorang gadis muda yang cantik dan bertangan kosong ini?
"Nona, dengan senjata apakah kau hendak memberi pengajaran kepada pinto?"
Ma Hoa tersenyum dan mencabut keluar sepasang Bambu runcingnya yang berwarna kuning dan bentuknya pendek itu.
"Dengan ini!"
Jawabnya singkat. Terbelalak mata Giok Yang Cu memandang senjata yang aneh itu, akan tetapi berbareng pada saat itu juga ia merasa berdebar karena teringat akan seorang sakti yang menjadi ahli dalam permainan sepasang Bambu runcing yang pendek. Segera ia menggerak-gerakkan senjatanya dan berkata,
"Mari, mari, majulah!"
Ma Hoa tidak berlaku sungkan lagi dan segera menyerang dengan kedua Bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa. Yousuf yang belum pernah melihat Ma Hoa bermain Bambu runcing itu merasa terheran-heran hingga tak terasa lagi terjatuh ke dalam kursinya, duduk sambil memandang bengong. Gerakan gadis ini benar-benar lihai dan indah dipandang. Rambutnya yang terurai bergerak-gerak di sekeliling kepalanya sedangkan Bambu runcing itu ketika digerakkan untuk menyerang, demikian cepat gerakannya hingga seolah-olah berubah menjadi puluhan batang! Giok Im Cu tercengang melihat ini dan ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi serangan yang amat aneh ini. Makin keras dugaannya ketika melihat permainan ini karena selama ia hidup,
Baru sekali ia pernah menyaksikan permainan sepasang tongkat yang luar biasa, yaitu yang dimainkan oleh Hok Peng Taisu, seorang Pertapa sakti yang lihai. Ia mengigit bibir dan sebagai seorang ahli Lweekang ia lalu mengerahkan Lweekangnya hingga tiap sambaran tongkatnya membawa tenaga besar yang ganas. Ia hendak mengandalkan tenaga Lweekangnya untuk mengalahkan gadis yang pandai bermain Bambu runcing itu. Akan tetapi kembali ia tercengang karena gadis itu dengan pandainya tak mau mengadu tenaga, hanya mengandalkan kelincahannya untuk berkelebat di antara sambaran tongkat lawannya, dan mengirim serangan-serangan berupa totokan dan tusukan ke arah jalan darah lawan! Ramai sekali mereka bertempur, dan kini Yousuf tak dapat menguasai kegembiraannya lagi.
Berkali-kali ia berseru dengan girang sambil mengeluarkan pujian-pujian. Lima puluh jurus telah lewat dan Giok Im Cu mulai terkurung oleh pukulan batang Bambu runcing yang seakan-akan bergerak berbareng mengurung dirinya itu. Ia mencoba untuk mengirim pukulan maut, akan tetapi, tiba-tiba ia merasa sebelah tubuhnya bagian kanan menjadi lumpuh dan mati hingga tak terasa lagi tongkatnya terlepas dari pegangan dan jatuh ke atas lantai. Ternyata jalan darah Ta-Sen-Hiat telah tertotok oleh ujung Bambu runcing Ma Hoa. Gadis itu pun menahan sepasang senjatanya dan memandang sambil mengeluarkan senyuman. Wai Sauw Pu Pendeta bersorban itu melompat dan seketika ia mengeluarkan tangan menepuk pundak dan mengurut punggung Giok Im Cu, Tosu itu pulih kembali jalan darahnya. Giok Im Cu menjura kepada Ma Hoa dan bertanya,
"Nona, apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?"
"Ada perlu apakah kau menanyakan Suhuku?"
"Oh... jadi kau murid Hok Peng Taisu? Pantas... pantas."
Dengan kecewa sekali Giok Im Cu mengundurkan diri.
Ia tadi merasa penasaran dan malu sekali karena dikalahkan sedemikian macam oleh seorang gadis muda yang tidak terkenal. Bagi seorang jagoan, jauh lebih baik dikalahkan sampai tewas dalam pertandingan daripada dikalahkan secara demikian, yaitu tertotok sampai tak berdaya yang hampir sama dengan penghinaan namanya. Akan tetapi setelah ia mendengar bahwa gadis itu adalah murid Hok Peng Taisu, rasa penasarannya sebagian besar lenyap. Ia telah menyaksikan kepandaian Hok Peng Taisu dan maklum bahwa ilmu kepandaian mainkan Bambu runcing itu adalah semacam ilmu yang takkan dapat dilawannya, biarpun ia akan melatih diri sepuluh tahun lagi! Dengan girang sekali, juga disertai kebanggaan hati, Yousuf lalu menghampiri Ma Hoa dan berkata,
"Anak nakal, kelak kau harus menceritakan padaku darimana kau mendapatkan ilmu silat yang luar biasa itu!"
Melihat betapa dua kali fihaknya mengalami kekalahan, Sahimba gelisah sekali dan hendak minta kepada Siok Kwat Mo-li yang dianggap paling lihai di antara semua pembantunya untuk menebus kekalahan. Akan tetapi, Wai Sauw Pu yang merasa penasaran dan marah, telah mendahului dan kini Pendeta bersorban yang tinggi besar itu telah berdiri sambil bersedakap dan menantang.
"Dia yang mempunyai kepandaian boleh maju!"
Pendeta dari Sin-kiang ini selain bertubuh tinggi besar, juga sepasang matanya tajam berpengaruh sekali. Ia memang telah mempelajari banyak ilmu kepandaian yang tinggi, diantaranya ia mempelajari pula Hoat-Sut (Ilmu Sihir) yang datang dari Barat. Pernah ia menghadapi Ang I Niocu dan tahu bahwa dalam hal ilmu silat, belum tentu ia akan dapat menangkan rombongan lawan yang biarpun masih muda-muda akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi, maka kini ia mengambil keputusan untuk melawannya dengan ilmu silat yang dipengaruhi sihir! Oleh karena itu, ia memasang kuda-kuda dengan berpangku tangan seperti orang hendak bertapa berdiri! Ketika Ang I Niocu hendak maju, tiba-tiba Ibrahim berseru,
"Ang I Niocu, tahan dulu, yang besar ini adalah bagianku!"
Dengan langkah yang sembarangan bagaikan orang lelah atau malas, Ibrahim menghampiri Wai Sauw Pu dan memandangnya dengan muka memperlihatkan kegelian hatinya. Si Pendeta Tinggi Besar itu tertawa ketika ia berkata,
"Aku tadi mendengar bahwa kau diperkenalkan sebagai Guru dari Yousuf, apakah kau orang tua yang sudah tinggal menanti saat terakhir ini juga hendak meniru kedunguan muridmu dan mencampuri urusan orang lain?"
"Wai Sauw Pu, sebagai seorang yang mempelajari kebatinan, agaknya kau lupa akan dua perkara. Pertama, bahwa jalan yang ditunjuk Tuhan bagi manusia adalah jalan kebenaran yang berdasarkan amal kebaikan dan bahwa mereka yang berjalan di atas ini saja akan mendapat berkah abadi. Ke dua, bahwa akhir kehidupan tidak tergantung daripada usia tua, bilamana saja Tuhan menghendaki, setiap manusia, tua maupun muda, akan berakhir hidupnya! Akan tetapi kau telah melanggar syarat pertama dan tidak berjalan di atas jalan kebenaran, bahkan membiarkan hatimu ditunggangi oleh nafsu keduniaan dan menjadi silau oleh bersinarnya emas yang sebetulnya tiada bedanya dengan tanah lempung biasa! Pula, kau telah mengingkari kekuasaan Tuhan yang berkuasa atas nyawa setiap manusia dengan mengatakan bahwa saat terakhir bagiku sudah dekat, karena menurut pandanganku yang bodoh kalau kau tidak lekas-lekas mengubah dan menginsyafi kesesatanmu, agaknya kau lah yang akan mendahului aku masuk ke dalam neraka!"
Tadinya Wai Sauw Pu sengaja mengucapkan omongan menghina untuk memancing kemarahan dalam hati Kakek tua itu, akan tetapi tidak tahunya sekarang dia sendiri yang menjadi marah mendengar petuah ini! Ia hendak membikin lawan yang akan dihadapinya marah karena ia maklum bahwa kemarahan akan melemahkan batin orang agar mudah dipengaruhi oleh ilmu sihirnya. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Ibrahim, tokoh tua yang dihormati orang di Turki oleh karena selain pandai ilmu silat dan pengobatan, Kakek ini terkenal sebagai seorang ahli kebatinan berilmu tinggi!
"Kalau begitu, hendak kita lihat bersama saja, siapa yang akan mampus terlebih dahulu!"
Teriak Wai Sauw Pu sambil mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu seikat Tasbeh dari gading. Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An pernah merasai kelihaian Wai Sauw Pu ini maka mereka memandang dengan penuh kekuatiran. Dapatkah Kakek rambut putih yang kelihatannya lemah itu menghadapi Pendeta tinggi besar itu? Hanya Yousuf seorang yang masih tenang karena ia percaya penuh akan kelihaian gurunya.
Gerakan Tasbeh gading di tangan Wai Sauw Pu kali ini berbeda dengan gerakan biasanya, karena kini ia bersilat dengan ilmu sihir sehingga dari sambaran gadingnya itu seakan-akan keluar hawa yang membuat hati menjadi gentar dan berpengaruh melemahkan semangat lawan. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus dari Ibrahim dan Kakek rambut putih ini pun lalu menarik keluar seikat Tasbeh kecil yang terbuat daripada batu-batu kemala putih! Tasbeh ini kecil saja dan digerakkan dengan lambat dan perlahan, akan tetapi aneh, tiap kali Tasbeh gading dari Wai Sauw Pu menyambar dan bertemu dengan Tasbeh kecil itu, senjata Pendeta bersorban itu terpukul dan membalik menyambar ke arah muka atau tubuh pemegangnya sendiri! Wai Sauw Pu terkejut sekali karena ia baru maklum bahwa Kakek itu ternyata memiliki ilmu batin yang kuat sehingga ilmu sihir yang ia kerahkan dalam serangan Tasbehnya ternyata telah dikembalikan dan membahayakan dirinya sendiri!
Ia cepat menghentikan ilmu sihirnya dan kini menyerang dengan menggunakan seluruh tenaga dan kepandaian silatnya! Ia bertindak benar. Kalau saja ia melanjutkan serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti akan menderita celaka karena dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengatasi kekuatan Ibrahim! Akan tetapi dalam hal ilmu silat, ternyata bahwa keadaan mereka seimbang. Ibrahim yang sudah tua itupun harus mengerahkan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim dengan mudah dapat menggunakan kekuatan batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu tanpa mengeluarkan tenaga tubuh, akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini. Kalau lawannya mempergunakan ilmu hitam barulah ia akan menjaga diri dan mengembalikan segala serangan itu,
Akan tetapi oleh karena Wai Sauw Pu kini hanya mengandalkan kepandaian silatnya, Ibrahim yang tidak mau bermain curang itu pun lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan. Biarpun ilmu silat mereka seimbang, akan tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas, biarpun ia menang dalam hal ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu, kedua orang itu bertempur dengan ramai sekali, sukar diduga siapa yang akan mendapat kemenangan terakhir. Ang I Niocu, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa kasihan melihat betapa Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur mati-matian menghadapi Wai Sauw Pu yang mempunyai gerakan ganas dan kuat. Akhirnya Nelayan Cengeng tak dapat menahan hatinya lagi dan dengan keras ia berkata,
"Ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak berdaya menghadapi seorang Kakek tua renta. Sedangkan Tasbehnya saja gede-gede, segede obrolan dan kesombongannya. Ha-ha-ha. Lihat, lihat, aku berani bertaruh apa saja, dalam sepuluh jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!"
Bukan main marahnya Wai gauw Pu mendengar ejekan ini, karena ia pun tadi telah merasa penasaran dan panas perut karena Kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali dijatuhkan, kini ditambah dengan sindiran Nelayan Cengeng, ia tidak dapat menahan marahnya lagi dan sekali ia berseru, tangan kirinya telah mengayun senjata rahasianya yang lihai yaitu Golok-golok kecil yang disebut Hui-To (Golok Terbang) dan yang jumlahnya tiga buah itu meluncur cepat ke arah Ibrahim. Hui-To ini selain harus menggunakan tenaga Lweekang untuk menyambitkannya, juga disertai ilmu sihir sehingga Golok itu seakan-akan hidup dan menyambar bagaikan digerakkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan. Ibrahim tertawa bergelak dan berkata,
"Wai Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu sendiri dengan Hui-To?"
Dan aneh, sehabis Kakek itu mengeluarkan ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga batang Golok yang meluncur ke arahnya itu tiba-tiba membelok dan membuat gerakan kembali serta menyerang ke arah Wai Sauw Pu sendiri. Bukan main terkejutnya Pendeta bersorban itu ketika melihat betapa tiga batang Hui-Tonya menyerang dia dan tak dapat dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi, maka cepat-cepat ia mengebut dengan Tasbehnya ke arah tiga batang Golok itu sambil membentak.
"Runtuh!!"
Benar saja, tiga batang Golok itu runtuh ke bawah, akan tetapi yang sebatang masih menghantam kakinya sehingga terlukalah kakinya oleh ujung Golok. Pada saat itu, di luar terdengar sorak sorai hebat dan Sahimba dengan senyum menyeringai lalu berseru,
"Yousuf, tibalah saatnya kalian binasa di ujung senjata!"
Sambil berkata demikian, Sahimba lalu mencabut Pedang dan menyerang Yousuf, diikuti oleh Siok Kwat Mo-li yang mencabut sabuk kuning emas dan mainkan sabuk itu dengan hebat. Lok Kun Tojin lalu mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sepasang roda yang diikat dengan tali. Juga ketiga orang Tosu Kang-Lam Sam-Lojin lalu menarik keluar senjata masing-masing dan maju menyerbu kepada Yousuf dan kawan-kawannya.
"Manusia-manusia curang!"
Seru Nelayan Cengeng sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat bagaikan seekor Naga sungai mengamuk.
Ang I Niocu juga lalu mencabut Pedang Cian-Hong-Kiam, Kwee An mencabut Pedangnya Oei-Hong-Kiam yang bercahaya kuning, sedangkan Ma Hoa lalu menggerak-gerakkan sepasang Bambu runcingnya! Pertempuran dalam ruangan itu makin menghebat, dan kini mereka bertempur bukan untuk mengadu kepandaian, akan tetapi mengadu jiwa! Ternyata bahwa sorakan tadi datang dari kawan-kawan Sahimba yang memang telah direncanakan untuk maju menyerbu dan jumlah mereka amat besar sehingga orang-orang kampung pengikut Pangeran Tua yang dikepalai oleh Yousuf terdesak. Para penyerbu itu telah tiba di depan pintu Yousuf dan sebentar lagi mereka menyerbu ke dalam, membantu Sahimba dan kawan-kawannya! Siok Kwat Mo-li dilawan oleh Ang I Niocu, Lok Kun Tojin dilawan oleh Nelayan Cengeng sedangkan Kang-Lam Sam-Lojin bertempur melawan Ma Hoa dan Kwee An.
Kepandaian mereka berimbang dan pertempuran pasti akan berjalan seru dan lama apabila fihak Sahimba tidak menggunakan kecurangan. Terdengar seruan Siok Kwat Mo-li dan iblis wanita ini lalu menyebar jarum-jarumnya yang berbahaya, sedangkan Wai Sauw Pu kembali mengeluarkan Hui-To-Hui-To yang tak kurang berbahayanya pula. Tak lama kemudian, selagi Yousuf dan kawan-kawannya terdesak karena fihak lawan menyebar senjata-senjata rahasia yang lihai itu, dari luar masuklah para penyerbu yang telah berhasil memecahkan pertahanan para anak buah Yousuf. Pengikut-pengikut Pangeran Muda lebih ganas dan lebih banyak jumlahnya, sehingga banyak sekali anggota pengikut Pangeran Tua kena dilukai atau dibinasakan. Melihat itu, Ibrahim segera berseru nyaring bagaikan seorang berdoa,
"Ampunkan hamba, Tuhan! Bukan maksud hamba hendak mengotorkan tangan membunuh, akan tetapi demi keselamatan semua kawan ini!"
Ia lalu mengerahkan kesaktiannya dan tiba-tiba ia mementang kedua lengannya ke depan dengan mata memandang penuh kekuatan batin.
"Sahimba... Dan enam orang kawanmu... dengarlah... aku perintahkan kalian berlutut... berlutut... berlutut...!"
Hal yang aneh terjadi. Sahimba dan kawan-kawannya tiba-tiba merasa kepala mereka pening dan tak dapat menguasai diri sendiri lagi. Akhirnya, seorang demi seorang menjatuhkan diri berlutut dan melempar senjata! Hanya Wai Sauw Pu yang juga memiliki ilmu sihir itu masih kuat mempertahankan diri.
"Ha-ha-ha... tua bangka... kau harus mampus..."
Dan secepat kilat ia mengayun enam batang Hui-To ke arah Ibrahim yang masih berdiri diam dengan tangan terpentang bagaikan patung. Enam batang Hui-To itu menancap dengan jitu ke sasarannya dan tubuh Ibrahim terhuyung-huyung lalu roboh. Wai Sauw Pu tertawa bergelak-gelak, akan tetapi pada saat itu sebatang dayung di tangan Nelayan Cengeng menghantamnya dan biarpun ia masih mencoba mengelak, akan tetapi dayung itu masih menghantam dadanya sehingga beberapa tulang iganya patah-patah dan ia roboh di dekat mayat Ibrahim dalam keadaan tidak bernyawa pula!
Sementara itu, karena tewasnya Ibrahim maka pengaruh sihirnya pun lenyap dan Sahimba beserta kawan-kawannya menjadi sadar kembali. Akan tetapi, sebelum mereka sempat mengambil kembali senjata mereka, Yousuf yang marah sekali telah maju menyerang Sahimba hingga tembuslah punggung Sahimba oleh Pedang Yousuf. Juga Ang I Niocu dan kawan-kawannya lalu menyerang lawan-lawannya yang kini melakukan perlawanan dengan tangan kosong. Akan tetapi, para penyerbu yang terdiri dari anak buah Sahimba, telah masuk dan mengeroyok, sehingga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan ketiga Kang-Lam Sam-Lojin telah mendapat kesempatan untuk mengambil senjata mereka kembali. Pertempuran hebat berlangsung terus dan kini Yousuf dan kawan-kawannya mengamuk seperti Harimau-Harimau berebut daging.
Terutama sekali Nelayan Cengeng yang sambil tertawa bergelak dan mata mengalirkan air mata, memutar-mutar dayungnya dengan dahsyat sehingga tidak saja para penyerbu menjadi gentar, akan tetapi juga Siok Kwat Moli dan kawan-kawannya menjadi jerih juga. Dalam perkelahian itu, Siok Kwat Mo-li mendapatkan luka oleh tusukan Pedang Ang I Niocu di pundaknya, sedangkan sebuah roda dari Lok Kun Tojin telah terampas oleh Bambu runcing Ma Hoa. Oleh karena ini, mereka makin cemas dan lenyaplah nafsu perlawanan mereka, apalagi karena kini Sahimba yang mereka bantu telah tewas dan anak buahnya mulai melarikan diri pula. Dengan teriakan keras, Siok Kwat Mo-li lalu mengajak kawan-kawannya untuk kabur. Yousuf tidak mengejar mereka, bahkan mencegah kawan-kawannya yang hendak mengejar,
"Biarlah, sudah terlalu banyak orang binasa dalam perang saudara yang terkutuk ini!"
Yousuf lalu mengumpulkan anak buahnya yang masih ada dan mereka lalu merawat semua orang baik kawan maupun lawan yang terluka dalam pertempuran itu, serta mengurus yang telah tewas. Ang I Niocu, Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa tidak mau mengganggu Yousuf yang sedang berduka dan sedang sibuk mengurus semua itu, maka mereka lalu beristirahat dalam sebuah rumah di dalam kampung itu yang disediakan untuk mereka. Setelah mereka berempat ramai membicarakan peristiwa yang baru terjadi dan mengambil keputusan untuk membantu Yousuf selama para pengacau dari Turki itu masih mengganggunya, tiba-tiba Ma Hoa lalu berkata kepada Kwee An.
"An-ko, mengapa kita lupa untuk memberi selamat kepada Enci Im Giok?"
Gadis ini bicara sambil tersenyum gembira sehingga Ang I Niocu menjadi terheran. Apalagi ketika ia melihat Kwee An memandangnya dengan tersenyum pula. Selagi ia hendak bertanya, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa girang dan berkata,
(Lanjut ke Jilid 30)
Pendekar Bodoh (Seri ke 03 - Serial Pendekar Sakti)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 30
"Tadi kita tidak ada kesempatan. Sekarang akulah orang pertama yang harus memberi selamat kepadanya!"
Kemudian ia menghadapi Ang I Niocu lalu mengangkat kedua lengan memberi selamat sambil berkata keras-keras.
"Ang I Niocu, kionghi... kionghi" (selamat, selamat)!"
Ucapan ini diturut oleh Kwee An dan Ma Hoa yang juga berdiri memberi selamat. Ang I Niocu memandang berganti-ganti kepada mereka bertiga lalu katanya gagap,
"Nanti dulu...! Memberi selamat sih mudah, akan tetapi terangkanlah dulu untuk apakah kalian memberi selamat...?"
"Ha, masih berpura-pura lagi! Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!"
Ma Hoa menggodanya sambil memegang lengan Ang I Niocu.
"Enci Im Giok, kau memang tidak ingat kepada kawan. Mengapa urusan itu kau rahasiakan saja?"
"Adik Hoa, kalau kau tidak mau lekas menceritakan padaku apa maksud kalian ini, tentu akan kucubit bibirmu!"
Kata Ang I Niocu dengan gemas sambil memandang kepada Ma Hoa dengan mata dipelototkan.
"Ha-ha-ha!"
Nelayan Cengeng tertawa bergelak.
"Urusan pertunangan dan jodoh adalah hal biasa saja, mengapa harus dirahasiakan terhadap kawan-kawan?"
"Pertunangan...? Jodoh... ?"
Ang I Niocu memandang heran.
"Enci Im Giok, janganlah kau berpura-pura lagi. Kami tanpa disengaja telah mengetahui rahasiamu!"
Kata Ma Hoa, sedangkan Kwee An hanya tersenyum saja karena ia merasa malu dan tidak berani menggoda Ang I Niocu.
"Nanti dulu, Adik Hoa, aku masih belum mengerti. Urusan pertunangan yang manakah kau maksudkan?"
"Aduh, pandainya bermain sandiwara!"
Ma Hoa menggunakan telunjuknya yang runcing menuding ke arah muka Ang I Niocu.
"Siapa lagi kalau bukan urusan pertunanganmu? Jangan kau menyangkal bahwa kau telah bertunangan, Enci Im Giok! Buktinya nampak di depan mata!"
"Apa buktinya?"
Ma Hoa menuding ke arah Pedang yang tergantung di pinggang Dara Baju Merah itu.
"Bukankah Pedang yang kau pakai itu adalah Cian-Hong-Kiam pemberian tunanganmu?"
Mulai berdebar dada Ang I Niocu.
"Darimana kau dapat mengetahui hal ini?"
Tanyanya.
"Dari siapa lagi kalau bukan dari Lie-Taihiap!"
Ang I Niocu bangkit berdiri dari tempat duduknya.
"Di... di mana dia...?"
Ma Hoa bertepuk tangan.
"Nah, nah... sekarang kau mencari-carinya. Kau mencari dia... siapakah, Enci...?"
Dengan gemas Ang I Niocu mengulurkan tangan hendak mencubit pipi Ma Hoa.
"Jangan main-main, Adik Hoa. Benar-benarkah kau bertemu dengan dia?"
"Eh... dia siapakah...? Jelaskan namanya, ah..."
Ma Hoa menggoda lagi, akan tetapi Kwee An merasa kasihan kepada Ang I Niocu maka ia berkata,
"Kami memang telah bertemu dengan Taihiap Lie Kong Sian."
"Di mana? Bagaimana kalian bisa bertemu dengan dia?"
Tanya Ang I Niocu dengan heran.
"Sabar, Enci Im Giok. Sabar dan tenang. Kau duduklah baik-baik dan dengarlah ceritaku bagaimana kami bertemu dengan... calon suamimu yang gagah perkasa itu!"
Dengan muka merah karena jengah dan malu, Ang I Niocu yang "Mati kutunya"
Terhadap godaan Ma Hoa itu, lalu duduk dan mendengarkan penuturan Ma Hoa.
Setelah berpisah dari Ang I Niocu di dalam hutan, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Barat. Tujuan mereka ialah Propinsi Kan-Su dan ibu Kotanya, yaitu Lan-Couw. Mereka bertiga kini lebih bergembira melanjutkan perjalanan, oleh karena kenyataan bahwa Ang I Niocu masih hidup benar-benar membuat mereka merasa gembira sekali, lebih-lebih Ma Hoa yang merasa suka sekali kepada Dara Baju Merah yang lihai itu. Gadis ini merasa betapa beruntungnya hidup ini. Ia dan kekasihnya selamat, bahkan mendapat Guru baru yang lihai, dan kini mendapat kenyataan bahwa Ang I Niocu juga selamat pula. Dan ia merasa yakin bahwa Lin Lin dan Yousuf tentu akan terhindar dari bahaya pula.
Alangkah akan senangnya kalau ia dapat bertemu dengan Lin Lin lagi. Kegembiraannya membuat ia merasa seakan-akan seekor burung yang terbang bebas di udara, sehingga seringkali ia mendahului Kwee An dan Nelayan Cengeng, berlari-lari di depan. Kwee An dan Nelayan Cengeng hanya tertawa saja melihat kegembiraan gadis itu. Mereka berdua dalam hati dan cara masing-masing mengagumi Ma Hoa dan memandang rambut gadis yang terurai dan berkibar-kibar di belakang leher itu. Kwee An merasa terharu melihat kesetiaan Ma Hoa yang untuk menyenangkan hatinya, benar saja menepati janjinya dan selalu membiarkan rambutnya terurai indah. Ketika Ma Hoa sedang berlari-lari seorang diri di depan dan Kwee An Nelayan Cengeng berjalan di belakang seenaknya, tiba-tiba gadis itu mendengar teguran suara halus,
"Aduh, alangkah indah dan jelitanya bidadari berambut panjang."
Ketika ia memandang, ia melihat seorang pemuda yang tampan dan yang berpakaian indah mewah sedang duduk di atas cabang pohon di atasnya sambil memandang dengan kagum dan tersenyum kepadanya.
"Laki-laki ceriwis! Tutup mulutmu yang lancang!"
Kata Ma Hoa dan ia tidak mau terganggu kegembiraannya, karena di dalam hatinya ia merasa bangga dan girang mendapat pujian itu. Wanita manakah yang tidak suka menerima pujian tentang kecantikannya, apa lagi kalau yang memuji itu seorang pemuda tampan? Ma Hoa melanjutkan perjalanannya, akan tetapi ia menahan tindakan kakinya karena pemuda itu berkata lagi sambil tertawa.
"Bidadari manis! Hatimu gembira menerima pujianku, mengapa kau tidak membentangkan sayapmu dan terbang melayang ke sini, duduk di atas cabang yang enak ini di sampingku, menikmati angin yang bersilir di pohon?"
Kini marahlah Ma Hoa.
"Bangsat bermulut lancang! Apakah kau sudah ingin mampus?"
"Eh, eh, makin manis saja kalau marah-marah. Jarang aku melihat seorang gadis semanis kau! Sayang sekali rambut itu terlalu liar dan seharusnya diikat dengan pita merah ini!"
Sambil berkata demikian, pemuda itu lalu mengeluarkan sehelai pita merah dan sekali ia mengayun tangannya, pita merah itu meluncur ke bawah dan menyambar kepala Ma Hoa! Ma Hoa mengelak dan miringkan kepalanya, akan tetapi agaknya pemuda itu memang telah memperhitungkan hal ini, maka ia menyambit ke arah belakang kepala, karena ketika Ma Hoa miringkan kepala, rambutnya terbawa angin gerakan ini dan terurai di belakangnya sehingga dengan tepat pita merah itu mengenai rambutnya dan secara aneh sekali pita merah itu betul-betul membelit rambutnya, seakan-akan dipasang oleh tangan seorang ahli! Ma Hoa marah sekali. Ia merenggutkan pita merah itu, membantingnya ke atas tanah dan menginjak-injaknya!
"Bangsat liar! Kau betul-betul sudah bosan hidup!"
Teriaknya sambil meloloskan sepasang Bambu runcingnya dan dengan gerakan kilat ia melompat ke atas sambil menyerang! Pemuda itu terkejut juga karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis yang digodanya itu pandai ilmu silat yang luar biasa ini, maka ia lalu menggerakkan tubuh dan mengelak sambil melayang turun, lalu berdiri dan bertolak pinggang.
"Ah, ah, tidak tahunya bidadari rambut panjang ini lihai juga! Mari, kau majulah untuk main-main denganku sebentar!"
Ma Hoa tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Ia lalu menyerang dengan gesit dan sengit hingga pemuda tampan itu terpaksa harus berlaku waspada. Akan tetapi, begitu ia bergerak, Ma Hoa merasa kaget. Sambaran angin yang keluar dari kebutan tangan pemuda itu telah berhasil membuat serangan Bambu runcingnya jadi miring! Alangkah hebatnya tenaga ini. Maka ia lalu menyerang lagi bertubi-tubi dengan ganas dan penasaran. Pada saat itu, datanglah Kwee An dan Nelayan Cengeng. Melihat betapa Ma Hoa sedang menggunakan sepasang Bambu runcing menyerang seorang laki-laki yang hebat sekali gerakannya, mereka lalu berlari cepat menghampiri.
"Tahan...!"
Kata Nelayan Cengeng hingga Ma Hoa meloncat mundur dengan taat. Pemuda tampan itu memandang kepada Nelayan Cengeng dan Kwee An, lalu mengernyitkan hidungnya dengan pandang menghina dan bertanya.
"Tuan besarmu sedang bermain-main dengan gadis cantik, mengapa kalian ini budak-budak hina berani mengganggu?"
Merahlah wajah Kwee An mendengar ini, maka ia segera mencabut Pedang dan membentak,
"Darimana datangnya bajingan yang kurang ajar?"
Sementara itu, Nelayan Cengeng yang menerima hinaan ini balas mengejek,
"Eh, eh! Ma Hoa, Kwee An, kalian lihatlah baik-baik. Manusia ini bukan seorang laki-laki aseli, juga bukan seorang wanita."
Kwee An tidak tahu bahwa Kakek ini sedang berolok-olok, maka dengan heran ia bertanya,
"Kalau bukan laki-laki juga bukan wanita, habis apa?"
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Banci"! Ia seorang banci...! Ha-ha-ha!"
Dan Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak sehingga bercucuranlah air matanya. Juga Ma Hoa dan Kwee An ikut pula tertawa. Akan tetapi, laki-laki tampan itu dengan masih bertolak pinggang, lalu bertanya,
"Kakek gila, dengan alasan apakah kau menyebutku banci?"
"Tidak ada laki-laki yang membedaki mukanya dan tidak ada perempuan yang berlagak seperti ini, akan tetapi kau tidak hanya membedaki mukamu, bahkan kulihat memakai yancu dan pemerah bibir! Ha-ha-ha!"
Memang laki-laki itu pesolek benar sehingga mukanya sampai dibedaki dan diberi merah-merah. Akan tetapi ketika mendengar kata-kata ini ia menjadi marah dan berkata,
"Kakek gila, kau belum tahu siapa adanya orang yang kau hina ini, maka kau berani membuka mulut secara sembrono. Ketahuilah, aku Song Kun yang berjuluk Kwi-Eng-Cu Si Bayangan Iblis, tidak biasa memberi ampun kepada orang yang telah menghinaku!"
Pendekar Kelana Eps 16 Dara Baju Merah Eps 5 Pendekar Sakti Eps 31