Pendekar Bodoh 4
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Pikiran anak ini terlalu senang dan gembira karena ia mendapat kenyataan bahwa gadis baju merah yang berlaku manis kepadanya itu ternyata memiliki kepandaian yang lebih hebat dan lihai dari pada Hai Kong Hosiang, Hwesio gundul yang memelihara ular itu. Ketika Kong Hosiang dulu dikeroyok oleh tiga Tosu ini di depan Ban-Hok-Tong, Hwesio itu tidak kuat melawan mereka sehingga akhirnya terpaksa melepaskan ular-ularnya. Tetapi kini, biarpun dikeroyok dengan hebat, ternyata Ang I Niocu masih sempat menari-nari dengan bibir tersenyum. Tiba-tiba lalat yang beterbangan dan menyambar-nyambar hidung Cin Hai itu tersesat dan salah masuk ke dalam mulut Cin Hai yang ternganga! Anak itu baru sadar dan dengan marah ia menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah serta memaki-maki lalat itu. Lalu ia ingat akan sesuatu. Tarian yang dilihatnya ketika gadis itu menari di depan gua.
Sayang kalau tarian seindah ini tidak dihiasi dan diiringi nyanyian Suling. Maka ia lalu meniup Sulingnya meniup lagu yang merdu dan bernada tinggi. Benar saja, ketika mendengar suara Suling, Ang I Niocu tertawa senang dan tiba-tiba gerakan Pedangnya berubah makin hebat! Apalagi ketika Cin Hai meniup Sulingnya dengan nada meninggi dan irama cepat, maka gadis itu bersilat makin cepat lagi hingga sebentar saja orang dan Pedang lenyap terganti gundukan sinar putih dan di tengah-tengah gundukan sinar itu tampak warna merah pakaiannya! Tentu saja perubahan ini membuat ketiga Tosu itu terkejut sekali. Hampir saja ujung Pedang gadis itu berhasil melukai mereka dengan cepat dan tak terduga serta dalam waktu yang bersamaan hingga ketiganya meloncat mundur!
"Ang I Niocu, kau memang lihai sekali! Kini kami mengakui bahwa ilmu Pedangmu benar-benar lihai,"
Kata Giok Yang Cu dengan jujur.
"Kau memang cukup pantas menjadi Guru anak tolol ini, Nona,"
Kata Giok Keng Cu dengan suara mengandung ejekan.
"Hem, Cin Hai, kalau kau baik-baik belajar silat dari Ang I Niocu, kau tentu akan mencapai kemajuan hebat,"
Kata Giok Im Cu. Tetapi Cin Hai tidak mempedulikan semua omongan itu karena hatinya sangat gembira melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata benar-benar lihai dan berkepandaian jauh lebih tinggi dari pada tiga Tosu itu digabung menjadi satu! Sementara itu, Ang I Niocu mendengar kata-kata ketiga Pendeta, lalu berkata sambil tetap tersenyum,
"Sam-wi Totiang, aku bukan Guru engko cilik ini dan juga tidak akan menjadi gurunya."
Mendengar kata-kata ini, Cin Hai mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata cepat,
"Betul, betul! Ada nyanyian kuno menyatakan bahwa Guru yang terpandai berada di dalam diri sendiri! Nona perkasa ini belajar menyuling dari aku, dan aku sendiri belajar menari darinya, siapakah yang disebut Guru dan siapa murid?"
Ang I Niocu tertawa manis mendengar ucapan ini dan keduanya lalu menjura ke arah tiga Tosu yang memandangnya dengan bengong, lalu keduanya berjalan dengan perlahan meninggalkan tempat itu. Setelah beberapa bulan lamanya mengikuti Ang I Niocu, maka mengertilah Cin Hai bahwa ketika dara baju merah itu dulu bersyair di depan Kang-Lam Sam-Lojin, maka itu adalah syair yang memang menggambarkan keadaan hidupnya. Gadis itu tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap,
berkelana, merantau bagaikan seekor burung, terbang ke sana ke mari, tanpa maksud atau tujuan tertentu dan pergi ke mana saja mengandalkan kaki dan hati! Akan tetapi, karena Cin Hai juga sebatangkara dan tidak mempunyai tujuan hidup tertentu, maka perantauan ini tidak menyusahkan hatinya. Bahkan ia merasa bahagia sekali karena Ang I Niocu benar-benar baik sekali kepadanya. Wanita muda itu selain pandai sekali menari, juga pandai bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Setiap waktu bila mereka singgah di tempat yang baik dan menyenangkan, Ang I Niocu lalu meminjam Suling Cin Hai dan mulai belajar meniupnya dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk anak gundul itu. Sebaliknya dengan gembira Cin Hai mulai mempelajari tari yang sebenarnya bukan lain adalah ilmu silat luar biasa yang disebut Sianli-Kun-Hwat atau Ilmu Silat Bidadari.
Tetapi mula-mula ia mengalami kesukaran karena betapapun juga, ia adalah seorang anak laki-laki dan tubuhnya tidak selemas tubuh perempuan, padahal Sianli-Kun-Hwat membutuhkan tubuh yang lemas dan gaya yang lemah lembut. Akan tetapi dengan sabar dan telaten Ang I Niocu melatih Lweekang kepada Cin Hai hingga tenaga anak gundul ini bertambah cepat sekali, apalagi juga memberi latihan Ilmu Jui-Kut-Kang yaitu ilmu untuk melemaskan badan hingga Cin Hai dapat juga memainkan Sianli-Kun-Hwat, biarpun masih agak kaku. Sementara itu Cin Hai tidak lupa untuk mempelajari Ilmu Silat Liong-San Kun-Hwat yang telah dicatat dan dilukis sebanyak delapan puluh jurus itu! Melihat bahwa Cin Hai mempelajari Liong-San Kun-Hwat, Ang I Niocu hanya tersenyum dan berkata,
"Jangankan baru kau pelajari delapan puluh jurus, biarpun kau mempelajari sampai tamat yaitu seratus delapan jurus, tetap ilmu silat ini takkan mampu mengalahkan Sianli-Kun-Hwat."
Cin Hai juga tersenyum. Ia maklum bahwa Ang I Niocu takkan melarangnya karena memang dara itu tak berhak melarangnya. Ia bukan murid Gadis Baju Merah itu! Dan ia tetap mempelajari Liong-San Kun-Hwat sampai hafal semua delapan puluh jurus yang telah dicatatnya. Telah lima tahun Ang I Niocu berkelana seorang diri dan selalu bertemu dengan orang-orang jahat dan orang-orang yang membuat ia jemu. Hampir semua laki-laki yang berjumpa dengan dia selalu memperlihatkan pandangan mata yang mengandung maksud tidak baik, hingga ia benci melihat orang laki-laki. Akan tetapi perasaannya terhadap Cin Hai lain lagi.
Pandangan mata anak ini demikian jujur, demikian mesra dan demikian menimbulkan perasaan iba di dalam hatinya, hingga ia tertarik dan suka sekali kepada Cin Hai. Oleh karena ini, maka biarpun ia tidak menganggap Cin Hai sebagai muridnya, tetapi ia dengan sungguh hati hendak menurunkan Sianli-Kun-Hwat yang merupakan tarian indah dan sangat digemari oleh Cin Hai itu. Juga Ang I Niocu sangat tertarik akan kepandaian Cin Hai meniup Suling dan bakatnya mencipta lagu-lagu luar biasa. Pula, ia kagum akan pengertian Cin Hai tentang sastera, tentang sejarah kuno, dan tentang segala macam ujar-ujar yang sangat indah didengar. Apalagi nyanyian To-Tik-Khing sangat menarik hatinya hingga setiap kali ada kesempatan tentu ia menghapalkan sebuah ayat daripada kitab peninggalan Nabi Locu yang bijaksana itu.
Sebaliknya, Cin Hai merasa sangat berterima kasih dan suka kepada Ang I Niocu, karena sikap gadis yang lemah lembut, kata-katanya yang halus merdu serta pandangan matanya yang kadang-kadang sayu itu mengingatkan ia akan Loan Nio, Ie-ienya (Bibinya), yang dianggap satu-satunya orang yang cinta padanya. Akan tetapi Bibinya terikat kepada keluarga Kwee-Ciangkun sehingga ia maklum bahwa rasa suka di hati Bibinya terhadap dia masih terbagi-bagi, sedangkan Ang I Niocu hidup sebatangkara seperti dia. Oleh karena inilah maka timbul rasa suka dan bakti yang besar sekali di dalam hati Cin Hai. Kini ia menganggap Ang I Niocu sebagai satu-satunya orang yang patut ia sayangi, patut ia bela dan patut ia ikuti.
Pernah pada suatu saat Dara Baju Merah itu bertanya tentang riwayatnya yang dijawab oleh Cin Hai dengan terus terang akan tetapi karena pengaruh ujar-ujar yang telah masuk ke dalam kepala, Cin Hai sama sekali tidak mau menyebut-nyebut segala kejahatan dan siksaan yang telah dilempar orang lain kepadanya. Ia teringat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa keburukan orang lain tak perlu disebut-sebut, sedangkan kesalahan sendiri harus selalu diingat dan diperbaiki! Karena inilah, maka ia tidak pernah menceritakan kepada Ang I Niocu tentang kenakalan-kenakalan Kwee Tiong dan adik-adiknya, tidak menceritakan kebencian Guru silat Tan Hok yang hampir saja membunuhnya. Akan tetapi ketika Cin Hai bertanya tentang riwayat Ang I Niocu, gadis itu hanya tersenyum sedih dan untuk beberapa lama sinar matanya yang biasanya berseri-seri itu tiba-tiba menjadi suram.
"Ah, Niocu, kalau kau tidak suka mengenang kembali atau menceritakan riwayat hidupmu padaku, sudahlah. Lebih baik kita berlatih saja, kau berlatih meniup Suling, sedangkan aku berlatih menari."
Ang I Niocu kembali tersenyum dan lenyaplah kenang-kenangan sedih tadi. Ia memandang Cin Hai dengan rasa terima kasih terkandung dalam sinar matanya, lalu ia mengambil Suling itu dan mulai meniupnya.
Cin Hai juga segera meloncat dan menggulung lengan bajunya serta mengencangkan ikat pinggangnya, lalu mulai bergerak menari! Memang berkat kerja sama mereka, maka tarian itu dapat disesuaikan dan diselaraskan dengan lagu tiupan Suling hingga dengan demikian pelajaran menari menjadi lebih mudah diingat oleh Cin Hai. Biarpun pada saat itu ia telah mempelajari tari lebih dari setengah tahun, namun ia baru saja dapat memainkan beberapa belas jurus tarian dengan baik, sedangkan selanjutnya gerakannya masih sangat kaku dan tidak tepat! Maka dapat dimengerti betapa sukarnya mempelajari Sianli-Kun-Hwat itu. Juga karena sebagian besar dari tarian itu dilakukan dengan berdiri di atas ujung jari kaki, maka tentu saja membutuhkan tenaga kaki yang lebih besar sehingga kalau orang kurang latihan tentu takkan sanggup menarikannya sampai lama. Sehabis latihan, Ang I Niocu berkata,
"Gerakan yang ke tiga dan ke delapan masih kurang sempurna. Hanya jurus satu, dua, empat sampai tujuh dan sembiIan sampai lima belas yang sudah lumayan. Tetapi selebihnya, dari jurus ke enam belas, masih sangat jauh untuk dapat disebut lumayan. Gerak-gerakkanlah jari tanganmu dengan hidup karena gerakan-gerakan jari itu menghidupkan jurus gerak tipu Burung Surga Membuka Sayap. Kau harus mengerti bahwa Burung Surga adalah burung yang biasa ditungganggi Bidadari, maka semua gerakannya mengandung arti dan maksud tertentu. Jari-jari kita dalam gerakan ini merupakan ujung-ujung sayap yang harus digerak-gerakkan dalam menghadapi lawan, maka gerakan-gerakan jari ini sangat penting karena dapat membingungkan lawan dan dapat
(Lanjut ke Jilid 04)
Pendekar Bodoh (Seri ke 03 - Serial Pendekar Sakti)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
menyembunyikan maksud gerakan satu serangan kita yang sesungguhnya. Kau tentu masih ingat bahwa sepuluh jari tangan kita dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan dalam berpuluh macam gerakan. Apakah kau masih hafal semua?"
Demikianlah Ang I Niocu memberi petunjuk-petunjuk yang didengar dan diturut oleh Cin Hai dengan penuh perhatian. Dan dari uraian Ang I Niocu itu dapat diketahui betapa sulit dan lihainya limu Silat Sianli-Kun-Hwat itu, karena satu jurus saja mempunyai pecahan demikian banyak dan hebat! Setelah berlatih, mereka beristirahat di bawah pohon besar dan pada kesempatan ini Ang I Niocu menuturkan tentang tokoh-tokoh besar yang pernah dijumpai Cin Hai. Memang Cin Hai menceritakan pengalamannya ketika ia berada di atas genteng Kuil Ban-Hok-Tong dan melihat Kanglam Sam-Lojin berkelahi mati-matian melawan Hai Kong Hosiang!
"Kau sungguh mujur dan beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Hai Kong Hosiang. Ketahuilah, Hwesio ini memang jahat sekali dan berwatak kejam, biarpun ia bukanlah seorang penjahat kecil yang suka melakukan segala perbuatan jahat yang tidak berarti. Kalau ia melakukan sesuatu kejahatan, maka kejahatan besar dan hebat sekali. Dan kau sungguh boleh dibilang lebih-lebih beruntung lagi karena telah tertolong dan bahkan diterima menjadi murid oleh Kakek yang mengaku bernama Bu Pun Su atau Tiada Kepandaian itu. Tahukah kau siapa adanya Kakek itu? Dia adalah Su- siok-Couwku (Kakek Paman Guru) sendiri!"
Terkejutlah Cin Hai mendengar ini.
"Astaga! Jembel tua itu adalah Susiok-Couwmu? Hebat, hebat dan tidak masuk akal. Kau yang berkepandaian begini tinggi hanya menjadi cucu muridnya? Kalau begitu, kepandaiannya tentu hebat sekali?"
Ang I Niocu mengangguk-angguk.
"Memang beliau adalah Susiok-Couwku, karena mendiang Ayahku adalah murid keponakannya. Dan tentang kepandaiannya, ah, sukar untuk diukur sampai berapa tingginya. Kalau tidak ada Susiok-Couw, maka tiga gerobak emas itu tentu telah dirampas oleh Hai Kong Hosiang atau Kang-Lam Sam-Lojin, atau beberapa orang gagah lain yang mengingini harta besar itu!"
"Tiga gerobak emas yang mana, milik siapa?"
Cin Hai bertanya heran.
"Emas sisa simpanan ahala Beng yang belum terampas oleh Kaisar Boan dan berhasil dilarikan oleh beberapa orang Patriot yang gagah berani, disimpan di sebuah kuil kuno di dekat Tiang-An ternyata hal itu dapat diketahui oleh Pemerintah Boan Yang segera berusaha merampasnya. Tetapi hal ini sudah lama diketahui oleh orang-orang gagah yang masih setia kepada Pemerintah Han sehingga mereka cepat mengambil harta itu dan berusaha mengungsikannya ke Utara untuk digunakan bilamana saat Pemberontakan tiba. Tetapi selain musuh-musuh dari pihak Kaisar, para Patriot itu menghadapi musuh yang lebih berbahaya lagi, yaitu orang-orang kang-ouw seperti Hai Kong Hosiang dan lain-lain, karena mereka ini pun mempunyai telinga yang tajam hingga mendengar pula tentang harta karun itu dan berusaha pula merampasnya! Karena inilah, maka mereka ini berkumpul di Tiang-An dan kebetulan sekali Hai Kong Hosiang yang pernah bermusuhan dengan Kang-Lam Sam-Lojin bertemu di depan Kuil Ban-Hok-Tong dan bertempur sebagaimana yang kau lihat itu. Sedangkan semua orang kang-ouw yang hendak merampas emas, semua takut dan lari ketika melihat Bu Pun Su yang sengaja turun gunung untuk membantu para Patriot mengungsikan emas itu. Secara kebetutan sekali, kau dapat ditolong olehnya dan diaku sebagai muridnya, bukankah ini hal yang aneh sekali?"
"Dia orang pandai dan suka mengaku murid kepadaku apakah anehnya?"
Ang I Niocu tersenyum.
"Mana kau tahu? Susiok-Couw adalah orang yang adatnya sangat Kukoai (ganjil) dan selama hidupnya belum pernah mempunyai seorang murid pun. Menurut kata Ayahku dulu, Susiok-Couw benci sekali kepada orang-orang yang berkepandaian silat, karena menurut beliau, kepandaian silat itu hanya mendatangkan malapetaka belaka! Agaknya orang tua itu sudah pikun dan lupa bahwa dia sendiri adalah seorang di antara tokoh-tokoh yang tingkatnya paling tinggi di dunia ini! Dan sekarang tiba-tiba saja ia mengangkat engkau sebagai muridnya. Bukankah ini aneh sekali?"
"Tetapi aku tidak senang menjadi muridnya!"
Tiba-tiba Cin Hai berkata.
"He, mengapa?"
Ang I Niocu bertanya.
"Entahlah, tetapi rasa hatiku, aku lebih suka belajar darimu daripada harus belajar dari Kakek jembel yang aneh adatnya itu. Bukankah kalau belajar padanya aku harus berpisah darimu?"
Ucapan ini dikatakan dengan hati jujur seorang anak-anak, tetapi Ang I Niocu mendengarkan dengan hati terharu sekali.
"Berjanjilah, Niocu, kau takkan meninggalkan aku!"
Cin Hai mendesak. Ang I Niocu mengangguk-angguk dan berkata lirih,
"Jangan kuatir, aku takkan meninggalkan kau."
Sebenarnya kurang pantas bagi Cin Hai untuk memanggil Ang I Niocu dengan sebutan "Niocu"
Yang biarpun artinya "nona"
Namun biasanya hanya dilakukan oleh seorang suami atau seorang kekasih. Akan tetapi, karena nona itu memang mempunyai gelaran Ang I Niocu, maka Cin Hai lalu menyebutnya "Niocu"
Begitu saja, karena hatinya yang jujur tidak dapat mencari lain sebutan yang lebih tepat. Sedangkan Ang I Niocu juga tidak peduli akan sebutan ini. Ketika Cin Hai yang pernah mendengar dari Kang-Lam Sam-Lojin tentang Giok-Gan Kui-bo Si Biang Iblis Mata lntan yang pernah dilihatnya ketika bertempur melawan seorang yang berpakaian Sasterawan, mengajukan pertanyaan kepada Ang I Niocu. Kemudian Gadis Baju Merah itu menjawab,
"Kanglam Sam-Lojin berkata benar. Memang dia itu adalah ciciku, yaitu Suci (Kakak Seperguruan), karena ia adalah murid Ayahku."
Tetapi Cin Hai juga tidak mendesak lagi karena anak ini selalu kuatir kalau-kalau hati Ang I Niocu akan menjadi sedih. Dari pandangan matanya yang tajam, anak yang berusia paling banyak sepuluh tahun ini dapat melihat keadaan orang dan seakan-akan ia dapat membaca isi hati gadis yang gagah perkasa itu! Demikanlah Cin Hai diajak merantau ke Selatan sampai ke daerah Lam-hu yang panas. Ketika mereka memasuki Kota Nam-Tin, maka dua tahun telah berlalu semenjak Cin Hai ikut Ang I Niocu merantau. Anak ini sekarang tidak gundul lagi, rambutnya tumbuh dengan subur, tebal dan hitam sekali. Keningnya lebar dan tubuhnya makin tegap dan tinggi. Tadinya memang Cin Hai tidak berniat memelihara rambut, karena setiap kali rambutnya sudah agak panjang, selalu timbul lagi kudis di kulit kepala. Akan tetapi ketika ia hendak mencukur rambutnya, Ang I Niocu melarangnya.
"Kau bukan seorang Hwesio, mengapa harus mencukur rambutmu?"
Tanya dara baju merah itu.
"Siapa yang tidak suka memelihara rambut yang hitam dan panjang? Aku pun tidak suka menjadi Hwesio kecil, tetapi apa daya, setiap kali rambutku memanjang, timbullah penyakit kudis yang gatal sekali di kepalaku!"
Dengan tertawa geli Ang I Niocu berkata,
"Coba kau pelihara rambutmu baik-baik, kau cuci setiap hari sampai bersih, tentu penyakit gatal itu lenyap!"
Dan benar saja, setelah mendapat rawatan Ang I Niocu yang setiap hari menyikat kulit kepala Cin Hai dengan air panas sampai bersih, penyakit gatal itu tidak mau timbul lagi! Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali dan ia memelihara rambutnya yang tumbuh subur dan hitam.
Juga Ang I Niocu mencarikan pakaian untuk Cin Hai, sebuah celana putih dan sepotong baju biru. Setelah mengenakan baju biru dan memelihara rambutnya, maka Cin Hai tampak cakap dan tampan sekali, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kejujuran itu membuat mukanya selalu nampak bodoh! Ketika mereka tiba di Kota Nam-Tin, Cin Hai telah berusia dua belas tahun, tetapi karena tubuhnya memang tinggi tegap, ia seperti seorang pemuda berusia lima belas tahun lebih. Hubungannya dengan Ang I Niocu makin mesra dan di dalam hati mereka terjalin rasa kasih murni yang putih bersih, seperti kasih sayang seorang ibu dan anak atau kakak beradik. Ketika mereka berdua berjalan di depan sebuah toko obat-obatan di dalam Kota Nam-Tin, tiba-tiba Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu.
"Niocu lihat, itulah orangnya yang dulu dirobohkan Giok-Gan Kui-bo!"
Ang I Niocu menoleh ke arah toko obat itu dan melihat seorang laki-laki, berusia tiga puluh tahun sedang berdiri di dalam toko. Orang itu tampan dan berpakaian seperti seorang Sasterawan. Tiba-tiba Ang I Niocu menarik tangan Cin Hai pergi dari situ hingga Cin Hai merasa heran melihat sikap nona itu.
"Eh, Niocu, apakah kau kenal kepadanya?"
Tanyanya.
"Hai-ji, tidak salahkah kau? Benar-benarkah orang yang berpakaian Sasterawan tadi yang dirobohkan oleh Suciku?"
"Benar, benar dia. Mana aku bisa salah lihat?"
Ang I Niocu meremas-remas tangannya sendiri dan berkata perlahan,
"Suci memang keterlaluan! Kasihan Kang Ek Sian, tentu saja ia bukan lawan Suci..."
Melihat kegelisahan Ang I Niocu, Cin Hai maklum bahwa tentu gadis ini mengenal baik Sasterawan itu dan ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka. Tetapi karena ia maklum akan kekerasan hati Ang I Niocu dan bahwa kalau tidak dikehendaki maka gadis itu takkan menuturkan sesuatu, ia pun diam saja tidak mau bertanya. Tiba-tiba Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berkata,
"Hai-ji, aku harus pergi ke sana menemui dia!"
Tanpa menjawab, Cin Hai mengangguk dan mengikuti Nona Baju Merah itu kembali ke toko obat tadi. Ternyata Kang Ek Sian tidak tampak pula di situ. Yang menjaga toko adalah seorang berpakaian pelayan. Melihat yang datang adalah seorang gadis berpakaian merah yang cantik dan gagah, pelayan itu dengan sikap hormat bertanya maksud kedatangan mereka.
"Aku hendak bertemu dengan majikanmu,"
Jawab Ang I Niocu singkat.
"Apakah Nona maksudkan hendak berjumpa dengan Kang-Taihiap?"
Ang I Niocu agak tercengang mendengar betapa pelayan itu menyebut "Taihiap" (tuan Pendekar) kepada Kang Ek Sian yang biasanya berlaku sangat sederhana serta tidak suka mengaku sebagai seorang Pendekar silat. Akan tetapi karena menduga bahwa yang disebut Kang-Taihiap tentu bukan lain Kang Ek ia mengangguk.
"Silakan menanti sebentar, Nona, akan saya sampaikan kepada Kang-Taihiap."
Pelayan itu masuk ke dalam dan tak lama kemudian keluar pula sambil menjura dan memberitahukan bahwa Kang-Taihiap mempersilakan kedua tamu itu masuk ke dalam. Ang I Niocu tanpa ragu-ragu lagi lalu mengikuti pelayan itu masuk ke ruang belakang dan Cin Hai juga tidak ketinggalan ikut pula memasuki rumah yang bagian depannya dipakai sebagai toko itu.
Ternyata rumah itu besar juga dan mempunyai bagian belakang yang dua kali lebih besar dan lebar daripada bagian depannya. Kedatangan mereka disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang kurus dan mempunyai jenggot tipis kecil panjang serta sepasang kumis kecil panjang pula berjuntai ke bawah. Sekarang anak laki-laki sebaya Cin Hai ikut pula menyambut. Laki-laki berkumis panjang itu bersikap dingin, angkuh dan menyambut kedatangan Ang I Niocu dengan pandangan mata tajam dan menyelidik. Juga anak laki-laki itu memandang kepada Cin Hai dengan mata mengandung ejekan sehingga baru bertemu muka satu kali saja Cin Hai telah merasa tidak senang kepada mereka ini. Tetapi Ang I Niocu dengan senyum manis di bibir segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dan menjura. Tuan rumah segera membalas hormatnya.
"Maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Maksud kami hendak bertemu dengan Kang-Enghiong sebentar,"
Kata Ang I Niocu.
"Orang she Kang adalah aku sendiri, Nona,"
Kata orang laki-laki berkumis panjang itu.
"Tuan salah sangka. Aku hendak bertemu dengan Saudara Kang Ek Sian,"
Kata Ang I Niocu lagi. Tuan rumah itu memandang tajam dan terutama ia memperhatikan pakaian Ang I Niocu yang berwarna merah itu dan gagang Pedangnya yang tergantung di pinggang kiri. Kemudian tiba-tiba ia tersenyum dan ketika ia tersenyum, maka wajahnya berubah tampan dan hampir sama dengan wajah Kang Ek Sian.
"Oo, kau mencari Kang Ek Sian? Dia adalah adikku dan aku adalah Kang Bok Sian."
Ang I Niocu yang tadi hanya tunduk saja kini mengangkat muka memandang. Matanya tajam menyambar wajah orang itu dan ia berkata,
"Ah, tidak tahunya aku , yang bodoh berhadapan dengan Kang-Taihiap!"
Mendengar pujian ini Kang Bok Sian tertawa tergelak dan ia berkata,
"Lihiap sungguh berlaku sungkan. Apakah dikira bahwa aku tidak mengenal Gunung Thai-San? Lihiap tentu Ang I Niocu yang terkenal bukan?"
Melihat sikap orang yang biarpun di mulut memuji tetapi sikap dan bibirnya menyeringai seakan-akan orang memandang rendah itu, Cin Hai merasa mendongkol. Tetapi Ang I Niocu biarpun tak kurang gemasnya di dalam hatinya, tetap tersenyum ketika berkata,
"Kang-Taihiap, tolonglah kau panggil Saudara Kang Ek Sian, karena ada sepatah dua patah kata yang hendak kusampaikan kepadanya."
"Ah, mengapa terburu-buru benar, Lihiap. Silakan duduk, silakan duduk. Kau juga, anak muda!"
Kang Bok Sian dan anak laki-laki itu mendahului duduk di dekat sebuah meja yang pendek sekali. Mereka berdua tidak duduk di atas bangku karena meja itu memang sangat rendah dan mereka hanya duduk bersila menghadapi meja!
"Lihiap, silakan duduk!"
Kata Kang Bok Sian dan anak itu lalu mengambil empat buah cawan kosong dan sepoci air teh. Tetapi ketika Kang Bok Sian menuang isi poci itu, ternyata bukanlah teh yang keluar tetapi arak wangi! Bau arak itu memenuhi ruangan. Dengan cepat cawan-cawan diisi arak dan Kang Bok Sian memberi Cin Hai secawan, sedangkan anak laki-laki tuan rumah itu pun mengambil secawan. Ketika hendak menyuguhkan arak kepada Ang I Niocu, Kang Bok Sian berkata,
"Ang I Lihiap, untuk menghormati kedatanganmu, silakan minum secawan arak!"
Tetapi Ang I Niocu menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum.
"Kang Taihiap, terima kasih atas penghormatan besar ini. Tetapi sesungguhnya kedatanganku ini hanya untuk menemui Kang Ek Sian saja, bukan hendak minum arak!"
Tiba-tiba muka Kang Bok Sian berubah merah.
"Apakah kedatanganmu ini hendak menghina lagi kepada Adikku?"
Ang I Niocu memandang heran.
"Siapa yang menghina? Apa maksudmu?"
Kang Bok Sian tiba-tiba tertawa menghina.
"Ah, jangan kau berpura-pura lagi. Bukankah kalau tidak kebetulan bertemu dengan Kang-Lam Sam-Lojin, adikku Kang Ek Sian itu telah mati dalam tangan Sucimu?"
Kini mengertilah Ang I Niocu mengapa sikap Kang Bok Sian memusuhinya. Ia lalu berkata perlahan,
"Harap kau tidak salah paham. Kedatanganmu ini justru hendak minta maaf kepada Adikmu atas kelancangan tangan Suciku."
Untuk beberapa lama kedua orang itu berpandang-pandangan lalu perlahan-lahan wajah Kang Bok Sian menjadi sabar kembali,
"Baik, baik, aku percaya kepadamu. Nah, marilah minum!"
Ia sendiri menenggak habis secawan arak lalu memandang Cin Hai. Melihat betapa Cin Hai masih saja berdiam diri tidak hendak minum araknya, ia berkata,
"He, anak muda, apakah kau tidak biasa minum arak? Atau, apakah kau takut minum racun? Kalau kau tidak mau minum arakku, mengapa kau masuki rumahku?"
Mendengar ini anak laki-laki yang duduk di depan Cin Hai tertawa perlahan dan mengangkat cawan lalu mengangguk kepada Cin Hai sambil berkata,
"Sobat, mari minum arakmu!"
Terpaksa Cin Hai memegang cawannya, tetapi ia tidak segera minum karena melihat bahwa Ang I Niocu juga tidak mau minum!
"Ang I Niocu, apakah benar-benar kau tidak mau menerima kebaikan dan penghormatanku berupa secawan arak?"
Kang Bok Sian berkata dengan suara keras, lalu tiba-tiba ia melontarkan cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang I Niocu itu ke atas dan aneh! Cawan itu membentur langit-langit yang terbuat daripada papan dan menempel di situ! Sambil duduk bersila di dekat meja, Kang Bok Sian mengangkat kedua tangannya seakan-akan menjaga agar cawan itu tidak jatuh.
"Beginikah caranya menghormat tamu?"
Tiba-tiba Ang I Niocu berkata menyindir dan ia mengangkat tubuhnya hingga setengah berdiri, lalu menggunakan tangan kanannya memukul ke arah cawan yang menempel di atas itu. Ia mengerahkan tenaga Lweekangnya dan berseru,
"Kang-Taihiap, kau terimalah kembali arakmu!"
Pertemuan tenaga yang keluar dari tangan kanan Ang I Niocu dan kedua tangan Kang Bok Sian yang sama-sama mengerahkan tenaga Khikang ini terjadi dengan diam-diam tetapi tidak lama berlangsung karena tiba-tiba cawan yang berisi arak itu bagaikan dilempar dan melayang kembali ke arah Kang Bok Sian! Tuan rumah berkumis panjang itu segera menggunakan tangan kanan menyambut, tetapi tetap saja ada beberapa tetes arak memercik ke luar membasahi lengan bajunya yang lebar! Muka orang she Kang ini menjadi merah dan kedua matanya bercahaya, tanda panas hatinya.
"Hai-ji, mari kita pergi!"
Kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang masih duduk bersila sambil memegang cawan arak di tangan kirinya tanpa meminum arak itu, karena sejak tadi ia bengong melihat pertempuran tenaga Khikang yang hebat menarik itu! Kini mendengar suara Ang I Niocu ia segera menaruh kembali cawan araknya di atas meja dan bangkit berdiri, lalu mengikuti Nona Baju Merah itu bertindak keluar.
"Ang I Niocu, tunggu dulu! Aku telah merasakan kelihaian tenagamu, sekarang berilah sedikit petunjuk padaku!"
Tiba-tiba terasa sambaran angin dan tahu-tahu tubuh tuan rumah itu telah mengejar dekat dan ia menggunakan tangan kanannya hendak memegang lengan Ang I Niocu. Kelihatannya seperti seorang yang hendak menahan kepergian gadis perkasa itu, tetapi sebenarnya ini adalah sebuah serangan berbahaya karena jari-jari tangan Kang Bok Sian bergerak dengan Tenaga Eng-Jiauw-Kang (Cengkeraman Kuku Garuda) yang kalau sampai dapat menangkap lengan tangan orang maka tentu kulit lengan itu akan hancur berikut dagingnya! Tetapi tanpa menoleh sedikit pun, Angi I Niocu berkata,
"Orang she Kang, jangan banyak tingkah!"
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba lengan tangannya yang dicengkeram itu bergerak cepat sekali mengelit serangan itu sehingga cengkeraman Kang Bok Sian tidak mengenai sasaran.
Kang Bok Sian penasaran dan meneruskan serangannya dengan gerakannya Pek-Ho Tok-Hu (Bangau Putih Menotol Ikan), menotok ke arah lambung Ang I Niocu. Tetapi Dara Baju Merah ini dengan tenang sekali mendahului gerakan lawan dan sekali menyentil dengan jari tangannya, tangan kanan Kang Bok Sian menjadi lumpuh dan ia meringis kesakitan. Ternyata sentilan jari tangan itu tepat sekali mengenai jalan darah lengannya, sehingga lengannya terasa lumpuh tak bertenaga. Maka selain serangannya gagal sama sekali, juga ia sendiri menderita kesakitan! Bagaikan tidak terjadi sesuatu hal, Ang I Niocu bertindak ke luar dari toko obat itu, diikuti oleh Cin Hai yang diam-diam menengok ke belakang melihat ke arah tuan rumah yang masih meringis kesakitan dan puteranya yang berdiri bengong terheran-heran! Cin Hai tertawa geli dan cepat menyusul Ang I Niocu yang berjalan cepat meninggalkan tempat itu.
"Niocu, mengapa Kang Bok Sian itu bersikap ganjil dan seakan-akan hendak memusuhi kau?"
Tanyanya kepada Dara Baju Merah itu. Ang I Niocu menghela napas.
"Ini semua gara-gara Suciku yang terlalu gegabah. Memang telah seringkali terjadi aku dimusuhi tanpa sebab oleh orang-orang yang pernah dijatuhkan dan dibuat sakit hati oleh Suci!"
Gadis itu lalu mengajak Cin Hai meninggalkan Kota Nam-Tin agar urusan itu jangan sampai terulang lagi. Tetapi pada saat mereka hendak keluar dari pintu gerbang Kota, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.
"Niocu, tunggu sebentar!"
Ang I Niocu berhenti dan memutar tubuhnya. Cin Hai juga cepat berpaling. Ternyata yang datang berlari cepat itu adalah Kang Ek Sian sendiri! Wajah sastrawan ini berseri-seri dan matanya bersinar gembira.
"Ah, Niocu. Sayang sekali kita tidak bertemu ketika kau mengunjungi rumah kami tadi,"
Katanya setelah saling memberi hormat.
"Tidak apa, sekarang kita kan sudah bertemu di sini,"
Jawab Ang I Niocu sederhana.
"Niocu, kau maafkan banyak-banyak Kakakku itu. Ia tidak tahu sampai di mana kelihaianmu, maka hendak mencoba,"
Kata Kang Ek Sian dengan suara halus dan Cin Hai merasa suka kepada sastrawan yang bersikap sopan ini.
"Tidak apa, Kang-Twako. Sebenarnya akulah yang hendak datang menyatakan penyesalan dan maafku, karena aku mendengar bahwa kau telah dihina oleh Suci. Sebetulnya mengapakah kau sampai bentrok dengan dia?"
Kang Ek Sian menghela napas.
"Memang aku yang bernasib malang. Giok-Gan Kuibo, sucimu itu marah kepadaku karena aku dianggap terlalu lancang karena berani... jatuh cinta padamu! Ia menganggap aku menghinamu dan juga menghina dia, karena... orang macam aku tidak pantas dan tidak boleh mencintai seorang gadis seperti engkau. Ia menantangku dan terpaksa aku melayaninya."
Ang I Niocu menghela napas dan memandang sastrawan itu dengan kasihan.
"Ah, Suciku memang terlalu angkuh dan sembrono."
"Sudahlah, jangan kita bicarakan hal yang sudah lalu,"
Kang Ek Sian memotong,
"Mari kita bicarakan hal kita sendiri. Bagaimana, Niocu, apakah sudah ada sedikit rasa kasihan dalam hatimu terhadap aku? Adakah harapan bagiku?"
Ang I Niocu menggigit bibir dan menggeleng-geleng kepala.
"Niocu, kasihanilah aku yang menderita bertahun-tahun karena kau!"
"Siapa yang menyuruh kau menderita? Kau sendiri yang... lemah! Sudah, aku tak ingin lagi mendengar hal ini!"
Jawab Ang I Niocu.
"Niocu, begitu kejamkah hatimu terhadapku?"
Ang I Niocu tidak menjawab, tetapi memandang ke tempat jauh.
"Niocu, apakah hatimu terbuat dari pada batu karang?"
Tetapi Ang I Niocu tetap tak mau menjawab. Tiba-tiba gadis ini wajahnya pucat dan matanya dilingkungi warna merah, seakan-akan ia menahan keharuan hatinya. Kemudian ia lalu melihat Cin Hai yang memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih. Maka perlahan-lahan timbullah senyuman di sepasang bibirnya yang indah. Ia lalu memegang tangan Cin Hai dan berkata,
"Hai-ji, marilah kita pergi."
Mereka lalu saling bergandeng tangan dan meninggalkan Kang Ek Sian.
"Niocu, begitu kejamkah kau?"
Terdengar suara Sasterawan itu memilukan hati dan ia ikut bertindak di belakang Ang I Niocu. Ketika gadis itu tetap tidak mempedulikannya dan bahkan mengajak Cin Hai bicara gembira,
Kang Ek Sia merayu-rayu dan membujuk-bujuknya sambil menyatakan perasaan hatinya yang hancur dan mencinta. Ang I Niocu bersikap seakan-akan Kang Ek Sian tidak ada di situ dan melangkah terus, tetapi Cin Hai tidak kuat mendengar terus. Ia tidak benci melihat Sasterawan itu, bahkan ada perasaan kasihan di dalam hatinya, tetapi tidak puas melihat sikap orang. Biarpun ia tidak tahu akan duduknya persoalan antara Ang I Niocu dan Kang Ek Sian namun ia dapat menduga bahwa dulu tentu ada pertalian yang erat antara ke dua orang ini. Hal ini mudah diduga karena dari panggilan mereka kepada masing-masing juga telah menyatakan eratnya hubungan mereka. Ia menganggap Sasterawan itu terlalu lemah, dan tidak selayaknya seorang laki-laki selemah itu. Maka sambil berjalan ia lalu menyanyikan sebuah lagu yang kuno yang pernah dibacanya dari buku,
"Lima macam rupa indah membuat mata buta, Lima macam suara merdu membuat telinga tuli, tetapi seorang laki-laki sejati, Memiliki keteguhan iman dan kekuatan hati, untuk menentang godaan lima anggauta tubuhnya!"
Mendengar nyanyian ini, Kang Ek Sian merasa tersindir dan juga tertarik. Sejak tadi ia tidak memperhatikan anak muda yang tampaknya begitu erat dan mesra perhubungannya dengan Ang I Niocu, karena tadinya ia menyangka bahwa anak itu adalah seorang pelayan atau seorang murid dari Dara Baju Merah itu. Tetapi kini melihat sikap dan mendengar lagu kuno yang dinyanyikan Cin Hai, ia kagum dan memandang dengan penuh perhatian. Melihat betapa Kang Ek Sian menghentikan bujuk rayunya kepada Ang I Niocu dan kini hanya mengikuti mereka sambil memandangnya, Cin Hai maklum bahwa nyanyian tadi mengenai sasaran dengan tepat, maka ia lalu mendongakkan kepala ke udara dan berkata kuat-kuat,
"Sungguh tak dapat dibenarkan sikap Cou Han yang membunuh diri hanya karena gagal dalam asmara! Padahal ia memiliki kepandaian Bun dan Bu (Sastera dan Silat) dan dapat menggunakan sisa hidupnya untuk mengabdi kepada negara dan bangsa! Sayang... sayang... !"
Ucapan ini adalah ucapan Guru Cou Han yang menyayangkan muridnya itu membunuh diri karena gagal dalam asmara dan ini adalah sebuah cerita kuno yang terkenal di masa itu. Sekali lagi Kang Ek Sian mendengar ini karena sebagai Sasterawan, tentu saja ia mengenal baik nyanyian tadi dan cerita ini, ia merasa betapa mukanya panas seakan-akan mendapat tamparan keras dan tiba-tiba insaflah ia dari kelemahannya. Pantas saja Ang I Niocu menyebutnya lemah karena memang benar ia bersikap lemah sekali dan memalukan benar! Kang Ek Sian lalu mengangkat dada dan berkata keras,
"Terima kasih, anak muda! Siapa pun adanya engkau, ternyata kau lebih gagah dari padaku. Ang I Niocu, maafkan aku dan selamat berpisah!"
Kini Ang I Niocu tiba-tiba memutar tubuhnya menghadapi Kang Ek Sian dan berkata dengan suara agak gemetar karena terharu,
"Kang-Twako, kita saling memaafkan dan selamat tinggal!"
Gadis ini lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya cepat-cepat hingga Cin Hai terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat agar jangan tertinggal di belakang.
"Hai-ji, tahukah kau bahwa baru saja kau telah menolong jiwa seorang gagah?"
"Aku kasihan padanya, Niocu,"
Jawab Cin Hai.
"Ia seorang baik."
Tiba-tiba Ang I Niocu menghentikan larinya dan duduk di bawah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Ternyata mereka telah jauh dari Kota Nan-tin, karena sebentar saja mereka telah lari dua puluh li lebih! Memang tadi mereka telah lari cepat sekali dan hal ini tidak dirasakan oleh Cin Hai yangi tidak sadar akan kemajuan kepandaiannya yang cepat sekali dan tak terduga olehnya sendiri. Cin Hai juga ikut duduk di depan nona itu.
"Hai-ji, kau berkata benar. Memang Kang Ek Sian adalah seorang laki-laki gagah dan baik."
"Kalau begitu... mengapa kau... sia-siakan cintanya?"
Tanya Cin Hai dengan berani. Wajah Ang I Niocu memerah.
"Ah, anak baik, jangan kau marah. Kau tidak tolol, sama sekali tidak!"
Sambil berkata begini Nona Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai yang terpaksa tertawa juga mendengar godaan ini.
"Dengarlah, Hai-ji. Sekarang telah tiba waktunya aku menceritakan sedikit riwayatku kepadamu, karena aku telah mengetahui betul watakmu yang boleh kupercaya."
Maka Ang I Niocu dengan singkat menceritakan riwayatnya. Ternyata Gadis Baju Merah ini sebenarnya bernama Kiang Im Giok, anak tunggal dari Kiang Liat yang sangat termasyur karena kepandaian silatnya yang luar biasa tingginya. Kiang Liat ini dijuluki Manusia Dewa Tangan Seribu dan menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Ibu Im Giok meninggal dunia ketika Im Giok masih sangat kecil, disebabkan oleh serangan penyakit panas yang hebat. Semenjak kematian isterinya, Kiang Liat menjadi berubah ingatan dan ia menjadi setengah gila!
Wataknya menjadi aneh sekali dan ditakuti semua orang gagah. Akan tetapi ia tidak lupa untuk menurunkan kepandaian silatnya yang istimewa kepada puteri tunggalnya. Im Giok mempunyai seorang kawan perempuan sekampung yang bernama Kim Lian dan karena eratnya bergaul maka Im Giok mengajukan permohonan kepada Ayahnya untuk menerima Kim Lian sebagai murid pula. Hal ini disetujui oleh Ayahnya dan Kim Lian lalu menjadi muridnya. Gadis ini lebih tua enam tahun daripada Im Giok, akan tetapi Im Giok lebih cerdik dan semenjak kecil kepandaian Im Giok lebih tinggi daripada kepandaian Kim Lian. Setelah dewasa, Im Giok bertemu dengan seorang pemuda tampan dan berbudi halus. Pertemuan ini terjadi ketika Im Giok sedang berjalan dalam sebuah hutan dan menolong Siucai atau Sasterawan muda itu dari serangan Perampok,
Dan semenjak itu mereka berkenalan dan di dalam hati masing-masing terbit rasa cinta suci. Tetapi ketika Kiang Liat mendengar tentang perhubungan gadisnya ini, orang tua yang setengah gila itu menjadi marah sekali. Ia mencari pemuda itu dan membunuhnya! Tentu saja Im Giok menjadi sakit hati dan gadis yang berwatak keras ini dengan terus terang menyatakan penyesalannya kepada Ayahnya, bahkan Ayah dan anak ini sampai saling menyerang! Akan tetapi, di tengah-tengah pertempuran, Im Giok teringat bahwa ia tidak boleh melawan Ayahnya sendiri, maka ia lalu melempar Pedangnya dan memasang dadanya untuk ditusuk mati oleh Ayahnya sendiri. Pada saat, itu, Ayahnya berteriak keras dan muntahkan darah segar lalu roboh! Ternyata orang tua itu mendapat serangan jantung yang cukup hebat.
Tidak tahunya, semenjak ditinggal mati oleh ibunya, untuk bertahun-tahun lamanya yaitu sedari ia berusia empat tahun sampai tuujuh belas tahun, Ayahnya telah menyimpan rasa kesedihan hebat di dalam dadanya yang membuat ia menjadi setengah gila dan menderita sakit jantung! Perbuatan Ayahnya yang membunuh pemuda kekasih Im Giok itu berdasarkan kekhawatiran kalau-kalau anaknya, satu-satunya di dunia ini yang dicintainya semenjak isterinya meninggal, akan kawin dan meninggalkan dia seorang diri! Karena pikiran tidak waras inilah maka ia membunuh pemuda itu. Tetapi kemudian ketika melihat betapa anak yang dicintanya itu melawannya, jantungnya terserang kekecewaan dan kesedihan demikian hebatnya hingga ia muntah darah dan roboh! Ternyata hal ini mengantarkannya ke lubang kubur dan membuat Im Giok menjadi yatim piatu!
"Demikianlah Hai-ji, kau mengerti sekarang mengapa aku tidak dapat menerima cinta Kang Ek Sian! Rasa cinta dalam hatiku telah terbawa mati oleh Sasterawan itu dan oleh kematian Ayah yang menjadi seperti itu keadaanya karena ia terlalu mencinta lbu sampai berlebih-lebihan. Sastrawan itu mati terbunuh karena cintanya kepadaku. Ah, cinta hanya mendatangkan kepahitan belaka."
Cin Hai menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap Ang I Niocu makin besar. Ketika mengingat akan keadaan diri sendiri yarg juga sudah sebatangkara dan yatim piatu, tak terasa pula matanya yang lebar menjadi basah.
"Niocu, nasibmu sungguh buruk. Sungguh Thian tidak adil, orang sebaik kau bisa bernasib seburuk itu..."
Katanya sambil memandang wajah Ang I Niocu dengan mesra. Gadis Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai dengan terharu.
"Hai-ji, kau juga baik sekali, dan nasibmu juga buruk..."
Untuk beberapa lama keadaannya diam-diam saja tak dapat berkata, hanya duduk melamun. Tiba-tiba Cin Hai menepuk kepala dan berkata,
"Aih, aih... mengapa kita menjadi begini? Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa melamun dan bersedih hanya diperbuat oleh orang-orang yang bodoh dan lemah. Dan kita bukanlah orang bodoh, apalagi lemah!"
Kata-kata ini pun menyadarkan Ang I Niocu. Wajah manis yang tadinya muram itu tiba-tiba bersinar dan berseri kembali dan senyumnya segera tampak membayang menambah kecantikannya.
"Kau lagi-lagi benar, Hai-ji. Ah, sungguh baik kalau hafal akan semua ujar-ujar kuno seperti kau."
"Niocu, tadi kau belum bercerita tentang diri Kang Ek Sian. Bagaimana kau bisa mengenalnya?"
"Kang Ek Sian adalah anak murid dari Bu-Tong-Pai dan kepandaiannya sebetulnya juga tidak lemah, karena ia adalah murid Lo Beng Hosiang dari Bu-Tong-San. Ketika empat tahun yang lalu orang-orang gagah mengadakan pertemuan di Puncak Thai-San, Bu-Tong-Pai mengutus wakil dan di sanalah kami bertemu dan berkenalan. Ia memang seorang baik dan kalau saja hatiku belum terluka oleh asmara, mungkin aku akan dapat membalas perasaan hatinya itu,"
"Niocu, kiranya sudah cukup kita bicara tentang hal-hal yang mendatangkan kenangan tidak menggembirakan. Tempat itu sunyi dan indah, bagaimana kalau kita berlatih?"
"Baik, coba kita berlatih gerakan ke sembilan belas, karena gerakanmu masih kaku,"
Jawab Ang I Niocu yang lalu menerima Suling Cin Hai dan mulai meniupnya. Sudah beberapa lama Cin Hai menerima latihan Ngo-lian-hwa-Kiam-Hoat atau Tari Pedang Lima Kembang Teratai.
Ilmu Pedang ini adalah pecahan dari Sianli-Kun-Hwat dan digubah oleh Ang I Niocu sendiri untuk disesuaikan dengan pemain laki-laki. Gerakannya tetap indah bagaikan orang menari, tetapi tidak begitu membutuhkan kelemasan tubuh. Ternyata bahwa ilmu silat ini lebih mudah dipahami oleh Cin Hai dan ia mainkan Pedang dengan bagus sekali. Pada saat mereka berlatih dengan gembira, tiba-tiba datang rombongan orang lewat di jalan itu. Karena sedang asyik berlatih, baik Cin Hai maupun Ang I Niocu tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan mereka. Rombongan itu terdiri dari sembilan orang yang berpakaian seragam dan melihat di pinggir jalan ada seorang wanita cantik sedang meniup Suling dan seorang anak muda tanggung sedang menari Pedang, mereka ini berhenti dan menonton. Tiba-tiba seorang daripada mereka tertawa bergelak,
"Eh, eh, sungguh lucu. Apakah mereka ini sedang membarang tarian? Tetapi mengapa di tempat sunyi tanpa ada penontonnya?"
Cin Hai menghentikan permainannya dan Ang I Niocu menunda Sulingnya. Ketika Ang I Niocu menengok, ia agak heran karena dari pakaian rombongan itu ia maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seregu pasukan Sayap Garuda, yakni para pengawal Istana Kaisar yang terkenal lihai dan ganas! Ang I Niocu yang sudah berpengalaman dan telah mendengar akan kekejaman pasukan Sayap Garuda, tidak mau mencari perkara dan berkata kepada Cin Hai,
"Hai-ji, mari kita pergi dari sini."
Cin Hai memandang rombongan orang itu dengan heran dan penuh perhatian. Ia tidak tahu siapakah mereka itu, karena biarpun pakaian mereka seragam biru tetapi keadaan mereka sungguh bermacam-macam.
Ada yang masih muda, ada pula yang sudah Kakek-Kakek. Ikat kepala mereka berupa topi Boancu yang dihias dengan sayap burung garuda di atasnya. Sebetulnya Cin Hai ingin mencari tahu tentang keadaan mereka. Tetapi mendengar ajakan Ang I Niocu untuk pergi dari situ, ia tidak berani membantah dan tanpa berkata sesuatu ia mengikuti Dara Baju Merah itu. Akan tetapi sebelum mereka pergi, tiba-tiba terdengar desir angin dan tahu-tahu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan berusia kurang lebih empat puluh tahun telah meloncat dengan gerakan cepat sekali dan tahu-tahu telah berada di depan Ang I Niocu sambil memalangkan kedua lengan yang dipentang lebar. Kumis tipisnya bergerak-gerak ketika ia tersenyum-senyum dengan sikap yang menjemukan sekali.
"Ah, Nona manis, mengapa hendak pergi? Bukankah kau memang hendak mempertontonkan tarian? Menarilah untuk kami, tetapi jangan suruh bujang ini menari, lebih baik kau sendiri. Kami ingin sekali melihat tarianmu!"
Ang I Niocu memandang dengan mata setengah terkatup dan pelupuk mata gemetar sedikit hingga bulu mata yang lentik itu bergerak-gerak. Hal ini dilihat jelas oleh Cin Hai yang memperhatikannya dan anak ini maklum bahwa Ang I Niocu sedang menahan marahnya. Dulu ketika bertemu di rumah Kang Bok Sian, pernah ia melihat getaran bulu mata ini, maka ia kini dapat mengetahui perasaan Ang I Niocu. Orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya. Pada saat itu, delapan orang yang juga telah mengelilingi Ang I Niocu seorang diantara mereka yang masih muda berkata pula sambil memandang wajah dara itu dengan kagum.
"Nona, kau harus menari untuk kami. Biarlah, berapa saja upahnya akan kami bayar!"
Dengan tenang dan gerakan perlahan, Ang I Niocu memandang dan menatapi wajah seorang demi seorang. Agaknya gadis ini hendak melihat apakah barangkali di antara mereka itu ada yang pernah dilihat dan dikenalnya. Tetapi ternyata mereka ini adalah wajah-wajah baru yang belum pernah dijumpainya, maka ia lalu tersenyum. Kesembilan orang itu, termasuk seorang di antaranya yang sudah Kakek-Kakek tertawa gembira melihat senyum yang sangat manis dan menggiurkan hati ini. Alangkah jelitanya dan manisnya, pikir mereka.
"Cuwi sekalian ingin melihat aku menari?"
Tiba-tiba terdengar suara Ang I Niocu, suara yang sangat merdu bagaikan berlagu, tetapi yang bagi pendengaran Cin Hai mengandung sindiran yang dingin. Baginya, suara gadis itu biasanya hangat dan menyedapkan telinga, tetapi kali ini, biarpun masih tetap halus dan merdu, terdengar dingin menyeramkan. Ia dapat menduga bahwa sebentar lagi pasti terjadi hal-hal hebat.
"Ya, ya, kami ingin sekali menikmati tarianmu!"
Kesembilan orang itu berkata denga suara riuh.
"Boleh, tapi kalian harus menurut syarat-syaratku."
"Apa syaratnya?"
"Buatlah lingkungan yang cukup luas dan kalian duduklah di atas tanah sambil berlutut untuk menghormati kami berdua, baru aku mau menari."
Tentu saja ke sembilan pengawal Raja ini merasa heran dan marah. Terang sekali bahwa gadis ini hendak mempermainkan mereka dan bahkan telah berani menghina mereka.
"Eh penari rendah! Jangan kau kurang ajar! Tak tahukah bahwa kau sedang berhadapan dengan pahlawan-pahlawan Istana? Hayo lekas berlutut minta ampun dan segera menari untuk kami!"
Bentak laki-laki tinggi kurus tadi.
"Dan kau lekas berlutut, anjing kecil!"
Bentak pengawal muda kepada Cin Hai.
"Anjing besar, kau harus berlutut lebih dulu!"
Cin Hai balas memaki. Bukan main hebatnya akibat dari makian ini. Kesembilan orang itu memandang kepada Cin Hai dengan alis berdiri. Mereka ini lebih banyak merasa tercengang daripada marah, karena mana ada seorang pemuda tanggung berani memaki seorang anggauta Sayap Garuda? Mereka menganggap bahwa anak ini tentu berotak miring. Akan tetapi pengawal muda itu tak dapat menahan marahnya lagi. Biar gila maupun waras, pemuda kecil ini terlalu menghinanya dan harus dipukul mampus. Maka ia segera melangkah maju dan mengayun tangan kanan memukul kepala Cin Hai sambil membentak,
"Bangsat kecil, mampuslah kau!"
Pukulan ini adalah gerakan Siok-Lui-Kik-Ting atau Petir Menyambar Kepala dan dilakukan dengan tenaga mengeluarkan angin. Hebatnya tidak terkira, dan kepala seekor kerbau mungkin akan terpukul pecah oleh pukulan ini, apalagi hanya kepala seorang pemuda yang masih anak-anak! Pengawal muda itu bermaksud untuk menghancurkan kepala Cin Hai dengan sekali pukul! Tetapi dengan gerakan indah dan lucu bagaikan seorang sedang menari, Cin Hai melejit ke samping sambil tertawa mengejek dan berkata,
"Hei, bangsat besar, percuma kau hidup karena hidungmu terlalu besar!"
Melihat betapa pukulannya yang dahsyat itu dapat dikelit semudah itu oleh Cin Hai dan mendengar sindiran anak itu, pengawal muda itu marah sekali dan tak terasa pula ia menggunakan tangan kiri untuk memegang hidungnya! Hidungnya memang besar dan mancung dan selalu menjadi kebanggaannya, tidak tahunya sekarang digunakan sebagai bahan menyindir oleh anak-anak ini.
"Anjing kecil, kalau hari ini aku tidak bisa menghancurkan kepalamu yang besar, jangan panggil aku Harimau Kepala Besi lagi!"
Dan Tiat-Thou-Houw atau Harimau Kepala Besi itu segera maju menyerang lagi dengan gerak tipu To-Cu-Kim-Ciang atau Robohkan Lonceng Emas. Serangan ini lebih hebat lagi karena kedua tangannya bergerak menyerang ke arah dada dan kepala Cin Hai.
"Anjing besar! Aku takkan menyebut kau Harimau Kepala Besi tetapi Anjing Hidung Panjang!"
Cin Hai mengejek lagi sambil mengeluarkan kepandaiannya Ngo-Lian-Hwa-Kunhwat yang baru saja dipelajari beberapa bulan dari Ang I Niocu!
Dengan mudah ia dapat berkelit dari serangan lawannya karena tubuhnya telah memiliki kelemasan dan kelincahan yang luar biasa berkat latihan-latihan Tarian Bidadari. Kemudian ia balas menyerang, tetapi karena Ilmu Silat Lima Kembang Teratai belum lama dipelajarinya, maka ia tidak dapat mempergunakannya untuk menyerang, dan untuk melakukan serangan balasan ini ia terpaksa mengeluarkan Ilmu Silat Liong-San Kun-Hwat yang dia pelajari dari catatannya ketika masih mempelajari ilmu silat dari Kanglam Sam-Lojin! Biarpun Cin Hai belum mempunyai pengalaman dari pertempuran, tetapi karena selama ini ia mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dari orang-orang yang tergolong tokoh persilatan kelas berat, maka gerakannya juga istimewa dan tidak terduga. Maka Tiat-Thou-Houw menjadi terkejut sekali melihat perubahan lemah lembut bagaikan sedang menari ketika mengelit serangan-serangannya tadi,
Kini dalam melakukan serangan, anak muda itu bergerak cepat dan kuat! Karena tercengang, serangan Cin Hai dalam jurus pertama itu berhasil baik dan kepalan tangannya menumbuk dada lawan! Tiat-Thou-Houw mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Ia tadinya tidak menyangka bahwa anak muda yang masih kecil itu akan berbahaya pukulannya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah dilatih Lweekang yang cukup lumayan oleh Ang I Niocu sehingga ketika kepalan tangannya mengenai sasaran, maka berat pukulannya tidak kurang dari seratus kali! Delapan orang pengawal lainnya melihat betapa dengan mudah saja Cin Hai dapat menggulingkan lawannya menjadi marah sekali. Terlihat cahaya berkeredepan ketika mereka mencabut senjata masing-masing dari sarungnya!
"Bangsat kecil, memang kau sudah bosan hidup!"
Pimpinan rombongan membentak marah.
"Hai-ji, kau minggirlah. Biarlah aku layani kaleng-kaleng kosong ini!"
Tiba-tiba Ang I Niocu loncat menghadang di depan Cin Hai, rnenanti datangnya delapan orang anggota Sayap Garuda yang maju mengancam. Cin Hai segera meloncat ke pinggir dan berdiri sambil menyiapkan Sulingnya, lalu berkata keras kepada para pengawal itu,
"He, bangsat-bangsat besar. Kau tadi ingin melihat tarian indah? Nah, sekarang kau lihatlah!"
Ia lalu meniup Sulingnya dengan perlahan, maka bergeraklah Ang I Niocu menarikan Tari Bidadari dengan Pedangnya! Untuk sejenak delapan orang pengawal Istana itu memandang tercengang kepada gadis itu dengan kagum, karena benar-benar indah tarian Dara Baju Merah itu. Tetapi mereka lalu teringat akan kawan yang telah dirobohkan, maka Pimpinan yang tinggi kurus berseru,
"Serbu!"
Dan menyeranglah delapan orang itu bagaikan air pasang, menyerbu Ang I Niocu yang tengah menari. Cin Hai mempercepat tiupannya dan sebentar saja kalang-kabutlah delapan orang anggauta Sayap Garuda itu. Mereka telah kehilangan lawan karena tubuh Ang I Niocu tak tampak lagi, tertutup oleh sinar Pedangnya, hanya bajunya saja yang merupakan cahaya merah berkelebat ke sana kemari! Delapan orang itu bukanlah orang lemah, dan mereka rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kini mereka maklum bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Pendekar Pedang yang tak boleh dipandang ringan. Maka lenyaplah nafsu mereka untuk mempermainkan gadis jelita ini,
Dan mereka lalu mengerahkan tenaga dan kepandaian dalam perlawanan sungguh-sungguh dan mati-matian! Sambil meniup Sulingnya, Cin Hai kagum sekali melihat sepak terjang Ang I Niocu. Kini benar-benar ia dapat menikmati dan mengagumi kehebatan Sianli Kiam-Hoat yang benar jarang terlihat dan tak mungkin dicari keduanya! Dulu ketika menghadapi Kanglam Sam-Lojin, Ang I Niocu tidak memperlihatkan seluruh kepandaiannya. Tetapi sekarang, menghadapi delapan orang jagoan Istana, anggauta-anggauta Sayap Garuda yang terkenal berkepandaian tinggi, Nona Baju Merah itu mengeluarkan dan memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar luar biasa! Tidak hanya Cin Hai yang merasa kagum, bahkan kedelapan anggauta Sayap Garuda itu sendiri terkejut dan terheran karena selamanya mereka belum pernah menghadapi lawan yang sehebat dan selihai ini!
Dara Baju Merah Eps 4 Dara Baju Merah Eps 6 Pendekar Sakti Eps 5