Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti 7


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Demikianlah, dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan Kwan Cu karena harus berlatih secara ini. Lebih hebat lagi, seringkali Suhunya agaknya lupa untuk memberi makan kepadanya sehingga pernah dua hari dua malam Kwan Cu tergantung saja secara terbalik tanpa makan, hanya hidup dari hawa udara saja! Akan tetapi yang lebih aneh dan hebat lagi, anak ini tak pernah mengeluh dan tak pernah minta makan!

   Akhirnya, beberapa bulan kemudian, dia telah dapat melakukan Siulian (samadhi) secara tergantung kakinya ini selama tiga hari tiga malam tanpa makan! Juga pernapasannya menjadi normal kembali, biarpun dalam keadaan tergantung, dia telah dapat bernapas dengan teratur, bahkan dia dapat mendesak isi perutnya agar jangan tergantung dan tetap tinggal di dalam perut. Tubuhnya terasa ringan sekali dan jalan pikirannya terang. Kini dia telah mendapatkan kepandaian yang istimewa. Kini kalau dia hendak berlatih, tidak lagi Gurunya membantu. Ia melompat ke atas sebatang cabang pohon sambil membawa kain pengikat kakinya, mengikat kedua kakinya pada cabang itu lalu menggantung dirinya! Pada pagi hari itu, ketika mereka tiba di pinggir hutan yang telah disebutkan di atas, seperti biasa Kwan Cu menggantungkan dirinya secara terbalik pada cabang pohon dan Gurunya duduk di bawah pohon.

   Sebentar saja Ang-Bin Sin-Kai telah tidur mendengkur dan Kwan Cu juga sebentar saja sudah dapat mempersatukan panca inderanya dan mengheningkan cipta. Baik Guru maupun murid ini sama sekali tidak tahu akan adanya bahaya yang mengintai dari atas pohon, yang merupakan seekor ular kecil panjang yang bermata dan berlidah merah! Inilah seekor ular beracun yang jahat sekali! Biarpun gerakan ular yang merayap di antara ranting dan cabang pohon itu perlahan sekali, namun kalau saja Ang-Bin Sin-Kai tidak sedang tidur dan Kwan Cu tidak sedang bersamadhi dan menutup panca indera, tubuh ular yang melanggar daun itu tentu akan terdengar oleh mereka, karena Kwan Cu sendiri pun kini telah memiliki pendengaran yang amat tajam. Tiba-tiba terdengar Kwan Cu menjerit.

   "Suhu...!"

   Ang-Bin Sin-Kai melompat bangun dan alangkah terkejutnya ketika dia melihat seekor ular melingkar di tali pengikat kaki Kwan Cu dan mulut ular itu menggigit kaki kanan muridnya itu!

   "Kwan Cu...!"

   Ang-Bin Sin-Kai melompat ke atas dan sekali renggut, dia telah menangkap ular itu pada lehernya. Sambil duduk di atas cabang itu, Ang-Bin Sin-Kai menggunakan tangan kirinya untuk meraba tubuh muridnya. Bukan main kagetnya, karena tubuh itu panas bukan main! Ia tahu bahwa muridnya telah terkena racun gigitan ular! Ia tidak berani menurunkan muridnya, karena kalau Kwan Cu diturunkan, mungkin aliran darahnya akan kacau dan menyebabkan racun itu merangsang ke arah jantungnya yang berarti takkan dapat ditolong lagi anak itu.

   "Mudah-mudahan tadi dia masih mengerahkan tenaga dan menyimpan hawa murni dalam pusarnya,"

   Pikir Kakek ini yang segera melompat turun lagi sambil membawa ular itu. Cara satu-satunya untuk menolak hawa racun ular itu, dia harus dapat mengambil darah ular yang menggigitnya ini. Akan tetapi di situ tidak ada mangkok atau apa saja untuk menadahi darah ular, juga sukar untuk memberi minum darah kepada Kwan Cu yang masih dalam keadaan tergantung dengan kepala di bawah. Satu-satunya cara ialah dia harus dapat menyimpan darah ular itu didalam mulutnya, kemudian dia akan dapat menyemburkan darah itu dari mulut ke mulut Kwan Cu!

   Demikianlah maka melihat pemandangan yang menyeramkan tadi. Kwan Cu tergantung seperti mayat, dan Kakek itu duduk ambil menggigit perut ular! Ular itu berkelojotan, meronta-ronta dan Ang-Bin Sin-Kai tidak menggigit terlalu keras, sekedar untuk mencari lobang guna menyedot darah ular itu. Lidahnya merasai darah yang asin manis dan amis sekali, juga terasa panas dan pedas pada lidahnya, akan tetapi dia terus menyedot sehingga darah ular itu terkumpul kedalam mulutnya. Kedua pipinya yang kurus menggembung, karena mulutnya penuh dengan darah ular. Beberapa tetes darah mengalir turun ke dagunya, membuat di nampak menyeramkan sekali. Ular itu makin lama makin lemah gerakkannya dan setelah darahnya habis, dia mati lemas.

   Ang-Bin Sin-Kai melemparkan bangkai ular, lalu melompat lagi ke atas cabang. Ia menggantungkan kedua kakinya pada cabang seperti keadaan Kwan Cu sehingga dengan membungkukkan punggungnya, mukanya berdekatan dengan muka muridnya. Ketika dia mengulur tangan membukakan mulut muridnya, Kakek ini terheran-heran karena melihat muka muridnya itu tersenyum-senyum dan mata anak itu sudah terbuka lagi! Akan tetapi dia tidak mau banyak membuang waktu, segera dia membuka mulut muridnya dan menempelkan mulut sendiri ke mulut muridnya yang terbuka, kemudian dia mengerahkan hawa dalam perutnya untuk menyemburkan darah itu ke dalam perut muridnya! Kwan Cu yang sudah siuman itu maklum akan maksud Suhunya, maka dia lalu menerima darah ular itu dan menelannya.

   "Lekas salurkan semua darah ke arah kaki yang luka!"

   Seru Ang-Bin Sin-Kai setelah mulutnya kosong karena darah ular semua telah berpindah ke mulut dan perut muridnya.

   "Tahan napas dan biarkan darah ular itu memerangi racun yang mengalir dari luka di kakimu!"

   Kwan Cu menurut petunjuk Suhunya dan sebentar saja, dia merasa panas yang menyerang tubuhnya menghilang. Ang-Bin Sin-Kai menaruh telapak tangannya pada pusar muridnya dan dari telapak tangan itu dia mengalirkan hawa untuk membantu kekuatan muridnya melawan racun ular tadi. Setengah hari Guru dan murid itu berada dalam keadaan tergantung dan akhirnya setelah mendapat kenyataan bahwa tubuh muridnya tidak panas lagi, Ang-Bin Sin-Kai menurunkan tubuh muridnya.

   "Kau selamat!"

   Katanya dengan lega.

   "Akan tetapi aneh sekali mengapa kau tidak muntah. Biasanya, kalau racun ular itu sudah dapat dikalahkan oleh darah ular, orang yang digigit ular tentu akan muntahkan darah ular beracun itu."

   Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan Gurunya.

   "Mohon diampunkan atas kelalaian Teecu sehingga merepotkan kepada Suhu. Sungguh aneh sekali, Suhu. Sekarang Teecu merasa bahwa tubuh Teecu amat nyaman dan ringan. Agaknya darah dan racun ular itu ada khasiatnya yang lihai."

   "Mana mungkin?"

   Gurunya menggeleng kepala.

   "Kecuali kalau kau sudah makan Coa-Ko (Buah Ular)."

   "Teecu sudah makan Coa-Ko, Suhu!"

   "Hush! Kau kira mudah mendapat Coa-Ko? Aku yang sudah tua ini pun sejak dulu mencari belum juga dapat."

   "Akan tetapi Teecu tidak membohong, Suhu."

   Lalu Kwan Cu menuturkan betapa dia dahulu diculik oleh Tauw-Cai-Houw dan dijejali sebutir Buah Ular. Gurunya girang sekali, akan tetapi tidak menyatakan kegirangannya itu. Hanya diam-diam dia berpikir bahwa Kwan Cu benar-benar seorang anak ajaib yang bernasib baik sekali.

   "Hm, kalau aku tahu bahwa kau sudah makan buah Coa-Ko, tadi aku takkan begitu kebingungan seperti orang kebakaran jenggot. Dengan buah itu di dalam tubuhmu, kau takkan dapat tewas oleh racun ular yang manapun juga!"

   Maka setelah melihat betapa tubuh Kwan Cu sudah bersih daripada tenaga yang didapatnya dari latihan menurut kitab pelajaran palsu, Ang-Bin Sin-Kai lalu mulai melatih muridnya ini dengan ilmu-ilmu silat dari dia sendiri. Pengemis Sakti Muka Merah ini adalah tokoh terbesar dari Timur, maka tentu saja dia memiliki kepandaian silat yang luar biasa dan mempunyai keistimewaan dalam ilmu silat tangan kosong.

   Agar pembaca tidak menjadi bingung melihat Bun Sui Ceng, anak perempuan dari Pek-Cilan Thio Loan Eng itu tiba-tiba saja muncul menjadi murid dari Kiu-Bwe Coa-Li, baiklah kita menengok keadaan Thio Loan Eng dan mengikuti perjalanannya semenjak ia meninggalkan rumahnya karena puterinya diangkat menjadi Ketua oleh para anggauta Sin-To-Pang atau Perkumpulan Golok Sakti. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Thio Loan Eng meninggalkan dusun Tun-Hang bersama Bun Sui Ceng, puterinya. Nyonya muda pendekar ini merasa amat gelisah dan khawatir memikirkan nasib puterinya kelak, maka timbul didalam pikirannya untuk mengunjungi rumah seorang sahabat baiknya yang bernama Ong Kiat.

   Ketika masih kecil, Ong Kiat ini adalah kawan main dari Loan Eng karena orang tua mereka menjadi tetangga dan di antara kedua orang anak kecil ini timbul rasa saling suka dan cocok. Akan tetapi, Loan Eng oleh orang tuanya dijodohkan dengan Bun Liok Si dan berpisahlah mereka. Dengan terharu Loan Eng mendengar betapa Ong Kiat jatuh sakit hebat sampai hampir mati ketika ia menikah dengan Bun Liok Si, dan diam-diam ia maklum bahwa pemuda she Ong itu cinta kepadanya. Kemudian Ong Kiat yang semenjak kecil juga belajar ilmu silat, menjauhkan diri dari dunia ramai dan naik ke Pegunungan Thian-San, menjadi murid dari tokoh-tokoh Thian-San-Pai. Selama itu, mereka tak pernah saling bertemu lagi.

   Baru setelah Loan Eng membunuh suaminya sendiri karena cemburu dan nyonya janda muda ini sering merantau, terjadi pertemuan antara dua orang bekas sahabat di waktu kecil ini secara kebetulan sekali. Ketika itu, seperti biasa, Loan Eng meninggalkan puterinya yang masih kecil dalam asuhan para pelayan-pelayannya, dan ia sendiri merantau di dunia kang-ouw untuk melakukan tugas sebagai seorang Lihiap (Pendekar Wanita). Memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Loan Eng untuk merantau dan mempergunakan kepandaiannya guna menolong orang-orang yang tertindas sehingga namanya amat terkenal sebagai pendekar wanita berbudi yang berjuluk Pek-Cilan (Bunga Cilan Putih).

   Ia sering kali berpakaian putih dan karena kecantikannya disamakan dengan Bunga Cilan yang harum, maka ia mendapat julukan ini. Selain itu, Loan Eng memang suka kepada Bunga Cilan dan sering kali rambutnya dihias dengan setangkai Bunga Cilan. Loan Eng seorang diri menuju ke sebuah bukit kecil yang penuh dengan rimba raya. Inilah Bukit Lek-San yang berada di Selatan kota Hak-Keng. Loan Eng sengaja mendatangi bukit ini karena ia mendengar kabar bahwa di atas bukit ini bersarang sekawanan orang jahat yang baru-baru ini mengacau dusun-dusun dan kota-kota, dan bahkan sekawanan orang jahat ini lihai sekali. Pek-Cilan Thio Loan Eng memang tidak mengenal akan arti takut.

   Selain lihai ilmu Pedangnya, juga nyonya janda muda yang cantik ini perkasa dan bernyali besar. Selama dalam perantauannya, entah sudah berapa banyak penjahat roboh dalam tangannya, dan biarpun ia sudah seringkali menghadapi orang-orang jahat dan bahaya maut, namun berkat kegagahannya, ia selalu terhindar dan selamat. Setelah Loan Eng mulai naik Bukit Lek-San, mulai kelihatanlah ketidakamanan daerah ini. Banyak dusun-dusun telah kosong, ditinggalkan begitu saja oleh para penghuninya. Makin ke atas mendaki puncak bukit menjadi makin sunyilah kedaannya dan hutan-hutan yang berada di atas bukit menjadi makin liar dan gelap saja. Namun, Loan Eng tetap tabah dan melanjutkan perjalanannya menuju ke atas. Ia ingin sekali mendatangi sarang gerombolan itu dan ingin membasmi gerombolan itu sampai bersih!

   Loan Eng tidak tahu bahwa banyak pasang mata manusia mulai memandang dan mengintainya dari balik pohon-pohon, mata banyak orang laki-laki yang nampak buas dan kejam. Bibir-bibir tebal dan kotor menyeringai penuh gairah ketika mereka memandang wajah Loan Eng yang cantik jelita dan potongan tubuhnya yang langsing. Setelah Loan Eng tiba di tempat terbuka di dalam hutan yang liar itu, tiba-tiba terdengar suitan keras sekali dan berlompatan keluarlah anggauta-anggauta gerombolan yang jumlahnya dua puluh orang lebih diKetuai oleh dua orang laki-laki muda bertubuh tinggi besar dan bermata liar. Inilah gerombolan yang belum lama ini bersarang di Bukit Lek-San, gerombolan yang amat ganas, yang sudah banyak merampok, menculik wanita, dan membakar rumah penduduk. Dua orang muda tinggi besar itu adalah kakak beradik bernama Sin Sai (Singa Sakti) dan Sin Houw (Harimau Sakti).

   "Nona yang elok dan gagah siapakah bernyali demikian besar memasuki wilayah kami?"

   Tanya Sin Sai sambil memandang kagum, adapun Sin Houw adiknya juga memandang dengan mata penuh gairah.

   "Tak perlu namaku diketahui oleh gerombolan-gerombolan Perampok keji. Lebih baik kalian mengaku, apakah kalian ini yang suka mengganggu penduduk sekitar daerah ini? Kalau betul, berlututlah kalian semua agar menerima kematian tanpa menderita sakit lagi."

   Semua orang tertegun, karena tak mereka sangka seorang wanita cantik akan berani mengucapkan kata-kata seperti itu. Sin Houw berkata kepada Sin Sai.

   "Sai-ko, dia ini tentu mata-mata dari keparat she Ong itu, lebih baik tangkap saja!"

   Sambil berkata demikian, dia menggerakkan golok besarnya untuk mengancam Loan Eng, lalu katanya dengan mulut menyeringai.

   "Nona manis, walaupunkau bersikap sombong, namun sikapmu tidak mengurangi rasa sukaku kepadamu. Marilah kau ikut saja dengan aku dan aku bersumpah bahwa kalau kau suka menjadi biniku, aku takkan mau lagi mengganggu lain wanita lagi!"

   Bernyala sepasang mata Loan Eng yang jeli dan bagus. Sekali ia menggerakkan tangannya, Pedangnya yang mengkilat itu telah terhunus dan berada di tangan kanan.

   "Bagus sekali, kau memilih kematian yang menyiksa dirimu. Hari ini, kalau tidak dapat membasmi kalian anjing-anjing hina-dina, jangan sebut aku Pek-Cilan lagi!"

   Sebagai penutup kata-katanya, Loan Eng lalu melompat maju dan menyambar ke arah leher Sin Houw! Sin Houw melihat sinar Pedang yang mengkilat dan cepat ini, tidak berani memandang ringan. Ia maklum dari gerakan ini bahwa pendekar wanita di depannya itu memiliki kepandaian tinggi, apalagi nama julukan Pek-Cilan bukan tidak terkenal dan dia pernah mendengar nama ini dipuji-puji orang.

   Cepat dia menangkis dan mengerahkan tenaganya, dengan maksud hendak membuat Pedang orang terpental dan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa Pedang Loan Eng sama sekali tidak terpental, bahkan kepala rampok muda ini yang merasa telapak tangannya sakit! Ia berseru keras dan merasa terkejut sekali, akan tetapi tidak kehilangan kesigapannya karena goloknya juga terbuat dari baja yang amat baik maka tidak rusak. Ketika goloknya terpental oleh Pedang lawan, dia lalu mengayun golok itu ke bawah dan menyerampang kedua kaki Loan Eng dengan gerak tipu Hong-sauw-pai-hio (Angin Menyapu Daun Rontok), sebuah gerak tipu serangan yang amat hebat dan berbahaya. Diam-diam Loan Eng harus akui bahwa kepala raampok muda ini tidak jelek kepandaiannya, maka cepat ia memutar Pedangnya berubah yang menjadi segundukkan sinar putih yang lihai sekali.

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Pendekar Sakti/Bu Pun Su Lu Kwan Cu (Seri ke 01 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   Kepala rampok itu juga menahan dengan mengeluarkan ilmu goloknya yang ternyata adalah ilmu golok Go-Bi-Pai. Namun ilmu goloknya masih jauh untuk menandingi Pedang di tangan Loan Eng dan dalam beberapa jurus saja Sin Houw terdesak hebat. Sin Sai berseru keras dan kepala rampok nomor satu ini lalu menerjang dengan goloknya yang ternyata masih lebih tinggi dan lihai dari pada kepandaian adiknya. Juga para Perampok diberi tanda dan sebentar saja Loan Eng dikeroyok hebat. Pendekar wanita ini tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia makin gembira mainkan Pedangnya dan tak lama kemudian, terdengarlah pekik-pekik kesakitan dan tubuh beberapa orang anak buah Perampok roboh terguling terkena sambaran Pedang di tangan nyonya janda yang cantik dan gagah itu.

   "Mundur...!"

   Teriak Sin Sai ketika melihat sudah lima orang anak buahnya roboh.

   "Kita tangkap dia hidup-hidup!"

   Seru Sin Houw pula. Mereka lalu berkelahi sambil mundur. Belasan batang golok merupakan perisai dan menangkis serangan-serangan Pedang Loan Eng yang bergerak cepat.

   Akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah yang besar sekali. Loan Eng terheran-heran, mengapa dalam hutan yang liar itu bisa terdapat sebuah rumah gedung ini? Tiba-tiba semua lawannya melompat masuk ke dalam rumah itu dan pintu depannya tertutup dengan mengeluarkan suara keras! Pek-Cilan Thio Loan Eng ragu-ragu. Ia memandang bangunan di depannya yang kini nampak sunyi. Tak salah lagi, rumah ini tentu dulunya adalah sebuah kelenteng tua, pikirnya. Bagaimana kini bisa menjadi sarang penyamun? Ia tidak tahu bahwa kelenteng ini memang sudah lama ditinggalkan para Hwesio yang mendapat gangguan Perampok-Perampok ini, dan bahwa Perampok lalu memperbaikinya dan mempergunakan sebagai sarang mereka. Juga para wanita yang diculik, semua berada di dalam gedung yang besar dan berpekarangan belakang luas sekali ini.

   "Hm, mereka pasti akan menjebakku,"

   Pikir Pek-Cilan Thio Loan Eng. Sebagai seorang pendekar wanita yang banyak merantau dan banyak sekali menghadapi penjahat-penjahat, tentu saja ia banyak pengalaman dan berlaku hati-hati. Akan tetapi, keberaniannya luar biasa sekali dan biarpun ia sudah bercuriga dan menyangka akan adanya perangkap yang dipasang, ia tidak merasa takut. Dihampirinya pintu rumah gedung itu da beberapa kali bacok saja, sambil mengeluakan suara gaduh, daun pintu itu pecah dan roboh!

   "Syuuuuuut-syuuuut! Syuuut!"

   Banyak sekali anak panah menyambar ke arah pintu itu dari depan kanan dan kiri.

   Kalau saja Loan Eng tadi terus menerjang masuk ke dalam, tentu ia akan terancam oleh anak panah ini, akan tetapi pendekar wanita ini sudah berlaku hati-hati sekali dan setelah tadi merobohkan pintu, ia melompat kesamping sehingga semua anak panah itu mengenai tempat kosong. Setelah semua anak panah yang terlepas dari tempat-tempat rahasia itu habis, barulah Loan Eng menerjang masuk sambil memutar Pedangnya memasuki pintu yang sudah tidak berdaun lagi itu. Ia melihat keadaan dalam rumah sunyi saja, dan tidak nampak seorangpun manusia. Akan tetapi, baru saja ia melangkah beberapa tindak dengan amat hati-hati, tiba-tiba dari arah belakang gedung itu terdengar suara ribut-ribut dan di antara suara-suara manusia itu Loan Eng mendengar seruan-seruan,

   "Tangkap penjahat! Padamkan api...!"

   Loan Eng diam-diam tersenyum dan juga terheran. Pasti ada orang lain yang menyerbu sarang gerombolan ini. Akan tetapi ia tidak tertarik dan ingin terus menerjang masuk untuk membasmi gerombolan penjahat itu. Tiba-tiba terdengar isak tangis dan ia dapat memastikan bahwa di sebelah kanannya di mana nampak sebuah daun pintu kamar, ada seorang wanita yang sedang menangis sedih sekali.

   "Siapakah dia? Mengapa menangis? Ah, tentu seorang wanita yang diculik oleh gerombolan,"

   Pikir Loan Eng.

   "Aku harus menolong dia."

   Setelah berpikir demikian, ia tidak jadi menuju ke ruang belakang, melainkan menghampiri daun pintu kamar itu. Suara tangis itu makin mengeras dan tanpa banyak ragu-ragu lagi, Loan Eng membacok kedua pinggiran daun pintu sehingga terlepaslah daun pintu itu dari tiangnya. Seperti juga tadi, Loan Eng tidak menerjang masuk, bahkan mudur dua tindak ke belakang sambil memandang tajam.

   Ia tidak melihat apa-apa di dalam kamar itu, kosong melompong dan juga tidak kelihatan orang. Suara tangis wanita yang tadi kini telah pindah ke belakang kamar itu. Loan Eng melihat bahwa di dalam kamar itu terdapat sebuah pintu lain yang agaknya menembus ke ke ruang tengah, maka ia lalu masuk ke dalam kamar ini. Baru saja ia melangkah lima tindak di dalam kamar ini dengan hati-hati sekali, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar sebuah toya dari belakang. Pendekar wanita yang gagah ini tanpa menengok lalu menggerakkan Pedangnya ke belakang, diayun dari kanan sambil memutar tubuhnya. Akan tetapi anehnya, toya itu tidak terpegang oleh siapapun juga dan kini sisanya tinggal sepotong masih tergantung di atas. Ketika Loan Eng berdongak ke atas, ia tersenyum sindir.

   Ia tahu bahwa itulah sebuah senjata rahasia yang di gerakkan oleh alat-alat per dan yang otomatis bergerak memukul apabila ada orang memasuki kamar dan terkena injak alat penggeraknya. Namun ia tidak takut dan melangkah terus! Baru dua tindak ia melangkah, agaknya ia kena injak alat-alat penggerak lagi yang di pasang di bawah permadani, karena tiba-tiba terengar suara keras dan tiga macam senjata menyerangnya dari tiga jurusan! Sebatang golok melayang keluar dari tembok dan menyambar ke arah kakinya dengan gerakan membabat, sebatang tombak yang runcing tiba-tiba saja keluar dari tembok sebelah depan dan menusuk kearah perutnya, dan senjata ketiga adalah sebuah Ruyung besar yang menyambar kepalanya. Jadi, sekaligus Loan Eng diserang kaki, perut dan kepalanya! Namun, Pek-Cilan tidak gentar sedikit pun juga.

   "Perampok busuk, siapa takut dengan senjata-senjatamu?"

   Bentaknya dan cepat ia merendahkan tubuh untuk menghindarkan kepala dari sambaran Ruyung, dan golok yang menyambar ke arah kakinya itu dapat di tendangnya secara luar biasa sekali! Memang Loan Eng memiliki ilmu tendang yang hebat sehingga nyonya muda ini berani menghadapi senjata musuh yang tajam atau runcing dengan kedua kakinya! Adapun tombak yang menusuk ke arah perutnya dapat di babat putus dengan Pedangnya.

   "Gerombolan Perampok, hari ini aku harus dapat membasmi kamu semua!"

   Loan Eng berseru dan hendak menerjang pintu yang berada di kamar itu? Akan tetapi, tiba-tiba saja dari langit-langit kamar menyambar turun semacam jala yang lebarnya memenuhi kamar itu, Loan Eng terkejut sekali dan hendak melompat keluar dari kamar itu, namun tidak keburu. Sebelum ia tiba di pintu tadi, jala itu sudah menerkamnya dan ternyata bahwa itu bukanlah jala biasa melainkan jala yang terbuat daripada kawat-kawat baja yang lemas namun kuat sekali! Untuk beberapa lamanya, Loan Eng menjadi bingung dan gelagapan. Ia meronta-ronta ke sana ke mari di dalam jala, seperti seekor ikan emas dalam jala seorang nelayan.

   Makin keras Loan Eng meronta, makin erat pula jala baja itu menekan tubuhnya! Pendekar wanita ini lalu diam tak bergerak. Otaknya yang cerdik bekerja keras. Ia tidak boleh gugup menghadap bahaya ini, kemudian ia menggunakan Pedangnya, digosokkan pada kawat jala seperti orang orang menggergaji. Dengan pengerahan tenaga Lweekangnya, ia berhasil dan kawat itu putus! Loan Eng girang sekali dan bekerja terus. Tak lama kemudian, ia telah dapat membikin putus beberapa helai kawat jala dan kini ia akan mudah saja dapat menerobos keluar dari jala yang sudah bocor itu. Akan tetapi ia tidak mau keluar, bahkan memegangi bagian jala yang yang sudah rantas, karena ia mendengar suara orang mendatangi. Muncullah dari pintu depan dengan seorang anggauta gerombolan yang tertawa-tawa.

   "Ha, ha, ha, aku dapat menangkap seekor ikan duyung!"

   Serunya girang.

   "Aduh cantiknya! Manis, kalau kau berjanji mau menjadi biniku, aku akan melepaskan kau dari jala itu. Ha, ha, ha!"

   Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi pucat dan selanjutnya dia takkan dapat tertawa atau menangis lagi karena pada saat dia tertawa tadi, Loan Eng sudah menerobos keluar dan sekali Pedangnya berkelebat, tubuh anggauta gerombolan ini sudah putus menjadi dua bagian pinggangnya! Dengan marah sekali Loan Eng lalu menendang pintu dalam kamar itu yang menjadi pecah dan terbuka. Di situ ia melihat pemandangan yang bikin alisnya terangkat naik dan giginya digigitkan. Ternyata di balik pintu itu adalah sebuah ruangan yang luas dan di seberang sana ia melihat seorang wanita yang pakaiannya cobak-cabik sedang di seret-seret oleh Sin Houw, kepala Perampok ke dua. Wanita itu masih muda sekali, mukanya pucat dan air matanya mengalir membasahi pipinya. Rambutnya yang hitam panjang itu terurai dan kini dijambak oleh Sin Houw yang menyeretnya ke arah lain.

   "Jahanam keparat!"

   Loan Eng memaki dan cepat ia berlari mengejar. Akan tetapi, celaka sekali baginya! Tidak tahunya bahwa Sin Houw sengaja berlaku kejam kepda wanita itu, yakni seorang di antara banyak wanita yang diculik oleh gerombolan,

   Hanya dengan maksud agar Loan Eng menjadi marah, kurang hati-hati dan mengejarnya. Ketika pendekar wanita ini berlari mengejar sampai di tengah-tengah ruangan itu, tiba-tiba permadani yang diinjaknya menyeplos kebawah! Di situ tidak ada lantainya sama sekali dan merupakan lobang yang besarnya ada sepuluh kaki segi empat dan dalam sekali, hanya ditutupi luarnya dengan permadani tebal. Tentu saja kalau diinjak lalu nyeplos ke bawah berikut permadaninya! Bukan main kagetnya hati Loan Eng, bukan karena kejatuhan itu, melainkan karena yang menerima tubuhnya di bawah adalah air yang dingin! Ia masih berusaha berpegang pada permadani yang tebal dan lebar itu, akan tetapi permadani itu berat sekali dan setelah terkena air, terus saja tenggelam!

   Loan Eng terpaksa cepat-cepat melepaskan pegangannya dan merasa betapa tubuhnya akan tenggelam terus. Bukan main dalamnya sumur yang lebar sekali ini dan ia tidak pandai berenang! Pada saat itu, air bergolak dan permadani tadi sudah tenggelam, kini tersembul kembali dengan cepatnya. Air muncrat tinggi dan pucatlah muka Loan Eng ketika melihat ujung ekor ikan yang besar! Ternyata bahwa di dalam sumur lebar itu hidup seekor ikan yang besar dan tadi menjadi marah karena permadani itu tenggelam. Sekarang ikan itu mengamuk dan menyerang permadani tadi. Terdengar suara kain robek dan sebentar saja permadani itu cobak-cabik. Ketika Loan Eng merasa tubuhnya hampir tenggelam, pendekar wanita ini menendang-nendangkan kedua kakinya ke bawah dan mumbul kembalilah dia.

   Cepat ia mengerahkan tenaganya menusuk dinding sumur dengan Pedangnya yang tak pernah lepas dari tangannya. Biarpun dinding sumur itu berbatu dan keras, namun Pedang Loan Eng dengan mudah menancap sampai setengahnya. Kini nyonya muda itu mempunyai pegangan, yakni gagang Pedangnya dan karena tubuh di dalam air menjadi ringan sekali, maka ia dapat mengambang sambil berpegang pada Pedangnya. Akan tetapi, setelah bahaya tenggelam tertolong, kini datang bahaya yang lebih hebat lagi, yaitu ikan itu! Beberapa kali kepala ikan tersembul dan ngeri sekali hati Loan Eng melihatnya. Ikan itu di depan mulutnya mempunyai sebatang senjata runcing seperti tombak dan tahulah Loan Eng bahwa itu ikan cucut yang jahat dan suka makan orang!

   "Celaka,"

   Pikirnya dengan hati berdebar. Kalau ia berada di darat, biarpun ada sepuluh ekor binatang macam ini, ia takkan merasa jerih. Akan tetapi, karena ia tidak berdaya dan di dalam air kepandaiannya tiada gunanya lagi, tentu saja bahaya yang kini ia hadapi adalah bahaya maut yang sukar dielakkan lagi.

   "Betapapun juga, aku harus dapat melawannya,"

   Pikir Loan Eng dengan gemas. Cepat nyonya muda ini mengerahkan tenaga Lweekangnya dan dengan tangan kiri berpegang pada gagang Pedang, jari-jari tangan kanannya ditusukkan kepada dinding sumur. Hebat juga tenaga Lweekang nyonya ini karena biarpun ia merasa ujung jari-jari tangannya sakit,

   Namun ia berhasil mencengkeram dinding itu dan membuat lobang di mana ia bisa memegang atau menjadikan sebagai tempat tangannya berpegang pada lekukan lobang. Lalu ia cepat mencabut Pedang dengan tangan kanan karena ia melihat air berombak dan ikan itu muncul lagi! Bukan main dahsyatnya ikan itu. Panjangnya ada empat kaki dan kini ia menjadi marah sekali. Ketika ia melihat seorang manusia terapung, ia lalu menyerang dengan tombak di depan mulutnya dengan kecepatan luar biasa! Loan Eng sudah bersiap sedia dan cepat ia menggerakkan Pedangnya menangkis tombak itu. Ia merasa seluruh lengannya kaku tergetar saking kuatnya ikan itu menyeleweng. Akan tetapi ia tidak mengira bahwa ikan itu benar-benar cerdik, karena berbareng dengan memutarnya tubuhnya karena tangkisan tadi, ekornya menyabet ke depan!

   Sebetulnya, serangan ini bagi Loan Eng tidak hebat sekali, yang celaka adalah air yang muncrat ke arah mukanya sehingga dia sukar membuka mata! Akan tetapi, nyonya ini masih sempat menggerakkan Pedang, diputar depannya dan ketika ekor itu menyabet, terlukalah tubuh ikan itu oleh ujung Pedang yang runcing tajam. Namun, berbareng dengan tubuh ikan yang meronta kesakitan, terdengar suara kain yang memberebet dan pecahlah ujung lengan baju Loan Eng terkena sambaran ekor. Hebat sekali karena ujung lengan baju itu membelit pada ekor sehingga ketika ikan itu meluncur pergi, terdengar suara kain terobek dan robek semuanya pakaian Loan Eng bagian atas! Pendekar wanita ini bingung sekali. Bajunya terlepas dan terobek dari tubuhnya, terbawa oleh ikan itu sehingga tubuhnya bagian atas hanya tertutup oleh pakaian dalam yang sempit dan tipis sehingga ia dalam keadaan setengah telanjang.

   "Bedebah! Kau harus mampus!"

   Seru Loan Eng dengan marah sekali, akan tetapi berbareng ia pun menjadi merah mukanya saking malu dan jengah. Seandainya ia tertolong dan dapat keluar dari sumur ini, bagaimana ia berani bertemu dengan orang? Ikan itu kini tidak berani menyerang, tubuhnya berputar-putar karena ekornya terasa sakit sekali. Air sumur itu mulai menjadi kemerahan karena darahnya dan Loan Eng hampir menjadi pingsan oleh bau amis yang memuakkan perutnya. Ia mengincar dan bersiap-siap. Ketika ikan itu berenang berputaran dan dekat dengan dia, cepat sekali Pedangnya ia gerakkan ke arah perut, menusuk kuat-kuat lalu menggerakkan Pedang ke belakang tubuh ikan sehingga perut itu terbelah! Ikan itu meronta-ronta hebat sekali, air muncrat dan tubuh Loan Eng bergerak-gerak karena gelombang air.

   Akan tetapi hanya sebentar karena perut ikan itu telah terbuka dan isi perutnya berhamburan keluar. Matilah binantang itu. Akan tetapi, air menjadi makin merah dan bau amis tak tertahankan lagi. Ia mengeluh dan pegangannya pada lobang di dinding sumur makin mengendur. Ia masih ingat untuk menancapkan Pedang pada dinding sekuatnya dan kini ia dapat berpegang pada gagang Pedang lagi. Demikianlah, pendekar wanita ini bergantung pada gagang Pedang dalam keadaan setengah pingsan. Ia mulai putus asa karena tidak melihat jalan keluar sama sekali. Tubuhnya kedinginan, karena dalam keadaan setengah telanjang itu, air yang dingin bagaikan menyusup ke dalam tulang-tulangnya. Pada saat yang amat berbahaya ini, tiba-tiba dari atas sumur terayun sehelai tambang dan terdengar suara orang.

   "He, kawan yang berada di bawah. Lekas berpegang pada tambang!"

   Pikiran Loan Eng sudah nanar dan pening. Ia tidak teringat akan apa-apa lagi tidak ingat akan keadaan tubuhnya yang setengah telanjang. Melihat tambang terayun di dekatnya, ia cepat menyambar, mencabut Pedangnya dan bergantung pada tambang itu. Bau amis membuat dia muak dan lemah sehingga ia tidak kuasa lagi untuk merayap melalui tambang.

   Perlahan-lahan, tambang itu ditarik orang ke atas dan setibanya di lantai dalam ruang di mana ia tadi terjeblos, Loan Eng yang sudah pening sekali melihat wajah seorang pemuda yang tampan. Ia mempertahankan rasa muaknya, akan tetapi tak tertahankan lagi dan ia muntah-muntah lalu tak sadarkan diri. Akan tetapi tidak lama ia jatuh pingsan. Ketika ia membuka mata kembali, cepat ia melompat dan pada saat ia melompat itu, terbukalah sehelai baju panjang yang tadi menutupi tubuhnya bagian atas dan dengan kaget Loan Eng melihat betapa tubuhnya bagian atas itu setengah telanjang! Bukan main kagetnya dan cepat-cepat ia menyambar baju panjang itu dan dikerobongkan pada tubuhnya kembali. Ia menengok dan melihat seorang lelaki berdiri tak jauh dari situ sambil memandangnya dengan senyum!

   "Loan Eng, baiknya kau lekas sadar kembali. Aku sudah khawatir karena mereka itu masih mengancam keselamatan kita."

   "Ohhh..."

   Loan Eng terkejut sekali dan mukanya menjadi merah seperti kepiting di rebus.

   "Kau... Ong Kiat...? Bagaimana kau bisa berada di sini...?"

   Orang muda itu tersenyum lagi, wajahnya tampan dan bagi Loan Eng, tidak ada perubahan pada wajah yang dikenalnya baik-baik semenjak masa kanak-kanak itu.

   "Tiada waktu bicara sekarang, Loan Eng. Lekas kau pakai pakaian kering ini dan kita bersiap menghadapi mereka!"

   Sambil berkata demikian, Ong Kiat lalu melemparkan segulung pakaian wanita kepada Loan Eng, kemudian dia membalikkan tubuhnya, membelakangi Loan Eng. Makin merah muka Loan Eng. Kalau bukan Ong Kiat yang sudah dipercaya penuh, ia tidak sudi berganti pakaian di dekat orang laki-laki, sungguhpun laki-laki itu telah berdiri membelakanginya. Namun, ia harus berganti pakaian, karena kalau nanti bertempur melawan gerombolan, bagaimana ia dapat bergerak dengan baju panjang yang mengerobongi tubuhnya yang setengah telanjang itu? Cepat-cepat ia membuka semua pakaiannya dan kalau ada perlombaan berganti pakaian pada waktu itu, pasti Loan Eng akan menjadi juaranya. Demikian cepatnya ia berganti pakaian!

   "Jadi kau kah orang yang menolongku dari sumur tadi?"

   Tanyanya perlahan.

   "Tiada harganya untuk disebut-sebut, Loan Eng. Kau tahu bahwa aku bersiap sedia selalu untuk membelamu dengan taruhan nyawa sekalipun!"

   Berdebar jantung janda muda itu dan ia memeras rambutnya lalu di gelungnya.

   "Punyamukah jubah panjang ini, Ong Kiat?"

   "Ya, aku melihat kau... kau kedinginan, maka aku kerobongkan baju luarku."

   Dengan muka terasa panas biarpun masih basah oleh air, Loan Eng mengerling ke arah punggung orang muda itu.

   "Dan"

   Kau... kau melihat..."

   "Apa, Loan Eng?"

   "... Tidak apa-apa! Aku sudah selesai berpakaian, Ong Kiat!"

   Orang muda itu memutar tubuhnya dan mereka saling pandang.

   "Ah, kau tidak berubah, Loan Eng. Masih seperti dulu."

   "Siapa bilang tidak berubah? Aku sekarang sudah tua."

   "Kau keliru! Setiap orang akan dapat mengatakan bahwa kau tiada ubahnya seorang gadis berusia tujuh belas tahun saja. Sungguh, kau tidak berubah, Loan Eng."

   "Kau pun tidak berubah, Ong Kiat, yakni... watakmu, masih baik seperti dulu."

   "Jadi keadaan jasmaniku berubah dalam pandanganmu?"

   "Hanya pakaianmu!"

   Ong Kiat tertawa dan biarpun usianya sudah hampir tiga puluh tahun, ketika tertawa dia nampak masih muda sekali.

   "Memang aku telah menjadi Piauwsu (pengantar dan pengawal barang kiriman) dan aku tinggal di kota Hak-Keng, tidak jauh dari sini."

   Percakapan mereka terhenti karena terdengar suara orang dan dan tindakan kaki.

   "Akan kubasmi semua gerombolan anjing itu!"

   Kata Loan Eng perlahan dan tanpa berjanji dulu, kedua orang ini lalu melompat menerjang ke arah pintu, keluar dari ruangan itu.

   Alangkah kagetnya Sin Sai dan Sin Houw yang memimpin orang-orangnya ketika melihat dua orang itu. Mereka tidak mengira bahwa Loan Eng sudah dapat keluar dari sumur itu. Namuan Loan Eng dan Ong Kiat tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka untuk berheran-heran lebih lama lagi karena Loan Eng sudah lantas menggerakkan Pedangnya dan menerjang dengan hebat sekali. Juga Ong Kiat telah menerjang dengan goloknya yang terkenal karena dia adalah anak murid Thian-San-Pai yang berkepandaian tinggi. Hebat sekali sepak terjang kedua orang muda yang marah ini. Terutama sekali Loan Eng. Pendekar wanita ini mengarahkan serangannya khusus kepada Sin Sai dan Sin Houw yang mengeroyoknya, sedangkan Ong Kiat dengan enaknya membabati anak buah gerombolan yang segera roboh sambil menjerit kesakitan.

   
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hanya dalam waktu tiga puluh jurus saja, berturut-turut Sin Sai dan Sin Houw roboh dan tewas di ujung Pedang Loan Eng, kemudian bersama Ong Kiat ia membasmi semua anak buah gerombolan. Tak seorangpun dapat melarikan diri. Ong Kiat lalu mengajak Loan Eng menyerbu ke dalam gedung itu. Mereka membebaskan orang-orang wanita yang tadinya diculik oleh gerombolan itu dan jumlah mereka semua adalah sembilan orang, penduduk dusun-dusun dan juga ada dua orang berasal dari kota Hak-Keng. Ong Kiat mengumpulkan barang-barang kawalannya yang tadinya dirampok oleh gerombolan itu. Ia tidak mau mengambil lain barang berharga untuk keperluannya sendiri, bahkan lalu membagi-bagikan barang-barang lainnya kepada sembilan orang wanita itu yang berlutut di depan Loan Eng dan Ong Kiat sambil menghaturkan terima kasih.

   Lalu mereka membakar gudang sarang gerombolan itu dan kedua orang gagah ini mengantar sembilan orang wanita itu menuju Hak-Keng. Tak perlu kiranya diceritakan betapa dua orang muda pendekar ini disambut dengan penuh kegembiraan dan rasa terima kasih oleh keluarga para korban itu. Terutama sekali Ong Kiat yang memang sudah terkenal di kota Hak-Keng sebagai seorang pendekar yang budiman, mendapat sambutan hangat, bahkan kepala daerah di Hak-Keng memberi gelar Hak-Keng Taihiap kepadanya. Kemudian, di ruang tamu di rumah Ong Kiat, dua orang pendekar itu duduk menghadap arak. Loan Eng merasa terharu melihat betapa keadaan rumah bekas kawannya ini sunyi saja, hanya ada dua orang pelayan wanita tua yang mengurus rumah tangga.

   "Ong Kiat, di mana orang tuamu?"

   Ong Kiat menarik napas panjang.

   "Mereka telah meninggal dunia ketika di kota ini mengamuk wabah penyakit."

   "Dan kau hidup sebatang kara?"

   Ong Kiat mengangguk.

   "Apakah kau tidak... tidak beristri?"

   Mendengar pertanyaan ini, merahlah wajah Ong Kiat dan dia menjawab agak kasar,

   "Loan Eng, kau kira aku laki-laki macam apakah? Selama hidup, aku takkan melanggar sumpahku!"

   Kini Loan Eng menghela napas sambil menundukkan mukanya. Ia masih ingat baik-baik akan sumpah Ong Kiat, bahwa pemuda ini tidak akan menikah dengan lain orang wanita kecuali dengan Thio Loan Eng yang sudah di jodohkan oleh orang tuanya kepada Bun Liok Si!

   "Loan Eng, kau baik-baik saja selama ini? Bahagiakah hidupmu?"

   "Ah, Ong Kiat. Kau tidak tahu. Aku adalah seorang yang paling berdosa, seorang istri yang tidak baik. Aku... aku telah membunuh suamiku sendiri."

   Akan tetapi Ong Kiat tidak heran mendengar ini.

   "Aku sudah tahu, Loan Eng. Aku sudah mendengar tentang semua keadaanmu."

   Kemudian untuk menggembirakan suasana, dia bertanya.

   "Ah, ya, bagaimana dengan puterimu? Sudah besarkah?"

   Berseri wajah Loan Eng.

   "Kalau tidak ada puteriku, agaknya aku takkan ada di dunia ini."

   Setelah berhenti sebentar, Loan Eng lalu mengubah percakapan yang tidak enak itu.

   "Ong Kiat, bagaimana kau bisa berada di sarang gerombolan itu dan kebetulan sekali menolongku keluar dari dalam sumur?"

   Ong Kiat lalu bercerita. Telah beberapa tahun dia menjadi Piauwsu dan karena gagahnya dan jujurnya, maka dia dipercaya penuh oleh banyak pedagang dan Bangsawan. Pada suatu hari, pembantu-pembantunya mengantarkan barang-barang berharga dari seorang Bangsawan dan barang-barang itu harus di antarkan ke Kota Raja.

   Pada waktu itu, Ong Kiat tidak berada di Hak-Keng karena Piauwsu muda ini sedang mengantar seorang keluarga, yang melakukan perjalanan jauh. Ketika dia datang di Hak-Keng kembali, dia mendengar bahwa barang kiriman itu dirampok oleh gerombolan di dalam hutan itu. Marahlah Ong Kiat dan seorang diri saja dia lalu membawa goloknya melakukan penyelidikan. Melihat gerombolan itu terdiri dari dua puluh orang lebih, ia lalu melakukan pembakaran pada bagian belakang gedung itu, tidak tahu bahwa Loan Eng sudah menyerbu masuk ke dalam. Ong Kiat maklum akan kelihaian gerombolan ini, karena dia tahu bahwa bekas kelenteng ini memang mempunyai banyak bagian-bagian rahasia. Kemudian dia merobohkan beberapa orang anggauta gerombolan dan menyerbu ke dalam.

   Ia datang pada saat yang tepat karena dia melihat empat orang gerombolan mengintai dari pintu sebuah ruangan besar, di mana terdapat sumur rahasia itu. Ia merobohkan dua orang anggauta gerombolan dan yang dua lagi lari keluar. Maka tepat sekali kedatangannya dan dia masih sempat menolong Loan Eng dari bahaya maut. Ia tadinya tidak tahu bahwa orang yang terjebak adalah Loan Eng, wanita satu-satunya di dunia ini yang menjadi pujaan kalbunya. Melihat keadaan Loan Eng cepat Ong Kiat mengerobongi tubuh wanita yang dikasihinya ini dengan baju luarnya, kemudian dia menyerbu ke dalam kamar belakang dan minta sesetel pakaian dari seorang wanita tawanan untuk diberikan kepada Loan Eng setelah pendekar wanita ini siuman kembali. Mendengar penuturan Ong Kiat, Loan Eng berkata kagum,

   "Tak kusangka bahwa kepandaianmu telah maju demikian hebatnya, Ong Kiat."

   "Ah, mana bisa di bandingkan dengan ilmu Pedangmu?"

   Jawab Ong Kiat merendah, kemudian dengan wajah bersungguh-sungguh dia berkata.

   "Loan Eng, setelah kau sekarang menjadi janda, hidup berdua dengan puterimu, adakah harapan kiranya bagiku untuk membantumu mendidik puterimu itu? Aku akan menganggap sebagai anakku sendiri, Loan Eng."

   Sambil berkata demikian, dia menatap wajah bekas kawannya itu dengan penuh harapan. Loan Eng tertegun dan menundukkan mukanya yang menjadi merah!

   Terus terang saja, dahulu sebelum ia di jodohkan dengan Bun Liok Si, diam-diam ia juga merasa suka kepada Ong Kiat, kawan mainnya semenjak ia kecil. Setelah mulai dewasa rasa suka ini menjadi perasaan cinta kasih yang terpendam. Akan tetapi, setelah menjadi istri Bun Liok Si, perasaan terhadap Ong Kiat ini diusirnya jauh-jauh, dan tidak pernah dipikirkannya lagi. Sebagai seorang istri, ia harus mencinta suaminya dan harus bersetia lahir dan batin! Biarpun suaminya telah meninggal dunia, namun andaikata ia tidak bertemu Ong Kiat, agaknya selama hidupnya ia pun tidak akan mengingat lagi kepada bekas kawan itu. Akan tetapi, nasib agaknya menghendaki lain, karena dalam keadaan yang amat tidak tersangka-sangka, ia bertemu dengan pemuda ini. Dan lebih hebat lagi, ternyata bahwa Ong Kiat masih setia dan tidak mau menikah dengan wanita lain, bahkan sekarang mengajukan pinangan kepadanya!

   Dapat dibayangkan betapa gelisah dan bingungnya hati Loan Eng menghadapi pinangan pemuda ini. Ia maklum akan kemuliaan hati dan kebaikan watak Ong Kiat, dan ia berani memastikan bahwa andaikata ia meneriman pinangan ini, ia akan dapat hidup beruntung, dan juga puterinya, Sui Ceng, pasti akan menemukan seorang Ayah tiri yang jauh lebih baik adat wataknya daripada Ayahnya sendiri yang sudah meninggal! Akan tetapi... hatinya masih terasa berat untuk menerima pinangan ini. Memang, di Tiongkok pada masa itu, adalah merupakan hal yang langka dan tidak mungkin bagi seorang janda, apalagi sudah mempunyai anak, untuk menikah lagi. Melihat sampai sekian lamanya Loan Eng tidak menjawab dan menunduk saja dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Ong Kiat lalu bertanya, dengan nada mendesak.

   "Loan Eng, bagaimana jawabmu? Apakah masih juga aku tidak mempunyai harapan?"

   Loan Eng mengangkat mukanya memandang dan Ong Kiat melihat betapa sepasang mata yang bening itu menjadi basah.

   "Ong Kiat, bagaimana aku harus menjawabmu? Aku tidak ingin menyakitimu, tidak ingin mengecewakanmu, kau begitu baik... Sedangkan aku..."

   "Hush Loan Eng, jangan ucapkan kata-kata seperti itu. Aku bukan seorang anak-anak lagi. Marilah kita bicara dengan tenang, tidak baik kalau orang-orang yang sudah banyak menderita seperti kita ini masih dapat dikuasai oleh nafsu."

   Mendengar ucapan ini, legalah Loan Eng. Ia mengangkat mukanya lagi dan kini ia memandang dengan berani. Pandangan matanya penuh kekaguman.

   "Loan Eng, aku dapat menduga isi hatimu. Kau tentu suka sekali menerima pinanganku, akan tetapi kau merasa tidak enak, sebagai seorang janda muda menikah lagi, bukan?"

   Loan Eng mengangguk,

   "Bukan cuma itu, Ong Kiat. Aku telah membunuh suamiku sendiri karena dia menyeleweng karena cemburu. Kalau sekarang aku menikah lagi dengan kau, apakah orang lain tidak akan mengatakan bahwa aku sengaja membunuh suamiku untuk dapat menikah lagi dengan orang lain?"

   Ong Kiat mengerutkan keningnya, beralasan juga kata-kata wanita yang dicintainya ini.

   "Akan tetapi, Loan Eng. Dalam hal pembentukan rumah tangga, suara orang luar itu hanya mendatangkan kerusakan belaka. Apa sangkut pautnya orang lain dengan kita? Pula, hendak kulihat, siapa orang-orangnya yang berani mencacimu? Pendeknya begini, Loan Eng. Kau pulanglah dan pikirkanlah masak-masak. Aku tidak terburu-buru dan masih tetap bersabar, karena bertahun-tahun aku menanti, bahkan aku telah mengambil keputusan takkan menikah dengan orang lain. Masa aku tidak dapat bersabar menanti sampai kau dapat mengambil keputusan? Ingatlah selalu, bahwa di Hak-Keng, aku selalu menanti kedatanganmu dan anakmu."

   Demikianlah, Loan Eng lalu pulang ke Tun-Hang dengan berat hati dan ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Dan dalam perjalanan pulang inilah ia bertemu dan menolong Lu Kwan Cu dari tangan Tauw-Cai-Houw sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Kemudian terjadi peristiwa penculikan Sui Ceng oleh anak buah suaminya, yakni anggota-anggota Sin-To-Pang.

   Melihat keadaan ini, ngerilah hati Loan Eng. Ia takut kalau-kalau puterinya yang hanya satu-satunya dan yang amat dikasihinya itu akan benar-benar menjadi Ketua dari Sin-To-Pang! Maka ia lalu membawa pergi puterinya, meninggalkan Lu Kwan Cu. Kemanakah perginya Loan Eng dan Sui Ceng. Mudah diduga. Kemana lagi kalau tidak ke Hak-Keng, ke tempat tinggal Ong Kiat, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi harapan Loan Eng. Bukan demi rasa cintanya kepada Ong Kiat maka ia datang kepada Piauwsu muda itu, melainkan karena ia bingung bagaimana harus mendidik Sui Ceng tanpa Ayah. Ia tahu bahwa di samping Ong Kiat, ia akan merasa kuat dan tabah, dan Sui Ceng akan mendapatkan rumah tangga yang kokoh kuat dan berbahagia. Ong Kiat menerima mereka dengan girang bukan main.

   Pernikahan dilangsungkan secara sederhana sekali. Ong Kiat hanya mengundang kawan-kawan dan kenalan-kenalan yang dekat, dan upacara pernikahan hanya cukup dengan sembahyang dan disaksikan oleh para tamu. Akan tetapi, dalam upacara ini, terjadilah hal yang sangat hebat sekali. Selagi para tamu bergembira-ria minum arak dan makan hidangan, sedangkan Loan Eng telah kembali ke kamarnya, tiba-tiba dari luar datang seorang Tokouw (pendekar wanita) yang tua akan tetapi berwajah keren sekali. Pendeta wanita ini memegang sebatang cambuk berbulu sembilan. Dia bukan lain adalah Kiu-Bwe Coa-Li, tokoh besar ke dua dari Selatan! Pada waktu itu, Loan Eng sedang memeluk puterinya, sambil menangis terisak-isak. Selama dilakukan upacara pernikahan, Sui Ceng tidak mau keluar dari kamar dan anak ini marah-marah saja dan menangis.

   "Ibu, kau terlalu! Mengapa menikah dengan Paman Ong Kiat?"

   Demikian berkali-kali anak kecil ini menegur Ibunya dengan muka cemberut.

   "Sst, anakku. Bukankah paman Ong amat baik? Dia akan menjadi Ayahmu yang baik sekali."

   "Ah, aku tidak suka, Ibu. Ayahku Ketua dari Sin-To-Pang, baik mati atau hidup dia tetap Ayahku!"

   Mendengar ucapan ini, Loan Eng memeluk puterinya dan menangis. Ia tidak harus berbuat dan berkata bagaimana. Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di bagian luar. Suaminya masih melayani tamu di depan, maka mendengar suara ribut-ribut itu, Loan Eng lalu melepaskan penutup kepalanya, dan memang ia berpakaian sederhana. Kemudian ia lalu bertindak keluar, meninggalkan puterinya yang masih berbaring menangis di atas tempat tidur. Ketika Loan Eng tiba di luar, ia terkejut sekali. Ia melihat seorang Tokouw dikelilingi oleh banyak tamu dan suaminya menghadapi Tokouw itu dengan marah-marah.

   "Suthai, kau terlalu sekali! Bagaimana kau bisa minta begitu saja anak orang. Harap kau jangan mengganggu kami, Suthai. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan sehingga kau datang-datang hendak mengacau?"

   Mendengar ucapan suaminya, Loan Eng terkejut sekali dan ia berseru keras,

   "Ong Kiat, jangan kurang ajar...!"

   Semua orang terkejut dan lebih-lebih heran mereka ketika melihat betapa Loan Eng berlari setelah tiba di depan Tokouw itu, Loan Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di depannya dan mengangguk-anggukkan kepala.

   "Teecu mengaku salah, harap Locianpwe sudi memberi maaf kepada Teecu sekalian..."

   Katanya dengan suara amat menghormat. Kiu-Bwe Coa-Li tersenyum dan lenyaplah kekakuan pada mukanya.

   "Hm, Loang Eng, kau masih muda, tentu saja kau ingin berumah tangga lagi. Pinni bukan datang hendak mengganggu, hanya untuk minta anakmu, karena bukankah dia hanya mengganggu kebahagianmu saja?"

   Pada saat itu, Sui Ceng sudah muncul pula, karena anak ini tadi mengejar Ibunya. Melihat Tokouw itu, Sui Ceng tertegun. Mengapa Ibunya berlutut didepan Tokouw aneh ini? Sementara itu Kiu-Bwe Coa-Li ketika melihat Sui Ceng, lalu menggerakkan cambuknya. Dua helai bulu cambuknya itu melayang dan tahu-tahu telah melibat tubuh Sui Ceng. Sekali betot saja, tubuh anak itu telah melayang ke arahnya dan diterima terus di pondong oleh pendeta wanita itu. Sui Ceng bersorak girang.

   "Hebat, hebat! Kau lihai sekali, Suthai,"

   Kata Sui Ceng. Kiu-Bwe Coa-Li tertawa.

   "Mau kau ikut aku belajar silat? Di sini kau hanya mengganggu Ibumu yang sedang bersenang-senang!"

   Sui Ceng memandang kepada Ibunya yang berlutut, kemudian memandangi Ong Kiat yang berdiri di dekat situ, lalu ia memandang kembali kepada Kiu-Bwe Coa-Li dan menganggukkan kepalanya.

   "Aku ingin belajar silat, karena aku adalah Ketua dari Sin-To-Pang. Aku harus lihai!"

   "Bagus, hayo ikut aku pergi!"

   Sambil berkata demikian, Kiu-Bwe Coa-Li membawa Sui Ceng.

   "Sui Ceng...!"

   Loan Eng mengeluh akan tetapi tidak berani mengejar. Tokouw itu menengok dan berkata dengan suara keren,

   "Loan Eng, apa kau tidak rela memberikan anakmu sebagai muridku?"

   "Bukan tidak rela, hanya Teecu berat berpisah dari dia..."

   Jawab Ibu ini. Kiu-bwe Coa-ii tertawa mengejek.

   "Bukankah kau sudah mendapatkan Suami baru? Dia yang akan menghiburmu dan kau akan lupa kepada anakmu!".

   "Suthai, kau terlalu sekali!"

   Ong Kiat membentak.

   "Kembalikan Sui Ceng kepada kami!"

   Piauwsu muda ini lalu melompat mengejar dan menubruk, hendak marampas Sui Ceng.

   "Ong Kiat, jangan"!"

   Loan Eng memberi peringatan, namun terlambat. Begitu Kiu-Bwe Coa-Li menggerakkan tangannya, tubuh Ong Kiat terpental ke belakang bagaikan tertiup angin puyuh.

   "Hm, kalau tidak ingat kau seorang pengantin baru, tentu kau sudah menggeletak tak bernyawa pula!"

   Kata Kiu-Bwe Coa-Li dan sekali ia menggerakkan tubuhnya, lenyaplah bayangan bersama Sui-Ceng. Loan Eng menangis, dipeluk dan dihibur oleh suaminya yang masih terheran-heran bagaimana dia tadi sampai terpental ke belakang, karena dia tidak dapat melihat tangkisan atau serangan wanita tua yang lihai itu.

   "Sudahlah, Loan Eng. Tak perlu kita bersedih terus. Bukankah Sui Ceng berada dalam tangan orang sakti? Ia akan menerima latihan ilmu silat yang luar biasa. Guru-guruku sendiri di Thian-San tak mungkin dapat menandingi kelihaian Nenek tadi. Siapakah dia itu?"

   Setelah menyusut air matanya dan dapat menentramkan hatinya, Loan Eng berkata,

   "Tidak tahukah kau siapa dia? Dia adalah Kiu-Bwe Coa-Li!"

   "Ayaaa...! Pantas saja ia demikian lihai dan aneh. Baiknya ia masih tidak berlaku kejam padaku, kalau tidak demikian, bagaimana aku masih bisa hidup?"

   Kata Ong Kiat.

   "Dia telah beberapa kali menolongku dan aku percaya bahwa anakku tentu akan aman di dalam pendidikannya, akan tetapi, bagaimana aku bisa senang ditinggalkan oleh anakku?"

   Loan Eng mengeluh sedih. Ong Kiat menghiburnya dengan penuh cinta kasih dan perhatian sehingga lambat-laun dapat juga Loan Eng mengatasi kedukaannya.

   Demikianlah keadaan dan pengalaman Loan Eng sehingga Kiu-Bwe Coa-Li dapat muncul memperebutkan kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng bersama Bun Sui Ceng yang telah menjadi muridnya. Sekarang baik kita mengikuti pengalaman dan perjalanan Lu Kwan Cu lebih lanjut. Sambil melakukan perjalanan menuju ke Gunung Liang-San untuk mencari peninggalan buku-buku dari Gui Tin, Lu Kwan Cu mulai menerima pelajaran ilmu silat dari Gurunya, yakni Ang-Bin Sin-Kai Lu Sin. Ang-Bin Sin-Kai melihat bakat yang amat baik dalam diri muridnya, maka dia tidak berlaku kepalang tanggung dalam melatih ilmu silat. Ia melatih bhesi dan gerakan kaki dengan amat cermat, sehingga dalam beberapa bulan, dia masih belum memberi pelajaran ilmu pukulan,

   Melainkan ilmu pelajaran pasang kuda-kuda kaki dan mengatur tenaga dalam kedudukan badan. Selain itu, dia memberi pelajaran cara berSiulian dan mengatur napas. Biarpun pelajaran ini menjemukan dan tidak menarik hati, namun Kwan Cu mempelajari dan melatih diri dengan amat tekun. Tubuhnya telah kehilangan tenaga Lweekang yang dilatihnya menurut petunjuk kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng yang palsu, maka boleh dibilang dia mulai melatih diri dari tingkat bawah lagi. Akan tetapi, dalam hal latihan ginkang dan ilmu lari cepat, Kwan Cu benar-benar mendapat kemajuan pesat sekali. Hal ini adalah karena perjalanan itu sendiri merupakan latihan yang terus menerus baginya. Tanpa memberitahukan muridnya, makin lama Ang-Bin Sin-Kai makin cepat menggerakkan kedua kakinya sehingga secara otomatis,

   Ilmu lari cepat Kwan Cu maju pesat sekali. Kadang-kadang, di waktu melompati jurang-jurang kecil, Kakek ini tidak membantu Kwan Cu dalam melopati jurang-jurang makin hebat dan makin lebarlah jurang yang dapat dilompatinya. Pada suatu hari, mereka mengaso di dalam sebuah hutan. Ang-Bin Sin-Kai tidur mendengkur sambil bersandar pada sebatang pohon besar. Kwan Cu berjalan di dalam hutan mencari bahan makan siang. Ia tahu bahwa Suhunya doyan sekali makan daging kelinci panggang, maka dia mencari-cari binatang itu untuk ditangkapnya. Setelah mencari beberapa lama, akhirnya dia melihat seekor kelinci gemuk yang menggerak-gerakkan kedua telinganya dengan lucu sekali. Kelinci itu pun mendengar kedatangannya, dan cepat sekali binatang ini melompat ke dalam semak-semak.

   Kwan Cu mengejarnya dan mengambil beberapa potong batu kecil. Di goyang-goyangnya rumpun di mana kelinci itu bersembunyi. Binatang ini menjadi ketakutan dan melompat keluar lalu berlari cepat. Akan tetapi Kwan Cu lebih cepat gerakannya dan tangannya menyambar. Sebuah batu kecil meluncur ke arah binatang itu. Kwan Cu merasa yakin bahwa sambitannya pasti akan mengenai sasaran, karena dia telah mempelajari Pek-Po-Coa-Yang (Ilmu Timpuk Tepat Dalam Jarak Seratus Kaki). Akan tetapi, ketika batu itu sudah menyambar dekat dengan tubuh kelinci, tiba-tiba dari lain jurusan, menyambar sebutir batu bundar yang meluncur cepat sekali dan membentur batu yang disambitkan Kwan Cu. Kwan Cu terkejut dan juga heran sekali. Ia menoleh ke sana ke mari namun tidak melihat orang. Kelinci itu sudah berlari pergi dan sebentar saja lenyap.

   

Jodoh Si Mata Keranjang Eps 5 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 10 Pendekar Kelana Eps 20

Cari Blog Ini