Ceritasilat Novel Online

Dara Baju Merah 12


Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Im Giok menyatakan baik, lalu menghampiri kudanya.

   "Suci, biar kudamu dipakai oleh Gan-Siucai."

   Kim Lian tersenyum akan tetapi tidak berani mengeluarkan kata-kata sembrono dihadapan Bu Pun Su, maka ia hanya berkata,

   "Baiklah, Sumoi, memang Gan-Siucai habis terluka dan lemah, harus melanjutkan perjalanan naik kuda."

   Gan Tiauw Ki buru-buru berkata,

   

   "Tidak usah, Li-hiap. Mana berani aku mengganggu dan memakai kuda Li-hiap? Habis Li-hiap sendiri mau naik apa? Tak usahlah, biar aku berjalan kaki saja..."

   Tentu saja Tiauw Ki merasa sungkan untuk memakai kuda Kim Lian, karena biarpun gadis itu seorang pendekar gagah, namun tetap saja Kim Lian adalah seorang wanita. Mana patut seorang laki-laki mengambil kuda seorang gadis dan membiarkan gadis itu berjalan kaki? Bu Pun Su yang melihat semua ini berkata,

   "Gan-Siucai, tak usah sungkan-sungkan dalam saat seperti ini. Kau pakailah kuda itu dan cepat berangkat!"

   Mendengar ini, Gan Tiauw Ki tak berani membantah lagi. Ia menjura kepada Bu Pun Su, lalu kepada Kim Lan. Setelah itu ia lalu menunggangi kuda Kim Lan. Biarpun gerakannya lemah, namun dapat dilihat bahwa dia sudah biasa menunggang kuda. Hal ini melegakan hati Im Giok. Karena kalau pemuda itu tidak biasa menunggang kuda, bisa repot juga di jalan! Setelah Im Giok memberi hormat kepada Bu Pun Su dan berpamit kepada Kim Lian, ia lalu berangkat bersama Tiauw Ki.

   

   Di dalam perjalanan ini, Tiauw Ki secara secara terus terang menuturkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya kepada pengawalnya yang cantik jelita itu. Penuturan Tiauw Ki singkatnya sebagai berikut. Semenjak pemberontakan dan perusuh An Lu Shan, She Su Beng dan yang lain-lain dihancurkan dan ibu Kota Tiang-an jatuh kembali kepada Kerajaan Tang, keadaan di seluruh negeri sudah tidak seperti biasa lagi. Kembalinya pasukan-pasukan Tang merebut Kota Raja bukanlah atas kekuatan sendiri, melainkan mendapat bantuan dari suku bangsa-suku bangsa dari Utara dan Barat, terutama sekali mendapat bantuan dari suku bangsa Uigur yang terkenal kuat dan gagah berani. Setelah pasukan pemberontak dihancurkan, para pembantu ini merasa keenakan tinggal di Tiongkok dan tidak mau keluar lagi, bahkan mereka ini memperebutkan harta benda dan kekuasaan.

   Negara menjadi kacau balau, keamanan tidak terjamin lagi dan di sana-sini para pembesar hidup seperti Raja kecil. Banyak Gubernur dari Propinsi-Propinsi yang berjauhan dari Kota Raja, mulai tidak taat lagi kepada Kaisar. Bahkan lambat-laun Kaisar hampir hilang pengaruhnya dan seringkali harus menurut apa yang diusulkan oleh para Gubernur, yang sesungguhnya bukan merupakan usul lagi akan tetapi lebih mendekati perintah! Kaisar seakan-akan menjadi boneka belaka dan yang berkuasa adalah para pembesar tinggi yang memiliki pasukan-pasukan kuat. Betapapun juga, sampai sebegitu jauh belum ada pembesar yang berani secara terang-terangan menentang Kaisar, karena masih banyak juga pembesar-pembesar yang setia kepada Kaisar. Sebetulnya kesetiaan ini bukan karena memandang kepada Kaisar, melainkan kepada Kerajaan Tang sendiri.

   Para pembesar dan juga rakyat memang setia kepada pemerintah Tang dan apapun juga yang menjadi alasan, mereka ini tidak akan membiarkan orang memberontak terhadap pemerintah Tang. Oleh karena itu, Kaisar juga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan Kaisar menghubungi pembesar-pembesar yang setia untuk dapat berjaga-jaga terhadap pemberontak yang mungkin timbul. Gan Tiauw Ki adalah seorang Siucai yang baru saja lulus dalam ujian di Kota Raja. Dia adalah putera seorang janda petani di dusun Lee-siang-chung di Propinsi Hok-kian. Semenjak kecilnya ia memang amat rajin belajar. Waktunya sejak kecil sampai dewasa dihabiskan untuk mempelajari semua buku-buku kuno dan akhirnya dengan mendapat dukungan ibunya yang bangga melihat puteranya, Gan Tiauw Ki berangkat ke Kota Raja untuk mengikuti ujian yang diadakan setiap tahun.

   

   Selain pandai ilmu kesusastraan, di dalam dada pemuda ini menyala api cinta bangsa dan cinta negara yang besar. Oleh karena itu, dalam menempuh ujian, ia mendapat angka tertinggi sehingga pembesar tua yang menjadi ko-khoa (kepala examinator) kagum sekali. Kemudian setelah pemuda ini ditanya asal-usulnya, jawaban-jawabannya bersemangat sehingga pembesar itu membawanya ke depan Kaisar. Memang Kaisar telah memesan kepada ko-khoa ini supaya mencarikan seorang kepercayaan yang setia, bersemangat, dan pandai. Demikianiah, setelah diuji dengan pertanyaan-pertanyaan oleh Kaisar yang ingin mengetahui isi hatinya, Gan Tiauw Ki lalu diangkat menjadi utusan Kaisar untuk menghubungi pembesar-pembesar dan Gubernur-Gubernur di daerah lain yang masih setia kepada Kaisar.

   Bahkan pemuda ini kadang-kadang mendapat tugas untuk menghubungi Gubernur-Gubernur yang tidak tunduk kepada Kaisar untuk mencoba membujuknya. Kali ini, Gan Tiauw Ki mendapat tugas dari Kaisar untuk menyampaikan surat kepada Suma Huciang, seorang berpangkat huciang di Kota Tiang-Hai. Dalam perjalanan ini, sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Gan Tiauw Ki yang menyamar sebagai pengungsi dan melakukan perjalanan bersama, para pengungsi lain, telah dicegat dan hampir saja menjadi korban keganasan tentara pemberontak yakni tentara di bawah perintah Gubernur Liok yang tidak tunduk kepada Kaisar, dan pasukan ini dipimpin oleh Giam-Ong-To Kam Kin yang dibantu oleh suhunya, yakni Cheng-Jiu Tok-Ong. Demikianlah penuturan Gan Tiauw Ki kepada Im Giok dalam perjalanan mereka ke Tiang-Hai.

   Makin lama mereka bercakap-cakap, makin tertariklah Im Giok kepada pemuda ini. Di lain pihak, Tiauw Ki juga kagum dan tertarik sekali kepada Ang I Niocu sehingga biarpun bibir mereka tak mengeluarkan sepatah kata pun mengenai perasaan hati mereka dan bahkan sinar mata mereka selalu hendak menyembunyikan pancaran rasa hati karena keduanya adalah orang-orang muda yang sopan, namun mereka sama-sama tahu apa yang terkandung dalam hati masing-masing! Kita tunda dulu perjalanan sepasang teruna remaja yang baru pertama kali dibuai asmara ini, dan mari kita menengok keadaan Giok-gan Niocu Song Kim Lian yang ditinggalkan oleh Kiang Im Giok dan berada bersama Bu Pun Su. Kakek ini setelah melihat Im Giok pergi dengan Tiauw Ki, lalu berkata kepadanya dengan suara keren,

   

   "Nah, sekarang kau boleh pulang. Cepat-cepat kau pulang ke rumah gurumu, jangan menyeleweng ke mana-mana!"

   Hati Kim Lian tak senang sekali mendengar ucapan kasar ini, karena biarpun ia hanya murid Kiang Liat, namun biasanya ia diperlakukan dengan manis. Akan tetapi ia dapat berbuat apakah? Bahkan untuk menjawab saja dia tidak sempat karena tahu-tahu berkelebat bayangan yang membuat ia terkesiap dan terasa angin menyambar. Ketika ia membuka mata, kakek sakti itu telah lenyap dari situ! Kim Lian menghela napas dan berkata seorang diri,

   

   "Hebat sekali kepandaian Susiok-Couw Bu Pun Su, seperti bukan manusia saja."

   Ia bergidik kalau mengingat sinar mata yang mengandung ancaman ketika kakek itu memandangnya. Sinar mata itu demikian berpengaruh dan agaknya segala kehendak kakek itu tak mungkin ditentang. Maka ia segera cepat melangkah, kemudian di lain saat ia sudah berlari cepat yang jauh melampaui kepandaian ahli-ahli silat biasa. Bahkan ilmu lari cepatnya sudah mengimbangi kepandaian gurunya sendiri sungguhpun harus ia akui bahwa ia masih kalah kalau dibandingkan dengan kepandaian Im Giok.

   Ini pun tidak begitu mengherankan karena Im Giok berlatih sejak kecil, sedangkan ia baru belajar ilmu silat setelah dewasa. Kalau tidak demikian halnya, seandainya ia pun berlatih sejak kecil dan sama lamanya dengan Im Giok, belum tentu sumoinya itu akan dapat mengalahkannya. Dalam hal bakat, kecerdikan, dan ketekunan, kiranya Kim Lian tidak kalah oleh Im Giok. Kali ini Kim Lian benar-benar terheran dan kagum sekali melihat kelihaian Susiok-Couwnya. Biarpun ia sudah pergunakan ilmu lari cepat yang tak sembarang orang dapat imbangi, ketika ia tiba di rumah gurunya di Sian-Koan, ternyata Bu Pun Su telah berada di situ, bercakap-cakap dengan Kiang Liat! Dan begitu datang dengan kulit muka agak merah dan peluh tipis membasahi jidat dan lehernya, Bu Pun Su sudah menegurnya,

   

   "Kau harus banyak berlatih lari, jangan menunggang kuda saja! Ilmu lari cepat Yan-Cu Hui-Po yang kau lakukan tadi, jauh dari sempurna!"

   Kim Lian kaget. Kakek ini berlari lebih dulu, bagaimana bisa tahu tentang ilmu lari cepatnya? Memang benar tadi ia mempergunakan ilmu lari Yan-Cu Hui-Po ajaran suhunya. Melihat suhunya juga bersikap amat hormat kepada Bu Pun Su, Kim Lian lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

   

   "Teecu yang bodoh mohon petunjuk Susiok-Couw."

   Sikap ini menyenangkan hati Bu Pun Su, maka setelah menarik napas panjang kakek sakti ini berkata,

   

   "Ketahuilah, gurumu ini menerima Yan-Cu Hui-Po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng. Ilmu lari cepat Yan-Cu Hui-Po (Lari Terbang Burung Walet) ini adalah ciptaan dari tokoh besar wanita Kiu-bwe Coa-li dan merupakan ilmu lari cepat yang tinggi sekali tingkatnya di dunia persilatan. Kau secara kebetulan telah menjadi cucu muridku, karena secara kebetulan pula gurumu ini menjadi murid atau murid keponakanku. Jadi selain mewarisi ilmu-ilmu yang berasal dari aku, kau telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi warisan keluarga Kiang ditambah pula warisan dari aku dan Suteku Han Le. Oleh karena itu, selain kau harus tekun dan rajin agar ilmu-ilmu silat yang bersih dan tinggi itu dapat kau kuasai sebaiknya, juga kau harus selalu menjaga agar kepandaian itu tidak dipergunakan untuk jalan sesat."

   

   "Teecu akan memperhatikan segala petunjuk Susiok-Couw,"

   Jawab Kim Lian dengan suara perlahan.

   

   "Nah, sekarang mundurlah, aku hendak bicara dengan gurumu."

   Kim Lian mengundurkan diri. Hatinya ingin sekall mengetahui apakah gerangan yang hendak dibicarakan oleh guru besar ini dengan gurunya. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani mengintai. Dengan kepandaian setinggi itu, Susiok-Couwnya tentu akan mengetahui kalau diintai orang. Maka Kim Lian tidak berani muncul dan mengaso di dalam kamarnya, lalu membayangkan peristiwa yang baru terjadi. Di dalam hatinya ia merasa iri sekali terhadap Im Giok.

   

   "Dia untung,"

   Pikirnya.

   "melakukan perjalanan dengan sastrawan muda yang tampan itu. Tentu menyenangkan sekali..."

   Gadis ini lalu merebahkan diri, melamun jauh, membayangkan pemuda-pemuda tampan yang pernah dilihatnya, kadang-kadang tersenyum manis seorang diri dan akhirnya ia tertidur!

   

   "Kiang Liat, kulihat anak perempuanmu Im Giok itu mempunyai bakat baik dan semangat besar. Dia boleh diharapkan,"

   Kata Bu Pun Su setelah Kim Lian mengundurkan diri.

   "Juga muridmu ini bakatnya bagus, aku tidak menyalahkan engkau menurunkan pelajaran kepada seorang yang demikian baik bakatnya. Hanya aku merasa khawatir sekali kalau melihat sifat-sifatnya. Aku tidak hendak mendahului Thian, akan tetapi kelak mungkin sekali muridmu ini akan menimbulkan hal-hal yang mencemarkan nama baik kita. Oleh karena itu, kau harus berhati-hati mengawasi tingkah lakunya dan gerak-geriknya."

   Sebetulnya, Kiang Liat tidak ada nafsu untuk memikirkan hal-hal lain kecuali mengenangkan isterinya yang sampai sekarang seringkali terbayang dan seperti hidup di depan matanya. Sudah sejak lama sekali Kiang Liat seakan-akan menjadi pertapa, menjauhkan urusan dunia dan tidak mempedulikan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Bu Pun Su, orang yang paling disegani di dunia ini, terpaksa ia menjawab,

   

   "Baikiah Supek. Akan teecu perhatikan."

   Bu Pun Su menarik napas panjang. Kakek ini memiliki penglihatan dan pendengaran yang luar biasa tajamnya. Sekali saja mendengar suara Kiang Liat, dapatlah ia menduga apa yang menjadi isi hati Kiang Liat.

   

   "Kiang Liat, tak kusangka batinmu demikian lemah sehingga sampai sekarang kau masih menghukum diri, menyesali perbuatan sendiri secara berlebihan dan menyedihkan sesuatu yang sudah lewat. Perbuatan salah tidak cukup disesalkan dengan jalan menyiksa diri sendiri, akan tetapi bahkan sedapat mungkin harus ditebus dengan perbuatan baik sebanyak mungkin dan membatasi diri sedapatnya agar jangan lagi menyeleweng seperti yang sudah-sudah. Obat hati luka tak dapat kau temukan di dalam kamar. Dengan jalan bersunyi, sakit di hati makin parah. Kau kurang pandai menghibur diri sendiri."

   Kiang Liat menundukkan mukanya dan mengeraskan hatinya agar jangan sampai matanya yang mulai panas itu mengeluarkan air.

   

   "Teecu telah melakukan dosa besar terhadap seorang wanita mulia, bagaimana teecu tidak akan merasa sedih selalu? Rasanya teecu rela dihukum mati untuk menebus dosa."

   Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa, suara ketawanya nyaring sehingga biarpun Kiang Liat sudah tahu bahwa supeknya ini mempunyai watak yang aneh sekali, namun tetap saja ia terheran. Keadaannya amat menyedihkan, patutkah ditertawakan?

   

   "Ha, ha, ha, bocah tolol! Manusia di dunia ini siapakah yang takkan mampus? Akan tetapi banyak sekali jalan ke arah kematian dan di antara sekian banyaknya cara untuk mati, kiraku cara mati bersedih di dalam kamar bukanlah cara yang baik, apalagi bagi seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Banyak sekali cara untuk melewati hidup dan untuk menanti datangnya maut yang pasti akan tiba, mengapa memilih cara rendah? Mati ngenes adalah mati yang hina. Kau sudah

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Ang I Niocu (Seri ke 02 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   mempelajari ilmu dan mengutamakan kegagahan, mengapa tidak mencari kematian yang gagah? Mengapa tidak menumpas musuh besar dalam hati sendiri dengan terjun ke dunia ramai dan menumpas kejahatan?"

   

   "Teecu tidak ada semangat, tidak ada nafsu, dan pula, teecu harus berada di rumah untuk mendidik Im Giok dan Kim Lian."

   

   "Mereka sudah cukup pandai. Kiang Liat, kebetulan sekali aku datang ini untuk memberi tugas kepadamu. Tugas yang penting demi kepentingan negara. Kau tentu senang kalau mati dalam melakukan tugas ini, berarti mati dalam perjuangan selaku seorang patriot, bukan?"

   Karena dibakar dengan kata-kata bersemangat, timbul kegembiraan di hati Kiang Liat yang sudah hampir kering.

   

   "Tugas apakah, Supek? Tentu teecu siap sedia menerima perintah Supek."

   

   "Bagus! Sekarang dengarlah baik-baik."

   Bu Pun Su lalu menceritakan tentang keadaan negara. Betapa banyak Gubernur membelakangi pemerintah dan betapa pendatang-pendatang asing yakni suku bangsa-suku bangsa yang dahulu membanntu pemerintah mengusir pemberontakan An Lu Shan sekarang merajalela, dan betapa sukar dan lemahnya kedudukan Kaisar.

   Di mana-mana timbul gejala pemberontakan, dan di Propinsi yang jauh dari Kota Raja, para pembesar saling bermusuhan karena ada yang pro ada yang kontra pemerintah. Demikian pula orangorang gagah di dunia kang-ouw menjadi goncang kedudukannya. Mereka terpecah belah dan terpengaruh oleh Gubernur-Gubernur atau pemimpin-pemimpin pemberontak di daerah masing-masing. Bu Pun Su adalah keturunan keluarga Lu yang semenjak dahulu terkenal sebagai patriot-patriot sejati dan pembesar-pembesar setia kepada negara. Biarpun Bu Pun Su hanyalah putera angkat dari Menteri Lu Pin (baca Pendekar Sakti), namun kiranya semangat dan jiwa kepahlawanan mengalir pula di dalam tubuhnya sehingga kakek sakti ini tidak tega melihat keadaan negara yang demikian kalut.

   

   "Demikianlah, Kiang Liat,"

   Katanya sambil menghela napas.

   "Negara kalut, perang saudara mengancam, perpecahan antara orang-orang gagah berada di ambang pintu. Kalau sampai semua ini meletus, yang menderita tak lain hanyalah rakyat jelata. Negara kalut, keamanan tidak terjamin, orang-orang jahat muncul merajalela mengacau kehidupan rakyat kecil. Kalau timbul perang, rakyat pula yang menderita, terpukul dari kanan kiri. Apalagi kalau dibayangkan perpecahan yang akan terjadi di antara orang-orang gagah, benar-benar menyedihkan sekali. Oleh karena itu, aku mengambil prakarsa untuk mengadakan pertemuan orang-orang kang-ouw di puncak Bukit Kauw-san. Hendak kuajak mereka ini membela negara dan mencegah timbulnya perang saudara yang pasti takkan pernah ada habisnya, melihat betapa banyaknya orang yang hendak memperebutkan kedudukan dan kekuasaan. Hanya kau dan gurumu Han Le yang kiranya akan dapat membantuku."

   

   "Bagaimana teecu dapat membantu Supek?"

   Tanya Kiang Liat.

   

   "Ancaman yang paling hebat bagi negara adalah bahaya yang datang dari Utara dan Barat. Oleh karena itu, untuk membendung pengaruh ini, kita harus menghubungi tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai dan Thian-San di Barat, juga tokoh-tokoh Gobi-San di Utara. Kau wakililah aku pergi ke Go-Bi-Pai di Utara dan berikan suratku kepada Twi Mo Siansu Ketua Go-Bi-Pai. Aku sendiri hendak mencari Han Le dan menyuruhnya pergi kepada Thian It Cinjin di Thian-San dan aku pergi ke Kun-Lun-Pai menemui Keng Thian Siansu."

   Kiang Liat menerima baik perintah ini. Memang ia pun sudah amat rindu akan dunia luar kampungnya. Setelah membuatkan surat untuk Ketua Go-Bi-Pai Bu Pun Su minta kepada Kiang Liat supaya segera berangkat.

   

   "Kau tak usah menanti datangnya Im Giok karena ia sedang mengantar utusan Kaisar ke Tiang-Hai. Kalau dia datang, Kim Lian dapat memberi tahu kepadanya ke mana kau pergi. Pertemuan yang kurencanakan itu akan terjadi tiga bulan lagi, maka kita harus bekerja cepat."

   

   Maka berangkatlah Kiang Liat, menuju ke Utara, ke Go-Bi-San yang jauh. Adapun Bu Pun Su setelah meninggalkan pesan kepada Kim Lian supaya berhati-hati menjaga rumah, lalu pergi menuju ke Pulau Pek-Hio-To mencari Han Le. Dengan menggunakan kepandaian yang tinggi, beberapa pekan kemudian Bu Pun Su telah tiba di pesisir Pulau Pek-letho. Alangkah kagetnya ketika ia mendaratkan perahu, ia melihat jenazah tiga orang menggeletak di pinggir laut. Dan lebih-lebih terkejut hatinya ketika ia mengenal jenazah-jenazah itu, yakni Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang tokoh-tokoh Siauw-Lim-Pai dan ketiga Cin Giok Sianjin tokoh Kun-Lun-Pai! Agaknya belum lama mereka ini tewas, paling lama dua hari.

   

   "Omitohud...!"

   Bu Pun Su berseru kaget dan cepat ia memeriksa.

   

   "Celaka...!"

   Serunya sambil melompat mundur ketika ia mendapat kenyataan bahwa ketiga orang ini semua mempunyai bekas pukulan ilmu Pek-in Hoat-Sut! Ia tahu bahwa di dunia ini yang memiliki ilmu pukulan Pek-in Hoat-Sut hanya dia sendiri, sedangkan Han Le juga dapat, akan tetapi hanya beberapa bagian setelah mempelajari gambar-gambar di dalam guha. Ia terkejut sekali karena tahu bahwa tiga orang ini telah bertempur dan terluka oleh Han Le. Terang bahwa mereka ini dirobohkan oleh Han Le, sungguhpun mereka tewas bukan karena pukulan itu, melainkan karena tikaman Pedang yang tepat menembus ulu hati mereka.

   

   "Tokoh-tokoh Kun-Lun dan Siauw-Lim dimusuhi oleh Han Le? Apa artinya ini?"

   Bu Pun Su menjadi cemas memikirkan Sutenya, maka cepat ia berlari ke tengah pulau mencari Han Le. Han Le tidak berada di dalam gua. Bu Pun Su mencari terus dan akhirnya ia melihat pemandangan yang membuat wajahnya menjadi pucat, hampir saja ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri sehingga Bu Pun Su berdiri terpaku, memandang ke arah dua orang yang duduk di bawah pohon. Apa yang dilihatnya?

   

   Han Le sedang rebah telentang di atas rumput, kepalanya terletak di atas pangkuan seorang wanita yang cantik jelita yang dikenalnya sebagai Bi Sian-Li Pek Hoa Pouwsat! Sambil menundukkan muka dan membisikkan kata-kata rayuan, Pek Hoa membelai-belai rambut kepala Han Le yang setengah tertidur. Melihat ini, timbul amarah di dalam hati Bu Pun Su. Juga berbareng terbayanglah di depan matanya peristiwa dahulu ketika ia terjerumus ke dalam perangkap Wi Wi Toanio. Juga dia pernah tergila-gila dan roboh oleh kecantikan wanita, pernah menurutkan nafsu hati dan lupa diri, melakukan hal yang amat rendah memalukan. Akan tetapi, dengan Wi Wi Toanio ia hanya melakukan kebodohan, bukan kejahatan. Ia tidak membunuh siapa-siapa, sedangkan Han Le, tak salah lagi, tentu Pek Hoa Siluman wanita yang cantik itu telah membujuk Han Le untuk merobohkan tokoh-tokoh Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun!

   

   "Han-Sute...!"

   Bentakan yang menggeledek ini mengejutkan Han Le dan Pek Hoa. Mereka cepat melompat berdiri dan memandang kepada Bu Pun Su dengan mata terbelalak. Pek Hoa agak pucat akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum, sedangkan Han Le merah sekali mukanya, merah sampai ke telinganya.

   

   "Sute, kesesatan apa yang kau lakukan ini?"

   Han Le mengangkat muka, tak kuat menatap pandang mata Bu Pun Su dan menundukkan kepalanya lagi. Tiba-tiba terdengar suara ketawa perlahan, suara ketawa yang merdu dan sedap didengar, kemudian Pek Hoa yang tertawa itu melangkah maju menghadapi Bu Pun Su.

   

   "Bu Pun Su, kebetulan sekali kau datang. Mengapa kau tidak mau membawa Wi Wi Toanio ke sini agar kita dua pasang manusia berbahagia mencari kesenangan hidup di pulau ini?"

   

   "Apa katamu?"

   Bu Pun Su membentak dan mukanya berubah pucat. Pek Hoa Pouwsat tersenyum, manis sekali sehingga Bu Pun Su diam-diam merasa heran sekali. Kalau diingat, perempuan ini usianya sudah tidak muda lagi, sedikitnya lima puluh tahun. Akan tetapi mengapa cantik jelita seperti gadis berusia dua puluh lebih?

   

   "Bu Pun Su, kau seorang laki-laki, demikian pula Han-ko seorang jantan. Kau bisa jatuh cinta, mengapa Han-ko tidak boleh? Kau pernah tergila-gila kepada Wi Wi Toanio isteri orang lain, mengapa Han-ko tidak boleh jatuh hati kepada aku, seorang yang masih bebas belum bersuami? Kau benar-benar aneh dan di manakah keadilanmu, Bu Pun Su?"

   Pendekar sakti itu merasa seakan-akan kepalanya disambar petir. Tak disangkanya bahwa Siluman wanita ini sudah mengetahui rahasianya, dan tahulah ia bahwa tentu Wi Wi Toanio yang membuka rahasia ini di depan Pek Hoa. Teguran wanita ini memang tepat dan ia tidak dapat menjawab! Akhirnya Bu Pun Su berpaling kepada Han Le dan berkata dengan suara dingin,

   

   "Han Le, mengapa kau membunuh tokoh-tokoh Siauw-Lim-Pai dan Kun-LunPai?"

   Suara Bu Pun Su mengandung ancaman dan amarah besar, membuat Han Le menjadi pucat dan nampak ia takut sekali,

   

   "Suheng, Siauwte... Siauwte tidak membunuh mereka..."

   

   "Jangan memutar lidah sesukamu. Han Le. Setidaknya kau yang telah merobohkan mereka!"

   Bu Pun Su mendesak dan Han Le tak dapat menjawab. Melihat kekasihnya didesak, Pek Hoa menjawab,

   "Memang benar, Han-ko yang merobohkan mereka. Akan tetapi akulah yang membunuh mereka. Mereka adalah musuh-musuh besarku dan mereka datang untuk membunuhku, maka Han-ko melindungi dan mengalahkan mereka. Apa salahnya dalam hal ini? Tidak tepatkah orang melindungi kekasihnya yang terancam oleh orang lain? Bu Pun Su, kau mau apakah? Han-ko dan aku hidup bahagia di sini, sebagai suami isteri yang saling mencinta. Apakah kau merasa iri hati? Apakah kau merasa iri melihat Han-ko hidup bahagia sedangkan kau tidak? Kalau kau merasa iri, carilah sendiri seorang kekasih dan bawa ke sini, bukankah itu baik sekali daripada kau datang dan marah-marah seperti ini?"

   

   "Siluman keparat, tutup mulutmu!"

   
Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bu Pun Su membentak dan amarahnya meluap. Belum pernah Bu Pun Su semarah itu. Selama ini ia telah dapat menguasai seluruh dirinya lahir batin,

   Akan tetapi sekarang menghadapi kebodohan Han Le yang dipermainkan oleh Siluman wanita ini, ia benar-benar lupa diri. Bu Pun Su maklum siapa adanya Pek Hoa Pouwsat dan orang macam apa wanita ini. Jauh lebih cabul dan lebih jahat daripada Wi Wi Toanio, jauh lebih berbahaya. Dan ia tahu pula bahwa Han Le adalah seorang laki-laki teguh iman, seorang laki-laki yang hampir "jadi"

   Karena semenjak muda tidak mau mendekati wanita. Celakanya, sekarang Han Le tergoda dan tergelincir, tidak kuat menghadapi bujuk dan cumbu rayu dari Pek Hoa, Siluman wanita yang cantik sekali dan genit. Dan ia tahu pula bahwa hal ini harus dicegah, kalau tidak akan mendatangkan bahaya besar. Han Le berkepandaian tinggi, kalau sudah tercengkeram oleh orang perempuan seperti Pek Hoa, kelak dapat dibujuk untuk membunuh siapa saja yang dibenci oleh Pek Hoa!

   

   "Bu Pun Su, kau mau apakah?"

   Pek Hoa menantang sambil membusungkan dadanya yang montok.

   

   "Kau harus pergi tinggalkan pulauku ini, lekas!"

   

   "Kau mengusir kami?"

   Tanya Pek Hoa sambil menggandeng tangan Han Le dan menyandarkan kepalanya ke pundak laki-laki itu.

   

   "Aku mengusir kau, perempuan jahat! Lekas pergi dari sini kalau kau tidak ingin melihat aku melemparkanmu ke dalam laut! Han Le tidak boleh ikut!"

   Pek Hoa menyandarkan kepala makin dekat dan berbisik di dekat telinga Han Le,

   "Kau dengar itu kekasihku? Sudah sejak dulu aku bilang bahwa Suhengmu ini jahat sekali, akan tetapi kau tidak percaya. Aku bilang bahwa sebetulnya dia tergila-gila dan suka padaku dan ia menjadi benci padaku karena cintanya kutolak, dan kau tidak percaya lagi. Sekarang kau melihat sendiri, bukan? Dia iri hati padamu, iri hati dan cemburu, kau tahu? Dia ingin melihat aku mati daripada jatuh ke dalam tangan orang lain, ingin melihat aku mati dan kau menderita. Kekasihku, ayah anakku, apakah kau akan tinggal diam saja melihat isterimu yang mencintamu dengan seluruh tubuh dan nyawa?"

   Suaranya makin merayu dan dua titik air mata meloncat keluar dari mata Han Le.

   

   "Pek Hoa, dia... dia Suhengku... tak dapat aku melawan Suheng..."

   Bisiknya. Pek Hoa menarik dirinya dengan sentakan, sepasang matanya bersinar-sinar, nampaknya marah.

   "Aha, jadi kau lebih berat kehilangan Suheng daripada kehilangan isteri?"

   

   "Bukan begitu, Pek Hoa... aku... aku tidak berani..."

   

   "Hm, jadi kau takut? Baiklah, Han-ko. Kalau kau takut membantuku, biar aku sendiri mengadu nyawa dengan Bu Pun Su!"

   Kemudian Pek Hoa melompat maju dan sudah mencabut Siang-Kiamnya (sepasang Pedangnya).

   "Bu Pun Su, kau benar-benar menghinaku. Kau hendak melemparkan aku ke dalam laut? Boleh kau coba, laki-laki gagah perkasa tukang menghina wanita!"

   Menghadapi Pek Hoa yang berdiri dengan sepasang Pedang di tangan dan sikapnya gagah sekali itu, yang menantangnya dengan kulit muka kemerahan menambah kecantikannya, Bu Pun Su menjadi serba salah. Ia tahu sedalam-dalamnya betapa jahatnya perempuan ini, betapa palsu hatinya dan betapa berbahayanya. Kalau dibandingkan dengan mendiang Thian-Te Sam-Kauwcu guru dari Pek Hoa, kiranya perempuan ini lebih berbahaya. Akan tetapi melemparkan dia begitu saja ke laut? Kiranya takkan mampu ia lakukan.

   

   "Pek Hoa, kuharap kau suka pergi dari sini dengan baik-baik dan tidak melawan. Aku sungguh malu harus melawan wanita."

   Pek Hoa sudah mendengar dari Han Le bahwa Bu Pun Su tak pernah menyerang orang sebelum diserang oleh karena inilah maka tadi ia menahan sabar dan menanti supaya Bu Pun Su menyerang dulu. Sekarang ia sengaja hendak memanaskan hati Bu Pun Su.

   

   "Pengecut! Laki-laki pengecut, kau sebetulnya suka kepadaku, bukan? Maka tidak mau menyerangku. Kau hanya iri hati dan cemburu. Eh, Bu Pun Su, kalau sekarang aku menyatakan bahwa aku suka ikut padamu, dan meninggalkan Han-ko, tentu kau tidak marah lagi, bukan? Akan tetapi aku tidak sudi! Dengar, aku tidak sudi, aku tidak suka padamu, aku benci padamu. Muak perutku melihat mukamu, tahu kau?"

   Bu Pun Su tersenyum. Ia tidak mendapat julukan Pendekar Sakti kalau ia tidak tahu akan siasat ini. Dan ia bukan seorang yang gemblengan kalau ia tidak tahan menghadapi serangan batin ini. Tadi untuk sebentar ia menurutkan nafsu amarah karena kecewa melihat kegagalan Han Le menghadapi rayuan wanita. Sekarang ia sudah dapat menguasai diri lagi dan menghadapi siasat lain dari Pek Hoa, ia tenang-tenang dan tersenyum saja.

   

   "Pek Hoa, bagaimana kau bisa bilang aku tergila-gila kepadamu? Hanya laki-laki yang berhati lemah saja yang dapat jatuh cinta kepada seorang perempuan cabul seperti engkau. Kau menggoda aku tidak berhasil, menggoda Kiang Liat dapat kugagalkan, menggoda tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw kau sudah tidak laku karena mereka semua sudah tahu bahwa kau ini seorang Siluman yang lebih jahat daripada Tat Ki (Siluman wanita dalam dongeng Hong Sin Pong). Maka sekarang kau sengaja menggoda Han-Sute. Akan tetapi ini pun hanya untuk sementara, karena tak lama lagi Sute tentu akan insyaf dan tahu bahwa wanita yang dipuja-pujanya itu bukan lain adalah seekor Siluman betina..."

   

   "Jahanam lihat Pedang!"

   Dua sinar kemilau dari Pedang Pek Hoa menyambar dalam serangan yang dahsyat.

   Ternyata, ia kalah dalam adu urat-syaraf, karena Bu Pun Su tadi membuatnya marah sekali. Bu Pun Su tersenyum, akan tetapi dia tidak berlaku lambat atau sembrono karena ia tahu betul akan kelihaian ilmu Pedang wanita ini. Cepat ia mengelak dan di lain saat keduanya sudah bertempur hebat. Mula-mula Pek Hoa mengeluarkan ilmu Pedangnya berdasarkan kecepatan dan serangan-serangannya semua ditujukan untuk menewaskan lawan. Akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia ketemu gurunya. Dengan tenang saja Bu Pun Su menghindarkan diri dari setiap serangan lawan dengan totokan-totokan ke arah jalan darah yang kalau mengenai sasaran tentu akan mengakhiri pertempuran itu. Sebentar saja Pek Hoa terdesak hebat oleh kakek sakti itu dan tiba-tiba ia tertawa merdu dan ilmu silatnya berubah.

   

   "Ayaaa...!"

   Bu Pun Su berseru kaget sekali ketika ia menyaksikan ilmu Pedang ini. Pek Hoa telah mainkan ilmu Pedangnya yang hebat, ilmu Pedang Bi-Jin-Khai-I.

   Ilmu silat yang mengandung daya sihir ini dapat melumpuhkan setiap orang lawan laki-laki, membuat lawan itu seperti terkena hikmat. Gerakan ilmu silat ini mengandung sifat cabul dan genit, menarik hati laki-laki dan meruntuhkan semangat perlawanannya. Tak heran apabila Bu Pun Su menjadi kaget sekali karena pendekar ini pun merasa dan terpengaruh oleh hawa mujijat yang terkandung dalam gerakan ilmu silat yang dimainkan oleh Pek Hoa. Pek Hoa gembira melihat hasil ilmunya dan ia memperindah gerakannya untuk merobohkan atau mengalahkan Bu Pun Su. Akan tetapi, kali ini ia kecele. Ia bukan menghadapi manusia sembarangan melainkan seorang manusia gemblengan lahir batin. Bu Pun Su sadar bahwa ia menghadapi ilmu mujijat, maka ia lalu meramkan mata dan menandingi serangan-serangan lawan hanya mengandalkan ketajaman pendengaran saja.

   Dengan cara meramkan mata, ia tidak usah melihat gerakan tubuh lawan dan tidak terpikat. Disamping itu, kini ia mainkan ilmu silatnya yang ampuh, Pek-In Hoat-Sut. Begitu Bu Pun Su mengerahkan Sin-kang dan menggerakkan tubuh, dari kedua lengannya mengebul uap putih yang makin lama makin tebal sampai akhirnya seluruh tubuhnya, terutama di bagian ubun-ubun, mengepul uap putih yang menolak semua hawa pukulan dan hawa mujijat dari ilmu Pedang lawannya. Setelah merasa diri kuat terlindung oleh Pek-In Hoat-Sut, baru Bu Pun Su membuka matanya dan mendesak lawan. Pek Hoa mengeluh. Harapan untuk berhasil kini buyar pula, bahkan sebaliknya ia terancam hebat oleh hawa pukulan yang beruap putih itu. Ia hanya memutar-mutar Pedang sambil main mundur. Akhirnya ia mengeluh,

   

   "Han-ko, apakah kau tega melihat aku mati tanpa membantu?"

   Sebetulnya semenjak tadi Han Le sudah menonton petempuran itu dengan hati kebat-kebit tidak keruan. Ia merasa cemas sekali akan keselamatan kekasihnya, dan ingin sekali ia membantu. Akan tetapi ia merasa sungkan terhadap Suhengnya. Oleh karena itu ia hanya berdiri dengan kedua tangan dikepalkan erat-erat, keningnya berkerut dan bibirnya digigit, akan tetapi kedua kakinya seperti terpaku pada tempat ia berdiri. Kini melihat Pek Hoa terdesak hebat, hampir-hampir ia tak dapat bertahan lagi.

   

   "Han-ko...!"

   Pek Hoa menjerit sayu ketika tangan kirinya terserempet tamparan tangan Bu Pun Su. Pedang kirinya terlempar dan tangan menjadi lumpuh. Akan tetapi Pek Hoa masih melawan dengan Pedang kanannya, melawan nekat sambil berseru,

   

   "Bu Pun Su, kau tamatkanlah nyawaku. Han-ko tidak mau membantu, apa artinya hidup bagiku?"

   

   "Suheng, sudahlah...!"

   Han Le tiba-tiba melompat dan Pedangnya menyambar di tengah-tengah untuk menghalangi Bu Pun Su menyerang Pek Hoa.

   

   "Han Le, pergi kau jangan ikut-ikut!"

   Bentak Bu Pun Su marah.

   

   "Suheng, jangan melukai dia... aku cinta padanya..."

   Jawab Han Le sambil menghadang di tengah.

   

   "Han-ko, dia bukan Suhengmu lagi. Dia manusia kejam. Mari kita bunuh bersama. Lihat, tangan kiriku sudah lumpuh. Balaskan sakit hatiku ini, Han-ko!"

   Pek Hoa berkata dan ia mulai menyerang Bu Pun Su lagi dengan Pedang kanannya. Kini Han Le tidak bicara lagi, melainkan diputarnya Pedang di tangannya secara cepat untuk melindungi Pek Hoa dari serangan Bu Pun Su. Kakek sakti itu menarik napas panjang.

   "Han Le, kau sudah tersesat jauh. Apa boleh buat, aku lebih rela melihat Suteku binasa dalam tanganku daripada melihat dia tersesat dan menjadi seorang jahat!"

   Begitu kata-kata ini habis diucapkan, Bu Pun Su mempercepat dan memperkuat gerakannya. Memang bukan hal yang mudah menghadapi keroyokan orang-orang selihai Pek Hoa dan Han Le, yang keduanya selain memiliki ilmu silat tinggi sekali, juga mempunyai keistimewaan masing-masing. Kalau saja tokoh yang dikeroyok bukannya Bu Pun Su yang sakti, agaknya sukar sekali mengalahkan keroyokan dua orang ini. Dan andaikata Pek Hoa tidak lebih dulu sudah terluka tangan kirinya, agaknya Bu Pun Su juga tidak akan mudah mengalahkan mereka. Apalagi Bu Pu Su merasa gelisah dan kecewa sekali melihat Sutenya yang sekarang bertempur secara mati-matian mengeluarkan seluruh kepandaian untuk membela wanita jahat itu!

   

   "Han Le, mundur kau!"

   Berkali-kali Bu Pun Su berseru, akan tetapi Han Le seperti sudah tuli, tidak mendengar seruan ini bahkan memperhebat gerakan Pedangnya.

   

   "Bagus, Han-ko, kekasihku. Tikam dia, bunuh jahanam ini!"

   Sebaliknya Pek Hoa berkali-kali membujuknya. Setelah tiga kali Bu Pun Su memberi peringatan kepada Sutenya tanpa ada perhatian, pendekar ini menjadi marah dan membentak,

   

   "Han Le, kalau begitu robohlah kau!"

   Ia mengirim serangan hebat ke arah Sutenya sendiri. Han Le terkejut menghadapi pukulan Pek-In Hoat-Sut ini. Ia mencoba untuk menangkis dan miringkan tubuh sambil membalas dengan tusukan Pedang. Akan tetapi akibatnya, Pedangnya terpental dan ia terguling roboh, tulang pundaknya terlepas sambungannya karena pukulan Pek-In Hoat-Sut yang lihai, Han Le meringis kesakitan dan tak dapat bangun pula karena sambungan tulangnya terlepas, juga ia menderita luka di sebelah dalam yang membuat ia tak mungkin bangun lagi.

   

   "Keparat, rasakan pembalasanku!"

   Pek Hoa menjerit dan Pedangnya menyambar ke arah bawah pusar Bu Pun Su.

   

   "Siluman betina, kau harus mampus!"

   Bentak Bu Pun Su yang merasa muak menghadapi serangan yang keji ini. Tangan kirinya bergerak ke bawah menyampok Pedang sehingga Pedang itu terlepas dari pegangan, kemudian secepat kilat, sebelum Pek Hoa menarik kembali tangan kanannya, Bu Pun Su mendahului dengan ketokan telunjuknya ke arah sambungan tulang siku, Pek Hoa menjerit dan tangan kanannya lumpuh pula seperti tangan kirinya! Namun wanita ini memang sudah nekat. Bagaimana seekor singa betina, ia menerjang maju, kini mempergunakan kedua kakinya, melakukan tendangan bertubi-tubi, Namun sekali sampok dengan ujung lengan bajunya, Bu Pun Su berhasil membuat ia terguling dan merintih-rintih kesakitan.

   

   "Kalau orang macam kau tidak mati, hanya akan mengacaukan dunia saja!"

   Kata Bu Pun Su sambil melangkah maju, agaknya hendak menewaskan Pek Hoa.

   

   "Suheng, tahan...!"

   Sambil merangkak dan setengah menggulingkan tubuh, Han Le menghampiri Bu Pun Su, lalu berlutut di depan Bu Pun Su sambil menangis.

   "Suheng, ampunkan dia, biar dia pergi meninggalkan pulau ini, akan tetapi jangan bunuh dia, Suheng. Kalau Suheng bernafsu hendak membunuh orang, biarlah Siauwte saja Suheng bunuh sebagai penebus nyawanya."

   Bu Pun Su serentak kaget. Baru ia sadar bahwa hampir saja ia melakukan pembunuhan dengan mata terbuka. Musuh sudah kalah, tak perlu didesak lagi, pikirnya.

   

   "Dan kau tetap hendak pergi bersama dia?"

   Han Le menggeleng kepalanya.

   "Siauwte sudah mengaku salah. Siauwte terlalu menurutkan nafsu hati dan akhirnya Siauwte jatuh cinta. Kini Siauwte bersedia menebus dosa, biar Siauwte merana di sini, biar Siauwte berpisah darinya, Siauwte rela. Siauwte takkan meninggalkan pulau ini selamanya."

   Kemudian Han Le berpaling kepada Pek Hoa, berkata dengan suara perlahan.

   "Pek Hoa, selamat berpisah. Pergilah kau meninggalkan pulau ini, meninggalkan aku. Jangan kau kembali lagi selamanya. Kita tak usah bertemu lagi selamanya."

   

   Sebetulnya, ketika Pek Hoa memikat hati Han Le, niat terutama di dalam hatinya ialah mencari kawan untuk membalaskan dendam kepada musuh-musuhnya. Hal ini pun sudah terlaksana dengan terbunuhnya tiga orang tokoh Kun-Lun dan Siauw-Lim. Bahkan ia sudah berhasil lebih jauh lagi, yakni ia telah dapat mewarisi sebagian dari ilmu silat Han Le. Yang hebat, hampir saja ia berhasil mengadu-dombakan Han Le melawan Bu Pun Su. Akan tetapi setelah rencananya tidak berhasil dan akibatnya bahkan Han Le dan dia sendiri terluka, dan ternyata Bu Pun Su terlampau kuat baginya, hati Pek Hoa menjadi dingin dan putus harapan. Ia menguatkan diri untuk bangun dan berdiri, mukanya pucat kedua lengannya lumpuh. Ia memandang kepada Bu Pun Su dengan mata penuh kebencian.

   

   "Bu Pun Su, banyak aku membenci orang, akan tetapi tidak seperti aku membencimu. Kelak akan tiba saatnya aku membalas penghinaan ini, kalau tidak oleh tanganku sendiri, tentu oleh tangan anakku atau tangan Wi Wi Toanio!"

   Setelah berkata demikian, ia berpaling kepada Han Le dan berkata.

   "Kau jembel busuk, jembel tua, kau kira aku benar-benar mencintamu? Hah, tak tahu diri! Aku menyerahkan diri kepadamu dengan harapan agar kau dapat membalas budi kecintaanku, dapat membalaskan sakit hatiku terhadap musuh-musuh besarku. Tak tahunya, menghadapi orang ini saja kau memperlihatkan ketidakgunaanmu. Hah, kau memualkan perutku!"

   Setelah berkata demikian, dengan terhuyung Pek Hoa meninggalkan tempat itu menuju ke pantai, makin lama makin jauh merupakan sosok bayangan orang yang putus asa.

   

   "Wanita yang berbahaya sekali. Hmmm, lihai dan berbahaya melebihi setan. Pada akhirnya masih tega menghancurkan hati Han-Sute,"

   Katanya perlahan dan tiba-tiba keningnya berkerut ketika ia menoleh dan melihat Han Le pucat sekali dan air mata bercucuran keluar dari sepasang matanya.

   

   "Eh, Han-Sute, kau sudah dihina olehnya. Apakah kepergiannya masih bisa menghancurkan hatimu? Di mana sifat jantanmu, Sute?"

   Han Le menggeleng-geleng kepalanya.

   "Suheng, Siauwte memang harus dipukul, bahkan sudah sejak dulu Siauwte mengerti bahwa dia hanya... mempermainkan Siauwte belaka. Namun, Siauwte sudah dicengkeram oleh nafsu. Akhir-akhir ini... bagaimana Siauwte bisa membencinya? Dia... dia telah mejadi calon ibu anakku..."

   Bu Pun Su terkejut sekali, sampai berubah air mukanya.

   "Apa katamu? Betul-betulkah begitu?"

   Han Le mengangguk.

   "Siauwte tidak sayang kepadanya, melainkan kepada anak yang dikandungnya. Suheng, Siauwte sudah bersumpah takkan meninggalkan pulau ini, akan menanti di sini sampai datang maut mencabut nyawa, untuk menebus dosa Siauwte. Akan tetapi anak itu... ah, Suheng, kalau sudah terlahir dan berada di bawah asuhan Pek Hoa, akan menjadi apakah? Oleh karena itu, Siauwte mohon bantuan Suheng, kalau anak itu terlahir, harap Suheng suka merampasnya dan memberikan kepada orang lain supaya dididik menjadi manusia baik-baik. Jangan sampai keturunan Siauwte menambah dosa Siauwte membuat Siauwte tak dapat mati dengan mata meram."

   Bu Pun Su mengangguk-angguk. Hatinya pilu. Ia sendiri belum pernah merasakan bagaimana perasaan seorang calon ayah. Akan tetapi ia dapat membayangkan betapa hancur hati Han Le pada saat itu.

   

   "Baikiah, Han-Sute. Tadinya aku datang untuk minta bantuanmu, akan tetapi melihat keadaanmu sekarang, tak usahlah. Bahkan, setelah terjadi peristiwa antara kau dan tokoh-tokoh Kun-Lun dan Siauw-Lim, amat tidak baik kalau kau sendiri yang muncul. Biar aku yang akan membereskan hal itu dan menjernihkan keadaan. kau rawat baik-baik tiga jenazah itu, jangan dibiarkan begitu saja. Biarpun kau takkan meninggalkan pulau ini selamanya, percayalah, aku akan datang sewaktu-waktu menemanimu disini."

   Han Le menghaturkan terima kasih dan tak lama kemudian Bu Pun Su meninggalkan Pulau Pek-Hio-To dengan hati penuh iba kepada adik seperguruannya itu. Tak pernah disangkanya bahwa Han Le akan bernasib sedemikian buruk, jauh lebih buruk daripada nasibnya sendiri. Debu mengebul tinggi ketika dua ekor kuda berlari congklang menuju ke gerbang pintu Kota Tiang-Hai yang letaknya hanya tinggal beberapa li lagi.

   Waktu itu musim panas sedang teriknya, jalan-jalan mengering dan debu mengebul tinggi setiap kali jalan itu dilalui kuda atau kendaraan yang ditarik kuda. Pohon-pohon nampak mengering dan sawah ladang kuning kosong. Namun alam di sekitar tempat itu yang sama sekali tidak menimbulkan pemandangan indah, tidak mengurangi seri muka gembira dari dua orang muda yang menunggang kuda. Mereka ini adalah Gan Tiauw Ki dan Kiang Im Giok. Sebagaimana diketahui, Gan Tiauw Ki menuju ke Kota Tiang-Hai untuk menyampaikan surat dari Kaisar untuk seorang berpangkat huciang bernama keturunan Suma di Kota itu, dan untuk melakukan penyelidikan. Adapun Im Giok mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk mengawal pemuda ini. Di sepanjang perjalanan, Tiauw Ki memperlihatkan bahwa dia adalah seorang pemuda yang terpelajar tinggi,

   Hafal akan bunyi sajak-sajak gubahan para pujangga jaman dahulu yang berjiwa patriot, hafal akan sejarah, pandai pula membuat sajak-sajak bersemangat dan indah-indah. Selain ini, ia pandai bernyanyi dan meniup Suling sehingga beberapa kali di waktu mereka beristitahat, pemuda ini mengeluarkan Suling peraknya dan mainkan beberapa lagu. Im Giok tertarik sekali. Lebih suka hatinya terhadap Tiauw Ki melihat sikap pemuda ini amat sopan, biarpun ramah tamah, dan kadang-kadang gembira, namun sikapnya selalu sopan dan menyenangkan, tak pernah memperlihatkan pandang mata kurang ajar atau kata-kata yang tidak sopan. Dalam diri pemuda ini Im Giok melihat orang yang bersemangat, berjiwa patriot dan gagah, jujur, setia dan sopan-santun. Sebaliknya, baru kali ini selama hidupnya Tiauw Ki bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis seperti Im Giok.

   Memang pemuda itu sudah banyak pengalaman kota-kota besar, sudah banyak melihat puteri-puteri Istana, puteri-puteri bangsawan yang tersohor cantik jelita dan pandai, akan tetapi ia harus akui bahwa baru kali ini hatinya jatuh oleh kecantikan seorang gadis. Tidak saja ia kagum sekali melihat wajah jelita dari Im Giok, juga ia kagum sekali akan kegagahan gadis ini. Oleh karena kedua pihak saling tertarik dan suka, maka tentu saja perjalanan itu merupakan pengalaman yang amat menyenangkan, tak pernah memperlihatkan pandang mata sayang, tidak memperlihatkan apa yang terkandung dalam hati, namun jauh di lubuk hati, mereka tahu bahwa hidup akan kurang sempurna apabila mereka berpisah. Makin dekat dengan Kota Tiang-Hai, makin sering mereka bertemu orang dan makin banyak mereka melihat orang-orang mendatangi Tiang-Hai.

   

   "Heran, mereka itu datang ke Tiang-Hai ada apakah?"

   Kata Tiauw Ki perlahan ketika melihat serombongan orang berkuda mendahului mereka. Rombongan ini terdiri dari tujuh orang dan melihat pakaian dan sikap mereka, dapat diduga bahwa tujuh orang ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi.

   

   "Mereka siapakah?"

   Tanya Im Giok. Gadis ini lebih heran lagi karena ia tahu bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang kang-ouw. Bagaimana seorang sastrawan seperti Gan Tiauw Ki dapat mengenal mereka?

   Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   

   "Mereka itu adalah panglima-panglima ternama dari Gubernur Shansi. Mereka menyamar seperti orang-orang biasa dan datang di Tiang-Hai, apakah kehendak mereka?"

   Kata Tiauw Ki. Ketika tidak mendapat jawaban, Tiauw Ki menengok.

   "Ada apakah, Nona?"

   Tanyanya ketika Im Giok memandang kepadanya dengan penuh keheranan dan kecurigaan.

   

   "Bagaimana kau dapat mengenal orang-orang seperti itu?"

   Tanya Im Giok. Tiauw Ki tersenyum merendah.

   "Apa sukarnya? Badan penyelidik dari Istana telah memperlihatkan gambar tokoh-tokoh terpenting dari mereka yang dianggap sebagai orang-orang yang memberontak. Gubernur Shansi dan Honan melopori pemberontakan-pemberontakan atau sikap yang anti Kaisar, maka panglima-panglima ternama dari dua Gubernur itu tentu saja sudah kukenal gambarnya. Inilah sebabnya maka aku mengenal mereka tanpa mereka tahu siapa aku."

   Im Giok mengangguk-angguk kagum.

   "Gan-Kongcu, otakmu benar-benar tajam sekali, dapat mengingat semua orang dalam gambar."

   

   "Bukan aku yang berotak tajam, melainkan tukang lukisnya yang benar-benar pandai. Dengan beberapa coretan saja, ia dapat melukis muka orang demikian tepatnya. Benar-benar aku makin kagum saja kepada Pelukis Ong dari Istana itu."

   Im Giok lalu bertanya tentang Pelukis itu dan mereka bercakap-cakap dengan asyik dan kembali Ang I Niocu Kiang Im Giok mendapat kenyataan bahwa pemuda ini kembali memiliki kepandaian lain yang menarik, yakni melukis. Pemuda ini sendiri seorang Pelukis pandai namun ia memuji-muji Pelukis Ong Pouw di Istana, menandakan bahwa wataknya memang sopan dan suka merendahkan diri sendiri. Tiba-tiba terdengar seruan dari belakang,

   

   "Minggir! Minggir!"

   Im Giok terkejut. Suara ini terdengar nyaring, disusul oleh suara derap kaki kuda yang berlari cepat. Orang yang dapat mengirim suara mendahului suara derap kaki kuda tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Tiauw Ki tentu saja tidak tahu akan hal ini dan ia hanya berkata,

   

   "Datang orang kasar, baik kita minggir. Jangan sampai terjadi ribut-ribut."

   Im Giok maklum bahwa tugas yang amat penting dari Tiauw Ki memang harus dilindungi dan sebaiknya kalau mereka tidak memancing permusuhan sebelum tugas itu selesai. Maka ia pun lalu menggebrak kudanya dan minggirkan kuda untuk memberi jalan kepada serombongan orang berkuda yang mendatangi dengan cepat.

   Rombongan kali ini adalah orang-orang dengan pakaian indah dan gagah, akan tetapi yang paling menarik adalah orang pertama yang berada di depan. Orang ini masih muda, wajahnya tampan sekali, sikapnya gagah, pakaiannya indah dan mewah. Jelas nampak bahwa ia seorang pesolek besar, dan kudanya pun bukan kuda biasa melainkan kuda pilihan berbulu putih. Ia membalapkan kudanya, sedikitnya seperempat li di depan rombongannya sambil tertawa-tawa. Kuda yang ditunggangi oleh Im Giok juga kuda pilihan, demikian pula kuda Kim Lian yang ditunggangi oleh Tiauw Ki. Tidak hanya manusia yang suka memilih golongan, kuda pun agaknya mengenal kawan dan mengenal bulu. Mendadak kuda yang ditunggangi oleh Im Giok dan Tiauw Ki mengeluarkan ringkikan keras dan mereka menjadi gembira,

   Kedua kaki depan diangkat tinggi dan mereka melompat di tengah jalan menghadang datangnya kuda putih yang ditunggangi oleh pemuda tampan itu! Terdengar Tiauw Ki memekik kaget. Ternyata tubuh pemuda ini telah dilemparkan oleh kudanya, ketika kuda itu berdiri diatas dua kaki belakang. Gerakannya demikian kuat dan cepat sehingga Tiauw Ki tak dapat menguasai diri dan terjengkang ke belakang. Tentu tubuhnya akan terbanting di atas batu di jalan kalau saja Im Giok tidak cepat-cepat melompat dan menyambar. Dengan gerakan cekatan dan lincah bagaikan seekor burung terbang, gadis ini hanya kelihatan sebagai bayangan merah dan tahu-tahu Tiauw Ki telah disambar lengannya dan pemuda ini di lain saat sudah berdiri di tengah jalan dan lengannya dipegang oleh Im Giok.

   

   "Bagus sekali!"

   Terdengar suara orang memuji.

   

   Pada saat itu, pemuda tampan gagah yang berada di atas kuda putih sudah datang dekat, agaknya hendak menubruk Tiauw Ki dan Im Giok. Im Giok sudah bersiap sedia, sedikit pun tidak khawatir karena ia maklum bahwa jika perlu, dengan mudah ia akan mendorong tubuh kuda putih itu ke samping. Akan tetapi tak perlu turun tangan karena tiba-tiba saja kuda itu berhenti sambil meringkik keras, kedua kaki depan diangkat dan kaki belakangnya merendah hampir berlutut! Im Giok kagum. Penunggang itu telah memperlihatkan kepandalannya, tidak saja kepandaian menunggang kuda, juga kepandaian ilmu Lwee-kang yang tinggi sehingga pada saat itu ia dengan cepat dapat membikin berat tubuhnya dan mempergunakan kekuatannya untuk menahan larinya kuda sendiri. Tiauw Ki yang sudah lenyap kagetnya, berkata sambil merengut,

   "Mengapa melarikan kuda cepat-cepat amat? Membikin kuda orang lain kaget setengah mati?"

   Pemuda itu memandang sejenak ke arah Tiauw Ki, senyumnya berubah mengejek dan menghina, sinar matanya memandapg rendah seperti seekor harimau memandang anjing buduk. Kalau tadinya Im Giok tertarik dan kagum melihat pemuda tampan dan gagah ini, sekaligus rasa kagum dan sukanya lenyap bagaikan awan tertiup angin badai.

   Melihat senyum mengejek dan pandang mata yang membayangkan kesombongan besar, penuh penghinaan kepada Tiauw Ki sekaligus hati Im Giok mendongkol dan timbul rasa tidak sukanya kepada pemuda tampan ini. Memang harus diakui bahwa dalam segala hal, pemuda asing ini jauh melebihi Tiauw Ki, lebih tampan, jauh lebih gagah, dan juga pakaiannya lebih indah. Akan tetapi ia tidak mempunyai apa yang dimiliki Tiauw Ki, yakni kepribadian yang menarik, gaya sewajarnya yang penuh kecerdikan, kejujuran, dan kesetiaan. Pemuda itu tak lama memandang ke arah Tiauw Ki, sebaliknya cepat ia mengalihkan pandang matanya kepada Im Giok. Senyumnya berubah, tidak menyeringai penuh ejekan seperti tadi, akan tetapi senyum penuh madu memikat, senyum yang membuat parasnya makin tampan, dan sepasang matanya berseri penuh kagum dan terpikat.

   

   "Pek-in-ma (Kuda Awan Putih) yang kutunggangi ternyata mengenal keindahan dan kegagahan! Di dunia ini jarang terdapat paduan yang tepat, indah dan gagah. Nona, kau tidak saja memenuhi syarat paduan ini, bahkan melebihi, jauh melebihi sehingga tidak berlebih-lebihan kalau kukatakan bahwa aku Lie Kian Tek selama hidupku baru kali ini melihat paduan yang demikian sempurna!"

   Im Giok maklum akan pujian ini, akan tetapi ia berpura-pura tidak mengerti dan berkata,

   "Apakah maksud kata-katamu ini?"

   Pemuda tampan ini tertawa sambil menoleh kepada kawan-kawannya yang sudah tiba di situ pula.

   "Cuwi (Tuan-tuan sekalian), berhenti sebentar dan lihatlah, pernahkah kalian melihat seorang yang begini cantik dan gagah?"

   Lima orang yang mengawal pemuda ini, kesemuanya orang-orang setengah tua yang berpakaian indah dan bersikap gagah, memandang dan tersenyum.

   

   "Memang cantik sekali akan tetapi kegagahan, hmm... banyak sekali orang berlagak gagah akan tetapi tiada guna, seperti gentong kosong dipukul bersuara namun tak berisi,"

   Demikian kata seorang di antara mereka. Pemuda itu tertawa, nampak giginya yang berbaris rapi dan putih bersih,

   "Ha, ha, ha, kau betul sekali, Ciang-lopek, akan tetapi kau tidak tahu betapa nona ini tadi dengan gerakan indah dan luar biasa telah menyelamatkan nyawa seorang yang betul-betul tiada gunanya! Eh, Nona, maksud kata-kataku tadi kalau disalin dengan lain kalimat berarti aku kagum sekali melihatmu karena kau benar-benar cantik jelita dan gagah perkasa. Bolehkah aku mengetahui namamu, Nona? Dan kau hendak ke manakah?"

   Ujung hidung yang kecil mancung itu bergerak, perlahan sekali dan hanya terlihat oleh orang yang memperhatikan. Dan yang memperhatikan ujung hidung Ang I Niocu ini hanya Tiauw Ki seorang. Pemuda ini cepat mengulur tangan dan menyentuh lengan Im Giok, lalu katanya kepada pemuda tampan itu,

   

   "Tuan, harap jangan mengganggu kami lagi dan hendaknya menjaga tatasusila antara pria dan wanita, pula memberi kebebasan kepada kami sebagai orang-orang yang bertemu di tengah perjalanan. Nona ini tidak bersalah, mengapa diganggu?"

   Pemuda itu menengok dan memandang kepada Tiauw Ki dari atas kudanya.

   "Hah! Siapa ajak bicara orang macam engkau?"

   

Pendekar Sakti Eps 13 Pendekar Sakti Eps 29 Pendekar Sakti Eps 25

Cari Blog Ini