Ceritasilat Novel Online

Dara Baju Merah 9


Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 9




   
Im Giok masih kanak-kanak. Usianya baru enam tahun, akan tetapi ia memang cerdik sekali sehingga ia dapat menangkap maksud dari semua kata-kata Pek Hoa. Jiwa yang masih bersih, hati yang masih kosong itu kini terisi oleh ajaran-ajaran watak yang amat berbahaya dan aneh dari Pek Hoa Pouwsat, Siluman wanita murid Thian-Te Sam-Kauwcu. Sedikit demi sedikit, Pek Hoa hendak menjadikan anak yang disayangnya ini men jadi seperti dia! Cantik jelita, berilmu tinggi ganas dan bebas melakukan apa saja tanpa mempedulikan tata hukum atau tata susila. Apa saja dapat dilakukan oleh Pek Hoa asalkan ia menganggapnya benar dan hal ini menyenangkan hatinya! Makin giranglah hati Pek Hoa setelah beberapa bulan kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat sebagaimana yang ia duga, Im Giok memiliki bakat yang luar biasa dalam ilmu silat.

   Semua teori dan dasar persilatan yang diajarkan kepadanya dapat ia terima dengan mudah, bahkan ketika ia mulai dilatih bersilat, gerakannya amat indah dan lemah gemulai seperti orang menari! Makin sayanglah Pek Hoa kepada muridnya ini, dan dengan giat ia mulai menurunkan ilmu kepandaiannya yang tinggi kepada Im Giok. Hati Pek Hoa masih belum puas. Musuh besarnya terlalu banyak dan ia bercita-cita untuk membalas mereka semua. Ia harus membalas atas kematian tiga orang suhunya. Musuh besarnya yang harus dibalas adalah Kiang Liat, Han Le, Bu Pun Su, Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, The Kun Beng, dan orang-orang Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun! Terlalu banyak. Akan tetapi, dapat kubalas seorang demi seorang, pikir Pek Hoa.

   Yang paling ditakutinya adalah Bu Pun Su seorang. Yang lain-lain sih tidak begitu berat. Sekarang ia telah dapat membalas kepada orang yang pernah menolak cinta kasihnya, orang yang paling lemah di antara musuh-musuh besarnya, yakni Kiang Liat. Ia memang tidak mempunyai niat untuk membunuh Kiang Liat, hanya ingin melihat Kiang Liat menderita. Oleh karena itu, ia merasa cukup kalau sekarang dapat merampas Im Giok dan menjadikan murid sehingga kelak Kiang Liat akan mendapat malu. Karena maklum bahwa musuh-musuh besarnya, selain Kiang Liat, adalah tokoh-tokoh terkemuka, yang pandai dan lihai, untuk sementara waktu, Pek Hoa tidak berani memperlihatkan diri dan tidak banyak beraksi di dunia kang-ouw. Ia maklum bahwa kalau hendak membalas sakit hati, ia harus memperdalam kepandaiannya.

   Di antara banyak macam kepandaian yang pernah ia pelajari dari Thian-Te Sam-Kauwcu, ada semacam kepandaian ilmu silat yang tadinya ia anggap rendah sehingga tidak begitu ia pelajari secara mendalam. Ilmu kepandaian ini adalah semacam ilmu silat yang khusus diciptakan oleh Pek-In-Ong tokoh dua dari Barat ini, khusus diciptakan untuk Pek Hoa, murid yang terkasih itu. Seperti telah diketahui, tiga orang tokoh Barat itu selain ahli ilmu silat tinggi, juga ahli ilmu sihir. Melihat muridnya yang cantik jelita, yang selain menjadi murid juga menjadi kekasih, Pek-In-Ong lalu menciptakan ilmu silat yang sesungguhnya bukan merupakan ilmu pukulan, melainkan merupakan ilmu sitat yang diubah sedemikian rupa sehingga dalam setiap gerakan mengelak, menangkis, maupun memukul menjadi gerakan tari yang dapat menjatuhkan iman seorang laki-laki.

   Gerakan yang demikian memikat dan lebih tepat kalau disebut tarian yang melanggar kesopanan, tarian cabul yang ddpat membangkitkan nafsu jahat dan dapat menyelewengkan hati pria yang tadinya bersih! Dahulu Pek Hoa tidak begitu memperhatikan ilmu silat baru yang namanya juga mengerikan, yakni ilmu silat Bi-jin Khai-I (Wanita Cantik Membuka Pakaian)! Dianggapnya bahwa ilmu silat ini diciptakan oleh Pek-In-Ong hanya untuk memuaskan nafsu hati guru ke dua ini saja, atau untuk melihat dia menari-nari menghibur hatinya. Akan tetapi sekarang, setelah menghadapi musuh-musuh lihai dan memutar daya upaya untuk membalas dendam, ia teringat akan ucapan Hek-Te-Ong, tokoh pertama dari Barat atau suhunya yang pertama ketika gurunya ini menyaksikan ia bermain Bi-jin Khai-I.

   

   "Pek Hoa, sayang ilmu silat ciptaan Pek-In-Sute ini tidak ada isinya. Ataukah kau yang tidak berlatih sungguh-sungguh. Kalau kau sudah dapat menangkap isinya dan kau mainkan dengan pengerahan tenaga rahasia, kiranya kelak akan dapat kau pergunakan merobohkan lawan yang ilmu silatnya jauh melebihi tingkatmu."

   Teringat akan ini, Pek Hoa lalu melatih diri dengan ilmu silat Bi-jin Khai-I.

   Kini terbukalah ingatan dan matanya akan kelihaian dan keajaiban ilmu silat ini maka diam-diam ia merasa bersukur sekali. Selama empat tahun ia membawa Im Giok bersembunyi di sebelah puncak yang sunyi dari Pegunungan Ci-lin-san. Setiap hari, tiada bosannya Pek Hoa melatih diri dan melatih muridnya. Im Giok makin lama makin nampak kecantikannya. Akan tetapi setelah bertahun-tahun ia hidup bersama Pek Hoa, banyak sifat-sifat Pek Hoa menurun pula kepadanya. Yang terutama sekali adalah kesukaannya untuk berhias. Artinya, Im Giok juga menjadi seorang pesolek! Anak ini semenjak kecil sudah dilatih cara menghias diri dan menjaga wajah serta tubuh agar selalu kelihatan bersih menarik. Bahkan pada suatu hari Im Giok melihat Pek Hoa mengeluarkan sebutir telur yang kemudian dipecahkan lalu dicampur dengan obat, lalu diminumnya!

   

   "Eh, Enci Pek Hoa. Biasanya kita makan telur setelah dimasak dahulu, mengapa kau minum telur mentah?"

   

   "Kau tahu apa, Im Giok? Telur yang tadi kuminum dapat membuat aku selama hidup tidak akan menjadi tua!"

   Im Giok yang baru berusia sepuluh tahun itu menggerak-gerakkan alisnya seperti cara Pek Hoa menggerakkan alisnya, gerakan yang amat genit sungguhpun harus diakui amat menarik hati pula. Memang, banyak gerak-gerik genit dari Pek Hoa, seperti menggerakkan bibir di waktu bicara dan cara senyumnya yang kesemuanya amat manis dan menarik, telah menurun kepada Im Giok!

   

   "Enci Pek Hoa, aku selalu percaya kepadamu, akan tetapi kali ini agaknya aku sukar untuk percaya. Bagaimana telur dapat membikin orang menjadi muda selamanya?"

   Pek Hoa tersenyum dan kembali Im Giok melihat betapa manisnya senyum ini. Kembali diam-diam ia harus mengakui bahwa gurunya ini adalah seorang wanita yang cantik dan muda.

   

   "Im Giok, yang biasa kita makan itu bukan telur seperti ini. Telur ini bukan sembarang telur, dan amat sukar didapatkan. Ini adalah telur burung rajawali putih yang hanya dapat ditemukan di daerah yang amat sukar di Utara. Yang kuminum tadi telur terakhir, maka kau akan kuajak ke sana untuk mencari telur ini."

   

   "Akan tetapi apa buktinya bahwa telur itu betul-betul dapat membuat orang selamanya menjadi tetap muda?"

   

   "Kau lihat aku? Coba katakan, Im Giok, apakah aku tidak cantik?"

   

   "Kau cantik sekali, Enci Pek Hoa."

   Pek Hoa tersenyum puas.

   

   "Kelak kau lebih cantik daripada aku, Im Giok. kau bilang aku cantik dan berapa kau kira usiaku?"

   

   "Kalau kubandingkan dengan wanita-wanita lain yang kita jumpai, paling banyak kau tentu berusia dua puluh tahun."

   Kembali senyum manis membayang bibir Pek Hoa yang merah tanpa gincu itu.

   "Dua puluh tahun? Anak baik, usiaku sudah, dua kali itu, lebih lagi..."

   

   "Empat puluh tahun?"

   Im Giok berseru tidak percaya. Pek Hoa mengangguk.

   "Inilah bukti khasiat telur Pek-Tiauw (Burung Rajawali Putih)."

   Im Giok menjadi girang sekali.

   "Mari kita mencari telur seperti itu, Enci. Aku pun ingin muda selalu dan cantik seperti engkau."

   Demikianlah sifat-sifat Pek Hoa banyak yang menurun kepada anak itu, dan memang benar seperti yang dikatakan oleh Pek Hoa, anak itu makin lama makin cantik dan agaknya ia takkan kalah oleh Pek Hoa dalam kecantikan. Im Giok juga amat suka mempercantik diri dengan pakaian indah. Pek Hoa yang sayang kepadanya sering kali datang membawa pakaian-pakaian indah dan mahal, terbuat dari Sutera halus. Dan yang selalu dipilih oleh Im Giok adalah pakaian berwarna merah.

   

   "Bagus, kau mempunyai kesukaan yang sama dengan aku di waktu masih remaja, Im Giok. Aku pun suka akan warna merah. Warna merah membuat hati gembira dan membesarkan nyali. Juga kau amat pantas memakai pakaian merah, cocok betul dengan kulitmu yang putih halus itu."

   Selain mewarisi beberapa sifat dan watak Pek Hoa, juga selama empat tahun ini, Im Giok sudah menerima pelajaran dasar-dasar ilmu silat tinggi. Bakatnya memang luar biasa sekali, apalagi memang Pek Hoa mengajar dengan sungguh hati. Dalam waktu empat tahun saja, Im Giok sudah menjadi seorang anak yang lihai permainan Pedangnya, bahkan kalau ia melihat Pek Hoa berlatih ilmu silat Bi-jin-i, ia menonton dan memperhatikan.

   

   "Enci Pek Hoa, ilmu silat yang kau mainkan itu seperti tarian yang indah sekali. Aku ingin mempelajari ilmu silat itu Enci?"

   Pek Hoa tiba-tiba menghentikan permainan silatnya dan memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri.

   "Hush, kau anak kecil bagaimana bisa mempelajari ilmu silat ini? Ilmu silat ini hanya boleh dimainkan oleh seorang dara yang sudah dewasa."

   Im Giok merasa aneh dan kecewa. Diam-diam tiap kali gurunya bersilat, ia memperhatikan dan diam-diam ia dapat memetik beberapa jurus dari ilmu silat ini, di bagian yang indah gerakannya. Im Giok tentu saja memandang ilmu silat ini dari segi keindahan dan ia ingin memetiknya untuk memperindah gaya dan gerakan ilmu silat yang dilatihnya. Memang nona cilik ini amat suka akan tari-tarian dan akan segala yang indah-indah. Pada suatu hari, Pek Hoa mengajak muridnya turun dari puncak persembunyian itu. Tidak seperti biasanya kalau mengajak muridnya turun gunung bertamasya ke dusun-dusun, kali ini Pek Hoa membawa buntalan pakaian dan menyuruh muridnya membawa semua pakaiannya pula.

   

   "Enci Pek Hoa, kita akan pergi ke manakah?"

   Tanya Im Giok yang seperti semua anak-anak, amat girang diajak bepergian.

   

   "Kita turun gunung dan pergi jauh, tidak kembali ke sini lagi."

   Hampir saja Im Giok bersorak kegirangan. Sudah empat tahun lebih ia tahan saja, menindas hatinya yang rindu kepada ibu dan rumah. Akan tetapi setelah mendapat latihan dari Pek Hoa, bocah ini pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Maka betapapun girang hatinya, pada wajahnya yang manis sekali itu tidak nampak perubahan.

   

   "Apakah Enci akan membawaku ke Sian-Koan? Ataukah hendak mencari Ayah?"

   Dua macam pertanyaan ini sudah meliputi seluruh isi hati Im Giok. Dengan pertanyaan pertama ia menyatakan keinginan hatinya untuk bertemu dengan ibunya, karena ibunya tinggal di Sian-Koan. Adapun tentang ayahnya, ia sudah mendengar dari Pek Hoa bahwa ayahnya telah meninggalkan ibunya, ayahnya yang bernama Kiang Liat dan berjuluk Jeng-Jiu-Sian adalah seorang gagah di dunia kang-ouw yang suka merantau. Ia mendengar pula penuturan Pek Hoa bahwa ayahnya sengaja meninggalkan ibunya setelah ayahnya membunuh bekas kekasih ibunya!

   

   "Sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dahulu telah mempunyai seorang kekasih. Kekasihnya itu seorang sastrawan lemah, tentu saja ayahmu lebih tampan, lebih gagah dan lebih menyenangkan. Setelah bertemu dengan ayahmu, ibumu melepaskan kekasih lama. Akan tetapi setelah kau terlahir, kembali ibumu teringat akan kekasihnya dan hal ini membuat ayahmu marah dan cemburu. Maka dibunuhnya sastrawan kekasih ibumu itu dan ayahmu lalu pergi meninggalkan ibumu."

   Demikian Pek Hoa mengarang, hati Im Giok tergores luka. Ia merasa kasihan kepada ayahnya dan sebaliknya mencela sikap ibunya, sungguhpun tak mungkin ia dapat membenci ibunya.

   

   "Akan tetapi sekarang kabarnya ayahmu telah menjadi gila."

   Kata-kata ini membuat hati Im Giok terharu sekali sehingga pernah ia mengajukan permohonan kepada gurunya untuk mencari ayahnya. Akan tetapi Pek Hoa selalu menjawab bahwa belum tiba waktunya bagi mereka untuk meninggalkan puncak gunung. Sekarang begitu gurunya mengajaknya turun gunung, otomatis Im Giok mengajak gurunya mencari ibu atau ayahnya.

   

   "Tidak, Im Giok. Kita tidak pergi ke Sian-Koan, juga tidak mencari ayahmu. Aku mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Aku harus pergi ke Kun-Lun-san, kemudian ke kuil Siauw-Lim-Si untuk membalas sakit hati. Kau harus ikut!"

   Tentu saja Im Giok tidak berani membantah.

   

   "Ingatlah, Im Giok. Aku telah dihina dan dibikin sakit hati oleh beberapa orang kang-ouw yang selain telah membunuh tiga orang guruku, juga telah mendatangkan malu besar kepadaku. Kau ingatlah baik-baik nama musuh-musuh besarku itu. Akan tetapi, karena mereka itu lihai sekali, biarlah yang lain-lain aku yang akan mencari dan membalasnya. Hanya terhadap satu orang, aku mengharapkan kau sebagai muridku kelak akan dapat membalaskan sakit hatiku. Orang itu adalah Bu Pun Su."

   

   "Bu Pun Su...?"

   Baru kali ini Im Giok mendengar nama pendekar sakti yang namanya sederhana sekali itu.

   

   "Im Giok, jangan kau pandang rendah orang ini. Memang betul namanya hanya Bu Pun Su (Tiada Kepandaian), akan tetapi dialah orang yang paling lihai di antara semua musuhku. Aku sendiri tidak berdaya terhadap dia, dan kelak kau orangnya yang kuharapkan akan dapat membalasnya."

   Demikianlah, sambil menuturkan pengalamannya, Pek Hoa melakukan perjalanan bersama muridnya yang kini sudah cukup pandai sehingga dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, menuruni puncak bukit di mana mereka bersembunyi sambil berlatih silat selama empat tahun lebih.

   Setelah merasa yakin akan kelihaian ilmu silat baru yang dilatihnya, Pek Hoa berbesar hati dan berani muncul lagi. Yang ia takuti hanya dua orang, yakni pertama Bun Sui Ceng dan kedua Bu Pun Su. Ia gentar menghadapi Bun Sui Ceng karena musuh besar ini adalah seorang wanita sedangkan ilmu silat Bi-jin Khai-I yang baru ia latih sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap lawan wanita. Adapun rasa gentarnya terhadap Bu Pun Su adalah karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian pendekar sakti ini sudah amat tinggi, jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang tiga orang suhunya sendiri! Karena itu, ia merasa ragu-ragu apakah ilmu silatnya yang baru itu akan dapat mengalahkan Bu Pun Su. Tidak ada orang yang berjumpa dengan mereka terutama sekali kaum pria, yang tidak memandang dengan penuh kekaguman yang tak mudah dilihat setiap kali.

   Seorang dara berbaju biru putih, cantik jelita dan nampaknya takkan lebih dari dua puluh tahun usianya. Rambutnya hitam panjang, digelung dengan model gelung dewi kahyangan, di sebelah kiri dihias setangkai bunga putih yang harum, yakni bunga Cilan, di sebelah kanan terhias burung hong dari emas dan permata. Sepasang anting-anting panjang berrnata merah tergantung di bawah telinga, bergerak-gerak membelai pipi menambah kemanisan. Pakaian dan sepatunya baru dan terbuat dari bahan mahal. Gagang sepasang Pedang yang, menempel di punggung, dengan ronce-ronce Pedang warna merah berkibar di atas pundak, membuat Si Cantik itu nampak gagah sekali. Sepasang Pedang ini pula yang membuat tiap orang laki-laki yang memandang kagum, tidak berani bersikap kurang ajar.

   Yang ke dua masih belum dewasa, baru berusia sepuluh atau sebelas tahun, akan tetapi sudah kelihatan luar biasa cantiknya. Dillhat sepintas lalu, wajahnya hampir sama dengan wajah dara yang dewasa itu, patut kiranya menjadi adiknya. Akan tetapi kalau diperhatikan betul-betul nampak benar perbedaan yang jauh, terutama sekali pada sinar mata dan tekukan bibir. Juga gadis cilik ini menarik hati setiap orang. Tidak saja manis dan jelita, juga amat gagah. Pakaiannya serba merah, terbuat dari Sutera indah pula. Rambutnya dikucir dan dihias dengan pita merah pula. Juga di punggung bocah perempuan ini kelihatan gagang sebatang Pedang pendek dan langkah kakinya yang tegap dan lincah itu mendatangkan kesan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi seperti kawannya.

   

   Pek Hoa dan Im Giok, dua orang itu, di sepanjang jalan bergembira mengagumi pamandangan di kota-kota, terutama sekali Im Giok. Mereka tidak mempedulikan pandangan mata kagum dari para laki-laki yang mereka jumpai di tengah perjalanan. Bagi Im Giok, semua pandang mata itu tidak ada artinya. Akan tetapi tidak demikian dengan Pek Hoa. Sudah empat tahun lebih ia tidak pernah menghadapi pandang mata kagum dari para pria maka kini ia merasa gembira dan bangga bukan main. yata bahwa empat lima tahun tidak mengurangi kecantikannya, tidak merubah usianya! Ini semua berkat telur Pek-Tiauw yang benar-benar memiliki khasiat membuat orang menjadi awet muda. Yang menyebalkan hati Pek Hoa adalah kenyataan bahwa tidak ada laki-laki yang cukup tampan dan gagah di antara mereka yang ia jumpai.

   Maka ia pun bersikap seperti Im Giok, tidak peduli sama sekali akan pandang mata orang-orang itu, melainkan tersenyum makin manis dan bangga. Akan tetapi, setelah kembali terjun ke dalam dunia ramai, timbul pula penyakit lama dalam diri Pek Hoa. Hati dan tangannya gatal-gatal kalau tidak melakukan perbuatan seperti dahulu-dahulu. Mulailah Im Giok terkejut sekali ketika menyaksikan perbuatan gurunya. Sering kali di waktu malam Im Giok diajak mendatangi rumah orang di mana Pek Hoa mengambil barang berharga dan emas sekehendak hati sendiri. Bahkan di depan mata Im Giok, ketika tuan rumah bangun dari tidur dan melihat pencurian yang dilakukan, Pek Hoa membunuh tuan rumah itu bagaikan orang membunuh semut saja!

   

   "Enci Pek Hoa, mengapa setelah mengambil barangnya, kau masih membunuh orangnya yang tidak mempunyai dosa apa-apa?"

   Im Giok memprotes.

   

   "Im Giok, mengapa ribut-ribut urusan mati hidupnya seorang manusia macam dia? Dia telah memergoki kita, ini artinya dia harus mampus. Orang macam dia, mati atau hidup apa sih artinya? Kita boleh berbuat sesuka kita, itulah hukum kang-ouw, siapa kuat dia menang!"

   Jawaban ini meragukan hati Im Giok. Biarpun semenjak berusia enam tahun ia telah ikut Pek Hoa dan selalu melihat contoh-contoh buruk, namun Im Giok adalah keturunan orang baik-baik. Ibunya seorang wanita bijaksana, ayahnya seorang laki-laki gagah perkasa maka sedikitnya ia pun mempunyai watak yang baik dan gagah.

   Menghadapi perbuatan yang keterlaluan dari Pek Hoa, hatinya memberontak. Apalagi ketika ia melihat beberapa kali Pek Hoa tidak bermalam di kamar hotel dan diam-diam pergi meninggalkannya sampai semalam suntuk dan keesokan harinya pagi-pagi baru datang dengan senyum-senyum aneh, ia menjadi makin curiga. Namun ia tidak dapat menentang wanita yang menjadi pendidiknya ini. Betapapun juga, ia harus akui bahwa Pek Hoa telah bersikap amat baik terhadapnya, amat baik dan penuh kasih sayang. Beberapa pekan kemudian, Pek Hoa mengajak Im Giok masuk ke dalam pekarangan sebuah gedung besar di tengah Kota Cin-an. Im Giok merasa heran karena biasanya kalau Pek Hoa memasuki gedung besar, waktunya tengah malam dan jalan masuknya melalui genteng!

   

   "Enci Pek Hoa, rumah siapakah ini?"

   

   "Rumah seorang gagah bernama Kam Kin berjuluk Giam-Ong-To (Si Golok Maut). Kau harus sebut Susiok (Paman Guru) kepadanya."

   Kedatangan mereka segera disambut oleh tuan rumah, seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih, tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan sikapnya cukup gagah. Hanya sayangnya, pandang matanya kejam dan senyum bibirnya membayangkan watak mata keranjang dan curang.

   

   "Aduuh, pantas saja aku bermimpi kejatuhan bulan!"

   Laki-laki itu berseru sambil tertawa-tawa dan kedua lengannya dibentangkan ketika ia menyambut Pek Hoa, seakan-akan siap hendak memeluknya.

   "Tidak tahunya benar saja dewiku yang jelita datang berkunjung..."

   Kata-katanya berhenti ketika Pek Hoa mengerutkan alis dan memberi isarat dengan matanya ke arah Im Giok, mencegah laki-laki itu bicara secara demikian bebas di depan Im Giok. Kam Kin, laki-laki itu, tertawa menyeringai dan ketika ia menengok ke arah Im Giok, sinar kagum terbayang dalam pandang matanya.

   

   "Aha Pek Hoa-suci, muridmu ini benar-benar hebat dan manis sekali! Kalau kau seperti bunga cilan putih yang sudah mekar semerbak harum, muridmu ini adalah tunas cilan yang merah. Ha, ha, ha!"

   Sekali pandang saja, Im Giok merasa benci kepada laki-laki yang menyambut mereka ini. Sungguhpun ia dapat menekan perasaannya, namun tetap saja wajahnya kehilangan serinya.

   

   "Im Giok, beri hormat kepada Kam-susiok,"

   Kata Pek Hoa. Terpaksa Im Giok menjura untuk memberi hormat tanpa memandang wajah orang.

   "Teecu Kiang Im Giok memberi hormat kepada Kam-susiok,"

   Katanya sederhana lalu berdiri lagi di samping gurunya.

   

   "Ha, ha, bagus sekali. Orangnya manis, namanya indah dan suaranya merdu seperti gurunya,"

   Kam Kin menepuk tangan tiga kali dan dari dalam muncullah tiga orang wanita muda yang cantik-cantik. Mereka ini adalah pelayan-pelayan dari hartawan ini, akan tetapi pakaian mereka sesungguhnya tidak patut bagi para pelayan, lebih pantas kalau mereka ini disebut selir-selir dari Kam Kin.

   

   "Siapkan, kamar yang bersih dan layani Nona Kiang Im Giok ini baik-baik,"

   Katanya kepada mereka. Sambil tertawa-tawa tiga orang perempuan muda itu lalu menggandeng tangan Im Giok dan ditariknya nona cilik ini di dalam gedung. Tadinya Im Giok hendak menolak, akan tetapi Pek Hoa berkata,

   "Kau pergilah beristirahat, Im Giok. Tak usah sungkan-sungkan, kita berada di rumah sendiri. Besok pagi-pagi kita bertemu kembali di ruang depan ini. Aku ada perundingan penting dengan susiokmu."

   Terpaksa Im Giok ikut dengan tiga orang pelayan itu dan di belakangnya ia mendengar suara ketawa-ketawa dari Pek Hoa dan Kam Kin, dan lapat-lapat ia mendengar lagi sebutan-sebutan mesra dari mulut Kam Kin kepada gurunya. Di dalam kamarnya Im Giok hampir menangis. Ia kecewa sekali.

   Makin terbukalah matanya dan biarpun belum berani ia menuduh gurunya sebagai seorang penjahat wanita cabul, akan tetapi kepercayaannya mulai berkurang dan hatinya mulai ragu-ragu. Ia tidak ragu lagi bahwa tuan rumah yang bernama Giam-Ong-To Kam Kin ini bukanlah orang baik-baik. Bagaimanakah gurunya bisa bergaul dengannya? Ia tidak dapat tidur sama sekali. Bocah yang baru berusia sepuluh tahun lebih ini mulai merasa sengsara dan gelisah. Ia amat merindukan ibunya, bahkan ia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana bentuk wajah ayahnya. Ketika ayahnya pergi meninggalkan ibunya, ia baru berusia dua tahun dan tak dapat mengingat lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya. Ia mulai rindu kepada ibunya, kepada ayahnya, kepada kebebasan! Biarpun Pek Hoa baik terhadapnya, namun ia tidak merasa bebas. Ia harus tunduk dan taat, harus menelan apa saja yang disuguhkan kepadanya.

   Semua perbuatan gurunya yang sebetulnya ia anggap amat tidak patut dan tidak menyenangkan hatinya, mau tidak mau harus ia terima dan ia anggap baik, atau setidaknya, ia tidak boleh menyatakan pendapatnya. Seperti biasa, di mana saja Pek Hoa membawanya, ia tidak pernah kekurangan makan. Di rumah gedung dari orang she Kam ini pun ia dilayani dengan baik-baik, bahkan ia disuguhi makanan-makanan lezat dan mewah. Akan tetapi, Im Giok tidak dapat merasai kenikmatan makanan itu, bahkan ia menelan makanan dengan paksa hanya untuk berlaku pantas karena ia sungkan menolak sambutan orang yang demikian baik. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Im Giok sudah siap untuk melanjutkan perjalanan dengan gurunya. Alangkah girangnya ketika pagi itu Pek Hoa sudah datang ke kamarnya dan berkata dengan wajah berseri,

   

   "Im Giok, mari kita berangkat! Kau akan melihat betapa aku memberi hajaran kepada seorang di antara musuh-musuh besarku."

   

   "Yang mana, Enci?"

   Tanya Im Giok ikut gembira karena hendak menyaksikan pertempuran.

   

   "Hwesio-Hwesio dari Siauw-Lim-Si, Kok Beng Hosiang dan dua orang Hwesio muridnya. Kebetulan sekali dia dan muridnya berada di sebuah kelenteng tak jauh dari Kota ini."

   Akan tetapi, kegembiraan Im Giok segera lenyap ketika ia melihat Giam-Ong-To Kam Kin telah menanti di pekarangan rumah dengan tiga ekor kuda. Jelas bahwa laki-laki ini hendak ikut pergi pula! Pek Hoa bermata tajam dan ia dapat melihat kerutan alis muridnya, maka ia cepat berkata,

   "Susiokmu akan ikut membantuku, Im Giok, kau naiki kuda yang putih itu, kelihatannya paling, baik."

   Kata-kata terakhir ini diucapkan oleh Pek Hoa untuk menyenangkan hati muridnya.

   "Jangan yang itu. Kuda itu masih setengah liar. Lebih baik Im Giok naik yang ini!"

   
Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kam Kin cepat berkata sambil menuntun seekor kuda bulu hitam dan didekatkan kepada Im Giok.

   

   Im Giok tidak biasa menunggang kuda. Akan tetapi sebagal murid orang pandai yang sudah memiliki kepandaian lumayan, ia tidak merasa takut dan dengan gerakan ringan ia melompat ke atas punggung kuda hitam itu. Mereka segera berangkat. Kam Ki dan Pek Hoa menjalankan kuda berdampingan, sedangkan Im Giok menjalankan kuda di belakang mereka. Dengan hati sebal dan muak ia melihat betapa sikap gurunya dan Susioknya amat mesra. Di sepanjang jalan kedua orang itu bersendau-gurau dengan sikap mesra. Makin besarlah perasaan tidak suka mendesak di hati Im Giok, rasa tidak suka terhadap orang yang selama ini ia anggap sebagai gurunya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Pek Hoa kepada Im Giok. Kok Beng Hosiang, tokoh ke tiga dari Siauw-Lim-Pai, murid ke dua dari Hok Bin Taisu yang dulu ikut pula menyerbu Thian-Te Sam-Kauwcu bersama Suhengnya untuk mengambil kembali Kitab yang tercuri,

   Pada waktu itu sedang keluar dari Siauw-Lim-Si dan berada di sebuah kelenteng yang tidak jauh letaknya menyebarkan Agama Budha di belakang kelenteng lain. Dalam perjalanan ini ia dikawani oleh dua orang muridnya. Hal ini diketahui oleh Kam Kin yang segera memberi tahu kepada Pek Hoa dan siap pula membantunya. Kam Kin yang berjuluk Giam-Ong-To adalah seorang bekas perampok tunggal yang kini sudah mengundurkan diri setelah berhasil mengumpulkan banyak harta kekayaan. Ia kini hidup sebagai seorang hartawan muda yang tidak beristeri, akan tetapi bukan rahasia lagi bahwa ia mempunyai banyak selir dan dia pun terkenal sebagai seorang hartawan mata keranjang yang tidak segan-segan mempergunakan harta dan kepandaiannya untuk merampas anak bini orang lain.

   Kalau orang tidak merasa takut terhadap pengaruh hartanya, tentu ia akan merasa gentar menghadapi goloknya, karena Kam Kin memang termasuk seorang ahli silat kelas tinggi. Biarpun Kam Kin bukan murid Thian-Te Sam-Kauwcu, namun ia memang termasuk adik seperguruan dari Pek Hoa, karena Pek Hoa pernah pula menjadi murid Cheng-Jiu Tok-Ong (Raja Beracun Berlengan Seribu), seorang tokoh besar rimba persilatan di daerah Barat. Sedangkan Raja beracun ini adalah guru dari Kam Kin. Hanya bedanya, kalau Kam Kin hanya menerima kepandaian silat dari Cheng-Jiu Tok-Ong, adalah Pek Hoa melanjutkan pelajaran dan berguru kepada banyak tokoh lain sehingga kepandaian Pek Hoa tentu saja lebih lihai daripada kepandaian Kam Kin.

   

   Semenjak berusia belasan tahun, Pek Hoa memang sudah bejat moralnya. Ketika masih berguru kepada Cheng-Jiu Tok-Ong, ia sudah jatuh hati kepada Kam Kin yang lebih muda dan memang tampan. Kedua orang ini seperti sampah dengan keranjang, cocok sekali dan sudah lama mempunyai perhubungan yang tidak bersih. Lewat tengah hari mereka tiba di depan kelenteng yang dimaksudkan. Dengan tenang Pek Hoa melompat turun dari kudanya, diikuti oleh Kam Kin dan Im Giok, kemudian tiga ekor kuda itu diikat pada pohon yang tumbuh di halaman kelenteng. Sunyi saja di kelenteng itu. Akan tetapi meja depan dipasangi lilin, tanda bahwa ada penghuninya di dalam kelenteng.

   

   "Kok Beng Hosiang, keluarlah untuk menerima binasa!"

   Pek Hoa berseru keras. Terdengar suara orang dari dalam kelenteng dan muncullah dua orang Hwesio muda. Mereka merangkap kedua tangan di depan dan sebagai tanda penghormatan, lalu seorang di antara mereka bertanya,

   

   "Sam-wi dari manakah dan ada keperluan apa mencari Suhu yang sedang bersembahyang?"

   

   "Kalian ini dua orang keledai gundul murid Kok Beng Hosiang? Bagus, berangkatlah dulu ke neraka untuk mempersiapkan tempat bagi gurumu!"

   Kata Kam Kin yang sudah mencabut goloknya sambil bergerak maju menyerang secara hebat sekali. Im Giok terkejut bukan main, juga merasa penasaran dan ngeri, maka ia cepat melompat mundur dan berdiri di tempat jauh sambil menonton. Hatinya berdebar tidak karuan, dan kembali rasa tidak suka menyerang batinnya, kini bahkan demikian hebat sehingga mulai timbul benci di dalam hatinya kepada Pek Hoa dan Kam Kin.

   

   "Eh, eh, kalu ini perampok atau orang gila?"

   Hwesio muda itu berteriak marah sambil mengejek. Kemudian secepat kilat kedua orang Hwesio itu menyerang, yang pertama menendang ke arah sambungan lutut, yang kedua menghantam ke arah lambung. Mereka adalah murid-murid Siauw-Lim-Pai yang sudah diperkenankan ikut guru mereka merantau,

   Ini menjadi bukti bahwa kepandaian mereka bukan rendah, maka tentu saja mereka tidak mudah dirobohkan oleh serangan golok Kam Kin bahkan dapat membalas dengan serangan yang cukup berbahaya. Sekali pandang saja Pek Hoa cukup maklum bahwa ia tak perlu membantu Sutenya. Tingkat kepandaian Sutenya masih lebih tinggi dari dua orang Hwesio muda ini. Maka sekali menggerakkan tubuh, ia telah melompat di dekat Im Giok dan menonton jalannya pertempuran. Im Giok mendongkol bukan main. Ia anggap Pek Hoa dan Kam Kin keterlaluan sekali, datang-datang menyerang dua orang pendeta yang tidak terang apa salahnya. Akan tetapi tentu saja untuk membantu dua orang Hwesio itu atau mencela Kam Kin ia tidak berani kepada gurunya. Untuk melampiaskan kemendongkolannya, ia sengaja berkata kepada gurunya,

   

   "Enci Pek Hoa, tidak tahunya julukan Susiok Giam-Ong-To kosong belaka. Menghadapi dua orang Hwesio bertangan kosong saja ia tidak mampu menjatuhkani"

   Mendengar ini, Pek Hoa menjadi merah mukanya. Kata-kata itu biarpun ditujukan untuk mengejek Kam Kin akan tetapi seperti juga menampar mukanya sendiri karena Kam Kin adalah Sutenya. Ia memandang lagi ke arah pertempuran dan harus ia akui bahwa kiranya Sutenya itu masih agak lama untuk dapat mengalahkan dua orang lawannya. Maka dengan gemas sekali ia melompat mendekati tempat pertempuran, lalu mengayun tangan kiri sambil berseru,

   "Sute, lekas robohkan mereka. Untuk apa main-main dengan dua ekor keledai macam ini?"

   Gerakan tangan kiri Pek Hoa tadi bukan sembarangan gerakan, melainkan gerakan melepaskan Pek-Hoa-Ciam yang lihai. Segera dua orang Hwesio muda itu terhuyung-huyung dan dua kali golok besar di tangan Kam Kin berkelebat, muncratlah darah dan robohlah dua orang Hwesio itu dengan leher terbacok dan nyawa melayang.

   

   "Omitohud...! Siluman wanita Pek Hoa, kau benar-benar keji sekali dan tidak kenal tobat. Datang-datang kau telah membunuh murid-murid pinceng, benar-benar Siluman jahat."

   Kata-kata ini disusul dengan keluarnya seorang Hwesio gemuk yang memegang senjata rantai panjang. Dahulu dalam pertempuran di lembah Sungai Yalu Cangpo, Hwesio ini sudah merasai kelihaian Pek-In-Ong, seorang di antara guru-guru Pek Hoa. Maka kali ini ia berlaku hati-hati menghadapi Pek Hoa, maklum bahwa wanita Siluman ini lihai sekali, apalagi senjata rahasianya.

   

   Melihat musuhnya sudah berdiri di depannya, tanpa banyak cakap lagi Pek Hoa lalu mencabut Siang-Kiamnya dan melakukan serangan secepat kilat. Kok Beng Hosiang, Hwesio gemuk itu, cepat pula menggerakkan senjata rantainya menangkis. Terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar ketika Pedang bertemu dengan rantai. Kemudian terjadilah pertandingan ilmu silat tinggi yang seru. Im Giok tidak senang sekali melihat Kam Kin tadi membunuh dua orang Hwesio muda, kini ia lebih gelisah melihat Hwesio tua gemuk bertempur melawan gurunya. Kalau saja para pendeta itu bertempur dengan lain orang, bukan dengan gurunya, kiranya Im Giok akan turun tangan membantu pendeta-pendeta itu. Biarpun baru empat lima tahun ia berlatih silat, namun berkat latihan sungguh-sungguh dan ilmu silat tinggi yang diturunkan oleh Pek Hoa, kepandaian Im Giok sudah lumayan dan nyalinya besar sekali.

   Kini melihat Kok Beng Hosiang bertempur melawan gurunya... Im Giok dapat menduga bahwa Hwesio itu takkan menang. Pertandingan itu cukup hebat. Sebagai tokoh ke tiga dan Siauw-Lim-Pai, kepandaian Kok Beng Hosiang tinggi sekali. Tenaga Lwee-kangnya sebenarnya masih mengatasi tenaga Pek Hoa, dan ilmu silatnya amat kokoh kiuat dan tangguh dalam pertahanan. Namun ia harus mengaku kalah gesit dan kalah cepat oleh nona itu. Gerakan Pek Hoa cepat sekali, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda hingga Kong Beng Hosiang nampak terdesak. Betapapun juga, jago Siauw-Lim-Si ini dapat mempertahankan diri sampai lima puluh jurus lebih sebelum pundaknya terserempet ujung Pedang kiri Pek Hoa. Gerakan yang dilakukan oleh Pek Hoa dalam penyerangan yang berhasil itu memang hebat sekali, mengandalkan ginkang yang sudah tinggi.

   Sebuah serangan Kok Beng Hosiang dengan rantainya yang menyambar pinggang, dapat ia elakkan dengan lompatan indah dan cepat bagaikan burung tebang, kemudian selagi tubuhnya masih berada di udara, nona ini membalikkan tubuh dan sepasang Pedangnya menyerang bertubi-tubi dari atas. Kok Beng Hosiang sudah berusaha menangkis, namun ia kalah cepat sehingga Pedang kiri Pek Hoa yang menyambar leher masih saja dapat menyerempet pundaknya, darah membasahi jubah pendetanya. Kok Beng Hosiang terhuyung ke belakang. Sambil tertawa nyaring dan mengejek, Pek Hoa mendesak terus, siap memberi tusukan-tusukan terakhir. Tiba-tiba berkelebat bayangan dan "traang!"

   Pedang Pek Hoa yang sudah menyambar ke arah ulu hati Kok Beng Hosiang bertemu dengan sebatang Pedang lain.

   

   "Im Giok...!"

   Pek Hoa berseru marah sekali ketika melihat bahwa yang menangkis Pedangnya adalah muridnya sendiri. Bocah ini melihat gurunya mendesak dan hendak membunuh Hwesio tua gemuk, tak dapat menahan perasaannya lagi, mencabut Pedang pendek dan menangkis Pedang Pek Hoa!

   

   "Enci, untuk apa membunuh seorang pendeta yang suci? Dia sudah kalah terluka, tak perlu didesak terus, Enci."

   

   "Bocah, kau lancang sekali!"

   Kam Kin melompat dan sekali bergerak ia telah merampas Pedang Im Giok dan menyambar tubuh bocah itu, dipeluk pinggangnya terus dikempit. Im Giok yang tidak menduga sebelumnya tidak berdaya dan terpaksa ia hanya membikin tubuhnya kaku dalam kempitan Susioknya yang tertawa-tawa menyebalkan. Sementara itu, Pek Hoa terus mendesak Kok Beng Hosiang dengan sepasang Pedangnya. Kok Beng Hosiang melawan terus, namun dalam beberapa gebrakan saja, kembali ujung Pedang Pek Hoa telah melukai lengannya.

   

   "Hwesio keparat, mampuslah kau!"

   Pek Hoa menggerakkan sepasang Pedangnya secara istimewa, menyerang dari kanan kiri dengan gerak tipu Kim-Peng Tian-Ci (Garuda Emas Mementang Sayap). Kok Beng Hosiang yang sudah terluka mana dapat menjaga serangan yang datang dari kanan kiri dengan hebat ini? Ia tahu bahwa kali ini ia takkan dapat menghindarkan maut lagi, maka ia hanya menarik napas panjang.

   

   "Pek Hoa Pouwsat, kau benar-benar keterlaluan sekali!"

   Terdengar suara bentakan halus dan Pek Hoa mengeluarkan jerit kecil ketika tiba-tiba Pedangnya terbentur oleh sesuatu sehingga terpental. Ia cepat melompat ke belakang dan ketika ia memandang, ternyata yang menangkis Pedangnya tadi adalah sebatang ranting yang dipegang oleh seorang Pengemis yang amat dikenalnya, yakni Han Le! Orang sakti itu tersenyum. Han Le adalah seorang yang berwajah tampan dan menarik. Walaupun kini rambut dan jenggotnya tidak terpelihara dan pakaiannya seperti seorang jembel, namun setelah berhadapan muda dan memandang penuh perhatian,

   Ternyatalah oleh Pek Hoa Pouwsat bahwa kulit muka itu bersih dan terawat baik-baik, merupakan wajah seorang jantan yang menggerakkan hati wanitanya! Han Le dan Bu Pun Su merupakan dua orang yang paling berbahaya di antara musuh-musuhnya. Kini melihat Han Le berdiri di hadapannya dengan ranting di tangan, bibir tersenyum dan wajah tenang, dua macam pikiran memasuki kepala Pek Hoa Pouwsat. Pertama bahwa Han Le seorang laki-laki yang sudah masak dan menarik hatinya, kedua bahwa akan menguntungkan sekali baginya kalau ia dapat memikat hati musuh besar ini, selain ia dapat memuaskan hatinya, juga ia mendapat jalan untuk membalas dendam! Dengan senyum yang manis sekali, Pek Hoa Pouwsat menghadapi Han Le, memainkan matanya yang sinarnya dapat membetot hati setiap pria, baru ia berkata,

   "Eh, kiranya Han Le Taihiap yang muncul. Kebetulan sekali, Siauwmoi sudah lama sekali ingin mengunjungimu dan melihat-lihat keadaan Pulau Pek-Hio-To!"

   Kulit muka di balik cambang itu memerah dan Han Le menekan perasaan hatinya yang berdebar aneh ketika ia melihat sikap Pek Hoa Pouwsat dan mendengar wanita cantik itu menyebut diri sendiri "Siauwmoi" (adinda)! Semenjak pertama kali bertemu dengan Pek Hoa Pouwsat, memang diam-diam di dalam hatinya Han Le kagum sekali dan merasa menyesal serta sayang mengapa seorang wanita demikian manis jelita telah tersesat dan menyeleweng jalan hidupnya. Han Le adalah seorang yang tidak mudah tertarik oleh kecantikan wanita, bahkan semenjak muda ia terkenal sebagai seorang pria pembenci wanita. Akan tetapi, kali ini menghadapi Pek Hoa Pouwsat yang segala-galanya serba cocok dengan seleranya, dan amat menarik hatinya, Han Le harus mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaan yang tergoncang. Akan tetapi Han Le dengan pandang mata keren menegurnya,

   "Pek Hoa Pouwsat, mengapa kau melukai dan hendak membunuh Hwesio Siauw-Lim-Si ini?"

   Pek Hoa mengerling ke arah Kok Beng Hosiang yang masih sibuk mengobati luka-lukanya, lalu tersenyum dan dengan tubuh digerak-gerakkan secara genit dan kepala dimiringkan, ia berkata kepada Han Le,

   

   "Dia ini musuh besarku, mengapa tidak harus kubunuh? Akan tetapi karena Han Le Taihiap datang dan melihat muka Taihiap, biarlah kali ini Siauwmoi mengampuni kepala gundul ini. Kok Beng Hosiang, kau tidak lekas pergi dari sini? Apa menanti sampai aku bergerak lagi? Hayo pergi lekas!"

   Kok Beng Hosiang sudah merasa bahwa ia takkan menang menghadapi Pek Hoa Pouwsat. Biarpun kini ia melihat kedatangan Han Le, akan tetapi ia telah dibikin malu dan tidak ada muka untuk berdiam terus di tempat itu.

   

   "Kau telah menghina Siauw-Lim-Si, nantikan pembalasan kami!"

   Katanya geram, lalu Hwesio ini pergi dengan langkah lebar. Akan tetapi ia tidak pergi jauh karena ia mengambil jalan memutar dan dengan sembunyi ia mengintai, ingin menyaksikan bagaimana Han Le memberi hajaran kepada Pek Hoa Pouwsat dan kawan-kawannya. Kok Beng Hosiang diam-diam merasa sakit hati dan mendongkol sekali, maka ingin ia melihat wanita yang membikin malu padanya itu menerima hajaran keras. Akan tetapi, apa yang dilihat oleh Hwesio Siauw-Lim-Si ini membuat sepasang matanya terbelalak lebar, mukanya merah seperti kepiting direbus dan kepalanya yang gundul licin berdenyut-denyut. Setelah Kok Beng Hosiang pergi, Pek Hoa mendekati Han Le dengan lenggang dibuat-buat, amat menarik hati karena memang wanita ini memiliki bentuk tubuh yang indah menarik.

   

   "Taihiap, seperti kukatakan tadi, sudah lama aku mendengar bahwa Pulau Pek-Hio-To tempat tinggalmu mengandung banyak rahasia, juga amat indah seperti sorga. Bolehkah aku mengunjungimu? Bawalah aku ke sana, Taihiap."

   

   Han Le mengerutkan keningnya.

   "Pek Hoa Pouwsat, permainan apakah yang kau keluarkan ini? Kau adalah murid Thian-Te Sam-Kauwcu dan kau tahu bahwa aku dan Suhengku, juga kawan-kawan lain telah..."

   Pek Hoa mengangkat kedua lengannya, digoyang-goyang seperti orang mencegah. Dari dalam lengan bajunya keluar keharuman bunga cilan!

   

   "Han-Taihiap, harap kau jangan menyebut-nyebut lagi soal itu. Yang sudah lewat, sudahlah. Terhadap seorang gagah seperti Taihiap, bagaimana Siauwmoi berani menaruh dendam hati? Yang ada di dalam hati Siauwmoi bukanlah dendam dan marah, melainkan... kekaguman dan ingin sekali mempererat persahabatan..."

   Suaranya terdengar demikian merdu dan penuh gaya sehingga wajah Han Le sebentar merah sebentar pucat.

   

   "Jembel busuk, lekas pergi dari sini!"

   Tiba-tiba Giam-Ong-To Kam Kin yang semenjak tadi mendengarkan percakapan itu dan melihat sikap genit sucinya dengan hati sebal dan cemburu, lalu menggerakkan sepasang goloknya menyerang Han Le!

   "Sute... jangan...!"

   Pek Hoa membentak Kam King akan tetapi terlambat karena sepasang golok itu dengan ganasnya telah menyambar tubuh Han Le. Bentakan ini sebetulnya bukan dikeluarkan karena Pek Hoa khawatir akan keselamatan Han Le, bahkan sebaliknya ia amat khawatir akan keselamatan Sutenya. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Han Le jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian Kam Kin.

   

   Memang betul apa yang dikhawatirkan oleh Pek Hoa Pouwsat itu, karena tidak saja Han Le dapat menghindarkan diri dari serangan sepasang golok Kam Kin, bahkan secara cepat dan tak terduga, rantingnya telah menotok pundak lawannya tanpa dapat dielakkan oleh Kam Kin. Giam-Ong-To Kam Kin menjerit dan roboh berkelojotan. Pek Hoa menghampiri dan sekali menepuk punggung dan leher Sutenya, Si Golok Maut itu terbebas dari rasa sakit yang luar biasa! Ia bangkit berdiri dan menyeringai, mukanya merah sekali. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia mengambil sepasang golok yang tadi terlempar di atas tanah ketika ia roboh, memasukkan sepasang golok itu di dalam sarung golok, lalu ia melompat ke pinggir, ke dekat Im Giok yang memandang semua itu dengan kagum.

   

   "Kam-susiok, mengapa baru sejurus kau mundur lagi?"

   Tanya Im Giok kepada Giam-Ong-To dengan nada suara mengejek. Anak ini memang tidak suka kepada Kam Kin, maka kini ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kam Kin memandang kepada bocah itu dengan mata mendelik. Im Giok menahan geli hatinya lalu menengok dan menonton apa yang akan terjadi antara gurunya dan Pengemis sakti itu.

   

   "Han-Taihiap, kau makin gagah saja, benar-benar Siauwmoi kagum dan tunduk. Siauwmoi ulangi lagi keinginan hati Siauwmoi untuk pergi berkunjung ke pulaumu, di mana kita dapat saling menukar ilmu dan bercakap-cakap gembira tanpa gangguan orang lain."

   

   "Pek Hoa Pouwsat, kau bicara apakah? Kau dan Sutemu telah berlaku kejam, membunuh dua orang Hwesio Siauw-Lim-Si dan menghina seorang tokoh Siauw-Lim. Untuk perbuatan jahat ini mana bisa aku mendiamkannya saja?"

   Sambil berkata demikian, Han Le sudah menggerakkan ranting di tangannya, mengirim serangan langsung ke arah leher Pek Hoa Pouwsat. Biarpun ia harus mengaku bahwa hatinya amat tertarik, kejantanannya bangkit oleh kecantikan dan kelembutan yang demikian memikat hati, namun kesadaran Han Le masih penuh sehingga ia mengeraskan hati dengan anggapan bahwa wanita cantik menarik yang dihadapinya adalah seorang jahat dan keji dan sebagai seorang pendekar ia harus membasminya. Pek Hoa Pouwsat mencelat ke belakang, tersenyum manis dan berkata menyindir,

   "Ayaa, Han-Taihiap, galak sekali. Baiklah, mari kita main-main sebentar!"

   Sambil berkata demikian, Pek Hoa Pouwsat cepat mencabut Siang-Kiamnya lalu menghadapi Han -Le dengan sikap gagah menarik.

   

   "Awas serangan!"

   Han Le memusatkan semangatnya dan mulai melakukan penyerangan sungguh-sungguh. Ia maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah, karena dahulu ia pernah menghadapi Pek Hoa Pouwsat dan tahu akan kelihaiannya. Akan tetapi, beberapa hari saja berkumpul dengan Suhengnya Bu Pun Su, Han Le telah memperoleh kemajuan yang amat banyak. Sehari berkumpul dengan Bu Pun Su dan mendengar nasihat serta penjelasannya dalam hal ilmu silat,

   Sama halnya dengan berlatih satu tahun di bawah pimpinan guru pandai. Oleh karena itu, pertemuan akhir-akhir ini dengah Bu Pun Su membuat Han Le memperoleh kemajuan banyak dalam ilmu silat, dan Bu Pun Su telah membuka matanya untuk melihat kelemahan-kelemahan dan kekeliruan-kekeliruan sendiri. Oleh nasihat Bu Pun Su ia maklum bahwa orang seperti Pek Hoa Pouwsat mengandalkan kelihaiannya dengan kecepatan, kelincahan, dan Siang-Kiam-Hoat yang tidak terduga gerakannya, mengandalkan ginkang yang tinggi. Untuk melawan orang seperti ini ia harus berlaku tenang, tidak boleh mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawan, sebaliknya berlaku tenang dan mengandalkan Lwee-kang membentuk pertahanan yang kuat dan melindungi tubuh dengan hawa pukulan dari rantingnya.

   Maka ketika Han Le mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan Suhengnya, ia minta petunjuk untuk menyempurnakan ilmu Pedangnya bagian gerakan Jit-in-to-goat (Tujuh Awan Membungkus Bulan), sebuah gerakan ilmu Pedangnya yang merupakan benteng pertahanan kuat sekali. Han Le melakukan gerakan ini dengan tenang dan nampaknya ia tidak banyak bergerak. Kedua kakinya hanya dipentang sedikit, hampir sama dengan kuda-kuda yang disebut Kung-si dengan tubuh agak dibungkukkan seperti dalam kuda-kuda Ci-kung-si. Biarpun kedudukan tubuhnya sederhana saja, akan tetapi kedudukan ini memungkinkan dia untuk menggerakkan rantingnya ke mana. Saja sepasang Pedang Pek Hoa meluncur. Tanpa banyak mengeluarkan tenaga, Han Le dapat menangkis semua serangan Pek Hoa yang Pedang itu susul-menyusul ramai seperti sepasang ular berlumba.

   

   "Han-Taihiap, kau benar-benar mengagumkan sekali. Sekarang lihatlah ilmu Pedangku yang baru, kau lihat bagus atau tidak!"

   Perubahan hebat terjadi pada gerakan Pedang Pek Hoa Pouwsat. Biarpun sepasang Pedang itu masih melakukan serangan-serangan berbahaya sesuai dengan ilmu silat tinggi, namun gerakan-gerakannya demikian indah dan menarik, tak ubahnya seperti sedang menari saja.

   

   "Indah sekali...!"

   Berkali-kali Im Giok mengeluarkan seruan memuji. Gadis cilik ini tadinya bersikap dingin dan kaku karena Kam Kin berada di dekatnya, akan tetapi sekarang melihat ilmu Pedang yang dimainkan oleh gurunya, ia lupa sama sekali akan adanya Kam Kin di situ. Sepasang matanya bercahaya, wajahnya berseri dan tanpa berkedip ia menonton ilmu Pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Im Giok memang mempunyai darah seni, suka sekali akan keindahan, maka tarian Pedang itu benar-benar mempesonakannya.

   

   "Aaiih, memalukan sekali..."

   Kata Kam Kin dan cemburunya makin menghebat. Biarpun ia tidak terkena pengaruh langsung dari ilmu Pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat, namun keindahan gerakan Pedang, kelemasan gerakan tubuh Pek Hoa, tetap saja terasa olehnya sebagai gerakan-gerakan yang memikat hati, gerakan yang tidak sopan. Pinggang Pek Hoa seakan-akan tidak bertulang, menggeliat-geliat seperti ular, menggerak-gerakkan tubuh bagian bawah, bibir tersenyum manis dan merah membasah, sepasang mata setengah redup dan berkaca-kaca, semua ini ditujukan kepada Han Le.

   

   Pengemis sakti itu masih menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dari serangan dua batang Pedang yang lihai itu. Akan tetapi ketika Pek Hoa Pouwsat merubah ilmu Pedangnya dan mulai dengan ilmu Pedang yang seperti tarian indah itu, hati Han Le terguncang hebat. Ia sama sekali tidak tahu bahwa lawannya sedang memainkan ilmu Pedang Bi-jin Khai-I, ilmu silat yang sebenarnya merupakan setengah ilmu sihir karena di dalamnya mengandung pengaruh mujijat dari kecantikan wanita untuk merobohkan hati pria. Inilah ilmu silat aneh yang selama ini dilatih secara mendalam oleh Pek Hoa Pouwsat, disediakan untuk merobohkan musuh-musuh besarnya yang tangguh dan kini untuk pertama kalinya, ia pergunakan dalam menghadapi Han Le! Ilmu silat Bi-jin Khai-I ini memang hebat.

   Andaikata dimainkan oleh seorang perempuan yang berwajah buruk dan bertubuh tak menarik sekalipun, tetap akan mengeluarkan pengaruh yang dapat merobohkan hati laki-laki. Apalagi sekarang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat yang cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh sepenuhnya wanita, tentu saja daya rangsangnya berlipat ganda. Dalam belasan jurus saja, Han Le mulai terkena pengaruhnya. Dalam penglihatan Han Le, sepasang Pedang itu tidak lagi mengancamnya, hanya merupakan tari Pedang yang amat indah. Tubuh yang berlenggak-lenggok dan menggeliat-geliat itu seakan-akan melambai dan mengajaknya bergembira dan menari. Lebih hebat lagi, makin lama gerakan Pek Hoa dalam mata Han Le makin luar biasa sehingga nampak olehnya benar-benar seperti lawannya yang cantik itu sedang menanggalkan pakaian sedikit demi sedikit!

   Walaupun tidak sehelai pun pakaian tanggal dari tubuhnya, namun gerakannya menanggalkan pakaian demikian sewajarnya sehingga sebentar saja Han Le jatuh dalam pengaruh Pek Hoa. Pendekar sakti yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan wanita ini sekarang menjadi lemas seluruh tubuhnya, semangatnya seakan-akah terbang meninggalkan tubuhnya dan pertahanannya menjadi gempur karena caranya bersilat sudah kacau sekali! Demikianlah lihainya ilmu silat Bi-jin Khai-I yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Kalau sekiranya Pek Hoa menghendaki, sekarang dengan lemahnya pertahanan Han Le, dengan mudah ia akan dapat merobohkan dan menewaskan Pengemis sakti itu. Akan tetapi Pek Hoa berpikir lain! Wanita ini memang sudah mendengar tentang keadaan Han Le sebagai seorang laki-laki yang selamanya tidak pernah mau berdekatan dengan wanita, terkenal sebagai seorang laki-laki pembenci wanita,

   Hidup seorang diri di Pulau Pek-Hio-To dan menjadi Sute dari Bu Pun Su. Ini saja sudah menarik hatinya, apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa Han Le pada dasarnya memiliki wajah yang tampan dan gagah. Maka timbullah hati suka dan ia ingin menjadikan pria pembenci wanita ini sebagai kekasihnya. Tidak saja demikian, juga ia mempunyai niat untuk mempelajari ilmu silat yang lihai dari Han Le. Disamping semua ini, ia pun ingin menarik Han Le di pihaknya untuk membantunya menghancurkan musuh-musuhnya, kemudian setelah usahanya berhasil dan ia sudah merasa bosan, mudah baginya untuk melenyapkan Han Le dari muka bumi ini. Pek Hoa memperhebat gerakan-gerakannya yang penuh gairah dan pengaruh ajaib. Han Le makin mabuk sehingga akhirnya dengan napas memburu Pengemis sakti ini mengeluh,

   

   "Pek Hoa Pouwsat... hentikanlah... aku tidak kuat lagi..."

   Pek Hoa tersenyum lebar, gembira dan puas bukan main. Kalau ia mau, dengan sekali tusuk saja akan tembus dada Han Le. Dengan ilmu silatnya yang baru ini, ia akan dapat menjagoi dunia kang-ouw! Tentu saja tidak begitu besar pengaruhnya terhadap lawan wanita namun untuk menghadapi lawan wanita, ia cukup memiliki ilmu silat tinggi. Biar Bu Pun Su sekalipun ia tidak takut menghadapinya!

   

   "Han-Taihiap, tidak indahkah tarianku ini...?"

   Tanya Pek Hoa dengan suara berlagu.

   

   "Indah, indah sekali, Pek Hoa Pouwsat. Bukan main indahnya,"

   Jawab Han Le sambil berusaha menggerakkan. ranting karena masih saja sepasang Pedang itu menyambar dan mengancam, biarpun digerakkan dengan cara yang amat manis dan sedap dipandang.

   

   "Sukakah kau melihat aku memainkannya?"

   

   "Suka, Pek Hoa Pouwsat, aku suka sekali..."

   

   "Han-Taihiap,"

   Suara Pek Hoa Pouwsat makin merdu merayu sambil ia memperhebat gerakan-gerakan tubuhnya secara tidak tahu malu.

   "Sukakah kau kepadaku...??"

   Agak lama Han Le tak dapat menjawab, akan tetapi sepasang matanya tak pernah berkedip menelan semua gerakan tubuh lawan dan ia seperti terkena hikmat, terpesona oleh keindahan dan kecantikan yang telah mencengkeram seluruh semangat dan perasaannya. Kini ia sudah tidak menggerakkan rantingnya lagi, berdiri bagaikan patung dan tidak ingat lagi bahwa ia tengah menghadapi lawan, tengah bertempur.

   

   "Aku suka sekali padamu, Pek Hoa..."

   Akhirnya ia menjawab dengan suara perlahan, seperti bukan suaranya sendiri. Terdengar suara ketawa Pek Hoa Pouwsat, suara ketawa yang terdengar nyaring dan merdu, penuh kegenitan, akan tetapi bagi yang sadar, suara ketawa ini mengandung sesuatu yang mengerikan. Namun bagi Han Le terdengar merdu menarik. Di lain saat Pek Hoa Pouwsat telah menyimpan sepasang Pedangnya, melompat maju dan menggandeng lengan kanan Han Le dengan gaya yang manja dan genit, tersenyum-senyum dan melirik-lirik ke arah wajah Pengemis sakti itu, membetotnya dan berkata,

   "Kalau begitu, Han-Taihiap, marilah kita pergi ke pulaumu!"

   Han Le yang sudah berada dalam cengkeraman pengaruh jahat, sudah seperti orang mabuk atau orang bermimpi, hanya menurut saja ketika ia ditarik-tarik oleh Pek Hoa Pouwsat. Pek Hoa berpaling kepada Kam Kin yang memandang semua itu dengan mata melotot marah. Ia penuh dengan hati cemburu, akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan? Ia tidak berdaya di depan sucinya atau kekasihnya yang memang lebih lihai daripadanya.

   

   Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

Pendekar Sakti Eps 21 Pendekar Sakti Eps 12 Pendekar Kelana Eps 15

Cari Blog Ini