Ceritasilat Novel Online

Pendekar Remaja 2


Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Kemudian ia bangun berdiri dan mengepal tinjunya, memandang ke arah peti mati dengan air mata mengalir dan sepasang matanya yang dipentang lebar itu pun penuh air mata.

   "Ayah! Bagaimana kau sampai kalah oleh anjing itu? Mungkinkah kau yang gagah ini kalah olehnya? Ayah! Katakanlah siapa orang itu, akan kucekik lehernya sekarang juga!"

   Akan tetapi ia teringat kembali bahwa Ayah angkatnya telah mati maka ia lalu menubruk peti mati itu dan sambil menangis menjerit-jerit ia berusaha membuka tutup peti yang telah dipaku. Cin Hai tadi pun berlutut dibelakangnya, dan ketika melihat perbuatan isterinya itu, ia cepat memegang lengannya dan berkata perlahan,

   "Lin Lin, kau hendak berbuat apakah?"

   "Buka! Buka! Aku hendak melihat Ayahku...!"

   Orang-orang yang berada di situ tak dapat menahan mengucurnya air mata melihat pemandangan yang mengharukan ini, akan tetapi mereka terkejut sekali mendengar nyonya itu hendak membuka peti! Juga Kepala Kota merasa terkejut dan kuatir sekali, maka ia melangkah maju dan berkata mencegah,

   "Taihiap, lihat! Jangan dibuka peti itu...!"

   Tiba-tiba Lin Lin melompat berdiri dan memandang kepada Kepala Kota itu dengan mata bernyala!

   "Apa katamu? Mengapa tidak boleh dibuka?"

   Melihat wajah yang pucat seperti mayat dan mata yang bernyala marah itu, Kepala Kota melangkah mundur dua tindak dengan terkejut dan ucapan yang telah di ujung lidahnya ia telan kembali!

   "Hayo buka!"

   Sekali lagi Lin Lin memekik.

   "Kui-Lopeh, biarlah. Buka saja tutup peti mati ini agar kami dapat memandang wajah Gakhu sekali lagi,"

   Kata Cin Hai perlahan sambil menahan jatuhnya air mata. Kepala Kota she Kui itu hendak menjawab dan memberi keterangan, akan tetapi baru saja bibirnya bergerak, Lin Lin yang sudah tak sabar lagi itu membentak lagi,

   "Hayo buka sekarang juga! Kalau kalian tidak mau, biarlah aku sendiri yang membuka!"

   Sambil berkata demikian, Lin Lin melangkah maju dan hendak membuka tutup peti itu dengan paksa. Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau peti itu akan menjadi rusak apabila Lin Lin mengerahkan tenaganya, maka ia lalu memberi tanda sehingga Kepala Kota itu terpaksa menyuruh para penjaga untuk mengambil alat dan tutup itu dibuka dengan tangan-tangan gemetar oleh empat orang. Peti dibuka perlahan. Semua orang menahan napas, dan di sana-sini terdengar isak tertahan. Begitu peti itu terbuka dan Lin Lin bersama Cin Hai menjenguk ke dalam, keduanya menjerit seakan-akan dari dalam peti itu melayang ular yang menggigit mereka.

   "Ayah...!!"

   Dan jeritan yang mengerikan ini disusul dengan robohnya tubuh Lin Lin. Ia pingsan!

   "Gakhu...!"

   Cin Hai juga memekik dan mukanya berubah menjadi pucat sekali.

   Siapa orangnya yang takkan merasa ngeri dan hancur hatinya melihat Ayah dan mertuanya mati dalam keadaan demikian mengerikan, tanpa kepala! Akan tetapi, Cin Hai yang memiliki kekuatan batin luar biasa itu, dapat menekan penderitaan hatinya, dan setelah memandang sekali lagi ke arah tubuh Yousuf yang tak berkepala lagi itu, ia lalu menutup petinya dan menyuruh orang-memakunya kembali. Kemudian ia mengangkat tubuh isterinya dan dipondong, dibawa masuk ke dalam rumah. Ia merasa kasihan sekali kepada Lin Lin dan memaklumi sepenuhnya akan perasaan dan penderitaan batin isterinya ini. Ayah Lin Lin yang aseli, yaitu Kwee In Liang, tewas sekeluarganya terbunuh orang, dan sekarang Ayah pungutnya juga tewas terbunuh, bahkan dalam keadaan yang amat mengerikan.

   Setelah siuman kembali, Lin Lin menangis sedih, dihibur oleh Cih Hai, akan tetapi betapapun juga, bencana besar yang menimpa keluarga Sie ini tidak mudah dihibur begitu saja, bahkan Pendekar Bodoh sendiri yang biasanya berlaku tenang dan berbatin kuat, kali ini duduk bengong seakan-akan semangatnya terbang melayang. Peristiwa ini amat berat tidak saja Yousuf telah terbunuh mati secara kejam sekali, akan tetapi juga anak mereka yang tersayang, Hong Li, telah diculik oleh pembunuh jahat dan kejam itu! Sungguhpun tidak ada bukti yang nyata bahwa pembunuh itulah yang menculik Lili, akan tetapi siapa lagi kalau bukan pembunuh itu yang berani melakukan perbuatan keji ini.

   "Aku harus mencarinya! Aku harus mencari jahanam itu, harus membunuhnya!"

   Kata Lin Lin berulang-ulang sambil menangis!

   "Tentu isteriku!"

   Kata Cin Hai sambil memegang tangannya.

   "Akan tetapi kita harus berlaku tenang dan menggunakan pikiran jernih. Ada sesuatu yang menghibur hatiku yaitu karena Lili diculik orang, maka tentu ia masih selamat. Kalau penjahat itu bermaksud membunuh anak kita, tentu sudah ia lakukan di sini seperti yang diperbuatnya terhadap Gakhu, tak perlu susah-susah diculiknya lagi. Hanya sayangnya, penjahat itu tidak meninggalkan nama-nama yang jejak, sehingga sukarlah bagi kita untuk mencarinya karena kita tidak tahu ke jurusan mana kita harus mencari!"

   Terhibur juga hati Lin Lin mendengar ucapan ini, karena memang kata-kata suaminya itu beralasan. Kalau penculik itu bermaksud membunuh Lili tentu tak perlu dibawanya pergi.

   "Bagaimanapun juga, kita harus mencarinya!"

   Katanya kemudian.

   "Tentu saja, akan tetapi kita harus mengurus penguburan jenazah Ayahmu dulu, dan kita harus melakukan penyelidikan di sini, kalau-kalau ada yang dapat menceritakan terjadinya peristiwa itu

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Pendekar Remaja (Seri ke 04 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   lebih jelas lagi!"

   Penguburan lima jenazah itu dilakukan dengan baik dalam suasana diliputi kesedihan. Sebagian besar penduduk Kota Shaning mengantar dan Kota itu nampak dalam suasana berkabung. Setelah selesai penguburan, Cin Hai lalu mencari keterangan ke sana kemari kalau-kalau ada yang dapat menceritakan peristiwa itu lebih jelas lagi. Akan tetapi, orang-orang yang kebetulan lewat ketika peristiwa maut itu terjadi, telah melarikan diri karena ketakutan, dan mereka hanya dapat menceritakan bahwa yang memegang golok berlumpur darah adalah seorang yang bermuka brewok dan kepalanya memakai ikat kepala warna merah dan biarpun kulitnya kuning, akan tetapi potongan mukanya seperti orang asing dan agaknya sebangsa dengan Yousuf, usianya kurang lebih empat puluh tahun.

   "Bisa jadi orang itu adalah musuh dari Gakhu,"

   Kata Cin Hai setelah memutar otaknya karena keterangan keterangan itu amat sedikit.

   "Mungkin sekali dia adalah seorang Turki. Ingatkah kau bahwa para pengikut Pangeran Muda dari Turki terdiri dari orang jahat yang berkepandaian tinggi? Siapa tahu kalau-kalau orang itu adalah utusan dari Pangeran Muda yang merasa sakit hati terhadap Gakhu."

   "Akan tetapi mengapa ia menculik anak kita?"

   Kata Lin Lin dengan hati sakit hati.

   "Inilah yang harus kita selidiki. Sekarang, tidak ada lain jalan bagi kita selain menyusul ke Barat!"

   "Ke Turki?"

   Tanya Lin Lin memandang dengan mata terbelalak.

   "Kalau perlu kita boleh menyusul ke sana. Akan tetapi, lebih baik kita mencari keterangan dan menyelidiki ke daerah Barat di mana terdapat banyak orang-orang Turki."

   "Ke daerah Kansu di Barat?"

   Tanya pula Lin Lin. Pendekar Bodoh mengangguk.

   "Kau masih ingat betapa kita pernah pergi ke daerah itu dan betapa para pengikut Pangeran Tua yang dipimpin oleh Gakhu dan Suhu bertempur melawan pengikut-pengikut Pangeran Muda?"

   Lin Lin mengangguk dan tentu saja ia masih ingat akan pengalaman-pengalamannya yang ketika mereka bersama kawan-kawan mereka yang lain mengembara ke Barat ke daerah Kansu di mana mereka mengalami peristiwa-peristiwa hebat (diceritakan dalam cerita Pendekar Bodoh). Memang di daerah ini terdapat banyak sekali orang-orang Turki maka kalau hendak mencari keterangan tentang pembunuh Yousuf yang disangkanya orang Turki itu, tidak ada lain tempat yang lebih tepat dan baik selain daerah Kansu.

   "Baiklah aku menurut saja. Pendeknya, jangankan ke Kansu atau ke Turki, biar ke seberang lautan sekalipun, aku harus dapat mencari jahanam itu!"

   Kata Lin Lin.

   "Dan kita sekalian mampir di Tiang-An, karena sudah setahun kita tidak bertemu dengan Kwee An,"

   Kata Cin Hai.

   Demikianlah, sepasang Pendekar yang sedang bersedih hati itu lalu menyerahkan penjagaan rumah mereka kepada para tetangga, kemudian mereka berangkat menunggang kuda, mulai dengan usaha mereka mencari pembunuh Yousuf dan mencari anak mereka yang terculik orang. Marilah kita ikuti nasib Hong Li atau Lili yang dibawa pergi oleh Bouw Hun Ti. Sesungguhnya putera Balutin ini memiliki hati yang lebih kejam dan keji daripada Ayahnya. Tidak dibunuhnya Lili bukan sekali-kali timbul dari hati nuraninya, karena manusia ini agaknya tidak mempunyai pribudi sama sekali dan hatinya telah membeku terhadap segala macam kebajikan dan sudah tidak mengenal perikemanusiaan lagi, seakan-akan Iblis bertubuh manusia! Ia tidak membunuh Lili, pertama-tama untuk mendatangkan siksaan batin kepada orang tua anak itu,

   Kedua kalinya oleh karena ia suka melihat kemungilan dan kejelitaan Lili dan diam-diam ia mengandung maksud yang amat busuk dan keji. Ia hendak merawat anak perempuan itu karena dapat membayangkan bahwa paling banyak tujuh delapan tahun kemudian, anak perempuan ini akan menjadi seorang gadis remaja yang luar biasa cantiknya. Dan ia bermaksud mengambil anak ini sebagai isterinya apabila anak itu telah besar kelak! Sungguh sebuah niat yang amat busuk dan keji! Bouw Hun Ti menuju ke tempat tinggal Suhunya, yaitu Ban Sai Cinjin, seorang tua yang berwatak jauh lebih rendah daripada Bouw Hun Ti sendiri. Biarpun usianya telah lebih dari lima puluh tahun, akan tetapi Ban Sai Cinjin terkenal sebagai seorang yang gila perempuan dan di dalam rumahnya, ia mempunyai bini muda yang tidak kurang dari lima orang jumlahnya masih muda-muda lagi cantik-cantik!

   Ia dapat melakukan hal ini oleh karena selain amat berpengaruh dan ditakuti orang ia juga terkenal kaya raya. Gedungnya besar dan mewah. Jubah luarnya terbuat daripada kapas halus dan tebal yang berharga amat mahal, ditambah pula dengan baju bulunya yang selalu menutup jubahnya. Juga tua bangka yang tak tahu diri ini memilih warna yang mencolok untuk pakaiannya, kalau tidak merah, tentu biru dan lain-lain warna yang membayangkan bahwa biarpun usianya telah tua, namun hatinya lebih muda daripada seorang teruna! Ban Sai Cinjin bertempat tinggal di dusun Tong-Si-Bun di Propinsi Hupei yang berdekatan dan berada di sebelah Barat Propinsi An-Hui. Oleh karena itu, setelah keluar dari Kota Shaning, Bouw Hun Ti langsung menuju ke Barat dan memasuki Propinsi Hupei.

   Jalan yang ditempuhnya ini berlainan dengan jalan yang ditempuh oleh Cin Hai dan isterinya, oleh karena sepasang Pendekar itu yang menuju ke Tiang-An tempat tinggal kakak Lin Lin yang bernama Kwee An, melakukan perjalanan lurus ke Utara. Biarpun Bouw Hun Ti memiliki kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi oleh karena jarak yang ditempuhnya memang jauh, maka tiga hari kemudian ia baru tiba di tapal batas Propinsi Hupei. Ia merasa bingung dan juga gemas sekali oleh karena Lili yang berada dalam pengaruh totokannya itu sama sekali tidak mau makan sehingga wajah anak itu pucat sekali serta tubuhnya lemas! Apabila berada dalam perjalanan, ia membebaskan anak itu dari totokan, akan tetapi tiap kali memasuki kampung atau Kota, ia menotoknya kembali pada urat gagu anak itu agar jangan sampai berteriak minta tolong. Pada hari ketiga itu ia tiba di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai.

   Dusun ini adalah dusun Sin-Seng-Chun dan adanya dua buah rumah penginapan dan tiga buah rumah makan besar itu cukup menjadi bukti bahwa dusun itu cukup makmur dan banyak didatangi tamu dari luar! Bouw Hun Ti menghentikan kudanya pada sebuah rumah makan yang terbaik dan mengikat tali kudanya pada patok-patok yang telah disediakan di pinggir rumah makan itu. Kemudian ia menuntun Lili memasuki rumah makan. Ia merasa gelisah sekali dan merasa takut kalau-kalau anak perempuan ini akan menderita sakit dan mati ditengah jalan. Oleh karena itu, kali ini hendak memaksanya makan! Ia memesan arak dan masakan untuk diri sendiri dan minta semangkuk bubur untuk Lili. Setelah pesanannya dihidangkan oleh pelayan rumah makan, ia berkata kepada Lili dengan suara halus agar tidak menimbulkan kecurigaan orang.

   "Kau makanlah!"

   Akan tetapi, seperti yang telah dilakukannya selama ia diculik oleh Si Brewok itu, Lili menggeleng kepala sambil mengatupkan bibirnya. Bouw Hun Ti benar-benar merasa kewalahan dan diam-diam ia merasa heran melihat kekerasan hati anak ini. Anak kecil baru berusia delapan tahun saja sudah berani berlaku nekad dan mogok makan selama tiga hari, sama sekali tidak mau menurut perintahnya! Ia mulai merasa ragu-ragu apakah kelak anak ini tidak hanya mendatangkan kepusingan dan kesukaran kepadanya.

   "Makanlah!"

   Katanya lagi dan kali ini kemendongkolannya membuat suaranya terdengar agak keras. Pelayan melayaninya dengan pandang mata kasihan lalu bertanya,

   "Tuan, apakah Nona kecil ini menderita sakit?"

   Bouw Hun Ti memang marah sekali sehingga pelayan itu menjadi terkejut dan melangkah mundur.

   "Mau apa kau tanya-tanya? Pergi!"

   Bentak Bouw Hun Ti yang sedang marah itu dan pelayan tadi segera pergi dengan ketakutan bagaikan seekor anjing diancam dengan cambuk.

   "Mau makan atau tidak?"

   Sekali lagi Bouw Hun Ti membentak Lili, akan tetapi Lili tetap menggeleng kepala. Bukan main marahnya Bouw Hun Ti, kalau saja di situ tidak banyak orang dan dia tidak ingin menimbulkan onar, tentu dia telah memukul kepala anak ini biar mampus seketika itu juga! Ia lalu mendapat akal dan tiba-tiba ia tersenyum menyeringai hingga mukanya nampak kejam sekali.

   "Kau tidak mau makan, anak manis?"

   Sambil berkata demikian, ia menepuk-nepuk punggung Lili, akan tetapi sebenarnya, di luar tahunya semua orang, ia melakukan Tiam-Hoat (Totokan) pada jalan darah di punggung anak itu juga. Lili merasa kesakitan yang luar biasa hebatnya menyerang seluruh tubuhnya, sehingga ia menggeliat-geliat kesakitan bagaikan cacing terkena abu panas! Kalau saja urat gagunya tidak tertotok, tentu ia akan menjerit-jerit kesakitan. Akan tetapi, karena ia tak dapat mengeluarkan suara, hanya air matanya saja mengucur turun membasahi pipinya dan kulit mukanya sampai berkerut-kerut saking besarnya penderitaan nyeri yang menyerang tubuhnya! Bibirnya digigit-gigit sampai berdarah! Bukan main besarnya penderitaan anak kecil berusia delapan tahun itu.

   "Bagaimana? Kau masih mau makan atau tidak?"

   Tanya Bouw Hun Ti sambil tersenyum Iblis. Lili biarpun masih anak-anak, akan tetapi ia adalah anak seorang Pendekar besar, maka ia tahu apa artinya rasa sakit yang menyerang dirinya dengan hebat itu. Karena dapat menduga bahwa penculiknya adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan tentu akan terus menyiksanya apabila ia membangkang terpaksa ia menganggukkan kepalanya dan tangannya telah menggigil karena kesakitan dan kelaparan itu, lalu meraba-raba mangkuk.

   "Anak baik, kau makanlah yang kenyang!"

   Kata Bouw Hun Ti sambil menepuk-nepuk punggung anak itu. Seketika itu juga lenyaplah rasa nyeri yang menyerang tubuh Lili tadi. Anak kecil mulai makan bubur dalam mangkuk dan sungguhpun ia makan dengan otomatis tanpa menikmati rasa bubur itu, namun .ia merasa tubuhnya segar kembali, tidak lemas seperti tadi. Maka dihabiskanlah semangkuk bubur itu tanpa mau memandang wajah penculiknya, karena ia maklum betapa penjahat itu memandangnya dengan mengejek. Para tamu yang berada di situ, sama sekali tidak tahu akan kekejaman ini dan mereka ikut merasa lega melihat betapa "Anak sakit"

   Itu makan dengan lahapnya.

   "Nah, begitulah!"

   Kata Bouw Hun Ti kepada Lili.

   "Mulai sekarang, kau harus menurut segala kata-kataku, kalau tidak, tentu kau akan menderita sakit dan siapakah yang akan susah kalau terjadi demikian?"

   Dalam pendengaran orang-orang lain, ucapan ini seperti ucapan seorang Ayah memberi nasihat kepada anaknya, akan tetapi dalam pendengaran Lili ucapan itu merupakan ancaman bahwa kalau lain kali ia tidak menurut, ia akan menderita siksaan seperti tadi! Akan tetapi, orang salah menduga kalau mengira bahwa diantara semua orang yang berada di tempat itu tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi sebenarnya antara Si Brewok dan anak kecil itu! Di sudut rumah makan itu, menghadapi meja seorang diri, duduk seorang laki-laki berusia antara tiga puluh lima tahun. Orang ini berwajah putih, dan gagah, berambut hitam dan bermata tajam.

   Kumisnya pendek sedangkan jenggotnya hanya sekepal bagaikan jenggot kambing. Yang aneh sekali adalah pakaiannya karena pakaian yang dipakainya itu penuh dengan tambal-tambalan, akan tetapi terbuat daripada bahan yang amat bersih! Bahkan kain berwarna putih yang digunakan untuk menambal bajunya yang hitam itu pun amat bersihnya seakan-akan kain baru yang sengaja ditambalkan di situ! Juga pengikat rambutnya yang terbuat daripada sutera itu sama sekali tidak sesuai dengan bajunya yang bertambal-tambal seperti baju seorang pengemis! Lama sebelum Bouw Hun Ti masuk, orang ini telah masuk dan duduk di dalam restoran, dan kelakuannya telah membuat semua orang terheran. Tadinya, pelayan yang melihat seorang berbaju tambal-tambalan memasuki restoran, lalu menyambutnya dengan muka masam dan berkata dengan nada menghina,

   "Tidak ada tempat untuk golongan pengemis di restoran ini!"

   Orang yang berbaju tambal-tambalan itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum dan menjawab,

   "Yang kau layani semua ini orangnya atau pakaiannya?"

   "Apa maksudmu?"

   Tanya pelayan yang sombong itu.

   "Kau memandang orang dari keadaan pakaiannya, benar-benar orang macam kau ini menyebalkan!"

   "Aku tidak peduli tentang pakaian, pendeknya kau punya uang atau tidak? Bagimu, semua pesanan makanan harus dibayar dimuka!"

   Sikap dan omongan pelayan ini memang benar-benar kurang ajar sekali, akan tetapi orang itu masih tetap tersenyum sabar, sungguhpun jawabannya menyatakan bahwa ia amat mendongkol.

   "Beberapa kau menjual kepalamu? Kiranya aku sanggup membayarnya!"

   Sambil berkata demikian, orang itu merogoh sakunya dan ketika ia menarik kembali tangannya ternyata bahwa ia telah menggenggam beberapa potong uang perak dan emas!

   Tentu saja pelayan itu menjadi amat malu dan juga tercengang melihat seorang berpakaian tambal- tambalan mempunyai uang perak sebanyak itu, bahkan memiliki uang emas pula. Tanpa dapat berkata apa-apa lagi ia lalu mengundurkan diri dan lain orang pelayan lalu melayani orang berbaju tambalan itu. Sungguh amat baik untungnya pelayan tadi, karena kalau sampai orang berbaju tambalan itu turun tangan, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Kalau saja ia tahu siapa adanya orang ini, tentu ia akan menjadi ketakutan sekali, dan untungnya orang itu tidak menyebut namanya. Orang berbaju tambalan itu adalah Lo Sian yang berjuluk Sin-Kai (Pengemis Sakti) dan namanya telah terkenal di segenap penjuru karena selain ilmu kepandaiannya amat tinggi, juga Lo Sian terkenal sebagai pembasmi kejahatan.

   Pendekar yang suka mengenakan pakaian tambal-tambalan ini sebetulnya adalah seorang tokoh dari Thian-San-Pai, yang turun gunung berbareng dengan seorang Suhengnya (kakak seperguruannya). Juga kakak seperguruannya ini selalu mengenakan pakaian tambal-tambalan, bahkan, kalau pakaian Lo Sian masih terpelihara bersih-bersih, adalah pakaian kakak seperguruannya itu amat buruk dan kotor, seperti pakaian pengemis tulen. Suhengnya ini bernama Nyo Tiang Le dan dijuluki Mo-Kai (Pengemis Iblis)! Julukan ini diberikan orang kepadanya oleh karena sepak terjangnya yang seperti Iblis mengamuk apabila ia menghadapi orang-orang jahat. Dalam memusuhi orang-orang jahat, Nyo Tiang Le memang bertindak secara ganas dan tak kenal ampun, maka orang-orang menjadi ngeri dan jerih melihatnya sehingga ia diberi julukan Pengemis Iblis!

   Secara kebetulan saja Lo Sian si Pengemis Sakti lewat di dusun Sin-Seng-Chun dan makan di restoran itu sehingga ia melihat Bouw Hun Ti masuk sambil menuntun tangan Lili. Lo Sian hanya memandang sambil lalu saja, karena sungguhpun ia telah memiliki pengalaman yang luas dan kenal hampir semua orang gagah di kalangan kang-ouw, akan tetapi ia belum pernah melihat Bouw Hun Ti yang datang dari Turki itu. Akan tetapi ketika ia mendengar betapa Bouw Hun Ti beberapa kali membentak-bentak anak itu, ia merasa heran dan memandang juga. Ia merasa heran mengapa anak itu tidak mau makan, sedangkan mellhat wajahnya sepintas lalu saja tahulah ia bahwa anak itu sedang menderita lapar sekali.

   Diam-diam ia merasa heran melihat wajah laki-laki yang seperti orang asing ini, maka diam-diam ia mulai menaruh perhatian, sungguhpun ia hanya memandang dengan kerling matanya saja. Alangkah terkejut hati Lo Sian ketika kemudian ia melihat betapa laki-laki brewok itu menepuk-nepuk pundak anak perempuan itu dan tiba-tiba menotok jalan darah Koan-Goan-Hiat anak itu! Ia merasa kaget setengah mati karena totokan itu dapat membuat anak itu tewas seketika, atau setidaknya mendatangkan rasa sakit yang luar biasa hebatnya! Gilakah Si Brewok itu? Mengapa ada orang memperlakukan anak sendiri semacam itu? Lo Sian memandang tajam dan hampir saja ia bertindak untuk memberi hajaran kepada orang kejam ini, kalau saja pada saat itu Bouw Hun Ti tidak sudah melepaskan Lili dari pengaruh totokannya kembali.

   Jelas kelihatan oleh Lo Sian betapa anak perempuan itu menahan sakit dan biarpun air mata anak itu bercucuran, akan tetapi tidak sedikit pun suara isak keluar dari mulutnya. Ia berdebar deras karena kini ia menduga bahwa anak perempuan ini tentu telah ditotok urat gagunya yang membuatnya sama sekali tak dapat mengeluarkan suara. Hatinya mulai menaruh curiga kepada orang brewok itu dan ia menduga bahwa orang ini tentu seorang penculik anak kecil. Lo Sian mulai bersiap untuk menyelidiki perkara ini dan kalau perlu menolong anak itu. Akan tetapi pada saat itu terjadilah hal lain yang cukup meributkan. Orang melihat betapa Bouw Hun Ti tiba-tiba melemparkan daging yang sedang dikunyahnya ke atas lantai sambil menyumpah-nyumpah.

   "Bangsat dan penipu belaka pemilik rumah makan ini!"

   Ia menyumpah-nyumpah sambil memegang pipinya. Sebetulnya, tanpa disengaja, Bouw Hun Ti yang mempunyai penyakit gigi, kena gigit sepotong tulang kecil yang bersembunyi di dalam daging sehingga sakitnya bukan main membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut serasa mau pecah.

   Siapa yang pernah menderita sakit gigi tentu akan dapat membayangkan rasa sakit yang diderita oleh Bouw Hun Ti pada saat itu. Penyakit ini memang paling jahat dan berbahaya karena membuat orang naik darah dan terutama Bouw Hun Ti yang berwatak buruk itu, tiba-tiba menjadi marah sekali. Ia pegang mangkok tempat masakan itu dan membantingnya ke lantai hingga hancur berkeping-keping! Pelayan yang tadi menghina Lo Sian adalah pelayan kepala dan ia memang terkenal beradat keras dan sombong. Tadi ia telah "kecele"

   Oleh Lo Sian dan sedikitnya kesombongannya tersinggung, maka hal itu membuat ia merasa malu dan mendongkol. Kini melihat ada orang yang membuat ribut naiklah darahnya. Dengan langkah lebar ia menghampiri lalu membentak,

   "Orang kasar dari manakah berani mengacau di rumah makan kami? Mengapa kau memaki-maki dan merusak barang kami? Kau harus mengganti harganya!"

   Pelayan itu memang sedang sial dan ia benar-benar mencari penyakit sendiri. Bouw Hun Ti yang sedang menderita sakit gigi dan sedang marah-marah itu bagaikan api yang mulai menyala, kini seakan-akan api itu disiram dengan minyak hingga makin berkobar. Ia bangkit berdiri dengan perlahan dan sepasang matanya seakan-akan hendak menelan bulat-bulat pelayan itu.

   "Apa katamu...?"

   Katanya perlahan dengan muka merah.

   "Kau sudah menipu orang, menjual daging liat dan tulang, masih tidak mau mengaku salah bahkan berani memaki aku?"

   "Siapa bilang kami menjual daging liat dan tulang? Barangkali gigimu yang telah ompong sehingga tidak kuat mengunyah daging!"

   Pelayan itu tidak mau kalah dan beberapa orang terdengar tertawa mendengar ucapan ini. Diam-diam Lo Sian memandang dengan penuh perhatian dan tertarik. Ia tahu bahwa pelayan itu terlalu sombong dan akan mengalami celaka. Benar saja, tiba-tiba Bouw Hun Ti yang mendengar ucapan ini lalu membungkuk dan mengambil sekerat daging yang tadi dilemparnya, dan sekali ia mengayun tangan, daging itu melayang dan tepat menotok jalan darah di dada pelayan itu yang segera menjerit keras, roboh dan bergulingan sambil berteriak-teriak,

   "Aduh...! Mati aku...! Aduh...! Aduh...!"

   Gegerlah semua tamu dan pelayan yang berada di situ. Dua orang pelayan yang bertubuh tinggi besar melangkah maju.

   "Bangsat kurang ajar! Kau berani memukul orang?"

   Dua orang pelayan itu juga mencari penyakit, pikir Lo Sian yang menonton keributan itu sambil tersenyum simpul. Akan tetapi dua orang pelayan yang hanya memiliki tenaga besar karena setiap hari dilatih mencacah bakso, tidak dapat melihat bahwa Bouw Hun Ti memiliki ilmu kepandaian luar biasa, maka dengan kepalan tangan mereka lalu menyerang hebat untuk memberi hajaran kepada Si Brewok itu. Akan tetapi, Bouw Hun Ti sama sekali tidak pedulikan datangnya pukulan kedua orang itu, bahkan lalu maju menyambut dengan kedua tangan terulur maju merupakan cengkeraman garuda.

   "Buk! Buk!"

   Dua pukulan itu tepat mengenai dada dan pundak Bouw Hun Ti, akan tetapi aneh sekali. Si Brewok itu seakan-akan tidak merasa sama sekali, sebaliknya dua orang pelayan itu memekik kesakitan dan memandang tangan mereka yang menjadi bengkak dan biru setelah memukul tubuh yang mereka rasakan keras seperti besi itu! Sementara itu, cengkeraman tangan Si Brewok telah mencapai sasaran, yakni rambut kedua orang pelayan itu. Ketika Bouw Hun Ti mengangkat kedua lengannya maka dua orang itu terangkat ke atas dan Bouw Hun Ti lalu menggerakkan kedua tangannya, membenturkan kepala dua orang itu satu kepada yang lain.

   "Duk!"

   Dan ketika Bouw Hun Ti melepaskan tangannya, dua orang pelayan itu roboh dengan tubuh lemas dan pingsan serta kepala mereka yang saling bertumbuk tadi pecah kulitnya dan mengeluarkan darah! Masih untung bagi mereka bahwa Bouw Hun Ti tidak menggunakan seluruh tenaganya, karena kalau Si Brewok mau, dua butir kepala itu pasti akan menjadi pecah dan nyawa mereka berdua akan melayang! Pada saat itu dari luar pintu terdengarlah bentakan keras dengan suara yang parau,

   "Jago dari manakah memperlihatkan kegagahan di sini?"

   Bentakan ini disusul masuknya seorang laki-laki berpakaian mewah dan bertubuh tinggi besar bermuka hitam.

   Inilah Tiat-Tauw-Ciang (Si Kepala Besi) yang bernama Thio Seng, seorang yang terkenal sebagai jago di dusun itu. Thio Seng tidak saja memiliki kepandaian silat yang tinggi, akan tetapi juga ia terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Selain banyak memiliki tanah, juga rumah makan itu adalah miliknya. Pengaruhnya amat besar dan agaknya pengaruhnya ini yang membuat para pelayannya berwatak sombong. Kebetulan sekali Thio Seng pada waktu terjadinya pertempuran di rumah makan itu berada di luar rumah makan, maka ia segera mendengar dari para pelayan tentang mengamuknya seorang tamu. Dengan marah ia lalu masuk ke dalam rumah makannya dan membentak Bouw Hun Ti. Bouw Hun Ti yang masih marah itu ketika melihat seorang tinggi besar bermuka hitam memasuki pintu rumah makan, bertanya dengan suara kasar,

   "Muka Hitam, siapakah kau dan mau apa?"

   Thio Seng dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki ilmu silat, maka ia menjawab sambil mengangkat dada,

   "Akulah yang disebut Tiat-Tauw-Ciang Thio Seng dan pemilik rumah makan ini!"

   Dengan ucapan ini Thio Seng menduga bahwa orang itu tentu telah mendengar namanya dan akan minta maaf menyatakan tidak tahu bahwa restoran itu miliknya. Akan tetapi, selama hidupnya Bouw Hun Ti belum pernah mendengar nama ini, maka ia menjawab,

   "Tidak peduli pemilik rumah ini bernama kepala besi ataupun kepala udang, orang telah melakukan penipuan di dalam rumah makan ini! Daging keras dan busuk dijual!"

   Marahlah Thio Seng mendengar ini.

   "Eh, kau sombong sekali, sobat! Siapakah kau yang tidak tahu aturan ini?"

   "Siapa adanya aku bukan urusanmu! Dan jangan kau menghadang di jalan, aku hendak pergi!"

   
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sambil berkata demikian, Bouw Hun Ti memegang tangan Lili dan hendak menariknya keluar dari situ. Akan tetapi Thio Seng berdiri sambil bertolak pinggang dan berkata,

   "Hemm, sabar dulu, sobat! Kalau kau tidak mengganti kerusakan ini dan memberi uang obat kepada pelayan-pelayanku serta berlutut minta ampun kepada Tiat-Tauw-Ciang, jangan harap bisa keluar dari sini!"

   Sambil berkata demikian, Thio Seng membuka jubah topinya dan kini nampaklah kepalanya yang licin tak berambut di bagian muka dan tengah, mengkilap bagaikan digosok dengan minyak. Inilah kepalanya yang amat ditakuti orang, karena dengan kepala ini, Thio Seng pernah mengalahkan banyak jago silat, bahkan pernah berdemonstrasi membentur dinding dengan kepalanya sehingga dinding bata yang tebal itu menjadi pecah! Mendengar ucapan orang she Thio itu, Bouw Hun Ti tak dapat menahan marahnya lagi. Ia melepaskan tangan Lili dan melangkah maju sambil menendang meja kursi yang berada di dekatnya untuk mencari ruang yang lebih lebar.

   "Kau mau melakukan kekerasan? Baik, agaknya kau ingin pula dihajar!"

   "Rasakan pukulanku!"

   Thio Seng berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan. Melihat gerakan yang keras dan cepat itu, Lo Sian yang masih duduk di sudut diam-diam memuji dan maklum bahwa Si Muka Hitam yang kasar ini memiliki kepandalan yang tidak rendah. Akan tetapi, ia merasa terkejut dan kagum ketika melihat gerakan Bouw Hun Ti. Ketika pukulan Thio Seng itu telah menyambar dekat dengan dadanya, Bouw Hun Ti cepat melembungkan dadanya tanpa menangkis sedikit pun. Padahal melihat kerasnya pukulan, Lo Sian maklum bahwa hal itu amat berbahaya.

   "Buk!"

   Terdengar suara keras ketika pukulan itu tepat menghantam dada akan tetapi aneh sekali. Bukan Bouw Hun Ti yang roboh, bahkan tubuh Thio Seng terjengkang ke belakang seakan-akan ia terdorong oleh tenaga amat besar!

   Lo Sian terkejut benar-benar karena sesungguhnya tak pernah disangkanya orang yang brewok itu memiliki lweekang yang sedemikian tingginya! Sungguh seorang berkepandaian tinggi, lawan yang amat tangguh, pikirnya. Oleh karena itu, maka maksudnya untuk menolong anak perempuan itu dipikirnya masak-masak. Ia harus menggunakan siasat untuk menolong anak itu, karena dengan jalan kekerasan, belum tentu ia akan dapat menangkan Si Brewok itu. Sementara itu, Thio Seng yang tadi memukul, merasa terkejut dan marah karena ia merasa seakan-akan memukul karet. Biarpun tangannya tidak menjadi bengkak seperti tangan pelayannya ketika tadi memukul Bouw Hun Ti, akan tetapi ia telah terpental ke belakang oleh kehebatan tenaga lawan. Ia tahu bahwa lawannya adalah seorang berkepandaian tinggi, maka Thio Seng lalu mengambil jalan pendek dan nekat.

   "Bangsat rendah, awas serangan pembalasanku!"

   Serunya dan tubuhnya lalu membungkuk dengan kepala di depan dan matanya melirik tajam bagaikan laku seekor kerbau jantan yang hendak menyerang.

   "Hemm, majulah, hendak kurasakan betapa empuknya kepala tahumu!"

   Kata Bouw Hun Ti sambil memasang perutnya ke depan! Pada saat itu, Lo Sian sudah mendapat akal untuk bertindak. Ia tadi melihat betapa dengan menggunakan sepotong daging Si Brewok itu dapat menyerang lawannya. Diam-diam ia lalu mengambil sekerat daging yang agak keras, kemudian setelah membidik dengan hati-hati ia menyambitkan daging itu ke arah leher Lili.

   Anak ini sedang menonton pertempuran dan selama tiga hari itu Lili tiada hentinya merasa heran dan marah mengapa Ayah Ibunya, juga Kakeknya, tidak mengejar dan memberi hajaran kepada penculiknya ini! Tadi ketika melihat para pelayan menyerang Bouw Hun Ti, ia mengharap agar Bouw Hun Ti akan kalah dan binasa, akan tetapi alangkah kecewanya ketika melihat bahwa para pelayan yang hanya pandai berlagak itu dengan mudah dapat dirobohkan oleh Si Brewok yang amat dibencinya. Pengharapannya menipis dan kemudian anak ini merasa putus asa bahkan kini ia merasa menyesal kepada Ayah Ibu dari Kakeknya yang tidak juga muncul untuk menolongnya! Ketika daging yang disambitkan oleh Lo Sian dengan tepat menyerang lehernya sehingga tiba-tiba ia merasa betapa kekakuan leher dan lidahnya lenyap yang dapat ia serukan hanya jeritan,

   "Ayah... Ibu... tolong...!"

   Pada saat itu, Bouw Hun Ti tengah menghadapi Thio Seng yang hendak menyerangnya dengan kepala. Bukan main kagetnya mendengar suara Lili karena ia tahu betul bahwa anak itu telah ditotok jalan darahnya. Dengan heran Bouw Hun Ti menengok dan pada waktu itu, Thio Seng sudah menyeruduk maju, menyerang perut Bouw Hun Ti dengan kepalanya yang botak licin! Tadinya Bouw Hun Ti tak bermaksud membunuh pemilik rumah makan ini dan hanya hendak mempermainkannya, akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang menengok sehingga keadaannya amat berbahaya, ketika ia merasa betapa angin serudukan kepala dari Si Muka Hitam itu amat kuatnya dan tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindarkan diri, ia lalu mengerahkan sinkangnya dan...

   "Cep!"

   Kepala Thio Seng menancap pada perutnya bagaikan anak panah menancap pada batang pohon! Memang benar-benar luar biasa, karena kini tubuh Thio Seng menjadi kaku, kepala menancap di perut Bouw Hun Ti dan kakinya terangkat luruh ke belakang!

   Dengan Sinkangnya yang benar-benar luar biasa sekali Bouw Hun Ti telah menyedot perutnya sehingga rongga perutnya menjadi kosong dan ketika kepala lawannya menyeruduk perutnya ia mempergunakan tenaga Lweekang untuk menggencet dan menolak tenaga serudukan itu! Ketika Bouw Hun Ti melembungkan perutnya lagi, tubuh Thio Seng terlempar dan roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi! Ternyata bahwa penolakan tenaga dari perut Bouw Hun Ti telah membuat tenaga serudukan Thio Seng kembali menyerang kepalanya sendiri sehingga ia mendapat luka di dalam kepala dan tewas pada saat itu juga! Ributlah keadaan di situ melihat hal yang mengerikan ini. Dan ketika Bouw Hun Ti menengok untuk membawa pergi Lili, ia melihat anak itu telah dipondong oleh seorang laki-laki berpakaian tambal-tambalan!

   "Lepaskan anak itu!"

   Seru Bouw Hun Ti dan tangannya diulur kedepan sedangkan kedua kakinya melompat dalam serbuan itu. Lo Sian melihat tangan Si Brewok menyambar ke jalan darah Tai-Twi-Hiat, cepat mengangkat tangan kirinya menangkis. Dua tangan orang-orang yang berilmu tinggi dan ahli Lweekeh bertemu dengan keras dan Lo Sian terpental ke belakang! Untung ia berlaku waspada dan hanya terhuyung-huyung saja tidak sampai roboh, sedangkan Bouw Hun Ti juga melangkah mundur dua langkah. Bukan main marahnya Bouw Hun Ti dan berbareng ia juga merasa terkejut karena tak pernah disangkanya di tempat itu ia akan bertemu dengan seorang yang memiliki tenaga Lweekang demikian tingginya.

   "Bangsat rendah kau ingin mampus!"

   Dan ia lalu bergerak maju kembali untuk melakukan serangan. Akan tetapi, para pelayan dan beberapa orang kaki tangan Thio Seng yang melihat betapa Thio Seng terbunuh oleh orang brewok itu menjadi marah dan serentak maju menyerang dengan senjata di tangan.

   Hal ini membuat Bouw Hun Ti terpaksa menunda niatnya menyerang Lo Sian, dan sebaliknya ia lalu memutar tubuhnya dan menghadapi para penyerangnya. Bukan main ributnya pertempuran itu, karena biarpun Bouw Hun Ti tidak mempergunakan senjata, namun begitu tubuhnya bergerak, pedang dan golok beterbangan dan tubuh para pengeroyoknya jatuh, tumpang tindih dan malang melintang! Jangankan sampai terkena pukulan dan tendangan Bouw Hun Ti, baru keserempet sedikit saja para pengeroyok bergulingan jatuh tak dapat bangun pula! Tentu saja kehebatan sepak terjang Si Brewok ini membuat pengeroyok lain menjadi terkejut dan gentar sehingga mereka merasa ragu-ragu untuk maju menyerang. Bouw Hun Ti cepat menengok, akan tetapi ia tidak melihat lagi pengemis berbaju tambalan yang tadi memondong Lili.

   "Kau hendak lari ke mana?"

   Serunya keras dan tahu-tahu tubuhnya telah melayang melewati kepala para pengeroyoknya yang berdiri melongo di depan pintu! Bouw Hun Ti melompat naik ke atas genteng memandang ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja ia tidak melihat adanya orang yang telah merampas anak itu. Bukan main marah dan mendongkolnya, akan tetapi kepada siapakah ia harus melampiaskan rasa marahnya? Ia melompat turun lagi dan ketika ia melihat seorang di antara para pelayan itu memegang tali kudanya, ia cepat menyambar dengan tendangannya. Pelayan yang bermaksud menahan kudanya itu menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar jauh, jatuh di atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa pula! Untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya karena Lili dirampas orang, Bouw Hun Ti telah membunuh seorang lagi!

   Ia lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya cepat-cepat menuju ke Barat, dengan harapan kalau-kalau ia akan dapat menyusul orang yang membawa lari anak kecil tawanannya itu. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa Lo Sian, Si Pengemis Sakti itu, tidak membawa lari Lili ke Barat, melainkan ke Selatan! Lo Sian membawa Lili bersembunyi ke dalam sebuah Kelenteng tua yang terdapat di sebelah Selatan dusun itu. Ia menurunkan Lili yang semenjak tadi meronta-ronta dalam pondongannya dan ketika diturunkan, Lili lalu melompat dan menyerangnya dengan pukulan kedua tangannya! Lo Sian berseru terheran-heran. Bukan saja ia merasa heran mengapa anak ini begitu dilepaskan lalu tiba-tiba menyerangnya dengan marah, akan tetapi ia juga merasa heran melihat bahwa gerakan serangan anak kecil ini indah dan baik sekali, merupakan tipu pukulan dari ilmu silat yang tinggi! Ia mengelak cepat dan berkata,

   "Eh, eh, anak baik, mengapa kau menyerang aku?"

   Akan tetapi, tanpa berkata sesuatu, Lili terus menyerangnya membabi buta, menggerakkan kedua tangannva, bahkan mengirim tendangan dengan kakinya!

   Dalam keheranannya, Lo Sian menjadi gembira dan ingin melihat sampai di mana kepandaian anak ini dan ilmu silatnya dari cabang mana, maka ia tetap mengelak ke sana ke mari dengan cepatnya. Makin lama makin terheranlah ia ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh Lili untuk menyerangnya, benar-benar merupakan ilmu pukulan yang luar biasa sekali gerak-geriknya dan yang sama sekali belum pernah dilihatnya! Ia paham akan ilmu silat cabang-cabang besar seperti Siauw-Lim-Pai, Kun-Lun-Pai, Go-Bi-Pai dan lain-lain, akan tetapi ilmu silat anak kecil ini benar-benar belum pernah dilihatnya dan yang harus diakui amat hebat! Kalau ia tidak memiliki gerakan yang cepat, tentu ia telah kena terpukul, sungguhpun pukulan anak itu tentu saja takkan mendatangkan bahaya sesuatu terhadap tubuhnya. Ia lalu mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan Lili, lalu merangkul anak itu.

   "Anak yang baik, dengarlah. Aku bukan orang jahat!"

   "Kau juga penculik!"

   Tiba-tiba Lili berseru keras dan sepasang mata yang indah bening itu memandang tajam dan marah, bibirnya dikatupkan keras-keras. Makin tertariklah hati Lo Sian melihat anak ini. Ia dapat menduga bahwa anak ini bukanlah anak sembarangan, dan ia kagum sekali menyaksikan keberanian dan kekerasan hati anak ini.

   "Bukan, bukan, anakku! Mungkin kau masih dipengaruhi oleh Si Brewok yang kejam tadi! Dia memang orang jahat dan aku menolongmu dan merampasmu dari tangannya!"

   Lili memang cerdik dan setelah kini terbuka matanya dan tahu bahwa orang berbaju tambalan ini selain mempunyai wajah yang sabar dan baik juga kata-katanya tidak sekasar dan seganas Si Brewok tadi, maka tiba-tiba saja ia menangis tersedu-sedu! Lo Sian menarik napas panjang dan mengelus-elus kepala anak itu.

   "Kasihan, anak yang baik. Kau siapakah dan anak siapa serta bagaimana pula sampai terjatuh ke dalam tangan penculik jahat itu?"

   Lili masih merasa gemas kepada Ayah Ibunya yang sampai saat itu belum juga datang menyusul dan menolongnya, karena ia masih kecil, maka ia tidak dapat berpikir jauh dan tidak tahu bahwa kedua orang tuanya tak mungkin dapat menyusulnya dengan mudah karena tidak tahu ke mana ia dibawa pergi. Yang ia ketahui hanyalah Ayah Ibunya belum muncul dan dalam anggapannya, Ayah Ibunya itu seakan-akan membiarkan saja ia dibawa pergi oleh penculik jahat tadi!

   Penderitaan-penderitaan yang ia alami selama tiga hari itu memang benar-benar hebat. Seorang anak kecil seperti dia, baru berusia delapan tahun, telah dibawa lari seorang kejam seperti Bouw Hun Ti, mengalami kekagetan, kelaparan, bahkan selalu berada dalam pengaruh totokan yang membuatnya gagu, dan tadi malahan ia telah ditotok sehingga merasakan kesakitan yang luar biasa. Tentu saja ia merasa marah dan sakit hati mengapa Ayah Ibunya membiarkan saja ia menderita sehebat itu! Kini ia telah tertolong oleh seorang lain, tentu saja segala simpatinya tercurah kepada orang ini dan ketika ia melihat orang itu mengelus-elus kepalanya dan memandangnya penuh rasa terharu dan sayang, tiba-tiba ia memeluk Lo Sian dan menangis di atas dada pengemis sakti itu!

   "Anakku sayang, sudahlah jangan menangis. Si jahat itu telah pergi dan kau takkan tersiksa lagi. Percayalah, dengan adanya aku di sini, takkan ada orang yang berani mengganggumu. Aku bernama Lo Sian dan kau boleh menyebutku Lo-Pekhu. Siapakah namamu?"

   Lo Sian mengulang pertanyaannya. Di dalam pelukan Lo Sian, Lili teringat kepada Kakeknya, karena di samping Ayah Ibunya, orang yang mengasihinya hanyalah Kakeknya itulah, maka ia seakan-akan mendapat pengganti Kakeknya dalam diri Lo Sian ini.

   "Namaku Lili,"

   Jawabnya tanpa mengangkat muka dari dada Pengemis Sakti itu.

   "Nama yang bagus!"

   Kata Lo Sian.

   "Dan siapa Ayah Ibumu?"

   Tiba-tiba Lili mengerutkan mukanya dan ia memandang dengan marah kepada Lo Sian. Bibirnya yang manis itu cemberut sedangkan matanya yang masih basah dengan air mata itu menyinarkan cahaya tajam yang membuat Lo Sian memandang makin kagum saja.

   "Ayah Ibuku tidak mau menolongku! Jangan kau tanyakan nama mereka!"

   Ia benar-benar marah dan mengepal tinjunya! Lo Sian tersenyum. Alangkah pemarah dan galaknya anak ini, pikirnya. Akan tetapi, dalam kemarahannya, anak ini benar-benar kelihatan gagah dan bersemangat. Tentu ia anak seorang pendekar, pikirnya.

   "Baiklah, kalau kau tidak mau memberitahukan nama Ayah Ibumu, sedikitnya kau mau memberitahukan she-mu dan di mana pula kau tinggal."

   Lili tahu bahwa Ayahnya bernama Sie Cin Hai dan Ibunya bernama Kwee Lin, akan tetapi karena tadi ia sudah berkata tak hendak memberitahukan nama Ayah Ibunya, maka ia pun tidak mau memakai she (nama keturunan) mereka. Ia teringat akan nama Kakeknya, maka ia menjawab,

   "Aku she Yo dan di mana tempatku, aku tidak mau bilang karena aku tidak mau pulang!"

   "Eh, eh, mengapa tidak mau pulang? Ayah-Ibumu tentu akan mencari-carimu. Katakanlah di mana tempat tinggalmu agar aku dapat mengantar kau pulang ke rumah orang tuamu,"

   Kata Lo Sian membujuk.

   "Tidak, tidak! Aku tidak mau pulang! Ayah dan Ibu tidak mau menolong dan mencariku, untuk apa aku pulang? Lopek, aku mau ikut kau saja!"

   Lo Sian tersenyum.

   "Maukah kau menceritakan bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam tangan penculik kejam tadi?"

   "Dia datang dan mengejarku ketika aku sedang bermain-main di luar rumah, di kampung lain. Aku tidak tahu mengapa ia membenci dan menculik aku!"

   Lo Sian menjadi makin bingung. Anak ini tidak mau memberitahukan siapa orang tuanya dan di mana rumahnya, bahkan tidak mau pulang. Pancingannya untuk mendapat keterangan secara jelas ternyata gagal, bahkan mengapa Si Brewok tadi menculik anak ini pun masih merupakan teka-teki baginya. Yang dapat memberi keterangan hanyalah Si Brewok tadi, akan tetapi ia maklum bahwa Si Brewok itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya, karena dari peraduan lengan tangan mereka tadi saja ia maklum bahwa tenaga Lweekang orang itu masih lebih tinggi setingkat daripada tenaganya sendiri!

   "Anak yang baik, ilmu silatmu baik sekali. Dari siapakah kau belajar ilmu silat itu? Siapa yang melatihmu?"

   "Yang mengajarku Ayah, Ibu, dan juga Kakekku!"

   Terkejutlah Lo Sian mendengar ini. Dugaannya tidak salah. Anak ini datang dari keluarga pendekar. Tidak saja Ayahnya yang dapat silat, bahkan Ibu dan Kakeknya agaknya juga orang-orang berkepandaian tinggi.

   "Siapakah nama Kakekmu, Lili?"

   "Kakekku she Yo, namanya aku tidak tahu."

   Lo Sian mengangguk-angguk dan mengira bahwa Kakek she Yo itu tentulah Ayah dari bapak anak ini, kalau tidak demikian tentu anak ini tidak bershe Yo pula.

   "Diantara ketiga orang tua itu, siapakah yang terlihai ilmu silatnya?"

   Dasar anak-anak, biarpun ia sedang marah kepada orang tuanya, akan tetapi tentu saja ia paling suka membanggakan kepandaian mereka, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menjawab,

   "Tentu saja Ayahku! Ke dua Ibu, dan ke tiga Kakek."

   "Kalau misalnya Ayahmu dapat menyusulmu, apa kau kira Ayahmu akan menang melawan penculik tadi?"

   Tiba-tiba Lili tertawa geli dan suara ketawanya demikian nyaring sehingga Lo Sian kembali melongo. Anak ini benar-benar aneh, begitu tiba-tiba dapat tertawa lagi seriang itu. Ia tidak tahu bahwa anak ini memang sifatnya seperti Ibunya, bahkan suara ketawanya juga merdu dan nyaring seperti suara ketawa Ibunya.

   "Tak usah Ayah sendiri maju, menghadapi Kakekku saja, dalam tiga jurus pasti ia akan dapat dirobohkan!"

   Lo Sian tentu saja tidak mau mempercayai omongan anak itu yang dianggapnya membual belaka, akan tetapi menilik dari ilmu silat yang tadi dimainkan oleh Lili, ia percaya bahwa keluarga anak kecil ini tentu memiliki ilmu silat yang tinggi. Maka, sambil mencari-cari orang tua dan tempat tinggal anak ini, untuk sementara ia hendak membawa anak ini bersama dia, membawanya merantau dan melatih silat, karena ia memang belum mempunyai murid dan anak ini tidak mengecewakan kalau menjadi muridnya.

   "Baiklah, Lili, kau boleh ikut padaku, dan maukah kau belajar silat padaku dan menjadi muridku?"

   Dengan muka girang Lili lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian dan berkata,

   "Tentu saja suka, Suhu (Guru)!"

   Demikianlah, mulai hari itu, Lili menjadi murid Lo Sian dan ikut Pengemis Sakti ini merantau. Biarpun beberapa kali Lo Sian membujuknya, akan tetapi ia tetap tidak mau memberitahukan nama orang tuanya atau tempat tinggalnya sehingga diam-diam Lo Sian melakukan perjalanan sambil mencari-cari, karena sesungguhnya ia ingin sekali mempertemukan anak ini dengan kedua orang tuanya kembali.

   Di Kota Tiang-An, Kota di sebelah Kota Raja terdapat sebuah rumah gedung kuno yang besar. Rumah ini dikenal sebagai tempat tinggal keluarga Kwee, dan dahulu ditinggali oleh Kwee-Ciangkun (Perwira Kwee), seorang pembesar millter yang gagah perkasa. Akan tetapi, sekarang rumah itu ditinggali oleh seorang putera dari mendiang Kwee-Ciangkun yang bernama Kwee An. Bagi para pembaca yang pernah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu tahu bahwa Kwee An ini adalah kakak dari Kwee Lin atau Lin Lin yang menjadi nyonya Sie Cin Hai. Kwee An memiliki ilmu silat yang tinggi, karena orang muda ini adalah murid tersayang dari jago tua Eng Yang Cu, seorang Tosu tokoh dari KIm-San-Pai yang termasyhur. Selain mendapat gemblengan ilmu silat dari tokoh KIm-San-Pai ini, juga Kwee An pernah menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng,

   Bahkan pernah pula menerima gemblengan ilmu silat yang ganas dan aneh dari seorang penjahat besar yang bernama Hek Moko. Oleh karena itu, ilmu silat Kwee An amat tinggi dan namanya pun amat terkenal di kalangan kang-ouw. Isteri dari Kwee An juga seorang puteri dari seorang pembesar Kerajaan, dan isterinya ini bernama Ma Hoa, seorang wanita yang cantik manis. Dalam hal kepandaian ilmu silat, Ma Hoa ini tidak berada di sebelah bawah suaminya, karena selain mendapat pelajaran ilmu silat dari Suhunya yang juga dianggap sebagai Ayah angkat sendiri, yaitu Nelayan Cengeng, juga Ma Hoa pernah menerima pelajaran Ilmu Silat Bambu Runcing yang amat luar biasa dari Hok Peng Taisu, orang ajaib yang dianggap menjadi tokoh nomor satu dari daerah Timur!

   Saudara kandung dari Kwee An yang masih ada hanyalah Lin Lin yang kini tinggal bersama suaminya di Propinsi An-Hui dan seorang kakak yang bernama Kwee Tiong dan yang kini hidup sebagai seorang Hwesio di Kelenteng Ban Hok Tong, sebuah Kelenteng kuno di luar tembok Kota Tiang-An di sebelah Barat. Kwee An hanya mempunyai seorang anak perempuan yang pada waktu itu telah berusia sembilan tahun. Anak ini diberi nama Kwee Goat Lan yang berarti Anggrek Bulan. Goat berarti bulan dan Lan berarti bunga anggrek. Nama ini diberikan kepada anak itu oleh karena ketika mengandung, Ma Hoa bermimpi melihat bunga anggrek di waktu terang bulan! Dalam usia sembilan tahun, Goat Lan telah kelihatan bahwa kelak ia akan menjadi seorang gadis yang amat manis dan jenaka. Sebagai seorang anak tunggal, Goat Lan amat dimanja oleh kedua orang tuanya, maka ia menjadi nakal sekali.

   Semenjak kecil ia telah mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya bahkan ia telah dapat mainkan sepasang Bambu runcing seperti Ibunya, sungguhpun permainannya baru merupakan ilmu silat kembangan belaka. Akan tetapi, anak ini memiliki dasar-dasar yang amat luar biasa dalam hal ilmu Ginkang (meringankan tubuh) sehingga dalam usia sembilan tahun ia telah dapat melompat tinggi dan seringkali ia berlari di atas genteng atau melompat naik ke cabang pohon-pohon tinggi! Yang mengherankan adalah kesukaannya akan ilmu kesusastraan, sehingga seringkali kedua orang tuanya saling pandang heran karena baik Kwee An maupun Ma Hoa kurang suka mempelajari ilmu menulis dan membaca. Mengapakah anak tunggal mereka begitu tekun dan rajin mempelajari ilmu sastera?

   "Agaknya ia mendapat warisan dari Cin Hai yang juga menjadi seorang kutu buku!"

   Pernah Kwee An berkata secara berkelakar kepada isterinya.

   "Tak mungkin!"

   Bantah Ma Hoa.

   "Kita jarang bertemu dengan Cin Hai, bahkan anak kita hampir tak mengenalnya. Kurasa ia mewarisi kesukaan ini dari Kakeknya, karena mendiang Ayahku memang suka sekali akan kesusastraan."

   Memang anak itu amat suka membaca buku-buku kesusastraan kuno dan sajak-sajak baru, dan selain itu ia pun amat suka melukis.

   Maka tidak heran apabila Goat Lan suka sekali pergi ke Kelenteng Ban-Hok-Tong mengunjungi Pekhunya, oleh karena Kwee Tiong memang semenjak menjadi Hwesio, kesukaannya tiada lain hanya membaca kitab-kitab dan memperdalam pengetahuannya dalam hal kesusastraan. Dari Kwee Tiong ia mendapat tambahan pengetahuan yang tak sedikit, dan tiap kali ia datang ke kuil itu, selalu Pekhunya itu pandai sekali mendongengkan sejarah kuno atau mengajarnya sajak-sajak baru yang amat indah. Kwee An maklum bahwa Kakaknya yang telah menjadi Hwesio itu amat sayang kepada Goat Lan, dan di dalam hatinya, Kwee An merasa kasihan kepada Kakaknya, maka untuk menghibur hati Kwee Tiong, ia membiarkan saja anaknya sering mengunjungi Pekhunya itu, bahkan tidak jarang Goat Lan bermalam di Kelenteng itu.

   Dahulu Kelenteng Ban-Hok-Tong yang besar dan kuno ini tidak banyak penghuninya dan ditinggalkan terlantar. Akan tetapi semenjak diketuai oleh Tong Kak Hosiang yang menjadi guru Kwee Tiong dalam pelajaran Agama Buddha, maka banyak sekali murid-muridnya yang menjadi Hwesio. Ketika Tong Kak Hosiang meninggal dunia dan kedudukan ketua diserahkan kepada Kwee Tiong, maka Ban-Hok-Tong telah mempunyai penghuni yang amat banyak. Tidak kurang dari dua puluh lima orang Hwesio tinggal di Kelenteng itu di bawah pimpinan Kwee Tiong yang kini menjadi penganut Agama Buddha yang amat setia. Setelah menjadi ketua Kelenteng, namanya yang tadinya diubah oleh Suhunya menjadi Tiong Yu Hwesio itu, kini diubah lagi menjadi Thian Tiong Hosiang. Dengan bantuan Kwee An, Thian Tiong Hosiang memperbaiki bangunan Kelenteng Ban-Hok-Tong dan dibawah bimbingannya, perkembangan Agama Buddha di daerah Tiang-An makin meluas.

   Semua Hwesio yang berada di Kelenteng itu, tua muda, amat suka dan sayang kepada Goat Lan yang mungil dan cerdik, dan diantara mereka ini, banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kesusastraan tinggi, maka di bawah petunjuk-petunjuk mereka itu, pengetahuan Goat Lan makin maju saja. Selain kesusastraan dan melukis, Goat Lan ternyata memiliki kecerdikan luar biasa dalam hal permainan catur, dan seorang Hwesio ahli catur di Kelenteng itu yang mengajarkan main catur sekarang bahkan merasa amat sukar untuk menjatuhkan muridnya yang baru berusia sernbilan tahun ini! Pada suatu hari, Goat Lan seperti biasa bermain-main di dalam Kelenteng Ban-Hok-Tong. Ketika ia seorang diri memasuki halaman Kelenteng, ia disambut oleh seorang Hwesio pembersih halaman yang segera berkata,

   "Kwee-Siocia, baik sekali kau datang! Siang tadi datang dua orang tamu aneh di Kelenteng kita, dan semenjak tadi mereka berdua bermain catur tiada hentinya!"

   Goat Lan memang paling suka menonton orang bermain catur, maka ia segera bertanya,

   "Thian Seng Suhu, siapakah mereka dan dari mana datangnya?"

   "Entahlah, mereka memang aneh seperti yang telah pinceng katakan tadi. Kalau ditanya nama dan tempat tinggal merekag keduanya hanya tertawa-tawa saja. Begitu memasuki Kelenteng, mereka terus saja bertanya apakah di Kelenteng ini ada alat bermain catur, kemudian dari siang tadi sampai senja mereka tak pernah berhenti lagi. Aneh, aneh! Akan tetapi Lo-Suhu memesan agar supaya kami jangan mengganggu mereka karena betapapun juga, tamu-tamu tidak boleh diganggu dan harus dihormati."

   

Pendekar Bodoh Eps 18 Pendekar Bodoh Eps 28 Pendekar Bodoh Eps 18

Cari Blog Ini