Ceritasilat Novel Online

Pendekar Remaja 15


Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



Hong Beng merasa penasaran sekali karena jangankan mengalahkan gadis ini, mendesak pun ia tidak dapat! Ia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, dan berkat tenaga Lweekangnya yang lebih kuat sedikit daripada Goat Lan, ia berhasil mendesak nona itu. Akan tetapi, harus diakui bahwa dalam hal Ginkang, nona itu masih menang darinya, sehingga betapapun Hong Beng mendesak, ia tidak mampu menyentuh nona itu yang gesit laksana burung walet. Pertempuran dilanjutkan dengan hebat, seratus jurus lebih telah lewat sehingga keduanya makin penasaran dan juga kagum. Goat Lan benar-benar menjadi marah sekali. Masa ia tidak dapat mengalahkan pemuda dusun ini? Sebagaimana diketahui, Goat Lan telah mewarisi kepandaian Hok Peng Taisu melalui Ibunya,

   Maka ia lalu mengeluarkan ilmu silat yang diterimanya dari ketiga guru besar itu untuk menghadapi Hong Beng. Belum pernah Goat Lan begitu bersungguh-sungguh mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga pada jidatnya telah keluar beberapa titik peluh. Juga Hong Beng merasa pusing karena gerakan gadis itu cepat sekali. Pada suatu saat, ketika Goat Lan telah terdesak sampai di bawah sebatang pohon, Hong Beng mengeluarkan serangan dengan gerak tipu Dewa Hutan Membelah Kayu. Ia menubruk dengan tangan kanan dibuka jarinya lalu menyerang dengan tangan kanan itu, membuat gerakan kapak membelah kayu ke arah pundak Giok Lan, sedangkan tangan kirinya siap untuk menyusul dengan serangan menotok dari bawah kiri. Ia mengembangkan tangan kirinya agar supaya gadis itu tidak mengira akan gerakan susulan ini.

   Akan tetapi, Goat Lan telah mendapat gemblengan yang hebat dari para gurunya. Melihat serangan ini, ia hanya melangkahkan kaki kiri ke belakang, lalu membalikkan kedudukan tubuhnya sambil menekuk kaki kirinya itu yang kini berada di depan. Karena tubuhnya menjadi doyong maka serangan Hong Beng itu kini tidak mengenai sasaran dan dengan cerdik sekali Goat Lan bersikap seolah-olah ia tidak memperhatikan tangan kiri Hong Beng yang siap menotok. Akan tetapi diam-diam gadis ini yang maklum bahwa ia telah membuka kesempatan bagi lawannya untuk menyerang dan menotok punggungnya, telah mengerahkan ilmu Khikang dan mengumpulkan napas memasang Ilmu Pi-Ki Hu-Hiat (Menutup Hawa dan Melindungi Jalan Darah).

   Benar saja, Hong Beng tidak mau melewatkan kesempatan itu dan dengan girang tangan kirinya lalu menotok jalan darah di punggung lawannya. Akan tetapi oleh karena ia tidak ingin melukai lawannya, ia hanya melakukan totokan perlahan saja yang cukup untuk membuat tubuh lawannya menjadi lemas. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa jari tangannya mengenai kulit dan daging yang lunak sekali seakan-akan tidak berurat sama sekali! Ia maklum bahwa ia telah kena dipancing dan bahwa lawannya telah menutup jalan darahnya, maka ia cepat hendak melompat mundur. Terlambat! Tangan kiri Goat Lan telah "Masuk"

   Dari bawah lengan kanannya dan berhasil pula menotok iga di bawah pangkal lengannya.

   "Dukk!"

   Hong Beng masih keburu mengerahkan Lweekangnya sehingga bagian tubuh yang tertotok menjadi sekeras batu! Namun tenaga totokan Goat Lan itu masih membuatnya terhuyung mundur tiga langkah!

   "Bagus sekali! Kau benar-benar lihai, Nona. Aku yang bodoh mengaku kalah karena Ginkangmu yang luar biasa. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa aku kalah dalam hal kepandaian seluruhnya. Kalau kau masih sanggup menghadapiku, marilah kita mempergunakan senjata!"

   Biarpun ia mengaku kalah akan tetapi Hong Beng masih belum puas dan menantang untuk bertempur mempergunakan senjata. Diam-diam Goat Lan terheran. Pemuda ini cukup simpatik, karena sungguhpun tadi tak dapat dikatakan pemuda ini kalah, namun dengan jujur pemuda ini berani mengakui kekalahannya yang sedikit dan tak berarti itu, bahkan kini berani secara sopan menantang untuk melanjutkan pertempuran dengan senjata! Mengapakah pemuda yang sopan santun dan halus budi bahasanya ini oleh Lili disebut kurang ajar? Namun ia tentu saja tidak mau menyerah kalah dalam hal ketabahannya, maka ia lalu tersenyum dan menjawab,

   "Siapa takut kepada senjatamu? Keluarkanlah!"

   Dengan heran Goat Lan melihat pemuda itu mengambil sebatang ranting kayu yang terletak di atas tanah. Ranting ini hanya sebesar Ibu jari kaki dan panjangnya paling banyak selengan orang. Melihat senjata lawannya, Goat Lan diam-diam terkejut, karena hanya orang dengan kepandaian tinggi saja yang mempergunakan senjata seringan itu. Makin sederhana senjata orang, makin berbahaya dan lihailah ilmu kepandaiannya, demikian Ayah-Bundanya pernah berkata. Ia menjadi malu untuk mengeluarkan sepasang Bambu kuningnya, maka ia pun lalu mencari dua batang ranting yang sama besarnya dengan ranting di tangan Hong Beng, lalu sebelum lawan menyerangnya, tanpa berkata sesuatu ia lalu mengirim serangan hebat dengan ranting di tangan kiri.

   Tadi ketika melihat Goat Lan mengambil dua batang ranting pula seperti yang dipungutnya, Hong Beng benar-benar terheran sampai membelalakkan matanya. Tadinya disangka bahwa gadis ini tentu akan bersenjatakan pedang atau senjata tajam lainnya. Akan tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk berheran-heran sampai lama, karena bagaikan seekor ular ranting di tangan nona itu telah menyerangnya dengan gerakan yang amat luar biasa! Ia cepat menggerakkan rantingnya untuk menempel ranting lawan dan merampasnya, akan tetapi belum juga rantingnya dapat menangkis, ranting lawan telah ditarik kembali dan kini ranting di tangan kanan gadis itu menotok ke arah lehernya!

   "Hebat!"

   Seru Hong Beng memuji ilmu silat yang luar biasa ini.

   Berbeda dengan dia yang memegang ranting di tengah-tengah, gadis itu memegang rantingnya pada ujungnya dan menggunakan sepasang ranting itu untuk menotok. Setelah Hong Beng melayani Goat Lan sampai tiga puluh jurus lebih, makin lama makin terheranlah dia. Ilmu silat gadis ini benar-benar luar biasa sekali dan sungguhpun ilmu tongkatnya yang dua macam itu, yaitu Pat-Kwa Tung-Hwat dan Ngo-Heng Tung-Hwat adalah Raja ilmu Tongkat yang jarang bandingnya di muka bumi ini, namun ternyata bahwa menghadapi ilmu silat gadis ini ia tidak banyak berdaya dan hanya dapat mengimbanginya saja, tanpa dapat mendesak dan tidak pula sampai terdesak! Saking herannya, Hong Beng lalu melompat mundur sampai dua tombak lebih dan berkata,

   "Tahan, Nona! Aku harus mengetahui lebih dulu siapakah lawanku yang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya! Aku Sie Hong Beng selama hidupku belum pernah mengganggu orang, apalagi orang seperti kau! Mengapakah kau memusuhiku sampai sedemikian rupa?"

   Lenyaplah seketika itu juga kemarahan dari wajah Goat Lan dan gadis ini berdiri bengong seperti patung! Mendengar disebutnya nama itu, untuk sesaat wajahnya menjadi pucat, kemudian menjadi kemerah-merahan dan tak terasa lagi kedua ranting di tangannya terlepas dan jatuh ke atas tanah. Seakan-akan lemaslah kedua lengannya dan hatinya berdetak tidak karuan.

   "Kau... kau... bernama Sie Hong Beng...?"

   Katanya perlahan seperti berbisik.

   "Ya, aku bernama Sie Hong Beng, yaitu kalau tidak ada dua Sie Hong Beng di dunia ini. Dan kau siapakah? Siapa pula adikmu yang katamu tadi pernah kuhina itu?"Goat Lan tak dapat menjawab, hanya mukanya saja sebentar pucat sebentar merah. Tiba-tiba terdengar suara ketawa tak jauh dari situ dan ketika Hong Beng menengok ternyata yang tertawa itu adalah Lili adiknya! Gadis nakal ini tertawa-tawa sambil menyembunyikan tubuhnya di balik sebatang pohon besar sekali.

   "Hi-hi, Enci Goat Lan!"

   Kini tiba-tiba ia menyebut "Enci." "Bagaimana kepandaian pemuda itu? Boleh juga, bukan? Apakah kau sekarang sudah mulai melupakan kakakku dan tertarik oleh pemuda ini?"

   "Hemm, diakah adikmu dan kau... kau bernama Goat Lan, Kwee Goat Lan??"

   Kini muka Hong Beng yang menjadi kemerah-merahan, karena ternyata bahwa gadis ini adalah tunangannya sendiri yang belum pernah dijumpainya selama ini! Dengan gemas Hong Beng lalu melemparkan rantingnya dan hampir berbareng dengan gerakan Goat Lan, ia lalu mengejar Lili yang sembunyi di balik pohon besar itu!

   "Awas kutempeleng kepalamu yang penuh akal jail itu!"

   Seru Hong Beng.

   "Lili, anak nakal! Kujewer telingamu!"

   Goat Lan berkata pula sambil mengejar pula dengan cepat.

   Hong Beng mengejar dari sebelah kiri dari pohon dan Goat Lan mengejar dari sebelah kanan pohon yang besar itu. Hampir saja kedua orang muda ini bertumbukan di belakang pohon satu sama lain, karena ternyata bahwa Lili yang nakal itu tidak ada pula di tempat itu. Saking gugupnya, hampir saja tangan Hong Beng menangkap Goat Lan yang disangkanya Lili dan dengan mulut tersenyum malu-malu dan mata tidak berani memandang, Goat Lan berdiri di depannya. Hong Beng tercengang dan terpesona. Alangkah cantik, gagah, dan manisnya tunangannya ini. Terdengar lagi suara ketawa dari atas dan ketika keduanya menengok ke atas, ternyata bahwa Lili sekarang telah duduk di atas cabang pohon besar itu!

   "Turuntah kau, Lili! Bagus betul perbuatanmu, setelah berpisah bertahun-tahun, kau masih berani mempermainkan kakakmu sendiri!"

   Kata Hong Beng gemas.

   "Aku tidak mau sebelum kau berjanji tidak akan menempeleng kepalaku!"

   Kata Lili dengan sikap manja.

   "Hemm, seperti anak kecil saja kau, Lili! Biarlah, kali ini kau kuampunkan. Turunlah!"

   "Tidak, Beng-ko, kalau aku turun, aku takut kepada Enci Lan!"

   "Memang aku akan mencubit bibirmu!"

   Kata Goat Lan gemas dengan muka masih berubah merah karena jengah.

   "Nah, Engko Hong Beng. Kau dengar sendiri bagaimana galaknya calon nyonyamu! Kalau kau tidak berjanji akan membalas Enci Lan dan mencubit bibirnya apabila ia menyerangku, aku tidak mau turun dan tidak mengaku sebagai adikmu!"

   Digoda seperti itu, baik Hong Beng maupun Goat Lan menjadi gemas dan malu-malu, akan tetapi tentu saja dapat diketahui bahwa di dalam dada mereka merasa amat bahagia.

   "Sudahlah, Lili, kau turunlah, tentu saja... Nona Kwee tidak akan marah kepadamu."

   "Aih, aih! Mengapa pakai nona-nonaan segala? Engko Hong Beng, kau benar-benar bocengli (tidak tahu aturan, tidak berbudi), mengapa menyebut calon Soso (Kakak Ipar) dengan sebutan yang bersifat sungkan-sungkan? Kau harus menyebutnya Moi-moi!"

   Muka kedua orang muda itu makin merah mendengar godaan ini dan pada saat itu, Lili melompat turun. Goat Lan segera mengulurkan kedua tangannya kepada Lili, bukan untuk mencubit bibir atau menjewer telinga, melainkan untuk memeluknya.

   "Lili, aku minta dengan sangat, kasihanilah aku dan jangan kau menggoda lagi. Kau sudah lebih dari cukup menggodaku!"

   Bisiknya.

   "Engko Hong Beng,"

   Kata Lili dan ia memandang kepada Kakaknya dengan bangga.

   "Aku girang sekali, menyaksikan kepandaianmu yang hebat! Tidak percuma kau menjadi kakakku dan menjadi calon suarni Enci Goat Lan yang cantik jelita!"

   "Lili!!"

   Seru Goat Lan.

   "Lili...!"

   Bentak Hong Beng hampir berbareng.

   "Jangan kau menggoda saja!"

   Lili yang jenaka itu lalu menjura kepada mereka berdua.

   "Maaf, maaf! Aku hanya main-main saja. Engko Han Beng, mengapa kau bisa berada di tempat ini dan apa hubunganmu dengan orang-orang pengemis yang mengerikan tadi?"

   Dengan singkat Hong Beng lalu menceritakan perjalanan dan pengalamannya. Ketika mendengar tentang Lo Sian, Lili berubah air mukanya.

   "Beng-ko, coba kau ceritakan bagaimana wajah orang gila itu!"

   Dengan heran Hong Beng lalu menuturkan tentang wajah Lo Sian dan mendengar ini, Lili berseru,

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Pendekar Remaja (Seri ke 04 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   "Suhu...!"

   Baik Hong Beng maupun Giok Lan menjadi terkejut dan heran mendengar seruan ini. Mereka memandang kepada Lili dengan mata mengandung penuh pertanyaan.

   "Tentu dia Suhu! Siapa lagi?"

   Lili lalu menuturkan tentang Lo Sian, pengemis sakti yang dulu telah menolongnya dari tangan Bouw Hun Ti dan yang kemudian bahkan menjadi Suhunya.

   "Aku pun hendak mencarinya. Kalau begitu hayo kita kejar dia!"

   Tiga orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan mengejar Lo Sian yang melarikan diri. Berkat ilmu Ginkang mereka yang sudah sempurna, sebentar saja mereka dapat menyusul Lo Sian yang masih berlari-lari dan berteriak-teriak,

   "Pemakan jantung...! Pemakan jantung...!"

   "Suhu...!"

   Lili berseru memanggil dengan hati terharu sekali. Gadis itu mendahului kedua orang kawannya dan melompat ke hadapan Lo Sian. Wajah Lo Sian yang beringas itu menghadapi Lili dan sepasang matanya yang liar memandang dengan tajam. Dengan hati ngeri Lili melihat betapa mata itu telah menjadi merah mengerikan. Untuk sesaat Lo Sian berdiri bagaikan patung, dan dengan perlahan ia berkata,

   "Kau...? Aku sudah pernah melihatmu... kau...?"

   "Suhu, Teecu adalah Lili, Sie Hong Li muridmu! Suhu, mengapa Suhu menjadi begini...?"

   Tak terasa lagi air mata mengalir turun dari sepasang mata Lili yang bagus itu. Lo Sian tidak dapat mengingat siapa adanya Lili, akan tetapi perasaannya membisikkan kepadanya bahwa gadis ini adalah seorang yang baik kepadanya, maka ia tidak mau menyerang dan kemarahan serta ketakutannya lenyap. Akan tetapi, pada saat itu ia melihat Goat Lan dan Hong Beng yang sudah datang dan memandangnya dengan mata berkasihan. Tiba-tiba orang gila ini menjadi liar lagi dan berteriak-teriak,

   "Pemakan jantung! Pemakan jantung!"

   Lalu ia maju menubruk dan menyerang Hong Beng dan Goat Lan. Melihat keadaan orang itu, Goat Lan cepat turun tangan dan berhasil menotok dada Lo Sian. Pengemis gila ini roboh dengan tubuh lemas tak berdaya lagi.

   "Aku harus merobohkannya dan memeriksanya!"

   Kata Goat Lan singkat dan tanpa menanti pendapat kawan-kawannya ia lalu berjongkok dan memeriksa nadi Lo Sian.

   "Keadaan jantungnya baik,"

   Kata Goat Lan sambil memeriksa dada dan detik urat nadi. Hong Beng memandang dengan kagum kepada tunangannya itu. Ia sendiri sedikit-sedikit mempelajari ilmu pengobatan dari Ibunya yang belajar dari Ayahnya pula, akan tetapi tentu saja kepandaiannya ini tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan tunangannya yang menjadi murid Yok-Ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat.

   "Paru-parunya agak lemah,"

   Terdengar Goat Lan berkata pula. Tanpa berkata sesuatu, gadis ini lalu mengeluarkan Bambu kuningnya, dan mempergunakan ujung Bambu yang runcing untuk mengerat lengan Lo Sian. Darah beberapa titik keluar dari luka kecil itu. Goat Lam menggunakan jari tangannya untuk mengambil darah ini yang segera diperiksanya dan darah itu ia tempelkan pada ujung lidahnya! Tak lama kemudian ia meludahkan darah itu dan berkata,

   "Darahnya mengandung bisa yang aneh!"

   Ia lalu berpaling kepada Lili dan berkata.

   "Menurut perhitunganku, kalau Kakek ini dulunya tidak gila seperti yang kau katakan, tentu dia telah terkena racun hebat, sehingga racun itu mengotorkan darahnya dan merusak ingatannya. Lili, kalau di dunia ini ada orang yang dapat menolongnya, maka orang itu bukan lain adalah Thian Kek Hwesio yang tinggal di kuil Siauw-Lim-Si di Ki-Ciu, tak jauh dari sini."

   "Siapakah dia dan apakah dia mau menolongku mengobati Suhu ini?"

   Tanya Lili penuh gairah.

   "Kalau aku yang minta, mungkin dia takkan menolak. Dia adalah sahabat baik mendiang Suhu dan dia terkenal sebagai ahli penyakit gila, dan ahli pula mengobati orang terkena racun. Aku pernah diajak oleh Suhu mengunjungi Thian Kek Hwesio. Kita dapat langsung menuju ke sana."

   "Sayang sekali aku tak dapat ikut. Baiklah, aku akan menyusul setelah urusanku Pibu dengan ketua-ketua dari Hek-Tung Kai-Pang beres."

   Kata Hong Beng.

   "Tidak patut kalau aku melanggar janji, bukan perbuatan yang patut dibanggakan kalau seorang gagah melanggar janjinya."

   Goat Lan mengerutkan kening. Gadis ini pernah mendengar nama Hek-Tung Kai-Pang dan mendengar pula bahwa kelima kepala dari perkumpulan pengemis ini adalah orang-orang lihai yang telah mewarisi ilmu Tongkat Hek-Tung-Hwat yang lihai. Menurut Ibunya, ilmu Tongkat Hek-Tung-Hwat masih secabang dan bahkan berasal dari Ilmu Tongkat Bambu Runcing ciptaan Hok Peng Taisu karena Hek-Tung Kai-Ong pencipta Ilmu Tongkat Hitam itu pernah mendapat petunjuk-petunjuk dari Hok Peng Taisu. Maka teringat betapa tunangannya akan menghadapi lima orang ketua Hek-Tung Kai-Pang itu, hatinya menjadi gelisah sekali.

   "Kelima ketua dari Hek-Tung Kai-Pang itu amat lihai ilmu tongkatnya,"

   Kata Goat Lan tanpa berani memandang kepada Hong Beng.

   ""Aku tidak takut..., Moi-moi,"

   Kata Hong Beng sambil mengerling ke arah Lili. Akan tetapi, Lili tidak mempunyai nafsu untuk menggoda orang ketika ia melihat keadaan Lo Sian dan ia mendengarkan dengan kesungguhan hati dan penuh perhatian.

   "Aku percaya, Koko (Kanda), akan tetapi... karena mereka itu bukan orang-orang jahat, maka tidak baik kalau sampai terjadi bentrok yang menimbulkan permusuhan. Kalau saja Adik Lili mau ikut dengan kau... dan biarlah aku yang mengantarkan Lo-Enghiong (Orang Tua Gagah) ini kepada Thian Kek Hwesio..."

   "Kurasa tidak perlu, Moi-moi (Dinda). Kalau Lili ikut dengan aku, jangan-jangan aku dianggap takut dan dicap pengecut!"

   Tiba-tiba Lili bangun dan berkata,

   "Biarlah aku yang mengantarkan Suhu ke Ki-Ciu. Ki-Ciu tidak berapa jauh dari sini dan pula, perjalanan ini tidak berbahaya sama sekali. Enci Lan, kau pergilah bersama Beng-ko, dan seperti yang kau katakan tadi, lebih baik kita jangan menanam bibit permusuhan dengan Hek-Tung Kai-Pang. Hatiku juga tidak akan merasa tenteram kalau Beng-ko pergi seorang diri saja ke sana. Nah, Enci Lan, coba kau buatkan surat untuk Thian Kek Hwesio agar ia dapat dan mau menolong Suhu."

   Goat Lan segera menggunakan Bambu runcingnya untuk mengambil kulit pohon yang lebar, kemudian dengan ujung bambunya ia menuliskan beberapa kata-kata di atas "surat"

   Istimewa ini. Melihat betapa Goat Lan setuju dengan usul Lili, Hong Beng tidak berani membantah lagi, karena siapakah orangnya yang tidak akan merasa gembira dan bahagia melakukan perjalanan bersama dengan tunangannya, apalagi kalau tunangan itu secantik dan segagah Goat Lan? Demikianlah, sambil membawa "surat"

   Dari Goat Lan, Lili lalu memulihkan keadaan Suhunya dan ternyata Lo Sian menurut saja kepada Lili ketika Lili mengajaknya pergi! Hong Beng dan Goat Lan lalu kembali, menuju ke Kota Ta-Liong untuk memenuhi janji kepada Hek-Tung Kai-Pang pada keesokan harinya.

   Thian Kek Hwesio adalah seorang Pendeta Buddha yang bertubuh gemuk dan berwajah tenang dan riang. Hwesio ini telah banyak merantau dan sudah beberapa kali ia melawat ke negeri Barat untuk memperdalam pengetahuannya tentang Agama Buddha. Di dalam perantauannya ke Barat inilah dia mendapatkan ilmu pengobatan yang luar biasa. Memang semenjak mudanya, Thian Kek Hwesio paling suka mempelajari ilmu ini dan ketika ia berada di negeri Barat, ia bertemu dengan seorang ahli pengobatan, khususnya untuk mengobati orang-orang yang terganggu pikirannya dan orang-orang yang menjadi korban racun-racun jahat. Ia mempelajari ilmu jiwa yang amat dalam sampai puluhan tahun lamanya sehingga ketika ia kembali ke tanah airnya, ia telah menjadi seorang ahli berilmu tinggi. Akhirnya ia menghentikan perantauannya dan tinggal di dalam kuil Siauw-Lim-Si di Ki-Ciu, sambil memperkembangkan Agama Buddha yang dianutnya,

   Ia pun selalu mengulurkan tangan untuk mengobati orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Tidak jarang, apabila terjangkit wabah penyakit di suatu tempat, tidak peduli tempat itu letaknya amat jauh, Thian Kek Hwesio pasti akan mendatanginya dan mengulurkan tangan menolong orang-orang yang menjadi korban. Oleh karena ini, namanya menjadi amat terkenal sekali. Biarpun Thian Kek Hwesio bukan seorang ahli dalam hal ilmu silat, namun namanya tetap dihormati dan disegani oleh para tokoh kang-ouw. Banyak tokoh-tokoh besar persilatan menjadi sahabatnya, di antaranya adalah Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi tentang ilmu pengobatan. Lili mengajak Lo Sian menuju ke Ki-Ciu untuk mendatangi Hwesio suci ini guna minta pertolongannya mengobati Lo Sian. Di dalam perjalanan Lo Sian diam saja tak banyak berkata-kata, akan tetapi nampak lebih tenang setelah berada dekat Lili.

   Beberapa kali gadis itu mencoba untuk mengingatkan bekas gurunya ini, akan tetapi Lo Sian tetap tidak dapat mengingat sesuatu, tidak dapat mengenal Lili dan tidak ingat akan namanya sendiri. Akan tetapi, ia tidak nampak gelisah, tidak berteriak-teriak lagi dan seringkali ia memandang kepada Lili dengan penuh kepercayaan dan dengan muka menyatakan ketenangan hatinya. Biarpun Lo Sian sudah menjadi gila, namun ilmu lari cepatnya masih belum lenyap dan karenanya Lili dapat mengajaknya berlari cepat dan sebentar saja mereka sudah berada di dekat Kota Ki-Ciu. Ketika mereka berlari sampai di sebuah tempat yang sunyi, tiba-tiba mereka melihat dua orang sedang berkejar-kejaran. Yang dikejar adalah seorang pemuda sedangkan yang mengejarnya seorang gadis cantik. Lili merasa heran sekali melihat gadis itu sambil mengejar, menangis dan berseru memanggil,

   "Taihiap... jangan tinggalkan aku! Taihiap... tunggulah dan bawa aku bersamamu...!"

   Pemuda itu menoleh dan berkata dengan suara sedih,

   "Lilani, jangan kau dekati aku lagi...! Aku seorang yang jahat dan rendah budi! Jangan kau dekati lagi, Lilani...!"

   "Taihiap, kalau kau tetap hendak meninggalkanku, aku akan membunuh diri! Aku tidak sanggup berpisah darimu lagi..."

   Kedua orang itu adalah Lie Siong dan Lilani. Setelah pada malam hari itu di dalam hutan, karena dorongan hati terharu keduanya saling menumpahkan perasaan hati dan lupa akan keadaan di sekelilingnya,

   Maka pada keesokan harinya, bersama munculnya matahari, muncul pula pertimbangan dan kesadaran di hati Lie Siong. Pemuda ini menjadi amat terkejut dan menyesal sekali mengingat akan perbuatannya sendiri dan ia merasa amat malu. Bagaimanakah ia, seorang pemuda yang berkepandaian dan yang seringkali dapat nasihat-nasihat dari Ibunya, telah menjadi mata gelap dan runtuh hatinya terhadap kecantikan dan cumbu rayu seorang gadis cantik seperti Lilani? Ia menyesal sekali, akan tetapi ketika ia memandang wajah Lilani, gadis itu nampak lebih cantik dan berseri wajahnya. Sepasang mata gadis itu memandangnya dengan penuh cinta kasih sehingga Lie Siong menjadi gelisah sekali. Apakah yang sudah ia lakukan terhadap seorang gadis berhati tulus dan bersih seperti Lilani? Ah, ia berdosa, demikian pikirnya.

   "Lilani..."

   Katanya dengan suara perlahan.

   "Aku... aku telah berdosa kepadamu... aku... aku tak dapat lagi memandang mukamu."

   Akan tetapi Lilani menubruk dan merangkulnya.

   "Taihiap, mengapa kau berkata demikian? Aku, Lilani, bersumpah tak akan mencinta lain orang melainkan engkau. Engkau lah pujaanku dan hanya kepadamulah Lilani menyerahkan jiwa raganya..."

   Makin perihlah perasaan hati Lie Siong mendengar ucapan dan melihat sikap gadis ini. Ia maklum dan percaya sepenuhnya bahwa Lilani benar-benar amat mencintanya, akan tetapi dia...? Dapatkah ia selamanya harus berada di samping Lilani? Dapatkah ia menjadi suami dari gadis ini...? Makin dipikirkan, makin gelisah dan menyesallah hati pemuda itu. Ia melanjutkan perjalanan dengan wajah muram dan Lilani mengikutinya dengan cemas dan tak mengerti. Akan tetapi, dengan penuh kesetiaan dan kesabaran, gadis itu melayani Lie Siong dan mengikutinya ke mana saja pemuda itu pergi tanpa mau mengganggunya dan tidak pula bertanya mengapa Lie Siong berhal seperti itu. Akhirnya mereka tiba di tempat itu dan dengan terus terang Lie Siong menyatakan bahwa ia tidak ingin melakukan perjalanan selamanya bersama Lilani.

   "Lilani, dari sini ke Tiang-An tidak jauh lagi. Aku... aku tidak dapat mengantarkan kau terus ke Tiang-An. Mengapa kau tidak pergi saja seorang diri?"

   Lilani menjadi pucat.

   "Taihiap, mengapakah kau berkata demikian? Aku... aku tidak ingin ke Tiang-An, tidak ingin ke manapun juga kecuali ke tempat engkau berada. Aku tidak mau meninggalkan kau, Taihiap, aku ingin terus berada di sampingmu, ke manapun juga kau pergi."

   Berkerutlah kening Lie Siong mendengar ini.

   "Tidak, tidak, Lilani! Aku telah satu kali melakukan pelanggaran, melakukan perbuatan yang takkan dapat kulupakan selama hidupku. Aku tidak akan mau mengulanginya lagi. Akan tetapi... kalau kau berada di dekatku... aku... aku tak dapat menanggung bahwa kegilaan tidak akan membutakan mataku lagi..."

   "Mengapa pelanggaran? Mengapa hal ini kau anggap kegilaan? Taihiap, tidak percayakah kau bahwa aku mencintaimu dengan seluruh jiwa ragaku? Aku tidak mengharapkan banyak asal dapat selalu berada di dekatmu..."

   "Tidak, tidak! Tak mungkin, Lilani!"

   Dan larilah Lie Siong meninggalkan gadis itu! Lilani mengejar sambil berteriak-teriak memilukan dan mereka berkejaran terus sampai terlihat oleh Lili dan Lo Sian. Mendengar dan melihat keadaan dua orang yang berkejaran itu, Lili berdiri terheran-heran. Akan tetapi berbeda dengan Lo Sian. Orang tua ini masih tidak kehilangan sifat pendekarnya, dan kini melihat dua orang muda berkejaran, biarpun yang mengejar adalah yang wanita, namun karena Lilani menangis memilukan, dengan mudah saja ia dapat menduga bahwa dalam hal itu yang bersalah tentulah laki-laki yang dikejar itu! Tubuhnya bergerak dan berkelebat cepat menghadang di depan Lie Siong!

   "Orang jahat! Kau sudah berani mengganggu seorang gadis dan kemudian melarikan diri?"

   
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ucapan yang dikeluarkan tanpa disengaja ini telah mengenai tepat sekali pada perasaan hati Lie Siong. Ia menjadi pucat dan memandang kepada orang yang menegurnya. Apakah jembel mengerikan ini telah mengetahui rahasianya? Apakah melihat perbuatannya di dalam hutan pada malam hari yang telah menghikmatnya kemarin?

   "Jangan kau mencampuri urusanku!"

   Seru Lie Siong dan cepat ia hendak melanjutkan larinya. Akan tetapi Lo Sian menggerakkan tangannya yang diulurkan hendak mencengkeram pundak Lie Siong. Melihat gerakan yang mendatangkan angin ini, terkejutlah Lie Siong dan ia cepat mengelak. Sambil miringkan tubuh ke kiri, pemuda ini cepat membalas dengan sebuah totokan ke arah pinggang kanan Lo Sian yang dapat menangkis pula. Akan tetapi ketika Kakek ini menangkis, tubuhnya terpental ke belakang dan terhuyung-huyung, tanda bahwa ia kalah tenaga!

   "Orang kurang ajar! Kau berani mengganggu Suhu?"

   Tiba-tiba nampak berkelebat bayangan merah dan angin yang dingin menyerang Lie Siong dari samping kanan. Pemuda ini cepat melompat ke belakang dan terheranlah dia ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah seorang gadis yang cantik jelita. Serangan gadis ini jauh lebih lihai dan hebat daripada serangan jembel tadi! Bagaimana mungkin seorang murid memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada Suhunya! Akan tetapi Lili tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak memusingkan hal ini.

   Gadis ini pun merasa kaget dan penasaran ketika ternyata serangannya tadi dapat dielakkan dengan demikian mudahnya! Tadi ia telah menyerang dengan gerak tipu Pai-Bun-Twi-San (Mendorong Pintu Menolak Bukit) dengan maksud mendorong pemuda itu terguling, akan tetapi siapa kira bahwa dengan amat mudahnya pemuda itu telah dapat melompat dengan tepat dan mudah. Kini ia maju menyerang lagi dengan hebat, mengambil keputusan untuk merobohkan pemuda yang telah berani melawan Suhunya tadi! Lo Sian berdiri bertolak pinggang sambil tertawa-tawa menyaksikan pertempuran hebat itu. Sebaliknya, Lie Siong merasa terkejut bukan main karena ternyata bahwa gerakan gadis yang menyerangnya itu benar-benar luar biasa sekali! Cepat bagaikan seekor burung walet dan tiap pukulan yang menyerangnya mendatangkan angin yang kuat sekali.

   Diam-diam Lie Siong merasa gembira sekali karena memang demikianlah sifatnya, suka menghadapi lawan yang tangguh. Ia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang dipelajarinya dari Ibunya. Tentu saja oleh karena Lie Siong menerima pelajaran langsung dari Ang I Niocu, ilmu silatnya ini sempurna dan matang betul. Kini giliran Lili yang diam-diam merasa tertegun. Dari mana pemuda"

   Lawannya ini dapat bersilat dengan ilmu silat itu demikian bagusnya? Ia pun lalu merubah gerakannya dan dengan cepat ia bersilat dengan Ilmu Silat Sianli-Utauw, sama dengan ilmu silat Lie Siong! Pemuda ini makin kaget dan ketika ia mempercepat gerakannya, ternyata bahwa dalam hal Ilmu Silat Sianli-Utauw, ia masih menang setingkat dan berhasil mendesak Lili! Gadis ini menggigit bibir dan menjadi marah, ia berseru keras dan kini ia mengeluarkan Ilmu Silat Pek-In Hoat-Sut!

   Kedua lengan tangannya yang berkulit halus itu mengebulkan uap putih yang menyambar-nyambar ke arah Lie Siong. Pemuda ini hampir berseru keras saking herannya dan cepat pula ia juga mengeluarkan Ilmu Silat Pek-In Hoat-Sut! Akan tetapi keadaannya sekarang berubah karena ternyata bahwa Lili lebih mahir bersilat dengan ilmu silat ini! Hal ini pun tidak mengherankan, karena memang dalam hal ilmu ciptaan Bu Pun Su ini, Pendekar Bodoh lebih lihai kepandaiannya daripada Ang I Niocu. Sementara itu, Lo Sian yang gila hanya tertawa-tawa saja melihat pertempuran ini, sedangkan Lilani yang sudah dapat mengejar sampai di situ, memandang dengan terheran-heran melihat betapa dua orang itu bertempur seakan-akan sedang menari-nari saja! Gerakan keduanya demikian sama dan cocok, lemah lembut dan lemas, indah dipandang.

   "Tahan dulu!"

   Seru Lie Siong yang makin lama makin terheran melihat betapa ilmu silat ini banyak sekali persamaannya dengan kepandaiannya sendiri.

   "Siapakah kau, Nona?"

   Lili menjawab dengan mencabut pedangnya Liong-Coan-Kiam, lalu mencibirkan bibirnya sambil menjawab,

   "Laki-laki mata keranjang dan kurang ajar! Sudah menjadi kebiasaanmukah menanyakan nama setiap orang wanita yang kau jumpai?"

   Tentu saja Lie Siong menjadi marah dan mendongkol sekali. Ia merasa tersindir dan telinganya menjadi merah. Memang ia sedang merasa rusuh hatinya karena perbuatannya terhadap Lilani, sekarang ia dicap oleh gadis ini sebagai seorang mata keranjang! Tanpa berkata sesuatu, ia pun lalu mencabut Sin-Liong-Kiam dan menghadapi gadis itu dengan mata memandang tajam. Akan tetapi, sebelum mereka bertempur mempergunakan senjata, Lilani telah melangkah maju, menghadapi Lili dengan muka merah dan mata bersinar.

   "Jangan kau mengeluarkan kata-kata kotor terhadap Taihiap! Dia seorang Pendekar gagah perkasa, sama sekali bukan mata keranjang dan kurang ajar! Jangan sekali-kali kau berani memaki padanya!"

   Sikap Lilani amat galak, seperti seekor ayam biang membela anaknya. Melihat sikap ini, Lili tersenyum menyindir, lalu memasukkan pedangnya ke dalam sarung pedang kembali dan berkata,

   "Sudahlah, jangan kau kuatir, aku takkan melukai atau membunuh kekasihmu! Hanya satu hal yang amat mengecewakan hatiku, kau seorang gadis yang cantik jelita mengapa begitu tidak tahu malu mengejar-ngejar seorang pemuda? Hah, sungguh menyebalkan!"

   Sambil berkata demikian, Lili lalu memegang tangan Lo Sian dan berkata,

   "Suhu, mari kita pergi! Jangan melayani orang-orang ini!"

   Lo Sian tertawa ha-ha-hi-hi dan sebelum ikut berlari pergi bersama Lili, ia menengok kepada Lie Siong dan berkata,

   "Orang gagah tidak akan mendatangkan air mata pada seorang gadis cantik! Ha-ha-ha!"

   Ketika dua orang itu telah pergi merupakan dua titik bayangan yang jauh, Lie Siong masih berdiri termenung, pedang di tangan. Pertemuan ini berkesan dalam-dalam di hatinya. Tidak saja ia terpesona oleh kepandaian dan kecantikan Lili, akan tetapi juga kata-kata Lo Sian mengiris jantungnya. Ia baru sadar dari lamunannya ketika Lilani memegang tangannya dan berkata dengan suara menggetar,

   "Taihiap, jangan kau tinggalkan Lilani!"

   Lie Siong menghela napas berulang dan ketika ia memandang kepada Lilani, timbullah rasa iba yang besar.

   "Lilani, aku telah melakukan dosa besar terhadapmu..."

   "Bukan kau, Taihiap, akan tetapi kita berdua. Akan tetapi perbuatan kita itu bukanlah dosa bagiku... Memang, sesungguhnya hubungan antara pria dan wanita diluar perkawinan yang dirayakan, bagi Lilani bukan merupakan hal yang aneh atau melanggar. Suku bangsanya yang amat sederhana keadaan hidupnya itu tidak menitik-beratkan kepada upacara, akan tetapi lebih percaya kepada kesetiaan dan kasih di hati. Upacara dapat dilakukan kemudian, karena sekali dua orang telah menanam cinta kasih tak pernah ada atau jarang sekali ada yang memutuskannya atau mengingkari janjinya."

   Lie Siong dapat menduga akan hal ini, maka dengan hati perih ia berkata,

   "Lilani, ketahuilah bahwa sesungguhnya aku kasihan dan sayang kepadamu, akan tetapi... aku tidak mencintamu dan tidak mungkin menjadi suamimu!"

   Ucapan ini bagaikan sebuah pedang runcing menikam ulu hati Lilani, akar tetapi gadis ini mempertahankan sakit hatinya dan sambil meramkan matanya menahan air mata, ia berkata,

   "Bagaimanakah seorang perempuan rendah dan bodoh seperti aku ini dapat mengharapkan cinta kasihmu, Taihiap? Aku sudah akan merasa bangga dan bahagia apabila selama hidup aku dapat menjadi pelayanmu. Aku tidak dapat hidup jauh darimu, dan aku tidak mau ikut lain orang kecuali kalau dapat bertemu dan mengumpulkan suku bangsaku kembali!"

   Berat sekali hati Lie Siong mendengar ini.

   "Lilani, akan kucoba untuk mengembalikan kau kepada suku bangsamu."

   "Taihiap,"

   Tiba-tiba gadis itu berkata sambil memandang tajam dengan sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu.

   "kau tidak mencintaiku, hal ini aku dapat mengerti. Akan tetapi... bukankah kau jatuh cinta kepada... gadis tadi?"

   Lie Siong meloncat mundur bagaikan disengat ular kakinya.

   "Apa maksudmu...? Dari mana kau mempunyai pikiran seperti itu? Aku tidak kenal padanya, dan sekali bertemu kami telah bertempur. Mengapa kau menyangka demikian?"

   Lilani tersenyum sedih.

   "Orang bertempur bukan seperti yang kau lakukan tadi, Taihiap. Kau dan gadis itu tadi bukan bertempur, akan tetapi menari-nari gembira! Alangkah indahnya tarian itu dan terus terang saja, kau memang cocok dengan dia. Tadi aku merasa seolah-olah melihat sepasang dewa-dewi sedang menari!"

   Hampir saja Lie Siong tertawa bergelak saking geli hatinya, sungguhpun hatinya tergerak pula oleh ucapan ini dan wajah Lili terbayang di depan matanya.

   "Lilani, kau sungguh lucu! Ketahuilah bahwa ilmu silat yang kami mainkan tadi memang merupakan ilmu silat tarian yang tidak sembarang orang dapat menarikannya. Ilmu silat itu disebut ilmu Silat Sianli-Utauw (Tarian Bidadari) dan aku pun masih heran memikirkan bagaimana gadis tadi dapat memainkannya. Padahal ilmu silat itu adalah ciptaan dari Ibuku sendiri!"

   Dengan hati masih ingin sekali tahu siapa adanya gadis yang pandai mainkan Sianli-Utauw itu, Lie Siong melanjutkan perjalanannya bersama Lilani. Pemuda ini mengambil keputusan untuk mengikuti jejak Lili dan hendak bertanya siapa sebetulnya gadis aneh itu. Ada hubungan apakah antara gadis itu dengan Ibunya? Mengapa pula gadis itu pandai mainkan Ilmu Silat Pek-In Hoat-Sut yang lebih hebat daripada kepandaiannya sendiri? Apakah gadis itu ada hubungannya dengan Pendekar Bodoh? Berkali-kali Lilani berkata dengan penuh perasaan,

   "Taihiap, aku mempunyai perasaan bahwa kau mencinta gadis itu dan agaknya kau memang berjodoh dengan dia! Melihat kalian berdua bersilat seperti menari itu, ah, alangkah cocoknya!"

   Diam-diam Lie Siong merasa heran sekali melihat sikap gadis ini. Baru saja menyatakan cinta kasihnya dan sekarang sudah membicarakan gadis lain tanpa ada sikap cemburu sedikitpun juga! Benar-benar gadis yang berhati putih bersih, bersikap sederhana dan harus dikasihani.

   "Tidak, Lilani. Aku memang akan mencarinya untuk menantangnya bertempur. Aku belum puas kalau belum mengalahkan dia, sebagai tanda dan bukti kepadamu bahwa persangkaanmu itu tidak benar!"

   "Jangan, Taihiap. Dia kelihatan galak dan lihai sekali. Bagaimana kalau kau sampai terluka? Ah..."

   "Aku harus menghadapinya!"

   Kata Lie Siong berkeras.

   "Selain aku ingin menguji kepandaiannya, juga ingin tahu dari mana ia mencuri Sianli-Utauw dan Pek-in Hoat-Sut."

   Sementara itu, Lili dan Lo Sian sudah memasuki Kota Ki-Ciu dan dengan mudah mereka mencari kuil Siauw-Lim-Si yang besar. Lili sudah tidak memikirkan lagi keadaan pemuda dan gadis yang dijumpainya di jalan, sungguhpun di dalam perjalanan tadi ia tidak habis merasa heran bagaimana Ilmu Silat Sianli-Utauw pemuda itu demikian hebatnya dan betapa pemuda itu dapat juga mainkan Pek-In Hoat-Sut.

   Ia pun ingin sekali melanjutkan pertempuran dengan pemuda itu, karena ia merasa penasaran kalau belum dapat mengalahkan pemuda yang dianggapnya sombong itu. Biarpun wajah pemuda yang elok dan gagah itu mengganggunya, namun ia berhasil mengusir bayangan itu dengan anggapan bahwa pemuda itu tidak ada harganya untuk diingat lagi, karena tentu pemuda itu adalah seorang kurang ajar dan pengganggu anak gadis! Memikirkan halnya gadis cantik yang mengejar pemuda itu sambil menangis, Lili menjadi gemas sekali. Gemas dan benci kepada pemuda itu, karena ia dapat menduga bahwa gadis itu tentulah korban permainan pemuda mata keranjang itu! Thian Kek Hwesio menyambut kedatangan Lili dengan ramah tamah. Ketika menerima "surat"

   Dari Goat Lan, Pendeta gemuk itu tertawa gembira dan berkata kepada Lili,

   "Nona, tentu saja aku suka berusaha menolongmu. Apalagi kalau ada surat dari Kwee Lihiap yang kukenal baik. Tidak tahu siapakah Nona dan siapa pula orang tuamu?"

   "Teecu (murid) adalah puteri dari Sie Cin Hai,"

   Jawab Lili. Hwesio itu mengangkat alisnya dan kedua matanya terbelalak girang.

   "Ah, puteri Pendekar Bodoh? Benar-benar merupakan kehormatan besar dan kebahagiaan bahwa aku masih berkesempatan melihat keturunan Pendekar Bodoh. Masuklah Nona, dan siapakah sahabat ini?"

   Ia menudingkan telunjuknya kepada Lo Sian yang berdiri bagaikan patung.

   "Dia adalah Sin-Kai Lo Sian yang berada dalam keadaan sakit, Lo-Suhu. Kedatangan Teecu adalah untuk mohon pertolongan Lo-Suhu agar suka memeriksa dan memberi obat kepadanya. Dahulu ketika Teecu masih kecil, Teecu adalah murid dari Sin-Kai Lo Sian dan entah mengapa, setelah sekarang bertemu, Teecu mendapatkan Suhu berada dalam keadaan seperti ini."

   Thian Kek Hwesio yang memiliki sepasang mata bersinar sabar, tenang, halus dan juga berpengaruh itu, lalu memandang kepada Lo Sian dengan tajam, kemudian ia menghampiri pengemis gila itu.

   "Sahabat, kau kenapakah?"

   Akan tetapi, melihat Hwesio gemuk itu menghampirinya, Lo Sian tiba-tiba lalu menyerangnya dengan pukulan keras ke arah dadanya. Lili terkejut sekali dan untung bahwa ia berlaku cepat. Ia melompat menangkis pukulan Lo Sian ini, lalu menangkap lengannya.

   "Suhu, jangan begitu, Lo-Suhu ini adalah Thian Kek Hwesio yang hendak menolongmu."

   Akan tetapi, Lo Sian tiba-tiba memandang kepada Thian Kek Hwesio dengan mata mengandung ketakutan dan ia berteriak-teriak,

   "Pemakan jantung...! Tolong, pemakan jantung...!"

   Agaknya melihat Hwesio gundul ini, ia teringat kepada Hok Ti Hwesio dan melihat tubuh gemuk dari Thian Kek Hwesio, agaknya teringat kepada tubuh Ban Sai Cinjin, maka ia berteriak-teriak ketakutan.

   "Nona, tolong bikin dia tidak berdaya lebih dulu, agar mudah pinceng (aku) memeriksanya,"

   Kata Thian Kek Hwesio dengan muka masih tenang saja. Lili lalu mengulur tangannya dan menotok pundak Lo Sian. Karena orang gila ini memang percaya penuh kepada Lili, maka ketika ditotok, ia diam saja tidak melawan sehingga tubuhnya menjadi lemas dan ia lalu dibaringkan di atas pembaringan. Thian Kek Hwesio lalu memeriksa seluruh tubuhnya, terutama sekali ia mempergunakan jari-jari tangannya untuk memijit-mijit bagian kepala Lo Sian, kemudian ia pun mempergunakan cara Goat Lan memeriksa, yaitu mengeluarkan sedikit darah dari tubuh orang gila itu. Lili mengikuti semua pemeriksaan ini dengan penuh perhatian dan kecemasan. Akhirnya, Hwesio itu menggelengkan kepalanya dan berkata sungguh-sungguh,

   "Hebat sekali! Dia telah terkena racun jahat selama sepuluh tahun lebih dan seluruh darahnya telah menjadi kotor. Agaknya masih mungkin bagi pinceng menghilangkan kegilaannya, karena hanya urat di kepalanya yang terganggu, akan tetapi sukarlah membuat ia teringat pula akan segala kejadian yang lalu."

   "Tolonglah, Lo-Suhu. Tolonglah sembuhkan penyakit gilanya, biarlah ia tidak teringat sesuatu asalkan dia tidak gila seperti sekarang ini. Mungkin lambat laun ia akan dapat mengingat-ingat lagi."

   "Tentu saja pinceng akan berusaha menolongnya, mudah-mudahan Thian (Tuhan) membantu pinceng."

   Hwesio gendut itu lalu mengeluarkan beberapa puluh batang jarum yang berwarna putih dan ada pula yang kuning. Itulah Gin-Ciam (Jarum Perak) dan Kim-Ciam (Jarum Emas), alat-alat pengobatan yang sudah amat terkenal di seluruh permukaan bumi Tiongkok.

   "Nona Sie,"

   Kata Hwesio itu.

   "Coba tolong kau ikat kaki tangannya yang kuat, kemudian kau buka kembali jalan darahnya, karena dalam keadaan terpengaruh Tiam-Hoat (Ilmu Totokan), tak mungkin pinceng dapat menolongnya."

   Lili melakukan apa yang diminta oleh Thian Kek Hwesio. Ia membuka bungkusan pakaiannya, mengambil ikat pinggang dan mengikat kedua kaki tangan Lo Sian kepada kaki pembaringan, ia menepuk pundak Lo Sian untuk membebaskan totokannya tadi. Begitu terbebas, Lo Sian lalu meronta-ronta dan berteriak-teriak,

   "Pemakan jantung! Pemakan jantung! Tolong-tolong!"

   Thian Kek Hwesio tersenyum dan mulailah ia bekerja dengan jarum-jarumnya.

   Dengan gerakan yang tenang dan tepat tanpa keraguan sedikit pun, ia mulai menusukkan jarum putih ke leher belakang Lo Sian sementara Lili memegangi kepala pengemis gila itu. Tiga jarum ditusukkan dan tiba-tiba lemahlah tubuh Lo Sian, suaranya makin mengecil dan akhirnya ia jatuh pingsan atau pulas! Delapan belas jarum telah ditusukkan oleh Thian Kek Hwesio. Tiga di belakang leher, tiga di pundak kanan, tiga di pundak kiri dan sembilan jarum lain ditusukkan di sekitar kepalanya! Mau tak mau Lili merasa ngeri juga melihat cara pengobatan yang selama hidupnya belum pernah disaksikannya ini. Bagaimanakah orang dapat hidup setelah leher dan kepalanya ditusuk oleh sekian banyak jarum? Yang amat luar biasa ialah bahwa tidak ada setitik pun darah mengalir keluar dari jarum-jarum yang ditusukkan itu.

   "Biarlah ia mengaso dulu dan sementara menanti, ceritakanlah pengalamanmu, Nona. Terutama sekali pinceng ingin sekali mendengar tentang keadaan orang tuamu."

   Dengan jelas tapi singkat, Lili menuturkan keadaan orang tuanya dan betapa ia bertemu dengan Lo Sian ketika ia dulu diculik Bouw Hun Ti. Ketika ia telah selesai menuturkan pengalamannya dan ketika Hwesio tua itu mendengar nama Ban Sai Cinjin sebagai guru Bouw Hun Ti, Thian Kek Hwesio mengerutkan keningnya.

   "Hemm, disebutnya nama Ban Sai Cinjin membuat pinceng merasa curiga, Nona Sie. Ketahuilah bahwa Sin-Kai Lo Sian ini terkena racun yang amat berbahaya yang sungguhpun tidak sampai menewaskan nyawanya, namun membuat seluruh isi kepalanya menjadi kotor dan pikirannya tidak dapat bekerja baik. Pinceng sekarang hanya dapat menolong dia dari gangguan ketakutan sehingga ia tidak akan menjadi gila lagi. Agaknya, ketika ia minum racun atau dipaksa minum racun, ia berada dalam keadaan yang amat ketakutan atau ngeri. Entah apa yang terjadi dengan dia, akan tetapi nama Ban Sai Cinjin membuat pinceng hampir berani menuduh, Kakek mewah itu yang menjadi biang keladi. Bagi Ban Sai Cinjin, segala macam kekejian di dunia ini mungkin dilakukan olehnya!"

   Pada saat itu, terdengar Lo Sian merintih perlahan. Lili cepat melompat untuk memegangi kepalanya, karena kalau kepalanya bergerak ia kuatir kalau-kalau jarum yang masih menancap di lehernya itu akan melukainya. Thian Kek Hwesio juga menghampirinya dan melihat sebentar ke arah muka Lo Sian, membuka pelupuk matanya yang masih tertutup, lalu mengangguk puas.

   "Syukurlah, baik hasilnya,"

   Hwesio itu berkata perlahan, lalu ia mencabuti jarum-jarum itu. Lili melihat dengan hati ngeri betapa jarum perak yang tadi menancap, setelah dicabut ujungnya berwarna kehitam-hitaman, sedangkan jarum emasnya berwarna kehijauan! Thian Kek Hwesio lalu memasukkan tiga butir pel merah ke dalam mulut Lo Sian dan memberi minum secawan arak sehingga obat itu dapat memasuki perut pengemis itu. Sampai lama terdengar Lo Sian mengeluh kesakitan kemudian keluhannya berhenti dan jalan napasnya nampak tenang. Peluh memenuhi muka dan akhirnya ia membuka matanya.

   "Di mana aku...?"

   Tanyanya seperti orang baru bangun tidur.

   "Buka ikatannya,"

   Kata Thian Kek Hwesio kepada Lili yang segera membuka ikatan kaki tangan orang tua itu. Lo Sian bangun dan duduk dengan pandangan mata yang bingung dan Lili dengan girang sekali mendapat kenyataan bahwa pandang mata Lo Sian kini telah waras kembali, tidak liar seperti tadi.

   "Eh, siapakah kalian dan di mana aku berada?"

   Kembali Lo Sian bertanya sambil memandang kepada Thian Kek Hwesio dan Lili berganti-ganti. Lili lalu maju dan memegang tangannya.

   "Suhu, lupakah kau kepadaku? Aku adalah Sie Hong Li atau Lili, anak Pendekar Bodoh! Aku muridmu, Suhu!"

   Terbelalak mata Lo Sian memandang kepada gadis jelita yang berdiri di hadapannya sambil tersenyum itu.

   "Lili...? Siapakah Lili? Dan siapa pula Pendekar Bodoh? Aku.. serasa pernah aku mendengar nama-nama itu, akan tetapi sudah lupa sama sekali!"

   "Suhu, kau telah minum racun berbahaya dan berada dalam keadaan tidak sadar sampai sepuluh tahun. Inilah penolongmu, yaitu Thian Kek Lo-Suhu."

   Kini Lo Sian memandang kepada Hwesio itu yang masih tersenyum kepadanya. Biarpun Lo Sian masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Lili, namun mendengar bahwa Hwesio gendut itu telah menolongnya, maka ia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Hwesio itu.

   "Omitohud!"

   Thian Kek Hwesio menyebut nama Buddha sambil cepat mengangkat bangun Pengemis Sakti, itu.

   "Tidak percuma pinceng mengeluarkan tenaga membantumu, Sicu, ternyata kau adalah seorang yang berpribudi tinggi. Akan tetapi, ketahuilah bahwa semua orang yang baik hati tentu akan mendapat pertolongan Yang Maha Kuasa, sungguhpun ia tidak akan terlepas dari hukum karma. Marilah kita bicara di ruang depan, terlalu sempit di kamar ini."

   Ketiga orang itu lalu berjalan keluar dan ternyata bahwa pengobatan itu sama sekali tidak mempengaruhi keadaan kesehatan Lo Sian. Ia kini tidak gila lagi, akan tetapi ia tidak ingat akan kejadian di masa lampau. Setelah mereka berada di ruang depan, Thian Kek Hwesio lalu duduk di atas sebuah bangku dan Lo Sian berdiri di depannya. Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian dahulu untuk membantu bekas Suhunya itu teringat kembali, akan tetapi betapa pun Lo Sian mengerahkan pikirannya, ia tidak dapat mengingat-ingat lagi! Tiba-tiba matanya terbelalak dan Lili merasa terkejut sekali, takut kalau-kalau bekas gurunya ini kumat lagi penyakit gilanya, akan tetapi Thian Kek Hwesio memberi isyarat dengan tangannya agar supaya gadis itu tetap tenang. Berkali-kali Lo Sian memijit-mijit kepalanya seakan-akan hendak membantu urat-urat syarafnya bekerja kembali, dan tiba-tiba ia berkata keras,

   "Ah... yang teringat olehku hanya Lie Kong Sian...! Lie Taihiap itu telah... mati! Benar, Lie Kong Siang telah tewas... ah, hanya itu yang teringat olehku. Lie Kong Sian telah tewas!"

   Dan Sin-Kai Lo Sian lalu menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya lalu ia menangis tersedu-sedu! Lili hendak menghampirinya, akan tetapi dicegah oleh Thian Kek Hwesio, maka gadis itu hanya bertanya,

   "Suhu, kau maksudkan bahwa Lie-supek telah meninggal dunia??"

   Suaranya terdengar gemetar, karena gadis ini seringkali mendengar dari Ayah-Bundanya bahwa Lie Kong Sian adalah suami dari Ang I Niocu dan bahwa Pendekar besar she Lie itu adalah Suheng dari Ayahnya. Lo Sian mengangguk-angguk dan menahan tangis.

   "Benar, dia telah meninggat dunia. Lie Kong Sian yang gagah perkasa, yang berbudi mulia, telah mati...!"

   Pada saat itu, terdengar bentakan hebat dari atas dan nampak berkelebat bayangan orang yang maju menerkam tubuh Lo Sian dari atas!

   "Pengemis gila! Jangan kau mengacau dengan omongan bohong! Ayahku tidak meninggal dunia!"

   Bayangan itu ternyata adalah Lie Siong. Dengan hati tidak karuan rasa karena kaget dan tidak percaya, pemuda ini yang semenjak tadi mengintai dari atas genteng, lalu menubruk hendak menangkap Lo Sian. Ia melompat dengan gerakan yang disebut Harimau Menubruk Kambing dan langsung jari tangan kanannya meluncur hendak menotok pundak Lo Sian.

   "Suhu, awas serangan!"

   Lili berseru kaget dan baiknya Lo Sian masih belum kehilangan kegesitannya. Ia cepat memutar tubuh dan miringkan pundak, menarik kaki kanan ke belakang dan dengan demikian ia terluput dari totokan itu. Sebelum Lie Siong menyerangnya lebih lanjut, Lili telah berkelebat dan berdiri menghadapi pemuda itu.

   "Hem, kiranya kau!"

   Seru gadis itu sambil mencibirkan bibirnya ketika ia mengenal bahwa pemuda ini adalah pemuda yang tadi bertempur dengan dia.

   "Kau datang mau apakah?"

   "Suhumu yang gila ini telah bicara tidak karuan dan ia telah menghina Ayah ketika menyatakan bahwa Ayah telah mati! Ayah masih hidup di Pulau Pek-Hio-To dengan sehat, bagaimana ia berani mengatakan bahwa Ayah telah mati?"

   "Siapa bilang bahwa Ayahmu mati, anak muda?"

   Lo Sian berkata dengan sabar.

   "Yang mati adalah Lie Kong Sian, bukan Ayahmu..."

   "Orang gila! Lie Kong Sian adalah Ayahku!"

   Sambil berkata demikian, Lie Siong kembali maju hendak menyerang Lo Sian.

   Sementara itu, Lili memandang dengan bengong. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini adalah putera Lie Kong Sian, yang berarti putera Ang I Niocu pula! Timbul kegembiraannya tercampur kekecewaan. Ia gembira dapat bertemu dengan putera Ang I Niocu yang sudah seringkali disebut-sebut Ayah Bundanya, akan tetapi ia kecewa karena tadi melihat pemuda itu mempermainkan seorang gadis cantik! Juga di dalam hatinya timbul niat hendak menguji kepandaian putera Ang I Niocu ini. Maka tanpa banyak cakap, ketika melihat betapa pemuda itu hendak menyerang Lo Sian, Lili lalu bergerak maju menangkis pukulan itu. Sepasang lengan tangan beradu keras dan keduanya terhuyung mundur tiga langkah.

   "Bagus, gadis liar!"

   Lie Siong membentak.

   "Agaknya kau masih belum mau mengaku kalah."

   "Aku mengaku kalah? Terhadap engkau?? Hemm, bercerminlah dulu, manusia sombong. Kau mengaku putera Pendekar besar Lie Kong Sian? Siapa sudi percaya? Putera Ang I Niocu tak mungkin sesombong engkau dan mata keranjang pula. Hah, tak tahu malu!"

   Terbelalak mata Lie Siong memandang kepada Lili. Bagaimana gadis ini seakan-akan mengenal keadaan Ayah-Bundanya?

   "Kau siapakah?"

   Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia mengulang lagi pertanyaannya yang diajukan siang tadi, akan tetapi kembali Lill mengejek dengan bibirnya yang manis.

   "Apa kau kira dengan mengaku putera Ang I Niocu, kau akan dapat menipuku untuk memperkenalkan nama? Hah, manusia rendah, biar kucoba dulu sampai di mana sih kepandaianmu!"

   Setelah berkata demikian Lili lalu mencabut keluar pedang Liong-Coan-Kiam yang tajam.

   "Bagus, gadis liar! Aku pun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kepandaianmu maka kau berani membuka mulut besar!"

   Lie Siong juga mengeluarkan pedangnya yang aneh, yaitu Sin-Liong-Kiam. Maka tanpa dapat dicegah lagi kedua orang muda ini melanjutkan pertempuran mereka yang siang tadi dilakukan dengan mati-matian!

   Lili memiliki Ilmu Pedang Liong-Cu Kiam-Hoat yang luar biasa, Ilmu Pedang yang berdasarkan ilmu Pedang Daun Bambu ciptaan Ayahnya, maka tentu saja Ilmu Pedangnya ini hebat bukan main. Begitu gadis ini menggerakkan pedangnya maka berkelebatlah bayangan merah dari pakaiannya, dan pedangnya berubah menjadi segulung sinar pedang yang putih menyilaukan mata! Baik Lo Sian yang berdiri di sudut ruangan yang luas itu, maupun Thian Kek Hwesio yang masih tetap duduk di bangku dengan sikap tenang, terpesona menyaksikan Ilmu Pedang yang hebat ini. Bahkan Thian Kek Hwesio biarpun tidak pandai ilmu silat akan tetapi yang sudah banyak sekali menyaksikan kepandaian orang-orang berilmu tinggi, menjadi kagum sekali dan berkali-kali menyebut nama Buddha,

   "Omitohud! Alangkah hebatnya limu pedang ini!"

   Akan tetapi, ketika Lie Siong juga menggerakkan tubuh dan pedangnya, silaulah mata mereka berdua memandang. Tubuh Lie Siong berubah menjadi bayangan putih, sedangkan pedangnya menjadi segulung sinar keemasan yang cukup hebat menyilaukan pandangan mata. Begitu kedua sinar itu bertemu, terdengarlah suara nyaring dari beradunya kedua pedang dan berpijarlah bunga api yang indah sekali.

   Makin lama makin cepat kedua orang muda itu menggerakkan senjata mereka sehingga gulungan pedang berwarna putih dan kuning emas itu menjadi satu, bergulung-gulung saling membelit seakan-akan ada dua ekor naga sakti yang sedang bertempur seru. Api lilin di atas meja yang terdapat di ruang itu bergerak-gerak hampir padam karena tiupan angin senjata mereka berdua. Thian Kek Hwesio saking gembiranya dapat menyaksikan permainan pedang ini, lalu bangkit berdiri, mengambil tiga batang lilin lagi dan memasangnya semua di atas meja. Di dalam penerangan tiga batang lilin tambahan ini, makin indahlah nampaknya sinar pedang kedua orang muda keturunan orang-orang pandai itu. Diam-diam kedua orang muda itu terkejut sekali. Baik Lili maupun Lie Song amat kagum menyaksikan kehebatan kepandaian lawan.

   Kini Lili diam-diam percaya bahwa pemuda ini tentulah putera Ang I Niocu, oleh karena ia mengenal Ilmu Pedang Ngo-Lau-Hoan Kiam-Hwat dari Ang I Niocu yang pernah diturunkan oleh Ayahnya, bahkan Ayahnya pun pernah mernberi penjelasan kepadanya tentang Ilmu Pedang itu. Kalau diadakan perbandingan, memang Ilmu Pedang dari Lili masih menang lihai, akan tetapi dalam hal Ginkang dan tenaga Lweekang, ia agaknya masih kalah latihan. Sebaliknya, Lie Siong menjadi makin kagum melihat Ilmu Pedang yang dimainkan oleh lawannya. Benar-benar Ilmu Pedang yang belum pernah disaksikannya selama hidupnya. Ibunya pernah memberitahukan kepadanya tentang Ilmu Pedang ciptaan Pendekar Bodoh yang amat lihai dan agaknya inilah Ilmu Pedang itu! Apakah gadis ini puteri Pendekar Bodoh? Ia menduga-duga dengan hati berdebar-debar dan makin tertariklah hatinya kepada gadis yang cantik jelita, manis, dan juga galak ini.

   

Pendekar Bodoh Eps 36 Pendekar Bodoh Eps 5 Pendekar Bodoh Eps 18

Cari Blog Ini