Ceritasilat Novel Online

Dara Baju Merah 4


Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 4




   
"Sute, kau pergilah ke Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai, beritahukan agar mereka dan semua Partai persilatan golongan Beng-Kauw berhati-hati terhadap Thian-Te Sam-Kauwcu. Kurasa mereka mengandung maksud kurang baik. Biar aku mencari Kitab dan Pedang yang hilang!"

   

   Sehabis berkata demikian, sekali berkelebat Bu Pun Su lenyap dari situ. Semua petani yang sudah dipengaruhi oleh agama baru itu, menjadi terheran-heran, akan tetapi kini mereka mengurung dan mendekati Han Le dengan sikap mengancam, seakan-akan hendak mengeroyoknya. Han Le tertawa pahit, kemudian sekali melompat, ia pun lenyap melalui atas kepala para pengurungnya sehingga kembali para penduduk dusun itu melongo dan saling pandang! Bu Pun Su menyelinap ke dalam kelenteng hendak mencari Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko untuk dipaksa mengaku di mana adanya Kitab dan Pedang, atau di mana adanya Thian-Te Sam-Kauwcu, akan tetapi setelah tiba di dalam kelenteng, ia tidak melihat lagi bayangan mereka, bahkan dua orang isteri Hek Pek Mo-ko sudah lenyap pula.

   

   Kita kembali ke dusun Sui-Chun yang sungguhpun hanya sebuah dusun namun besar menyerupai Kota yang cukup ramai. Di rumah keluarga Song pada malam hari itu amat sunyi. Song Lo-Kai, atau sekarang lebih terkenal dengan sebutan Song-Lo-Wangwe karena ia memang kaya raya, sudah tidur pulas. Para pelayan juga sudah tidak kelihatan lagi. Akan tetapi kalau orang mau menengok ke dalam taman bunga yang luas di belakang gedung itu, ia akan melihat bahwa di dalam kebun itu masih ada beberapa orang bercakap-cakap. Mereka ini bukan lain adalah Song Bi-Li, Ceng Si pelayannya, dan seorang pemuda yang tampan. Pemuda ini bukan lain adalah Cia Sun, Siucai miskin yang mencinta Bi Li. Atas bantuan Ceng Si pelayan dari nona itu, Cia Sun pada malam hari ini berhasil memasuki taman. Tadinya Song Bi Li terkejut, marah dan amat khawatir melihat pemuda itu lancang memasuki tamannya, akan tetapi Cia Sun segera menjatuhkan diri berlutut sambil menangis tersedu-sedu!

   "Song-Siocia, kau benar-benar berhati kejam. Ambillah sebatang Pedang dan bunuhlah saja Cia Sun yang miskin dan malang ini. Untuk apa hidup lebih lama lagi di dunia ini?"

   Demikian Siucai tampan itu menangis. Song Bi Li yang masih hijau itu tentu saja dapat dikelabuhi dan merasa amat terharu.

   "Cia-Siucai, mengapa kau begini berduka? Jangan begitu dan kau pergilah, kalau Kong-kong tahu bahwa kau masuk ke sini, kau tentu akan mendapat kesukaran."

   

   "Lebih baik diketahui oleh Kong-kongmu agar aku dibunuh! Song-Siocia, kau benar-benar kejam sekali. Bagaimana kau dapat menerima pinangan orang lain? Kalau kau menjadi isteri orang lain, bagaimana dengan aku, Cia Sun yang bodoh dan miskin?"

   Song Bi Li menjadi merah mukanya. Ia bingung dan bibirnya gemetar, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Akhirnya Ceng Si yang mewakili nonanya bicara,

   "Cia-Kongcu, sudahlah jangan kau terlalu berduka. Nona terpaksa menerima kehendak kong-kongnya, karena dalam pernikahan, apakah daya seorang gadis terhadap kehendak orang tua? Adapun tentang kau, Kongcu, Siocia tentu saja takkan melupakan begitu saja. Bahkan Siocia sudah berjanji kepadaku untuk memberi bekal padamu agar kau melanjutkan pelajaranmu di Kota Raja, agar kelak kau bisa meniadi seorang berpangkat."

   Cia Sun menangis lagi.

   "Bagaimanakah seorang miskin seperti aku ini dapat melanjutkan pelajaran di Kota Raja? Tidak saja biaya perjalanan ke sana amat besar, juga penghidupan di Kota Raja amat mahal. Apakah kau ingin aku menjadi seorang Pengemis kelaparan di sana?"

   

   "Bukan begitu, Cia-Sicu,"

   Kata Bi Li.

   "Biarpun aku tidak terlalu kaya, akan tetapi kiranya aku akan dapat membantumu. Aku sudah merencanakan hal ini dengan Ceng Si, dan inilah sedikit uang untuk bekal di perjalanan, kalau kiranya tidak mencukupi, kelak dengan perantaraan Ceng Si, aku akan dapat membantumu lagi."

   Sambil berkata demikian, Bi Li rnemberi tanda dengan matanya kepada Ceng Si. Pelayan ini lalu mengeluarkan sekantung uang emas yang memang disediakan oleh nonanya, memberikan itu kepada Cia Sun. Pemuda itu menerimanya lalu berpura-pura marah dan berduka. Ia melemparkan kantung uang itu ke atas lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri.

   "Apa artinya uang bagiku? Apa artinya kalau aku bisa melanjutkan pelajaran sehingga menerima pangkat tinggi sekalipun? Apa artinya hidup tanpa kau di sampingku, Song-Siocia? Cinta kasihku tidak semurah ini, tidak akan terbeli oleh harta dunia, takkan dapat ditukar dengan emas segunung Thai-San!"

   

   "Cia-Siucai, harap kau dapat berpikir lebih panjang dan jangan membikin susah padaku,"

   Kata Bi Li.

   "Memang sudah menjadi kehendak Thian bahwa di dunia ini kita tidak berjodoh. Harap kau suka menaruh kasihan kepadaku. Terimalah uang itu dan kelak akan kutambah sewaktu-waktu kau memerlukannya."

   Pada saat itu kelihatan sinar lampu di kamar Kakek Song yang tadinya padam gelap.

   

   "Nah, Loya agaknya bangun..."

   Kata Ceng Si ketakutan.

   

   "Cia-Siucai, lekas pergi, Kong-kong bangun..."

   Kata Bi Li. Ceng Si mengambil kantung uang itu dan menarik tangan Cia Sun menuju ke pintu taman. Pemuda ini cepat-cepat membawa kantung uang itu dan keluar dari taman.

   "Ceng Si, jangan lupa bujuk dia memberikan mainan indah, hiasan rambut berupa kupu-kupu dan bunga cilan yang ia terima dari calon suaminya itu,"

   Katanya perlahan ketika mereka hendak berpisah. Ceng Si mengangguk.

   "Asal kau jangan lupa kelak mengawiniku,"

   Jawabnya. Kemudian pemuda itu menyelinap di dalam gelap, sedangkan Ceng Si kembali ke dalam taman. Akan tetapi, baru saja beberapa langkah Cia Sun berjalan dengan hati girang sambil membawa sekantung uang emas itu, tiba-tiba menyambar bayangan yang amat ringan. Cia Sun terkejut sekali ketika melihat bayangan orang menyambar turun di depannya dan tercium bau yang amat harum olehnya. Saking kagetnya hampir saja ia berteriak, akan tetapi begitu bayangan itu mengulur tangan dan jari-jari yang halus menyentuh lehernya, pemuda ini tidak dapat mengeluarkan apa-apa. Jalan darah Ah-tai-hiat di lehernya telah ditotok! Maka ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak.

   

   "Hm, kau hendak mempermainkan seorang gadis kaya? Bagus sekali, orang macam kau harus dicokel kedua matanya!"

   Terdengar bentakan yang halus merdu.

   "Kau rebah dulu di sini, hendak kulihat gadis macam apa dia yang hendak kau permainkan itu."

   Kembali jari-jari halus bergerak menotok pundak dan robohlah Cia Sun, roboh dengan tubuh lemas tak dapat bergerak, karena kini jalan darah Thian-Hu-Hiat yang ditotok secara istimewa sekali. Cia Sun tidak tahu siapa yang melakukan perbuatan ini, karena keadaan amat gelap. Hanya ia tahu bahwa orang itu adalah seorang wanita yang memiliki suara merdu, serta berbau harum sekali. Wanita ini bukan lain adalah Bi Sian-Li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-Te Sam-Kauwcu. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia telah dikalahkan oleh Bu Pun Su dan berhasil melarikan diri sambil melepas semacam alat peledak yang menimbulkan asap hitam tebal. Akan tetapi, setelah melarikan diri beberapa hari kemudian ia merasa seperti selalu dikejar-kejar atau diikuti oleh Bu Pun Su! Sungguhpun ia tidak pernah melihat pendekar sakti ini mengikutinya,

   Namun penasarannya selalu tidak enak dan demikianiah, malam hari itu ia terus melanjutkan perjalanannya sampai di dusun Sui-Chun. Melihat rumah gedung Song Lo-Kai, ia tertarik dan ingin mencuri masuk dan beristirahat di situ, secara kebetulan ia melihat pertemuan antara Song Bi Li dan Cia Sun dan kemudian ia membikin pemuda itu tidak berdaya. Pek Hoa Pouwsat atau lebih singkat disebut Pek Hoa karena memang demikianlah nama asalnya, melompat ringan dan tiba kembali di dalam taman bunga. Keadaan di situ hanya remang-remang belaka maka ia tidak dapat melihat jelas bagaimana wajah Bi Li, Ceng Si dan juga Cia Sun. Kini setelah Cia Sun pergi Bi Li berani menyuruh pelayannya menyalakan lampu taman sehingga keadaan di situ terang. Melihat wajah Bi Li, Pek Hoa amat kagum. Tak terasa ia berseru,

   "Ayaa, tidak tahunya gadis ini cantik jelita sekali..."

   Suaranya terdengar oleh Bi Li dan Ceng Si sehingga dua orang gadis itu terkejut sekali. Selagi mereka bingung dan terheran-heran, muncullah Pek Hoa dari balik batang pohon, muncul bagaikan seorang peri, cantik jelita dan menyiar kan bau harum melebihi bunga-bunga di taman. Ceng Si buru-buru berlutut.

   "Ampunkan hamba, Pouwsat yang baik..."

   Ratapnya. Pek Hoa tersenyum lalu berkata,

   "Memang, orang yang mengandung dosa di hatinya paling mudah ketakutan dan paling mudah minta ampun kepada Kwan Im Pouwsat!"

   Tadinya Bi Li tertegun dan ia pun amat kagum melihat seorang wanita yang demikian cantiknya. Kini melihat sikap Ceng Si dan mendengar kata-kata Pek Hoa, timbul dugaannya bahwa memang yang datang ini tentulah Dewi Welas Asih Kwan Im Pouwsat yang sering muncul di dalam dongeng kuno. Maka ia pun lalu melanjutkan diri berlutut di depan Pek Hoa.

   

   "Hamba mohon berkah dari Kwan Im Pouwsat yang mulia,"

   Kata gadis ini perlahan. Pek Hoa melangkah maju dan mengangkat bangun gadis itu.

   "Song-Siocia, bangunlah. Aku memang seorang dewi, akan tetapi bukan Kwan-Im Powsat, melainkan Pek Hoa Pouwsat. Kau cantik sekali, Nona. Siapakah namamu?"

   Bi Li mengangkat muka dan memandang dengan terheran. Mengapa sikap seorang dewi kahyangan seperti ini? Begini biasa seperti sikap seorang gadis biasa? Akan tetapi alangkah cantik jelitanya, alangkah harum baunya.

   

   "Nama hamba Song Bi Li, dan tentang kecantikan... biarpun hamba mendapat berkah Kwan Im Pouwsat, namun kalau dibandingkan dengan Paduka, hamba kalah jauh..."

   Bukan main girangnya hati Pek Hoa Pouwsat.

   Gadis ini memang semenjak usia belasan tahun, amat gila untuk menjadi cantik dan selalu ia merasa khawatir kalau kecantikannya sampai berkurang atau hilang. Oleh karena ini, dengan kepandaiannya, ia berhasil menemukan cara pengobatan untuk merawat kecantikannya, bahkan untuk membuat ia kelihatan selalu muda belia. Oleh karena inilah maka biarpun usianya sudah tiga puluhan, ia masih kelihatan seperti seorang gadis muda yang demikian ayu, tentu saja ia merasa amat terpuji dan bangga. Dengan hati bangga dan girang ia menggandeng tangan Bi Li, kemudian ia bergerak cepat dan tahu-tahu Ceng Si telah kena ditotok sehingga menjadi kaku seperti patung. Akan tetapi dalam pandangan mata Bi Li, ia hanya melihat Pek Hoa menunjuk dengan jarinya ke arah Ceng Si yang masih berlutut dan pelayannya itu lalu menjadi kaku!

   

   "Jangan bergerak dan berlutut di situ sampai kami selesai bercakap-cakap!"

   Kata Pek Hoa. Peristiwa ini membuat Bi Li makin percaya bahwa ia sedang bercakap-cakap dengan seorang dewi tulen! Ia menurut saja ketika Pek Hoa mengajaknya duduk di atas bangku-bangku yang dipasang di dekat kolam ikan emas, di bawah penerangan lampu minyak yang berwarna merah.

   

   "Bi Li, biarlah selanjutnya aku menyebut namamu saja, dan kau boleh menyebutku Cici,"

   Kata Pek Hoa. Bi Li terkejut. Bagaimana ia boleh menyebut Cici (kakak) kepada seorang bidadari?

   "Akan tetapi..."

   

   "Jangan membantah. Ini perintahku, mengerti? Aku lebih tua daripadamu."

   Bi Li menjadi berani mendengar ini.

   "Akan tetapi, sesungguhnya kau kelihatan lebih muda dariku, maka lebih pantas kalau aku menyebut Moi-moi."

   Pek Hoa memandang tajam sambil tersenyum girang sekali.

   "Adikku yang baik! Betul-betulkah kata-katamu ini?"

   

   "Bagaimana aku berani membohong? Begini cantik jelita, seperti bunga baru mekar, paling banyak usiamu tujuh belas tahun dan aku sudah delapan belas!"

   Jawab Bi Li. Pek Hoa tertawa geli, akan tetapi girang sekali hatinya. Dipuja oleh laki-laki, baginya tidak aneh dan dianggapnya bahwa semua laki-laki hanya tukang membohong untuk membujuk dan mengambil hati, akan tetapi dipuji oleh seorang gadis yang begini cantik ini lain lagi.

   

   "Tidak, Li-moi aku lebih tua. Usiaku sudah... sembilan belas tahun. Li-moi, sebetulnya kedatanganku ini hendak memberi berkah dan pertolongan kepadamu dengan Siucai she Cia itu, akan tetapi aku lebih suka mendengar dari mulutmu sendiri. Sebenarnya, apakah yang terjadi antara kau dan dia?"

   Bi Li terkejut, akan tetapi ketika ia teringat bahwa ia berhadapan dengan seorang bidadari, ia tidak merasa aneh, bahkan tidak malu-malu untuk membuat pengakuan.

   

   "Aku sudah lama kenal dengan Cia-Siucai, Cici Pek Hoa. Dan dia itu... dia menyatakan cinta kepadaku."

   

   "Apa kau tidak cinta kepadanya?"

   Bi Li termenung dan ragu-ragu.

   "Entahlah, Cici, kau lebih tahu tentunya. Aku tidak mengerti tentang cinta ini."

   

   "Teruskan, lalu bagaimana?"

   

   "Kemudian, atas kehendak Kong-kong, aku harus menikah dengan seorang she Kiang dari Kota Sian-Koan, seorang pemuda gagah perkasa yang pernah menolong nyawa Kong-kong."

   

   "Dan kau tidak suka kepadanya?"

   Kembali Bi Li termenung bingung.

   "Ini pun aku tidak bisa memastikan, Cici. Kelihatannya dia gagah dan baik budi, juga... tampan, bahkan lebih tampan daripada Cia-Siucai. Karena aku tidak mungkin menolak kehendak Kong-kong, tadi Cia-Siucai datang, menyatakan kehancuran hatinya dan hendak nekat membunuh diri. Baiknya aku dan pelayanku Ceng Si dapat membujuknya agar dia melanjutkan sekolah di Kota Raja dan akulah yang akan membiayainya sampai tercapai maksudnya. Calon suamiku itu orang yang amat kaya, sedangkan Kong-kong juga bukan orang miskin, maka kiraku jalan inilah yang terbaik, yakni untuk menghibur hatinya."

   Pek Hoa mengangguk-angguk.

   "Kau anak baik, dan kau amat cantik jelita. Kau layak hidup bahagia dan mendapatkan seorang suami yang baik dan tampan. Kau bilang tadi calon suamimu lebih cakap daripada Cia-Siucai?"

   Merah muka Bi Li, akan tetapi dia mengangguk.

   "Bukan aku saja yang menganggap demikian, Cici, juga pelayanku Ceng Si menganggap demikian pula."

   

   "Dan kau bilang gagah perkasa? Apakah dia itu pandai ilmu silat?"

   

   "Tentunya pandai. Kong-kong pernah bilang kepadaku bahwa dia adalah murid dari seorang sakti dan aneh yang bernama Han Le yang menjadi murid dari seorang sakti yang dipuja-puja Kong-kong, yakni mendiang Ang-Bin Sin-Kai. Akan tetapi aku sendiri tidak kenal siapa adanya orang sakti yang bernama Han Le itu."

   Kalau Pek Hoa tidak tinggi ilmunya. dan dapat mengerahkan Lwee-kang dan menyalurkan darah ke mukanya, tentu Bi Li akan melihat perubahan air mukanya ketika ia mendengar nama Han Le ini.

   "Jadi calon suamimu itu she Kiang dan tinggal di Kota Sian-Koan?"

   Tanya pula. Bi Li mengangguk, Pek Hoa berdiri, memandang wajah Bi Li sekali lagi lalu berkata,

   "Adikku yang manis kelak kalau kau sudah punya anak, mungkin kita bertemu lagi karena aku ingin sekali melihat wajah anakmu."

   Bi Li hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba dengan sekali menggerakkan kaki, Pek Hoa sudah melompat di depan Ceng Si, membebaskan totokannya kepada tubuh pelayan ini dan sekali berkelebat ia lenyap dari pandangan mata! Ceng Si menjatuhkan diri berlutut mengangguk-anggukkan kepalanya sepe ayam makan padi, sambil mengeluh panjang pendek,

   "Pouwsat yang mulia, ampunkan hamba... jangan mencabut nyawa hamba..."

   Bi Li juga menjatuhkan diri berlutut mulutnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada bidadari yang mengaku kakak kepadanya itu. Kemudian terpaksa ia menyeret Ceng Si berdiri karena pelayan yang ketakutan ini masih saja berlutut sambil sesambatan.

   

   Kita ikuti perjalanan Pek Hoa. Setelah melompat keluar dari taman bunga keluarga Song, ia menghampiri Cia Sun. Sekali tepuk saja ia sudah membikin pemuda ini sadar kembali. Sebelum Cia Sun sempat membuka mulut, tahu-tahu ia merasa tubuhnya terapung tinggi dan ternyata ia telah dikempit dan dibawa lari oleh Pek Hoa. Setibanya di tempat terang, yakni sudut jalan yang diterangi oleh lampu, Pek Hoa menurunkan pemuda itu, memandangi wajah dan tubuhnya. Agaknya ia puas dan senyumnya manis sekali. Di lain pihak, Cia Sun menjadi bengong, terpesona ia oleh kecantikan gadis ini dan bau harum yang luar biasa mendebarkan jantungnya.

   

   "Hm... kau tampan juga..."

   Terdengar gadis itu berkata sambil meraba-raba pipinya. Dari takut dan kaget, Cia Sun menjadi girang. Tak disangkanya bahwa orang yang disangkanya setan dan yang sudah mengganggunya itu adalah seorang gadis muda yang demikian cantik jelitanya bahkan jauh lebih cantik daripada Ceng Si, juga lebih cantik menarik daripada Bi Li yang pendiam dan malu-malu. Gadis ini sebaliknya kelihatan "berani"

   Sekali, berani memuji ketampanannya, bahkan berani membelai-belai pipinya.

   

   "Aduh, Nona. Bukankah kau bidadari dari kahyangan yang turun dari bulan purnama? Apakah hendak mencabut nyawa hamba...?"

   Katanya setengah bergurau. Melihat pandangan mata Cia Sun, pandangan mata yang penuh arti, sekonyong-konyong Pek Hoa menjadi jemu. Wanita ini semenjak usia belasan tahun sudah sering kali bertukar kekasih, hidupnya demikian busuk dan kotor, dan terkenal sebagai seorang wanita yang cabul. Hubungannya dengan banyak sekali orang laki-laki membuat ia menjadi jemu apabila melihat sikap laki-laki yang kurang ajar dan melihat laki-laki binal dan ceriwis, ia menjadi bosan dan mual.

   Kalau sekiranya Cia Sun bersikap takut-takut atau malu-malu, atau marah-marah melihatnya, mungkin Pek Hoa akan jatuh hati kepada pemuda yang tampan ini. Pek Hoa tidak membutuhkan

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Ang I Niocu (Seri ke 02 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   laki-laki yang ceriwis, karena ia telah bosan dengan sikap seperti ini. Ia membutuhkan laki-laki yang alim, laki-laki yang tidak mudah tergoda oleh kecantikannya. Maka dengan sebal hati ia melemparkan tubuh Cia Sun ke pinggir jalan, merampas kantung uang pemberian Bi Li tadi, lalu pergi dengan cepat meninggalkan pemuda itu yang terlampau kaget dan takut untuk dapat mengeluarkan suara! Baru saja bayangan Pek Hoa berkelebat pergi, di belakangnya kira-kira sepuluh tombak jauhnya, berkelebat bayangan lain yang tidak kalah gesitnya, yang mengikuti perjalanan gadis itu secara diam-diam tanpa diketahui oleh yang diikutinya.

   

   Kiang Liat merasa berbahagia sekali. Tak pernah disangka-sangkanya bahwa nasibnya demikian baik dan menyenangkan. Tidak saja ia beruntung bertemu dengan Pengemis sakti Han Le dan menjadi muridnya selama satu tahun mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga kepandaiannya yang sudah lihai itu menjadi makin maju, juga terutama sekali ia bertemu dengan Song Lo-Kai dan diambil cucu mantu. Yang membuat ia benar-benar merasa bahagia adalah ketika ia bertemu dengan Song Bi Li. Siapa pernah mengira bahwa cucu seorang kakek bekas Pengemis demikian cantik jelitanya? Tidak hanya cantik, juga sikapnya demikian halus lemah-lembut, menimbulkan kasih sayang dan begitu bertemu muka, Kiang Liat terus saja jatuh cinta! Ia telah mempersiapkan segala keperluan untuk menghadapi pernikahannya yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Ia telah mengatur rumahnya yang selama ini hanya ia tinggali bersama inang pengasuhnya, telah mengatur semua persiapan agar isterinya kelak suka dan kerasan tinggal di rumahnya ini.

   Kemudian ia menyuruh inang pengasuhnya dan beberapa orang pembantu dari kotanya untuk berangkat lebih dulu ke Sui-Chun, ke rumah keluarga Song untuk membuat segala persiapan. Ia sendiri sibuk membagi-bagikan undangan kepada sahabat-sahabat baiknya agar mereka suka datang dan mengantarnya ke Sui-Chun untuk menambah kegembiraan. Persiapan terakhir telah dilakukan dan Kiang Liat merasa gembira sekali. Besok pagi-pagi ia akan berangkat ke Sui-Chun, bersama beberapa belas orang kawan-kawan baik yang akan menjadi pengiringnya. Sehari itu ia telah pergi jauh ke luar kota, mengunjungi kawan-kawannya yang paling jauh rumahnya. Ia merasa agak lelah ketika sore hari itu ia pulang, melompat turun dari kudanya yang indah, menuntun kuda itu dan menghampiri pintu depan. Karena di rumahnya telah kosong tidak ada orang lain, maka rumah itu pintunya selalu ditutup.

   Semua pelayan telah dikirim ke Sui-Chun agar setelah pernikahan dilangsungkan dapat mengiringkan sepasang pengantin itu pulang ke Sian-Koan. Oleh karena itu, selama beberapa hari ini, Kiang Liat tinggal seorang diri di rumahnya. Akan tetapi, kesepian ini takkan lama lagi, hanya tinggal semalam lagi dan besok pagi-pagi ia akan berangkat ke rumah calon isterinya! Berpikir sampai di sini, terutama membayangkan wajah Bi Li yang cantik manis, Kiang Liat menjadi berseri wajahnya. Sambil tersenyum-senyum ia membuka pintu. Ia tidak tahu bahwa semenjak tadi, sepasang mata yang bening dan indah selalu mengintainya dan mata ini bersinar-sinar ketika melihat potongan tubuh pemuda yang amat ganteng ini, tubuh yang tegap dan gagah, wajah yang tampan dengan kulit muka putih bersih, sepasang alis yang hitam tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata yang lebar dan bersinar-sinar penuh semangat.

   Memang Kiang Liat seorang pemuda yang amat gagah dan tampan. Setelah meninggalkan kudanya di depan pintu, Kiang Liat masuk ke dalam rumah sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Ia hendak mandi, berganti pakaian, kemudian keluar lagi. Memang tidak enak duduk seorang diri di dalam rumah tanpa kawan, apalagi menghadapi peristiwa yang demikian hebat, yakni pernikahannya dengan Nona Song Bi Li! Ia hendak pergi ke beberapa orang sahabat baiknya, mengajak mereka datang ke sini lalu memesan makan minuman dari rumah makan. Akan tetapi, ia masih belum tahu bahwa pada saat itu, sepasang mata bening dan jeli terus mengintainya! Mata yang memandangnya penuh kekaguman, penuh nafsu, dan kadang-kadang penuh kebencian! Kiang Liat melangkah tegap ke arah kamarnya, mendorong daun pintu kamar tidurnya, melangkah masuk dan...

   "Siapa kau"?"

   
Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanyanya terkejut sekali dan terheran-heran.

   

   Di atas pembaringannya duduk seorang gadis yang berpakaian indah, seorang gadis sebaya dengan Bi Li yang cantik sekali, yang duduk menggoyang-goyangkan kedua kaki kecil yang tergantung dari pembaringan sambil miringkan kepala memandang kepadanya dan bibirnya tersenyum-senyum manis sekali! Tadinya untuk sesaat Kiang Liat mengira bahwa inilah yang disebut orang Siluman wanita, yang sering muncul dalam dongeng-dongeng, kalau tidak demikian, bagaimanakah seorang dara juita seperti itu tahu-tahu dapat memasuki kamar tidur seorang pemuda dan duduk di atas pembaringan dengan kakinya ongkang-ongkang dan senyum manis menantang? Akan tetapi, ketika melihat gagang Siang-Kiam tersembul dari balik punggung gadis itu Kiang Liat berpikir lain. Tentu seorang gadis kang-ouw dan kedatangannya tentu mempunyai maksud tertentu, entah baik entah buruk, akan tetapi lebih condong kepada maksud yang tidak baik.

   

   "Kau siapakah, Nona? Dan apakah kehendakmu memasuki kamarku?"

   Tanyanya lagi, kini, suaranya tidak sekeras tadi karena pemuda ini cepat dapat menekan perasaannya. Ia tak dapat menyembunyikan kekagumannya melihat gadis yang demikian cantiknya dan pandang mata kagum ini menyenangkan hati gadis itu yang memperlebar senyumnya.

   

   "Jawab dulu, senangkah kau melihat aku di kamar tidurmu?"

   Gadis ini bertanya, suaranya merdu merayu dan pandang matanya mencuri hati dengan kerling tajam menyambar. Kiang Liat mengerutkan keningnya.

   "Bagaimana aku bisa menyatakan senang atau tidak kalau aku belum tahu siapa adanya kau ini dan apa keperluanmu datang ke sini?"

   Gadis manis itu tertawa kecil.

   "Kau betul juga, sekarang jawablah pertanyaan yang lebih mudah. Cukup cantikkah aku dalam pandanganmu?"

   Kini merahlah wajah Kiang Liat. Hatinya berdebar. Selama hidupnya belum pernah ia melihat gadis secantik ini, kecuali Bi Li, dan gadis yang berani seperti ini. Akan tetapi, sikap genit dan kecabul-cabulan ini tidak menyenangkan hatinya. Kiang Liat bukan sebangsa pemuda pemogoran yang mudah menjadi gila melihat wajah cantik!

   

   "Nona, omongan apakah ini? Aku bukan orang yang biasa menilai kecantikan orang lain! Sekarang katakan siapa kau dan apa perlumu masuk ke kamarku?"

   Biarpun jawaban ini ketus dan membayangkan kemarahan hati, namun aneh sekali, gadis ini tidak marah, bahkan sebaliknya ia kelihatan gembira sekali.

   

   "Ha, kau gagah ganteng, tampan dan baik sekali, tidak seperti segala macam hidung belang yang menjemukan!"

   Gadis itu berseru, kemudian ia sekali menggerakkan tubuh telah melompat turun, gerakannya ringan sekali sehingga mengejutkan hati Kiang Liat.

   "Kiang Liat, aku tahu siapa kau. Kau adalah murid dari Han Le si Pengemis hina itu, bukan? Dan kau akan menikah dengan Nona Song Bi Li yang cantik jelita, bukan?"

   King Liat kembali terkejut dan mengerutkan kening.

   "Benar semua dugaanmu itu, sungguhpun aku tidak mengerti bagaimana kau bisa ketahui semua itu. Akan tetapi, siapakah kau, Nona?"

   

   "Orang-orang di dunia Barat biasa menyebutku Bi Sian-Li Pek Hoa Pouwsat, akan tetapi bagimu, kau boleh memanggil aku Pek Hoa saja, atau Hoa-moi, bukankah itu lebih enak dan manis terdengarnya?"

   Kiang Liat belum pernah mendengar nama ini, akan tetapi sikap Pek Hoa yang makin binal dan genit ini, benar-benar menyebalkan hatinya. Ia tidak dapat menyangkal bahwa gadis ini amat cantik, lagi menyiarkan bau yang amat harum memenuhi kamarnya, akan tetapi kegenitan gadis ini melenyapkan kekagumannya. Alangkah jauh bedanya dengan Bi Li calon isterinya! Biarpun dalam kecantikan, agaknya Bi Li sendiri pun tidak akan menang dari gadis luar biasa ini yang memiliki kecantikan seperti bidadari.

   

   "Jangan kau mengacau tidak karuan!"

   Kiang Liat membentak marah.

   "Aku tidak kenal kau siapa dan tidak peduli tentang semua panggilan itu. Lekas katakan, apa maksudmu datang ke kamarku?"

   Pemuda ini sekarang menjadi curiga dan juga amat marah.

   

   Watak Pek Hoa memang aneh. Kalau sekiranya Kiang Liat bersikap lemah seperti yang diperlihatkan oleh pemuda Cia Sun, kalau saja Kiang Liat terpesona oleh kecantikannya, memuji-mujinya dan mencoba untuk bersikap kurang ajar, mungkin sekali Pek Hoa akan menjadi sebal dan mungkin akan segera turun tangan membunuhnya, karena dia adalah murid Han Le yang amat dibenci oleh Pek Hoa. Di dunia ini hanya dua orang yang dibenci oleh Pek Hoa, yakni Bu Pun Su, dan Han Le, terutama sekali Bu Pu Su. Akan tetapi, oleh karena sikap Kian Liat keras dan sama sekali tidak tunduk oleh kecantikannya, hati Pek Hoa menjadi runtuh! Baru sekarang gadis ini bertemu dengan seorang pemuda yang begini tampan dan gagah, yang tidak bertekuk lutut menghadapi kecantikannya. Inilah pemuda yang diidam-idamkannya, pemuda yang dicari-carinya! Maka, menghadap bentakan yang penuh kemarahan dari Kiang Liat, ia menjadi makin tertarik dan makin gembira.

   

   "Kiang Liat, kau menjadi makin gagah kalau marah-marah. Kau mau tahu mengapa aku datang ke kamar tidurmu? Karena aku tiba di rumah ini tidak melihat seorang pun manusia, maka aku memilih kamar tidur ini untuk mengaso."

   

   "Apa maksudmu mengunjungi aku?"

   Tanya Kiang Liat gemas melihat sikap genit dan mendengar jawaban melantur itu.

   

   "Kau adalah murid Pengemis tua bangka Han Le dan dia itu musuhku maka tentu saja aku datang untuk mengambil nyawamu. Akan tetapi, melihat mukamu, aku menjadi kasihan sekali dan aku akan mengampuni dan tidak mengganggumu, sebaliknya aku ingin sekali membikin kau bahagia. Permusuhan antara kita akan hilang kalau saja kau mau membatalkan pernikahanmu dengan Song Bi Li dan sebagai gantinya, kau mengambil aku sebagai isterimu..."

   

   "Tutup mulutmu yang kotor!"

   Kiang Liat marah sekali dan mencabut Pedangnya.

   "Kau ini perempuan jalang berani sekali bermain gila di sini...?"

   Kian Liat benar-benar marah sehingga ia mendamprat gadis itu.

   

   "Kiang Liat, butakah matamu? Buka matamu baik-baik dan lihatlah, apakah aku tidak lebih muda dan jauh lebih cantik daripada Bi Li. Selain lebih cantik, aku lebih gagah, lebih kaya! Kalau kau menjadi suamiku, apa yang kurang bagimu? Ingin senang? Aku cukup cantik dan aku tahu bagaimana untuk menyenangkan hatimu. Kau ingin hidup mewah? Kekayaanku jauh lebih besar daripada kekayaanmu atau kekayaan Bi Li. Atau kau menghadapi musuh-musuh besar? Tak usah khawatir, kalau aku Pek Hoa menjadi isterimu, tanpa aku turun tangan semua musuh-musuhmu akan melarikan diri tunggang-langgang!"

   

   "Jangan ngoceh lagi! Lekas kau minggat dari sini, aku tidak sudi melihat mukamu atau mendengar suaramu! Pergi...!!"

   Pek Hoa mulai marah. Pipinya yang halus dan putih itu kini menjadi merah. Ia tidak suka melihat laki-laki lemah yang mudah jatuh oleh kecantikan, akan tetapi ia pun tidak suka melihat laki-laki yang memandang rendah kecantikannya. Apalagi hinaan yang keluar dari mulut Kiang Liat sudah melampaui batas. Kalau menuruti kemarahannya, ingin ia sekali turun tangan merampas nyawa pemuda ini, akan tetapi kalau ia memandang muka yang tampan dan gagah itu, hatinya tidak tega. Bagaimanapun juga, ia harus mendapatkan laki-laki ini sebagai suaminya atau sebagai kekasihnya. Sukar mencari seorang pemuda seperti Kiang Liat ini.

   

   "Kalau aku tidak mau pergi, kau mau apa sih?"

   Tanyanya sambil tersenyum mengejek.

   

   "Aku akan memaksamu dengan Pedangku!"

   Kiang Liat membentak.

   

   "Aha, kau mau main-main senjata dengan nonamu? Mari-mari, anak manis, mari keluar, kita boleh main-main sedikit!"

   Sambil berkata demikian, Pek Hoa melambaikan tangannya dan sekali berkelebat ia telah menerobos keluar dari jendela.

   

   Diam-diam Kiang Liat terkejut sekali melihat ginkang yang luar biasa ini, akan tetapi ia bukan seorang penakut. Cepat iapun melompat keluar melalui jendela, mengejar wanita aneh itu. Ternyata Pek Hoa telah menantinya di luar rumah, di pekarangan yang lebar dan diterangi oleh lampu minyak yang tergantung di bawah genteng. Gadis ini memandang ringan sekali kepada Kian Liat. Karena pikirnya kepandaian Han Le saja ia tidak takut dan masih sanggup menangkan, apalagi kepandaian muridnya! Ia tidak tahu bahwa Kiang Liat hanya satu tahun menjadi murid Han Le, dan bahwa sebelum menjadi murid Han Le pemuda ini telah memiliki kepandaian yang tinggi juga. Melihat Pek Hoa telah berdiri dengan lagak menantang, bertolak pinggang tanpa mengeluarkan senjata, Kiang Lia membentak,

   "Perempuan rendah, keluarkan senjatamu kalau kau hendak mencoba kelihaianku!"

   

   "Mengapa harus mengeluarkan senjata? Apa kau kira dapat mengalahkan Bi Sian-Li Pek Hoa Pouwsat biarpun aku hanya bertangan kosong? Orang muda, maju dan seranglah, tak usah ragu-ragu, jangan takut kalau kulit tubuhku akan lecet terkena Pedangmu yang tumpul!"

   Kiang Liat marah sekali.

   "Lihat Pedang!"

   Teriaknya dan ia mulai menyerang.

   Mula-mula, pemuda ini tidak menyerang sungguh-sungguh, karena betapapun gemasnya melihat gadis genit dan cabul ini, ia tidak tahu permusuhan apakah yang ada antara gadis ini dengan gurunya, dan ia tidak tega serta merasa malu untuk melukai seorang gadis muda yang melawannya dengan bertangan kosong saja. Akan tetapi, segera ia menjadi terheran-heran dan kaget. Tak disangkanya bahwa gadis itu ternyata luar biasa dan selain gerakannya cepat sekali, juga ilmu silatnya amat lihai. Baru beberapa gebrakan saja, hampir Pedangnya kena dirampas oleh gerakan mencengkeram dari Pek Hoa! Setelah melihat kelihaian lawannya, Kiang Liat tidak beriaku sungkan-sungkan lagi. Cepat ia menggerakkan Pedangnya dan kini ia bersilat dengan ilmu Pedang keluarga Kiang yang kini sudah diperkuat dan diperbaiki setelah ia belajar setahu lamanya pada Han Le.

   

   Pek Hoa makin kagum melihat Kian Liat. Tak disangkanya bahwa ilmu silat pemuda ini benar-benar hebat, tidak kalah jauh oleh Han Le. Bahkan kalau dilihat-lihat, ilmu Pedang yang dimainkan oleh pemuda ini sama sekali bukan ilmu Pedang Han Le, ilmu Pedang yang di mainkan Kiang Liat amat indah gerakan-gerakannya. Tentu saja seorang pemuda yang demikian ganteng dan tampan mainkan ilmu Pedang yang indah ini, kelihatan seperti seorang penari ulung tengah menari, amat menarik hati dan indah dilihat. Makin sayanglah Pek Hoa kepada kepada pemuda ini, dan ia tahu bahwa kalau ia menghadapi dengan tangan kosong saja, akan sangat berbahaya baginya. Timbul kegembiraan hati Pek Hoa untuk menguji terus sampai di mana tingkat kepandaian pemuda ini. Ia mencabut sepasang Pedangnya.

   

   "Kau lihai sekali, orang muda. Akan tetapi coba kau tahan Siang-Kiamku!"

   Setelah berkata demikian ia memutar sepasang Pedangnya dengan cepat, melakukan serangan balasan yang sesungguhnya bukan serangan benar-benar hanya untuk menguji saja. Kiang Liat kaget.

   Ilmu Pedang yang dimainkan oleh gadis itu juga hebat, apalagi lawannya menggunakan sepasang Pedang yang tentu saja lebih cepat menyerangnya daripada sebatang Pedang. Pemuda ini diam-diam mengeluh dan merasa malu kepada diri sendiri. Masa ia, yang telah terkenal sebagai Jeng-Ciang-Sian (Dewa Bertangan Seribu), kemudian sudah mendapat gemblengan selama setahun oleh Pengemis sakti Han Le, hanya dalam tenaga Lwee-kang, ia tidak kalah, akan tetapi ia kalah jauh dalam kecepatan gerakan, dan dalam hal ilmu silat, agaknya gadis ini mempunyai kepandaian yang luar biasa sekali. Namun Kiang Liat tidak mau menyerah kalah, biarpun ia seakan-akan dikurung oleh laksaan ujung Pedang lawan ia masih mempertahankan diri, memutar Pedangnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya seperti dilindungi oleh tembok baja yang kokoh kuat. Berkali-kali Pek Hoa memuji dan mulutnya mengoceh terus,

   "Kau gagah, ilmu Pedangmu lihai... kau patut menjad suamiku..."

   Kata-kata seperti ini memperbesar api kemarahan Kiang Liat sehingga kini ia bertanding dengan nekat, tak takut mati. Ini membuat Pek Hoa kewalahan. Memang ilmu Pedang dari pemuda ini sudah tinggi, sukar baginya untuk merobohkan, apalagi menawan. Sekarang ditambah oleh kenekatan pemuda itu, maka Pek Hoa lalu mengeluarkan saputangannya yang berwarna merah, mengeluarkan seruan nyaring dan ketika saputangan itu dikebutkan, tiba-tiba Kiang Liat mencium bau harum yang amat keras dan tak lama kemudian ia terhuyung-huyung dan roboh tak sadarkan diri dengan Pedang masih di tangannya!

   

   Pek Hoa tertawa girang. Ia membungkuk, merampas Pedang, mengelus-elus pipi pemuda itu, tertawa lagi lalu menotok jalan darah di pundak Kiang Liat untuk menjaga kalau pemuda itu siuman kembali. Biarpun siuman kembali, setelah ditotok, Kiang Liat takkan berdaya, tubuhnya sudah lemas dan ia takkan dapat memberontak lagi. Sambil kadang-kadang membelai rambut dan muka pemuda itu, Pek Hoa tertawa-tawa dan memanggul tubuh Kiang Liat dengan mudahnya, lalu berlarilah ia menghilang di dalam gelap malam yang mulai menyelimuti alam. Akan tetapi, baru saja beberapa li ia lari, setelah ia keluar dari Kota Sian-Koan dan tiba di tempat sunyi, tiba-tiba Pek Hoa merasa pundaknya yang kanan ditowel orang. Ia memanggul tubuh Kiang Liat di pundak kirinya, maka merasa towelan ini, mula-mula ia tidak bercuriga dan berlari terus. Sekonyong-konyong, pundaknya ditowel lagi dan terdengar suara perlahan,

   "Siluman cabul, kau masih tidak mau melepaskan Kiang Liat?"

   Pek Hoa terkejut, melompat ke depan sejauh empat tombak lebih lalu membalikkan tubuhnya. Di bawah sinar bulan purnama, ia melihat seorang laki-laki setengah tua yang pada saat itu ia harapkan berada di neraka. Satu-satunya orang yang tak ingin ia melihatnya pada saat seperti itu, yakni bukan lain adalah Bu Pun Su Si Pendekar Sakti! Karena tahu menghadapi lawan yang amat berat, yang biarpun dikeroyok dengan kedua Sutenya masih saja ia kalah, Pek Hoa tidak mempunyai nafsu untuk melawan Bu Pun Su.

   Ia melepaskan tubuh Kiang Liat yang dipanggulnya itu ke atas tanah, mencabut Pedang Kiang Liat yang dirampasnya. Niatnya hendak sekali bacok menewaskan pemuda ini, karena kalau ada Bu Pun Su di situ, tak mungkin kehendaknya menjadikan pemuda itu sebagai permainannya. Setelah maksud ini digagalkan oleh Bu Pun Su, tidak ada jalan lain baginya kecuali membunuh Kiang Liat, sehingga dengan demikian, ia dapat melakukan sedikit pembalasan atas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su dan Han Le. Akan tetapi, baru saja ia mencabut Pedang rampasan itu, tiba-tiba Pedang itu terlepas dari tangannya yang menjadi kaku. Ia mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa bahwa tidak hanya tangan kanan, bahkan setengah bagian tubuhnya sebelah kanan seperti lumpuh!

   Terdengar olehnya suara ketawa yang tenang dari Bu Pun Su. Pek Hoa melompat mundur sambil menjerit. Tahulah ia sekarang. Tadi ia telah kena ditowel dua kali pundak kanannya oleh Bu Pun Su dan ternyata bahwa towelan itu merupakan totokan yang amat lihai, yang baru terasa pengaruhnya setelah ia menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga. Sambil berdiri, Pek Hoa cepat mengerahkan Lwee-kang untuk membebaskan diri dari totokan itu, namun tidak berhasil. Terpaksa gadis ini menekan hawa kemarahan yang naik ke dadanya, lalu bersila di atas tanah. Selagi ia berusaha membebaskan diri dari pengaruh Tiam-Hoat yang dilakukan secara lihai oleh Bu Pun Su, pendekar sakti ini menghampiri Kiang Liat. Dua kali tepukan ke pundak dan punggung membuat pemuda itu terbebas, dan Kiang Liat cepat berlutut di hadapan paman gurunya.

   

   "Kiang Liat, aku bangga melihatmu. Kau memang patut menjadi murid Han Le. Sekarang lekas-lekas kau pulang dan langsungkan pernikahanmu. Kelak aku akan datang memberi hadiah dua tiga pukulan kepadamu."

   Kiang Liat girang sekali, setelah menghaturkan terima kasih, ia mengambil Pedangnya dan pergi dari situ. Ia tidak mau mempedulikan lagi kepada Pek Hoa, karena sesungguhnya, betapapun marahnya terhadap gadis itu, ia tidak tega melihat kalau-kalau Bu Pun Su akan membunuh Pek Hoa. Akan tetapi, Bu Pun Su bukanlah seorang yang mudah saja membunuh orang. Ia melangkah maju, tersenyum melihat gadis itu masih berjuang untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan.

   "Pek Hoa, totokan itu takkan dapat dibebaskan kalau tidak dengan Suling ini,"

   Katanya sambil mencabut keluar sebatan Suling bambu yang sudah tua. Tadi ia memang menotok pundak gadis itu dengan Sulingnya, karena Bu Pun Su merasa segan untuk melakukan hal ini dengan tangannya. Ketika ujung Sulingnya menyentuh jalan darah di pundak Pek Hoa seketika gadis ini pulih kembali keadaannya. Dengan berang ia melompat berdiri memandang kepada Bu Pun Su seperti seekor harimau betina hendak menubruk mangsanya, lalu berkata,

   

   "Bu Pun Su, aku benci sekali kepadamu!"

   

   "Bagus!"

   Kata Bu Pun Su tersenyum "Seribu kali lebih aman kau benci daripada kau cinta. Kecantikan dan kasih sayangmu jauh lebih berbahaya dari watak buruk dan kebencianmu, Pek Hoa."

   Setelah berkata demikian, Bu Pun Su termenung, teringat ia akan semua pengalamannya di waktu muda, betapa dia menjadi korban dari kecantikan dan kasih sayang palsu dari seorang wanita yang cantik dan jahat seperti Pek Hoa ini. Pek Hoa membanting-banting kakinya saking gemas.

   "Jadi selama ini kau selalu mengintaiku? Sungguh tak tahu malu! Kalau memang kau gagah berani, mengapa tidak melawan guru-guruku? Mengapa kau menghina seorang perempuan?"

   Pek Hoa hampir menangis. Ingin ia mencabut Siang-Kiamnya atau mempergunakan senjata rahasia atau senjata berbisa, namun ia cukup maklum bahwa semua ini takkan ada gunanya terhadap Bu Pun Su.

   

   "Memang aku hendak mencari guru-gurumu, itu Thian-Te Sam-Kauwcu yang ternama,"

   Jawab lagi pendekar sakti itu.

   

   "Jadi kau mengikuti aku untuk mengetahui di mana adanya guru-guruku?"

   

   "Bukan hanya demikian, akan tetapi yang penting untuk melihat tingkah-lakumu, untuk menjaga agar kau jangan sampai mengganggu orang-orang seperti yang tadi kau lakukan. Tentang guru-gurumu, agaknya mereka itu takut kepadaku maka tidak berani muncul."

   Kata-kata ini sengaja diucapkan oleh Bu Pun Su untuk membakar hati gadis itu. Maksudnya berhasil karena Pek Hoa memandangnya dengan marah.

   

   "Bu Pu Sun, kau sombong! Kau menggunakan kepandaian untuk menghinaku, seorang perempuan lemah! Awas kau, akan datang saatnya aku membalas semua ini, membalas kepadamu dan kepada Han Le! Akan tiba saatnya aku menghancurkan kau dan semua orang yang ada hubungannya denganmu! Kalau kau memang berani, datanglah di lembah Sungai Yalu-Cangpo, tepat di mana sungai suci itu berbalik ke Barat. Disanalah kau akan kami tunggu dan kalau kau tidak berani datang, ternyata Bu Pun Su hanya seorang pengecut besar yang berani dan berlagak di tempat dan kandang sendiri saja!"

   

   Sehabis mengeluarkan kata-kata ini, Pek Hoa lalu melompat dan menghilang di dalam gelap. Bu Pun Su tidak mengejar. Ia percaya bahwa keterangan itu tidak bohong. Memang ia pernah mendengar bahwa tempat tinggal tiga orang aneh dari Barat itu adalah di sekitar Barat Gunung Heng-Tuan-San dan sebagai seorang perantau besar ia pernah mengunjungi daerah ini. Ia tahu bahwa daerah ini dekat sekali dengan daerah-daerah asing seperti Nepal, Bhutan dan India, maka sudah sepatutnya kalau tiga orang itu mendirikan tempat pusat di sana.

   

   Upacara pernikahan antara Kiang Liat dan Song Bi Li dilangsungkan dengan meriah. Banyak sekali tamu yang datang memberi selamat, dan di antaranya bahkan terdapat Han Le Si Pengemis Sakti. Oleh karena Cap-Si Kai-Pangcu, empat belas orang Ketua Perkumpulan Pengemis yang lihai juga hadir, maka para tamu tentu saja terheran-heran melihat begitu banyak orang-orang tua berpakaian Pengemis, akan tetapi mendapat penghormatan terbesar dari pihak tuan rumah! Tentu saja mereka yang terheran-heran ini adalah orang-orang biasa, karena orang-orang kang-ouw yang hadir di situ tentu saja mengenal tokoh-tokoh besar ini. Siapakah yang tidak mengenal It-Gan Sin-Kai Pengemis tinggi kurus yang bermata satu itu, yang pernah membikin geger Istana karena mencuri masuk ke dalam dapur Istana untuk menikmati hidangan-hidangan raja.

   Siapa pula tidak mengenal Pat-Jiu Siauw-Kait Pengemis kate berperut gendut seperti orang cacingan itu, yang kini duduk menghadapi meja sambil minum arak begitu saja dari guci yang besarnya hampir sama dengan tubuhnya? Masih banyak sekali tokoh-tokoh besar, seperti Tiat-Tho Mo-Kai dan terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Pendeknya, empat belas orang pemimpin Pengemis yang disebut Cap-Si Kai-Pangcu, hadir semua. Juga masih ada belasan orang tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah kenal dengan Kiang Liat, hadir di situ. Mereka semua ini, termasuk Cap-Si Kai-Pangcu, menghormati Han Le yang merupakan tokoh tertinggi di tempat itu. Setelah upacara pernikahan selesai, Han Le mendengar dari muridnya tentang Bu Pun Su, maka ia lalu meninggalkan tempat itu untuk mencari Suhengnya.

   Han Le sudah menyelesaikan tugasnya, sudah memberi tahu kepada tokoh-tokoh pimpinan Partai besar untuk berhati-hati dan siap siaga menghadapi pengaruh-pengaruh asing dari Barat. Semenjak saat pertemuan kedua mempelai, Bi Li yakin bahwa ia benar-benar telah mendapatkan seorang suami yang baik. Dan dugaannya ini ternyata tepat, karena memang Kiang Liat amat mencintanya. Tidak mengherankan apabila suami isteri ini hidup penuh kerukunan, saling mencinta dan amat sedap dipandang mata betapa sepasang suami isteri yang keduanya sama tampan ini setiap hari berjalan-jalan di taman bunga sambil tersenyum-senyum dan mengeluarkan kata-kata bermadu. Karena Kiang Liat sudah tidak ada ayah bundanya, maka Kakek Song, dibantu pula oleh Bi Li membujuknya agar jangan buru-buru sepasang suami isteri itu pindah ke Sian-Koan.

   Kiang Liat tidak keberatan, karena baginya tidak ada perbedaannya. Hidupnya sekarang hanya untuk isterinya seorang, di mana saja ia tinggal asalkan bersama isterinya, ia sudah puas dan bahagia. Juga ia tidak keberatan ketika isterinya menyatakan kesayangannya kepada Ceng Si dan hendak menjadikan gadis ini pelayannya dan juga kawannya bercakap-cakap apabila Kiang Liat sedang keluar rumah. Akan tetapi, diam-diam Kiang Liat tidak suka kepada gadis pelayan ini. Sikap gadis ini mengingatkan ia kepada Pek Hoa, wanita Siluman itu. Senyuman dan lirikan mata Ceng Si yang juga manis sekali itu, apabila ditujukan kepadanya, bukan lagi merupakan senyum dan kerling sopan dari seorang pelayan wanita terhadap majikannya, melainkan senyum dan kerling seorang wanita muda yang berusaha memancing hati seorang pria!

   

   Di bagian depan telah dituturkan betapa lihai dan licin adanya pelayan muda ini, Ceng Si telah melihat keadaan Kiang Liat, tentu saja memilih majikannya ini daripada Cia Sun. Ia pikir lebih baik memikat hati majikannya ini yang terang-terangan sudah menjadi suami nona majikannya. Kalau ia bisa menarik hati Kiang Liat dan menjadi kekasih atau bini mudanya, hidupnya terjamin dan ia akan menjadi seorang nyonya ke dua yang terhormat. Dengan kecantikannya yang lumayan ia berdaya upaya untuk menarik hati Kiang Liat. Akan tetapi alangkah kecewa dan mendongkolnya hati gadis pelayan ini ketika pada suatu hari, dalam pertemuan empat mata dengan Kiang Liat di ruang belakang, majikannya ini membentaknya perlahan,

   "Ceng Si, jangan kau main gila! Aku tidak suka kau tersenyum dan memandang kepadaku seperti itu. Nyonyamu akan menjadi salah mengerti dan akan marah kepadamu. Jangan kau berani ulangi lagi, mengerti?"

   

   Tentu saja Ceng Si merasa seakan-akan mukanya ditampar. Sambil menangis ia berlari masuk ke dalam kamarnya, di mana ia membanting diri di atas pembaringan dan mengangis terisak-isak. Hatinya perih sekali, apalagi kalau ia teringat bahwa impiannya buyar seperti asap tertiup angin. Ternyata suami nonanya itu bukan laki-laki biasa, bukan laki-laki mata keranjang seperti kebanyakan laki-laki di masa itu. Akan tetapi Ceng Si tidak kehilangan akal. Ia mulai membujuk Bi Li, bahkan akhirnya berani mengancam dengan menyindir bahwa kalau Bi Li tidak mau membantunya, ia akan membuka rahasia tentang hubungan nonanya ini dengan Cia Sun dahulu sebelum menikah! Akhirnya, Bi Li menjumpai suaminya dan ketika mereka bercakap-cakap gembira, Bi Li berkata perlahan,

   

   "Suamiku, kelak kalau kau mempunyai niat untuk mengambil seorang isteri ke dua, aku baru merasa rela dan senang hati kalau kau mengambil Ceng Si sebagai bini mudamu."

   Kiang Liat terkejut sekali dan ia membelalakkan matanya.

   "Eh, apa, apa yang kau ucapkan ini? Bagaimana kau bisa bicara seperti ini, isteriku? Bagaimana kau bisa bicara tentang aku mengambil bini muda?"

   Bi Li memeluk suaminya dan terseyum.

   "Mengapa begitu saja kau kaget? Bukankah sudah menjadi kebiasaan umum di kalangan bangsawan dan hartawan untuk mengambil bini muda sampai tiga empat orang? Tentu saja aku lebih bersukur kalau kau tidak melakukan ini, akan tetapi kalau terpaksa... ambillah Ceng Si, pelayanku yang setia itu."

   

   "Omongan apa ini? Aku takkan menikah lagi dengan siapapun juga! Aku cinta kepadamu dan kau seorang bagiku sudah cukup. Mengapa mesti menurut kebiasaan gila itu? Apalagi harus mengambil Ceng Si? Ah...! Tidak, seribu kali tidak!"

   Kata-katanya ini diucapkan keras-keras dan mereka tidak tahu bahwa Ceng Si mendengarkan di luar jendela.

   Gadis ini menjadi pucat mendengar ucapan keras dari Kiang Liat dan untuk kedua kalinya, ia menangis di kamarnya. Setelah yakin bahwa usahanya mendekati Kiang Liat tidak berhasil dan harapannya untuk menjadi isteri ke dua dari Kiang Liat sudah tidak mungkin lagi, Ceng Si mengambil jalan ke dua. Kini ia mengalihkan perhatiannya kepada Cia Sun dan mulailah ia mengadakan hubungan dengan Siucai itu. Mulailah ia memeras Bi Li untuk memberi uang dan perhiasan kepada Cia Sun melalui dia. Bahkan ia berani menyampaikan pesan Cia Sun, minta perhiasan rambut kupu-kupu dan bunga cilan yang amat indahnya itu. Bi Li tidak berani menolak. Nyonya muda ini maklum bahwa ia telah berada dalam kekuasaan Ceng Si dan Cia Sun.

   Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sekali saja ia menolak permintaan mereka dan mereka menyampaikan rahasianya kepada suaminya, akan celakalah dia! Bi Li terlalu mencinta suaminya dan baru sekarang terbuka matanya bahwa dahulu dia tertipu. Bahwa Cia Sun mencintanya karena dia cantik dan terutama sekali karena dia kaya. Dan ia pun kini tahu pula bahwa antara Cia Sun dan Ceng Si terdapat perhubungan yang kotor. Baru terbuka matanya betapa rendah dan jahatnya siasat dua orang itu terhadapnya, dan dia menyesal. Pernikahannya dengan Kiang Liat membuat Bi Li merasa berbahagia sekali, akan tetapi ia menjadi gelisah kalau teringat akan ancaman-ancaman dari Ceng Si dan Cia Sun. Ia tahu bahwa nasibnya terletak di dalam genggaman tangan Ceng Si, pelayan ini telah berhasil mendapatkan surat yang dahulu ia tulis untuk Cia Sun, dan dengan surat inilah Ceng Si selalu mengancamnya apabila minta sesuatu.

   Bi Li tidak berani membuka semua rahasia ini kepada suaminya. Kalau saja ia berani melakukan hal ini, kiranya semua akan beres dan takkan timbul urusan besar. Ia belum dapat menyelami jiwa yang gagah dari suaminya, tidak mengenal akan watak orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang menjunjung tinggi kegagahan dan menghargai kejujuran. Bi Li merasa ngeri untuk menceritakan tentang urusannya dan kesulitannya itu kepada suaminya. Ia takut kalau-kalau disangka yang bukan-bukan, disangka berlaku tidak senonoh di waktu dahulu. Padahal, kalau ia bercerita terus terang, Kiang Liat akan dapat mempertimbangkannya dengan bijaksana. Sayang seribu sayang bahwa Bi Li tidak berani membuka rahasia, bahkan menutupinya dengan penuh rasa khawatir,

   Dan ia memberikan apa saja yang dikehendaki oleh Ceng Si dan Cia Sun sehingga banyak uang dan perhiasan mengalir keluar! Keadaan ini berlangsung terus tanpa diketahui oleh Kiang Liat dan beberapa bulan kemudian Kiang Liat mengajak isterinya pindah ke Sian-Koan. Tadinya Kiang Liat segan mengajak Ceng Si, akan tetapi atas desakan Bi Li, terpaksa Ceng Si ikut juga, menjadi pelayan pribadi Bi Li. Setahun kemudian, Bi Li melahirkan seorang anak perempuan yang mungil sekali. Suami isteri itu merasa girang dan Kiang Liat memberi nama puterinya itu Kiang Im Giok. Mula-mula Bi Li memang khawatir kalau suaminya kecewa, karena pada masa itu, para ayah ingin melihat anaknya lahir laki-laki. Namun ternyata Kiang Liat berbeda dengan orang lain. Ia sama sekali tidak kelihatan kecewa dan untuk ini Bi Li merasa amat berterima kasih.

   Cinta kasihnya terhadap suaminya makin menebal. Hidup nyonya muda ini tentu akan penuh kebahagiaan kalau saja ia tidak diganggu oleh Ceng Si dan Cia Sun. Cia Sun telah mendapatkan banyak uang yang diperasnya dari Bi Li melalui Ceng Si, berubah menjadi seorang pemuda pemogoran dan pemalasan. Uang itu cepat sekali habisnya, dihambur-hamburkannya seperti orang membuang pasir belaka. Setelah Bi Li dan suaminya pindah ke Sian-Koan, ia pun menyusul ke Kota itu, menyewa kamar di dalam sebuah hotel itu. Ia membeli seekor kuda yang bagus dan kerjanya setiap hari hanya berpesiar! Perhubungannya dengan Ceng Si dilanjutkan tanpa ada halangan. Pada suatu hari, ketika Bi Li dan suaminya sedang menimang-nimang puteri mereka, Bi Li berkata dengan nada penuh keheranan,

   "Suamiku, Im Giok mempunyai muka yang hampir sama dengan Enci Pek Hoa."

   Kiang Liat terkejut bukan main.

   "Apa katamu? Pek Hoa siapa...?"

   Bi Li juga terkejut, merasa bahwa ia telah kelepasan bicara, maka dengan muka kemerahan ia berkata,

   "Enci Pek Hoa adalah seorang dewi dari kahyangan. Suamiku, jangan kau mentertawakan aku dan mengira aku tahyul dan bicara yang bukan-bukan. Kejadian itu amat ajaib maka selama ini aku tak pernah mengatakan kepadamu, takut kalau-kalau kau akan mentertawakan aku."

   

   "Coba ceritakan, isteriku. Aku takkan mentertawakanmu. Siapakah dewi itu dan bagaimana kau bisa bertemu dengan dia?"

   Tanya Kiang Liat dan hatinya berdebar gelisah. Bi Li lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Bi Sian-Li Pek Hoa Pouwsat yang dipuji-pujinya sebagai seorang dewi yang amat cantik jelita. Kiang Liat mendengarkan penuturan isterinya itu dengan mata terbelalak dan hatinya merasa tidak enak sekali. Tahulah dia sekarang bahwa dahulu Pek Hoa dapat datang mencarinya ke Sian-Koan setelah mendengar dari Bi Li bahwa dia adalah murid dari Han Le!

   

Pendekar Kelana Eps 11 Pendekar Sakti Eps 25 Pendekar Kelana Eps 21

Cari Blog Ini