Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti 29


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 29



"Kiam Ki Sianjin, monyet tua! Lidahmu tak bertulang itu menyemburkan kata-kata yang tidak lebih harum dari pada kentut busuk! Orang macam kau ini tahu apa akan perjuangan membela Rakyat? Kau sendiri menjadi kaki tangan Raja Penjajah, menindas Rakyat. Tak malukah kau sebagai seorang Han? Hah, memualkan perutku benar! Aku sendiri tidak ada urusan denganmu, akan tetapi tunggu saja kau akan pembalasan Rakyat! Penjajah pasti akan terusir semua dari tanah air dan kalau aku sudah menyelesaikan tugasku, aku pun akan membantu perjuangan Rakyat mengusir Penjajah asing dan memberi hukuman kepada pengkhianat-pengkhianat Bangsa macam engkau ini!"

   Kiam Ki Sianjin menjadi pucat mukanya, demikian pula kawan-kawannya, bukan karena takut kepada ancaman Kwan Cu, melainkan karena marah mendengar omongan yang setidaknya menikam ulu hati itu.

   "Bangsat bermulut lancang! Kau kira bisa demikian enak saja menghina kami dan dapat keluar dengan kepala utuh dari sini? Kau mencari mampus sendiri!"

   Kwan Cu tertawa mengejek.

   "Siapa takut padamu? Aku bahkan hendak bicara lebih dulu dengan babi kurus Pek-Eng Sianjin yang berdiri di sana itu!"

   La melangkah maju dan menghadapi Pek-Eng Sianjin yang berdebar-debar jantungnya.

   "Pek-Eng Sianjin, mengakulah apakah kau dahulu ikut pula mengeroyok Suhu Ang-Bin Sin-Kai sehingga Suhu mengalami kebinasaan?"

   "Pinto (aku) Pinto tidak tahu apa-apa "

   Jawab Tosu itu dengan gugup. Memang dia sudah mendengar akan kelihaian pemuda murid Ang-Bin Sin-Kai ini, maka dia sudah gentar sekali.

   "Hm, ternyata kau bernyali tikus! Akan tetapi kau mengaku atau tidak, bagiku sama saja. Kau harus mampus, kau, Hek-I Hui-Mo, Jeng-Kin-Jiu, Toat-Beng Hui-Houw, dan yang lain-lain!"

   "Lu Kwan Cu, kau bermulut besar!"

   Kiam Ki Sianjin membentak marah.

   "Kau bersikap seakan-akan kau tuan rumah di sini. Kau tamuku dan kau harus tahu sopan santun. Orang muda macam engkau hendak membunuh tokoh-tokoh besar yang kau sebutkan tadi? Ha, ha, ha, kau seperti katak dalam sumur. Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!"

   Adapun Pek-Eng Sianjin ketika mendengar dan melihat sikap Kiam Ki Sianjin, segera teringat bahwa dia telah berlaku pengecut sekali, maka dengan muka merah dia pun berkata,

   "Anak muda, biarpun aku tidak ikut turun tangan ketika Gurumu mampus, aku hadir pula di sana. Habis kau mau apakah?"

   Sambil berkata demikian, Pek-Eng Sianjin mencabut Pedangnya dan bersikap gagah.

   "Nanti dulu, Pek-Eng Toyu, Pinto yang menjadi tuan rumah dan Pinto yang berhak memberi hajaran kepada pemuda kurang ajar ini!"

   Kiam Ki Sianjin mencegah dan dia melangkah maju menghadapi Kwan Cu dengan sikap menantang.

   "Lu Kwan Cu, apakah kau berani menerima tantanganku sebagai tuan rumah di sini? Mari kau layani aku barang sepuluh jurus atau kalau kau tidak berani, kau harus minta maaf kepada kami dan kau boleh pergi. Kami akan memberi ampun kepadamu mengingat bahwa kau sudah berjasa membinasakan keluarga An yang menjadi musuh kami pula."

   Kwan Cu marah sekali, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. la bersikap tenang karena maklum bahwa dia menghadapi seorang yang berkepandaian tinggi.

   "Kiam Ki Sianjin! Kita pernah bertemu sekali dan Pedangmu telah kupatahkan. Apakah kau masih ada muka untuk mencoba kepandaianku pula? Ingat, kali ini bukan Pedangmu yang akan kupatahkan, mungkin lehermu yang panjang itu! Urusanku dengan keluarga An tiada sangkut-pautnya denganmu, juga urusanku dengan Pek-Eng Sianjin. Aku tidak hendak bermusuhan denganmu di sini, kecuali aku membantu perjuangan Rakyat dan kau menjilati pantat Raja asing! Akan tetapi kalau kau masih penasaran akan kepandaianmu sendiri yang masih dangkal, marilah, aku akan melayani segala macam lagu yang hendak kaunyanyikan!"

   Kiam Ki Sianjin sudah maklum bahwa ilmu silat pemuda itu lihai sekali, bahkan dengan Pedang hitamnya, dia tidak berhasil mengalahkan pemuda ini ketika dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Kwan Cu di ruang pertemuan istana. Maka kini dia berlaku cerdik dan dia hendak mencegah Kwan Cu mengeluarkan ilmu pukulan-pukulan yang aneh-aneh itu. Ia menyambar sebuah meja pada kakinya dan berkata,

   "Kita memang tidak ada alasan untuk saling bunuh. Mari kita mencoba-coba saja kepandaian menggunakan meja ini. Kau pilihlah sebuah meja sebagai senjata!"

   Kiam Ki Sianjin sengaja memilih senjata yang aneh dan kaku ini karena sesungguhnya dia telah mempelajari dengan baiknya cara mempergunakan meja, bangku atau kursi sebagai senjata, yakni untuk menjaga serangan tiba-tiba pada saat dia tidak bersiap dengan senjata tajam.

   la telah melatih diri dan menciptakan bermacam ilmu silat tinggi dengan perabot rumah tangga ini, maka sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan baik ini untuk memuaskan penasaran hatinya, hendak membalas kekalahannya dengan senjata meja yang bagi orang lain tentu kaku akan tetapi baginya menguntungkan itu. la sudah siap dengan sindiran-sindiran dan menyatakan bahwa lawannya takut kalau saja Kwan Cu akan menolak penggunaan senjata yang aneh itu. Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang sudah menguasai segala macam ilmu silat pada pokok dasarnya yang dipelajari dari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, maka sambil tersenyum dia menyambar sebuah meja pada kakinya pula dan berkata,

   "Baik, Kiam Ki Sianjin. Aku menerima tantanganmu!"

   Pemuda ini menoleh kepada Pek-Eng Sian-jin dan berkata.

   "Tosu Siluman, biarlah kau bernapas lega untuk beberapa lama, karena nyawamu masih diperpanjang sebentar lagi!"

   "Jangan banyak mengobrol, lihat senjataku!"

   Kiam Ki Sianjin membentak sambil mengayun mejanya, mulai dengan serangan yang amat ganas dan hebat.

   Kwan Cu terkejut. Tak disangkanya bahwa dengan sebuah senjata seperti itu, Kiam Ki Sianjin dapat melakukan serangan yang benar-benar hebat sekali, tidak kalah hebatnya dengan serangan senjata tajam yang lain. Ia cepat melompat untuk,menghindarkan diri, tidak berani menangkis sebelum mempelajari cara Kiam Ki Sianjin melakukan penyerangannya. Meja itu mukanya bundar dan dengan memegangi kaki meja, Kiam Ki Sianjin melakukan serangan-serangan dari balik meja sehingga bagi Kwan Cu sulit pula untuk melihat pergerakan pundak dan paha lawannya! Inilah yang dikehendaki oleh Kiam Ki Sianjin. Ia dapat menduga bahwa Kwan Cu tentulah awas sekali dan dapat melihat arah serangan-serangannya sebagaimana pernah dia alami ketika dia mempergunakan Pedang untuk menyerang pemuda itu. Maka dia memilih meja yang bermuka bundar itu sehingga meja itu merupakan perisai dan dapat mengatur siasat serangannya!

   Untuk belasan jurus, Kwan Cu hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya mengelak ke sana ke mari. Pukulan-pukulan dengan meja itu benar-benar hebat sekali, angin pukulannya sampai terasa oleh tiga orang Kakek yang menonton pertempuran. Bahkan beberapa batang lilin yang menyala di meja lain telah padam oleh tiupan hawa pukulan itu! Kiam Ki Sianjin adalah seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang tinggi, tidak akan kalah tinggi kiranya oleh tingkat dari lima tokoh besar, sungguhpun namanya tidak begitu terkenal seperti nama mereka. oleh karena itu, ketika dahulu dia dikalahkan oleh Kwan Cu, hatinya sakit dan penasaran bukan main. la prihatin sekali karena kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau, maka semenjak saat itu, dia lalu melatih diri dengan luar biasa rajinnya,

   Bahkan memperpanjang waktu samadhinya dan memperhebat latihan napas untuk memperkuat tenaga Lweekangnya. Tidak aneh bahwa sekarang ketika menghadapi Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin seakan-akan seorang dengan tenaga baru. Dia memang sudah siap dan kini dengan penuh nafsu dia hendak membalas kekalahannya yang dulu. Kwan Cu merasa kagum sekali. Gerakan Tosu tua itu menurutkan gerakan ilmu silat tinggi yang lihai. Bagaimana seorang dapat mempergunakan meja dengan gerak-gerak tipu yang demikian teratur baik? Tak salah lagi, Kakek ini tentu sudah menciptakan ilmu silat yang sengaja dimainkan dengan perabot rumah tangga ini. Kwan Cu yang cerdik tidak kekurangan akal. Ia segera mengerahkan ginkangnya dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor Burung saja, melayang ke atas dan tiap kali datang serangan meja dari Kiam Ki Sianjin,

   Kwan Cu mengelak dengan lompatan tinggi sehingga kepalanya hampir mengenai langit-langit! Dari atas barulah dia dapat melihat kepala dan pundak lawannya dan dengan demikian, dia dapat melihat macam gerakan dari serangan lawannya itu. Otaknya memang sudah menjadi tajam dan pengingat betul setelah dia membaca habis kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, maka sekali melompat, berarti satu kali dia mendapat sejurus ilmu silat meja itu. Menghadapi kegesitan pemuda itu, Kiam Ki Sianjin menjadi penasaran dan juga kewalahan. Mejanya tak pernah mengenai sasaran. Ketika untuk ke sekian kalinya dia menyerang dan Kwan Cu mengelak sambil melompat ke atas, dia memburu dan cepat menghantam kedua kaki Kwan Cu yang masih berada di tengah udara.

   "Roboh kau!"

   Seru Kiam Ki Sianjin.

   "Sabar, orang tua,"

   Jawab Kwan Cu yang cepat menggerakkan kedua kakinya ke kanan kiri, dipentang untuk meluputkan kedua kaki itu dari pukulan meja yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga. Adapun meja yang dipegang oleh tangan kanannya, lalu dipukulkan ke bawah untuk melindungi tubuhnya yang melayang turun.

   "Bagus sekali!"

   Kiam Ki Sianjin tak terasa lagi memuji saking kagumnya melihat betapa dengan mudah pemuda itu lagi-lagi dapat menggagalkan serangannya. Akan tetapi tiba-tiba Kiam Ki Sianjin mengeluarkan seruan tertahan ketika Kwan Cu secara mendadak membalas serangan-serangannya yang semenjak tadi hanya dielakkan oleh Kwan Cu.

   Bukan berseru kaget dan heran karena hebatnya serangan pemuda itu, melainkan heran karena pemuda itu mainkan silat meja yang tadi dimainkannya! Ilmu silat meja itu adalah ciptaannya sendiri, bagaimana pemuda ini dapat meniru sedemikian baiknya? Apakah di waktu dia berlatih dalam kamarnya, pemuda ini diam-diam mengintainya? Terpaksa Kiam Ki Sianjin menangkis meja lawan dengan mejanya. Semenjak tadi, biarpun keduanya mempergunakan senjata meja yang demikian besar, belum satu kalipun juga dua meja itu bertemu. Hal ini disengaja oleh Kwan Cu yang hendak mempergunakan ginkangnya untuk dapat meneliti dan mempelajari ilmu silat lawan yang aneh. Sekarang setelah dia sendiri yang menyerang, lawannya menangkis keras. Dua meja bertumbukan di udara.

   "Krakkk!"

   Dan meja di tangan Kiam Ki Sianjin jatuh ke atas lantai.

   Ternyata bahwa kaki meja yang dipegang oleh Kakek ini telah patah dan kini tertinggal di tangannya. Juga sebuah kaki meja yang berada di tangan Kwan Cu patah, namun yang patah adalah kaki meja lain, bukan yang sedang dipegangnya sehingga "senjata"

   Itu masih berada di tangannya. Muka Kiam Ki Sianjin merah sekali. la tahu bahwa dalam pertemuan meja tadi dengan cara yang amat cerdik dan tidak terlihat olehnya, Kwan Cu telah menggunakan tangan kirinya memukul meja dan berkat Lweekang yang sudah matang pemuda itu berhasil mematahkan kaki meja yang dipegang oleh lawannya. Sebenarnya, Kiam Ki Sianjin masih penasaran dan hendak mencoba lagi, akan tetapi karena sudah terang bahwa meja yang dipegangnya jatuh di atas lantai, maka dia merasa malu untuk mengambilnya kembali. Terpaksa dia lalu tersenyum pahit dan berkata,

   "Lu Kwan Cu Enghiong, kau benar-benar hebat. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, Pinto minta pengajaran darimu."

   Kwan Cu memang tidak ada niat memusuhi Kakek ini. Dia tidak suka bermusuhan dan tidak mau mencari perkara dengan orang-orang tanpa alasan dan sebab yang kuat. Maka dia pun menjura dan berkata sungguh-sungguh,

   "Kiam Ki Sianjin, kepandaianmu benar-benar tinggi dan aku yang muda dan bodoh benar-benar kagum sekali. Sekarang aku mohon perkenanmu sebagai tuan rumah untuk berurusan dengan Pek-Eng Sianjin. Dia masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar lunas."

   Kwan Cu lalu menoleh kepada Pek-Eng Sianjin dan berkata mengejek,

   "Pek-Eng Sianjin, marilah kita keluar dari rumah orang supaya kita dapat membereskan perhitungan!"

   Pek-Eng Sianjin menjadi pucat wajahnya. Ia maklum bahwa kalau Kiam Ki Sianjin saja tidak dapat merobohkan pemuda ini, apalagi dia. Tanpa malu-malu dia lalu berka ta kepada Kwan Cu,

   "Orang muda, kalau kau bermaksud membalas dendam atas kematian Ang-Bin Sin-Kai, kau telah berlaku ngawur saja kalau menantang Pinto. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Pinto tidak menjatuhkan sebuah jari pun juga atas diri Ang-Bin Sin-Kai, dan yang membikin Gurumu itu tewas hanyalah Hek-I Hui-Mo, Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu, dan Toat-Beng Hui-Houw. Kalau tidak percaya, kau boleh tanya kepada Kiam Ki Sianjin atau kepada siapapun juga."

   Kwan Cu merasa ragu-ragu, dia tidak mau menurunkan tangan kepada orang yang benar-benar tidak berdosa.

   "Kiam Ki Sianjin, benarkah keterangannya itu?"

   "Memang begitulah sepanjang yang Pinto dengar, akan tetapi Pinto tidak menyaksikan sendiri, bagaimana Pinto dapat menanggung?"

   Jawab Kiam Ki Sianjin. Sebetulnya, Tosu ini biarpun tidak melihat sendiri, tahu bahwa memang benar Pek-Eng Sianjin tidak ikut membunuh Ang-Bin Sin-Kai. Akan tetapi sikap Pek-Eng Sianjin dianggapnya amat pengecut dan memalukan, maka dia sengaja memberi jawaban bercabang.

   "Betapapun juga, kau adalah kaki tangan para pembunuh Suhu, akan tetapi aku mau percaya asal saja kau suka bersumpah bahwa kau tidak ikut mengeroyok Suhu,"

   Akhirnya Kwan Cu berkata sambil memandang tajam kepada Pek-Eng Sianjin. Pucatlah muka Pek-Eng Sianjin. Ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah ternama juga, kini kata-katanya tidak dipercaya oleh seorang bocah, inilah penghinaan yang amat besar. Akan tetapi dia tidak mempunyai pilihan yang baik. Kalau dia menolak untuk bersumpah, dia harus menghadapi Kwan Cu dan dia tahu kalau hal itu terjadi, dia akan mendapat malu dan hinaan lebih hebat lagi. Biarlah sekarang dia menderita hinaan orang, masih ada waktu kelak untuk membalasnya, pikirnya. Dengan muka sebentar pucat sebentar merah dia lalu berkata,

   "Pinto bersumpah bahwa Pinto tidak ikut mengeroyok Ang-Bin Sin-Kai, demi kehormatan dan nama baik Pinto."

   Kwan Cu tertawa bergelak, hatinya puas. Memang manusia seperti Pek-Eng Sianjin yang sudah dia ketahui kwalitasnya sebagai manusia bejat akhlak, harus diberi hajaran, biarpun dia tidak mendapat kesempatan menghajar jasmaninya, setidaknya dia telah memberi tamparan kepada batinnya.

   "Pek-Eng Sianjin, baik sekali kau mau bersumpah. Sebetulnya memang tak perlu kau bersumpah, karena aku dapat menduga bahwa kau takkan mampu dan berani mengeroyok mendiang Guruku dengan kepandaianmu yang masih dangkal itu."

   Kembali Kwan Cu tertawa. Menggigil tubuh Pek-Eng Sianjin saking hebatnya gelora marahnya. Ia telah dipermainkan dan dihina secara hebat oleh pemuda ini, maka dengan mata bernyala-nyala dia berkata,

   "Lu Kwan Cu, untuk membalas hinaanmu itu, aku menantangmu untuk mengadu kepandaian denganmu sebulan lagi di tempat kediamanku di Bukit Leng-San. Beranikah kau datang ke sana memenuhi tantanganku?"

   Kwan Cu tersenyum menyindir.

   "Kau kira aku tidak tahu bahwa di sana kau tentu akan menantikan dengan kawan-kawanmu untuk mengeroyok? Akan tetapi jangan khawatir, aku pasti datang tepat pada waktunya. Kau tunggu sajalah!"

   Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Pek-Eng Sianjin lalu pergi dari tempat itu, juga sama sekali tidak menoleh kepada Kiam Ki Sianjin. Hatinya mendongkol sekali karena Kiam Ki Sianjin sama sekali tidak membelanya ketika dia dihina oleh Kwan Cu. Sebelum Kwan Cu pergi, Hwesio gundul yang semenjak tadi memandang semua sepak terjang Kwan Cu, segera mengebutkan lengan bajunya dan menghadapinya sambil tersenyum.

   "Nanti dulu, orang muda. Kau yang masih begini muda memiliki kepandaian tinggi dan watak yang sombong pula. Benar-benarkah pendengaran pinceng bahwa kau adalah murid Ang-Bin Sin-Kai si Pengemis itu?"

   Kwan Cu melirik. Baru sekarang dia memperhatikan Hwesio ini. Tubuh Hwesio ini pendek bundar, mulutnya selalu tersenyum dibuat-buat dan pakaian pendetanya terbuat daripada kain mahal dan mewah. Sinarnya matanya memandang rendah sekali, karena memang sesungguhnya Hwesio ini tidak percaya kalau pemuda sehijau ini memiliki kepandaian yang dapat mengalahkan Kiam Ki Sianjin.

   "Lo-Suhu siapakah dan ada maksud apa mengajak bicara kepadaku?"

   Jawab Kwan Cu acuh tak acuh, akan tetapi dia menunda kepergiannya. Hwesio itu lalu merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Kiam Ki Sianjin sambil berkata,

   "Kiam Ki Toyu, kau sebagai tuan rumah dan pinceng sebagai tamu, sudah seharusnya pinceng minta perkenanmu untuk bermain-main sebentar dengan pemuda ini. Sudah lama pinceng mendengar tentang kepandaian Ang-Bin Sin-Kai, sayang sekali sebelum mencoba kepandaiannya, dia telah keburu meninggal dunia. Sekarang, secara kebetulan bertemu dengan muridnya di sini, pinceng ingin sekali menguji warisan ilmu silat dari Pengemis itu."

   Tentu saja Kiam Ki Sianjin tidak keberatan, bahkan diam-diam dia merasa girang sekali. Ia sudah tahu dan merasai kelihaian Kwan Cu, maka sekarang dia dapat melihat sampai di mana kehebatan Hwesio ini, karena dalam waktu-waktu yang akan datang, dia mengharapkan bantuan Hwesio ini. Ia lalu memandang kepada Kwan Cu dan berkata,

   "Orang muda she Lu, ketahuilah bahwa Lo-Suhu adalah Bian Ti Hosiang dari Bu-Tong-Pai. Bian Ti Lo-Suhu menyatakan hendak mengadakan sedikit permainan silat denganmu, apakah kau berani menghadapinya?"

   Memang Kiam Ki Sianjin orangnya cerdik. Kalau saja dia bertanya apakah Kwan Cu suka menghadapi Hwesio itu, Kwan Cu tentu saja menyatakan tidak sudi, karena memang pemuda ini tidak ingin bertempur dengan orang-orang yang tiada urusan dengan dia. Akan tetapi dia sengaja bertanya apakah Kwan Cu berani menghadapi tokoh Bu-Tong-Pai itu, maka tidak ada jalan lain bagi pemuda itu kecuali menerima!

   "Orang sudah memaksa untuk memamerkan kepandaiannya, tentu saja aku yang muda berterima kasih akan diberi pelajaran,"

   Jawab Kwan Cu sambil tersenyum dan memandang kepada Bian Ti Hosiang. Hwesio ini mencabut Pedangnya dan berkata,

   "Omitohud, hari ini pinceng benar-benar gembira dapat mencoba kepandaian mendiang Ang-Bin Sin-Kai. Lu-Sicu, keluarkanlah Pedangmu yang kau sembunyikan di balik jubahmu itu."

   Kwan Cu terkejut. Ia memang membawa Pedang Liong-Coan-Kiam, peninggalan dari Kakeknya, Menteri Lu Pin, akan tetapi dia sengaja menyimpan Pedang itu.

   Ia telah mengambil keputusan untuk mempergunakan Pedang itu hanya jika menghadapi musuh-musuh besarnya. Tadi dalam menewaskan An Kong dan An Lu Kui, dia tidak perlu mengeluarkan Pedang Liong-Coan-Kiam karena kepandaian mereka masih amat rendah baginya. Kalau kelak dia bertemu dengan Hek-I Hui-Mo, Jeng-Kin-Jiu, atau juga Toat-Beng Hui-Houw, barulah dia akan menggunakan Liong-Coan-Kiam. Kini Hwesio gemuk ini dapat mengetahui bahwa dia membawa-bawa sebatang Pedang, hal itu menandakan bahwa mata Hwesio ini tajam sekali. Ia pun sudah pernah mendengar nama Bian Ti Hosiang dari mendiang Ang-Bin Sin-Kai, dan tahu bahwa dia kini berhadapan dengan tokoh ke dua dari Bu-Tong-Pai. Maka dia lalu menjura sambil tertawa.

   "Ah, tidak tahunya Boanpwe (aku yang rendah) berhadapan dengan Bian Ti Ho-siang Locianpwe dari Bu-Tong-Pai. Kiam-Hoat {ilmu Pedang) dari Bu-Tong-Pai sudah tersohor di seluruh jagad, mana Boanpwe berani mengimbangi ilmu Pedang itu dengan ilmu Pedang lain? Apalagi di antara Boanpwe dan Locianpwe tidak terdapat permusuhan sesuatu, maka biarlah untuk main-main sebentar Boanpwe mempergunakan ini."

   Kwan Cu mencabut keluar Sulingnya pemberian Hang-Houw-Siauw Yok-Ong. Sulingnya ini tidak dirampas oleh Bajak sungai. Mendengar kata-kata Kwan Cu, Bian Ti Hosiang diam-diam kagum akan sikap pemuda yang pandai membawa diri dan ternyata dapat bersopan santun, berbeda dengan kata-kata yang ditujukan kepada Pek-Eng Sianjin tadi. Akan tetapi, di samping kekagumannya, dia juga merasa tidak enak sekali. Dia, tokoh ke dua dari Bu-Tong-Pai, yang dijuluki Pek-Lek-Kiam (Si Pedang Kilat), kini dihadapi oleh seorang pemuda yang hanya memegang sebatang Suling bambu! Ia ragu-ragu, akan tetapi Kiam Kl Sianjin segera tersenyum berkata,

   "Bian Ti Suhu, dia telah memandang rendah kepadamu, mengapa tidak lekas-lekas mulai dan membabat putus Sulingnya untuk menghancurkan kesombongannya?"

   Bian Ti Hosiang teringat bahwa hal ini adalah kehendak pemuda itu sendiri. Kalau dia bergerak cepat, dalam satu dua jurus saja pasti dia akan membabat putus Suling itu dan hal ini saja sudah membuktikan akan keunggulannya. Ia segera membentak keras untuk menimbulkan pengaruh Lweekangnya,

   "Lu-Sicu, bersiaplah menghadapi Pedangku!"

   Bentakan ini disusul oleh sebuah tusukan ke arah dada Kwan Cu, akan tetapi tusukan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga kalau pemuda itu menangkis, dia akan membabat Suling sekuat tenaga. Inilah gerak tipu Tian-Kiam-Kiat-Ciang (Mengulur Pedang Memotong Tangan), sebuah tipu dari Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-Hoat yang lihai.

   Namun siasat ini terhadap Kwan Cu tidak mempan sama sekali karena pemuda ini sudah tahu akan maksud lawan sungguhpun dia belum mengenal jurus ini. Maka alangkah kagetnya hati Bian Ti Hosiang ketika tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh lalu menyusul dengan serangan balasan yang sama, yakni menggunakan Tian-Kiam-Kiat-Ciang yang sama baiknya dengan gerakannya. Bahkan pemuda yang bergerak belakangan ini, jauh lebih cepat dari dia. Sulingnya ditusukkan ke dada, lalu sebelum Pedang Hwesio itu membabat Suling, Suling itu sudah lebih dulu digerakkan menyamping membabat Pedang! Sungguh lucu sekali kalau melihat tarikan muka Hwesio gemuk itu ketika Pedangnya yang hendak membabat Suling kini bahkan didahului oleh Suling itu.

   Pedangnya tergetar ketika beradu dengan Suling dan Kwan Cu yang cerdik tentu saja tidak mau mengadukan Sulingnya dengan mata Pedang yang tajam. Namun dalam pertemuan senjata ini, dia sudah mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia bahwa dengan ilmu Lweekang yang dia pelajari dari Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng dan yang sekarang sudah secara otomatis mendarah daging dengan tubuhnya, kekuatan lawannya cukup dia tandingi dengan lima bagian saja dari Lweekangnya. Maka dia menjadi lebih tabah menghadapi Pedang lawan. Bian Ti Hosiang menduga bahwa secara kebetulan saja pemuda aneh itu mempunyai gerak tipu yang sama atau hampir sama dengan Tian-Kiam-Kiat-Ciang, atau memang kebetulan pemuda itu pernah melihat atau mempelajari gerakan ini.

   Maka dia lalu memutar Pedangnya dan kini dia mengeluarkan gerak tipu dari ilmu Pedang Hoa-Khai-Tiauw-Yang (Bunga Mekar MenghadapMatahari). Ilmu Pedang ini boleh dibilang adalah ilmu Pedang simpanan, dan tidak diajarkan kepada sembarang murid. Hebatnya bukan main, juga amat indah, sesuai dan tepatlah julukan Pek-Lek-Kiam (Si Pedang Kilat) ketika dia memainkan Hoa-Khai-Tiauw-Yang ini. Pedang itu lenyap dan yang kelihatan hanyalah sinar kilat bergulung-gulung mengitari tubuh Kwan Cu. Untuk sesaat Kwan Cu melengak. Tak disangkanya bahwa ilmu Pedang Bu-Tong-Pai memang benar-benar hebat luar biasa. Cepat-cepat dia mempergunakan ginkangnya, bergerakan memutar menurut gerakan Pedang lawan, akan tetapi lebih cepat lagi sambil kadang-kadang menyentuh Pedang itu apabila terlalu mendekati tubuhnya.

   Juga dengan gerakan Kong-Ciak Sin-Na (Ilmu Silat Burung Merak) dia dapat menyentil Pedang dengan telunjuk tangan kirinya sehingga beberapa kali terdengar suara nyaring dan Pedang di tangan Bian Ti Hosiang tergetar. Hal ini dilakukan oleh Kwan Cu karena dia hendak melihat baik-baik bagaimana jalannya ilmu Pedang yang amat indah itu. Setelah menghadapi serangan belasan jurus, giranglah hati Kwan Cu karena dia segera dapat mengenal "Jiwa"

   Atau isi dari pada ilmu Pedang yang dimainkan oleh pendeta itu. Pokok dasar ilmu Pedang itu adalah berdasarkan kedudukan Sha-Kak-Pouw (Kedudukan Kaki Segi Tiga) dan mengingatkan Kwan Cu akan gambar-gambar di Goa Pulau Pek-Hio-To yang juga di antaranya terdapat llmu Silat Segi Tiga. Dengan girang dia lalu memuji,

   "Bagus sekali ilmu Pedangmu, Locianpwe!"

   Akan tetapi, mulutnya memuji demikian, Sulingnya lalu bergerak, membalas serangan Hwesio itu dengan ilmu Pedang yang sama betul seperti yang dimainkan oleh Bian Ti Hosiang pada saat itu! Tadi Kwan Cu sudah diserang sampai delapan belas jurus. Dia tidak tahu berapa banyak macamnya jurus-jurus ilmu Pedang lawan, akan tetapi kini dia mempergunakan jurus-jurus yang tadi dia lihat dimainkan oleh Kakek ini. Bian Ti Hosiang menjadi pucat. Ia mainkan jurus-jurus yang paling sulit, akan tetapi pemuda itu menghadapinya dengan jurus yang sama pula! Memang gerakan pemuda itu tidak begitu sempurna dalam mainkan jurus ilmu Pedangnya ini, namun harus diakui lebih cepat dan lebih kuat dari padanya!

   "Eh, bocah! Dari mana kau mencuri ilmu Pedang partai Bu-Tong-Pai?"

   Katanya tanpa menghentikan serangannya, bahkan membacok ke arah kepala Kwan Cu dengan gerak tipu Gunakan Kapak Membelah Kayu. Kwan Cu mengelak dan membalas serangan itu dengan ilmu yang serupa, sambil menjawab,

   "Gerakan ilmu Pedang tidak dimonopoli oleh Bu-Tong-Pai sendiri. Siapapun boleh saja menggerakkan kaki tangan asalkan dia bisa!"

   Sehabis berkata demikian, Kwan Cu lalu tiba-tjba mengubah ilmu silatnya dan kini Sulingnya diputar cepat.

   "Kau hanya bisa meniru-niru. Mana ilmu silat yang kau pelajari dari Ang-Bin Sin-Kai?"

   Belum habis kata-kata itu, Bian Ti Hosiang terpaksa harus memutar Pedang melindungi tubuhnya karena tiba-tiba Suling di tangan pemuda itu lenyap dan dia merasa ada hawa dingin mengurungnya dari semua penjuru.

   "Inilah ilmu Pedang dari mendiang Suhu!"

   Kata Kwan Cu. Memang benar, dia telah mainkan ilmu Pedang Hun-Khai Kiam-Hoat yang dulu pernah dia pelajari dari Ang-Bin Sin-Kai. Akan tetapi setelah dia memiliki kepandaian aseli dari Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, ilmu Pedang itu berubah luar biasa sekali. Ang-Bin Sin-Kai sendiri kalau masih hidup dan melihat cara Kwan Cu mainkan Hun-Khai Kiam-Hoat, tentu akan terheran-heran dan kagum sekali.

   Dia sendiri takkan sanggup mainkan ilmu Pedang itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu. Hal ini tak perlu diherankan. Ilmu Pedang tetap merupakan ilmu atau teori belaka. Betapapun sulit dan hebatnya ilmu silat. Kalau yang melakukan atau memainkan masih dangkal kepandaiannya, takkan berarti apa-apa, bahkan makin tinggi ilmu silatnya dimainkan oleh orang yang masih rendah pengetahuannya, makin kacaulah ilmu silat itu. Sebaliknya, biarpun hanya mainan ilmu silat sederhana saja, kalau yang mainkan itu sudah memiliki kepandaian tinggi dan tenaga Lweekang serta ginkang yang sempurna, ilmu silat sederhana itu akan berubah menjadi ilmu silat yang hebat. Apalagi Hun-Khai Kiam-Hoat bukanlah ilmu Pedang sembarangan, diciptakan oleh Ang-Bin Sin-Kai, tokoh besar dari Timur yang sudah amat terkenal namanya.

   Setelah membikin bingung Bian Ti Hosiang sampai tiga puluh jurus lebih untuk "Memperkenalkan"

   Kelihaian Ang-Bin Sin-Kai, Kwan Cu lalu menggunakan Sulingnya menotok jalan darah di dekat siku Hwesio itu sehingga tiba-tiba Hwesio itu melompat mundur, tangan kanannya seperti lumpuh tak bertenaga lagi, akan tetapi jari-jari tangannya masih dapat mencengkeram gagang Pedangnya sehingga tidak terlepas! Dengan Lweekangnya yang tinggi, dia telah dapat memulihkan pula jalan darahnya. Ia menjadi merah mukanya. Tahulah Hwesio itu bahwa pemuda lawannya benar-benar tidak mempunyai keinginan bermusuhan, karena kalau saja lawannya mau, sambungan sikunya tadi bisa ditotok sampai terlepas

   "Omitohud! Ilmu Pedang dari Ang-Bin Sin-Kai benar-benar hebat, pinceng kagum dan takluk. Lebih hebat lagi kau yang masih begitu muda sudah memiliki kepandaian yang tinggi, Lu-Sicu,"

   Katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada.

   "Cianpwe terlalu memuji. Kalau Cianpwe tidak berlaku mengalah, mana boan-pwe Sanggup menandingi ilmu Pedang dari Bu-Tong-Pai yang demikian lihai?"

   Jawab Kwan Cu. Untuk sikap orang yang demikian merendah, jujur dan baik, tentu saja dia tidak berani berlaku kasar. Tiba-tiba Tosu yang seorang lagi menggerakkan lengan bajunya dan sekali melompat dia telah berada di depan Kwan Cu. Berbeda dengan Bian Ti Hosiang, Tosu ini tidak minta perkenan dari Kiam Ki Sianjin, melainkan terus saja menantang Kwan Cu.

   "Eh, anak muda. Kau diberi hati menjadi makin sombong. Cobalah kau menghadapi Pinto untuk beberapa belas jurus."

   Melihat cara Tosu ini melompat, Kwan Cu maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli Lweekang yang telah memiliki ginkang luar biasa sekali. Pemuda itu menghadap kepada Kiam Ki Sianjin dan bertanya,

   "Kiam Ki Sianjin, siapakah adanya Totiang ini?"

   Ia tidak mau langsung bertanya kepada Tosu itu, karena untuk sikap yang kasar dan memandang rendah Kwan Cu juga mengimbanginya.

   "Lu-Sicu, dia ini adalah Bin Hong Siansu, tokoh terkenal dari Kim-San-Pai."

   Kwan Cu terkejut. Ia sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu silat partai persilatan Kim-San-Pai.

   "Sudah lama aku mendengar bahwa Bin Kong Siansu Ketua Kim-San-Pai adalah seorang tua yang bijaksana yang patut menjadi Locianpwe, tidak tahu ada hubungan apakah Totiang ini dengan Bin Kong Siansu?"

   Melihat pemuda itu tidak langsung bicara dengan dia, Bin Hong Siansu menjadi mendongkol sekali. Ia membentak keras,

   "Bin Kong Siansu adalah Suhengku. Kulihat tadi kepandaianmu mengandalkan ginkang yang tinggi, marilah kita main-main sebentar dengan tangan kosong untuk menguji apakah kau dapat menandingi ilmu silat dari Kim-San-Pai."

   "Bin Hong Siansu, bukan aku yang menghendaki pertandingan, melainkan kau sendiri. Majulah!"

   Kwan Cu menantang dan cara dia bicara berbeda dengan ketika dia menghadapi Bian Ti Hosiang, karena dia sudah merasa mendongkol melihat sikap Tosu ini. Bin Hong Siansu bertubuh jangkung kurus dan jenggotnya panjang sekali. Dengan senyum mengejek dia lalu memasang kuda-kuda, kaki kirinya diangkat sedikit di depan tubuh, tangan kirinya dipentang jauh dan tangan kanan dikepal, ditaruh di pinggang.

   Inilah pembukaan dari Ilmu Silat Hek-Tiauw-Hoat (Ilmu Silat Rajawali Hitam). Kwan Cu tidak mengenal ilmu silat ini akan tetapi dengan tabah sekali pemuda ini lalu meniru pembukaan itu dan menanti penyerangan lawan dalam keadaan seperti itu! Bin Hong Siansu melihat sikap pemuda ini menjadi amat mendongkol dan gemas. Pembukaannya itu bukanlah kuda-kuda biasa, melainkan sikap penyerangan yang amat berbahaya. Lawan yang menghadapinya dengan kuda-kuda biasa, betapapun tangguhnya, akan dapat dia serang dengan hebat dan jarang sekali serangannya ini gagal. Akan tetapi pemuda ini secara main-main telah berani meniru pembukaan ilmu silatnya, tanda bahwa pemuda itu hendak mempermainkannya dan memandang rendah.

   "Awas batok kepalamu!"

   Bentaknya keras dan tiba-tiba tangan kirinya yang tadi dipentang melakukan serangan, memukul miring dari atas menuju kepala Kwan Cu. Akan tetapi dengan diam-diam dan cepat sekali melebihi kecepatan pukulan pertama, kepalan tangan kananlah yang merupakan serangan penyebar maut, karena tangan kanan ini memukul ke arah ulu hati Kwan Cu, siap dibuka untuk mencengkeram apabila pukulan itu dielakkan atau ditangkis!

   Kwan Cu belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian Tosu ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepandaian Tosu ini cukup tinggi, maka dia tidak berani berlaku gegabah. Serangan itu tidak disambutnya, melainkan dielakkannya sambil meloncat mundur sejauh satu tombak. Akan tetapi, bagaikan bayangannya sendiri, tahu-tahu Tosu itu telah meloncat pula dan menyerang terus lebih hebat dan cepat! Kwan Cu terkejut. Ginkang Kakek ini benar-benar sudah lihai sekali, namun dia tidak gentar. Ia mengelak terus dan bahkan menguji kecepatan Kakek itu tanpa membalas serangan. Maka berputaranlah dua orang itu, berloncat-loncatan ke sana ke mari. Kwan Cu yang mengelak meloncat mundur atau ke samping, sedangkan Bin Hong Siansu yang menyerang tentu saja meloncat ke depan. Namun jarak mereka masih saja sama, belum pernah satu kalipun serangan Tosu itu mengenai tubuh Kwan Cu.

   Bagi orang lain yang tidak memiliki kepandaian tinggi, apabila melihat mereka berdua, tentu mengira bahwa mereka hanya main loncat-loncatan saja, akan tetapi sesungguhnya, Kwan Cu dihujani serangan. Akan tetapi, bagi Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang, mereka kagum sekali karena dalam gerakan-gerakan ini, terbukti bahwa ginkang dari pemuda itu memang lebih tinggi daripada ginkang Bin Hong Siansu. Biarpun pemuda itu meloncat sambil mundur atau menyamping, namun Tosu itu yang meloncat ke depan ternyata tak pernah berhasil menyerangnya! Hal ini sudah merupakan sesuatu yang aneh dan luar biasa. Bin Hong Siansu mempunyai julukan Bu-Eng-Sian (Dewa Tanpa Bayangan) dan dari julukannya saja sudah dapat diduga bahwa ginkangnya luar biasa tingginya. Namun menghadapi pemuda itu Dewa Tanpa Bayangan ternyata kalah gesit!

   "Bocah Siluman, kau pengecut!"

   Tiba-tiba Bin Hong Siansu menghentikan serangannya dan tidak mengejar lagi.

   "Kalau kau memang laki-laki terimalah seranganku, jangan hanya melarikan diri!"

   
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kwan cu Tersenyum mengejek.

   "Hanya sampai di situ sajakah keuletanmu? Kau ingin aku membalas dan menyambut seranganmu? Baik, terimalah!"

   Dan pemuda itu lalu mulai menyerang Bin Hong Siansu kini dia tidak mau meniru-niru lagi melainkan cepat menggerakkan kedua tangan memainkan ilmu silatnya Pek-In Hoat-Sut!

   Melihat datangnya pukulan tangan kanan Kwan Cu lambat saja dan merupakan ilmu pukulan biasa Bin Hong Siansu mengeluarkan suara menghina dari hidungnya. Memang dia belum pernah melihat Pek-In Hoat-Sut, dan bukan dia saja, orang-orang kang-ouw juga jarang atau tidak pernah melihat ilmu silat ini. Hanya Kiam Ki Sianjin seorang yang pernah melihat, bahkan merasai kelihaian ilmu pukulan itu. Melihat datangnya pukulan lambat-lambat, Bin Hong Siansu lalu membentak keras dan menggunakan ujung lengan bajunya yang kiri mengebut tangan itu, mengarah urat nadi di pergelangan tangan lawan.

   "Brettt!"

   Terdengar suara kain pecah dan ujung lengan baju itu hancur, robekan kain beterbangan ke sana sini ketika ujung lengan baju itu mendekati lengan tangan Kwan Cu yang telah mengebulkan uap putih. Bukan kepalang kagetnya Tosu itu. Ujung lengan bajunya belum menyentuh tangan pemuda itu, bagaimana bisa hancur dan robek-robek?

   "Ilmu Siluman"!"

   Teriaknya dan dia menendang cepat-cepat dengan kakinya. Akan tetapi, Kwan Cu sudah menjadi marah sekali mendengar hinaan dan melihat kesombongan Tosu itu. Ia mengubah ilmu silatnya dan kini menggunakan jurus ke dua puluh satu dari Kong-Ciak Sin-Na. Tangan kanannya menotok ke arah kaki yang menendang, sedangkan tangan kirinya menyambar ke arah muka Bin tiong Siansu. Tosu itu cepat menarik kembali kakinya, akan tetapi dia segera menjerit,

   "Aduuuhhh"

   Kurang ajar kau...!"

   Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang terdengar tertawa geli. Apakah yang telah terjadi? Ternyata bahwa tangan kiri pemuda itu telah mencengkeram dan mencabut sebagian dari jenggot yang panjang di dagu Bin Hong Siansu! Biarpun dia marah sekali sehingga kepalanya terasa pening, namun Tosu itu adalah seorang yang dapat melihat keadaan. Kalau tadi lawannya mau, tentu tangan kirinya, bukan mencabut jenggot melainkan melakukan pukulan yang berbahaya dan dia takkan dapat mengelaknya. Maka sambil menggigit bibirnya yang menjadi pucat, dia berkata,

   "Kau telah menghinaku, lain kali Kim-San-Pai akan mencarimu!"

   Setelah berkata demikian, Tosu itu menjura kepada Kiam Ki Sianjin dan berkata,

   "Kiam Ki Toyu, urusan kita telah selesai dan kita akan saling bertemu lagi bulan lima hari ke lima belas sebagaimana yang sudah kita tentukan bersama. Selamat tinggal dan kau juga, Bian Ti Hosiang, sampai jumpa kembali di puncak Tai-Hang-San."

   Sekali lagi Tosu ini memandang kepada Kwan Cu dengan mata mendelik, kemudian dia lalu melompat keluar dari ruangan itu dan lenyap di dalam gelap. Bian Ti Hosiang juga merangkapkan kedua tangan di depan dada, berkata dengan suara tenang,

   "Pinceng juga masih ada urusan lain, Kiam Ki Toyu, terima kasih atas segala perhatianmu. Sampai bertemu di Tai-Hang-San pada waktu yang sudah ditentukan."

   Hwesio ini berpaling kepada Kwan Cu dan berkata.

   "Orang muda, pinceng telah mendapat pengalaman baru setelah bertemu denganmu, terima kasih!"

   Lalu dia pun melompat keluar sambil menggerakkan lengan bajunya. Mendengar ucapan dua orang tokoh kang-ouw itu, Kwan Cu tertarik hatinya.

   "Kiam Ki Sianjin, ada apakan di puncak Tai-Hang-San pada bulan lima hari ke lima belas?"

   Kiam Ki Sianjin merasa ragu-ragu untuk menjawab, kemudian dia tersenyum dan berkata,

   "Akan ada musyawarah besar di antara tokoh-tokoh sedunia."

   "Musyawarah tentang apa?"

   "Akan diputuskan tentang pendirian semua partai mengenai permusuhan antara mereka yang membantu pemerintah dan yang membantu Rakyat yang memberontak. Kau hendak mencari Jeng-Kin-Jiu, Hek-I Hui-Mo dan Toat-Beng Hui-Houw? Nah, di puncak itulah kau akan menjumpai mereka."

   Berdebar hati Kwan Cu. Ia setengah percaya akan keterangan ini, akan tetapi dia tidak perlu menyelidiki kebenaran omongan itu.

   "Terima kasih,"

   Katanya sambil bertindak pergi.

   "Juga terima kasih atas keteranganmu tentang keturunan An Lu-Shan. Aku akan mencari An Kai Seng."

   Kiam Ki Sianjin tertawa senang.

   "Terima kasih kembali, Lu-Sicu. Kau sudah berjasa untukku."

   Tanpa mempedulikan kata-kata ini, Kwan Cu lalu melompat dan ketika dia sampai di tembok istana, dia mendengar suara ribut-ribut. Mengertilah dia bahwa orang-orang telah menemukan mayat An Lu Kui dan An Kong.

   Bun Sui Ceng sebenarnya telah lebih dulu sampai di Kota Raja daripada Kwan Cu. Akan tetapi gadis ini tidak segera mencari keluarga An Lu Shan untuk dibasminya sebagaimana telah dipesankan oleh Menteri Lu Pin. Dia seorang gadis yang amat hati-hati dan setelah kehilangan Pedangnya, ia ingin mencari senjata dulu, akan tetapi bukan sembarang Pedang. Untuk keperluan ini, beberapa malam ia telah menggeledah rumah-rumah Bangsawan di Kota Raja untuk mencari kalau-kalau di antara mereka ada yang mempunyai Pedang Pusaka. Usahanya sia-sia belaka dan sampai lima hari ia tidak berhasil. Hatinya kesal sekali dan pada hari ke lima itu, ia memasuki sebuah restoran besar. Sambil makan masakan mahal yang dipesannya, ia mendengar dari seorang pelayan tua yang suka mengobrol tentang keadaan di Kota Raja, terutama sekali mengenai diri keluarga istana.

   Terkejutlah Sui Ceng ketika mendengar bahwa putera An Lu Shan telah tewas dan kini yang menjadi orang paling berkuasa di Kota Raja adalah Si Su Beng. Kemudian secara halus dan tidak kentara, Sui Ceng dapat memancing pelayan itu untuk bercerita tentang gudang senjata di mana tersimpan banyak senjata-senjata Pusaka dari Kerajaan Tang. Girang hati Sui Ceng bukan kepalang. Malamnya ia lalu pergi masuk ke dalam istana dan berhasil mencuri sebatang Pedang dari gudang senjata. Pedang ini biarpun bukan Pusaka yang ampuh, namun merupakan Pedang panjang yang amat baik, terbuat daripada logam putih seperti perak. Dengan girang ia lalu membawa Pedang itu dan cepat didatanginya seorang tukang pandai pembuat Pedang untuk membeli sarung Pedang baru.

   Ia bukan seorang bodoh dan tidak nanti ia mau menggunakan sarung Pedang aselinya karena hal ini tentu hanya akan mendatangkan keributan belaka. Setelah dimasukkan ke dalam sarung Pedang baru, ia berani menggantungkan Pedang itu di pinggangnya. Pada keesokan harinya, kembali ia mendatangi rumah makan itu untuk mendengar berita. Benar saja, pelayan tua itu sudah siap pula dengan cerita barunya, yakni tentang keributan di istana karena ada Pedang yang tercuri. Pelayan itu tidak mencurigai Sui Ceng, karena dia sudah dapat menduga bahwa gadis ini adalah seorang gadis pendekar yang sikapnya halus dan sopan, jadi terang seorang pendekar budiman. Pula, tentang pencurian dari gedung senjata bukan merupakan hal yang aneh.

   "Sudah sering kali terjadi senjata-senjata lenyap dari gedung senjata itu, Nona. Padahal jendela dan pintunya tidak terbuka."

   Kemudian disambungnya dengan suara berbisik.

   "Dan kabarnya, senjata-senjata itu kemudian terlihat dipergunakan oleh Pemimpin-Pemimpin Pejuang Rakyat!"

   Kata-kata ini membuat Sui Ceng suka sekali kepada pelayan tua itu, karena ia maklum bahwa biarpun bekerja di rumah makan Kota Raja, di dalam hatinya Kakek ini bersimpati terhadap perjuangan Rakyat! Tiba-tiba. terdengar suara orang di pintu luar.

   "He, pelayan, sediakan meja dan masakan yang paling enak di rumah makan ini. Perutku lapar sekali!"

   Pelayan tua itu menengok dan dia tertegun, demikian pula Sui Ceng. Yang datang itu bukanlah tamu kaya atau seorang Bangsawan, melainkan seorang pemuda yang berpakaian seperti Pengemis, celananya tambal-tambalan, bajunya sudah butut, rambutnya dipotong pendek dan berdiri bagaikan rambut landak,

   Demikian pula jenggotnya dipotong pendek dan kelihatan keras seperti jarum-jarum. Kalau pelayan itu tercengang melihat seorang berpakaian miskin seperti itu memesan masakan yang paling enak, adalah Sui Ceng tertegun melihat sikap orang ini. Baru keadaan luarnya saja sudah aneh. Orangnya begitu muda, wajahnya tampan sekali. Akan tetapi rambut dan jenggotnya betul-betul mengerikan dan tak terasa pula Sui Ceng meraba pipi dan dagunya. Melihat cambang seperti itu ia merasa mukanya gatal-gatal dan geli. Akan tetapi sepasang mata pemuda aneh itu bersinar-sinar mengeluarkan cahaya, tanda bahwa dia memiliki kepandaian tinggi. Pelayan tua itu, benar seperti dugaan Sui Ceng, adalah seorang yang simpati kepada perjuangan Rakyat. Melihat pemuda ini, setelah ragu-ragu sebentar, dia lalu cepat-cepat maju menghampiri dan dengan hormat dia menjura.

   "Sicu, selamat datang dan silakan duduk. Aku akan segera memesankan masakan untukmu. Perlukah aku mengeluarkan arak wangi? Akan tetapi harganya agak mahal, seguci harganya..."

   "Tak peduli berapa harganya keluarkan saja. Cukup ini untuk membayarnya?"

   Pemuda itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong uang emas yang besarnya sama dengan tiga jari tangan. Pelayan itu tertegun dan wajahnya berseri. la tadinya khawatir kalau-kalau orang ini adalah seorang kang-ouw kasar yang akan makan tanpa membayar sehingga takut kalau terjadi keributan di situ. Akan tetapi melihat uang emas ini, lenyap kecurigaannya dan cepat-cepat dia berkata,

   "Sicu, simpan kembali uangmu. Aku percaya kepadamu. Memperlihatkan emas di muka umum, hanya memancing datangnya pencopet dan Perampok."

   Pemuda itu menyimpan emasnya dan tersenyum menyindir.

   "Segala macam pencopet, maling dan Perampok kecil siapakah yang takut? Nona itu biarpun hanya seorang gadis, tidak takut rampok, apalagi aku seorang jantan!"

   Katanya sambil mengerling seleretan ke arah Sui Ceng lalu membuang muka lagi. Sui Ceng mengerutkan kening dan tadinya mengira bahwa pemuda ini kurang ajar, akan tetapi karena pemuda itu tidak terus memandangnya, ia tidak jadi marah dan perhatiannya tercurah kepada pemuda aneh ini. Tak lama kemudian, pelayan tua mengeluarkan hidangan yang serba enak. Pemuda seperti Pengemis itu lalu makan dan minum dengan lahapnya. Pelayan tua melayani tamu-tamu lain yang duduk meja jauh dari tempat itu. Sambil makan minum, pemuda Pengemis itu mengegerutu seorang diri,

   "Tunggu saja, jahanam she Lu! Kau boleh pergi bersembunyi akan tetapi besok pagi tentu kepalamu akan hancur oleh pukulanku! Tunggu saja, aku akan menenggak darahmu seperti ini!"

   Ia minum arak dari cawannya.

   "Aku akan menusuk matamu seperti ini!"

   Dan ditusukkan sumpitnya pada bakso besar lalu dimasukkan ke dalam mulut. Kalau saja pemuda aneh itu tidak menyebut nama orang she Lu, tentu Sui Ceng akan merasa geli dan lucu melihat perbuatan dan mendengar kata-katanya. Akan tetapi she yang disebut oleh pemuda itu membuat hatinya berdebar.

   Bukankah yang dimaksudkan oleh pemuda itu adalah Lu Kwan Cu? Dengan hati tertarik sekali, setelah pemuda itu membayar makanan dan meninggalkaa restoran, gadis itu pun membayar dan cepat ia mengikuti pemuda itu. Dari jauh ia melihat pemuda itu menuju ke luar Kota Raja melalui pintu Barat dan segera berjalan masuk ke dalam sebuah kelenteng kuno yang sudah rusak yang berada di pinggir jalan. Di depan kelenteng itu banyak sekali terdapat Pengemis-Pengemis dan melihat pemuda ini masuk, para Pengemis tua muda lalu bangun berdiri dan memberi hormat. Pemuda itu mengangguk ke kanan kiri lalu mengeluarkan uang perak pengembalian uang emasnya, lalu melemparkan uang itu kepada mereka. Para Pengemis lalu membagi rata uang itu dengan wajah girang.

   "Hm, siapakah dia? Sikapnya mencurigakan sekali, akan tetapi aku tidak dapat berbuat sesuatu sebelum dia melakukan apa-apa. Benarkah dia mengancam Kwan Cu? Aku harus mengawasi orang ini,"

   Pikir Sui Ceng. Malam itu kembali Sui Ceng menganggur saja. Ia sudah mendapatkan Pedang yang cukup lumayan, akan tetapi karena ia tertarik oleh pemuda jembel itu, ia menunda maksudnya untuk memasuki istana.

   Ia pun sudah mendengar bahwa keluar An Lu Shan yang masih ada hanyalah Panglima An Lu Kui dan Pangeran An Kong. Akan tetapi baginya, pemuda jembel itu lebih menarik untuk diselidiki, karena siapa tahu kalau-kalau pemuda jembel itu merupakan ancaman bagi Kwan Cu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi Sui Ceng sudah berada di luar Kota Raja dan cepat-cepat ia bersembunyi ketika melihat pemuda jembel itu keluar dari kelenteng dan berjalan dengan gagah ke arah Kota Raja, dan langsung menuju ke restoran besar. Sui Ceng mendahului dan masuk ke dalam restoran, memesan teh hangat. Seperti kemarin, pemuda jembel itu memesan makanan dan arak. Ketika pemuda jembel itu tengah makan minum, Sui Ceng yang sengaja duduk di pojok agak jauh, mendengar berita baru yang amat menggemparkan dari pelayan tua.

   "Semalam terjadi hal yang amat aneh, An-Ciangkun dan An-Siauw-Ongya telah dibunuh orang!"

   Sui Ceng hampir melompat dari bangkunya.

   "Kau maksudkan An Lu Kui dan An Kong?"

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Jangan keras-keras, Nona. Kalau terdengar orang lain kita celaka."

   Tiba-tiba terdengar suara ketawa berkakakan. Ternyata pemuda jembel itu yang tertawa. Akan tetapi dia tidak menengok ke arah Sui Ceng yang duduk di belakang.

   "Anjing-anjing penjilat mampus! Ha, ha, ha, kalau daging mereka itu dimasak, biarpun semangkok harganya seribu tail akan kubeli juga. Ha, ha, ha!"

   Sui Ceng memberi tanda kepada pelayan tua untuk pergi dan ia lalu keluar dari restoran itu. Akan tetapi gadis ini menyelinap dan bersembunyi di balik rumah, tidak berjauhan dari restoran itu. Setelah melihat pemuda jembel itu berjalan keluar, dia

   (Lanjut ke Jilid 28)

   Pendekar Sakti/Bu Pun Su Lu Kwan Cu (Seri ke 01 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28

   mengikutinya dari jauh. Pemuda itu berjalan terus, menuju ke Timur dan setelah tiba di depan sebuah rumah gedung yang amat besar dan mentereng, dia lalu masuk ke dalam pekarangan rumah dengan langkah lebar dan muka berseri seakan-akan dia memasuki rumahnya sendiri! Sui Ceng terheran-heran. Ia melihat tiga orang pelayan memburu keluar dan membentak.

   "Pengemis jembel, sudah berkali-kali kami katakan bahwa majikan kami sedang keluar. Hayo pergi sebelum kami menyeretmu keluar!"

   Pengemis muda itu tertawa bergelak.

   "Sekarang aku tidak percaya. Pergilah kalian!"

   Sambil berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat dan tahu-tahu tiga orang pelayan itu terlempar tiga tombak lebih dan jatuh dengan kepala benjut dan tulang patah. Mereka tak dapat berdiri lagi, mengaduh-aduh dan mengelus-elus kepala serta bagian tubuh yang terbanting keras. Sui Ceng cepat menyelinap ke belakang gedung dan sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang naik ke atas genteng. Ia hendak mengintai apa yang akan terjadi di rumah gedung itu dan ia merasa kagum melihat kelihaian Pengemis muda itu yang sekali bergerak telah dapat melontarkan tiga orang pelayan yang tinggi besar itu!

   "Dia lihai sekali. Siapakah dia dan apa yang dicarinya di gedung ini?"

   Tak lama kemudian Sui Ceng melihat dua orang mendatangi ke rumah itu dari dua jurusan. Yang seorang adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan, datang dari sebelah kiri rumah dan kedatangannya amat mencurigakan karena pemuda ini melompat turun dari sebuah pohon yang tumbuh di pinggir rumah! Agaknya, seperti juga Sui Ceng, telah semenjak tadi pemuda itu mengintai di situ. Orang ke dua adalah seorang laki-laki muda pula, tubuhnya nampak kuat dan dadanya bidang, kepalanya besar dan sikapnya angkuh.

   Pemuda ini datang dari luar pintu dan di belakangnya ikut tiga orang pelayan yang jalan terpincang-pincang. Pada saat itu, terdengar suara bentakan keras dan dari dalam rumah keluarlah pemuda jembel dengan sikap mengancam. Mukanya menjadi keras dan menyeramkan dan dengan tindakan lebar dia langsung menghampiri pemuda yang baru datang dari luar. Sui Ceng berdebar hatinya. Apakah yang akan terjadi? Siapakah tiga orang muda yang kelihatannya lihai-lihai dan yang sama sekali belum dikenalnya itu? Gadis ini karena tahu bahwa orang-orang yang di bawah amat lihai, dengan hati-hati lalu mendekam di atas genteng dan mengintai dari wuwungan. Orang yang melihat gadis itu mendekam di situ tentu akan merasa ngeri kalau-kalau ia akan jatuh dari tempat yang amat tinggi itu.

   "Hm, inikah Perampok jembel yang telah mengacau rumahku?"

   Bentak pemuda yang bertubuh gagah. Pengemis muda itu kini sudah berdiri berhadapan dengan pemuda tuan rumah Mereka saling pandang seperti dua ekor jago berlaga hendak bertanding.

   "Ha, ha, ha, kau kah yang bernama Lu Thong? Pantas saja, sesuai dengan mukamu yang seperti anjing, ternyata kau memang anjing penjilat, tidak malu menjilati darah keluarga sendiri dan pantat dari Bangsat Penjajah. Sekarang aku datang, mukamu yang seperti anjing itu harus dibikin rusak!"

   Terdengar suara ketawa dan ternyata pemuda tampan yang tadi melayang turun dari atas pohon tertawa sambil mendekap mulutnya.

   "Ha, tepat sekali makian itu...

   "

   Katanya. perlahan, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh pemuda jembel, tuan rumah yang bukan lain adalah Lu Thong sendiri, dan juga oleh Sui Ceng. Akan tetapi oleh karena pemuda jembel dan Lu Thong sudah berhadapan mereka tidak menghiraukan ejekan pemuda tampan itu.

   "Bangsat busuk, siapakah kau? Kau kira akan mudah saja berlagak di depan Lu Thong? Kau sudah bosan hidup agaknya!"

   "Kau mau tahu namaku? Aku adalah Han Le, murid dari Ang-Bin Sin-Kai! Aku mendengar tentang nasib keluarga Menteri Lu Pin, akan tetapi kau sebagai keturunan terakhir bukannya bersakit hati terhadap Penjajah, bahkan menjilat-jilat untuk mendapat sesuap nasi. Benar-benar anjing busuk!"

   Kata pemuda Pengemis itu yang bernama Han Le.

   "Aha, kiranya Ang-Bin Sin-Kai masih mempunyai murid lain. Kau memang patut menjadi murid jembel itu. Agaknya dia telah memberi pelajaran kepadamu bagaimana caranya menjadi jembel busuk!"

   Lu Thong memaki lalu menyerang dengan hebatnya. Lu Thong adalah murid Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu, dia memiliki tenaga besar sekali. Akan tetapi karena dia pernah menerima ilmu pukulan yang hebat dari Ang-Bin Sin-Kai, yakni Ilmu Silat Kong-Jiu Toat-Beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), dia segera mempergunakan ilmu silat ini untuk menyerang pemuda jembel yang mengaku sebagai murid Ang-Bin Sin-Kai. Han Le cepat mengelak sambil memaki,

   "Kau menggunakan Ilmu Silat Kong-Jiu Toat-Beng? Sungguh tidak tahu malu!"

   Pemuda ini pun lalu mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi lawannya. Segera mereka bertempur hebat sekali. Kepandaian mereka berimbang, demikian pula tenaga dan kegesitan mereka.

   Sungguh hebat gerakan setiap serangan mereka sehingga Sui Ceng yang berada di atas genteng masih dapat merasai sambaran angin pukulan yang dahsyat. Hati Sui Ceng berdebar. Tanpa disengaja ia telah menyaksikan pertempuran antara murid-murid dua orang tokoh besar. Memang, baik Lu Thong maupun Han Le telah mewarisi kepandaian Guru mereka sehingga mereka itu kini seakan-akan mewakili Jeng-Kin-Jiu dan Ang-Bin Sin-Kai untuk melanjutkan pertempuran-pertempuran antara dua orang Kakek itu yang dahulu dilakukan sering kali, akan tetapi keduanya sama kuat dan tidak ada yang pernah kalah. Sayangnya, akhir-akhir ini Ang-Bin Sin-Kai terpaksa tewas karena keroyokan. Kalau hanya Jeng-Kin-Jiu yang menyerangnya, agaknya sehari semalam keduanya tidak akan kalah atau menang.

   Seratus jurus telah berlalu dan keduanya masih belum ada yang dapat mendesak lawan. Dari atas genteng, sui Ceng tiada habisnya mengagumi pertempuran di bawah itu. Memang jembel itu adalah seorang ahli Lweekang dan ilmu silatnya selalu berdasarkan tenaga dalam yang dahsyat. Sebaliknya, Lu Thong memiliki ilmu silat yang kuat sekali, dan dia adalah seorarg ahli Gwakang yang telah mencapai tingkat tinggi sehingga dia dapat mengimbangi kepandaian lawannya. Sistem yang dipergunakan oleh Lu Thong adalah tenaga keras menindih yang lemah, sebaliknya Han Le mempergunakan kehalusan dan kelemasan Lweekang untuk memunahkan tenaga kasar. Akan tetapi, biarpun kedua orang muda itu belum dikenalnya, sekali mendengar percakapan antara mereka tadi, simpati Sui Ceng terjatuh kepada pemuda jembel itu.

   Betapa tidak? Han Le adalah murid dari Ang-Bin Sin-Kai, seorang tokoh besar yang telah tewas sebagai seorang gagah pembela perjuangan Rakyat. Adapun Lu Thong adalah murid Jeng-Kin-Jiu yang telah membantu Penjajah, apalagi kalau diingat bahwa Lu Thong, adalah cucu dari Lu Pin yang telah dibinasakan seluruh keluarganya oleh Penjajah, kini pemuda mewah ini bahkan menjadi kaki tangan Penjajah. Tiba-tiba Han Le mengubah ilmu silatnya dan kini gerakannya amat aneh dan sukar diduga lebih dulu. Benar saja, setelah pemuda jembel ini mengeluarkan ilmu silatnya yang amat aneh itu, Lu Thong terdesak hebat dan selalu menangkis atau mengelak, main mundur terus. Sui Ceng merasa girang melihat ini dan yang lebih aneh lagi, pemuda tampan yang juga menonton seperti dia dan semenjak tadi tersenyum-senyum sekarang bertepuk tangan memuji,

   

Pendekar Kelana Eps 10 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 16 Kumbang Penghisap Kembang Eps 18

Cari Blog Ini