Ceritasilat Novel Online

Dara Baju Merah 16


Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



"Kau memberikan pedangmu kepadaku? Baik, kuterima dan awas terhadap caraku mengembalikannya!"

   Kata Tek Sin Tojin. Tangan kanannya menyambar dan di lain saat pedang itu telah berpindah ke dalam tangannya,

   Tosu tinggi besar itu lalu membuat gerakan melompat ke belakang, berjungkir balik tiga kali, kemudian pada jungkiran terakhir, ia menggerakkan tangannya dan pedang itu meluncur seperti anak panah menyambar ke arah dada Liem Sun Hauw! Pemuda itu cepat meloloskan sarung pedangnya dan dengan gerakan indah namun cepat sekali ia menyambut pedang yang meluncur ke dadanya itu dengan sarung pedang dan... tepat sekali pedang itu masuk ke dalam sarungnya, mengeluarkan suara keras! Indah sekali gerakan dua orang itu. Tek Sin Tojin melakukan gerakan menyambit yang merupakan jurus terakhir dari ilmu pedang Go-Bi-Pai, yakni gerakan yang digebut Sin-Liong Kian-Hwe (Naga Sakti Mengulur Ekor) yang dimaksudkan untuk dipergunakan pada saat terakhir atau pada saat sudah amat terdesak oleh lawan yang lebih tangguh.

   Timpukan pedang yang tidak terduga-duga ini akan dapat menolong diri, kalau tidak berhasil merobohkan lawan, sedikitnya memberi kesempatan untuk melarikan atau menjauhkan diri! Adapun Sun Hauw yang sudah menduga lebih dulu, telah meloloskan sarung pedangnya dan cepat memperlihatkan kelihaiannya sebagai anak murid Go-Bi-Pai, melakukan jurus ilmu silat yang disebut Sin-Liong Siu-Cu (Naga Sakti Menyambut Mustikanya). Memang, dari gerakan ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sun Hauw benar-benar seorang anak murid Go-Bi-Pai yang jempol. Adapun Kiang Liat yang juga seorang ahli pedang terkemuka, melihat petunjukan ilmu pedang ini, diam-diam merasa kagum sekali. Ia sudah tahu bahwa Go-Bi-Pai memang cabang yang memiliki ilmu pedang indah dan aneh-aneh, maka menyaksikan demonstrasi tadi, ia merasa gembira dan memuji,

   "Bagus sekali!"

   Ia tidak tahu bahwa memang di dalam ilmu pedang cabang Go-Bi-Pai terdapat pelajaran terakhir, yakni bersilat dengan sarung pedang. Hal ini dipelajari untuk menjaga kalau-kalau pedang terampas lawan, maka biarpun dengan sarung pedang, masih dapat anak murid Go-Bi-Pai melakukan perlawanan hebat. Sementara itu, sekarang Tek Sin Tojin dan Liem Sun Hauw sudah mulai bertempur dengan tangan kosong. Gerakan mereka cepat dan indah, setiap pukulan ditangkis atau dielakkan dengan tepat dan cepat. Dilihat sepintas lalu, mereka seakan-akan dua orang anak murid Go-Bi-Pai sedang berlatih silat, akan tetapi sesungguhnya bukan demikian, karena Tek Sin Tojin mendesak dan menyerang dengan sungguh-sungguh.

   Sekali saja Liem Sun Hauw meleset dalam menangkis atau mengelak, ia akan terpukul dan mendapat luka di dalam tubuh yang tidak ringan! Akan tetapi ternyata Liem Sun Hauw hafal akan semua jurus serangannya sehingga pemuda ini dapat menangkis atau mengelak dengan tepat, serta melakukan serangan balasan sebagaimana mestinya dalam jurus dan gerak yang dilakukannya menghadapi Suhengnya ini. Kalau tadi melihat demonstrasi ilmu pedang Kiang Liat merasa kagum, sekarang melihat ilmu silat tangan kosong yang diperlihatkan, ia tidak merasa heran atau kagum. Ilmu silat itu memang cepat dan indah lagi kuat gerakannya, akan tetapi tidak terlalu hebat dan Kiang Liat merasa bahwa ilmu silatnya sendiri, ilmu silat keturunan keluarga Kiang atau ilmu silat yang ia dapat dari Han Le dan Bu Pun Su, tidak usah kalah menghadapi ilmu silat yang dimainkan oleh kedua orang itu.

   Lima puluh jurus telah lewat dan belum juga Tek Sin Tojin dapat mendesak Sutenya, apalagi mengalahkannya! Tiba-tiba Tosu itu merubah gerakannya dan kagetlah Liem Sun Hauw. Biarpun ia sudah menerima latihan ilmu-ilmu silat Go-Bi-Pai, tapi baru kali ini ia melihat ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin. Ilmu silat ini hebat sekali dan gerakannya seperti seorang kakek tua memberi pelajaran menulis dengan telunjuknya. Sebentar saja Liem Sun Hauw terdesak. Akan tetapi pemuda ini mengeluarkan seruan keras dan ia pun merubah gerakannya. Kini Twi Mo Siansu sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget ketika melihat ilmu silat yang cepat sekali gerakannya akan tetapi sama sekali bukan ilmu silat dari Go-Bi-Pai!

   Tadinya ia sudah hendak menegur murid kepala karena mengeluarkan ilmu silat "simpanan". Ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin adalah ilmu silat Go-Bi-Pai yang khusus diajarkan kepada murid kepala yang dicalonkan menjadi ketua apabila ketua yang sekarang meninggal dunia, maka tidak sembarangan dikeluarkan. Bahkan Thian Mo Siansu sendiri pun tidak pernah diberi pelajaran ilmu silat ini maka tentu saja Liem Sun Hauw tidak mengenalnya. Akan tetapi Twi Mo Siansu yang merasa senang melihat kegagalan Sun Hauw, tadinya ingin sekali tahu sampai berapa lama Sun Hauw dapat mempertahankan diri. Alangkah kagetnya ketika ia melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu silat yang luar biasa dan yang agaknya dapat menandingi ilmu silat simpanan Go-Bi-Pai itu!

   "Tahan! Tek Sin dan Sun Hauw, cukuplah ujian ini!"

   Seru Twi Mo Siansu. Ia khawatir kalau-kalau sampai terjadi korban dan ia merasa malu kalau sampai akhirnya Tek Sin Tojin kalah, apalagi di situ terdapat seorang tamu.

   "Tek Sin, bagaimana pendapatmu? Sudah puaskah kau?"

   Tek Sin Tojin adalah seorang jujur. Ia cepat berlutut di depan Suhunya dan berkata,

   "Dalam hal ilmu silat Go-Bi-Pai, Liem-Sute sudah memperlihatkan bahwa dia benar-benar anak murid Go-Bi-Pai dan tidak kalah oleh Teecu sendiri. Bahkan agaknya Liem-Sute sudah mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain yang lebih hebat!"

   Kata-kata ini mengandung sindiran bahwa sebagai murid Go-Bi-Pai, tidak selayaknya Sun Hauw menjadi murid Partai lain tanpa seijin Ketua Go-Bi-Pai.

   "Liem Sun Hauw, apakah kau menjadi murid dari Partai lain?"

   Tanya Twi Mo Siansu dengan suara keren. Sun Hauw berlutut,

   "Teecu hanya menjadi murid Suhu Twi Mo Siansu, tidak menjadi murid Partai lain."

   "Sute, jangan kau bohong! Kalau menjadi murid Partai lain, lebih baik mengaku saja, mungkin Suhu masih dapat mempertimbangkan!"

   Tegur Tek Sin Tojin.

   "Mana Siauwte berani membohong di depan Susiok, Suheng?"

   "Ilmu silatmu dalam jurus-jurus terakhir bukan ilmu silat Go-Bi-Pai! Apakah kau hendak menyangkal?"

   "Memang bukan ilmu silat Go-Bi-Pai, akan tetapi Siauwte menerima pelajaran ilmu silat itu dari Suhu pula, dan Suhu katanya menerima ilmu silat itu dari seorang tokoh yang sakti bernama Hok Peng Taisu di Hong-lun-san."

   Twi Mo Siansu terkejut mendengar nama ini. Nama itu adalah nama seorang di antara tokoh-tokoh terkemuka yang dianggap sebagai tokoh-tokoh sakti di samping Bu Pun Su dan Han Le.

   "Sun Hauw, mengapa kau tadi mengeluarkan ilmu silat itu? Apakah kau hendak memamerkannya dan menganggap bahwa ilmu silat itu lebih unggul daripada ilmu silat Go-Bi-Pai?"

   "Tidak sekali-kali Teecu berani beranggapan demikian, Susiok. Tadi Teecu tiba-tiba menghadapi serangan jurus-jurus ilmu silat yang sama sekali tidak Teecu kenal, yang hebat dan membingungkan Teecu. Karena merasa bahwa tidak ada jurus ilmu silat Go-Bi-Pai yang Teecu kenal dapat menghadapi serangan Suheng itu, terpaksa Teecu mengeluarkan ilmu silat lain itu... harap Susiok sudi memaafkan."

   Twi Mo Siansu menarik napas panjang.

   "Sudahlah. Di dunia ini memang banyak sekali ilmu silat tinggi, mana bisa Go-Bi-Pai berani mengangkat dada mengagulkan kepandaian sendiri? Hanya pesanku, Sun Hauw, apabila kau mengeluarkan ilmu silat yang tadi, kau sekali-kali tidak boleh mengaku sebagai anak murid Go-Bi-Pai! Pantangan besar bagi murid Go-Bi-Pai untuk mengandalkan penjagaan diri bukan dengan ilmu silat Go-Bi-Pai."

   "Teecu mentaati perintah Susiok,"

   Kata Sun Hauw. Twi Mo Siansu berpaling kepada Kiang Liat.

   "Sicu, sampaikan kepada sahabat baik Bu Pun Su bahwa permintaannya sudah kuterima dan kusetujui. Tentang penjagaan di bagian utara, aku berianji akan mengerahkan anak murid Go-Bi-Pai. Dan tentang usaha mempersatukan sahabat-sahabat segolongan, kaulihat murid Liem Sun Hauw mewakili aku dan akan berusaha mendamaikan urusan antara Kim-San-Pai dan Partai Bu-Tong-Pai."

   "Terima kasih, Locianpwe. Setelah saya melihat sikap saudara muda Liem ini, saya merasa kagum dan tertarik. Oleh karena perjalanan menuju Bu-Tong-San sejalan dengan perjalanan saya, maka ingin sekali saya menemani Saudara Liem di perjalanan,"

   Kata Kiang Liat. Setelah membuat persiapan dan minta diri dari Twi Mo Siansu, maka berangkatlah Kiang Liat dan Liem Sun Hauw turun gunung. Mereka merupakan dua orang jantan yang sama-sama gagah perkasa, hampir seimbang kokoh kekar bentuk tubuhnya, sama-sama tampan dan gagah, hanya bedanya, Kiang Liat sudah setengah tua, rambutnya sebagian sudah putih dan mukanya sudah berjenggot berkumis, sedangkan Liem Sun Hauw masih muda, mukanya masih halus.

   Kiang Liat sengaja mengerahkan ilmu lari cepat dan Liem Sun Hauw yang muda tahu bahwa dirinya di "jajal"

   Oleh utusan Bu Pun Su ini. Sudah lama Liem Sun Hauw mendengar nama besar Bu Pun Su yang dipuja-puja oleh mendiang Suhunya, Thian Mo Siansu, maka sekarang ia girang sekali dapat berkenalan dengan seorang yang masih ada hubungan dengan Bu Pun Su. Melihat dirinya diuji, ia pun mengerahkan Gin-kang dan berlari secepat terbang mengimbangi kecepatan Kiang Liat. Mereka menuruni Gunung Go-Bi-San, melompati jurang dan melalui jalan yang sukar dengan enak saja seperti orang berlari-lari di atas tanah rata. Kiang Liat pernah menerima latihan ilmu lari cepat Yan-Cu-Hui-Po dari Pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng, maka dalam ilmu lari cepat, ia sudah mencapai tingkat tinggi.

   Oleh karena ini, biarpun Liem Sun Hauw juga lihai, masih pemuda ini kalah setingkat. Namun Kiang Liat juga tidak bermaksud membikin malu pemuda itu dan sengaja mengurangi kecepatannya agar mereka dapat jalan berendeng. Setelah bercakap-cakap, keduanya makin merasa cocok, Liem Sun Hauw yang tahu bahwa ilmu lari cepat orang tua ini masih melampauinya, merasa kagum. Ia makin merasa suka karena Kiang Liat ternyata tidak meninggalkannya dan tidak memamerkan kemenangannya. Tiba-tiba di sebuah tikungan jalan, mereka melihat seorang Tosu gemuk pendek berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka menghentikan perjalanan dan setelah dekat, Liem Sun Hauw mengenal Tosu ini sebagai murid ke dua dari Twi Mo Siansu. Melihat sikap Tosu yang bermuka kuning dan bertubuh gemuk pendek ini, diam-diam Sun Hauw merasa tak enak hati.

   "Agaknya Suheng ada keperluan penting maka menanti Siauwte di sini,"

   Kata Sun Hauw sambil memberi hormat.

   "Memang ada keperluan penting sekali,"

   Kata Tosu itu, suaranya tinggi dan menggetar. Mendengar suara ini dan melihat muka yang kekuningan dan pucat itu, diam-diam Kiang Liat terkejut karena maklum bahwa Tosu yang kelihatannya tidak seberapa ini ternyata adalah seorang seorang ahli lwee-keh yang memiliki tenaga Lwee-kang tinggi.

   "Barangkali kau belum tahu, Pinto adalah Tek Le Tojin, murid kedua dari Ciangbunjin (ketua) Go-Bi-Pai."

   Melihat sikap ini, Sun Hauw merasa mendongkol sekali. Sikap ini menunjukkan seakan-akan dia tidak dianggap sebagai murid Go-Bi-Pai, melainkan dianggap sebagai tamu.

   "Siauwte sudah mengerti, sekarang apakah kehendak Ji-Suheng?"

   "Kau dipercaya oleh Suhu memikul tugas yang berat. Tadi sudah Pinto saksikan kepandaianmu, akan tetapi sayang, Suhu buru-buru menahan. Oleh karena tugasmu penting sekali, Pinto masih merasa penasaran dan hendak meyakinkan apakah betul-betul kau akan sanggup melakukan tugas itu karena kalau kiranya kau tidak patut menjadi wakil Suhu, masih belum terlambat kau mengembalikan tugas itu kepada Suhu."

   "Apa maksud Suheng?"

   Tanya Sun Hauw tak senang.

   "Menguji apakah betul-betul kau patut menjadi wakil Suhu!"

   Jawab Tek Le Tojin tegas. Mendengar ucapan Tosu muka kuning yang bertubuh pendek gemuk itu, Liem Sun Hauw mengerutkan kening, hatinya tidak senang sekali.

   "Suheng Tek Le Tojin, mengapa Suheng melakukan ini? Bukankah Suheng sendiri tadi sudah menyaksikan bahwa Susiok telah memberi kekuasaan kepada Siauwte untuk melakukan tugas ini?"

   Tek Le Tojin tersenyum menyeringai.

   "Suhu selalu bersikap lemah dan pemurah. Akan tetapi kali ini Pinto benar-benar meragukan apakah kepercayaan Suhu kepadamu bijaksana. Kau bocah kemarin sore yang belum tahu akan seluk beluk dunia kang-ouw, bagaimanakah kau dapat menyelesaikan tugas dengan baik? Apalagi kalau diingat bahwa tugas ini amat pentingnya, yakni menjadi pendamai antara dua Partai besar, Bu-Tong-Pai dan Kim-San-Pai. Pinto sendiri yang sudah banyak makan garam dunia masih ragu-ragu, apakah Pinto akan berhasil menunaikan tugas itu, apalagi seorang bocah macam engkau. Hemmm, apakah yang kau andalkan? Maka majulah, Pinto hendak mencobamu agar hati Pinto tenteram kalau kau pergi. Bagimu mungkin nama besar Go-Bi-Pai tidak ada artinya, namun bagi Pinto dan para anak murid Go-Bi-Pai amat besar artinya dan harus dijaga baik-baik, kalau perlu bahkan dibela dengan taruhan nyawa!"

   Sun Hauw merasa mendongkol. Ia dapat memaklumi dan dapat pula mengagumi sifat Tosu yang jujur ini, yang meragukan keputusan Ketua Go-Bi-Pai sekali-kali bukan untuk menghinanya atau untuk membandel terhadap keputusan Twi Mo Siansu, melainkan untuk menjaga nama baik Go-Bi-Pai yang kini mengutus seorang anak murid yang bukan langsung belajar di Go-Bi-San. Pendeknya, Tosu ini tidak percaya akan kepandaiannya. Kali ini aku harus memperlihatkan kepandaianku. Pikir pemuda ini dengan hati gemas.

   "Baikiah, Suheng. Kau adalah saudara tua, maka aku sebagai saudara muda mana berani membantah kehendakmu? Biarlah Kiang-lo-Enghiong ini menjadi saksi bahwa ujian kepandaian ini adalah kehendakmu dan sama sekali bukan aku yang menghendaki. Maka kalau sampai Susiok marah, aku tidak mau memikul tanggung jawabnya."

   "Baik, baik, biarlah Sicu ini menjadi saksi. Nah, Liem-Sute kau bersiaplah!"

   Sambil berkata demikian, Tek Le Tojin memasang kuda-kuda menghadapi Liem Sun Hauw. Kuda-kudanya biasa saja, kuda-kuda ilmu silat Go-Bi-Pai, akan tetapi kelihatan kokoh kuat seakan-akan kedua kakinya telah berakar ke dalam tanah. Melihat pasangan kuda-kuda ini, didalam hatinya Sun Hauw tertawa geli. Bagaimana sih Tosu ini? Sudah disaksikan oleh Twi Mo Siansu sendiri ketika ia dicoba oleh murid kepala Go-Bi-Pai, ia dapat melayani Tek Sin Tojin dengan baik. Sekarang murid kedua ini hendak mengujinya lagi dengan ilmu silat serupa. Mungkinkah murid kedua lebih pandai daripada murid pertama?

   "Baiklah, Suheng. Siauwte menanti pelajaran dari Suheng!"

   Kata Sun Hauw sambil memasang kuda-kuda pula menghadapi Tosu itu. Tek Lojin mulai menyerang sambil berseru,

   "Awas serangan!"

   Dan tangannya memukul ke arah dada Sun Hauw. Pemuda ini dengan tenang lalu memindahkan kaki sambil menangkis. Akan tetapi ia kaget sekali ketika lengannya beradu dengan lengan Tosu itu, karena ia merasa lengannya menjadi linu dan sakit, bahkan tenaga serangan ini demikian kerasnya sampai-sampai tubuhnya mendoyong!

   Ah, sekarang tahulah dia. Ji-Suhengnya ini adalah seorang yang memiliki Lwee-kang tinggi sekali, mugkin lebih kuat daripada Tek Sin Tojin. Sun Hauw berlaku awas dan kini tidak berani lagi ia menerima pukulan Suhengnya dengan tangkisan langsung, sebaliknya ia mengandalkan kelincahan untuk mengelak dan balas menyerang. Ia memang lebih lincah, selain tubuhnya memang lebih baik bentuknya, juga pemuda ini menerima latihan Gin-kang istimewa dari mendiang Gurunya. Akan tetapi lagi-lagi ia terkejut sekali karena kini setiap pukulan tangan Tek Le Tojin, biarpun tidak mengenai tubuhnya, sudah mendatangkan angin pukulan yang panas dan dahsyat! Ia tidak tahu bahwa tingkat ilmu Lwee-kang dari Tek Le Tojin sudah amat tinggi dan bahwa Tosu ini telah memahami ilmu pukulan berdasarkan Lwee-kang tinggi yang disebut Pek-Lek-Ciang (Si Tangan Kilat).

   Biarpun ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat Go-Bi-Pai, namun dalam tiap pukulan Tek Le Tojin mempergunakan tenaga Pek-Lek-Ciang dalam usahanya mengalahkan Sun Hauw. Sun Hauw benar-benar terdesak hebat. Dalam hal menguji dirinya, ternyata Tek Le Tojin ini bahkan lebih kejam daripada Tek Sin Tojin, karena Tek Le Tojin mendesak terus dengan pukulan-pukulan yang mengandung hawa panas dan kiranya kalau mengenai tepat pada sasarannya akan mendatangkan akibat hebat! Karena tidak tahan menghadapi serangan dengan pukulan Pek-Lek-Ciang, Sun Hauw berseru keras dan kembali ia mengeluarkan ilmu pukulan yang ia pelajari dari mendiang Suhunya, yakni ilmu pukulan dari Hok Peng Taisu! Benar saja, baru tiga jurus ia melawan dengan ilmu silat ini, ia dapat membuyarkan desakan Tek Le Tojin.

   "Bocah lancang! Kau sudah lupa akan pesan Suhu dan kembali berani mempergunakan ilmu silat iblis ini?"

   Bentak Tek Le Tojin!

   "Suheng yang mulai lebih dulu!"

   Bantah Sun Hauw.

   "Mengapa Suheng mempergunakan hawa pukulan yang panas itu? Di dalam ilmu silat Go-Bi-Pai tidak terdapat pukulan macam itu!"

   "Begitu? Baik, kautahanlah pukulanku dengan ilmu iblismu itu!"

   Setelah membentak begini, Tek Le Tojin lalu memukul dengan penggunaan tenaga sepenuhnya sehingga Sun Hauw cepat-cepat harus mempergunakan kelincahan untuk mengelak. Kemudian dengan luar biasa cepatnya dan tidak kalah hebat, ia membalas dengan serangan-serangannya yang tidak dikenal gerakannya oleh Tek Le Tojin sehingga Tosu ini menjadi kelabakan. Dalam marahnya, ketika kedua tangan Sun Hauw memukul dengan sepasang lengan dilonjorkan lurus ke muka, Tek Le Tojin lalu menyambut pukulan itu dengan telapak tangannya.

   "Plak!"

   Dua pasang telapak tangan bertemu dan Sun Hauw tidak kuasa menarik kembali sepasang tangannya! Ia terkejut sekali dan mencoba untuk membetot kedua tangannya, namun sia-sia belaka. Sepasang telapak tangan Tek Le Tojin seakan-akan menyedot tangannya membuat kedua tangan Sun Hauw menjadi menempel dan perlahan-lahan Sun Hauw merasa betapa hawa panas mengalir dari kedua tangan Suhengnya itu menyerang ke dadanya melalui sepasang lengannya! Ia makin terkejut dan gelisah karena sebagai seorang ahli silat tinggi maklumlah pemuda ini bahwa Suhengnya sedang menyerangnya dengan tenaga Lwee-kang yang tinggi, menyerang secara keji karena serangan ini kalau sampai melukai jantungnya berarti mengantar ia menghadap Giam-Lo-Ong (Raja Maut)!

   Untuk melepaskan diri tak mungkin, maka Sun Hauw lalu mengerahkan seluruh Lwee-kangnya untuk melawan serangan ini. Baiknya ia pun sudah mendapat latihan Lwee-kang dari mendiang Suhunya dan biarpun tingkatnya masih kalah banyak dalam hal tenaga Lwee-kang oleh Suhengnya ini, akan tetapi setidaknya tenaganya dapat menolak kembali serangan itu dan dapat ia mempertahankan diri untuk sementara waktu. Ia hanya mengharapkan saja bahwa Tosu ini takkan berlaku kejam dan akan menyudahi serangannya yang keji. Akan tetapi harapannya ternyata kosong belakang. Tek Le Tojin tidak mengurangi serangannya, bahkan mengerahkan tenaga Pek-Lek-Ciang untuk rnencelakai pemuda itu. Bahkan untuk memamerkan keunggulannya dalam mengadu tenaga Lwee-kang itu, ia masih membuka mulut menyindir,

   "Hemm, begini sajakah orang yang hendak mewakili Go-Bi-Pai? Benar-benar mengecewakan dan memalukan sekali!"

   Diperhebat tenaganya sehingga kini muka Sun Hauw sudah penuh keringat dan kedua lengan tangannya sudah mulai gemetar!

   "Sungguh mengherankan sikap tokoh Go-Bi-Pai!"

   Tiba-tiba terdengar suara menggeledek dan Sun Hauw merasa pundaknya ditepuk orang dari belakang. Seketika itu juga, tenaga yang dahsyat melalui sepasang lengannya menyerang Tek Le Tojin sehingga Tosu itu merasa kedua lengannya kesemutan dan otomatis tempelannya lenyap tenaganya. Sun Hauw, mempergunakan tangan sambil melompat ke belakang. Ia terhuyung-huyung dan tentu akan roboh saking lemasnya kaial saja tidak ada Kiang Liat yang cepat menahan punggungnya. Tek Lek Tojin memandang Kiang Liat dengan sepasang mata terbuka lebar dan mulut tersenyum masam.

   "Sudah menerima pelajaran dari Kiang-Sicu, sungguh mengagumkan...!"

   Memang, yang membantu Sun Hauw tadi bukan lain adalah Kiang Liat karena Pendekar ini tidak tega melihat pemuda itu diancam bahaya maut oleh tangan Suhengnya sendiri. Ia merasa penasaran, dan biarpun urusan itu bukan urusannya melainkan urusan antara dua orang murid Go-Bi-Pai, akan tetapi ia tidak bisa membiarkan pemuda itu terbunuh begitu saja. Setelah berkata demikian sambil menjura kepada Kiang Liat, Tosu gemuk pendek itu lalu berlari naik ke puncak lagi dengan cepat.

   "Sungguh berbahaya..."

   Sun Hauw berkata sambil menarik napas panjang.

   "Baiknya ada Kiang-lo-Enghiong yang menolongku, kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan nasibku. Terima kasih banyak, Kiang-lo-Enghiong."

   "Sudahlah, aku tidak bisa membiarkan dia berbuat kejam begitu saja. Dia seorang jujur dan pandai, sayang sekali terlalu keras. Pantas saja Twi Mo Siansu memilih Tek Sin Tojin sebagai calon pengganti ketua, padahal Tek Le Tojin lebih berbakat untuk menjadi seorang ahli silat tinggi."

   Karena baru saja Sun Hauw harus mengerahkan seluruh tenaga Lwee-kangnya dan tekanan Tek Le Tojin sudah menyerang hebat, maka ia perlu beristirahat untuk memulihkan kekuatannya. Kiang Liat mengajaknya beristirahat di bawah pohon dan sambil beristirahat mereka bercakap-cakap. Kiang Liat makin suka kepada pemuda ini, sebaliknya Liem Sur Hauw makin menghormat karena kini ia baru ia tahu betul bahwa utusan Bu Pun Su ini adalah seorang berkepandaian tinggi.

   "Agaknya Suheng Tek Le Tojin, seperti juga Suheng Tek Sin To tidak senang kepadaku karena aku murid Thian Mo Siansu. Dalam hal ini terdapat hal tertentu,"

   Sun Hauw bercerita.

   "Dahulu Suhuku, Thian Mo Siansu, menjadi ketua dari Go-Bi-Pai dibantu oleh Susiok Twi Mo Siansu. Peraturan dari Partai Go-Bi-Pai amat keras dan ketinggalan jaman, maka anak murid Go-Bi-Pai menjadi kaku-kaku dan cara hidupnya melebihi Pendeta-Pendeta yang selama hidupnya dikeram di dalam kuil. Suhuku tidak menyetujui peraturan-peraturan ini dan setelah ia menjadi ciangbunjin, sedikit demi sedikit ia hendak merubahnya. Pendeknya ia hendak menjadi pencipta aliran baru untuk menyesuaikan keadaan Partai dengan kemajuan jaman. Akan tetapi, Susiok Twi Mo Siansu adalah seorang penganut aliran lama dalam peraturan Go-Bi-Pai yang amat kukuh sehingga mulailah terjadi bentrokan paham antara Suhu dan Susiok. Perubahan yang hendak dilakukan oleh Suhu antara lain bahwa Suhu hendak memperkembangkan ilmu silat Go-Bi-Pai ke dunia ramai agar ilmu dari Go-Bi-Pai tidak hanya dimiliki oleh para Pendeta saja, akan tetapi dapat dipergunakan oleh orang-orang untuk membasmi kejahatan di dunia kang-ouw. Hal ini ditentang keras oleh Susiok yang mengkhawatirkan kalau-kalau ilmu silat Partai Go-Bi-Pai akan terjatuh ke dalam tangan orang jahat dan akhirnya orang itu akan merusak nama baik Go-Bi-Pai. Pendirian Susiok ini disokong oleh hampir semua Tosu di dalam kuil."

   Kiang Liat mengangguk-angguk.

   "Dua macam pendirian, namun keduanya memiliki kebenaran masing-masing. Suhumu benar karena apakah artinya para Guru besar Go-Bi-Pai dahulu susah payah menciptakan ilmu-ilmu yang tinggi kalau hanya disimpan di dalam kuil dan tidak dipergunakan untuk kebaikan umat manusia? Sebaliknya, Susiokmu juga benar karena memang bahaya yang dikhawatirkan itu mungkin sekali terjadi. Akan tetapi, sebetulnya perbedaan faham dapat dipecahkan dengan jalan tengah, misalnya, biarpun boleh menerima murid dari luar, akan tetapi dilakukan pemilihan yang keras dan setiap murid diharuskan belajar di puncak Go-Bi-San."

   "Sayang dahulu tidak ada Lo-enghiong yang memberi nasihat kepada Suhu dan Susiok. Akan tetapi, pertikaian itu pun tidak berlarut-larut karena Suhu yang amat sayang kepada Susiok, lalu meninggalkan Go-Bi-San dan menyerahkan kedudukannya kepada Susiok. Suhu sendiri lalu turun gunung merantau dan menerima beberapa orang murid di dalam perantauannya, di antaranya aku sendiri menjadi muridnya yang terakhir sampai Suhu meninggal di kampungku."

   "Di manakah kampungmu?"

   "Kampungku Pek-Kan-Mui terletak di Propinsi Shansi, di lembah Sungai Huang-ho. Suhu tinggal di sana sampai tujuh tahun. Aku muridnya tunggal dan terakhir. Bahkan Suhu tinggalnya juga di rumahku, di mana aku tinggal berdua dengan Ayah yang sudah menjadi duda. Ibuku sudah meninggal dunia semenjak aku berusia lima tahun. Kemudian karena sakit dan sudah amat tua, Suhu meninggal dunia dan berpesan agar supaya aku naik ke Go-Bi-San dan memperkenalkan diri kepada Susiok serta memberi tahu tentang kematian Suhu."

   Kiang Liat tertarik sekali mendengar penuturan Sun Hauw. Apalagi ketika mendengar keadaan pemuda ini yang tidak mempunyai ibu lagi. Diam-diam ia membandingkan keadaan pemuda ini dengan keadaan puterinya. Timbul rasa sayang dan suka di dalam hatinya kepada pemuda ini dan timbul keinginan hatinya untuk mengambil Sun Hauw sebagai mantunya, dijodohkan dengan Kiang Im Giok. Sebaliknya, Sun Hauw yang merasa kagum sekali kepada Kiang Liat, juga ingin mengetahui keadaan rumah tangga Kiang Liat lebih jelas.

   "Kalau aku boleh bertanya, Lo-Enghiong tinggal di manakah dan sebenamya Lo-Enghiong yang lihai ini murid siapakah?"

   Kiang Liat tersenyum.

   "Aku ahli waris ilmu silat keluarga Kiang dan selain itu, juga aku pemah menjadi murid Suhu Han Le, juga pernah menerima pelajaran dari Pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng dan Supek Bu Pun Su pemah pula memberi pelajaran kepadaku."

   "Aduh, pantas saja Lo-Enghiong begini lihai..."

   Sun Hauw berseru kagum dan menjura memberi hormat.

   "Harap maafkan kalau Siauwte tadi berlaku kurang hormat."

   "Hushh, mengapa banyak sungkan-sungkan? Apa sih artinya kepandaian? Betapapun tinggi Gunung Thai-San, masih ada langit yang berada di atasnya! Betapapun pandainya seseorang, pasti ada yang lebih pandai daripadanya. Kita sudah menjadi sahabat apa perlunya berlaku sheji (sungkan)?"

   "Terima kasih atas kepercayaan Lo-Enghiong kepadaku yang muda dan bodoh. Di manakah Lo-Enghiong tinggal? Siapa tahu kelak kalau ada waktu, aku akan datang berkunjung."

   "Rumahku di Siang-Koan dan di sana aku hanya tinggal berdua dengan puteri tunggalku, ibunya sudah meninggal dunia semenjak anakku masih kecil sekali..."

   Kiang Liat menarik napas panjang dan meramkan mata karena teringat akan isterinya yang tercinta.

   "Ahhh aku ikut menyesal sekali akan nasibmu yang malang, Lo-Enghiong..."

   Cepat-cepat Sun Hauw menghibur melihat keadaan Kiang Liat. Pendekar ini membuka kedua mata, bibimya memaksa tersenyum akan tetapi kedua matanya basah.

   "Terima kasih, kau baik sekali, Liem-Sicu."

   "Namaku Sun Hauw, harap Lo-Enghiong jangan sungkan-sungkan menyebut namaku dan menganggap aku sebagai sahabat baik atau keluarga sendiri. Sungguh tidak enak mendengar Lo-Enghiong bersungkan dan menyebutku Liem-Sicu!"

   "Baiklah Sun Hauw, kau memang seorang pemuda yang baik. Mudah-mudahan saja hidupmu bahagia, jangan seperti aku..."

   Melihat betapa Kiang Liat kembali akan terbenam dalam kesedihan, Sun Hauw yang pandai membawa diri itu berkata, dengan maksud menghibur Kiang Liat, membawa orang tua itu kepada kenangan yang menggembirakan.

   "LoEnghiong, kau begini gagah perkasa, sudah tentu puterimu juga memiliki kepandaian tinggi, bukan?"

   Maksud Sun Hauw berhasil. Kini setelah teringat akan puterinya, berserilah lagi wajah Kiang Liat, matanya bersinar-sinar gembira. Bukan hanya dapat membikin Kiang Liat untuk sementara melupakan isterinya yang sudah meninggal, bahkan pertanyaan ini menimbulkan kembali niatnya semula, yakni memungut mantu pemuda yang tampan dan gagah lagi menyenangkan hati ini.

   "Kau maksudkan puteriku Im Giok? Ha, ha, orang sudah memberi julukan padanya Ang I Niocu! Salahnya sendiri, dia sejak kecil suka memakai pakaian serba merah sih. Kepandaiannya? Ah, dia memang beruntung, Supek Bu Pun Su sendiri berkenan memberi beberapa ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Tentang kepandaiannya pada waktu ini kalau mau diukur, tingkatnya malah lebih tinggi daripada tingkat kepandaianku!"

   Diam-diam Sun Hauw terkejut. Bukan main! Kepandaian Kiang Liat sudah begini hebat, dan sekarang Kiang Liat sendiri mengaku bahwa kepandaian puterinya yang bemama Ang I Niocu Kiang Im Giok itu lebih tinggi lagi?

   "Lo-Enghiong benar-benar berbahagia dan keluarga Lo-Enghiong adalah keluarga gagah perkasa. Benar-benar membuat Siauwte tunduk dan kagum,"

   Kata Sun Hauw.

   "Sun Hauw, kau sendiri apakah sudah menikah?"

   Ditanya tentang ini secara tiba-tiba, pemuda itu membuka lebar-lebar matanya, kemudian mukanya berubah merah dan ia menggeleng kepala.

   "Belum Lo-Enghiong." "Hemm, usiamu kurasa sudah lebih dua puluh dan sudah sepatutnya kalau sudah mempunyai jodoh."

   "Siauwte berusia dua puluh dua tahun, akan tetapi Siauwte yang miskin ini mana berani menyeret anak orang lain dalam jurang kesengsaraan dan kemiskinan?"

   Jawaban ini menyenangkan hati Kiang Liat.

   "Kata-katamu itu mencerminkan watakmu yang baik, Sun Hauw. Sebagai seorang gagah harus berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Akan tetapi ucapanmu itu tidak betul. Bukan kemiskinan yang mendatangkan kesengsaraan dalam perjodohan, melainkan ketidakrukunan atau ketidakcocokan keadaan dan watak. Sudah lama sekali aku mencari-cari calon jodoh puteraku, akan tetapi karena aku takut kalau-kalau wataknya tidak cocok, maka sampai sekarang aku masih belum menemukan orangnya. Anakku memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, tentu ia mengutamakan kegagahan seperti semua keluarga kami. Selain ini, tentang muka, hmmm... bagiku, di muka bumi ini, kecuali mendiang ibunya, tidak ada wanita yang secantik dia! Sun Hauw, aku Kiang Liat paling suka bicara terus terang. Sampai sekarang belum pernah aku bertemu dengan seorang pemuda yang patut menjadi jodoh Im Giok. Dan sekarang aku bertemu dengan engkau. Aku suka sifat-sifatmu, aku melihat kau seorang pemuda yang cukup tinggi ilmu silatmu, bakatmu baik, dan kau mengutamakan kegagahan pula. Kau tampan dan gagah, kiranya pantas sekali menjadi calon jodoh puteriku."

   Mendengar kata-kata ini bukan main bingung dan jengahnya pemuda itu. Mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan ia hanya tersenyum malu-malu dan tidak berani langsung menatap wajah Kiang Liat.

   "Bagaimana, anak muda? Bersediakah kau menjadi calon suami puteriku?"

   Didesak begini, Sun Hauw tak dapat menjawab, hanya memandang ragu dan bingung. Akhimya dapat juga ia menjawab,

   "Maaf, Lo-Enghiong. Urusan ini datangnya begini tiba-tiba sehingga aku tak tahu bagaimana harus menjawab. Kiranya perlu dipikirkan lebih masak dan sekembaliku dari Bu-Tong-San aku akan singgah di Siang-Koan dan memberi jawaban keputusan."

   Kiang Liat mengangguk-angguk gembira.

   "Baiklah, tentu saja demikian! Asal ada kesanggupan darimu, hatiku sudah puas. Memang, syarat dalam perjodohan bukan hanya tergantung dari persamaan watak, akan tetapi juga kecocokan hati! Aku tahu keadaan hati orang-orang muda jaman sekarang. Dan tentu saja kau belum puas mendengar kata-kataku kalau kau belum melihat sendiri orangnya. Ha, ha, ha! Baiklah, Sun Hauw, aku menunggu kedatanganmu secepat mungkin dan aku berani bertaruh potong kepala bahwa sekali kau melihat Im Giok, kau takkan dapat tidur nyenyak lagi. Ha, ha, ha!"

   "Aku yang bodoh menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas budi kecintaan dari Lo-Enghiong yang dilimpahkan kepadaku. Semoga Thian menjaga sehingga aku kelak tidak akan mengecewakan hati Lo-Enghiong yang berbudi mulia, dan selama nyawa di kandung badan, aku takkan melupakan Lo-Enghiong. Aku bersumpah untuk datang ke Siang-Koan setelah selesai tugas yang diserahkan kepadaku."

   
Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demikianlah, dengan hati girang dan penuh harapan, Kiang Liat berpisah dari Sun Hauw. Ia menuju pulang ke Siang-Koan, sedangkan Sun Hauw melanjutkan perjalanannya ke Bu-Tong-San.

   Giok-Gan Niocu Song Kim Lian semenjak kecilnya memang sudah memiliki sifat-sifat kurang baik dari seorang gadis, yakni centil genit dan kadang-kadang bersifat cabul. Di dalam hatinya ia boleh dibilang gila lelaki dan pikirannya penuh oleh bayangan pemuda-pemuda tampan. Selama ia tinggal bersama Gurunya dan Sumoinya, ia masih tak dapat berbuat sesuka hatinya karena takut kepada Gurunya, juga takut dan segan kepada Kiang Im Glok. Akan tetapi, setelah Gurunya dan Sumoinya pergi dalam waktu berbareng, yakni Im Giok pergi mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-Hai sedangkan Kiang Liat oleh Bu Pun Su disuruh ke Go-Bi-San, keadaan Song Kim Lian laksana kuda betina liar tidak dipasangi kendali lagi! Ia bersuka-suka dan bermain-main dengan para pemuda Kota Siang-Koan yang boleh dibilang semua memujanya karena dia memang cantik jelita lagi genit.

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Ang I Niocu (Seri ke 02 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   Setiap hari Kim Lian bersama serombongan pemuda tampan yang kerjanya hanya hilir mudik menjual tampang, pemuda-pemuda anak orang kaya yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa kecuali mengatur pakaian dan merawat muka seperti perempuan, pergi berpesiar sambil bergurau gembira. Penduduk-penduduk tua di Siang-koan menggeleng kepala menyaksikan kejanggalan ini, akan tetapi siapakah berani menegur Giok-Gan Niocu Song Kim Lian yang selain memiliki kepandaian tinggi juga menjadi murid Jeng-jiu-sian Kiang Liat, Pendekar besar di Siang-Koan? Perjalanan Im Giok dan Kiang Liat memakan waktu lama. Hal ini diketahui baik oleh Kim Lian dan karenanya membuat ia menjadi makin berani dan binal.

   Gadis yang merasa tidak ada orang yang akan berani menegurnya ini bahkan menjadi demikian binal sampai-sampai pada suatu hari ia mengundang belasan orang pemuda pemogoran untuk datang di taman bunga gedung Gurunya untuk berpesta dan bergembira! Para pelayan di rumah gedung keluarga Kiang tentu saja tidak ada yang berani menegur, bahkan mereka ikut bergembira. Para pemuda itu menikmati hidangan dan arak, dan puncak kegembiraan itu adalah ketika dengan pakaian yang ringkas mencetak bentuk tubuhnya yang menggairahkan, Kim Lian keluar dan bermain silat pedang di tengah-tengah taman. Dengan gerakan-gerakan indah dan tubuhnya yang lincah, Kim Lian sengaja berpamer, tidak saja memamerkan ilmu pedangnya, akan tetapi terutama sekali memamerkan kecantikan dan keindahan bentuk tubuhnya kepada belasan pasang mata yang memandang dengan kagum sehingga beberapa di antaranya hampir copot dan melompat keluar dari kepala!

   Tepuk tangan riuh-rendah dan sorak-sorai gembira setiap kali terdengar menyambut setiap jurus atau gerakan yang dianggap indah. Kim Lian sengaja tidak mau bersilat dengan gerak cepat, melainkan bersilat perlahan-lahan dan lambat-lambatan agar setiap gerakannya dapat "dinikmati"

   Oleh pandang mata kawan-kawannya. Selagi para pemuda itu ketawa-tawa dan bertepuk tangan memuji Kim Lian yang sedang bersilat dengan bibir merah tersenyum-senyum manis dan mata jeli, melirik-lirik genit, tiba-tiba berkelebat bayangan merah yang tidak terlihat oleh para pemuda itu, akan tetapi terlihat oleh mata Kim Lian yang terlatih. Seketika wajah Kim Lian memucat dan gerakan silatnya berhenti.

   "Suci...!!"

   Setelah terdengar suara ini, barulah semua pemuda yang berada di situ menengok dan memandang ke belakang dan di situ berdiri seorang gadis berpakaian merah, gadis cantik jelita yang sudah lama menjadi idaman para pemuda itu, yang sudah lama pula menjadikan mereka merindu, akan tetapi tidak berani menyatakan karena Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan gadis sebangsa Kim Lian. Dengan adanya Im Giok, kecantikan Kim Lian yang tadi dikagumi menjadi layu.

   "Pergi kalian orang-orang tak beradab!"

   Bentak Im Giok sambil menghunus pedang menggertak rombongan pemuda itu. Maka pergilah mereka seorang demi seorang dengan kepala tunduk dan kaki menggigil, bagaikan anjing-anjing diusir dan diancam dengan pecut. Kalau saja mereka itu berekor tentu masing-masing menyembunyikan ekor di bawah kaki belakang. Para pelayan juga bubar ketakutan, mengerjakan pekerjaan masing-masing.

   "Sumoi... kau sudah datang? Ah, mereka itu... eh, aku... aku kesepian setelah kau dan Suhu pergi, maka hendak mengadakan sedikit pesta..."

   "Mengapa mendatangkan orang-orang lelaki melulu? Suci, kau benar-benar keterlaluan. Kalau tidak merubah sifat macam ini, aku khawatir sekali kelak kau akan terjerumus..."

   "Mereka... mereka itu mengagumiku, mengagumi ilmu pedangku, mengagumi kepribadianku dan, aku... aku senang sekali mereka kagumi. Apa salahnya itu, Sumoi"

   Kim Lian mencoba membantah. Im Giok menghela napas, kehabisan akal. Memang ia sudah tahu akan sifat kakak seperguruannya ini yang agak "Mata keranjang".

   "Sudahlah, masih baik aku yang mendapatkan kau mengundang mereka itu ke sini. Kalau Ayah yang datang tidak saja kau mendapat marah besar, mungkin mereka itu akan ditampar seorang demi seorang."

   "Hi-hi-hi, aku ingin melihat muka mereka kalau ditampar oleh Suhu. Tentu sekali tampar menjadi bengkak seperti semangka,"

   Kata Kim Lian genit.

   "Sebetulnya aku pun tidak suka dengan pemuda-pemuda lemah seperti mereka. Akan tetapi dimanakah mencari pemuda gagah seperti Suhu di waktu muda? Karena tidak ada yang demikian, mereka itu untuk kawan pun... bolehlah..."

   "Cukup! Suci, mengapa bicaramu seperti itu? Sudah, aku tidak sudi mendengar lagi. Lekas kau berganti pakalan yahg pantas dan membantu aku melayani tamu yang kini sudah duduk di ruang tamu."

   "Siapa?"

   Tanya Kim Lian terheran. Wajah Im Giok berubah merah. Baiknya waktu itu hari sudah mulai gelap sehingga warna kemerahan yang menjalar kedua pipinya itu tidak kelihatan oleh Kim Lian.

   "Dia adalah Gan-Siucai."

   "Ooo, diakah? Yang kau antarkan ke Tiang-Hai? Yang dulu kita tolong dari tangan perampok?"

   Im Giok mengangguk.

   "Benar, dia datang mengunjungi kita untuk bertemu dengan Ayah dan menghaturkan terima kasih atas pertolongan Susiok-Couw Bu Pun Su. Lekas kau berganti pakaian."

   "Apa Suhu belum pulang juga?"

   Tanya Kim Lian.

   "Kalau dia tidak berada di sini tentu berarti belum pulang, aku baru saja datang, mana aku bisa tahu?"

   Jawab Im Giok yang masih mendongkol melihat kelakuan Sucinya yang ditinggal seorang diri di rumah. Ia akan perlahan-lahan membicarakan tentang sikap Sucinya ini dengan Ayahnya, karena kalau dibiarkan saja, bisa berbahaya nasib hidup Sucinya ini. Setelah Kim Lian muncul lagi, Im Giok makin mendongkol saja. Sucinya benar-benar terlalu. Sekarang menghadapi Tiauw Ki, Sucinya telah berganti pakaian indah dan baru, mukanya dibedaki tebal dan bibir serta pipinya dimerah-merah! Dengan gerakan genit menarik Kim Lian memberi hormat kepada Tiauw Ki yang juga sudah berdiri dan memberi hormat, lalu Kim Lian berkata dengan suara halus merdu,

   "Ah, kiranya Gan-Siucai yang menjadi tamu agung! Gan-Siucai, apakah kau masih ingat kepadaku?"

   Tiauw Ki tersenyum

   "Tentu saja Lihiap. Bagaimana aku bisa lupa kepada Lihiap yang pernah menolong nyawaku!"

   Kim Lian mengeluarkan suara ketawa,

   "Ah, bisa saja kau, Gan-Siucai. Bukan kau yang harus berkata demikian, sebaliknya akulah yang masih berterima kasih kepadamu. Kau telah memperlihatkan pembelaan besar sekali kepadaku di hadapan Susiok-cow Bu Pun Su. Budimu itu yang demikian besarnya, sampai mati pun aku Song Kim Lian takkan dapat melupakannya!"

   Sambil berkata demikian, ia tersenyum dan pandang matanya menyambar dalam kerling yang penuh arti. Memang sepasang mata gadis ini amat indah dan tajam, maka aksinya ini tentu amat menarik hati, karena keindahan matanya maka ia diberi julukan Giok-Gan Niocu (Nona bermata Kemala).

   Melihat sikap Kim Lian ini, diam-diam Tiauw Ki merasa kurang senang dan tidak enak hati, akan tetapi pemuda ini lalu merendahkan diri dengan sikap sopan. Kemudian ia berkata kepada Im Giok,

   "Karena Kiang Lo-Enghiong belum pulang, biarlah aku pergi dulu dan aku akan menanti kedatangannya di rumah Penginapan. Mudah-mudahan saja ia akan datang tak lama lagi."

   Im Giok juga mendongkol melihat sikap Sucinya, maka memang lebih baik kalau kekasihnya itu lekas-lekas pergi dari depan Kim Lian. Maka katanya,

   "Baikiah Gan-ko. Rumah Penginapan Liok-Nam di ujung barat Kota adalah rumah Penginapan terbesar dan baik, harap kau bermalam di sana. Nanti kalau Ayah sudah pulang, tentu akan kuberi kabar kepadamu."

   Tiauw Ki memberi hormat lalu meninggalkan gedung keluarga Kiang. Setelah pemuda itu pergi, Kim Lian lalu memegang tangan Im Giok.

   "Eh, Sumoi yang manis. Agaknya ada apa-apanya antara dia dan kau!"

   Wajah Im Giok menjadi merah sekali.

   "Jangan main-main, Suci. Betapapun juga, aku dan dia tetap menjaga kesopanan."

   "Aha, jadi benar ada apa-apanya? Nah, aku dapat membayangkan... aduh, aku tahu, aku dapat menduga... hi-hi-hi-hi...!"

   "Suci, jangan sembarangan bicara! Apa yang kau tahu? Apa yang kau bayangkan dan kauduga?"

   "Ah, begitu mesra, adduuuhhh..."

   Kim Lian menggoda sambil menaruh kedua tangan di kanan kiri pipinya.

   "Suci, jangan bikin aku marah. Jangan kau menduga yang bukan-bukan! Aku bukan perempuan macam itu. Apa yang kauduga?"

   "Sumoi, apa salahnya kalau kau suka dia yang tampan dan dia suka kau yang cantik?"

   "Kau menyangka keliru!"

   "Yang betul bagaimanakah?"

   Kim Lian memancing.

   "Takkan kuceritakan padamu!"

   Im Giok berpura-pura marah.

   "Ah, begitu? Adikku yang baik, kalau begitu aku tetap menduga yang bukan-bukan. Kalau kau tak bercerita terus terang kepadaku, bagaimana aku dapat menghentikan dugaanku sendiri? Hmmm, dapat kubayangkan betapa mesranya..."

   Kembali Kim Lian menggoda.

   "Suci Kim Lian, jangan kau main-main. Dia datang mau bertemu dengan Ayah untuk... meminangku. Ini sungguh-sungguh bukan main-main!"

   "Aaaahh... begitukah?"

   Kim Lian memeluk Sumoinya.

   "Adikku yang manis, kau harus menceritakan pengalamanmu kepadaku bagaimana kau sampai mengikatkan diri dan begitu mudah menjatuhkan pilihan?"

   Keduanya memasuki kamar dan di dalam kamar itu dua orang gadis ini bicara kasak-kusuk. Im Giok menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan Tiauw Ki yang penuh bahaya.

   "Dia seorang berbudi mulia, Suci. Sudah terbukti berkati-kali cinta kasihnya yang besar kepada diriku, dan sudah beberapa kali ia rela mengorbankan keselamatannya demi untuk menolongku. Kurasa di dunia ini tidak ada orang ke dua sebaik dia."

   Terdengar isak tangis dan Kim Lian memeluk adiknya sambil menangis.

   "Eh, Suci, mengapa kau menangis?"

   Tanya Im Giok terheran sambil memegang pundak Sucinya.

   "Adikku... aku girang sekali... akan tetapi, apakah kau tidak terlalu tergesa-gesa? Kalau kau... menikah dan pergi, bagaimana dengan diriku? Sumoinya sudah menikah dan Sucinya belum, apa akan kata orang...?"

   Tahulah kini Im Giok mengapa Kim Lian menangis.

   "Suci, apa salahnya hal itu? Kita bukan saudara kandung, dan hubungan kita hanyalah Sumoi dan Suci dari keluarga lain. Siapa yang lebih dulu keluar pintu tidak merupakan halangan apa-apa."

   Ia menghibur dan diam-diam di dalam hatinya berdebar karena ia sendiri masih belum dapat menentukan apakah Ayahnya akan menerima pinangan Tiauw Ki. Anehnya, semenjak Im Giok datang, Kim Lian selalu kelihatan tidak gembira, bahkan setiap hari ia keluar tanpa mengajak Im Giok, menunggang kuda seorang diri. Tadinya Im Giok menaruh curiga dan diam-diam ia mengikuti Sucinya, akan tetapi temyata setelah Im Giok pulang, Kim Lian tidak berani main gila lagi dan kepergiannya hanya untuk menunggang kuda keluar Kota dan kembali lagi, hanya untuk memuaskan keinginannya dan ketenangannya menunggang kuda. Akan tetapi diam-diam Im Giok mengerti bahwa Sucinya itu tidak senang hati, mungkin sekali iri hati karena hubungannya dengan Tiauw Ki.

   Akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan. Setiap hari Im Giok menyuruh seorang pelayan pergi ke rumah Penginapan Liok-Nam, mengantar makanan atau apa saja kepada Tiauw Ki. Padahal, ini hanya untuk alasan saja, sebenamya ia ingin mendengar dari pelayannya bahwa keadaan pemuda itu baik-baik saja, dan terutama sekali bahwa kekasihnya itu masih berada di rumah Penginapan Liok-Nam! Pada hari ke lima, menjelang senja, ia mendengar suara Ayahnya di luar rumah. Cepat Im Giok berlari keluar dan benar saja, ia melihat Ayahnya sudah pulang dan agaknya bertemu di tengah jalan dengan Kim Lian, karena pulangnya bersama Sucinya itu. Wajah Kiang Liat muram sekali dan begitu mereka memasuki ruangan dalam dan di mana tidak ada pelayan hadir, Kiang Liat memandang kepada puterinya dan bertanya,

   "Im Giok, apa sih artinya hubunganmu yang gila-gilaan dengan manusia kutu buku she Gan itu?"

   Suaranya menyatakan bahwa orang tua itu menahan-nahan kemarahannya. Im Giok kaget sekali dan menoleh kepada Kim Lian, pandangan matanya tajam menusuk. Kim Lian tersenyum dan berkata kepadanya,

   "Benar, Sumoi. Sudah tak tahan lagi hatiku dan aku menceritakan kabar girang itu kepada Suhu tadi..."

   "Kabar girang...?? Gila betul! Kim Lian, keluarlah kau, biar aku bicara sendiri dengan Im Giok!"

   Kata Kiang Liat makin marah mendengar kata-kata ini Kim Lian membungkuk dan berkata,

   "Baiklah, Suhu."

   Kemudian ia keluar dari kamar itu dan dari pinggir Im Giok dapat melihat bayangan senyum di sudut bibir Sucinya. Setelah Kim Lian pergi, Kiang Liat menjatuhkan diri di atas kursi dan berkatalah dia, suaranya kini agak sabar,

   "Coba kau beri penjelasan, Im Giok. Kuharap saja cerita Kim Lian tadi tidak betul adanya. Benarkah kau mempunyai hubungan dengan seorang Siucai she Gan dan yang kini datang untuk melamarmu?"

   Muka Im Giok sebentar pucat sebentar merah. Macam-macam perasaan teraduk-aduk dalam hati dan pikirannya. Akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya dan berkatalah ia dengan suara tenang,

   "Ayah, harap kau suka tenangkan hati dan bersabar. Hal ini ada ceritanya panjang lebar."

   "Tidak peduli aku akan cerita panjang lebar, pendeknya apakah benar kau ada hubungan dengan kutu buku terkutuk yang bisanya cuma membaca menulis dan menjual tampang itu?"

   Mata Im Giok menjadi merah. Ia tahu bahwa kadang-kadang Ayahnya juga suka marah-marah seperti itu, akan tetapi belum pemah terhadap dia Ayahnya marah-marah tanpa alasan. Sebaliknya dia sejak kecil dibawa oleh Pek Hoa Pouwsat dan setelah kembali bersama Ayahnya, ia dimanja secara luar biasa oleh Ayahnya, maka ia pun agak berani membantah Ayahnya.

   "Ayah, bagaimana kau bisa memaki-maki orang yang sama sekali tidak pernah kaulihat dan kenal?"

   Kini gadis itu membantah marah. Biasanya kalau sudah melihat puterinya berdiri menentangnya dengan alis terangkat, mata berapi dan dada dibusungkan ini, hati Kiang Liat menjadi lemah. Alangkah besar persamaan wajah Kiang Im Giok dengan Song Bi Li, isterinya! Dan biasanya kalau Im Giok sudah menentang dan marah, Kiang Liat selalu mengalah dan menuruti kehendak gadis itu. Akan tetapi sekarang tidak demikian, Kiang Liat bahkan berkata keras,

   "Tak usah dilihat, tak usah dikenal! Laki-laki kutu buku dan cacing tinta tidak ada yang baik, semua berhati palsu bermulut manis tak dapat dipercaya! Jangan kau dekat-dekat dengan dia!"

   "Akan tetapi, Ayah. Gan-Siucai bukan orang macam itu. Dan aku bahkan diberi tugas oleh Susiok-Couw untuk mengantarnya ke Tiang-Hai!"

   Kiang Liat tertegun. Dia sudah mendengar dari Bu Pun Su ketika kakek sakti itu datang mengunjunginya bahwa Im Giok memang diberi tugas mengawal utusan Kaisar ke Tiang-Hai? Jadi utusan Kaisar itu pemuda inikah?

   "Hemmm, mana ada utusan Kaisar kutu buku yang lemah?"

   Ia berkata kepada Im Giok, agak tak percaya.

   "Ayah terlalu mengandalkan kepandaian menggerakkan pedang! Sebetulnya di antara para penggerak pensil juga tidak kurang terdapat orang-orang berjiwa kesatria dan bersemangat api! Gan-Siucai betul-betul utusan Kaisar biarpun dia memang tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Akan tetapi jiwanya besar, Ayah."

   Melihat Ayahnya diam saja, Im Giok lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika ia mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-Hai lalu ke Kota raja. Dituturkan semua pengalamannya itu dengan singkat dan terutama sekali ia menonjolkan sikap kekasihnya yang gagah berani dalam membelanya. Kiang Liat tidak kelihatan tertarik. Ia hanya beberapa kali menggeleng kepala, bahkan memberi komentar tidak puas setelah penuturan puterinya selesai.

   "Kalau dia bukan kutu buku, kalau dia seorang yang berkepandaian tinggi, tak mungkin kau sampai dihina orang, tak mungkin kau menghadapi ancaman bahaya besar. Dan sekarang dia datang hendak melamarmu?"

   Im Giok menundukkan mukanya, lalu menjawab lirih.

   "Demikianlah kehendaknya."

   "Tidak bisa! Kau suruh saja pelayan memberi tahu dia bahwa dia boleh lekas-lekas pulang dan jangan sekali-kali berani datang lagi ke sini!"

   Im Giok mendengar kata-kata ini menjadi pucat.

   "Ayaaaahhh...!"

   Serunya, setengah marah setengah terkejut. Ayahnya menggeleng-geleng kepalanya.

   "Tidak bisa, kau sudah mempunyai calon suami. Kau sudah kujodohkan dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, murid terpandai dari Go-Bi-Pai yang bernama Liem Sun Hauw. Dia gagah perkasa, berkepandaian tinggi, berwajah tampan, pendeknya tidak kalah oleh Ayahmu di waktu muda. Dia patut menjadi suamimu, sama rupawan, sama perkasa. Apa itu kutu buku yang lemah terkena angin sedikit saja jatuh sakit? Tidak...!"

   Makin lama sepasang mata Im Giok makin berapi-api ketika ia mendengarkan kata-kata Ayahnya.

   "Tidak...!"

   Katanya keras sekali sambil membanting kakinya ke atas lantai, dan saking kerasnya gadis ini mengerahkan tenaga, lantai itu sampai hancur dan kakinya melesak ke dalam.

   "Sekali lagi tidak! Aku tidak sudi menikah dengan dia!"

   "Im Giok...!"

   "Aku yang hendak menikah, bukan Ayah! Kalau Ayah memaksa, aku akan lari, minggat bersama Gan-Siucai!"

   Setelah berkata demikian, sambil terisak menangis Im Giok lari memasuki kamarnya di mana ia membanting tubuhnya di atas pembaringan, menyembunyikan muka di bawah bantal dan menangis tersedu-sedu.

   Kiang Liat berdiri tak bergerak seperti patung, mukanya pucat dan matanya memandang ke arah pintu kamar anaknya tak berkedip. Kata-kata lari minggat meninggalkannya amat menusuk hatinya dan mendatangkan rasa sakit bukan main. Lalu menimbulkan rasa takut dan khawatir kalau-kalau anaknya benar akan pergi meninggalkannya. Dengan langkah terhuyung-huyung ia pergi ke kamar anaknya, memasuki kamar itu dan hampir saja ia terguling kalau tidak cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut di tengah kamar, dekat pembaringan anaknya. Pikirannya tidak karuan rasanya, matanya dipejamkan dan di dalam otak ia merasa segala sesuatu terputar-putar. Jantungnya berdenyut-denyut keras amat nyeri dan telinganya penuh oleh suara seperti angin badai mengamuk. Bibimya bergerak-gerak dan terdengar kata-katanya seperti mabuk,

   "Jangan tinggalkan aku... jangan tinggalkan aku seorang diri...!"

   Im Giok sudah duduk di atas pembaringan dengan muka pucat. Tangisnya dalam sekejap berhenti dan kini ia memandang kepada Ayahnya. Tadinya ia tidak tahu apa artinya sikap Ayahnya seperti ini, akan tetapi akhimya ia mengerti. Selama ini Ayahnya memang bersikap aneh dan kadang-kadang mendekati sikap gila, menangis dan tertawa seorang diri di dalam kamar. Kadang-kadang memanggii-manggil nama ibunya. Dan sekarang, Ayahnya bersikap seperti ini karena dia hendak meninggalkan Ayahnya!

   "Ayaah..."

   Im Giok menubruk dan menangis di dada Ayahnya "Ayaah, tidak... aku tidak akan meninggalkanmu, Ayah..."

   Dua titik air mata turun membasahi pipi Kiang Liat ketika ia membuka matanya. Didekapnya kepala anaknya itu pada dadanya erat-erat, seperti orang merasa takut kalau-kalau mustikanya dirampas orang.

   "Im Giok, anakku sayang benar-benar kau tidak akan meninggalkan aku..."

   Tanyanya dengan suara berbisik. Im Giok terisak menahan tangisnya.

   "Tidak Ayah, asal saja Ayah jangan memaksa aku menikah dengan Liem Sun Hauw murid Go-Bi-Pai itu..."

   Kiang Liat menarik napas panjang, lalu menarik anaknya berdiri. Dipandangnya wajah anaknya dan bentuk tubuhnya, lalu ia menghela napas lagi.

   

Pendekar Sakti Eps 7 Pendekar Kelana Eps 4 Pendekar Kelana Eps 16

Cari Blog Ini