Ceritasilat Novel Online

Dara Baju Merah 15


Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



"Hee! Mengapa ke kiri? Jalan ke Kota Raja adalah terus ke utara!"

   Tiba-tiba pasukan itu bergerak dan lebih dari lima puluh batang tombak panjang ditodongkan ke arah Im Giok! Terdengar Lie Kian Tek tertawa bergelak.

   "Gan Tiauw Ki, kalau kau ingin selamat, keluarkan surat dari Suma-Huciang untuk Kaisar dan berikan kepadaku!"

   Kata putera gubemur itu. Im Giok terkejut. Ia kini dapat menduga kesemuanya. Tak salah lagi bahwa Suma-Huciang tentu dibunuh oleh kaki tangan orang she Lie ini dan kini teringatlah ia akan tiga orang wanita yang telah bertempur dengannya tadi. Besar sekali kemungkinannya bahwa tiga orang wanita itulah yang membunuh Suma-Huciang dan mereka itu tentu kaki tangan orang she Lie ini pula.

   Kemudian Lie Kian Tek sengaja menuduh Gan Tiauw Ki dan dia sehingga para Perwira di Tiang-Hai dapat ditipunya dan diajak menangkap Tiauw Ki. Kemudian putera gubemur yang amat licin itu sengaja menyuruh Sin-Touw-Ong dan lain Perwira dari Tiang-Hai untuk kembali ke Tiang-Hai dan memberi tahu bahwa dia hendak mengantar Tiauw Ki ke Kota Raja untuk diadili! Hemm, kalau dilihat begini, ternyata bukan Lie Kian Tek yang bodoh, melainkan Tiauw Ki dan dia yang mudah ditipu dan sebaliknya orang she Lie itu ternyata cerdik dan penuh siasat! Im Giok mencabut pedangnya, akan tetapi segera belasan ujung tombak yang runcing telah menempel di tubuhnya dari kanan kiri dan depan belakang, demikian pula tubuh Tiauw Ki telah ditodong oleh belasan mata tombak! Kembali terdengar Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.

   "Ha-ha-ha, Nona manis! Sebelum kau bergerak, kau dan sahabatmu ini akan menjadi mayat. Gan Tiauw Ki, lekas kau menjawab, pesanan apa yang kaudapat dari Suma-Huciang untuk Kaisar!"

   Sudah gatal-gatal mulut Tiauw Ki untuk mengumpat caci putera gurbernur itu. Ia tidak takut mati dalam menunaikan tugasnya. Akan tetapi pemuda ini menengok ke arah Im Giok dan gemetarlah seluruh tubuhnya.

   "Lie Kian Tek, kau bebaskan dulu Nona itu. Biarkan dia pergi dari sini. Dia tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kita dan dia bersamaku hanya kebetulan saja. Bebaskan dia dan aku akan mengaku semuanya kepadamu."

   "Bebaskan dia? Ha-ha, kau kira aku begitu bodoh? Kalau dia dibebaskan tentu dia akan menimbulkan keributan lagi."

   "Tidak! Aku yang tanggung dia tidak akan menimbulkan keributan,"

   Kata Tiauw Ki cepat-cepat dan pemuda ini menoleh kepada Im Giok sambil berkata.

   "Giok-moi, kuminta dengan sangat agar kau jangan mencampuri urusanku dan lebih baik kau segera pulang ke tempatmu sendiri."

   Im Giok menjadi pucat mukanya. Ia merasa menyesal dan kecewa sekali melihat betapa pemuda pujaan hatinya kini tiba-tiba menjadi begitu lemah, mudah saja hendak mengaku seakan-akan sudah takut akan kematian. Pemuda macam ini tidak patut menjadi kekasihnya dan ia merasa kecewa bukan main. Dua titik air mata membasahi matanya dan sudah akan menetes turun kalau saja tidak lekas-lekas ia mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaan.

   "Jadi kau hendak mengaku semuanya? Hemm, baiklah, antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi..."

   Katanya dengan suara sayu sambil memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang. Hatinya sakit bukan main. Ia bersiap-sedia mengorbankan nyawa untuk melindungi kekasihnya ini yang menunaikan tugas penting dan mulia. Tidak tahunya sekarang kekasihnya menggigil menghadapi ancaman tombak!

   "Lie Kian Tek, bebaskan dia!"

   Kata Tiauw Ki kepada putera gubemur itu tanpa mempedulikan sikap Im- Giok. Lie Kian Tek ragu-ragu. Ia tergila-gila kepada Im Giok dan mengaku di dalam hatinya bahwa ia jatuh cinta kepada gadis baju merah itu yang memiliki kecantikan begitu luar biasa sehingga baginya baru pertama kali ini selama hidupnya ia bertemu dengan gadis sejelita ini. Akan tetapi, ia pun perlu sekali memancing keterangan dari mulut Tiauw Ki tentang pesanan Suma-Huciang.

   "Lie Kian Tek, kalau kau tidak mau membebaskannya, jangan harap kau dapat mendengar pengakuanku!"

   Kata pula Gan Tiauw Ki kepada Lie Kian Tek. Tiba-tiba Im Giok menjadi marah dan ia memandang kepada Tiauw Ki dengan mata berapi.

   "Orang she Gan! kau kira aku takut mati? Tidak perlu keselamatanku ditebus oleh pengakuanmu! Kalau aku mau pergi, siapa berani menghalangiku?"

   Sambil berkata demikian, Im Giok menggerakkan kepala kudanya, menerjang para pengepungnya sehingga para anggauta pasukan itu cepat-cepat minggir.

   Mereka ini semua merasa lega bahwa Lie Kian Tek tidak memberi aba-aba sesuatu, karena semua pengepung, kecuali Cheng-Jiu Tok-Ong, merasa kagum dan sayang sekali kalau mereka harus turun tangan melukai gadis yang demikian cantik jelita. Ketika tadi mereka diharuskan menodongkan mata tombak kepada gadis itu, mereka merasa seolah-olah bersiap untuk disuruh merusak setangkai bunga yang amat cantik dan indah dipandang, bunga yang harum menimbulkan kasih sayang. Sebaliknya, Im Giok merasa makin mendongkol karena Lie Kian Tek ternyata diam saja. Ia sengaja berlaku begini untuk memancing supaya Lie Kian Tek mengeluarkan aba-aba menangkapnya dan ia akan mengamuk mati-matian.

   Memang Im Giok maklum bahwa seorang diri saja tidak mungkin ia dapat menang menghadapi Cheng-Jiu Tok-Ong yang dibantu oleh lima puluh orang perajuritnya. Akan tetapi untuk melindungi dan membela Tiauw Ki, ia siap mengorbankan nyawanya. Kemendongkolannya terutama sekali dikarenakan sikap Tiauw Ki yang seakan-akan hendak menolongnya dengan jalan menjadi pengkhianat! Memang sikap ini dapat dilakukan oleh seorang pemuda yang amat mencintanya, akan tetapi oleh Im Giok dianggap bukan perbuatan seorang gagah. Membela kekasih boleh dengan taruhan nyawa, akan tetapi sama sekali tidak boleh mempertaruhkan kesetian terhadap negara dan mempertaruhkan nama kehormatan! Kalau Tiauw Ki hendak menolongnya dengan jalan berkhianat, itu baginya bukan pertolongan, melainkan penghinaan besar!

   Sebagai seorang kepercayaan Kaisar, seorang pemuda yang berjiwa patriot, seharusnya Tiauw Ki mengerti baik akan hal ini. Maka dengan hati marah dan mendongkol Im Giok lalu membalapkan kuda meninggalkan tempat itu! Untuk sejenak Tiauw Ki memandang ke arah bayangan merah di atas kuda itu dengan muka pucat dan wajah muram. Akan tetapi setelah Im Giok tidak kelihatan lagi bayangannya, wajahnya menjadi tenang dan pemuda ini kelihatannya lega dan puas. Tadinya ia memang merasa sakit hati sekali melihat betapa Im Giok marah kepadanya, akan tetapi setelah gadis itu pergi hatinya terhibur. Biarlah, pikirnya, apapun juga yang menimpaku, asal dia itu selamat. Ia lalu memandang kepada Lie Kian Tek dengan mata bersinar dan mulut tersenyum mengejek.

   "Gan Tiauw Ki, dia telah kami bebaskan. Hayo kau lekas membuat pengakuanmu!"

   Kata putera gubemur itu. Ia ingin Tiauw Ki menjawab cepat-cepat karena masih ada harapan di dalam hatinya untuk nanti mengejar dan menawan bunga cantik itu! Sebaliknya dari menjawab cepat-cepat, Tiauw Ki tertawa bergelak.

   "Lie Kian Tek, kau telah menyuruh orang membunuh Suma-Huciang, kemudian kau menangkap aku dan memaksa aku mengaku tentang pesanan Suma-Huciang. Benar-benar perbuatanmu ini sudah melewati batas. Apakah kau tidak tahu apakah hukuman seorang Pemberontak?"

   "Bangsat besar!"

   Lie Kian Tek memaki dan tangannya menampar sehingga Tiauw Ki yang kena ditampar pipinya hampir saja terguling dari kudanya.

   "Jangan banyak cakap, kau ingin hidup atau mampus? Kalau ingin hidup, lekas kau mengaku!"

   Kembali Tiauw Ki tertawa dan bekas tamparan yang membuat pipinya menjadi matang biru itu tidak dirasakannya.

   "Pemberontak she Lie, kau kira aku tidak mengetahui akal bulusmu? Biarpun aku mengaku, kau tetap akan membunuhku juga."

   "Jahanam, apakah benar-benar kau tidak mau mengaku? Tadi kau sudah berjanji hendak mengaku kalau aku membebaskan perempuan itu. Aku sudah membebaskannya, kau tidak bisa melanggar janji."

   "Siapa yang melanggar janji? Lie-siauwjin (manusia rendah she Lie), aku seorang laki-laki sejati, tidak biasa melanggar janji. Dengarlah, Suma-Huciang berpesan kepadaku agar supaya terhadap manusia macam engkau aku menutup mulut dan jangan mengatakan apa-apa. Nah, begitulah pesannya kepadaku!"

   "Keparat, kau menipuku!"

   "Kau berani bicara tentang menipu? Kiranya aku hanya mencontoh perbuatanmu, orang she Lie. Kau membunuh Suma-Huciang lalu menghasut para Perwira Tiang-Hai dan menuduhku, kemudian kau menyuruh mereka kembali ke Tiang-Hai dan pura-pura hendak membawaku ke Kota raja, semua itu bukankah akal busuk dan tipuan jahat? Aku hanya minta kau membebaskan Kiang-siocia agar supaya ia selamat dari tanganmu yang kotor dan jahat! Kau mau apa? Mau membunuhku? Bunuhlah, memangnya aku takut mampus? Mau siksa? Hayo, kau boteh lakukan apa saja. Pendeknya yang nyata, Kiang-siocia selamat dan rahasia Suma-Huciang dengan Kaisar juga selamat!"

   Bukan main marahnya Lie Kian Tek. Tangannya yang memegang cambuk kuda diayun. Terdengar ledakan keras dan Tiauw Ki terguling dari kudanya. Ketika ia merayap bangun, jidat dan lehernya terdapat bekas cambukan, merah biru dan mengalirkan darah. Akan tetapi pemuda ini masih tetap tersenyum, matanya bersinar-sinar dan ia berdiri tegak menanti datangnya siksaan selanjutnya yang akan mengantar nyawanya ke tempat asal. Sedikit pun ia tidak mengeluh dan sedikit pun tidak takut.

   "Jahanam she Gan, kau masih tidak mau mengaku!"

   Lie Kian Tek melompat turun dari kuda, diikuti oleh para pembantunya. Kini pasukan itu mengundurkan kuda-kuda yang berada di situ dan duduk menonton mengelilingi Tiauw Ki merupakan lingkaran yang lebar. Tiauw Ki hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Lie Kian Tek menggulung lengan baju sebelah kanan dan menggenggam erat-erat gagang cambuknya.

   "Kau mau mengaku atau tidak?"

   Sekali lagi putera gubemur ini membentak Tiauw Ki yang berdiri di depannya hanya menggeleng kepala sambil tersenyum tabah. Lie Kian Tek mengangkat dan mengayun cambuknya.

   "Tar! Tar! Tar!"

   Tiga kali bertubi-tubi cambuk itu mengenai muka Tiauw Ki dan darah muncrat dari bibir dan hidung pemuda she Gan itu, namun ia masih berdiri tegak dan sedikit pun tidak mengeluh.

   "Jahanam, kau masih keras kepala?"

   Sekali lagi Kie Kian Tek mengayun cambuknya, kini ke arah mata Tiauw Ki.

   Tiauw Ki terhuyung dan sepasang matanya tak dapat dibuka lagi, pelupuk matanya menjadi bengkak! Lie Kian Tek terus memukul, bahkan kini tangan kirinya ikut meninju, maka robohlah Tiauw Ki. Biarpun menggeliat-geliat saking sakitnya, tidak sedikit pun pemuda ini mengeluh dan masih mencoba untuk berdiri. Akan tetapi ia jatuh lagi dan menunjang tubuh dengan kedua lengannya yang ditahan pada tanah. Pukulan cambuk masih menghujani tubuhnya dan pakaiannya bagian atas sudah robek dan hancur. Nampak kulit punggung dan dadanya yang putih dan kini darah memenuhi kulit itu, membasahi pakaiannya yang compang-camping. Akhirnya Lie Kian Tek menghentikan siksaannya. Diam-diam ia merasa ngeri juga melihat kekerasan hati Gan Tiauw Ki. Ia merasa lelah dan melempar cambuknya.

   "Bedebah, benar-benar menggemaskan!"

   Gerutunya.

   "Cheng-Jiu Tok-Ong Locianpwe, harap kau gantikan aku memaksa jahanam ini mengaku. Periksa dulu semua isi sakunya!"

   Cheng-Jiu Tok-Ong melangkah maju dan cepat mengeluarkan semua isi saku pakaian Tiauw Ki. Akan tetapi ia tidak mendapatkan sesuatu yang penting. Isi saku pemuda lni hanya dua buah kitab sajak beberapa helai kertas dan alat tulis dan akhirnya dari saku baju bagian dalam dikeluarkannya sebuah tusuk konde perak.

   "Kembalikan itu kepadaku!"

   Tiauw Ki berseru marah sambil mengulur tangan hendak merampas tusuk konde itu, benda keramat pemberian Im Giok. Akan tetapi mana dapat ia merampas benda yang berada di tangan Cheng-Jiu Tok-Ong? Sekali saja kakek itu menggerakkan tangan, Tiauw Ki telah didorong roboh dan benda ltu diberikan kepada Lie Kian Tek yang menerimanya sambil tersenyum mengejek,

   "Hemm, agaknya kau punya kekasih, ya? Bagus, apakah kau tidak ingin hidup untuk dapat bertemu dengan kekasihmu itu?"

   Sambil berkata demikian, Kian Tek menekuk-nekuk tusuk konde dan agaknya hendak ia patahkan. Terdengar gerengan marah dan tahu-tahu Tiauw Ki sudah menubruknya dan dengan nekad merampas kembali tusuk konde itu! Saking nekadnya, ia lupa akan segala dan kekuatannya bertambah. Hal ini tidak disangka oleh Lie Klan Tek dan kawan-kawannya sehingga Tiauw Ki yang lemah itu berhasil merampas kembali tusuk konde pemberian Im Giok.

   "Kau boleh merampas segala yang ada padaku, akan tetapi benda ini hanya akan berpisah denganku bersama nyawaku!"

   Kata Tiauw Ki sambil memegang tusuk konde itu dengan kedua tangannya dan menekannya di dekat dada kiri. Melihat kelakukan pemuda ini, Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.

   "Locianpwe, kau lah yang memaksa dia bicara. Kau tentu ada akal yang baik!"

   Katanya. Cheng-Jiu Tok-Ong menyeringai sambil menghampiri Tiauw Ki. Kakek ini mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan ternyata bahwa yang dikeluarkannya itu seekor ular berwarna hitam! Ular itu menggeliat-geliat diantara jari-jari tangannya dan lidah berwama kemerahan terjulur keluar masuk.

   "Orang she Gan, sekali aku melepas ular ini dan menggigitmu kau akan mengalami rasa nyeri yang tak pernah dialami orang lain. Tubuhmu akan sakit-sakit semua selama sehari penuh dan kau akan menderita sepenuhnya karena kau takkan pingsan atau mati sebelum sehari penuh. Maka lebih baik kau mengaku, rahasia apakah yang harus kau sampaikan kepada Kaisar. Kau hanya mengaku saja, tak seorang pun akan melihat atau mendengar pengakuanmu ini. Apa sih sukarnya?"

   "Siluman tua, aku tidak takut mati! Sejak semula aku tidak takut akan ancaman kalian dan tadi aku bersikap lemah hanya untuk memberi kesempatan kepada Giok-moi menjauhkan diri. Setelah dia selamat, keberanianku lebih besar lagi. Kau mau siksa, mau bunuh, mau apa pun, sesukamulah, aku tetap pada pendirianku. Aku seorang laki-laki dan kematian hanya berarti kebebasan daripada berdekatan dengan Siluman-Siluman macam kalian ini!"

   Wajah Cheng-Jiu Tok-Ong menjadi merah dan ia marah sekali.

   "Kau memang tidak boleh dikasihani. Rasakanlah hukumanku!"

   Akan tetapi pada saat itu, terdengar beberapa orang menjerit dan dua orang perajurit roboh ketika bayangan merah berkelebat menerjang lingkaran itu. Bayangan merah ini dengan gerakan luar biasa cepatnya telah tiba di dalam lingkaran dan sinar pedang yang berkilauan menyerang Cheng-Jiu Tok-Ong. Kakek ini terkejut dan dalam gugupnya ia menangkis dengan ular hitam tadi.

   "Crak!"

   Tubuh ular itu terbabat putus dan Cheng-Jiu Tok-Ong berseru marah.

   "Ang I Niocu, kau berani datang lagi?"

   Memang, yang datang itu adalah Im Giok. Dengan cepat gadis ini lalu melompat ke dekat Tiauw Ki dan berlutut. Air matanya mengucur deras ketika ia melihat keadaan pemuda itu yang memandangnya dengan bibir tersenyum.

   "Koko..."

   Katanya perlahan.

   "Giok-moi, mengapa kau kembali...?"

   "Koko, aku akan mencarikan kebebasan untuk kita berdua, kalau tidak... kita akan mati bersama."

   Im Giok merangkul leher pemuda yang sudah berlepotan darah itu dan Tiauw Ki mengeluarkan suara sedu sedan yang ditahan-tahannya. Ia terharu bukan main dan berbisik,

   "Terima kasih, Moi-moi, hati-hatilah..."

   Im Giok melepaskan pelukannya, lalu mendukung tubuh kekasihnya yang sudah lemas itu, disandarkannya di batang pohon yang tumbuh di situ. Semua orang melihat gerakan gadis ini dengan senjata siap-siap di tangan. Ada pula yang terharu menyaksikan adegan ini. Kemudian Im Giok berdiri, pedang melintang di dada, mata berapi-api dan ia berkata,

   "Sudah kulihat dan kudengar semua semenjak tadi. Lie Kian Tek, kau ternyata seorang pengkhianat dan Pemberontak yang berhati buas laksana srigala. Kau bebaskan Gan-Twako, atau aku akan membuka jalan darah! Andaikata gagal usahaku, aku dan Gan-Twako akan mati bersama di tempat ini, akan tetapi kiraku tidak sedikit orang-orangmu akan menghadap Giam-Kun (Malaikat Maut) lebih dulu sebelum aku roboh!"

   Memang, tadi setelah dengan hati gemas dan mendongkol Im Giok meninggalkan Tiauw Ki bersama pasukan Lie Kian Tek, di tengah jalan Im Giok merasa tidak enak hati dan menyesal. Ia sudah menyerahkan hatinya kepada Tiauw Ki dan ia sudah percaya betul akan sifat jantan dalam diri kekasihnya itu. Mengapa tiba-tiba Tiauw Ki berubah menjadi seorang pengecut? Mengapa Tiauw Ki tidak percaya kepadanya dan apakah artinya mati kalau tidak mati berdua? Mengapa Tiauw Ki menyuruhnya dan membiarkannya pergi dan mengalah hendak membuka rahasia, hendak menjadi seorang pengkhianat?

   "Tak mungkin! Tak mungkin dia mau berbuat itu,"

   Pikir Im Giok dan ia menghentikan larinya kuda. Setelah berpikir sejenak ia lalu melompat turun dari kudanya, menambatkan kendali kuda itu pada sebatang pohon dan berlarilah Im Giok ke tempat tadi. Ia mempergunakan ilmu lari cepat dengan kepandaiannya yang luar biasa ia dapat mendekati pasukan itu sambil bersembunyi dan menyelinap diantara pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu.

   Ia sempat menyaksikan Tiauw Ki disiksa dan sempat mendengarkan kata-kata Tiauw Ki, melihat pula betapa kekasihnya dengan nekat merampas kembali tusuk konde pemberiannya. Melihat semua ini, Im Giok tak dapat menahan mengalirnya air matanya. Tepat seperti yang diduganya, Tiauw Ki tadi hanya menipu Lie Kian Tek untuk kesempatan kepadanya menyelamatkan diri. Pemuda itu sama sekali bukan seorang pengecut dan sama sekali bukan pengkhianat, bahkan telah membuktikan bahwa dia seorang yang berani mati, seorang gagah dan yang mencintanya sampai di saat terakhir! Demikianlah, Im Giok lalu menghunus pedang dan menerjang masuk, dan kini ia menghadapi Lie Kian Tek dan pasukannya dengan sikap tenang dan gagah. Ia tidak takut apa-apa karena maklum bahwa andaikata ia gagal, ia akan mati bersama kekasihnya!

   "Kepung dan tangkap dia! Boleh lukai jangan bunuh!"

   Lie Kian Tek berseru dan serentak Im Giok dikepung, didahului oleh Cheng-Jiu Tok-Ong yang menyerang dengan golok hijaunya.

   Sekali lagi Im Giok mengamuk. Tubuhnya berkelebat merupakan bayangan merah, pedangnya menyambar-nyambar lebih dahsyat daripada amukannya yang sudah-sudah karena sekarang selain hati gadis ini amat sakit melihat kekasihnya tersiksa, juga ia nekad untuk mati bersama kekasihnya, para pengeroyoknya menjadi kewalahan. Terlena sedikit saja atau terlalu dekat sedikit saja, pasti pedang di tangan Im Giok mendapatkan mangsa dan roboh seorang pengeroyok. Mereka mengepung dari jauh dan Lie Kian Tek memberi aba-aba. Maka dikeluarkan orang tombak-tombak panjang dan jaring lebar. Dengan dua macam senjata yang biasanya dipergunakan untuk menangkap harimau atau lain binatang buas ini, Im Giok kini dikepung! Timbul kegembiraan para perajurit itu dan seperti kalau mereka menangkap harimau, kini mereka bersorak-sorak dan mendesak Im Giok dengan tombak-tombak panjang dan jaring yang amat kuat itu.

   Lie Kian Tek memang suka sekali memburu binatang, bukan dibunuh melainkan ditangkap hidup-hidup, maka tiap kali pergi dengan pasukannya selalu anak buahnya tidak lupa membawa alat-alat menangkap binatang buas ini, yaitu jaring dan tombak-tombak panjang. Menghadapi serangan istimewa ini, Im Giok menjadi marah sekali, juga amat bingung. Ia mengamuk seperti singa betina, pedangnya menyambar-nyambar dan banyak tombak telah dapat ia patahkan dengan pedangnya. Akan tetapi pihak pengeroyok terlalu banyak dan Im Giok merasa gugup juga menghadapi pengeroyok yang bersorak-sorak itu, maka setelah melawan mati-matian, akhirnya ia tidak dapat mengelak lagi ketika jaring yang lebar dan kuat dilempar dan menimpanya dari atas.

   Bagaimana ia dapat mengelak kalau di depan belakang dan kanan kirl belasan tombak menghadangnya? Ia membabat dengan pedangnya, akan tetapi jala atau jaring kedua kembali menimpa sehingga gadis itu kini benar-benar seperti seekor singa betina tertangkap! Ketika Im Giok meronta terdengar suara kain robek dan terkejutlah gadis ini ketika mendapat kenyataan bahwa di sebelah dalam jaring ini dipasangi kaitan-kaitan kecil dari baja sehingga kalau ia berani meronta, tentu pakaiannya akan robek semua dan juga kulitnya akan terkait dan luka-luka. Oleh karena itu, ia terpaksa tidak berani bergerak dan memasang kuda-kuda setengah duduk, di atas tanah, di dalam jaring-jaring itu. Para perajurit bersorak-sorak gembira sekali. Terdengar suara Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.

   "Keluarkan dia dan ikat kaki tangannya!"

   Perintahnya dan suaranya terdengar gembira sekali. Akan tetapi perintah ini hanya mudah diucapkan, sebaliknya amat sukar dilaksanakan. Tadinya para perajurit yang ingin sekali memegang dan membelenggu gadis jelita itu, berebut maju. Celaka bagi mereka, lima orang menjerit roboh dan tak dapat bangun lagi. Seorang roboh ditendang, seorang terpukul oleh tangan kiri dan tiga orang tertusuk pedang! Biarpun berada di dalam jaring, namun Im Giok masih tetap lihai dan sukar didekati.

   Melihat ini, Cheng-Jiu Tok-Ong marah sekali. Ia melompat maju dan secepat kilat tangannya bergerak mengirim totokan ke arah jalan darah di punggung Ang I Niocu Kiang Im Giok. Ia mengira bahwa kalau diserang dari belakang, gadis yang berada di dalam jaring itu tentu sukar mengelak lagi. Akan tetapi, akibatnya dia sendiri yang memekik kesakitan dan telapak tangannya terluka mengeluarkan darah. Dalam keadaan terjepit seperti itu, hanya dengan mendengarkan suara angin pukulan, Ang I Niocu dapat menyusupkan pedangnya dari bawah lengan kiri dan menyambut totokan lawan itu dengan ujung pedang! Karuan saja telapak tangan Cheng-Jiu Tok-Ong menjadi terluka dan kakek ini berjingkrak-jingkrak saking marahnya. Ia lupa akan pesan Lie Kian Tek agar gadis itu jangan dibunuh. Dalam kemarahannya, Cheng-Jiu Tok-Ong mencabut golok hijaunya yang beracun dan mengayun golok itu ke arah tubuh Ang I Niocu!

   "Traaang...!"

   Golok di tangan Cheng-Jiu Tok-Ong terpental kembali dan hampir saja terlepas dari tangannya, membuat kakek ini melompat mundur dengan kaget sekali.

   Pada saat itu, seorang nenek tua yang entah darimana datangnya dan yang tadi telah menangkis golok Cheng-Jiu Tok-Ong dengan sepasang pedang yang berkilauan tajamnya, kini membabat jaring yang menutupi tubuh Im Giok. Gadis ini sendiri pun dengan bersemangat mengerjakan pedangnya, membabat dari dalam sehingga sebentar saja jaring itu rusak dan ia dapat melompat keluar. Di beberapa bagian tubuhnya terluka oleh kaitan, akan tetapi Im Giok tidak mempedulikannya. Baik Im Giok, maupun Cheng-Jiu Tok-Ong dan semua orang yang berada di situ tidak mengenal siapakah gerangan nenek yang memegang sepasang pedang ini. Wajahnya keriputan, rambutnya sudah putih semua, namun gerakan-gerakannya masih amat gesit dan lincah.

   "Serbu...! Bunuh Siluman ini!"

   Lie Kian Tek berseru keras. Akan tetapi ia cepat mengangkat pedangnya ketika tiba-tiba nenek itu menyambar dan menyerangnya dengan pedang kiri, sedangkan pedang kanan merobohkan dua orang perajurit yang menghalang di jalan! Lie Kian Tek menangkis, tangannya tergetar dan pedangnya terlempar!

   Sinar putih meluncur ke arah lehernya dan putera gubemur ini sudah meramkan mata. Baiknya Cheng-Jiu Tok-Ong cepat datang menolong. Ditusuknya lambung nenek itu dengan golok hijaunya sehingga nenek itu terpaksa menarik kembali serangannya kepada Lie Kian Tek, kemudian menghadapi Cheng-Jiu Tok-Ong. Mereka segera bertempur dengan hebat. Adapun Im Giok kini sudah dikepung lagi, para perajurit sekarang maklum bahwa kalau tidak dibunuh, nona baju merah yang cantik jelita ini amat berbahaya, apalagi sekarang tiba bantuan seorang nenek yang seperti setan. Mereka beramai mengeroyok, yang pandai maju di depan, yang kurang pandai hanya membantu di belakang dengan tombak atau toya panjang. Im Giok memutar pedangnya, kini ia menyerang dengan ganas dan sebentar saja lima orang pengeroyok roboh bergelimpangan.

   Karena Cheng-jiu Tok-ang tidak dapat ikut mengeroyok, tentu saja bagi Im Giok para pengeroyok itu merupakan makanan lunak! Apalagi gadis ini merasa sakit hati dan marah sekali telah menerima hinaan, sekarang pembalasan yang ia lakukan benarbenar hebat dan membuat para pengeroyoknya kalang kabut. Pertempuran antara nenek itu melawan Cheng-Jiu Tok-Ong yang dibantu oleh enam orang Perwira juga dahsyat sekali. Kepandaian nenek itu tinggi bukan main, sepasang pedangnya menyambar-nyambar amat ganasnya. Telah banyak orang yang roboh olehnya dan Perwira-Perwira yang membantu Cheng-Jiu Tok-Ong sudah beberapa kali berganti orang. Diam-diam Cheng-Jiu Tok-Ong terkejut sekali ketika memperhatikan permainan pedang nenek ini. Ia mengenal gerakan-gerakan ilmu pedang itu akan tetapi kalau ia melihat wajah yang keriputan ini, ia menjadi ragu-ragu.

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Ang I Niocu (Seri ke 02 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   "Tahan! Twanio, siapakah kau dan mengapa kau memusuhi kami?"

   Cheng-Jiu Tok-Ong berseru. Terdengar nenek itu tertawa dan orang menjadi terheran-heran mendengar suara ketawanya, begitu merdu seperti suara ketawa seorang gadis belasan tahun!

   "Cheng-Jiu Tok-Ong, kau telah menjadi kaki tangan Pemberontak dan berani sekali menghina muridku. Benar-benar keterlaluan!"

   Seperti juga suara ketawanya, kata-katanya ini diucapkan dengan suara yang merdu sekali! Mendengar suara ini, Cheng-Jiu Tok-Ong dan Ang I Niocu hampir berbareng berseru,

   "Bi Sian-Li Pek Hoa Pouwsat..."

   Nenek yang berambut putih dan berwajah keriputan itu sekali lagi tertawa merdu, nadanya mengejek.

   "Pek Hoa... mengapa kau menyerangku? Dia itu muridmu, akan tetapi mengapa berani sekali melawanku? Biarpun demikian, kalau kau menghendaki, aku bisa mengampunkan dia. Mari kita bicara baik-baik, Pek Hoa..."

   Akan tetapi Pek Hoa Pouwsat atau nenek buruk itu hanya tertawa terkekeh-kekeh dan tiba-tiba sepasang pedangnya bergerak secara aneh sekali! Gerakan ini disusul oleh seruan kaget dari para pengeroyoknya dan dalam beberapa gebrakan saja empat orang pengeroyoknya telah roboh dan tewas! Cheng-Jiu Tok-Ong kaget setengah mati, apalagi ketika ia menyaksikan sepasang pedang dari bekas muridnya ini yang benar-benar luar biasa sekali, gerakannya demikian indah dan halus, dan nenek yang tubuhnya masih nampak langsing itu bergerak-gerak seperti orang menari secara amat menggairahkan! Biarpun hal ini nampak lucu karena nenek itu tua,

   Namun tetap saja masih mendatangkan pengaruh yang luar biasa terhadap para pengeroyoknya. Inilah ilmu pedang ciptaan Pek Hoa Pouwsat yang disebut ilmu pedang Bi-Jin-Khai-I, ilmu pedang yang mengandung kekuatan sihir dan bahkan sudah berhasil merobohkan Pendekar sakti seperti Han Le! Juga Im Giok terheran-heran. Tidak salah lagi pendengarannyag suara itu adalah suara bekas Gurunya, Bi Sian-Li Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi dahulu Pek Hoa Pouwsat adalah seorang wanita yahg amat cantik jelita seperti bidadari, mengapa sekarang menjadi nenek-nenek tua sekali yang buruk? Betapapun juga, kedatangan nenek yang membantunya ini dan melihat kelihaiannya, hati Im Giok menjadi besar dan pedangnya menjadi sinar bergulung-gulung seperti naga mengamuk. Untuk mengimbangi keindahan permainan sepasang pedang Pek Hoa Pouwsat,

   Ang I Niocu lalu mainkan limu pedangnya yang seperti tarian indah, akan tetapi kehebatannya luar biasa sekali sehingga tiap kali berkelebat tentu ada lawan yang roboh! Betapapun juga sepak terjang Im Giok, masih belum ada artinya kalau dibandingkan dengan Pek Hoa Pouwsat. Nenek ini benar-benar mengerikan sekali sepak terjangnya. Kalau pedang kanan atau kiri di tangannya berkelebat, bukan satu orang yang roboh, sedikitnya ada tiga orang roboh tak bemyawa lagi. Sebentar saja di tempat itu berubah menjadi tempat yang mengerikan di mana mayat bertumpuk-tumpuk dan darah membanjir. Cheng-Jiu Tok-Ong makin terdesak hebat oleh sepasang pedang bekas muridnya sendiri itu. Ngeri ia memikirkan betapa ia terancam bahaya maut di tangan bekas muridnya sendiri. Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi dahulu ketika Bi Sian-Li Pek Hoa Pouwsat masih menjadi muridnya.

   Pek Hoa adalah seorang anak perempuan yatim-piatu, karena Ayah bundanya yang menjadi kepala penyamun telah tewas di dalam tangan Cheng-Jiu Tok-Ong. Melihat bocah perempuan yang berkulit halus putih dan berbibir merah itu, Cheng-Jiu Tok-Ong tertarik lalu membawanya pulang dan bocah berusia tujuh tahun ini diambil menjadi muridnya. Pek Hoa menjadi dewasa dalam asuhan orang yang berwatak bejat, bahkan Cheng-Jiu Tok-Ong tidak malu, untuk mempermainkan muridnya sendiri sehingga semenjak kecil Pek Hoa sudah diajar segala macam perbuatan buruk dan tak tahu malu. Akhimya Pek Hoa meninggalkannya dan kemudian ia mendengar bahwa bekas murid, juga bekas kekasihnya itu telah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu dan memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Sekarang, teringat akan ini semua, Cheng-Jiu Tok-Ong mengeluarkan keringat dingin.

   Sangat boleh jadi bahwa Pek Hoa yang kini sudah kenyang akan pengalaman di dunia kang-ouw, dapat menduga bahwa dialah yang telah membunuh Ayah bunda dari Pek Hoa. Boleh jadi sekali bekas muridnya ini sekarang datang untuk membalas dendam! Teringat akan hal ini, Cheng-Jiu Tok-Ong lalu berlaku nekad dan diam-diam ia mengeluarkan jarum-jarumnya yang beracun, juga mengeluarkan Cheng-Tok-See (Pasir Hijau Beracun). Ia maklum bahwa ia tidak akan mendapat ampun dan pula tidak mungkin baginya untuk melepaskan diri lagi. Maka ketika kembali Pek Hoa Pouwsat merobohkan empat orang kawannya sehingga yang lain-lain menjadi gentar dan menjauhkan diri, Cheng-Jiu Tok-Ong mempergunakan kesempatan selagi Pek Hoa mencabut pedangnya dari tubuh lawan yang dirobohkan, segera menyerang bertubi-tubi.

   Jarum dan pasir beracun disambitkannya dan semua ini dibarengi dengar serangan golok Cheng-tok-to secara nekad dan mati-matian. Pek Hoa Pouwsat terkejut juga menghadapi serangan ini. Ia berhasil menangkis golok dan mengelak ke kiri, terus menusukkan pedangnya yang tepat mengenai ulu hati bekas Gurunya. Akan tetapi tiga batang jarum juga tepat mengenai leher, pundak, dan dadanya! Tiga batang jarum ini adalah Cheng-Tok-Ciam dan Pek Hoa tahu bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Ia membiarkan jarum-jarum ini menelusup memasuki dagingnya dan sambil tertawa terkekeh-kekeh melihat Gurunya berkelojotan lalu tewas, ia mengamuk terus! Di lain pihak, Im Giok dalam amukannya melihat Lie Kian Tek berlari mendekati Tiauw Ki dengan pedang terangka tinggi.

   Gadis ini maklum akan maksud putera gubemur ini, tentu hendak membunuh kekasihnya yang masih duduk tak berdaya karena luka-lukanya. Cepat ia melompat bagaikan terbang dan tepat sekali datangnya ini. Terlambat sedikit saja tentu kekasihnya tak dapat ditolong pula. Dengan gemas ia menangkis sambil mengerahkan tenaga. Terdengar suara keras dan pedang di tangan Lie Kian Tek terbabat putus dan di lain saat tubuh putera Gubernur itu terlempar jauh terkena tendangan kaki Im Giok! Im Giok masih marah dan hendak mengejar tubuh Lie Kian Tek yang sudah pingsan itu untuk dibunuhnya, akan tetapi ia dihadang oleh belasan orang Perwira sehinggi ia mengamuk lagi. Para perajurit dan Perwira-Perwiranya melihat betapa Lie Kian Tek sudah terluka hebat dan Cheng-Jiu Tok-Ong sudah tewas, menjadi lenyap semangat mereka.

   Apalagi sudah terlalu banyak kawan mereka yang tewas. Maka sambil membawa tubuh Lie Kian Tek yang pingsan, mereka lalu melarikan diri di atas kuda dan membalapkan kuda tunggangan mereka! Im Giok sudah terlalu lelah untuk mengejar mereka. Sebaliknya, ia melihat Pek Hoa Pouwsat mengeluh, melepaskan sepasang pedangnya dan terhuyung-huyung mau roboh. Cepat Im Giok melompat dan memeluk wanita itu. Melihat betapa Pek Hoa telah menjadi seorang wanita yang mukanya tua dan buruk seperti iblis, dan melihat pula betapa bekas Gurunya ini sekarang menderita luka berat dalam usahanya menolong nyawanya, hati Im Giok menjadi terharu sekali dan semua kebencian yang timbul di hatinya terhadap bekas Guru ini lenyap, terganti oleh kasih sayang yang hangat seperti yang dulu terkandung di hatinya terhadap bekas Guru ini.

   "Enci Pek Hoa..."

   Bisiknya sambil memondong tubuh bekas Gurunya itu, dibawa ke tempat yang bersih dari tumpukan mayat. Tiauw Ki menguatkan tubuh dan setengah merangkak ia pun menghampiri tempat itu. Pek Hoa Pouwsat membuka matanya dan terlihatlah oleh Im Giok bahwa nenek ini benar-benar Pek Hoa Pouwsat Gurunya. Sepasang mata yang bersinar-sinar dan bening bagus itu memang mata Pek Hoa. Tidak ada wanita kedua yang memiliki mata sebagus mata Pek Hoa, demikian pikir Im Giok. Ketika pandang matanya melihat luka di leher, pundak, dan dada yang mengeluarkan darah hijau, Im Giok menahan isak.

   "Enci Pek Hoa...!"

   Bisiknya lagi. Pek Hoa tersenyum dan terbukalah mulutnya yang ompong. Im Giok bergidik. Dahulu gigi Pek Hoa bukan main indahnya, berderet rapi dan putih bersih laksana mutiara.

   "Im Giok, anak baik, kau makin cantik saja..."

   Kemudian ia muntahkan darah yang wamanya hijau pula.

   "Im Giok..., aku... aku takkan lama lagi dapat bertahan... kau cantik, sayang sekali kalau lenyap kecantikanmu... kau pergilah ke Pek-Tiauw-San (Gunung Rajawali Putih) carilah telur Pek-Tiauw... campur dengan obat ini... kau minum setengah tahun sekali... selama hidup kau akan tinggal muda dan cantik..."

   Pek Hoa menghentikan kata-katanya dan tangannya mengeluarkan sebuah bungkusan, kemudian ia tertawa ha-ha-hi-hi, nampaknya geli dan seperti ada sesuatu yang lucu, tertawa terus akan tetapi suara ketawanya makin lama makin lemah sehingga akhirnya terhenti sama sekali!

   "Enci Pek Hoa, kau mati karena aku... terima kasih..."

   Bisik Im Giok di dekat telinga bekas Gurunya dan tak tertahan pula dua titik air mata menetes di kedua pipinya.

   Sayang sekali Im Giok tidak sempat mendengar tentang pengalaman Pek Hoa, tidak tahu tentang riwayatnya sehingga ia menyimpan obat pemberian bekas Gurunya itu tanpa ragu-ragu lagi. Kalau saja ia tahu... kiranya ia akan membuang obat itu jauh-jauh dengan ngeri hati. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah dikalahkan oleh Bu Pun Su dan terusir dari Pulau Pek-Hio-To, Pek Hoa-Pouwsat pergi dengan hati perih sekali. Ia tidak berdaya menghadapi Bu Pun Su kakek sakti itu dan betapapun sakit hatinya, ia tak dapat berbuat apa apa. Yang lebih menyakitkan hatinya adalah karena ia telah mengandung. Ia mendekati dan menggoda Han Le bukan sekali-kali karena ia mencinta pengemis Sakti itu.

   Tadinya ia bermaksud menundukkan Han Le agar cita-citanya membalas dendam tercapai, agar ia mendapat pembantu yang lihai. Memang ia berhasil karena bukankah ia telah berhasil menewaskan Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang dua orang tokoh Siauw-Lim-Pai, juga menewaskan Cin Giok Sianjin tokoh Kun-Lun-Pai atas bantuan Han Le! Sayang sekali bahwa biarpun bantuan dari Han Le, tetap saja ia tidak mampu mengalahkan Bu Pun Su yang amat lihai itu. Dan semua itu dibelinya dengan penghinaan hebat. Tadinya ia hendak mengganggu Han Le, tidak tahunya ada juga rasa kasih sayang di dalam lubuk hatinya terhadap Han Le, apalagi ia telah mengandung! Dan kini ia terusir dari pulau itu, terpisah dari Han Le dan sama sekali tidak dapat membalas dendamnya. Bukan main marah dan kecewanya hati Pek Hoa.

   Ia bersembunyi di dalam hutan lebat, menanti saat kelahiran anak yang dikandungnya. Wanita ini memang berhati keras dan merupakan seorang yang luar biasa sekali. Tanpa bantuan siapa-siapa, berkat Lwee-kangnya yang tinggi dan kepandaiannya yang sudah sampai di tingkat puncak, ia dapat melahirkan anak yang dikandungnya dengan selamat. Akan tetapi apa yang terjadi? Setelah anaknya terlahir, terjadi perubahan hebat pada dirinya! Kulitnya mengeriput, rambutnya yang hitam panjang berubah menjadi putih, sebaliknya kulitnya yang putih menjadi hitam dan tubuhnya menjadi kurus kering! Pek Hoa Pouwsat semenjak kecil mengutamakan kecantikan dan untuk menjaga kecantikannya ia bahkan setengah tahun sekali makan telur Pek-Tiauw yang dicarinya dengan susah payah. Dengan obat ini ia memang tidak pemah tenjadi tua dan selalu tetap cantik dan muda.

   
Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekarang ia berubah menjadi demikian tua dan buruk, tentu saja hal ini merupakan pukulan yang hebat sekali baginya. Ia tidak mengira sama sekali bahwa khasiat obat itu akan musnah bahkan menjadi sebaliknya, merusak semua kecantikannya apabila ia mempunyai anak! Kini baru ia tahu dan saking marah dan sedihnya, Pek Hoa Pouwsat seperti orang gila lalu membanting mati anaknya sendiri! Kemudian ia lalu berlari-lari seperti orang gila, merantau ke sana ke mari sampai akhimya ia bertemu dengan Im Giok yang dikeroyok oleh Cheng-Jiu Tok-Ong dan orang-orangnya. Melihat Cheng-Jiu Tok-Ong, timbullah kenang-kenangan lama yang membuat hatinya sakit, maka ia mengambil keputusan untuk membunuh bekas Gurunya ini. Juga melihat Im Giok yang cantik jelita, Pek Hoa tersenyum seorang diri dan berkata,

   "Dia harus menggantikan aku..., ha-ha, anak Kiang Liat harus merasai seperti aku pula..."

   Demikianlah, Pek Hoa Pouwsat lalu menyerbu dan berhasil membunuh Cheng-Jiu Tok-Ong juga berhasil memberikan obatnya kepada Im Giok. Biarpun untuk tercapainya dua maksud ini dia harus mengorbankan nyawanya. Setelah Pek Hoa Pouwsat meninggal, Im Giok lalu menghampiri kekasihnya. Keduanya berpelukan dan keduanya mengeluarkan air mata.

   "Aduh, Giok-moi, sama sekali aku tidak mengira bahwa kita dapat bertemu dalam keadaan hidup,"

   Kata Tiauw Ki. Im Giok meraba muka Tiauw Ki yang penuh luka-luka kecil akibat cambukan Lie Kian Tek, menjamah luka-luka itu dengan jari-jarinya yang halus, penuh kasih sayang.

   "Kasihan sekali kau, Koko... kau maafkan aku yang telah meninggalkanmu seorang diri..."

   "Tidak ada yang harus dimaafkan, adikku sayang. Aku memang sengaja membikin kau marah dan pergi, agar kau selamat..."

   "Aku tahu, Koko, aku mengerti... alangkah besarnya kasih sayangmu kepadaku."

   "Aku mencintamu lebih dari mencinta jiwaku sendiri, Giok-moi..."

   Setelah keharuan mereka mereda, Tiauw Ki bertanya,

   "Nenek yang menolong kita itu, siapakah dia?"

   "Dahulu, di waktu kecil, dia pemah menjadi Guruku. Tadinya dia yang berjalan sesat, akan tetapi selalu aku tahu bahwa di dalam hatinya, ia amat sayang kepadaku. Dan ternyata benar..."

   Suara Im Giok menjadi lambat penuh keharuan.

   "Dia mengorbankan nyawa untukku... Aku harus merawat jenazahnya baik-baik, Twako. Dia harus dikubur baik-baik..."

   Tiauw Ki menyetujui dan sibuklah mereka menggali lubang untuk mengubur mayat Pek Hoa Pouwsat.

   "Bagaimana dengan mereka itu? Sudah sepatutnya mereka itu dikubur juga, bukankah mereka manusia?"

   Tiauw Ki menuding ke arah tumpukan mayat yang berserakan di sana-sini dan suaranya gemetar. Ngeri ia melihat mayat manusia yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu. Benar-benar hebat amukan Ang I Niocu dan Pek Hoa Pouwsat. Im Giok memandang dan menarik napas panjang.

   "Tak mungkin, Koko. Bagaimana kita berdua dapat mengubur mayat sebanyak itu? Apalagi tanpa ada alat untuk menggali lubang."

   "Akan tetapi hatiku tidak menginginkan mereka itu ditinggalkan begitu saja menjadi makanan binatang buas..."

   Tiauw Ki membantah.

   "Jangan khawatir, Koko. Penduduk di sekitar tempat ini tentu akan mengurusnya. Pula, mereka itu adalah anggauta pasukan dari Lie Kian Tek, tentu kawan-kawan mereka akan datang kembali untuk mengurus mayat mereka. Dan lagi, kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Kalau mereka datang lagi membawa bala bantuan, celakalah kita. Aku sudah kehabisan tenaga dan tak mungkin dapat melawan lagi..."

   Kebetulan sekali mereka masih dapat menemukan dua ekor kuda yang tadinya lari kacau-balau, maka cepat mereka menunggang kuda ini dan melarikan kuda menuju ke utara, ke Kota raja. Di tengah perjalanan, Tiauw Ki berkata,

   "Giok-moi, aku ingin sekali lekas-lekas menyelesaikan tugasku dan bersamamu pergi ke Siang-Koan menemui Ayahmu. Kalau... kau sudah menjadi isteriku, kau harus membuang jauh-jauh pedangmu dan selanjutnya kita hidup dalam damai dan tenteram. Aku tidak bisa membiarkan isteriku merenggut nyawa manusia sedemikian banyaknya...!"

   Im Giok tersenyum. Hatinya membantah, karena dalam hal pertempuran, membunuh atau terbunuh adalah hal biasa. Akan tetapi ia tidak mau membantah dengan mulut karena maklum bahwa kekasihnya yang lemah itu baru saja terlepas dari bahaya maut dan baru mengalami sesuatu yang benar-benar menakutkan. Perjalanan dilakukan cepat dan ketika mereka lewat di sebuah Kota, Im Giok membeli obat di toko obat untuk mengobati luka-luka kecil pada tubuh Tiauw Ki.

   Kiang Liat yang melakukan perjalanan ke Go-Bi-San untuk menyampaikan surat dari Bu Pun Su kepada Ketua Go-Bi-Pai tidak mengalami rintangan dan sampai di puncak gunung itu dengan selamat. Ia menghadap ciangbunjin dari Go-Bi-Pai, yakni Twi Mo Siansu, seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih dan sikapnya halus, tubuhnya tinggi kurus dan alisnya putih semua. Kakek ini setelah membaca surat dari Bu Pun- Su, mengangguk dan tersenyum.

   "Bu Pun Su benar-benar mengagumkan sekali. Sudah tua masih berhati muda, bergelora dan bersemangat. Jatuh-bangunnya sebuah kerajaan berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa, orang-orang seperti kita ini mau bisa apakah?"

   Mendengar kata-kata ini, di dalam hatinya Kiang Liat tidak setuju sama sekali. Alangkah lemah dan pikunnya ketua Go-Bi-Pai ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani bilang apa-apa, hanya mendengarkan lebih lanjut. Juga para murid Go-Bi-Pai yang berada di situ, yang jumlahnya belasan orang, tidak ada yang mongeluarkan suara. Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dan mengandung tenaga.

   "Maafkan Teecu, Susiok. Teecu sudah berani berlancang mulut dan ikut-ikutan bicara dalam urusan yang sama sekali Teecu tidak berhak mencampuri. Akan tetapi, sungguhpun Teecu tunduk dan setuju akan kata-kata Susiok tadi bahwa apapun yang diusahakan oleh manusia, akhimya keputusan berada di tangan Thian, namun, sebagai manusia yang berakal budi, apalagi yang menjunjung tinggi keadilan dan kegagahan seperti kita, Teecu rasa sudah sepatutnya kalau kita berusaha demi keadilan dan kebajikan. Adapun akibat dan keputusannya, memang terserah kepada Thian Yang Maha Kuasa. Maafkan kalau pendapat Teecu keliru dan selanjutnya mohon petunjuk, Susiok."

   Semua orang memandang kepada pembicara ini, juga Kiang Liat. Ia melihat bahwa yang bicara itu adalah seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah, patut sekali menjadi seorang Pendekar. Pakaiannya indah, pedangnya tergantung di pinggang, alisnya hitam dan matanya berapi-api. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun. Kalau Kiang Liat memandang dengan kagum dan tertarik kepada pemuda ini, adalah lain-lain murid Go-Bi-Pai yang berada di situ memandang dengan muka merah dan ada yang khawatir.

   Mereka menduga bahwa Twi Mo Siansu pasti akan marah sekali, karena sudah merupakan peraturan perguruan di situ bahwa para anak murid tidak sekali-kali boleh mencampuri percakapan antara Guru besar ini dengan tamu yang datang. Apalagi untuk urusan yang besar dan yang belum dimengerti oleh para anak murid. Akan tetapi pemuda ini telah berlancang mulut, tidak saja mencampuri percakapan, bahkan terang-terangan berani mencela pendirian Twi Mo Siansu! Suasana menjadi sunyi dan tadinya Twi Mo Siansu menjadi merah mukanya, sepasang mata yang masih amat tajam berpengaruh itu memandang kepada pemuda gagah itu dengan marah. Akan tetapi ketika bertemu dengan wajah yang tampan terbuka, mata yang berani menentangnya penuh pengertian itu, wajah kakek ini melembut kembali dan ia tersenyum.

   "Bagus sekali, Liem Sun Hauw. Biarpun pendirianmu itu pikiran orang muda jalan dan tidak sejalan dengan pikiranku, akan tetapi aku setuju sekali! Kau murid Go-Bi-Pai dari luar kuil, tentu tidak tahu akan peraturan di dalam kuil, maka kelancanganmu itu kumaafkan. Sayang Suheng telah meninggal, kalau tidak tentu ia akan bangga sekali mendengar ucapan muridnya di depanku."

   Kakek ini lalu tertawa dengan girang.

   "Harap maafkan, Susiok. Sesungguhnya Teecu tadi telah lancang tanpa dipikir dulu, harap banyak maaf."

   "Tidak apa, tidak apa. Bahkan kebetulan sekali. Aku sedang berpikir-pikir siapa gerangan orangnya yang dapat mewakili aku. Sudah kukatakan tadi bahwa biarpun tidak sejalan dengan pikiranku, aku setuju sekali dengan pendirianmu. Karena itu aku pun setuju dengan pendapat Bu Pun Su. Pendekar Sakti itu minta bantuanku agar supaya kita dari Go-Bi-Pai ikut mengamati-amati kalau-kalau ada pihak penyerang mendatangi dari utara, karena menurut pendapat Bu Pun Su, negara berada dalam bahaya dan ancaman musuh berbagai pihak. Hal ini dapat dilakukan oleh semua anak murid yang berada di sini melakukan penjagaan di sepanjang tapal batas sebagai pengawas. Akan tetapi tentang permintaan ke dua dari Bu Pun Su agar supaya aku turun gunung dan menghubungi kawan-kawan untuk memperkokoh persatuan dan melenyapkan pertikaian antara kawan sendiri, sungguh tak dapat kulakukan. kau lah, Sun Hauw, kau yang harus mewakili aku turun gunung!"

   "Teecu siap sedia menjalankan perintah Susiok. Mohon nasihat dan petunjuk selanjutnya agar Teecu dapat melakukan tugas dengan baik,"

   Jawab pemuda itu dengan suara tegas dan bersemangat.

   "Kau hubungi semua tokoh besar dunia kang-ouw dan katakan bahwa aku sendiri sudah menyatakan setuju sekali akan pendapat Bu Pun Su bahwa pada saat seperti ini kita semua harus bersatu. Jangan sampai ada perpecahan diantara kita dan kalau misalnya ada, urusan itu harus dibereskan secara damai. Persatuan harus ditujukan untuk melindungi negara dan rakyat dari bahaya. Apabila benar-benar terjadi perang, tentu muncul banyak manusia jahat dan perlu sekali kita melindungi rakyat jelata dari penindasan mereka ini. Sampaikanlah salamku kepada mereka dan pertama-tama lebih tepat kalau kau pergi ke Bu-Tong-San mengingat bahwa Partai Bu-Tong-Pai pada waktu ini sedang ada urusan percekcokan dengan Kim-San-Pai. Katakan kepada Lo Beng Hosiang ciangbunjin dari Bu-Tong-Pai bahwa kalau dia mau mengadakan pertemuan damai dengan pihak Kim-San-Pai, boleh mempergunakan kuil kita di Go-Bi-San sini."

   "Teecu sudah ingat akan semua pesan Susiok dan akan mentaati,"

   Kata Sun Hauw, pemuda gagah itu. Tiba-tiba seorang di antara para anak murid Go-Bi-Pai yang duduk di situ, berdiri dan berkata dengan suara lantang,

   "Maaf, Suhu. Teecu merasa kurang puas dengan diangkatnya Liem-Sute sebagai wakil Suhu. Hal ini menyangkut nama baik Partai kita, maka Teecu merasa ragu-ragu apakah kelak nama baik Partai kita tidak akan terancam bahaya. Liem-Sute baru saja datang di Go-Bi-Pai, baru tiga hari dan hanya menurut pengakuannya sendiri Suhu tahu bahwa dia adalah murid Thian Mo Siansu Supek. Bagaimana kalau dia itu sebenamya bukan murid Supek? Sungguhpun andaikata dia itu benar-benar murid Supek, masih belum boleh dia dianggap sebagai anak murid Go-Bi-Pai, mengingat bahwa antara Suhu dan Supek..."

   "Cukup!"

   Twi Mo Siansu membentak dan murid yang bicara tadi, seorang Tosu pula berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tak berani melanjutkan kata-katanya dan duduk kembali.

   "Tek Sin, aku mengerti akan maksud kata-katamu. Kita telah menerima tugas untuk menjadi tukang menggalang persatuan, bagaimana kita masih ingat akan perpecahan sendiri? Tidak, bagaimanapun juga, murid Suheng adalah murid Go-Bi-Pai pula. Keraguanmu tentang kemampuan Sun Hauw, memang tepat. Baiklah kau kuserahi tugas mengujinya apakah benar dia itu anak murid Go-Bi-Pai, dan apakah kiranya dia sudah cukup kuat untuk melakukan tugas mewakili aku."

   Tek Sin Tojin terkejut. Tak disangkanya bahwa ucapannya tadi membuat Suhunya marah dan ia kini diharuskan menguji Liem Sun Hauw! Tek Sin Tojin adalah murid pertama dari Twi Mo Siansu dan tadi mendengar tugas mewakili Suhunya diberikan kepada pemuda itu, tentu saja ia merasa tidak senang. Sekarang, ada jalan baginya untuk memperlihatkan bahwa pandangannya tepat dan bahwa Gurunya telah berlaku keliru menyerahkan tugas sepenting itu kepada seorang pemuda seperti Liem Sun Hauw yang baru saja datang dan mengaku sebagai murid Thian Mo Siansu.

   "Teecu tidak berani menolak perintah Suhu,"

   Katanya sambil berdiri, lalu katanya kepada Liem Sun Hauw.

   "Liem-Sute, kau sudah mendengar sendiri perintah Suhu bahwa Pinto harus mengujimu. Oleh karena itu, marilah kita pergi ke Lian-Bu-Thia (Tempat Berlatih Silat)."

   Liem Sun Hauw tersenyum dan menjura kepada Tosu yang tubuhnya tinggi besar ini.

   "Twa-Suheng, Siauwte mana berani menolak? Hanya mengharap belas kasihan Suheng dan jangan berlaku terlalu keras kepada Siauwte yang masih hijau."

   Sambil berkata demikian, Liem Sun Hauw lalu bersiap mengikuti Tek Sin Tojin pergi ke Lian-Bu-Thia.

   "Tidak usah ke Lian-Bu-Thia, di ruangan inipun cukup lebar kalau hanya untuk menguji kepandaian saja, Tek Sin, kau coba kepandaian Sun Hauw ini di sini saja,"

   Kata Twi Mo Siansu. Semua anak murid Go-Bi-Pai lalu mengundurkan diri berdiri di pinggir untuk memberi tempat yang lega bagi dua orang yang hendak mengadu kepandaian itu. Juga Kiang Liat yang sebagai tamu tidak berani turut bicara lalu minggir.

   Ia melihat Tek Sin Tojin sebagai seorang Tosu tinggi besar yang jelas sekali bertenaga kuat dan dari pandang mata Tosu ini ia dapat mengetahui bahwa Tek Sin Tojin mempunyai Lwee-kang dan kepandaian yang tinggi. Maka diam-diam ia mengkhawatirkan keadaan pemuda tampan itu. Kiang Liat yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa Tek Sin Tojin merasa iri hati kepada Sun Hauw dan dalam ujian silat ini tentu saja Tosu itu berusaha untuk membikin malu dan merobohkan Sun Hauw. Liem Sun Hauw menanggalkan jubah luarnya dan kini ia berpakaian ringkas, menambah kegagahannya karena nampak bentuk tubuhnya yang bidang dan tegap. Ia berdiri di tengah ruangan menghadapi Tek Sin Tojin dengan tubuh direndahkan dan kepala ditundukkan, tanda menghormat kepada saudara tua.

   "Liem-Sute, Pinto lihat ada Pokiam (Pedang Pusaka) tergantung di pinggangmu. Dalam ujian ini, apakah kau hendak mempergunakan pedang?"

   Liem Sun Hauw menjura.

   "Siauwte serahkan pada kebijaksanaan Suheng saja, bagaimana cara Suheng hendak menguji, Siauwte siap mentaati perintah."

   "Hemm, kalau begitu cabut pedangmu. Biar aku menghadapi pedangmu dengan tangan kosong saja."

   Liem Sun Hauw patuh. Ia menghunus pedangnya dan nampak sinar putih berkilauan, tanda bahwa pedang itu adalah pedang yang baik. Ia memutar pedangnya dengan gerakan indah dan cepat, tahu-tahu pedang itu kini telah dipegang di bagian pucuknya dan gagangnya disodorkan ke arah Tek Sin Tojin, tangan kiri dibuka terpentang di depan dada. Melihat ini, Kiang Liat tahu bahwa biarpun kelihatannya aneh sekali memegang ujung pedang secara terbalik, namun gerakan ini bukanlah gerakan sembarangan dan tentu saja mempunyai arti tertentu.

   "Ketika Suhu memberikan Gin-Kiam (Pedang Perak) ini kepada Siauwte, Suhu berpesan Siauwte jangan sekali-kali menggunakan pedang ini untuk menghina orang dan melawan bertangan kosong dalam pibu,"

   Kata pemuda itu dengan sikap hormat. Twi Mo Siansu mengangguk-angguk girang.

   "Ah kiranya Suheng masih ingat akan pesan SuCouw, masih ingat untuk mengajarkan peraturan ini kepada muridnya."

   Memang Go-Bi-Pai terkenal keras dengan peraturan-peraturannya. Di antaranya, seorang anak murid sama sekali tidak boleh memamerkan ilmu pedangnya, juga tidak boleh menghadapi lawan dalam pibu (pertandingan persahabatan) yang bertangan kosong dengan pedang. Kalau terjadi lawan itu bertangan kosong menantang, ia harus menyerahkan pedang itu dengan sikap dan gerakan tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh Sun Hauw ini. Tadi memang Tek Sin Tojin menguji apakah pemuda ini mengerti akan peraturan ini dan ternyata Sun Hauw mengerti baik!

   

Pendekar Kelana Eps 15 Pendekar Sakti Eps 29 Pendekar Sakti Eps 1

Cari Blog Ini