Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bodoh 18


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



Balutin terkejut sekali oleh karena merasa betapa angin sambaran ujung baju itu keras dan luar biasa! Ia mencoba berkelit, akan tetapi serangan susulan dari Kiam Ki Sianjin membuatnya terhuyung-huyung ke belakang dan pada saat itu tongkat ular Hai Kong Hosiang tepat menusuk jalan darah lehernya. Sambil mengeluarkan teriakan keras, Balutin roboh dan tewas! Kiam Ki Sianjin lalu mengempit tubuh Hai Kong Hosiang dan dengan lari cepat bagaikan terbang, Kakek gagu ini meninggalkan tempat pertempuran menuju ke pantai dan keduanya lalu melarikan diri di atas sebuah perahu! Cin Hai juga melihat membubungnya api yang menjilat-jilat langit dan seakan-akan membakar awan-awan di atas itu. Ia makin bingung dan gelisah, lalu berteriak-teriak sambil berenang cepat-cepat.

   "Niocu...! Lin Lin...!"

   Akan tetapi lagi-lagi suaranya tenggelam ditelan suara ombak menderu. Pada saat itu, terdengar ledakan yang kerasnya sampai menggetarkan tubuh Cin Hai yang berenang di air! Pemuda ini melihat betapa api yang berkobar di atas bukit itu tiba-tiba saja pecah dan pulau itu dalam sekejap mata menjadi terang oleh karena telah terbakar menjadi lautan api! Tepat sebagaimana ramalan Pangeran Vayami, pulau itu berubah menjadi neraka! Cin Hai membelalakkan matanya dan pada saat setelah suara menggelegar itu lenyap, ia masih mendengar suara Ang I Niocu lapat-lapat.,

   "Lin Lin... Lin Lin... Hai-ji...!"

   Cin Hai merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetik dan tenggorokannya seakan-akan tercekik sesuatu! Tiba-tiba, sebagai akibat daripada letusan dahsyat itu, ombak besar datang menggulung dirinya dan tubuhnya terlempar ke atas, lalu diterima lagi oleh ombak dan dibawa hanyut jauh kembali ke tempat semula! Cin Hai mencoba berseru lagi.

   "Niocu... Lin Lin...!"

   Akan tetapi suaranya tak dapat keluar dari kerongkongannya dan ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan tidak kuat berenang pula! Perlahan-lahan tubuhnya tenggelam, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara bisikan.

   "Hai-ji... kuatkanlah hatimu... Lin Lin menanti-nantimu..."

   Cin Hai terkejut. Inilah suara Ang I Niocu! Cepat ia mengerahkan tenaga dan dapat timbul lagi ke permukaan air. Ia memandang ke sana ke mari mencari-cari, akan tetapi yang nampak hanya ombak dengan kepala ombak keputih-putihan menyambar lagi dan ia terombang-ambing menjadi permainan ombak. Kembali tubuhnya menjadi lemas dan ketika ia telah merasa putus asa tiba-tiba ia melihat bayangan wajah Ang I Niocu di dalam air dan bibir bayangan gadis itu bergerak-gerak dalam bisikan,

   "Hai-ji... kuatkanlah hatimu... kuatkanlah, aku mencari Lin Lin untukmu..."

   Dengan tenaga terakhir Cin Hai berenang lagi dan tiba-tiba tangannya menyentuh benda keras yang ternyata adalah sebuah perahu kecil yang terbalik. Ia segera mengangkat perahu itu dan membalikkannya, dan itu adalah perahunya yang siang tadi ia naiki bersama Ang I Niocu dan yang telah dilarikan oleh Si Hwesio dan Si Tosu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu! Agaknya perahu itu terpukul ombak dan terguling, dan entah bagaimana nasib kedua Pendeta itu! Dengan sekuat tenaga Cin Hai mengangkat tubuhnya ke dalam perahu dan akhirnya jatuh pingsan di dalam perahu kecil yang masih terombang-ambing oleh ombak besar itu.

   Ternyata bahwa oleh karena pulau itu mengandung minyak yang terbakar dan meletus, maka minyak yang telah menjadi api itu membakar seluruh pulau, bahkan kini minyak yang bernyala-nyala terbawa oleh air sampai di mana-mana hingga seakan-akan laut itu telah terbakar! Daya tekan letusan hebat itu telah menimbulkan gelombang hebat yang susul menyusul dengan dahsyatnya. Seluruh benda, berjiwa maupun tidak, yang berada di atas pulau itu binasa dan terbakar habis. Jangankan mahluk tak bersayap yang tak dapat melarikan diri, sedangkan burung-burung yang berada di pohon pun tak dapat menghindarkan diri dari bencana dan sebelum mereka terbang cukup tinggi, telah terpukul oleh letusan itu dan runtuh ke atas tanah untuk menjadi korban api yang mengamuk hebat.

   Perahu kecil yang ditumpangi Cin Hai terdampar ombak dan kembali ke pantai daratan Tiongkok. Ketika Cin Hai siuman dari pingsannya, ia merasa kepalanya masih pening. Pemuda itu bangkit perlahan dan ternyata ia telah berada di dalam perahu kecil itu semalam penuh oleh karena waktu itu telah menjelang pagi! Karena melihat bahwa dekat dengan pantai, maka Cin Hai lalu melompat turun ke air yang dangkal dan berlari cepat ke pantai. Tiba-tiba ia mendengar suara luar biasa, teriakan yang dibarengi suara senjata beradu! Ia cepat berlari menuju ke arah suara itu dan menjadi kaget berbareng girang melihat bahwa di sebelah kiri, dekat pantai di mana air laut masih bergelombang memukul batu-batu karang, di situ terdapat dua orang yang sedang bertempur hebat! Ketika ia telah datang dekat, maka yang bertempur itu adalah Hek Mo-ko melawan Pek Mo-ko.

   Inilah yang membuat ia kaget dan heran, sedangkan yang membuat hatinya memukul girang adalah ketika ia melihat bahwa di dekat tempat pertempuran itu, empat orang sedang berdiri sebagai penonton, yaitu bukan lain Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng! Melihat hadirnya Si Nelayan Cengeng di situlah yang membuat hati Cin Hai berdebar girang sekali, karena bukanlah Lin Lin bersama-sama dengan nelayan tua itu? Akan tetapi hatinya kecut dan cemas kembali, karena ia tidak melihat Lin Lin dan Ma Hoa berada di situ! Cin Hai lalu berlari keras menghampiri mereka dan tanpa mempedulikan orang lain maupun yang sedang bertempur, ia lalu menghampiri Kong Hwat Tojin Si Nelayan Cengeng dan terus menjatuhkan diri berlutut sambil bertanya dengan suara tak sabar,

   "Locianpwe, di mana adanya Lin Lin?"

   Kedatangan pemuda ini sama sekali di luar dugaan Nelayan Cengeng dan yang lain-lain, maka mereka berempat lalu mengurung pemuda ini, hanya Pek Mo-ko dan Hek Mo-ko yang tidak ambil peduli dan terus bertempur dengan hebat dan mati-matian!

   "Locianpwe, bagaimana dengan Lin Lin?"

   Tanya pula Cin Hai dengan muka pucat dan tubuh menggigil karena terdorong oleh gelora hatinya yang penuh kecemasan.

   "Ah, Cin Hai... engkau selamatkah...?"

   Tanya Si Nelayan Cengeng dengan terharu sekali, kemudian melihat keadaan pemuda itu yang amat mengkhawatirkan ia segera menyambung.

   "Lin Lin dan Ma Hoa selamat, mereka berdua pergi dengan Yousuf!"

   Mendengar betapa Lin Lin selamat, Cin Hai tiba-tiba menangis tersedu-sedu, menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dan setelah menjerit perlahan,

   "Lin Lin... ah, Niocu...!"

   Lalu pemuda itu jatuh pingsan lagi! Semua orang sibuk sekali, terutama Kwee An yang terus memeluk tubuh kawannya itu dan memijat-mijat belakang kepala Cin Hai hingga tak lama kemudian pemuda ini sadar kembali dalam pelukan Kwee An. Melihat Kwee An, Cin Hai lalu membalas memeluk dan pemuda ini menangis lagi. Seribu satu macam hal yang telah berada di ujung lidah mereka hendak diceritakan dan ditanyakan kepada Cin Hai, akan tetapi kini mereka terganggu oleh pertempuran hebat di dekat mereka. Bahkan Cin Hai tak sempat menceritakan pengalamannya, dan sambil memandang ke arah dua iblis yang sedang bertempur itu, ia tak tahan pula untuk tidak menyatakan keheranannya dan bertanya kepada Kwee An,

   "Mengapa mereka saling hantam sendiri?"

   Dengan muka sedih Kwee An berkata kepadanya tanpa menjawab pertanyaan itu,

   "Cin Hai, hanya kau yang bisa menolong. Pergunakanlah kepandaianmu dan cegahlah mereka saling membunuh."

   Cin Hai tidak mengerti akan maksud Kwee An oleh karena ia tidak tahu hubungan Kwee An dengan Hek Mo-ko, akan tetapi oleh karena ia percaya penuh kepada Kwee An, ia lalu bangkit berdiri dan mengumpulkan seluruh tenaganya yang telah lemas. Akan tetapi ia terlambat.

   Pada saat itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang bertempur sambil mempergunakan Pedang mereka yang luar biasa, telah mempergunakan serangan-serangan nekad dan pada suatu saat, keduanya menjerit ngeri dan terhuyung-huyung ke belakang. Pek Mo-ko terus roboh binasa dengan dada terluka oleh Pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini sendiri telah terkena pukulan tangan kiri Pek Mo-ko yang tepat menghantam dadanya hingga Pek Mo-ko mendapat luka dalam yang hebat dan jantungnya terguncang. Setelah melihat Pek Mo-ko roboh tak bernyawa, Hek Mo-ko yang masih dapat bergerak, lalu merangkak menghampiri adik seperguruannya ini dan setelah tertawa bergelak-gelak ia lalu memeluk mayat Pek Mo-ko sambil menangis sedih sekali. Kemudian ia muntahkan darah dari mulutnya dan roboh pingsan di dekat mayat Pek Mo-ko.

   Mengapa kedua iblis yang biasanya sehidup semati dan saling membela ini tiba-tiba bisa bertempur mati-matian dan saling membunuh di pantai itu, ditonton oleh Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng? Baiklah kita melihat keadaan di situ sebelum Cin Hai terdampar ke pantai. Setelah Kwee An dan kedua iblis itu mengamuk dan membasmi Pangeran Vayami dan seluruh anak buahnya, mereka bertiga lalu mengajukan perahu itu ke arah Pulau Kim-San-To. Akan tetapi di pulau itu, mereka melihat api berkobar hebat hingga menjadi takut dan memutar arah perahu. Tiba-tiba terjadi letusan hebat itu dan perahu mereka yang besar menjadi permainan gelombang air laut dan terbawa ke pantai daratan Tiongkok kembali. Dengan pucat dan ketakutan ketiganya lalu melompat ke darat sambil memandang ke arah Pulau Emas yang menjadi neraka itu.

   Mereka bergidik, bahkan Hek Pek Mo-ko dua iblis yang berhati kejam dan tak kenal takut, kini setelah melihat pemandangan mengerikan itu, menjadi pucat dan merasa ngeri juga. Terutama sekali Kwee An, oleh karena pemuda ini teringat akan Cin Hai dan Ang I Niocu yang telah disaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa kedua orang itu tadi menuju ke Pulau Emas. Bagaimanakah nasib mereka? Kwee An tak terasa pula mengalir air mata oleh karena ia tidak ragu-ragu lagi bahwa jiwa kedua orang itu pasti sukar ditolong dalam keadaan seperti itu. Siapakah orangnya yang kuasa menolong mereka yang berada di dekat neraka dan lautan api itu? Menjelang fajar, tiba-tiba sesosok bayangan orang melompat dari air ke dekat mereka dan ternyata bahwa bayangan orang ini adalah Si Nelayan Cengeng!

   Tepat pada saat itu, dari jurusan darat datang berlari dua orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika telah dekat, dua orang itu bukan lain ialah Biauw Suthai dan Pek I Toanio! Kwee An yang mengenal ketiga orang yang baru muncul pada waktu yang sama ini segera berlari menghampiri berteriak memanggil. Akan tetapi, Pek Mo-ko yang masih haus darah dan agaknya masih belum puas dengan pembunuhan-pembunuhan hebat yang ia lakukan dengan Hek Mo-ko di atas perahu Pangeran Vayami, telah mendahului Kwee An dan tanpa bertanya apa-apa lagi ia lalu menyerang Si Nelayan Cengeng yang berada terdekat. Kaget sekali Nelayan Cengeng ketika melihat dirinya diserang hebat oleh seorang tinggi besar yang berjubah putih! Akan tetapi Nelayan Cengeng bukanlah orang lemah maka dengan mudah ia lalu berkelit dan balas menyerang sambil berseru,

   "Eh, iblis dari mana datang-datang menyerang orang? Apakah tiba-tiba kau kemasukan Setan Pulau Kim-San-To?"

   Akan tetapi, ketika melihat bahwa Kakek yang muncul dari dalam air itu dengan mudah dapat mengelak seranganpya, Pek Mo-ko menjadi marah sekali dan menyerang lebih hebat lagi.

   "Pek-Susiok, jangan menyerang dia! Dia adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng!"

   Akan tetapi, Pek Mo-ko tidak mau pedulikan teriakan Kwee An bahkan menyerang makin hebat lagi. Sementara itu, Biauw Suthai yang mendengar nama kedua orang yang sedang bertempur itu disebut oleh Kwee An, tak ragu-ragu lagi untuk memihak. Ia telah lama mendengar nama Nelayan Cengeng sebagai seorang tokoh persilatan golongan Pendekar berbudi, sedangkan nama Pek Mo-ko telah terkenal bagai iblis jahat yang kejam, maka ketika melihat bahwa lambat laun Si Nelayan Cengeng terdesak hebat, Biauw Suthai lalu melompat maju sambil mencabut keluar Hudtimnya dan berseru,

   "Pek Mo-ko, jangan kau mengganggu orang di depanku!"

   Pek Mo-ko tertawa ketika melihat Tokauw ini, oleh karena ia dapat mengenal wanita Pendeta yang bermata satu dan beroman buruk ini.

   "Biauw Suthai, kebetulan sekali aku sedang gembira! Mari kau maju sekalian untuk menerima binasa!"

   Sambil berkata begini Pek Mo-ko lalu mencabut keluar Pedangnya yang luar biasa itu dan menyerang dengan penuh semangat, Biauw Suthai menangkis dan Si Nelayan Cengeng yang mendengar nama Biauw Suthai, lalu berkata,

   "Suthai, jangan kuatir, aku membantumu membasmi iblis ini,"

   Lalu Kakek nelayan yang gagah ini maju pula dengan tangan kosong melawan Pedang Pek Mo-ko.

   Ia mengeluarkan pukulan-pukulan keras dan lihai dan biarpun bertangan kosong, namun Kakek yang lihai ini tidak kurang berbahayanya. Dikeroyok dua Pek Mo-ko menjadi sibuk juga dan terdesak. Pengeroyoknya bukanlah orang-orang biasa dan adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi, maka tidak heran apabila Pek Mo-ko kehilangan kegarangannya menghadapi mereka ini. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu Hek Mo-ko telah menyerbu ke tengah pertempuran, membantu Pek Mo-ko. Ilmu silat kedua iblis ini memang merupakan kepandaian pasangan dan apabila kedua iblis ini telah maju berbareng, maka kelihaian mereka menjadi berlipat-ganda. Sebentar saja Biauw Suthai dan Nelayan Cengeng terdesak hebat oleh kedua Pedang Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang luar biasa.

   Pek I Toanio ketika melihat gurunya berada dalam bahaya, tidak mau tinggal dan maju membantu. Namun apa artinya bantuan Pek I Toanio yang tingkatnya masih kalah jauh? Tetap saja sepasang iblis itu mendesak hebat sambil tertawa-tawa. Kwee An menjadi sibuk sekali. Berkali-kali ia berteriak mencegah Hek Pek Mo-ko, akan tetapi suaranya tidak dihiraukan oleh kedua iblis yang sedang bergembira itu, seperti biasa kalau mereka berkelahi dan dapat mendesak serta mempermainkan lawan! Kwee An tak dapat membiarkan kedua iblis itu membunuh tiga orang ini, maka terpaksa ia lalu mencabut Pedang dan menyerbu membantu Biauw Suthai dan kawan-kawannya. Pertempuran makin hebat, akan tetapi ketika Hek Mo-ko melihat "Anaknya"

   Maju membantu lawan, menjadi ragu-ragu dan tiba-tiba ia berteriak,

   "Tahan dan mundur semua!"

   Suaranya menggeledek dan berpengaruh sekali hingga semua orang menahan senjata masing-masing.

   "Siauw-Mo (Setan Cilik), mengapa kau membantu musuh?"

   Tanya Hek Mo-ko sambil memandang Kwee An dengan heran tapi suaranya penuh nada mencinta.

   "Maaf, Ayah. Mereka ini adalah kawan-kawan baikku, bahkan Kong Hwat Locianpwe ini masih dapat disebut guruku sendiri. Tidak boleh Ayah dan Pek-Susiok membinasakan mereka!"

   Kata Kwee An dengan gagah sambil menentang pandangan mata Ayah angkatnya. Hek Mo-ko menghela napas dan berkata perlahan,

   "Kalau begitu biarlah aku tidak menyerang mereka lagi."

   Akan tetapi Pek Mo-ko tiba-tiba menjadi beringas dan marah sekali. Ia menuding dengan Pedangnya ke arah Kwee An dan membentak.

   "Anjing tak kenal budi! Beginikah kau membalas kami? Bagaimana juga, hari ini aku harus mencium bau darah orang-orang ini!"

   Setelah berkata demikian, Pek Mo-ko maju menyerang lagi dengan hebat, akan tetapi Pedang Kwee An menangkis Pedangnya dan anak muda ini berseru,

   "Pek-Susiok! Kebaikan mereka lebih dari pada kekejamanmu! Kalau kau tetap berkeras, terpaksa aku memberanikan diri melawanmu!"

   Pek Mo-ko makin marah.

   "Bagus sekali! Aku akan membunuh kau lebih dahulu!"

   Ia lalu mengirim serangan hebat dan ketika Kwee An menangkis, pemuda ini terkejut oleh karena tenaga Pek Mo-ko benar-benar hebat sehingga tangkisan itu membuat ia terhuyung-huyung ke belakang. Pek Mo-ko memburu dan mengirim serangan hebat hingga terpaksa Kwee An membuang diri ke belakang sambil bergulingan di atas tanah, untuk menghindarkan diri dari serangan maut.

   "Ha-ha-ha! Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana!"

   Teriak Pek Mo-ko sambil memburu untuk memberi tusukan terakhir, tetapi pada saat itu Hek Mo-ko melompat maju dan menangkis Pedang Pek Mo-ko sehingga terdengar suara keras dan kedua Pedang itu mengeluarkan api! Baru kali ini selama mereka hidup, Pedang mereka ini saling beradu. Pek Mo-ko memandang kepada Hek Mo-ko dengan mata terbelalak dan muka berubah merah, tanda bahwa ia merasa penasaran dan marah sekali, juga heran.

   "Suheng, kau... kau... hendak melawan aku?"

   Tanyanya gagap. Hek Mo-ko memandang tajam.

   "Sute, kau tidak boleh turunkan tangan kepada anakku!"

   "Apa? Dia bukan anakmu, dia adalah kawan musuh-musuh kita!"

   Bentak Pek Mo-ko sambil menubruk lagi ke arah Kwee An yang telah bersiap sedia dan menangkis.

   "Pek Sute! Jangan kau serang anakku!"

   Teriak Hek Mo-ko dengan marah.

   "Suheng, tinggal kau pilih. Kau membela aku atau membela binatang ini!"

   Jawab Pek Mo-ko dengan melolotkan mata.

   "Pikir saja sendiri olehmu! Anak dan Sute, mana lebih berat?"

   Tiba-tiba Pek Mo-ko tertawa bergelak.

   "Anak? Ha-ha, kau mabok, Suheng! Kau tidak punya anak! Ha-ha, kau tidak punya anak lagi! Anakmu telah mampus, seperti anakku!"

   Mengertilah semua orang kini bahwa sebenarnya Pek Mo-ko yang kematian puterinya itu, merasa iri hati melihat Hek Mo-ko mengambil Kwee An sebagai anak angkat! Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Si Nelayan Cengeng memandang perdebatan ini dengan penuh perhatian dan tak terasa pula mereka berdiri saling mendekati, merupakan kelompok yang menonton pertentangan antara kedua iblis itu. Hek Mo-ko menjadi marah sekali mendengar ucapan adiknya itu, maka ia lalu menggerak-gerakkan Pedang di tangannya dan berkata tegas.

   "Siapa peduli ocehanmu? Pendeknya, kalau kau mengganggu Siauw Mo, kau harus dapat mengalahkan Pedangku ini dulu!"

   "Kau sudah bosan hidup!"

   Pek Mo-ko membentak dan menyerang dengan hebat. Hek Mo-ko juga menggereng marah dan menangkis lalu balas menyerang. Demikianlah, kedua saudara yang tadinya sehidup semati itu lalu bertempur mati-matian sehingga mereka tidak menghiraukan kedatangan Cin Hai dan bahkan kemudian Pek Mo-ko mati di ujung Pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini terkena pukulan hebat dari Pek Mo-ko hingga menderita luka dalam yang berbahaya dan roboh pingsan. Melihat keadaan Hek Mo-ko itu, hati Kwee An yang merasa sayang karena berhutang budi, menjadi terharu sekali. Pemuda ini menubruk tubuh Hek Mo-ko dan mengangkat kepala iblis itu di pangkuannya sambil mengeluh,

   "Ayah..."

   Tentu saja Cin Hai dan lain-lain merasa heran sekali dan saling pandang dengan tak mengerti melihat kelakuan Kwee An itu! Kwee An segera memeriksa keadaan Hek Mo-ko, lalu pemuda ini menengok kepada Biauw Suthai yang pandai hal pengobatan sambil berkata,

   "Suthai, tolonglah kau obati dia ini!"

   Biarpun hatinya ragu-ragu untuk memeriksa dan menolong Iblis Hitam yang terkenal jahat dan kejam itu, Biauw Suthai tidak menolak permintaan Kwee An. Ia lalu menghampiri dan memeriksa dada yang terpukul, akan tetapi ia lalu menggeleng-geleng kepalanya dan berkata,

   "Tak ada gunanya lagi. Jantungnya telah kena pukul dan terluka. Tidak ada obatnya bagi pukulan ini."

   Ia lalu mengurut dan menotok dada Hek Mo-ko untuk mengurangi rasa sakit yang diderita oleh Iblis Hitam itu. Tak lama kemudian Hek Mo-ko membuka matanya ketika melihat bahwa ia berada dalam pelukan Kwee An, ia tersenyum dan dari kedua matanya mengalir air mata!

   "Bagus... bagus... kau betul-betul anakku yang kusayang, Siauw Mo! Aku... aku puas dapat mati dalam pelukan anakku..."

   Agaknya Hek Mo-ko telah menggunakan tenaganya yang terakhir untuk mengucapkan kata-kata ini, karena lehernya lalu tiba-tiba menjadi lemas dan ia menghembuskan napas terakhir. Kwee An menahan isak tangis yang mendorong perasaannya dari dada. Kemudian dengan sedih dan tak banyak mengeluarkan kata-kata ia lalu menggali lubang, dan dibantu oleh Cin Hai dan Si Nelayan Cengeng, mereka lalu mengubur kedua jenazah sepasang iblis yang telah menggemparkan kalangan kang-ouw untuk puluhan tahun lamanya itu.

   Setelah penguburan kedua jenazah itu selesai barulah semua orang berkumpul untuk menuturkan riwayat dan perjalanan masing-masing. Sebelum menuturkan pengalamannya, Cin Hai menengok ke arah Pulau Kim-San-To dengan pandangan sayu dan melihat betapa pulau itu masih tetap berkobar bagaikan api neraka mengamuk. Lalu dengan suara terputus-putus dan keharuan besar mempengaruhi lidahnya ia menceritakan riwayatnya, semenjak berpisah dari Kwee An dalam pertempuran melawan Hai Kong Hosiang dulu sampai tertolong oleh Ang I Niocu dan bersama Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu mencari Pulau Emas. Ketika ia menceritakan tentang pertempuran Ang I Niocu dengan seekor burung Kim-Tiauw, ia menghela napas dan berkata,

   "Memang betul ramalan Pendeta itu bahwa pertempuran dengan burung Rajawali Emas itu mendatangkan bencana besar. Niocu yang bertempur melawan burung itu sekarang tidak ketahuan nasibnya di pulau yang berubah menjadi neraka, sedangkan kedua Pendeta yang tertimpa kotoran burung itu pun agaknnya terkena bencana pula. Buktinya perahu mereka kudapatkan terbalik di

   (Lanjut ke Jilid 17)

   Pendekar Bodoh (Seri ke 03 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17

   lautan sedangkan mereka tidak kelihatan lagi!"

   Semua orang merasa terharu dan kasihan sekali kepada Ang I Niocu yang telah mencegah Cin Hai mendekati pulau untuk mencari Lin Lin, bahkan yang menggantikan pemuda itu menuju ke pulau yang berbahaya, padahal telah mendengar dari Pangeran Vayami bahwa pulau itu hendak dibakar dan diledakkan!

   Dara Baju Merah yang luar biasa itu ternyata telah mengorbankan diri guna menolong dan membela Cin Hai dan Lin Lin. Sungguh perbuatan yang mulia sekali. Apalagi bagi Cin Hai yang mengetahui apa yang terkandung dalam hati sanubari Dara Baju Merah itu terhadap dirinya. Setelah Cin Hai selesai menuturkan pengalamannya yang mengerikan, lalu tiba giliran Kwee An untuk menuturkan perjalanannya. Ia menceritakan betapa setelah ia terlempar ke dalam sungai dirinya terbawa hanyut dan diserang oleh ratusan ekor buaya yang ganas dan kemudian jiwanya tertolong oleh Hek Mo-ko. Kemudian ia diambil anak oleh Iblis Hitam itu dan diberi pelajaran silat, dan bersama Hek Pek Mo-ko lalu pergi mencari Pulau Emas dan berhasil membantu Cin Hai dan Ang I Niocu yang dikeroyok di perahu Pangeran Vayami.

   Ia menuturkan betapa kedua iblis itu telah membasmi seluruh anak buah Pangeran Vayami dan membinasakan Pangeran itu sendiri dan betapa perahunya terdampar oleh gelombang besar ke pantai. Setelah ia menuturkan semua pengalamannya, maka mengertilah semua orang mengapa Kwee An yang telah diaku anak dan diberi nama Siauw Mo atau Iblis Kecil oleh Pek Mo-ko itu demikian sayang kepada lblis Hitam ini. Dan hal ini pun dianggap wajar oleh semua pendengarnya, oleh karena memang demikianlah seharusnya sifat seorang ksatria yang biarpun kejam dan jahat, namun masih diliputi hati sayang dan cinta suci terhadap seorang anak pungut. Biauw Suthai dan Pek I Toanio yang mendapat giliran menuturkan pengalaman mereka, tidak dapat bercerita banyak. Mereka ini oleh karena mengkhawatiran keadaan Ang I Niocu dan Lin Lin yang diam-diam pergi meninggalkan rumah tanpa memberi tahu, lalu menyusul.

   Akan tetapi, biarpun telah merantau berapa lama, mereka tak berhasil mendapatkan jejak kedua orang gadis itu. Akhirnya mereka bertemu dengan orang-orang dusun di Utara yang bicara tentang penyerbuan tentara Turki ke Timur hingga hal yang aneh ini menarik hati Biauw Suthai dan ia mengajak muridnya untuk menyusul ke Timur dan melihat apakah sebenarnya yang dikerjakan oleh barisan asing itu. Akhirnya mereka dapat menyusul ke pantai ini dan melihat Si Nelayan Cengeng bertempur melawan Pek Mo-ko dan membantu Kakek nelayan yang gagah ini. Setelah tiba giliran Si Nelayan Cengeng untuk menuturkan riwayatnya yang didengar dengan penuh perhatian oleh Cin Hai, Kwee An, Biauw Suthai dan muridnya, Kong Hwat Lojin menghela napas berulang-ulang, kemudian ia mulai ceritanya yang panjang.

   Sebagaimana telah diketahui di bagian depan, setelah Nelayan Cengeng memperlihatkan kemahirannya di dalam air dan berhasil mengambil perahu Yousuf yang tenggelam dari dasar sungai, dia dan Yousuf dengan bantuan Ma Hoa dan Lin Lin lalu memperbaiki perahu itu dan kemudian berangkat berlayar menuju ke laut. Di sepanjang pelayaran mereka, Yousuf dapat menggembirakan hati Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa dengan macam-macam cerita yang didongengkannya. Ternyata bahwa orang Turki ini telah mempunyai banyak sekali pengalaman hidup dan sudah banyak melakukan perantauan-perantauan ke luar negeri. Ia bercerita tentang orang-orang yang tinggi besar seperti raksasa, berambut merah dan bermata biru, hingga Lin Lin dan Ma Hoa menjadi ngeri dan takut.

   "Apakah mereka itu suka makan orang?"

   Tanya Ma Hoa sambil menggeser duduknya mendekati Lin Lin oleh karena ketika itu telah malam dan kegelapan malam membuat ia membayangkan hal-hal yang mengerikan ketika mendengar cerita Yousuf tentang orang-orang aneh itu. Mendengar pertanyaan ini, Yousuf tertawa geli.

   "Aah, tidak, mereka itu juga manusia seperti kita. Bahkan, mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dapat membuat barang-barang yang aneh dan indah. Hanya saja, mereka itu bersikap kasar dan tidak tahu adat. Mereka tinggal di Barat."

   "Apakah yang disebut Dunia Barat?"

   Tanya Lin Lin. Pada waktu itu Tiongkok telah kenal dengan India yang di sebut Dunia Barat, bahkan Agama Buddha datangnya juga dari India. Mendengar bahwa raksasa-raksasa berambut merah dan bermata biru itu berada di Barat, maka Lin Lin mengajukan pertanyaan itu.

   "Bukan, mereka bahkan tinggal lebih jauh lagi dari Dunia Barat. Orang-orang di Dunia Barat memang tinggi besar akan tetapi kulit dan warna rambut mereka sama dengan kita. Mungkin banyak yang lebih hitam kulitnya kalau dibandingkan dengan kalian orang-orang Han. Akan tetapi adat istiadat mereka itu tak berbeda jauh dengan kita sendiri."

   Kemudian Yousuf menceritakan pula pengalaman-pengalamannya ketika ia merantau jauh ke Utara hingga ia menyebut-nyebut tentang bukit-bukit es yang dinginnya membuat ludah yang dikeluarkan dari mulut menjadi beku sebelum tiba di atas tanah! Pendeknya, banyak hal-hal aneh yang terjadi di luar Tiongkok yang bagi ketiga orang pendengarnya, jangan kata menyaksikan, bahkan mendengar pun belum pernah, diceritakan oleh Yousuf hingga ketiga orang itu menjadi tertarik dan senang sekali. Juga perasaan mereka terhadap Yousuf yang peramah dan pandai membawa diri itu menjadi makin berkesan baik. Setelah bergaul selama beberapa hari di atas perahu, kedua gadis itu harus mengakui bahwa Yousuf adalah seorang laki-laki yang sopan santun, pandai berkelakar dengan sopan, dan mempunyai pribadi tinggi. Bahkan Nelayan Cengeng terpaksa harus melempar syakwasangka yang tadinya timbul di hatinya ketika bertemu dengan orang Turki ini.

   "Dulu kau berkata tentang Pulau Kim-San-To, maukah kau menceritakan tentang pulau itu? Kita sedang menuju sana, maka ada baiknya bagi kami bertiga untuk mengetahui serba cukup tentang hal-ihwal pulau itu,"

   Kata Nelayan Cengeng, dan Lin Lin serta Ma Hoa pun mendesak sambil mendengarkan. Setelah bergaul dengan ketiga orang Han ini, Yousuf juga mendapat kesan baik sekali dan ia mengagumi sepenuh hatinya sifat-sifat mereka yang gagah berani. Ia kini percaya bahwa di Tiongkok memang banyak sekali Pendekar-Pendekar atau orang-orang gagah yang pekerjaannya hanya menolong sesama manusia dan menjadi pelopor-pelopor serta penegak-penegak keadilan. Terhadap Nelayan Cengeng ia merasa kagum sekali dan memandang penuh hormat seperti seorang saudara tua, sedangkan terhadap Ma Hoa dan Lin Lin, ia merasa sayang dan suka.

   Hatinya yang tadinya tertarik seperti tertariknya hati laki-laki terhadap seorang wanita, lambat laun berubah menjadi kasih sayang seorang tua terhadap anaknya atau seorang kakak terhadap adiknya. Hal ini timbul dari kesadarannya yang tinggi yang tidak mengizinkan hatinya untuk memaksa seorang gadis mencintainya, dan biarpun ia mencinta gadis itu dengan sungguh-sungguh, melihat sikap Lin Lin terhadapnya yang polos dan jujur bagaikan sikap seorang adik sendiri, maka nafsu-nafsu berahi yang tadinya mengotori kasih sayangnya terhadap gadis itu, menjadi luntur dan banyak mengurang. Ketika mendengar permintaan mereka untuk menceritakan perihal Pulau Kim-San-To, Yousuf merasa ragu-ragu. Akan tetapi, kemudian ia berkata,

   "Cerita ini sekaligus membongkar rahasiaku dan keadaan diriku. Apakah hal ini takkan menimbulkan kekecewaan kalian dan tidak akan membuat kalian membenciku? Sungguh tidak enak kalau kita yang melakukan pelayaran seperahu dan setujuan ini akan mempunyai perasaan tak suka, dan benci satu kepada yang lain!"

   Nelayan Cengeng tertawa.

   "Saudara Yo Se Fei! Kau sungguh-sungguh terlalu sungKan-Sungkan! Kalau sekiranya hal ini tak dapat kau ceritakan kepada kami, janganlah kau ceritakan! Kami juga tidak begitu nekat untuk memaksamu, bukankah begitu, anak-anak?"

   Akan tetapi Nelayan Cengeng tertegun ketika Ma Hoa dan Lin Lin dengan suara berbareng dan tegas berkata,

   "Ah, Yo-Sianseng (Tuan Yo) harus menceritakan tentang pulau itu kepada kita!"

   Bahkan Lin Lin lalu berkata lagi.

   "Apakah Yo-Sianseng kurang percaya kepada kami hingga masih menyimpan segala rahasia?"

   Kalau Nelayan Cengeng tercengang, Yousuf tertawa terbahak-bahak dan ia lalu berkata,

   "Ha-ha, Kong Hwat Lojin yang masih mempunyai sikap sungKan-Sungkan, bukan aku dan bukan pula kedua nona ini! Baiklah, aku akan menceritakan pengalamanku!"

   Kemudian setelah minum air teh yang dibuat oleh Lin Lin dan dihidangkan oleh Ma Hoa, orang Turki itu bercerita,

   "Beberapa tahun yang lalu, aku dan dua orang kawanku berlayar di laut ini. Pada suatu malam, ketika kami melalui banyak pulau di pantai laut ini, tiba-tiba kami dikejutkan oleh pemandangan yang dahsyat dan aneh dan yang sebentar lagi kalian juga akan dapat menyaksikannya. Sebuah pulau di depan kami yakni pulau yang disebut Pulau Gunung Emas, nampak bercahaya mengeluarkan sinar kuning emas yang menakjubkan. Kami bertiga merasa takut sekali karena pemandangan itu sungguh aneh sekali. Kami lalu berhenti berlayar dan malam itu kami tidak tidur, terus berdiri di perahu mengagumi keindahan pulau itu dari jauh. Pada keesokan harinya, kami mendayung perahu mendekati pulau itu kami mendarat. Akan tetapi, apa yang menyambut kami? Sungguh di luar dugaan! Ketika kami mendarat di pulau itu, tiba-tiba dari belakang sebatang pohon, keluarlah seekor Harimau besar yang mempunyai sebuah tanduk di tengah-tengah kepalanya! Harimau itu lari menerjang, kami terpaksa melawannya. Harus diketahui bahwa kedua kawanku itupun memiliki kepandaian yang hanya berada sedikit di bawah kepandaianku, akan tetapi kami bertiga masih tak dapat mengalahkan Harimau itu! Dan dalam saat yang berbahaya itu tiba-tiba dari atas menyambar turun seekor burung Rajawali berbulu kuning emas ke arah kami dan menyerang dengan tidak kalah hebatnya! Kami menjadi sibuk dan terdesak hebat, bahkan seorang kawan kami telah kena cakar Harimau itu dan dipukul dengan sayap oleh Kim-Tiauw hingga keadaan kami makin berbahaya! Akan tetapi, ketika kami telah berada di tepi jurang maut, tiba-tiba datanglah penolong yang tidak kalah anehnya. Penolong ini adalah seekor burung Merak yang besar sekali dan bulunya hijau bercampur kuning keemasan yang indah sekali. Merak ini menyambar turun sambil mengeluarkan suara nyaring dan aneh! Begitu melihat Merak ajaib ini, Rajawali Emas dan Harimau Bertanduk itu lalu mengeluarkan keluhan panjang dan berlari pergi seolah-olah dalam ketakutan hebat!"

   "Merak ajaib itu lalu turun dan sambil mengembangkan semua sayap dan ekornya yang indah, ia berjalan hilir mudik seakan-akan membanggakan keunggulan dan kecantikannya. Aku merasa sangat tertarik dan timbul keinginanku hendak menangkap dan memelihara Sin-Kong-Ciak (Merak Sakti) itu, akan tetapi tiba-tiba ia mengibaskan sayap kirinya dan aku jatuh terpelanting! Angin kibasan sayapnya ini mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya hingga aku mengerti mengapa Harimau Bertanduk dan Rajawali Emas itu takut menghadapinya. Ternyata Merak itu bukanlah binatang sembarangan dan mempunyai kesaktian luar biasa!"

   Nelayan Cengeng menjadi kagum sekali mendengar cerita tentang Merak ajaib ini, maka ia lalu berkata,

   "Aku pernah mendengar tentang burung Merak yang datang dari negeri sebelah Selatan Tiongkok, dan kabarnya Merak di negeri itupun amat cantik dan kuat, akan tetapi belum pernah aku mendengar tentang burung Merak sehebat seperti yang kau ceritakan itu."

   Juga Lin Lin dan Ma Hoa merasa kagum sekali, dan Lin Lin segera mendesak agar Yousuf suka melanjutkan penuturannya!

   "Terpaksa kami berdua membawa kawan kami yang terluka dan melarikan diri ke atas perahu. Kami tidak berani mendarat oleh karena pulau itu ternyata mempunyai penghuni yang aneh-aneh dan lihai. Kami hanya mendayung perahu mengitari pulau itu dan sungguh aneh. Selain tiga ekor binatang aneh itu, kami tidak melihat apa-apa lagi. Kami lalu mendarat dari bagian lain untuk menyelidiki dan ternyata di puncak bukit terdapat sebuah telaga yang airnya berwarna indah, kadang-kadang hijau, ada merahnya, lalu kuning, bagaikan warna pelangi di udara, akan tetapi pada dasarnya berwarna kehitam-hitaman. Kami mempunyai keyakinan bahwa pulau itu tentu menyimpan harta yang luar biasa, maka kami lalu berputar sambil memeriksa. Untung sekali kami tidak pergi terlalu jauh dari pantai, oleh karena selagi kami berjalan, tiba-tiba dari atas terdengar suara yang menakutkan dan betul saja, burung Rajawali Emas yang kami takuti itu telah menyambar dari atas dan menyerang kami! Kami berdua lalu memutar-mutar Pedang di atas kepala untuk melindungi kepala kami dari terkaman burung hantu itu sambil berlari ke perahu kami. Dan dengan penuh ketakutan, kami lalu pergi dari pulau itu, dan kawan kami yang terluka itu terpaksa kami lempar ke laut oleh karena ia meninggal dunia karena lukanya. Demikianlah kami kembali ke negeri kami dan Raja kami yang mendengar tentang penuturanku, lalu memerintahkan barisan besar untuk menyelidiki keadaan pulau itu. Dan harap kalian jangan kaget, aku adalah seorang yang ditugaskan untuk memimpin rombongan penyelidik atau mata-mata Pemerintah Turki."

   Ketika melihat betapa ketiga orang Han itu tidak terpengaruh oleh pengakuannya, ia lalu melanjutkan,

   "Dan aku pergi sekarang ini pun oleh karena perintah Rajaku untuk membuka jalan sebagai perintis menuju ke pulau itu."

   Sambil berkata begini, ia memandang tajam kepada Nelayan Cengeng untuk melihat perubahan muka pendengarnya, akan tetapi Nelayan Cengeng agaknya tidak tertarik sama sekali, bahkan lalu berkata,

   
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku ingin sekali melihat binatang-binatang aneh itu."

   Juga Lin Lin dan Ma Hoa berkata.

   "Alangkah senangnya kalau dapat membawa pulang burung Merak sakti itu."

   Maka gembiralah hati Yousuf melihat keadaan ketiga orang itu yang sama sekali tidak mau atau ambil peduli tentang segala urusan negeri. Saking girang dan lega hatinya, Yousuf lalu bernyanyi sebuah lagu Turki yang didengar oleh kawan-kawannya dengan penuh perhatian, kagum dan geli, oleh karena biarpun mereka harus mengakui bahwa Yousuf memiliki suara yang empuk dan merdu, namun lagu yang dinyanyikannya terasa asing bagi telinga mereka hingga terdengar sumbang dan lucu. Pada saat Yousuf selesai bernyanyi, hari telah menjadi gelap dan mereka telah tiba di dekat Pulau Kim-San-To. Tiba-tiba Yousuf menunjuk ke depan dan berkata,

   "Nah, kalian lihatlah baik-baik, bukanlah Kim-San-To benar-benar pulau yang menakjubkan?"

   Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa menengok dan ketiganya menahan napas dengan mata terbelalak ketika melihat pemandangan ajaib yang terbentang di depan mata mereka. Mereka telah melihat Kim-San-To di waktu malam, melihat bukit yang mencorong dan berkilauan seakan-akan bukit itu terbuat daripada emas murni.

   "Mungkinkah ini?"

   Nelayan Cengeng menggerakkan bibirnya.

   "Apakah aku sedang mimpi?"

   Bisik Lin Lin sambil mengucek-ngucek kedua matanya seakan-akan tak percaya kepada matanya sendiri. Ma Hoa juga terpesona hingga gadis ini berdiri diam bagaikan patung batu.

   "Hebat bukan? Aku sendiri ketika melihat untuk pertama kalinya, telah berlutut dan menyebut nama Dewata, karena menyangka bahwa aku telah melihat Surga diturunkan di atas tempat ini. Tempat seperti itu, pantasnya menjadi kediaman para Dewata, bukan?"

   Terdengar Yousuf berkata hingga ketiga orang itu tersadar dan menghela napas.

   "Benar-benar hebat, Saudara Yousuf. Terus terang saja, tadinya aku masih ragu-ragu dan timbul persangkaanku bahwa kau membohong atau melebih-lebihkan ceritamu, akan tetapi melihat pemandangan ini aku menjadi percaya penuh kepadamu, juga tentang penghuni pulau yang aneh-aneh itu,"

   Kata Nelayan Cengeng.

   "Mari kita ke sana sekarang juga!"

   Kata Ma Hoa dengan gembira, dan Lin Lin juga mendesak supaya mereka segera pergi ke pulau indah dan ajaib itu. Akan tetapi Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,

   "Jangan pergi sekarang aku belum tahu benar, apakah selain ketiga binatang sakti itu tidak ada lain makhluk berbahaya di pulau itu. Mendarat malam-malam adalah hal yang sembrono dan berbahaya sekali. Lebih baik kita menanti di perahu sampai besok pagi, barulah kita mendarat dengan hati-hati."

   Nelayan Cengeng yang dapat memaklumi hal ini dan dapat berpikir lebih luas menyetujui ucapan ini hingga terpaksa Lin Lin dan Ma Hoa yang sudah tidak sabar menanti itu menekan perasaan mereka dan semalam suntuk mereka tidak mau tidur, hanya duduk di atas perahu sambil menikmati pemandangan indah itu dan mengaguminya. Melihat pemandangan indah sekali itu, Lin Lin dan Ma Hoa yang duduk berdua saja, lalu teringat kepada kekasih masing-masing. Dan tiba-tiba wajah mereka menjadi berduka. Ma Hoa tahu akan perubahan pada muka Lin Lin dan ia bertanya perlahan,

   "Lin Lin mengapa tiba-tiba kau menghela napas dan seperti orang berduka?"

   Lin Lin tiba-tiba menjadi merah mukanya dan dengan perlahan sambil memegang tangan Ma Hoa, ia bertanya,

   "Enci Hoa, apakah kau tidak teringat pada kakakku Kwee An?"

   Ma Hoa memegang tangan Lin Lin erat-erat sambil bermerah muka, lalu berkata,

   "Jadi itukah yang mengganggu pikiranmu? Kita harus meneguhkan hati dan bersabar, Adikku. Aku yakin bahwa Saudara Cin Hai dan... dia akan selamat oleh karena mereka berdua memiliki kepandaian yang tinggi."

   Lin Lin maklum bahwa keadaan hati dan pikiran Ma Hoa pada saat itu sama dengan keadaan hati dan pikirannya maka ia tidak mau bicara tentang hal kedua pemuda itu terlebih lanjut. Dalam berdiam, mereka seakan-akan mendengar bisikan jantung mereka masing-masing yang membuat mereka merasa saling tertarik lebih dekat lagi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah matahari naik ke puncak bukit, Yousuf baru berani mendarat di pulau yang aneh itu. Dilihat pada siang hari, pulau itu merupakan sebuah pulau kecil yang berbukit satu dan yang kelihatan biasa saja seperti pulau-pulau lainnya. Mereka berempat lalu mendarat dan bersiap sedia dengan senjata mereka kalau-kalau ada binatang luar biasa yang datang menyerang. Akan tetapi aneh sekali, dan terutama Yousuf merasa heran karena tak seekor binatang pun yang dulu dilihatnya kelihatan muncul.

   "Apakah selama beberapa tahun ini mereka telah mati?"

   Katanya pada diri sendiri akan tetapi diucapkan dengan mulut.

   "Mungkin juga, karena benda atau mahluk apakah di dunia ini yang tidak akan menyerah terhadap kematian?"

   Kata Nelayan Cengeng yang membawa dayungnya yang besar dan berat dipanggul di pundak. Mereka lalu menjelajah di pulau itu dan ternyata bahwa selain burung-burung kecil yang berkicau di atas pohon pulau itu nampaknya tidak ada mahluk yang berbahaya. Mereka lalu mengunjungi danau yang dulu diceritakan oleh Yousuf dan bersama-sama mengagumi danau yang berwarna macam-macam itu.

   "Ada sesuatu yang mengerikan di bawah danau ini agaknya,"

   Kata Nelayan Cengeng hingga Lin Lin dan Ma Hoa lalu saling mendekat dan saling berpegang tangan oleh karena kedua gadis ini pun merasa betapa danau ini berbeda dengan danau biasa, seakan-akan di dasarnya yang hitam dan mengerikan! Yousuf lalu mengajak mereka memeriksa terus keadaan pulau itu dengan pengharapan untuk mendapatkan harta atau emas yang disangkanya berada di pulau itu akan tetapi mereka tidak mendapatkan sesuatu yang berharga. Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah puncak lain yang ditumbuhi banyak bunga-bunga indah. Tiba-tiba Lin Lin berseru,

   "Ada gua di sini!"

   Ketika semua orang menghampiri, benar saja, tertutup oleh rumput alang-alang yang tinggi terdapat pintu gua yang cukup besar dan tinggi.

   Gua itu tadinya gelap oleh karena terhalang oleh alang-alang, akan tetapi segera setelah Yousuf menggunakan Pedangnya untuk membabat alang-alang itu, di dalam gua menjadi terang oleh karena kebetulan sekali gua menghadap ke Barat dan matahari yang sudah condong ke Barat itu menyinarkan cahayanya ke dalam gua. Dengan didahului Yousuf dan Nelayan Cengeng, keempat orang itu memasuki gua dengan perlahan dan hati-hati, dan tak lupa mereka menyiapkan senjata di tangan masing-masing menghadapi bahaya yang mungkin timbul. Gua itu ternyata memang cukup luas, akan tetapi dalamnya hanya kira-kira tiga tombak saja dan di dalamnya kosong tidak menampakkan sesuatu yang aneh. Tiba-tiba Lin Lin menjerit perlahan dan melompat seakan-akan diserang oleh sesuatu yang mengerikan dari bawah tanah! Semua orang terkejut dan bertanya,

   "Ada apakah?"

   Lin Lin dengan tangan menggigil menunjuk ke bawah dan ternyata bahwa kaki gadis itu tadi telah tersangkut oleh sebuah tulang tangan orang yang menonjol keluar dari tanah yang tertutup pasir itu! Tangan ini hanya kelihatan lima jarinya saja, sedangkan tulang rangka selebihnya terpendam di bawah pasir! Tentu saja melihat lima buah jari tangan yang sudah menjadi rangka itu di tempat yang mengerikan menimbulkan hati takut dan ngeri.

   "Tentu ada apa-apanya di bawah ini,"

   Berkata lagi Nelayan Cengeng dan ia segera mulai menggali pasir yang menimbun tangan rangka itu. Setelah digali, maka tampaklah rangka manusia yang lengkap terpendam di pasir dan disebelah rangka itu terdapat sebatang Pedang yang telah habis dimakan karat dan Pedang itu hanya tinggal sisanya sepanjang paling banyak satu kaki saja lagi. Sisa ini pun telah merupakan besi berkarat dan gagangnya sudah tinggal sepotong kayu lapuk. Sambil memegang Pedang bobrok itu dan mengamat-amatinya dengan penuh perhatian, Nelayan Cengeng berkata sambil menghela napas.

   "Ah, kalau saja Pedang bobrok ini dapat bicara, tentu ia akan menceritakan riwayat orang ini yang tentu indah menarik sekali. Apalagi tubuh manusia sedangkan Pedang yang aku percaya tadinya adalah sebatang Pedang Pusaka yang ampuh, kini hanya tinggal sisanya yang sudah tidak berharga lagi saja!"

   Sambil berkata demikian, Nelayan Cengeng lalu menaruh kembali Pedang yang tinggal sepotong dan karatan itu di dekat rangka itu.

   "Kita harus tanam kembali rangka ini dengan pasir,"

   Katanya penuh kekecewaan karena tidak mendapatkan sesuatu di situ.

   "Nanti dulu, Locianpwe!"

   Tiba-tiba Lin Lin berkata.

   "Agaknya tidak percuma tangan rangka ini tadi menowel kakiku dan karena di sini tidak terdapat sesuatu, biarlah kusimpan sisa Pedang ini sebagai kenang-kenangan kunjunganku ke pulau ini."

   Nelayan Cengeng tertawa.

   "Kau ini memang aneh! Untuk apakah sisa Pedang bobrok itu?"

   Akan tetapi semua orang tidak melarang ketika Lin Lin dengan hati-hati mengambil Pedang bobrok itu dan membungkusnya dengan baik-baik di dalam saputangannya, lalu menyelipkannya di ikat pinggang. Setelah mengubur kembali rangka itu dengan baik-baik, mereka lalu mengambil keputusan untuk bermalam di gua ini yang merupakan tempat baik sekali untuk berlindung dari serangan angin atau binatang buas yang mungkin menyerang di waktu malam.

   Berhari-hari keempat orang itu tinggal di Pulau Kim-San-To dan setiap hari Yousuf keluar melakukan pemeriksaan dan mencari-cari harta yang disangkanya berada di pulau itu. Akan tetapi usahanya selalu gagal dan sia-sia, karena yang didapatnya di pulau itu hanyalah batu-batu karang yang tidak berharga. Sedangkan Nelayan Cengeng dan kedua orang gadis itu yang tidak sangat bernafsu untuk mencari harta terpendam, jarang ikut dan hanya berjalan-jalan menikmati pemandangan di pulau itu. Pada hari ke tiga, tiba-tiba terdengar jeritan Yousuf dari dekat. Ketiga orang kawannya menjadi kaget sekali dan cepat memburu ke arah suara jeritannya. Mereka kaget melihat Yousuf sedang mencekik seekor ular yang besarnya hanya selengan tangan orang, akan tetapi wajah orang Turki itu telah menjadi pucat sekali.

   Lin Lin memburu dengan Pedang di tangan dan sekali bacok saja tubuh ular itu telah terpotong menjadi dua. Yousuf melepaskan leher ular yang sedang dicekiknya itu ke atas tanah, akan tetapi semua orang terkejut sekali melihat bahwa bagian yang seharusnya menjadi ekor ular itu, ternyata merupakan kepala pula dan yang telah menggigit pundak Yousuf dan kini masih menempel di situ. Ternyata bahwa ular itu adalah seekor ular kepala dua. Ketika Yousuf sedang memeriksa dan mencari-cari sambil menyingkap rumput alang-alang, tiba-tiba ular tadi menyambar dan hendak menggigitnya, Yousuf tidak keburu berkelit, maka cepat mengulur tangan menangkap leher ular yang menyambarnya itu dan terus menggunakan kekuatannya mencekik leher ular yang tak dapat melepaskan diri lagi.

   Akan tetapi, tiba-tiba Yousuf merasa pundaknya sakit sekali dan alangkah kaget dan herannya ketika melihat bahwa ekor ular itu dapat menggigit pundaknya. Dia tidak menyangka bahwa ekor ular itupun merupakan kepala kedua sehingga ia tidak sempat mengelak dan kena tergigit pundaknya. Yousuf merasa tubuhnya menjadi panas dan pundaknya sakit sekali, maka tanpa terasa pula ia menjerit hingga kawan-kawannya datang menolong. Setelah melepaskan kepala ular yang dicekiknya, Yousuf lalu roboh pingsan dengan muka merah sekali. Ketika Nelayan Cengeng meraba jidatnya, ternyata tubuh orang Turki itu panas sekali. Kong Hwat Lojin lalu mencabut kepala ular yang masih menggigit pundak walaupun telah mati dan melemparkannya jauh-jauh, kemudian ia memondong tubuh Yousuf ke dalam gua tempat mereka bermalam.

   Lin Lin yang biarpun sedikit pernah mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya yaitu Biauw Suthai lalu memeriksa luka di pundak Yousuf. Ia terkejut sekali melihat betapa pundak itu telah menjadi matang biru dan maklum bahwa ular yang menggigit Yousuf itu adalah ular beracun yang berbahaya sekali. Selagi mereka bertiga kebingungan tiba-tiba di luar gua terdengar suara aneh. Mereka memburu keluar dan melihat seekor burung Merak yang berbulu biru bercampur kuning keemas-emasan hingga dari jauh nampak seperti hijau. Merak ini indah sekali dan juga besarnya melebihi Merak biasa. Mereka terkejut karena teringat akan cerita Yousuf tentang Merak sakti yang amat lihai. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa telah siap dengan senjata mereka untuk menyerbu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru,

   "Jangan ganggu dia! Lihat, dia membawa buah Pek-Kim-Ko (Buah Emas Putih). Buah inilah yang kubutuhkan pada saat ini untuk menolong jiwa Yo Sianseng."

   Merak itu seakan-akan mengerti bicara Lin Lin, karena ia berhenti dan berdiri di depan Lin Lin sambil memandang ke arah gadis itu dengan kedua matanya yang merah dan indah. Lin Lin lalu melangkah maju tanpa kelihatan jerih sedikit pun, karena dalam hatinya ia menganggap tak mungkin seekor burung yang begini indahnya dapat mempunyai watak jahat. Setelah dekat Lin Lin tidak berani mengambil buah itu dari mulut Merak karena menganggap hal itu kurang patut dan tidak menghargai burung itu, maka ia lalu mengulurkan tangan kanan seperti orang minta-minta. Dan benar saja, Merak ajaib itu lalu mengulurkan lehernya ke depan dan menjatuhkan buah yang berwarna putih itu ke dalam telapak tangan Lin Lin. Lin Lin menerima buah itu dan ketika melihat bahwa itu benar-benar buah Pek-Kim-Ko seperti yang ia duga, ia menjadi girang sekali dan tak terasa pula ia mengangguk kepada burung Merak itu dan berkata,

   "Sin-Kong-Ciak-Ko (Saudara Merak Sakti), terima kasih banyak!"

   Lalu gadis ini berlari masuk ke dalam gua diikuti oleh Nelayan Cengeng dan Ma Hoa yang memandang terheran-heran. Lin Lin segera menghampiri Yousuf yang masih rebah di pembaringan tanpa dapat berkutik lagi dan mukanya makin menjadi merah serta tubuhnya panas sekali bagaikan dibakar.

   Tanpa banyak membuang waktu dan banyak bicara lagi, Lin Lin lalu mencabut Pedangnya dan menggunakan ujung Pedang itu untuk digoreskan ke pundak Yousuf yang telah dibuka bajunya, yaitu di bagian yang bengkak dan matang biru, bekas gigitan ular tadi. Kulit pundak dan daging di situ terbuka dengan mudah oleh ujung Pedang yang tajam dan runcing itu, kemudian setelah menyimpan Pedangnya, Lin Lin lalu memasukkan buah Pek-Kim-Ko itu ke mulutnya terus dikunyah dan dimakan. Rasa buah itu pahit sekali dan di dalamnya mengandung getah yang melekat di seluruh lidah, gigi, dan kulit dalam mulut. Lin Lin lalu menempelkan bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu ke arah luka bekas goresan Pedang di pundak Yousuf lalu dihisapnya!

   Setelah menghisap, ia lalu meludahkan darah hitam yang dapat disedot dari luka itu. Berkali-kali ia menghisap dan meludah sambil kadang-kadang berhenti untuk mengurut jalan darah di sekitar pundak yang tergigit ular itu. Akhirnya, habislah bisa ular yang meracuni darah Yousuf dan lenyaplah warna merah di mukanya dan warna matang biru di pundaknya, sedangkan panasnya juga otomatis menurun. Ternyata bahwa khasiat buah Emas Putih itu ialah untuk menjaga mulut dan tenggorokan Lin Lin, agar jangan sampai terpengaruh bisa yang jahat itu. Tanpa buah Pek-Kim-Ko, Lin Lin takkan berani melakukan penghisapan bisa dengan mulutnya itu, karena hal ini berbahaya sekali, dan dapat menewaskannya. Setelah jiwa Yousuf tertolong dari ancaman bisa ular, Lin Lin lalu keluar dari gua untuk mencari air dan mencuci mulutnya sampai bersih.

   Nelayan Cengeng dan Ma Hoa saling pandang dan rasa haru yang mendalam terasa oleh hati kedua orang ini melihat ketinggian budi Lin Lin. Mereka memuji kemuliaan hati gadis itu. Ketika Lin Lin sedang mencuci mulut dan tangannya di sebuah sumber air kecil di puncak gunung itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara geraman hebat di belakangnya dan ketika ia menoleh, terlihat olehnya seekor Harimau yang besar sekali! Yang aneh adalah bahwa di tengah-tengah jidat Harimau itu tumbuh sebuah tanduk yang melengkung ke atas bagaikan tanduk seekor badak. Lin Lin cepat berdiri dan melompat ke tempat yang lebih lega dan rata, karena maklum bahwa binatang ini tentulah Harimau jahat dan lihai yang pernah diceritakan oleh Yousuf di atas perahu dulu. Memang benar bahwa Harimau inilah yang dulu menyerang Yousuf dan kawan-kawannya dan binatang ini lihai dan kuat.

   Akan tetapi melihat Lin Lin, Harimau ini agaknya ragu-ragu untuk menyerang, hanya memandang dan menggeram beberapa kali, lalu mengaum kecil seakan-akan menyatakan keraguannya apakah ia harus menyerang gadis ini atau tidak. Tiba-tiba terdengar suara pukulan sayap dari atas dan Lin Lin merasa datangnya angin menyambar kepalanya dari atas. Cepat gadis ini mengelak dengan tepat oleh karena tanpa peringatan lagi, dari atas telah manyambar turun seekor Rajawali Emas yang besar! Kalau Lin Lin tadi tidak mengelak dengan tepat, tentu kepalanya telah kena dipatuk oleh burung yang galak itu! Lin Lin makin terkejut oleh karena ia telah mendengar akan kelihaian burung ini dan kini setelah dua macam binatang lihai ini barada di depannya, apakah yang dapat ia lakukan?

   Sedangkan Yousuf yang begitu gagah dan dibantu oleh dua orang kawannya pun masih tak kuat melawan dua ekor binatang ini, apalagi dia berada seorang diri dan tidak memegang senjata pula? Namun gadis ini memang mempunyai hati yang tabah dan pada mukanya tidak terlihat rasa takut sedikit pun. Bahkan ketika itu ia memandang kepada Harimau dan Rajawali sakti itu dengan pandangan mata kagum dan senang. Rajawali itu setelah menyambar turun, lalu berdiri di dekat Harimau bertanduk dan ternyata bahwa tubuh Rajawali itu jauh lebih tinggi daripada tubuh Harimau itu! Kedua ekor binatang ini memandang kepada Lin Lin dan agaknya mereka keduanya merasa ragu-ragu melihat seorang manusia cantik yang tidak mengambil sikap bermusuhan dengan mereka, bahkan tidak mengeluarkan senjata untuk melukai mereka.

   Tiba-tiba terdengar bunyi nyaring dari atas dan ketika Lin Lin memandang, ternyata Merak yang luar biasa tadi telah melayang turun dan berdiri di atas tanah di depan kedua binatang itu. Harimau bertanduk lalu menggoyang-goyangkan ekornya dan menundukkan kepala sedangkan Rajawali Emas itu lalu mengebut-ngebutkan sepasang sayapnya sambil bertunduk pula, seakan-akan keduanya memberi hormat kepada Merak ini. Merak Sakti itu mengangkat dadanya dengan bangga lalu memutar menghadapi Lin Lin dan gadis ini girang sekali oleh karena ternyata bahwa Merak ini berdiri hanya dengan sebelah kakinya dan kakinya sebelah lagi mencengkeram serumpun daun Coa-Tok-Te, yaitu semacam daun yang merupakan obat khusus untuk menyembuhkan luka akibat gigitan ular beracun. Lin Lin dengan girang melangkah maju dan sambil tersenyum manis gadis itu berkata,

   

Pendekar Sakti Eps 17 Dara Baju Merah Eps 11 Dara Baju Merah Eps 7

Cari Blog Ini