Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti 12


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



"Cu-wi sekalian, karena ada saudara yang baru datang, maka kuharap soal-soal penting yang tadi telah dibicarakan, diulangi lagi laporannya,"

   Kata Kwa Ok Sin dengan suara keren. Semua orang menyatakan setuju dan dari ujung kiri berdirilah seorang muda yang nampaknya gagah. Dia adalah Lie Seng, anak murid Go-Bi-Pai yang berkepandaian cukup tinggi dan sudah terkenal sebagai seorang pendekar muda yang banyak menolong Rakyat. Karena semua orang telah mendengar penuturannya, kini Lie Sieng memandang kepada Ang-Bin Sin-Kai dan berkata,

   "Tadi telah Siauwte ceritakan bahwa kemarin hari ketika Siauwte bersama Pujangga Tu Fu, tiba-tiba seorang tinggi gemuk yang berkepala gundul, malam-malam datang dan menculik Tu-Siucai. Gerakan orang itu cepat sekali dan ketika Siauwte berusaha menolong Tu-Siucai, dengan sekali dorong saja Siauwte roboh tak sadarkan diri. Karena cepatnya gerakan orang itu, Siauwte tidak sempat mengenal mukanya, hanya tahu bahwa kepalanya gundul dan pakaiannya seperti pakain pendeta. Tubuhnya gemuk sekali."

   "Apakah bajunya hitam semua?"

   Tiba-tiba Ang-Bin Sin-Kai bertanya. Lie Seng menggeleng kepala.

   "Entahlah, karena sebelum menyerang, orang itu melambaikan tangan ke arah lampu yang menjadi padam seketika."

   Kwa Ok Sin berdiri lalu berkata,

   "Demikianlah persoalan pertama yang kita hadapi. Ternyata bahwa Tu-Siucai telah diculik orang jahat yang lihai, entah dengan maksud apa. Oleh karena kita semua sudah mengenal Tu-Siucai sebagai seorang Sastrawan yang berjiwa gagah, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mempergunakan kepandaian dan mencoba menolong Tu-Siucai dari tangan orang jahat."

   Warta ini menggirangkan hati Kwan Cu. Tanpa dapat di tahan lagi dia berkata dengan suaranya yang kecil nyaring.

   "Penculiknya pasti Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu!"

   Semua orang terkejut.

   "Eh, anak gundul, bagaimana kau berani menuduh Kak Thong Taisu?"

   Terdengar suara keras dan yang membentak ini adalah Pouw Hong Taisu Ketua dari Thian-San-Pai yang semenjak tadi memandang kepada Ang-Bin Sin-Kai dengan mata membenci. Tak senang hati Kwan Cu mendengar suara yang galak ini, maka dia menjawab dengan suara kasar juga.

   "Karena hanya si gundul itulah yang mempunyai alasan untuk menculik seorang Sastrawan besar!"

   "Diam kau, Kwan Cu!"

   Ang-Bin Sin-Kai menegur dan ketika Guru dan murid ini bertemu pandang, tahulah Kwan Cu akan kesalahannya sendiri. Ia maklum bahwa urusan Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng ini tidak perlu diketahui oleh orang lain, maka dia lalu menundukkan muka dan menutup mulut.

   "Muridku ini memang panjang lidah."

   Kata Ang-Bin Sin-Kai kepada semua orang.

   "Tuduhannya tadi hanya kira-kira saja, karena memang muridku sudah pernah melihat Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu yang berkepala gundul dan bertubuh gendut. Betapapun juga, aku akan pergi ke Kota Raja untuk menyelidiki apakah benar-benar Jeng-Kin-Jiu yang menculik Tu-Siucai."

   "Syukurlah, memang sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menyelidiki dan menolong Tu-Siucai,"

   Kata Kwa Ok Sin, kemudian dia berpaling kepada Pouw Hong Taisu Ketua Thian-San-Pai sambil berkata.

   "Karena persoalan pertama telah dibicarakan, maka lebih baik sekarang Taisu menuturkan kembali persoalan kedua yang Taisu bawa jauh-jauh dari Thian-San!"

   Sambil berkata demikian, Kwa Ok Sin lalu duduk kembali dan kini semua mata memandang kepada Pouw Hong Taisu yang sudah bangkit berdiri dengan muka merah. Pouw Hong Taisu bertubuh jangkung, mukanya lonjong dan rambutnya yang digelung di atas kepala itu masih hitam sekali sungguhpun usianya tidak kurang dari lima puluh tahun. Di punggungnya kelihatan gagang sepasang golok, karena memang tokoh Thian-San-Pai ini terkenal sekali sebagai seorang ahli ilmu silat Siang-To (Golok Sepasang).

   "Cu-wi sekalian, sesungguhnya bukan hanya Pinto (aku) seorang saja yang membawa persoalan in seperti telah kuceritakan tadi. Soal yang kubawa juga persoalan dari sahabatku Bin Kong Siansu dari Kim-San-Pai. Kami mempunyai persoalan yang sama, karena muridnya dan murid Pinto telah terbunuh mati oleh seorang saja."

   Sampai di sini Pouw Hong Taisu memandang kepada Ang-Bin Sin-Kai dengan mata bernyala, dan agaknya orang tua ini sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Pouw Hong Taisu menggebrak meja dan aneh sekali. Cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang-Bin Sin-Kai dan berada di depan Pengemis Sakti ini, tiba-tiba mencelat ke atas tinggi sekali. Benar-benar hebat demonstrasi tenaga Lweekang dari tokoh Thian-San-Pai ini, karena begitu banyak cawan arak di atas meja, namun begitu dia menggebrak meja yang mencelat hanya cawan arak dari Ang-Bin Sin-Kai saja, tepat seperti dikehendakinya! Melihat ini, terkejutlah Ang-Bin Sin-Kai karena dia maklum bahwa orang sedang marah kepadanya. Namun dengan tenang sekali dia mengulur tangan menerima kembali cawannya kembali di hadapannya.

   "Tenang, Pouw Hong Taisu, ceritakanlah dengan jelas persoalannya, jangan marah-marah seperti anak kecil!"

   Kata Ang-Bin Sin-Kai untuk melampiaskan kedongkolannya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Bin Kong Siansu yang juga sekarang telah berdiri di dekat Pouw Hong Taisu. Tokoh Kim-San-Pai ini lalu berkata mengejek.

   "Pinto merasa heran sekali melihat ketenanganmu, Ang-bin Sni-kai! Kau bahkan masih dapat memberi nasihat kepada Pouw Hong Taisu untuk berlaku tenang. Benar-benar berani mati dan tak tahu malu!"

   Sambil melontarkan kata-kata ini, Bin Kong Siansu mengerakkan tangan kanannya ke arah cawan arak di depan Ang-Bin Sin-Kai dan...

   "Praaaaaakk!"

   Cawan itu pecah berkeping-keping seperti dipukul dengan palu besi! Padahal yang menyerang cawan arak itu hanya angin pukulan tangan saja dari Bin Kong Siansu.

   Dari sini saja sudah dapat diukur sampai bagaimana hebatnya kepandaian dari tokoh Kim-San-Pai ini. Kwan Cu tertawa geli mendengar ucapan Suhunya. Ia tadi sudah menyaksikan sikap kedua orang Tosu itu, dan sudah mendengar pula kata-kata mereka, maka karena selama ini dia berada dengan Suhunya dan merasa yakin bahwa Suhunya tidak pernah melakukan hal yang tidak patut, dia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalahfahaman dari fihak mereka. Olah karena ini, anak ini pun merasa tenang-tenang saja, bahkan ada kegembiraan dalam hatinya. Ia bahkan mengharapkan agar Suhunya dapat bertanding melawan dua orang jago tua dari Kim-San-Pai dan Thian-San-Pai itu agar di dalam pertempuran yang hebat, dia mendapat pemandangan yang bagus dan penambahan pengalaman!

   "Bin Kong dan Pouw Hong dua tua bangka yang sudah pikun. Apa sih harganya main-main seperti ini? Lebih baik kau bicara terus terang, sebetulnya ada urusan apakah maka kalian seperti kemasukan setan dan marah kepadaku?"

   Kata Ang-Bin Sin-Kai sambil memandang kepada dua orang Tosu itu.

   "Pengemis busuk, kau masih berpura-pura tidak tahu? Kau telah membunuh mati Ong Kiat, murid yang Pinto tahu belum pernah melakukan pelanggaran dan yang selalu bersikap sebagai seorang pendekar yang patut menjadi kebanggaan Thian-San-Pai. Akan tetapi, mengapa kau seorang tua yang sudah mendapat nama baik telah menurunkan tangan kejam dan membunuhnya? Tak perlu banyak cakap lagi, sekarang kebetulan kau datang sehingga memudahkan Pinto untuk membalas dendam dan menagih hutang. Bersiaplah, mari kita mengadu nyawa, tua sama tua, jangan kau hanya berani mengganggu orang-orang muda!"

   Sambil berkata demikian, tokoh Thian-San-Pai ini mencabut sepasang goloknya yang ternyata berwarna kebiruan menyilaukan mata. Inilah sebuah tantangan terbuka dan kini semua memandang ke arah Ang-Bin Sin-Kai untuk melihat bagaimana sikap dari tokoh besar Timur itu. Akan tetapi Ang-Bin Sin-Kai masih bersikap tenang dan kini Kakek Pengemis ini memandang kepada Bin Kong Siansu sambil berkata,

   "Bin Kong Siansu, baru saja Pouw Hong Taisu dari Thian-San-Pai telah melontarkan tuduhannya. Agar dapat sekaligus membereskan persoalan ini, cobalah kau menuturkan pula tentang muridmu yang katanya kubunuh itu."

   Melihat sikap Ang-Bin Sin-Kai, Bin Kong Siansu merasa ragu-ragu, akan tetapi dia menjawab juga.

   "Benar-benarkah kau tidak tahu atau hanya berpura-pura, Ang-Bin Sin-Kai? Seperti juga murid Pouw Hong Taisu, muridku, atau lebih tepat cucu muridku yang bernama Pek-Cilan Thio Loan Eng yang menjadi isteri dari Ong Kiat anak murid Thian-San-Pai, terbunuh olehmu secara sewenang-wenang? Karena itu, sekarang kau pun harus menghadapi sebatang Pedangku untuk menentukan siapa yang harus membayar nyawa!"

   Bin Kong Siansu menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu sebatang Pedang yang mengeluarkan sinar kuning emas telah berada di tangannya. Tiba-tiba terdengar orang menjerit dan Kwan Cu sudah melompat maju menghadapi Bin Kong Siansu.

   "Siapa bilang Thio-Toanio mati? Bohong! Bohong semua! Thio-Toanio tidak mati...!"

   "Hm, anak gundul, otakmu agak miring rupanya. Kami sendiri sudah menyaksikan kuburan dari Thio Loan Eng. Dia dibunuh oleh Gurumu, kau masih mau main sandiwara untuk menutupi kedosaan Gurumu?"

   Bin Kong Siansu membentak dan tangan kirinya menyambar menempiling kepala Kwan Cu yang gundul. Gerakan itu cepat sekali sehingga biarpun Kwan Cu mengelak, tetap saja dia terkena kemplangan tangan kiri Tosu itu. Tubuh Kwan Cu mencelat dan bergulingan menabrak meja kursi, akan tetapi anak ini tidak apa-apa, lalu bangkit berdiri lagi.

   "Thio-Toanio mati...? Terbunuh...? Ah, Suhu, kita harus membalaskan sakit hatinya..."

   Katanya setengah menangis sambil menghampiri Suhunya.

   "Bocah lancang, kau diamlah saja, jangan turut campur."

   Kata Ang-Bin Sin-Kai menghibur. Kakek ini maklum bahwa kesedihan muridnya mendengar tentang kematian Pek-Cilan, mungkin lebih besar daripada kesedihan dan kemarahan Bin Kong Siansu, tokoh Kim-Pan-Sai itu.

   "Bin Kong dan Pouw Hong, apakah kalian menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa aku membunuh murid-murid kalian?"

   Tanya Ang-Bin Sin-Kai.

   "Kalau kami melihat dengan mata kepala sendiri, apakah kau kira masih dapat hidup sampai sekarang?"

   Bentak Pouw Hong Taisu marah. Kedua Thian-San-Pai ini memang agak sombong wataknya dan berbeda dengan Bin Kong Siansu yang agak jerih menghadapi Ang-Bin Sin-Kai, Ketua Thian-San-Pai ini menganggap kepandaian sendiri akan dapat mengatasi kepandaian Pengemis Sakti Muka Merah.

   "Kalau begitu, siapa yang memberi tahu kepada kalian bahwa aku telah membunuh murid kalian?"

   Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu saling pandang, kemudian Bin Kong Siansu yang menjawab,

   "Ang-Bin Sin-Kai, kami mendengar dari seorang yang boleh dipercaya benar-benar, dan kami sudah bersumpah takkan memberitahukan namanya kepada siapapun juga."

   "Hm, hm, hm, jadi kalian percaya penuh kepadanya?"

   "Tentu saja kami percaya! Dia seorang terhormat, tidak seperti engkau!"

   Pouw Hong Taisu membentak sambil melangkah maju dengan sepasang goloknya siap untuk menyerang. Bersinar sepasang mata Ang-Bin Sin-Kai.

   "Kalau aku bilang bahwa aku tidak membunuh murid-muridmu, apakah kalian tidak percaya padaku?"

   Bin Kong Siansu ragu-ragu, akan tetapi Pouw Hong Taisu membentak,

   "Siapa bisa percaya kepada seorang yang telah membunuh mati muridku?"

   Akan tetapi Bin Kong Siansu lalu cepat berkata,

   "Ang-Bin Sin-Kai! Orang yang telah memberitahukan tentang pembunuhan itu adalah seorang ternama dan dia telah bersumpah. Maka kalau kau juga mau bersumpah bahwa kau tidak membunuh anak muridku, aku Bin Kong Siansu berjanji hendak menyelidiki lebih lanjut urusan ini."

   Ang-Bin Sin-Kai makin marah. Ia menggebrak meja di depannya dan empat kaki meja itu melesak ke dalam sampai setengahnya, akan tetapi semua cawan arak yang berada di atas meja tidak ada satupun yang terguling!

   "Kalian percaya omonganku atau tidak habis perkara! Orang macam apakah Kau kira aku ini! Kalian percaya, baik. Tidak percaya pun boleh, siapa pusing? Hayo Kwan Cu, kita pergi!"

   Ang-Bin Sin-Kai menggandeng tangan muridnya dan meninggalkan bangkunya. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba menyambar tubuh dua orang dan tahu-tahu Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu telah berdiri menghadang di depannya.

   "Jembel pembunuh! Enak saja kau mau minggat dari hukuman mati!"

   Bentak Pouw Hong Taisu yang langsung menyerang dengan sabetan sepasang goloknya yang kebiruan.

   "Kwan Cu, menyingkir ke sana!"

   Kata Ang-Bin Sin-Kai dan secepat kilat kaki kanannya menendang pantat muridnya sehingga tubuh Kwan Cu mencelat seperti bal karet ke pojok ruangan di mana terdapat tumpukan meja yang agaknya memang kelebihan dan di tumpuk di situ agar tidak memenuhi ruangan. Sambil berpoksai, berjumpalitan dengan gerakan Koai-Liong-Hoan-Sin (Naga Siluman Balikkan Badan), bocah gundul itu lalu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga dia dapat turun ke atas meja itu dengan baik, lalu menonton dengan enaknya! Adapun Ang-Bin Sin-Kai yang menghadapi sabetan sepasang golok dari kanan kiri, berlaku tenang akan tetapi cepat sekali. Ia maklum akan kelihaian ilmu golok dari Ketua Thian-San-Pai ini, maka melihat dua sinar kebiruan menyambar dari kanan kiri mengarah leher dan perut, dia lalu menggenjot tubuhnya mencelat mundur menghindarkan diri.

   "Ang-Bin Sin-Kai, makanlah golokku!"

   Pouw Hong Taisu mengejar sambil menghujankan serangan bertubi-tubi yang kesemuanya amat berbahaya. Permainan golok dari Kakek Thian-San-Pai ini memang hebat sekali dan tingkat kepandaiannya sudah mencapai puncak, maka sepasang goloknya itu menyambar-nyambar merupakan sepasang tangan maut. Nampak dua gulungan sinar biru yang terang sekali bergulung-gulung mengepung tubuh Ang-Bin Sin-Kai! Melihat permainan golok ini, Kwan Cu menjadi kagum sekali dan dia memuji dari tempat duduknya yang tinggi.

   "Bagus, bagus! Sinar golok yang bagus sekali!"

   Anak ini terlalu percaya kepada Suhunya sehingga seruannya itu sama sekali tidak tercampur rasa kekhawatiran terhadap keselamatan Gurunya. Dalam hal ini dia memang benar, karena betapapun hebat ilmu golok dari tokoh Thian-San-Pai itu, namun gerakan Ang-Bin Sin-Kai lebih hebat dan cepat lagi. Kakek ini nampaknya seperti tengah menari-nari di antara gulungan sinar biru itu. Yang membuat Kwan Cu menjadi bengong dan kagum adalah ketika dia mendapat kenyataan bahwa Suhunya dalam menghadapi sepasang golok tokoh Thian-San-Pai itu hanya mempergunakan Ilmu Silat Pai-Bun-Tui-Pek-To (Atur Pintu Tahan Ratusan Golok) yang telah dia pelajari!

   Ah, betapa tadinya dia memandang rendah ilmu silat tangan kosong ini! Betapa buta matanya yang menganggap Gurunya berat sebelah karena telah memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-Jiu-Toat-Beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa) kepada Lu Thong. Dan sekarang dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa ilmu silat yang telah dia pelajari dengan baik itu, yakni Pai-Bun-Tui-Pek-To, ternyata oleh Gurunya telah dimainkan dan dapat dipergunakan untuk menghadapi amukan Pouw Hong Taisu dengan sepasang goloknya! Ketika dia memperhatikan permainan kedua tangan dan kaki Suhunya, dia menjadi makin heran, Pai-Bun-Tui-Pek-To yang dimainkan oleh Suhunya itu sama sekali tidak ada bedanya dengan permainannya sendiri,

   Bahkan gerakan Suhunya itu terlalu lambat nampaknya. Bagaimana dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan yang begitu tangguh? Ketika dia mencurahkan perhatiannya, barulah dia tahu. Setiap kali senjata golok Pouw Hong Taisu menyambar, kalau Suhunya tidak sempat lagi mengelak, Suhunya lalu mempergunakan tangan untuk dipukulkan ke arah golok itu dan benar-benar heran sekali, golok itu selalu terpukul oleh angin keras sehingga menjadi mencong dan menyeleweng arahnya! Ia maklum bahwa dalam mainkan Pai-Bun-Tui-Pek-To, perbedaan antara dia dan Gurunya ialah bahwa Gurunya hanya bergerak dengan perhitungan yang tepat sekali menanti perkembangan serangan lawan. Setiap gerakan Suhunya bukan hanya gerakan percuma, melainkan gerakan yang penuh isi, tidak mau bergerak dengan sia-sia atau untuk selingan belaka.

   Maka bocah gundul ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan tahulah dia kini akan arti kata-kata Suhunya yang sering menyatakan bahwa semua ilmu silat itu lihai, tergantung orang yang menggerakkan atau memainkannya! Setelah "Mengukur"

   Tingkat ilmu golok dari Thian-San-Pai, Ang-Bin Sin-Kai telah dapat menguras semua gerakan ilmu golok ini dan diam-diam Pengemis Sakti ini mencatat di dalam hatinya beberapa gerakan golok yang dianggapnya luar biasa dan baik sekali untuk dijadikan penambah pengetahuan ilmu silatnya. Beginilah sikap seorang jagoan besar. Di dalam setiap pertempuran menghadapi lawan tangguh dia selalu membuka matanya untuk memetik beberapa gerakan yang baik dari lawannya. Dengan sikap seperrti inilah maka tokoh-tokoh besar dunia persilatan selalu makin tinggi saja kepandaiannya dan makin tenar namanya.

   Ang-Bin Sin-Kai sebetulnya kalau mau dengan mudah saja dia akan dapat merobohkan Pouw Hong Taisu, akan tetapi betapa pun juga, tokoh besar dari Timur ini dahulunya adalah seorang Sastrawan. Maka masih ada sifat-sifat sopan dan halus di dalam dirinya dan dia merasa tidak seharusnya dia merobohkan tokoh pertama dari Thian-San-Pai di hadapan orang banyak. Selain hal ini akan menjatuhkan nama Pouw Hong Taisu, juga akan menimbulkan sifat dendam dan bibit permusuhan dengan partai Thian-San-Pai yang besar. Pula, Ketua Thian-San-Pai ini menyerangnya karena menduga bahwa dia membunuh anak murid Thian-San, maka tidak seharusnya Ketua in dirobohkan. Ia hanya mau merobohkan seorang yang memang jahat dan Ketua Thian-San-Pai ini biarpun agak keras kepala dan sombong, namun sekali-kali bukan orang jahat!

   "Pouw Hong Taisu, biarlah Pinto menggantikanmu menghadapi Ang-Bin Sin-Kai!"

   Tiba-tiba Bin Kong Siansu berkata keras dan Pedangnya berubah menjadi sinar yang panjang dan gemerlapan,

   Mengalahkan cahaya sepasang golok Ketua Thian-San-Pai itu. Ternyata bahwa tokoh Kim-San-Pai itu telah turun tangan menyerang Ang-Bin Sin-Kai dengan hebatnya. Tadi dia telah menyaksikan kehebatan Ang-Bin Sin-Kai dan tahu bahwa kawannya itu takkan dapat menangkan Pengemis Sakti yang benar-benar amat luar biasa itu. Ia sendiri pun masih sangsi apakah dia akan dapat mengalahkan Ang-Bin Sin-Kai, akan tetapi karena dia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya, dia sengaja maju sebelum Pouw Hong Taisu dirobohkan untuk menolong kawan ini. Akan tetapi Pouw Hong Taisu benar-benar berhati keras. Biarpun dia maklum bahwa lawannya ini lihai sekali dan sukarlah baginya untuk menang, akan tetapi kalau mundur, berati dia mengalah atau kalah.

   "Tidak, Bin Kong Siansu. Aku harus menjatuhkan Pengemis ini!"

   Jawabnya dan sepasang goloknya diputar makin hebat dalam gerakan-gerakan terlihai dari ilmu golok Thian-San-Pai.

   "Ha, ha, ha, tua bangka pikun. Majulah kalian berdua, mari kita tua sama tua main-main sebentar!"

   Ang-Bin Sin-Kai tertawa bergelak dan tiba-tiba tubuhnya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya menyambar-nyambar di antara sinar golok dan Pedang!

   Baru sekarang Kakek ini memperlihatkan kelihaiannya dan tidak saja dua orang pengeroyoknya yang amat terkejut karena seakan-akan mereka berdua mengeroyok sesosok bayangan setan, akan tetapi juga Kwan Cu duduk dengan bengong karena matanya yang terlatih masih tak mampu mengikuti gerakan Suhunya yang demikian cepatnya! Kini dia benar-benar melihat Suhunya dengan kepandaian yang sesungguhnya, yang membuat hatinya berdebar bangga dan kagum. Tiba-tiba Kwan Cu merasa tubuhnya terikat oleh sesuatu yang kuat sekali dan sebelum dia sempat memberontak, tubuhnya telah terlempar naik ke atas melalui genteng yang sudah dilobangi dan nyeplos terus ke atas genteng! Ketika dia membuka matanya yang terheran-heran, ternyata dia telah berdiri di depan Kiu-Bwe Coa-Li dan Bun Sui Ceng!

   "Eh..., apa artinya ini...?"

   Tanyanya sambil memandang muka Sui Ceng yang manis dan kini bersinar seperti sepasang bintang pagi.

   "Artinya, kalau aku tidak membutuhkanmu, pada saat ini juga aku tentu sudah menghancurkan batok kepalamu yang gundul ini karena kau ternyata adalah seorang penipu cilik, pembohong pandai yang kurang ajar sekali!"

   Kwan Cu memandang kepada Nenek sakti itu dengan kedua matanya dibuka lebar-lebar.

   "Eh, eh, eh, Suthai kenapakah datang-datang marah besar kepada Teecu? Apa kesalahanku?"

   "Kau tahu tempat kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng yang aseli, mengapa dahulu tidak mau memberi tahu kepadaku?"

   "Itulah rahasiaku sendiri, Suthai. Mengapa harus dibuka kepada orang lain? Dan aku yang menutup rahasiaku sendiri, Suthai anggap pembohong dan penipu? Dalam hal apakah Teecu membohong dan perbuatan mana pula merupakan penipuan?"

   Dilawan dengan tabah oleh bocah gundul ini, Kiu-Bwe Coa-Li tertegun dan tak dapat menjawab!

   "Sudahlah tak perlu banyak cakap. Sekarang kau harus ikut Pinni dan membawa Pinni ke tempat disimpannya kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, kalau kau masih ingin hidup lebih lama lagi di dunia ini. Kalau kau menolak, sekarang juga kuhancurkan batok kepalamu."

   "Teecu masih mau hidup karena di dalam hidup Teecu masih ada dua hal yang harus Teecu penuhi, yakni pertama mempelajari Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, dan kedua kalinya, membalaskan sakit Thio-Toanio yang terbunuh orang!"

   Sambil berkata demikian, dia memandang kepada Sui Ceng. Anak perempuan ini tiba-tiba mengucurkan air matanya dan membalas pandangan Kwan Cu dengan penuh arti.

   "Terima kasih, Kwan Cu, akan tetapi aku sendiri yang kelak akan menghancurkan kepala si keparat Toat-Beng Hui-Houw!"

   Kata Sui Ceng.

   "Apa...? Pembunuh Ibumu Toat-Beng Hui-Houw??"

   Muka Kwan Cu menjadi girang sekali.

   "Dan Suhu di bawah dikeroyok orang karena disangka Suhu yang membunuh Ibumu!"

   Mendengar ini, Kiu-Bwe Coa-Li cepat menotok pundak Kwan Cu yang segera menjadi lemas tak berdaya lagi!

   "Sui Ceng, cepat bawa bocah gundul ini ke luar kota dan tunggulah aku di pingggir hutan sebelah Utara. Biar aku membereskan dulu Ang-Bin Sin-Kai si manusia pelanggar sumpah!"

   Sui Ceng mengangguk dan ia segera memondong Kwan Cu dan meloncat pergi! Biarpun seluruh tubuhnya lumpuh, namun panca indera Kwan Cu masih bekerja baik, maka kagumlah dia melihat kemajuan ilmu lari Sui Ceng yang biarpun menggendongnya, masih dapat berlari dengan ringan dan cepat sekali.

   Adapun Kiu-Bwe Coa-Li setelah melihat Sui Ceng membawa Kwan Cu pergi jauh, lalu menyambar turun ke dalam ruang di mana Ang-Bin Sin-Kai masih dikeroyok dengan hebat oleh dua orang Kakek tua Kim-San-Pai dan Thian-San-Pai. Menghadapi ilmu Pedang Kim-San-Pai yang benar-benar ganas dan gerakannya amat kuat, Ang-Bin Sin-Kai menjadi kagum dan gembira. Tak mungkin lagi baginya untuk main-main seperti tadi ketika menghadapi Pouw Hong Taisu seorang, karena kini keroyokan dua orang tokoh besar itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Maka begitu tubuhnya berkelebatan untuk menghindari serangan lawan, dia mulai membalas dengan pukulan-pukulannya yang lihai. Beberapa kali dia hampir berhasil memukul runtuh senjata lawan, namun kedua orang Kakek yang cukup mengenal kelihaiannya, bertempur dengan hati-hati dan saling membantu.

   Pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi "tar! tar! tar!"

   Nyaring sekali dan tahu-tahu sembilan sinar menyambar ke arah medan pertempuran! Inilah cambuk ekor sembilan dari Kiu-Bwe Coa-Li yang telah turun tangan. Bagaikan sembilan ekor ular sakti, bulu-bulu cambuk itu melayang-layang dan setiap helai merupakan senjata maut yang luar biasa lihainya. Pada saat itu, karena kini Ang-Bin Sin-Kai membalas serangan kedua orang lawannya, Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada serangan Ang-Bin Sin-Kai dan tidak dapat menjaga datangnya "ular-ular hidup"

   Ini. Maka tanpa dapat dicegah pula, sepasang golok di tangan Pouw Hong Taisu dan Pedang di tangan Bin Kong Siansu, gagangnya terkena libatan bulu-bulu cambuk dan ditarik oleh Kiu-Bwe Coa-Li,

   Senjata-senjata itu terlepas dari pegangan! Adapun Ang-Bin Sin-Kai, biarpun dia menghadapi keroyokan dua orang lihai, namun memang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka kedatangan Kiu-Bwe Coa-Li ini dia ketahui baik-baik. Apalagi ketika terdengar bunyi "tar-tar-tar!"

   Tadi, tahulah dia bahwa senjata istimewa dari Kiu-Bwe Coa-Li telah beraksi. Ia tidak berani lengah dan ketika tiga helai bulu cambuk menyambar ke arahnya, dia cepat menggulingkan tubuhnya sambil menghantamkan kedua tangannya ke arah tubuh Kiu-Bwe Coa-Li! Ang-Bin Sin-Kai sengaja mengerahkan tenaga membalas dengan pukulan maut, karena tiga helai bulu cambuk tadi pun menyerangnya dengan maksud membunuh. Ia merasa heran dan juga marah mengapa datang-datang Kiu-Bwe Coa-Li hendak membunuhnya,

   Sedangkan terhadap dua orang tokoh Kim-San-Pai dan Thian-San-Pai itu, iblis wanita ini hanya merampas senjata mereka saja. Pukulan yang dilancarkan Ang-Bin Sin-Kai mengandung hawa yang dahsyat sekali dan biarpun jarak antara Ang-Bin Sin-Kai dan Kiu-Bwe Coa-Li ada tiga tombak, namun Nenek sakti itu merasa datangnya hawa pukulan yang menyambar ke arah lambung dan ulu hatinya! Terpaksa ia menarik cambuknya sambil melompat ke kanan menghindarkan diri dan dengan demikian, ia gagal menyerang Ang-Bin Sin-Kai, namun berhasil merampas senjata-senjata Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Ketua Kim-Pan-Sai dan Ketua Thian-San-Pai menjadi marah sekali. Akan tetapi mereka juga amat terkejut menyaksikan kelihaian Nenek sakti yang dikenal baik namanya namun belum pernah disaksikan kepandaiannya itu.

   "Suthai, apakah maksud kedatanganmu ini dan mengapa kau mencampuri urusan kami?"

   Kata Pouw Hong Taisu dengan mata bernyala merah. Kiu-Bwe Coa-Li menjebikan bibirnya dengan mengejek,

   "Hm, tua bangka tak tahu diri! Kalau aku tidak datang turun tangan, apakah kau kira akan dapat mengalahkan Ang-Bin Sin-Kai? Ada dua hal yang mengharuskan aku turun tangan. Pertama, karena kalian menyerang orang yang tak berdosa, ke dua, karena aku sendiri yang akan memberi hajaran pada Ang-Bin Sin-Kai, si manusia pelanggar sumpah!"

   "Kiu-Bwe Coa-Li!"

   Bentak Pouw Hong Taisu marah.

   "Kau tidak tahu, Pengemis jahat ini telah membunuh murid-murid kami!"

   "Bodoh, kalian tua bangka-tua bangka bodoh! Pembunuh Pek-Cilan Thio Loan Eng dan Ong Kiat bukan Ang-Bin Sin-Kai, melainkan Toat-Beng Hui-Houw dan hal ini Pinni (Aku) telah menyaksikan sendiri!"

   Mendengar kata-kata ini, tentu saja dua orang tokoh persilatan itu terkejut sekali dan muka mereka menjadi pucat. Mereka telah melakukan kesalahan luar biasa besarnya terhadap Ang-Bin Sin-Kai dan hal itu bukan hal yang kecil saja. Akan tetapi ketika mereka menengok kepada Ang-Bin Sin-Kai, orang tua ini hanya tersenyum-senyum saja.

   "Nah, terimalah senjata-senjatamu kembali, kalau kalian tidak bisa menerima dan binasa karenanya, jangan salahkan aku, anggap saja sebagai hukumanmu!"

   Kata Kiu-Bwe Coa-Li dan begitu ia menggerakkan cambuknya, sepasang golok itu terlepas dan meluncur ke arah Pouw Hong Taisu sedangkan Pedang itu meluncur ke arah Bin Kong Siansu! Luncuran ini hebat sekali, cepatnya melebihi anak panah dan tenaganya melebihi tusukan seorang ahli silat! Kedua Ketua Kim-San-Pai dan Thian-San-Pai itu terkejut sekali.

   Dengan gerakan Monyet Sakti Memetik Bunga, Bin Kong Siansu dapat mengelak ke kiri dan tangannya menyambut Pedangnya sendiri pada gagangnya. Ia berhasil menerima Pedangnya itu akan tetapi dia merasa telapak tangannya pedas sekali. Yang lebih hebat adalah Pouw Hong Taisu karena Tosu ini menghadapi serangan dari sepasang goloknya yang meluncur ke arah tenggorokan, akan tetapi tangan kirinya terlambat menyambar yang meluncur ke lambung. Terpaksa dia melemparkan tubuh ke kiri sehingga golok itu meluncur terus mengancam seorang tamu muda yang duduk di belakangnya! Keadaan amat berbahaya bagi tamu muda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh Ang-Bin Sin-Kai berkelebat dan sekali tendang saja, golok itu terlempar ke atas dan menancap pada tiang melintang di atas sampai setengahnya.

   Gagang golok itu bergoyang-goyang, tanda bahwa luncuran tadi amat kuatnya! Pouw Hong Taisu menjadi pucat, demikianpun semua tamu. Ternyata bahwa gedung Bun-Bu-Pang telah kedatangan dua orang tamu yang memiliki kepandaian luar biasa sekali. Biarpun mereka telah mendengar dan mengenal Ang-Bin Sin-Kai dan Kiu-Bwe Coa-Li sebagai tokoh-tokoh besar yang tiada taranya, namun baru hari ini mereka kebetulan dapat menyaksikan kepandaian mereka yang benar-benar hebat. Keringat dingin mengucur di jidat mereka, terutama sekali Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu yang sudah merasa bersalah terhadap Ang-Bin Sin-Kai yang mereka tuduh secara keji sekali. Kini Kiu-Bwe Coa-Li menghadapi Ang-Bin Sin-Kai dan sepasang matanya menyatakan bahwa Nenek sakti ini sedang marah bukan main.

   "Ang-Bin Sin-Kai, Pengemis hina-dina. Kau benar-benar berjiwa Pengemis rendah dan tidak merasa jijik untuk menelan ludah sendiri yang sudah kau keluarkan di atas lumpur busuk! Orang lain boleh kau bodohi begitu saja, akan tetapi Pinni tidak sudi kau tipu!"

   Sambil berkata demikian Kiu-Bwe Coa-Li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu mengancam sembilan jalan darah di tubuh Ang-Bin Sin-Kai!

   
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Menghadapi serangan yang hebat ini Ang-Bin Sin-Kai terkejut sekali. Ia sebenarnya terkejut bukan karena jerih melainkan heran mengapa iblis wanita ini benar-benar menyerang dengan niat membunuh. Kesalahan apakah yang telah diperbuatnya? Agaknya dia hari ini sial benar-benar, semua orang menuduhnya yang bukan-bukan dan menghendaki nyawanya! Menghadapi Kiu-Bwe Coa-Li jauh sekali bedanya dengan menghadapi keroyokan Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu, karena dia maklum bahwa Nenek ini benar-benar lihai dan berbahaya. Cepat Ang-Bin Sin-Kai mempergunakan ginkangnya untuk mencelat mundur sehingga bulu-bulu cambuk yang panjang itu tidak sampai mengenai tubuhnya. Ia mengangkat kedua tangan sambil berkata keras,

   "Eh, eh, eh, nanti dulu, Kiu-Bwe Coa-Li! Kau agaknya tidak lebih waras dari dua orang yang menyerang aku tadi. Katakan lebih dulu mengapa kau menganggap aku si tua bangka ini sebagai si pelanggar sumpah?"

   "Bagus, jembel Siluman masih hendak berputar lidah! Mengakulah bahwa kau dahulu pernah bersumpah takkan mempergunakan Lu Kwan Cu untuk mencari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng. Betul tidak?"

   "Betul,"

   Jawab Ang-Bin Sin-Kai dengan suara tenang. Kiu-Bwe Coa-Li tersenyum mengejek.

   "Dan kalau kau melanggar sumpahmu itu, kau bersumpah akan mampus seperti anjing, betulkah?"

   "Memang begitulah kira-kira bunyi sumpahku."

   Mata Kiu-Bwe Coa-Li mendelik.

   "Jahanam! Dan sekarang kau ternyata bersama Kwan Cu mencari kitab peninggalan Gui Tin untuk mencari tahu di mana disimpannya kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng! Karena itu, kau harus mampus seperti anjing di bawah cambukku."

   Terbelalak mata Ang-Bin Sin-Kai memandang Nenek sakti itu.

   "Eh, eh, eh, nanti dulu. Dari manakah kau bisa mengetahui semua ini?"

   "Semua orang sudah tahu. Empat tokoh besar di seluruh penjuru sudah tahu, mengapa aku tidak?"

   "Kiu-Bwe Coa-Li, Siluman perempuan yang galak. Memang betul Kwan Cu mencari peninggalan itu atas pesanan mendiang Gui-Siucai, apakah hubungannya dengan aku? Ingat, sumpahku ialah kalau aku mempergunakan dia mencari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng. Kini soalnya lain lagi, bukan aku yang mencari, melainkan anak itu. Dia berhak mendapatkannya, karena bukankah dia hanya memenuhi pesanan terakhir dari Gurunya yakni Gui-Siucai?"

   "Bohong! Kau sengaja memutarbalikkan kenyataan untuk menutupi kesalahanmu. Apa kau takut mampus?"

   Ang-Bin Sin-Kai mulai marah.

   "Kiu-Bwe Coa-Li, alangkah sombongmu. Kau kira aku takut kepadamu? Kau boleh menuduh apa pun juga, aku tidak takut dan kau mau apa?"

   "Bangsat tua, mampuslah!"

   Kiu-Bwe Coa-Li menggerakkan cambuknya yang berbunyi "tar! tar! tar!"

   Keras sekali sehingga semua orang yang berkumpul di situ menjadi jerih dan tak terasa pula segera mindur mepet ke tembok, takut kalau-kalau terkena ujung cambuk yang lihai itu. Kiu-Bwe Coa-Li mengamuk seperti iblis, ujung cambuknya kalau mengenai bangku, pecahlah bangku itu seperti dibacok kapak tajam. Sengaja dia mempergunakan cambuknya menangkap meja dan bangku dan dilontarkannya meja bangku itu ke pinggir sehingga sibuklah orang-orang yang berada di situ untuk mengelak dari hujan bangku yang tadi mereka duduki.

   Yang celaka adalah kaum Sastrawan, karena berbeda dengan kaum persilatan yang dapat menangkis dan mengelak, mereka ini tertimpa meja dan bangku sehingga menderita benjol! Ruangan yang luas itu kini bersih dari meja dan bangku, dan tanpa membuang waktu lagi, Kiu-Bwe Coa-Li serentak menyerang dengan cambuknya. Ang-Bin Sin-Kai yang tahu kelihaian lawan tidak mau berlaku sembrono menghadapinya dengan tangan kosong. Memang biasanya Kakek ini tak pernah mempergunakan senjata dalam pertempuran menghadapi siapapun juga, akan tetapi karena dia tahu bahwa cambuk dari Kiu-Bwe Coa-Li amat berbahaya, kini dia mencabut Suling pemberian dari Hang-Houw-Siauw Yok-Ong untuk menangkis. Pertempuran antara kedua orang tokoh besar ini berlangsung amat hebatnya.

   Biarpun orang-orang yang berkumpul di situ telah berdiri mepet pada tembok namun sambaran angin yang keluar dari cambuk dan kedua tangan Ang-Bin Sin-Kai, masih terasa oleh mereka yang membuat rambut dan pakaian mereka berkibar dan kulit terasa dingin! Suara yang mengiringi pertempuran ini pun mengerikan sekali. Tidak saja suara bersiutnya bulu-bulu cambuk yang sembilan helai banyaknya itu diseling oleh suara menjetar yang menulikan telinga, juga suara dari Suling yang dimainkan oleh Ang-Bin Sin-Kai menimbulkan suara angin yang mengerikan. Karena Suling ini digerakkan secara cepat sekali, angin yang memasuki lubang-lubang Suling menimbulkan suara seperti seekor binatang buas menangis. Bergidiklah semua orang mendengar suar-suara ini dan kaburlah pandangan mata mereka melihat betapa bayangan dua orang tokoh besar itu lenyap sama sekali.

   Di ruangan itu kini hanya terlihat gulungan sinar yang tak tentu ujudnya, yang bergerak-gerak ke sana ke mari sehingga sukar untuk diduga siapa yang menang siapa yang kalah. Melihat cara Kiu-Bwe Coa-Li mainkan cambuknya, Ang-Bin Sin-Kai terkejut bukan main. Pernah dia menyaksikan permainan cambuk lawannya ini, yaitu dulu ketika mereka berebutan kitab palsu Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng dan biar pun dia sendiri belum pernah menghadapi Kiu-Bwe Coa-Li, namun dia sudah dapat mengukur kelihaian lawan ini. Akan tetapi sekarang permainan cambuk itu sudah maju dengan pesat

   (Lanjut ke Jilid 12)

   Pendekar Sakti/Bu Pun Su Lu Kwan Cu (Seri ke 01 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12

   sekali. Berat dan aneh. Tiba-tiba dia teringat akan tenaga Lweekang yang didapat bocah gundul itu dalam mempelajari Lweekang dari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng yang palsu.

   Maka mengertilah dia bahwa entah dengan cara bagaimana, iblis wanita ini telah pula mempelajari ilmu Lweekang dari kitab palsu itu! Menduga tentang ini, otomatis Ang-Bin Sin-Kai menoleh ke arah tumpukan meja di mana tadi dia melemparkan Kwan Cu agar terhindar daripada gangguan lawan. Alangkah kagetnya ketika dia tidak melihat muridnya berada disitu. Ia sudah tahu akan ketaatan muridnya ini dan tak mungkin Kwan Cu berani pergi dari situ tanpa perkenannya. Tentu telah terjadi sesuatu dengan anak itu. Pikiran ini membuat Ang-Bin Sin-Kai marah sekali dan tiba-tiba dia berseru keras sekali. Begitu kedua tangannya bergerak dia telah dapat memegang tiga helai bulu pecut dan direnggutnya sekuat tenaga! Kiu-Bwe Coa-Li terkejut dan cepat ia mempergunakan bulu pecut yang lain untuk dipukulkan ke arah kepala Ang-Bin Sin-Kai.

   Ia maklum bahwa untuk lain orang, sekali pukulan dengan ujung sehelai bulu pecut saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Akan tetapi menghadapi Ang-Bin Sin-Kai, belum tentu ia dapat merobohkan Kakek ini dengan semua bulu pecutnya dirangkap menjadi satu kalau tidak mengenai bagian yang penting seperti ubun-ubun kepala! Ang-Bin Sin-Kai marah sekali dan begitu dia menarik, tiga helai bulu pecut itu copot! Akan tetapi serangan enam helai bulu pecut telah menyambar ubun-ubun kepalanya, maka cepat dia mengelak sambil miringkan tubuhnya. Betapapun cepat gerakannya, dia terlambat dan beberapa helai bulu pecut masih mengenai pundaknya yang menimbulkan rasa sakit dan ngilu. Ia mengerahkan tenaga Lweekang untuk melawan pecutan ini dan tubuhnya tiba-tiba menubruk maju dengan kedua tangan dipentang.

   Ternyata dalam marahnya Ang-Bin Sin-Kai telah mengeluarkan tipu serangan yang berbahaya sekali, yakni pukulan yang disebut Pukulan Ombak Mengamuk! Kakek muka merah ini telah dapat meniru dan menangkap inti pukulan serangan ombak pada batu karang ketika dia masih suka bermain-main dengan ombak di pinggir Laut Po-hai! Kiu-Bwe Coa-Li berseru kaget ketika hawa pukulan lawannya membuat semua bulu pecutnya terpental kembali dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang! Ia berseru lagi dan tiba-tiba tubuhnya melayang naik untuk menghindari serangan lawan. Kesempatan itu di pergunakan oleh Ang-Bin Sin-Kai untuk melompat naik dan nyeplos dari genteng yang sudah berlubang, di atas meja di mana tadi Kwan Cu berada. Ia maklum bahwa muridnya keluar dari tempat ini.

   "Kwan Cu...!"

   Ia berteriak di atas genteng sambil memandang ke kanan kiri. Namun keadaan di situ sunyi saja, tak nampak bayangan seorang pun manusia.

   "Kwan Cu...! Hai... Kwan Cu bocah gundul, kau di mana?"

   Kembali Kakek ini berseru memanggil sambil mengerahkan tenaga Lweekangnya sehingga seruan ini tentu akan terdengar oleh Kwan Cu seandainya anak itu berada dalam jarak beberapa lie saja dari tempat itu. Dan memang betul, Kwan Cu dapat mendengar suara Gurunya yang memanggil ini, akan tetapi dia tidak berdaya karena dia telah lumpuh dan pada saat itu dia rebah di bawah pohon ditunggu Bun Sui Ceng yang mendongeng kepadanya tentang Pek-Cilan Thio Loan Eng yang terbunuh oleh Toat-Beng Hui-Houw!

   "Jangan kau khawatir, Kwan Cu. Biarpun kelihatan galak, Guruku berhati mulia dan kau pasti takkan diganggunya, asal saja kau mau memberi petunjuk kepadanya bagaimana untuk mendapatkan kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng."

   Kata Sui Ceng kepada bocah gundul itu.

   Adapun Ang-Bin Sin-Kai ketika memanggil beberapakali tidak mendapat jawaban, menjadi makin gelisah dan bingung. Ia berpikir sejenak dan timbul dugaannya bahwa Kwan Cu tentu telah diculik oleh Kiu-Bwe Coa-Li pada saat dia masih dikeroyok oleh dua Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau anak itu bersembunyi di dalam rumah? Ia lalu melompat kembali turun ke tengah ruangan itu dan dia tidak melihat lagi bayangan Kiu-Bwe Coa-Li. Orang-orang yang berada di situ tadi melihat Ang-Bin Sin-Kai melayang naik melalui atap yang bolong, dan Kiu-Bwe Coa-Li setelah mengeluarkan suara tertawa yang nyaring dan mendirikan bulu tengkuk, lalu berkelebat pergi dari pintu. Semua orang menahan napas dan kini melihat Ang-Bin Sin-Kai melayang turun kembali, mereka memandang penuh perhatian.

   "Di mana adanya muridku?"

   Tanya Ang-Bin Sin-Kai kepada mereka. Tak seorang pun menjawab.

   "Hai...! Tulikah kalian? Di mana adanya Kwan Cu muridku yang tadi duduk di atas tumpukan meja itu?"

   Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu melangkah maju. Dua orang Kakek ini merangkap kedua tangan dan memberi hormat dengan muka nampak malu dan menyesal.

   "Muridmu telah di ambil oleh Kiu-Bwe Coa-Li ketika kau tadi bertempur melawan kami,"

   Kata Pouw Hong Taisu dengan suara menyesal.

   "Semua adalah kesalahan kami, Ang-Bin Sin-Kai dan kami mohon maaf sebanyaknya. Benar-benar tadi kami semua berlaku amat buruk terhadapmu. Maaf, maaf..."

   Kata Bin Kong Siansu dengan hati tidak enak sekali.

   "Marah, menyesal! Ah, orang-orang seperti kalian masih diombang-ambingkan oleh perasaan dan nafsu, sungguh lucu dan menggelikan sekali!"

   Kata Ang-bin Sinkai gemas.

   "Eh, orang she Kwa, apakah kau tidak malu menjadi Ketua Bun-Bu-Pang?"

   Sambil berkata demikian, Ang-Bin Sin-Kai lalu melompat pergi meninggalkan rumah perkumpulan Bun-Bu-Pang itu. Semua orang saling pandang dan menghela napas.

   "Biarlah hal ini merupakan pelajaran bagi kita sekalian,"

   Kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang.

   "Lain kali kita harus berlaku hati-hati sekali dalam memutuskan sesuatu hal, harus melakukan penyelidikan sedalam-dalamnya dan tidak percaya begitu saja kata-kata orang lain."

   Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu menjadi merah mukanya. Diam-diam mereka mengutuk Hek-I Hui-Mo, karena sesungguhnya Hek-I Hui-Mo yang membakar hati mereka dan Hek-I Hui-Mo yang memberi tahu mereka bahwa Ang-Bin Sin-Kai yang membunuh murid-murid mereka.

   "Kiu-Bwe Coa-Li, hati-hati kau! Kalau sampai kau ganggu muridku, aku Ang-Bin Sin-Kai belum mau mati sebelum mencabuti sembilan ekormu,"

   Sepanjang jalan Ang-Bin Sin-Kai berkata begini sungguhpun hatinya tidak begitu mengkhawatirkan tentang keadaan muridnya. Ia tahu bahwa Kiu-Bwe Coa-Li menculik Kwan Cu ada maksudnya, yakni hendak mencari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng. Akan tetapi oleh karena kitab sejarah peninggalan Gui Tin yang dapat memberi petunjuk di mana adanya kitab sakti itu telah dicuri orang, tentu Kwan Cu akan berkata terus terang dan Kiu-Bwe Coa-Li tentu akan berusaha merampas kembali kitab sejarah yang tercuri.

   "Betulkah Jeng-Kin-Jiu yang mencurinya? Tak salah lagi, karena Kwan Cu menduga Jeng-Kin-Jiu, tentu Kiu-Bwe Coa-Li akan menyusul pendeta gundul gendut itu ke Kota Raja. Hm, tiada jalan lain, akupun harus menyusul ke sana. Betapapun juga, kitab sejarah itu tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain, harus menjadi milik Kwan Cu yang memang berhak."

   Setelah mengambil keputusan begini, Ang-Bin Sin-Kai lalu berlari cepat menuju ke Kota Raja. Pada masa itu, yang menjadi Kaisar kerajaan dari Kerjaan Tang adalah Kaisar Hian Tiong yang terkenal sebagai seorang yang doyan pelesir. Kaisar ini selalu tenggelam dalam kesenangan, memelihara banyak sekali selir yang cantik-cantik, setiap hari menghibur diri di tengah-tengah selir-selirnya sambil melihat tari-tarian dan nyanyian merdu, sama sekali tidak mau peduli akan pemerintahannya dan juga tidak mau peduli akan keadaan Rakyat jelata yang banyak menderita. Istana-istana indah dan megah dibangun di mana-mana, menghamburkan uang yang mengalir masuk dari keringat Rakyat Petani. Istana-istana indah di mana selalu dihias oleh perabot-perabot mahal dan juga "Perabot-perabot hidup"

   Berupa dara-dara jelita yang dikumpulkan dari berbagai daerah!

   Tidak mengherankan jika Pujangga besar Tu Fu menjadi naik darah dan sedih juga ketika pada suatu hari di musim dingin dia pulang dari perjalanannya dari Tiang-san dan melewati Bukit Li-shan. Di situ, yaitu di puncak Bukit Li-shan di mana terdapat sebuah di antara istana-istana Kaisar yang disebut Istana Hwa Ceng. Tu Fu mendengar bahwa Kaisar Hian Tiong tengah berpesta pora, berpelesir mendengarkan musik dan nyanyian, menonton tari-tarian dan bersenang-senang dengan para selirnya. Teringatlah Tu Fu akan keadaan Rakyat jelata yang amat sengsara dan menderita di dalam angin dingin dan kelaparan Rakyat yang menggeletak kelaparan dan kedinginan di atas jalan-jalan raya di Tiang-san. Maka menulislah Pujangga Patriot ini kata-kata yang sampai kini masih di hargai oleh seluruh Rakyat:

   "Di belakang pintu gerbang

   Merah indah cemerlang

   Anggur dan daging berlebih-lebihan

   Hingga masak membusuk!

   Di luar pintu gerbang

   Kotor sunyi melengang

   Berserakan tulang rangka

   Sisa korban dingin dan lapar"

   Memang, Kaisar Hian Tiong terlalu mengumbar kesenangan jasmani atau boleh juga di sebut terlalu menurutkan nafsu hewan. Di dalam istana di Kota Raja, selirnya tak terhitung banyaknya, terdiri dari gadis cantik jelita yang didatangkan dari berbagai daerah. Ada yang memang diserahkan oleh orang tuanya dengan hati bangga, akan tetapi tidak kurang pula yang didapatkan oleh Kaisar dengan jalan keras, yaitu dengan paksaan dan sebagian besar adalah "Hadiah"

   Yang diberikan oleh para pembesar untuk mengambil hati sang junjungan.

   Yang paling hebat, di antara sekian banyak selir itu, adapula yang tadinya menjadi isteri orang, yang direnggut dari suaminya untuk dipaksa melayani Kaisar, orang terbesar di dalam negeri, orang yang dianggap sebagai "Pilihan Tuhan"! Di antara para selirnya ini, terdapat seorang wanita muda yang amat cantik jelita. Kaisar pernah tergila-gila kepada selirnya ini dan diberinya nama Bi Lian atau Teratai Jelita kepada selirnya ini. Untuk menggambarkan betapa cantiknya Bi Lian, seorang ahli sajak di dalam istana atas perintah Kaisar telah membuatkan sajak pujian kepada Bi Lian yang ditempel di kamar selir cantik ini. Beginilah sajak itu:

   Rambut panjang hitam dan halus.

   Melebihi kehalusan benang sutera.

   Diikal menjadi mahkota hidup.

   Terhias Bunga Cilan dengan dua kuncup

   Sisir emas jadi penahan,

   Sedap, wangi, semerbak harum!

   Wajah indah jelita berbentuk telur

   Berkulit halus dan betapa putihnya,

   Putih kuning seperti susu.

   Dua alis melengkung hitam

   Menghias sepasang mata Burung Hong.

   Kering tajam lunak menikam kalbu

   Hidung kecil mancung berbentuk sempurna

   Bagaikan ukiran batu kemala.

   Mulut kecil mungil, merah membasah

   Di balik bibir manis

   Tersembunyi gigi mutiara!

   Tubuh ramping

   Mengalahkan batang yang-liu (cemara)

   Tertiup angin

   Melenggak-lenggok mempesona

   Tangan kaki kecil mungil

   Seperti kuncup bunga,

   Setiap gerakan

   Menyedapkan pandangan mata

   Di dalam dunia memang banyak wanita jelita

   Namun siapakah dapat menyamai bunga istana

   Teratai Jelita (Bi Lian) kekasih raja?

   Namun, cinta kasih seorang laki-laki seperti Kaisar Hian Tiong tidak bertahan lama, tidak tahan uji. Hanya dicinta dan dipuja kala masih baru. Setiap kali berganti kekasih, datang yang baru lupa yang lama. Demikianpun halnya dengan Bi Lian. Belum cukup setahun menjadi kekasih Kaisar yang paling dicinta, Kaisar mulai bosan dan kini jarang lagi datang ke kamarnya. Semenjak dibawa dengan paksa ke Kota Raja dan menjadi penghuni harem Kaisar, remuk redamlah hati Bi Lian. Dia telah mempunyai seorang tunangan, seorang pemuda terpelajar yang sedianya menjadi suaminya. Akan tetapi nasib buruk menimpa dirinya dan dari kota Hang-Ciu ia dibawa dengan paksa, seperti seekor domba muda dibawa ke penjagalan, untuk di sembelih! Dengan hati hancur ia harus melayani segala kehendak Kaisar yang buas dalam pandangannya itu. Memang tadinya ia agak terhibur ketika dirinya dihujani benda-benda mahal dan indah, ketika ia hidup dalam kemewahan, selalu dilayani oleh para pelayan.

   Akan tetapi, setelah Kaisar mulai bosan dengan dia, ia teringat kembali kepada Can Kwan tunangannya. Ia rindu bukan main, dan setiap hari ia menangis di dalam kamarnya. Pada malam hari itu, seperti biasa Bi Lian duduk di dalam kamarnya seorang diri. Sore tadi, pelayannya datang dan hendak memandikannya dan membereskan pakaian serta rambutnya seperti biasa. Namun Bi Lian menolak dan menyuruh pelayan itu mundur. Ia duduk termenung di dalam kamarnya, mendengarkan tetabuhan yang dibunyikan orang di bagian lain dari istana yang luas itu. Bunyi Suling dan yang kini membuat hatinya makin hancur dan berduka. Ia memandang ke arah sajak pujian untuk dirinya yang tergantung di dekat pembaringannya. Bunyi sajak itu bahkan membuat Bi Lian terharu dan sedih, mengingatkan dia akan sajak yang pernah dibacanya dahulu:

   "Aduh sayang, setangkai mawar indah

   Terbawa hanyut oleh air bah!

   Air buas mengalir terus tanpa peduli

   Mawar yang malang

   Tertinggal di atas lumpur!"

   Teringat akan bunyi sajak ini, tak terasa pula dua titik air mata bagaikan dua butir mutiara menitik turun di atas sepasang pipinya yang putih halus kemerahan.

   "Can Kwan..."

   Keluh-kesah yang berkali-kali dibisikkan oleh hati wanita muda itu, kini keluar dari bibirnya, merupakan keluh kesah yang amat menyayat hatinya, dan berderailah air matanya tak dapat ditahan lagi.

   "Cui Hwa..."

   Tiba-tiba terdengar suara panggilan perlahan dari luar jendelanya yang menembus ke dalam taman bunga yang sengaja dibuat oleh Kaisar di luar kamarnya atas permintaannya beberapa bulan yang lalu.

   Bi Lian terkejut bukan main. Nama Cui Hwa adalah nama aslinya sebelum ia dibawa ke istana Kaisar dan nama ini hampir setahun tidak pernah disebut orang. Namanya telah berganti menjadi Bi Lian. Maka dapat dibayangkan betapa heran dan terkejutnya ketika ia mendengar nama lama itu disebut orang. Terutama sekali yang membuatnya terkejut adalah suara itu! Suara orang yang tak pernah dapat dilupakannya, bahkan suara orang yang pada saat itu sedang memenuhi pikiran dan hatinya... Can Kwan! Bagaikan dalam mimpi, Bi Lian atau Cui Hwa berjalan menghampiri jendela dan membukanya. Sesosok bayangan orang melompat masuk dan dengan cepat telah berada di dalam kamar Bi Lian. Wanita ini memandang dan...

   "Can Kwan...!"

   Serunya sambil berdiri memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Adapun orang yang masuk itu, seorang pemuda yang tampan dan berpakaian seperti seorang pelajar, juga berdiri dengan pandangan mata kagum menyaksikan kecantikan wanita yang berdiri di hadapannya.

   "Cui Hwa..."

   Biarpun dahulu mereka belum pernah bersentuh tangan, hanya bicara secara sopan sebagaimana lazimnya orang bertunangan, namun pada saat itu suara hati mereka yang bicara dan perasaan rindu dendam yang hebat mempengaruhi jiwa raga, tanpa dapat dicegah lagi oleh akal sadar, keduanya saling menubruk dan berangkulan.

   "Cui Hwa... kekasihku..."

   "Can Kwan, alangkah senangnya bertemu denganmu walau hanya dalam mimpi..."

   "Cui Hwa, siapa bilang dalam mimpi?"

   Can Kwan melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundak wanita muda itu, memandang dengan mata penuh cinta kasih mesra.

   "Lihatlah baik-baik, bukankah aku Can Kwan tunanganmu? Aku benar-benar datang kekasihku."

   Namun Cui Hwa menggeleng-geleng kepalanya yang cantik.

   "Tak mungkin! Sungguh tak mungkin! Bagaimana kau bisa masuk ke sini? Istana di kurung pagar tembok yang tinggi, terjaga kuat oleh Pasukan! Sedangkan kau adalah seorang pelajar yang lemah, yang hanya kuat menggerakkan tangkai pena dan membalik lembaran buku. Kau tak mungkin dapat datang kesini, kecuali kalau... kalau..."

   Tiba-tiba pucatlah muka Cui Hwa atau Bi Lian. Ia hampir menjerit ngeri, tetapi buru-buru menutupkan mulutnya dengan tangan, lalu bertindak mundur sampai tiga langkah.

   "Cui Hwa, mengapa kau?"

   "Can Kwan... tak salah lagi... kau tentu sudah mati...! Rohmu yang datang mengunjungiku... ah, Can Kwan. Kalau kau sudah mati, tenanglah, aku pasti akan menyusulmu. Sudah tidak tahan lagi aku berada di sini, terpisah darimu!"

   Bi Lian lalu menangis tersedu-sedu. Can Kwan melangkah maju dan merangkulnya kembali. Ia tertawa perlahan dan membelai rambut kepala Bi Lian.

   Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Cui Hwa, pernahkah kau mendengar roh dapat memelukmu seperti yang yang kulakukan sekarang ini? Lihatlah aku baik-baik, aku belum mati. Aku adalah Can Kwan yang masih hidup, masih berdarah masih berdaging. Ketahuilah, semenjak kau dibawa ke sini, aku melepaskan pena dan berlatih giat sekali mempelajari ilmu silat dari seorang gagah. Akhirnya, malam ini aku berhasil melampaui penjaga-penjaga itu dan naik melalui pagar, walaupun dengan susah payah namun aku berhasil sampai ke kamarmu."

   "Can Kwan...!"

   Bukan main girang dan terharunya hati Bi Lian mendengar ucapan kekasihnya ini.

   "Akan tetapi, apa gunanya...? kau bisa masuk akan tetapi bagaimana keluarnya? Bagaimana kalau nanti kau ketahuan oleh penjaga? Ssst... bersembunyilah, pelayanku datang..."

   Akan tetapi, Can Kwan tidak bersembunyi, sebaliknya dengan sekali lompatan dia telah berada di depan pelayan wanita itu dan menotok pundak wanita itu, pelayan itu roboh tak sadarkan diri lagi.

   "Can Kwan, kau... mem... membunuhnya?"

   Tanya Cui Hwa dengan kaget dan ngeri. Can Kwan tersenyum dan bukan main tampannya wajah pemuda itu dalam pandangan Cui Hwa.

   "Tidak, Cui Hwa, aku hanya membikin dia tak berdaya untuk beberapa jam saja. Ia tidak apa-apa."

   "Can Kwan, setelah kau datang kesini... apa kehendakmu?"

   Can Kwan memegang kedua tangan kekasihnya.

   "Cui Hwa, mari kita pergi dari sini, mari kita mulai hidup baru sebagai Suami istri, jauh dari sorga dunia yang merupakan neraka bagi batin kita ini."

   "Can Kwan! Bagaimana mungkin? Kau"

   Kau akan tertangkap dan mereka akan membunuhmu! Ah, Can Kwan... biarlah aku seorang yang menderita, aku tidak tahan melihat kau mereka bunuh! Pergilah, carilah seorang isteri lain yang bijaksana, biarlah, aku... aku tak berharga lagi menjadi... Isterimu. Tak boleh kau mendapat bencana karena aku... tinggalkanlah aku, Can Kwan. Kedatanganmu ini sudah merupakan bahagia sebesarnya bagiku, akan menghiburku sampai aku mati. Akan kuingat sebagai tanda cintamu..."

   "Hush, Cui Hwa, jangan mengeluarkan omongan bodoh! Aku datang sengaja untuk membawamu keluar dari sini."

   "Bagaimana caranya?"

   "Akan kubawa kau melompati pagar tembok, keluar dari istana."

   "Kalau kau diketahui oleh penjaga?"

   "Akan kubuka jalan darah, biar mati bersamamu!"

   "Tidak, Can Kwan..."

   Cui Hwa menangis dan memandang dengan muka ngeri.

   "Kau tidak boleh mati karena aku...! Apa dayamu menghadapi para pengawal yang banyak jumlahnya? Biar aku sengsara, biar aku mati asal kau bahagia, asal kau hidup..."

   "Cui Hwa...!"

   Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dari luar,

   "Penjahat! Pencuri! Tangkap, tangkaaaap!"

   Cui Hwa menjadi pucat.

   "Celaka, Can Kwan, mereka sudah datang!"

   Wajah Can Kwan yang tampan menjadi beringas dan pemuda ini mencabut Pedangnya, lalu melompat keluar. Ia disambut oleh belasan orang pengawal yang segera mengepungnya. Can Kwan memang telah mempelajari ilmu silat dengan tekunnya dari seorang pandai, dan Pedangnya bergerak laksana Naga mengamuk. Beberapa orang pengawal sebentar saja roboh mandi darah di bawah sabetan Pedangnya. Akan tetapi makin banyak pengawal datang mengeroyok sambil berteriak-teriak, dan biarpun Can Kwan pernah belajar silat dengan amat tekun, namun sampai di manakah tingkat kepandaian seorang yang baru belajar ilmu silat selama setahun? Ia mulai lelah dan telah mendapat beberapa luka ringan.

   

Pendekar Kelana Eps 17 Kumbang Penghisap Kembang Eps 19 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 3

Cari Blog Ini