Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Mata Keranjang 20


Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



"Tidak apa-apa, Mayang. Hanya semalam engkau terlalu lelah atau terlalu banyak minum sehingga ketika rebahan di situ engkau terus pulas dan kami biarkan sampai pagi ini."

   Hemm, tidak mungkin ia tertidur pulas karena kelelahan atau hanya karena minum anggur! Mayang menjadi curiga sekali dan menoleh ke kanan kiri.

   "Mana adik Cin Nio?"

   Tanyanya.

   "Melihat engkau pulas di pembaringannya, ia tidak tega untuk menggugahmu, dan ia membiarkan engkau tidur di pembaringannya, sedangkan ia sendiri pergi tidur di kamarnya."

   Mayang terbelalak, mukanya berubah pucat. Ia sudah curiga. Tidak mungkin rasanya ia mabuk hanya karena minum anggur, juga tidak mungkin ia sedemikian lelahnya sampai tidur semalam suntuk tanpa bangun sebentarpun. Pasti ada hal yang tidak beres, pikirnya. Dan kini Cin Nio tidur di kamarnya!

   "Celaka...!"

   Katanya dan sekali berkelebat ia sudah berlari keluar dari kamar itu, menuju ke kamarnya. Hari masih pagi sekali, lampu-lampu penerangan masih belum dipadamkan karena di luar masih gelap. Ia tiba di depan kamarnya dan membuka daun pintu yang ternyata tidak terkunci dari dalam. Jantungnya berdebar penuh ketegangan.

   Kamar itu gelap, remang-remang saja mendapat penerangan dari lampu luar kamar. Mayang menahan jeritnya ketika ia melihat tubuh yang tergantung di sudut kamar. Tubuh Cin Nio! Lehernya terikat kain ikat pinggang dan tubuh itu tergantung dari tihang. Sekali melompat, Mayang sudah menyambar pedang Cin Nio yang berada di atas pembaringan, lalu melompat ke atas tangan kanan memondong tubuh yang tergantung, tangan kiri membabat ikat pinggang di atas kepala gadis itu. Ia melompat turun lagi sambil memondong tubuh yang masih hangat itu. Ketika ia merebahkan tubuh itu dan melepaskan ikatan pada leher, hatinya terasa lega. Biarpun tinggal satu-satu, Cin Nio masih bernapas! Cepat ia mengurut sekitar leher gadis itu, perlahan-lahan dan menotok beberapa jalan darah di tengkuk dan kedua pundak.

   Gadis itu kini teregah-engah dan pernapasannya mulai pulih. Mayang membuka daun jendela sehingga lampu yang tergantung di luar jendela menyorot ke dalam kamar. Mayang kembali menghampiri Cin Nio yang sudah siuman. Gadis ini membuka matanya dan melihat Mayang duduk di tepi pembaringan ia menangis terisak-isak. Mayang sudah melihat keadaan gadis itu. Pakaiannya tidak karuan, hampir telanjang dan di atas tilam kasur yang putih bersih nampak noda darah. Biarpun ia masih gadis, namun Mayang sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri gadis itu. Cin Nio telah diperkosa orang! Dan yang lebih jelas lagi, ada orang memasuki kamarnya dengan maksud memperkosa dirinya, akan tetapi yang menjadi korban bukan dirinya, melainkan Cin Nio yang kebetulan bertukar tempat tidur dengannya!

   "Adik Cin, siapa yang melakukannya? Katakan, siapa yang melakukan ini kepadamu?"

   Tanyanya lirih. Tangis Cin Nio semakin menjadi-jadi, dan Mayang memeluknya, berbisik di dekat telinganya,

   "Adik Cin, demi Tuhan, aku yang akan membalaskan penghinaan ini, aku bersumpah! Jahanam itu sebenarnya mengarah diriku, akan tetapi engkau menjadi korban. Sekarang hentikan tangismu, urusan ini hanya diketahui oleh kita berdua saja. Aku berjanji akan menutup rahasia ini, bahkan adik Hui juga tidak perlu tahu. Nah jangan menangis lagi, cepat bereskan pakaianmu, aku akan membersihkan pembaringan."

   Cin Nio maklum bahwa itulah jalan satu-satunya kecuali kalau ia membunuh diri.

   Biarpun ia mati membunuh diri sekali pun, dirinya tidak akan menjadi bersih, bahkan dengan membunuh diri, maka semua orang tentu akan dapat menduga apa yang telah terjadi dan ia akan dibicarakan orang, namanya akan tercemar. Ia harus mencuci aib ini dengan darah orang yang telah menodainya, sementara itu, ia menanggung aib dengan diam-diam tak diketahui orang lain kecuali Mayang, gadis yang berjanji hendak membalas dendam ini. Maka, ia lalu menghentikan tangisnya, masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri, merapikan kembali pakaiannya sedangkan Mayang cepat membersihkan tempat tidur, dan menghilangkan bekas-bekas yang dapat mencurigakan hati orang lain. Ketika Cang Hui tiba di situ dan mengetuk pintu kamar, semua telah beres dan Cang Hui disambut oleh Mayang dan Cin Nio yang sudah dalam keadaan rapi.

   "Apakah yang telah terjadi? Cin Nio, kenapa engkau kelihatan pucat?"

   Cang Hui segera menegur.

   "Ah, tidak ada apa-apa, adik Hui. Tadi aku hanya salah duga. Karena terbangun di kamarmu, aku menduga telah terjadi hal-hal yang mencurigakan. Dan aku menggedir kamar ini sehingga adik Cin terkejut disangkanya terjadi hal-hal yang hebat.

   "

   "Benar aku kaget oleh kedatangan Mayang secara mendadak di pagi buta,"

   Kata Cin Nio yang sudah dapat bersikap wajar. Ketika mendapat kesempatan bicara empat mata dengan Cin Nio, Mayang minta keterangan dari gadis itu.

   "Sekarang ceritakan, apa yang telah terjadi, dan siapa yang telah melakukan perbuatan terkutuk itu, adik Cin."

   "Kamar itu gelap, aku terbangun dan tak mampu bergerak. Aku hampir pingsan karena menderita penghinaan itu, Mayang. Aku tidak dapat melihat muka orang itu, selain gelap juga mukanya tertutup kain hitam. Dia pun tidak mengeluarkan kata-kata apa pun. Aku sendiri tidak dapat mengeluarkan suara karena tertotok. Kemudian... Kemudian... dia membuka daun pintu dan menyelinap keluar, seperti iblis saja gerakannya, cepat sekali, dan setelah aku mampu terbebas dari totokan, aku lalu lalu...lalu..."

   Cin Nio menutupi muka dengan kedua tangannya.

   "Ssttt, tenangkan hatimu, enci Cin. Ingat, engkau harus dapat menyimpan rahasia dan kuatkan hatimu. Sekarang ini pikiranmu harus selalu dipusatkan untuk membalas dendam kepada orang itu sehingga tidak kau bayangkan lagi peristiwa itu, tidak membayangkan kehancuran hatimu. Untung aku datang tidak terlambat. Kalau terlambat, tentu semua orang akan mengetahui. Percayalah, engkau menjadi korban karena diriku, maka aku bersumpah untuk membalaskan dendammu ini, adik Cin.

   "Terima kasih, Mayang, akan tetapi kalau bisa... aku... aku ingin membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri!"

   Cin Nio meraba gagang pedang dan matanya mengeluarkan sinar penuh dendam. Mayang mengangguk.

   "Mudah-mudahan aku akan dapat menangkapnya. Akan tetapi, satu hal yang ingin aku mendapat penjelasan darimu. Yakin benarkah engkau bahwa jahanam itu bukan seorang yang berperut gendut?"

   Cin Nio menundukkan mukanya yang berubah merah padam lalu pucat, dan ia menggelehg kepalanya, tidak tahu mengapa Mayang bertanya demikian, dan ia pun malu untuk bertanya. Mayang mengangguk-angguk lagi dan mengepal tinju. Biarpun tadinya ia ragu-ragu, namun kini ia merasa bahwa tidak ada orang lain lagi yang patut dicurigai kecuali Sim Ki Liong atau Liong Ki! Bukankah Liong Ki pernah mencoba untuk merayunya, mengajaknya berbuat mesum? Dan pemuda itu memang pernah menjadi seorang sesat dan jahat! Kini agaknya dia bukan bertaubat dan kembali ke jalan benar, melainkan kumat kembali. Biarpun belum ada bukti kuat, namun ia akan menyelidiki sampai tuntas! Tadinya timbul juga persangkaannya bahwa kakek gendut gundul yang diaku sebagai guru oleh Ki Liong itu yang melakukannya,

   Namun keyakinan Cin Nio bahwa pemerkosanya itu tidak gendut, membuat dugaannya kembali kepada Liong Ki. Akan tetapi, tentu saja tanpa bukti ia tidak mungkin dapat menuduh pemuda itu begitu saja, dan bagaimanapun juga, tentu Liong Ki akan menyangkal. Lalu tiba-tiba matanya bersinar-sinar! Di kamarnya itu gelap, dan selain si pemerkosa, juga Cin Nio yang tertotok tidak pernah dapat mengeluarkan suara. Besar sekali kemungkinannya, si pemerkosa pun tidak tahu bahwa yang diperkosa bukan ia melainkan Cin Nio! Ia harus dapat mempergunakan akal untuk memancing, bersikap seolah-olah ia yang diperkosa dan ia menerima perlakuan ini sebagai hal yang telah terlanjur! Ia akan pura-pura menuntut pertanggungan jawab, hanya untuk memancing pengakuan Liong Ki bahwa dialah pemerkosa itu.

   "Adik Cin, harap kau tenangkan hatimu. Aku pasti tidak akan mau sudah sebelum jahanam itu dapat kutangkap dan kuseret di depan kakimu. Hanya saja, hal ini harus dilakukan dengan diam-diam, tidak menimbulkan keributan agar rahasia ini jangan sampai bocor. Kau setuju, bukan?"

   Cin Nio mengangguk pasrah. Dalam, keadaan seperti itu, hanya Mayang satu-satunya orang yang dipercayanya, satu-satunya orang yang dapat diharapkannya.

   Mayang tidak memberitahukan dugaannya itu kepada Cin Nio. Hal itu bahkan akan berbahaya sekali. Ia belum mempunyai bukti, dan kalau sampai Cin Nio mendengar kemudian langsung nekat menyerang Liong Ki, tentu siasatnya akan gagal. Liong Ki akan menyangkal dan tidak ada bukti atau saksi yang akan dapat membuka rahasianya. Juga tidak mungkin dapat memancing pengakuan Liong Ki di dalam istana itu. Kalau sampai terjadi keributan, tentu semua orang akan mengetahuinya. Besok pagi-pagi ia kan mengajak Liong Ki keluar kota dan bicara di tempat sunyi, memancing pengakuan Liong Ki sebagai pemerkosa malam itu. Hatinya diliputi penuh ketegangan. Bagaimanapun juga, harus ia akui bahwa Liong Ki memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau ia hanya nekat mengandalkan kepandaiannya, sukarlah mengalahkan pemuda itu.

   Apalagi kalau ada Liong Bi yang membantunya, lebih-lebih lagi kakek gendut yang diakuinya sebagai guru itu. Ia harus berhati-hati. Kalau terpaksa, ia akan nekat mengamuk, kalau perlu berkorban nyawa. Karena gelisah membayangkan percakapannya dengan Liong Ki esok hari malam itu Mayang merasa tegang dan untuk rnenghilangkan ketegangan hatinya, ia pun memasuki taman mencari angin dan udara segar. Belum lama ia berada di situ, ia mendengar langkah kaki dan muncullah Cang Sun! Agaknya pemuda ini memang hendak memberi waktu kepadanya utuk berpikirdan mengambil keputusan. Buktinya sejak pengakuan cintanya itu, sepekan telah lewat dan Cang Sun tidak pernah menemuinya, seolah pemuda itu sengaja bersembunyi saja untuk memberi kesempatan kepadanya untuk berpikir.

   "Mayang..."

   "Oh, Kongcu...!"

   Mayang berkata, agak gugup karena tadi ia sedang melamun dengan hati yang tegang.

   "Silakan, Kongcu..."

   Katanya sambil bangkit berdiri, dengan tangannya mempersilakan pemuda itu duduk di atas bangku.

   "Mayang, sudah cukupkah waktu yang kuberikan kepadamu untuk mempertimbangkan dan mengambil keputusan? Aku selalu menanti jawabanmu, Mayang."

   Mayang menunduk. Ah, andaikata tidak terjadi peristiwa malapetaka yang menimpa diri Cin Nio, agaknya tidak akan sukar baginya untuk menjawab.

   Kini ia sudah tahu dari sikap Cin Nio bahwa gadis itu merelakan ia menerima cinta kasih Cang Sun seperti yang dilihat dan didengar ketika ia dan kedua orang gadis bangsawan itu makan bersama malam itu. Akan tetapi kini hatinya sedang risau, dan ia merasa bahwa bukan saatnya yang baik untuk bicara tentang cinta. Kasihan Cin Nio yang menjadi korban karena dirinya! Dan Cin Nio juga tahu akan hal itu, bahwa karena ia tidur di kamar Mayang maka malapetaka itu menimpa dirinya. Dan gadis itu sepatah kata pun tidak pernah mengeluarkan penyesalan kepadanya. Ia merasa seperti berhutang budi kepada Cin Nio. Kalau saja Cin Nio tidak kasihan melihatnya dan membiarkan ia tidur di pembaringan gadis itu, kemudian Cin Nio yang mengalah dan tidur di kamarnya, tentu tidak akan terjadi malapetaka itu menimpa dirinya.

   "Kongcu, aku masih bingung sekali. Pernyataan Kongcu itu merupakan hal yang terlalu besar bagiku, sehingga bingung aku menghadapinya, sukar untuk mengambil keputusan."

   Cang Sun, mengerutkan alisnya.

   "Mayang, aku telah bersikap jujur dan aku hanya mengharapkan kejujuranmu pula. Andaikata engkau tidak mempunyai perasaan sayang sedikit pun kepadaku dan karenanya tidak dapat membalas cintaku, katakan saja terus terang. AKu tidak akan marah, tidak akan menyesal kepadamu, hanya menyesali diri sendiri yang tiada untung. Aku, tidak ingin engkau membalas cintaku hanya karena merasa berhutang budi, atau hanya karena kasihan. Sungguh, Mayang, aku menghendaki kejujuran dalam urusan cinta, karena hal ini menyangkut sisa kehidupan kita sampai akhir hayat."

   Mayang merasa terharu. Pemuda ini memang hebat. Biarpun tidak pernah mau mempelajari ilmu silat, namun bijaksana dan wawasannya jauh dan mendalam, dan ia merasa yakin bahwa pemuda seperti ini akan menjadi suami yang baik, menjadi ayah yang bijaksana.

   "Sama sekali tidak, Kongcu. Aku tidak akan bersikap tidak jujur dalam hal ini, akan tetapi, terus terang saja, aku sedang menghadapi persoalan yang amat sulit dan yang tak dapat kuceritakan kepada siapa pun juga, bahkan kepadamu pun belum saatnya kuceritakan. Percayalah kepadaku, Kongcu. Aku menanggapi pernyataanmu itu dengan setulus hatiku, dan sudah pasti akan tiba saatnya aku akan memberi jawaban keputusanku. Harap Kongcu bersabar sampai beberapa lama lagi. Aku harap Kongcu yakin bahwa aku tidak mempermainkan Kongcu, aku bersungguh-sungguh dalam hal ini. Maukah Kongcu memberi waktu lagi kepadaku dan sebelum aku memberi jawabanku, Kongcu tidak akan bertanya sesuatu?" .

   "Hemm, sampai kapan, Mayang? Sampai berapa lamanya? Aku seorang manusia biasa, dan menunggu merupakan pekerjaan yang amat berat."

   "Maafkan aku, Kongcu. Tunggulah sampai aku menyelesaikan urusan pribadiku, mudah-mudahan tidak lama lagi. Kelak kalau sudah tiba saatnya aku memberi jawaban, semua persoalan ini akan kujelaskan kepadamu dan aku yakin bahwa engkau akan membenarkan sikapku sekarang ini, Kongcu."

   Cang Sun tersenyum.

   "Mayang, setidaknya, aku merasa terhibur dengan penguluran waktumu ini. Andaikata engkau menolak, sudah pasti engkau tidak akan mengulur waktu. Ini aku yakin. Jadi, dengan mengulur waktu, berarti aku mempunyai harapan. Begitu, bukan?"

   Wajah Mayang berubah kemerahan dan ia pun tersenyum, lalu mengangguk.

   "Mudah-mudahan begitu, Kongcu."

   "Ha-ha, wajahmu menjadi merah seperti bunga mawar tersinar matahari pagi! Biarlah, aku tidak akan membuat engkau merasa canggung, Mayang, dan tidak akan mengganggumu lagi. Aku berjanji bahwa selama engkau belum memberikan sendiri jawabanmu kepadaku, aku tidak akan mengganggumu lagi dengan pertanyaan dan desakanku. selamat malam, Mayang."

   "Selamat malam, Cang-kongcu."

   Setelah Cang Sun meninggalkannya, Mayang semakin termenung. Bermacam pikiran menggeluti pikirannya, membuat ia merasa pusing. Jelas ia akan merasa berbahagia kalau sampai dipersunting Cang Sun sebagai isterinya. Betapa akan mudahnya mencintai seorang pemuda seperti itu. Memang sejak pertama kali bertemu, ia sudah merasa suka dan kagum, dan dua perasaan itu mempunyai garis lurus menuju ke arah cinta kasih. Apalagi dengan adanya ulah sim Ki Liong, pemuda yang tadinya telah menjatuhkan hatinya.

   Kekecewaan dan penyesalan hatinya melihat ulah sim Ki Liong seolah kini hilang nyerinya, terobati oleh kasih sayang Cang Sun, walau hanya baru dapat ia nikmati melalui pandang mata pemuda itu, melalui tutur katanya dan pengakuan cintanya. sebetulnya, ia merasa berbahagia sekali. Baru saja kehilangan cintanya yang dikecewakan oleh Sim Ki Liong, ia telah memperoleh penggantinya yang jauh lebih baik. Dah betapa menyedihkan nasib Cin Nio. Baru saja Cin Nio mengalami patah hati karena cintanya ditolak oleh Cang Sun, kini tertimpa malapetaka yang hampir saja membuat ia membunuh diri. Mayang menghela napas panjang dan melamun di dalam taman itu sampai malam. Entah berapa jam ia berada di taman itu, melamun dan memandang bulan sepotong yang sudah keluar dan cukup tinggi, membuat suasana di taman itu indah sekali.Akhirnya dengan malas-malasan ia bangkit berdiri untuk kembali kekamarnya.

   Akan tetapi, ketika ia berjalan perlahan-lahan menyelinap di antara pohon-pohon bunga, tiba-tiba ia melihat dua bayangan hitam berkelebat di luar taman. Sesosok bayangan lari menuju ke kamar Cang Hui dan Cin Nio, sedangkan sesosok lagi lari menuju ke kamar Cang Sun. Berdebar rasa jantung Mayang melihat bayangan-bayangan itu. Tentu keselamatan Cang Sun dan dua orang gadis itu terancam! Sejenak hati Mayang menjadi bimbang. Siapa yang harus ditolongnya lebih dahulu? Akan tetapi dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba saja menyelinap akan yang dianggapnya amat baik untuk menggagalkan niat buruk dua sosok bayangan itu. Ia lari ke gudang penyimpanan jerami untuk ransum kuda dekat kandang kuda dan dibakarnya setumpuk jerami yang berada di luar gudang. Karena jerami itu sudah kering benar, sebentar saja api berkobar.

   "Kebakaran...! Kebakaran...!!"

   Mayang berteriak-teriak sambil memukuli canang tanda bahaya yang tergantung dekat kandang. Sebentar saja gegerlah ketika semua orang berlarian keluar.

   Mayang sendiri sudah cepat berlari, pertama-tama ia lari menuju ke kamar Cang Hui dan Cin Nio karena ia amat mengkhawatirkan nasib dua orang gadis itu. Ia masih sempat melihat sesosok bayangan hitam melompat keluar melalui jendela kamar itu. Ia mencoba untuk mengejar, namun bayangan itu dengan gesitnya sudah menghilang di balik wuwungan rumah. Ia melompat memasuki kamar dan cepat menutup hidungnya karena tercium bau harum yang aneh. Tahulah ia bahwa kamar itu telah dipenuhi asap pembius! Ia menyambar selimut, dikebut-kebutkan selimut itu mengusir asap dan membuka pintu kamar. Asap itu pun cepat terbang pergi melalui lubang jendela dan pintu.

   Ketika ia menghampiri dua orang gadis itu, ia melihat mereka sudah tidur pulas atau pingsan, tentu terpengaruh asap pembius yang harum seperti dupa itu. Ketika ia teringat akan Cang Sun, ia pun cepat meloncat keluar lagi dan lari ke kamar pemuda itu. Ia menarik napas lega melihat pemuda itu tertidur sambil duduk di kursinya, meletakkan kepala di atas meja. Agaknya pemuda itu tadi belum tidur ketika bayangan hitam meniupkan asap pembius ke kamarnya sehingga ia tertidur di atas kursinya. Seperti juga di kamar dua orang gadis tadi, Mayang mengusir asap melalui jendela dan pintu kamar. Beberapa orang pengawal muncul dan merasa, terbatuk-batuk ketika hendak memasuki kamar. Melihat Mayang mengebut-ngebutkan selimut mengusir asap yang baunya harum menyesakkan dada, mereka bertanya apa yang telah terjadi.

   "Lihiap, apakah yang terjadi?" .

   "Entah, ada kebakaran dan rupanya ada penjahat masuk melepas asap beracun untuk membius Cang-kongcu."

   Tiba-tiba muncul Liong Ki dan Liong Bi. Mereka kelihatan kaget dan tegang, dan ketika melihat Mayang di luar kamar Cang Sun, Liong Ki berkata,

   "Wah, di kamar nona Cang Hui dan nona Tan Cin Nio juga penuh asap, tapi sudah kubersihkan bersama para pengawal."

   Liong Bi juga berkata,

   "Api yang membakar gudang sudah dapat kami padamkan. Apa yang terjadi di sini, Mayang?"

   Mayang pura-pura bersikap biasa saja walaupun di dalam hatinya, keras dugaannya bahwa dua sosok bayangan hitam yang tadi memasuki kamar Cang Sun dan kamar dua orang gadis itu adalah dua orang yang kini bicara dengan sikap seperti orang yang ikut berjasa itu.

   "Hemm, rupanya ada dua orang maling hina yang mencoba untuk mencuri barang berharga di kamar Cang-kongcu dan kamar kedua orang nona itu,"

   Kata Mayang sambil memandang kepada mereka.

   "Heran sekali, bagaimana gudang itu dapat terbakar tanpa ada yang mengetahuinya,"

   Kata Liong Bi.

   "Penjaga hanya mendengar suara gaduh dan melihat bahwa jerami di luar gudang itu sudah terbakar besar."

   "Kalau begitu, tentu ada orang ketiga yang membakarnya."

   Kata pula Mayang, tentu saja ia tahu benar karena yang membakarnya adalah ia sendiri. Bagaimanapun juga, hatinya lega bahwa siasatnya itu telah menyelamatkan Cang Sun, Cang Hui dan Cin Nio. Kalau ia tidak melakukan siasat membakar jerami itu, bagaimana mungkin ia melindungi ketiganya.

   "Omitohud...apakah yang terjadi sampai ribut begini?"

   Terdengar suara orang dan nampak Hek Tok Siansu menghampiri mereka, dan kakek gendut ini menggosok-gosok matanya seolah baru bangun dari tidurnya. Mayang memandang kepada kakek itu dan sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, ia dapat melihat betapa kulit yang hitam kehijauan itu tidak wajar, dan ia dapat menduga bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu sesat yang amat berbahaya.

   "Ada tiga penjahat besar menyusup masuk ke dalam istana keluarga Cang ini,"

   Kata Mayang sambil menatap tajam wajah kakek itu.

   "Omitohud..., mana penjahatnya yang begitu berani...?"

   "Kalau kita baru terbangun setelah semua selesai, tentu para penjahatnya telah lama menyingkir,"

   Kata Mayang dengan suara mengejek. Kemudian, setelah menyuruh seorang pengawal yang dipercayanya membangunkan Cang-kongcu dan memberi keterangan apa yang telah terjadi, Mayang menghampiri Liong Ki yang berdiri agak menyendiri, kemudian ia berbisik.

   "Besok pagi jam delapan aku menunggumu di danau. Aku ingin bicara urusan penting antara kita."

   Liong Ki memandang heran, akan tetapi Mayang tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menjawab karena gadis itu sudah melangkah pergi menuju kekamar Cang Hui da Cin Nio. Dua orang gadis itu pun sudah sadar dan dikerumuni para pelayan yang tadi terbangun dan ikut panik. Melihat Mayang, kedua orang gadis itu lalu menyuruh pergi semua pelayan. Setelah mereka hanya bertiga saja di kamar itu, Cang Hui segera bertanya kepada Mayang.

   "Mayang, apa yang telah terjadi? Menurut para pelayan, kamar ini tadi penuh asap pembius dan kami berdua pingsan, dan katanya di gudang ada kebakaran. Mereka mendengar katanya ada dua atau tiga orang penjahat menyelundup masuk ke istana. Juga katanya kamar Sun-ko dipenuhi asap pembius seperti kamar kami. Benarkah itu? Apa yang sesungguhnya terjadi?"

   Cin Nio tidak bicara, akan tetapi pandang matanya kepada Mayang penuh arti, penuh pertanyaan apakah peristiwa malam ini ada hubungannya dengan malapetaka yang menimpa dirinya beberapa malam yang lalu.

   "Memang benar, ada dua orang penjahat menyelinap masuk dan melepas asap pembius di kamar ini dan kamar Cang-kongcu. Akan tetapi, untung bahwa mereka ketahuan sehingga mereka melarikan diri."

   Cang Hui mengerutkan alisnya.

   "Mayang, sesungguhnya apakah yang terjadi? Siapa mereka dan apa mau mereka itu melepaskan asap pembius di kamarku dan kamar Sun-ko?"

   "Adik Hui dan adik Cin, harap kalian tenang. Aku sedang menyelidikinya dan kuharapkan dalam waktu singkat akan dapat menemukan jawabannya. Semua urusan mudah-mudahan akan dapat kubikin terang dalam waktu dua tiga hari ini."

   Berkata demikian Mayang memandang kepada Cin Nio penuh arti, dan Cin Nio mengerti bahwa Mayang hendak mengatakan bahwa juga urusan malapetaka yang menimpa dirinya akan dapat dibikin terang. Hal ini berarti bahwa tentu ada hubungannya antara peristiwa malam ini dengan malapetaka yang menimpa dirinya. Pada saat itu, terdengar suara Cang Sun yang telah berdiri di pintu kamar adiknya.

   "Mayang, apakah yang sebenarnya telah terjadi? Aku mendengar berita yang simpang siur dari para pengawal, katanya kamarku dipenuhi asap pembius dan aku telah tak sadar di atas kursiku. Aku ingin mendengar sendiri darimu, apa sebenarnya yang telah terjadi?"

   Cang Hui mendekati kakaknya.

   "Sun-ko, ada penjahat menyusup ke dalam rumah kita. Mereka itu melepas asap pembius di kamarku dan kamarmu, tentu dengan niat buruk terhadap kita. Dan ada yang membakar jerami di dekat gudang. Untung Mayang segera datang mengusir asap itu dan berteriak-teriak sehingga para pengawal berdatangan. Dua penjahat itu telah melarikan diri."

   "Mayang, apa artinya semua ini?"

   Tanya Cang Sun sambil memandang kepada Mayang. Agaknya keterangan adiknya itu masih belum memuaskan hatinya dan ia ingin mendengar sendiri keterangan Mayang.

   "Artinya bahwa ada penyerang gelap mengancam keluarga Cang, Kongcu, dan aku akan mencoba untuk membikin terang perkara ini."

   Cang Sun menatap wajah gadis itu penuh selidik.

   "Adakah ini hubungannya dengan urusan pribadimu itu?"

   Mayang mengangguk.

   "Sekarang belum waktunya aku bicara banyak, Kongcu. Bersabarlah beberapa hari lagi, pasti aku akan dapat membongkar semua urusan ini. Setelah berkata demikian, Mayang segera meninggalkan mereka, kembali ke kamarnya karena ia tidak ingin percakapannya tadi didengar orang lain. Pada hari-hari biasa, danau di luar kota raja itu sepi saja, apalagi pada pagi hari itu. Bukan waktunya orang berlibur. Para pemilik perahu yang biasanya menyewakan perahu pada para tamu di hari-hari yang ramai, pada hari sepi itu menggunakan perahu mereka untuk mencoba peruntungan mencari ikan di tengah danau. Sejak awal sekali Mayang telah berada di tepi danau, memandang ke arah timur, ke arah kota raja.

   Akhirnya, orang yang dinanti-nanti sejak pagi tadi muncul. Sim Ki Liong berjalan seorang diri menuju telaga dan dia segera dapat melihat Mayang karena gadis itu sengaja naik ke atas tepi danau yang menonjol tinggi. Mayang melambaikan tangan dan Sim Ki Liong atau Liong Ki berlari menuju ke tempat itu. Akan tetapi, setelah pemuda, itu dekat, Mayang memberi isyarat agar Ki Liong mengikutinya dan ia pun berlari memasuki sebuah hutan yang berada di sebuah bukit kecil. Tempat itu sunyi dan tak nampak seorang pun manusia lain. Mayang ingin bicara denganSim Ki Liong di tempat sepi agar jangan terdengar orang lain. Diam-diam hatinya merasa tegang sekali karena kalau benar seperti yang disangkanya bahwa Sim Ki Liong pelaku pemerkosa akan diri Cin Nio maka hal itu merupakan kepastian baginya untuk bertindak, menganggap Ki Liong sebagai musuh.

   Mungkin akan terjadi bentrokan antara ia dan Ki Liong, dan ia sudah siap siaga untuk menghadapinya. Dan ia pasti tidak akan tinggal diam sekali ini. Akan dibukanya rahasia Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa kepada Menteri Cang agar kedua orang itu tidak lagi diterima sebagai pembantu, bahkan ditangkap karena dahulu mereka mengatur siasat menculik lalu menolong Cang Sun. Ia harus membuat perhitungan dengan Sim Ki Liong yang telah mengkhianatinya, mengkhianati cintanya. Setelah tiba di tempat terbuka di puncak bukit, dikelilingi hutan kecil, Mayang berhenti dan menanti Sim Ki Liong yang mengejarnya. Kini mereka,berdiri berhadapan, dalam jarak empat meter. Ki Liong tersenyum memandang kepada Mayang, senyum yang penuh arti.

   "Mayang, engkau mengundangku datang ke sini, agaknya hendak bicara penting sekali. Ada urusan apakah, sayang?"

   Kata-kata dan nada suaranya itu terasa oleh Mayang seperti sebatang pisau menusuk jantungnya, akan tetapi ia pura-pura tidak merasakannya dan ia bahkan menekan perasaannya sehingga suaranya terdengar datar dan biasa tanpa emosi.

   "Liong-ko, aku mengundangmu ke sini agar dapat bicara berdua denganmu. Aku menuntut pertanggungan jawabmu terhadap diriku!"

   Ki Liong tersenyum dan maju selangkah.

   "Tentu saja, Mayang. Pertanggungan jawab yang bagaimana yang kau maksudkan? Jelaskanlah, sayang."

   Mayang mengerutkan alisnya dan mengambil sikap pura-pura marah.

   "Liong-ko, setelah apa yang kau lakukan kepadaku beberapa malam yang lalu, sekarang engkau masih berpura-pura lagi bertanya pertanggungan jawab apa yang kumaksudkan?"

   Setelah berkata demikian, ia memandang penuh selidik, dan ini bukan lagi bersandiwara karena memang ia ingin sekali mengetahui reaksi dari pemuda itu ketika mendengar ucapannya ini. Mendengar ucapan itu, Sim Ki liong tertawa.

   "Ha-ha-ha, kiranya itu yang kau maksudkan? Aih, Mayang, bukankah sudah lama sekali kita saling mencinta? Tentu saja aku akan mempertanggungjawabkan. Sudah berani berbuat aku tentu berani bertanggung jawab. Nah, katakan, apa yang harus kulakukan untukmu?"

   Ki Liong bersikap menantang. sambil tersenyum dan jelas bahwa pandang matanya membayangkan perasaan senang. Agaknya hatinya senang melihat Mayang tidak marah. Akan tetapi jawaban itu masih belum memuaskan atau belum meyakinkan hati gadis itu.

   "Liong-ko, engkau telah menodai seorang gadis dan sekarang masih bertanya apa yang harus kau lakukan? Begitu bodohkan engkau, atau memang tidak perduli akan nasibku?"

   Ia memancing lagi.

   "Mayang, kekasihku. Sejak dahulu aku mencintamu. Jangan katakan bahwa aku menodaimu, sayang. Malam itu aku hanya membuktikan rasa cintaku kepadamu. Nah, malam itu kita telah menjadi suami isteri yang sah. Engkau menghendaki pernikahan, bukan? Sabarlah, Mayang, kalau sudah tiba saatnya, kita pasti akan menikah. Heh-heh-heh...!"

   Akan tetapi, suara tawanya terhenti seketika ketika tiba-tiba saja terjadi perubahan dalam sikap Mayang. Sepasang mata itu mencorong seperti mengeluarkan api dan tangan Mayang sudah menyambar ke depan, meluncur seperti ular mematuk ke arah leher Ki Liong.

   "Haiiiiittttt...!!"

   "Ehh...ahhh...!"

   Sim Ki Liong terkejut setengah mati. Biarpun dia amat lihai, akan tetapi datangnya. serangan itu demikian tiba-tiba, tubuh Mayang menerjang dengan amat cepatnya dan pukulan yang dilancarkan itu adalah ilmu pukulan Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) yang amat ampuh. Tidak ada kesempatan bagi Ki Liong untuk menangkis lagi, maka sambil mengeluarkan teriakan nyaring dia sudah melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik sampai lima kali baru dia terlepas dari ancaman maut pukulan beruntun yang dilakukan Mayang kepadanya.

   "Heii, Mayang! Ada apakah engkau ini? Gilakah engkau? Bukankah kita Sudah menjadi suami isteri dan...?"

   "Jahanam busuk! Kiranya benar engkau yang melakukannya! Keparat terkutuk! Sekarang aku yakin bahwa yang berniat busuk terhadap Cang Hui dan Cang-kongcu tadi malam tentulah engkau dan komplotanmu, pelacur hina Su Bi Hwa itu! Sekarang terbukalah semua kedokmu, jahanam! Aku pasti akan membuka rahasiamu kepada Menteri Cang!"

   Wajah Sim Ki Liong berubah pucat mendengar ini.
(Lanjut ke Jilid 19)

   Jodoh Si Mata Keranjang (Seri ke 11 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jilid 19
"Aih, Mayang, kenapa engkau berkata demikian? Ingat, engkau telah menjadi isteriku! Engkau sudah tidak gadis lagi. Kalau bukan aku yang mengawinimu kelak, apakah engkau akan menjadi seorang yang menderita aib selama hidupmu?",

   "Sim Ki Liong, iblis busuk! Aku telah buta dan tolol menganggap seorang manusia iblis macam engkau akan bertaubat dan kembali ke jalan benar. Kiranya engkau hanya menipu dan mempermainkan aku! Huh, jangan dikira bahwa akan mudah saja engkau untuk menghinaku. Yang engkau perkosa pada malam itu bukanlah aku!"

   Sepasang mata Sim Ki Liong terbelalak dan dia memandang tak percaya.

   "Bukan engkau? Tapi...tapi di kamarmu dan...kalau bukan engkau lalu siapa?"

   Mayang tersenyum mengejek.

   "Tak perlu engkau tahu siapa, karena saat ini pun aku akan mencabut nyawamu yang tak berharga!"

   Berkata demikian, Mayang sudah melepaskan senjatanya yang ampuh, yaitu pecutnya yang panjang. Begitu ia mengayun pecutnya ke atas kepalanya, terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil yang nyaring. Pada saat itu muncullah Su Bi Hwa atau yang dikenal sebagai Liong Bi oleh keluarga Menteri Cang.

   "Hi-hi-hik, Liong koko, sekarang engkau tahu rasa! Sudah sejak dulu kukatakan bahwa bocah ini berbahaya, sebaiknya dilenyapkan saja. kalau tidak, ia tentu akan membikin ribut saja dan selalu menggagalkan semua rencana kita."

   Ki Liong merasa lega melihat munculnya sekutu ini, akan tetapi juga heran karena dia tidak menyangka.

   "Engkau pun di sini, Bi-moi?"

   Tanyanya.

   "Tentu saja! Aku tidak sebodoh engkau, Liong-ko. Aku sudah mencurigainya, maka aku sudah membuat persiapan yang serba lengkap. Sekarang, mari kita habiskan riwayat bocah ini agar tidak menjadi penghalang bagi kita."

   Melihat munculnya Su Bi Hwa, Mayang menjadi semakin marah lagi.

   "Bagus, kau siluman betina. Memang aku pun sudah mengambil keputusan untuk membasmi siluman jahat macam engkau!"

   Mayang lalu menggerakkan cambuknya dan menyerang kalang kabut. Cambuknya mengeluarkan suara bercuitan disusul ledakan-ledakan, menyambar-nyambar dengan ganasnya ke arah kedua orang itu.

   Sim Ki Liong maklum akan kelihaian Mayang maka dia pun sudah mencabut pedangnya, demikian pula Su Bi Hwa. Mereka maju bersama dan mengeroyok Mayang dengan gerakan peda.ng mereka yang lihai. Kalau hanya Su Bi Hwa seorang diri, yang melawan Mayang, tentu ia akan kewalahan. Akan tetapi di situ ada Sim Ki Liong, murid Pendekar Sadis yang amat lihai. Baru menghadapi Sim Ki Liong seorang diri saja agaknya Mayang tidak akan mampu mengalahkannya. Kini Sim Ki Liong dibantu Su Bi Hwa, maka tentu saja amat berat bagi Mayang untuk menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi, gadis ini tidak mengenal takut dan ia sudah nekat untuk melawan mati-matian. Gerakan pecut di tangannya amat menggiriskan, setiap sambaran pecutnya merupakan sambaran maut yang mengarah nyawa lawan.

   Berbeda dengan Su Bi Hwa yang, membalas serangan Mayang dengan serangan maut untuk membunuh pula, Sim Ki Liong agak ragu-ragu dalam serangan balasannya. Bagaimanapun juga, Sim Ki Liong memang pernah tergila-gila kepada Mayang. Bahkan sampai kini, belum ada wanita yang dapat menandingi daya tarik Mayang baginya. Agaknya dia tidak tega kalau harus membunuh Mayang, dan agaknya akan membiarkan Bi Hwa saja yang membunuhnya. Oleh karena itu, gerakan pedangnya hanya untuk menangkis serangan Mayang dan mendesak gadis itu sehingga Su Bi Hwa yang nampak lebih ganas menghujankan serangan. Kenekatan Mayang membuat kecepatan dan kekuatannya bertambah, namun karena dua orang lawannya juga merupakan ahli-ahli pedang yang hebat, terutama sekali Ki Liong, setelah lewat seratus jurus, mulailah Mayang terdesak hebat. Melihat ini, mulailah Su Bi Hwa mengejek dan tertawa-tawa.

   "Hi-hi-hik, Mayang, bocah sombong. Bersiaplah engkau untuk mampus!"

   Pedangnya membabat ke arah leher Mayang. Mayang mengelak dengan loncatan ke samping, akan tetapi ketika pecutnya menyambar ganas ke arah Bi Hwa, pedang di tangan Ki Liong sudah membabat dari samping, kuat bukan main sehingga terdengaar suara keras dan ujung pecut itu terbabat putus oleh pedang Ki Liong! Melihat ini Su Bi Hwa menggerakkan kakinya dan paha kiri Mayang kena ditendangnya.

   "Dukk!"

   Tak dapat dicegahnya lagi, tubuh Mayang terpelanting keras. Sambil terkekeh Bi Hwa membacokkan pedangnya, akan tetapi pedang itu ditangkis oleh pedang di tangan Ki Liong.

   "Tranggg...!"

   "Ehh? Liong-Ko, apa yang kau lakukan ini?"

   Bi Hwa berseru kaget.

   "Aku ingin menangkapnya hidup-hidup, Bi-moi!"

   Bi Hwa mengerti dan tertawa.

   "Heh-heh, agaknya karena malam itu ternyata bukan Mayang yang kau tundukkan dalam kamarnya, engkau masih penasaran? Baiklah, akan kutangkap ia untukmu, kuhadiahkan padamu untuk hari ini, akan tetapi sesudah itu ia harus dibunuh dan mayatnya dilenyapkan di dasar danau!"

   Kata Bi Hwa.

   Mendengar ini, Mayang, mengerahkan seluruh tenaganya dan meloncat bangun, tidak memperdulikan rasa nyeri di pahanya. Hatinya terasa sakit bukan main. Kini terbukalah matanya dan tahulah ia benar-benar macam apa adanya Sim Ki Liong yang penah dicintanya. Ia telah mintakan ampun untuk Ki Liong dari Cia Kui Hong, kemudian di pulau Teratai Merah ia pun memintakan ampun untuk Ki Liong dari Pendekar Sadis dan isterinya. Dan kini ternyata Ki Liong hanya memandangnya sebagai alat memuas nafsunya belaka. Bahkan demikian kejinya Ki Liong untuk minta kepada Bi Hwa agar ia tidak dibunuh dulu sebelum digumulinya!

   "Jahanam kau..., terkutuk kau...!"

   Dan dengan napas terengah-engah saking marahnya ia sudah menyerang lagi dengan cambuknya yang sudah patah ujungnya, menyerang mati-matian ke arah Ki Liong. Bahkan hantaman pecutnya dibantu oleh tangan kirinya yang juga melakukan serangan dengan pukulan Hek-coa-tok-ciang yang mengandung hawa beracun. Namun, Ki Liong mengelak dari pukulan itu dan menangkis hantaman cambuk dengan pedangnya. Mayang kembali mengamuk, dan karena kini Su Bi Hwa tidak lagi menyerang untuk membunuh, melainkan untuk merobohkannya dan menangkapnya, maka Mayang tidak terancam maut lagi. Bagaimanapun juga, tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat menangkap gadis yang seperti singa betina mengamuk ini begitu saja.

   "Wirrr...!"

   Pecut itu kembali menyambar ke arah kepala Ki Liong.

   Serangan yang dilakukan penuh dengan kebencian. Ki Liong menyambut dengan pedang dan sengaja memutar pedang sehingga pecut itu melibat pedangnya. Kesempatan ini kembali dimanfaatkan Bi Hwa. Tangannya menampar ke arah pundak Mayang dan gadis ini kembali terpelanting, sekali ini terpelanting keras dan kepalanya terasa pening. Namun ia telah dapat melepaskan libatan cambuknya dan ia sengaja menggulingkan tubuhnya sambil memutar-mutar cambuk melindungi diri. Memang hebat gadis ini. Kalau ia tidak bergulingan dan memutar cambuknya, tentu mudah bagi dua orang pengeroyoknya untuk menotok dan menangkapnya. Namun dengan bergulingan dan memutar cambuk, kembali ia terlepas. Ia meloncat berdiri lagi dan walaupun kepalanya pening,dan pundaknya nyeri, ia sudah siap untuk melawan sampai titik darah penghabisan.

   "Sim Ki Liong, jahanam busuk kau...!!"

   Ia berteriak, suara teriaknya melengking nyaring dan kembali ia mengamuk dengan cambuknya, amukan yang tidak lagi menghiraukan keselamatan dirinya. Su Bi Hwa menjadi penasaran dan marah sekali. Kalau menurutkan hatinya, ia ingin segera membunuh saja gadis peranakan Tibet itu agar tidak menyusahkan lagi. Akan tetapi ia maklum bahwa kalau hal itu ia lakukan, ia akan rugi karena tentu Ki Liong akan merasa kecewa dan tidak senang kepadanya.

   "Liong-ko, biar kurobohkan dia dengan jarum agar lebih mudah!"

   Katanya, akan tetapi sebelum Ki Liong menjawab, tiba-tiba ada sinar merah menyambar dari kiri, sinar merah lembut yang menyambar dengan cepat sekali ke arah Su Bi Hwa da Sim Ki Liong! Kiranya sebelum Bi Hwa mempergunakan jarum-jarumnya, telah ada orang lain yang lebih dulu menggunakan jarum-jarum merah yang amat lihai, akan tetapi bukan untuk menyerang Mayang, sebaliknya malah menyerang mereka. Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa cepat mengelak dan sinar merah lembut itu menyambar lewat. Bukan jarum-jarum merah itu yang mengejutkan hati mereka, melainkan setelah orangnya yang menyambitkan jarum itu muncul.

   "Siluman betina busuk, kiranya engkau di sini! Dan bersama si murtad Sim Ki Liong mengeroyok Mayang! Bagus, jangan takut, Mayang. Aku membantumu menghajar jahanam-jahanam ini!"

   Kata gadis perkasa yang menyambitkan jarum-jarum merah itu. Wajah Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong berubah ketika mereka mengenal Cia Kui Hong! Yang menolong Mayang itu memang Kui Hong. Seperti kita ketahui, Cia Kui Hong meninggalkan Cin-ling-san setelah ia mendapatkan persetujuan ayah ibunya untuk berjodoh dengan Tang Hay. Bagaikan mendapatkan semangat hidup baru, Kui Hong segera berangkat dan mencari ke kota raja. Akan tetapi, kebetulan sekali ia lewat di danau itu dan tertarik oleh keindahan danau. Ia berjalan-jalan di sekitar danau dan tadi, ketika ia sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan danau dan pergi ke kota raja,

   Ia kebetulan lewat dekat bukit itu dan mendengar teriakan marah dari Mayang. Ia pun bergegas naik ke bukit itu dan melihat betapa Mayang didesak dengan hebat oleh dua orang yang membuat ia marah bukan main. Dua orang pengeroyok Mayang itu adalah Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa! Tentu saja Kui Hong merasa heran sekali. Bukankah Ki Liong dan Mayang saling mencintai? Bahkan Mayang sendiri yang pernah mintakan ampun untuk Ki Liong kepadanya! Bagaimana sekarang Ki Liong malah menyerang Mayang, dan bersama dengan Tok-ciang Bi Mo-li murid Pek-lian Sam-kwi itu? Dalam keheranannya, ia tidak banyak membuang waktu dan mendengar betapa Su Bi Hwa hendak menyerang Mayang dengan jarum, ia mendahului dan menyambit kedua orang pengeroyok dengan jarum-jarum merahnya.

   "Enci Kui Hong...!!"

   Mayang berseru girang bukan main ketika melihat siapa penolongnya dan cepat ia meloncat ke dekat Kui Hong.

   "Mayang, apa yang telah terjadi? Kenapa engku dikeroyok oleh dua orang ini?"

   Kui Hong bertanya, penasaran.

   "Enci Kui Hong, jahanam Sim Ki Liong mengkhianatiku, dia bersekongkol dengan iblis betina itu untuk menguasai keluarga Menteri Cang Ku Ceng."

   Kui Hong membelalakkan matanya.

   "Begitu berani mereka? Kalau begitu dosa mereka sudah melewati ukuran dan mereka layak dibasmi!"

   Kui Hong membentak dan ia pun sudah mencabut sepasang pedangnya, lalu menyerang Ki Liong dengan sepasang pedang itu.

   Serangannya hebat bukan main karena ia telah mengerahkan tenaganya dan memainkan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang dipelajarinya dari Toan Kim Hong, neneknya. Ki Liong yang maklum akan kelihaian gadis ini, tidak banyak cakap lagi dan cepat memutar pedangya melawan. Mayang kini memperoleh angin baik. Biarpun ia sudah menderita luka oleh tendangan pada paha dan pukulan pada pundaknya, kini melihat munculnya Kui Hong, semangatnya timbul kembali dan bagaikan seekor singa betina, ia menggunakan cambuknya yang sudah patah ujungnya untuk menyerang Su Bi Hwa dengan dahsyat. Kini terjadilah pertandingan satu lawan satu yang amat seru. Akan tetapi, Ki Liong segera mulai terdesak oleh sepasang pedang di tangan Kui Hong.

   Gadis ini, biarpun hanya menerima keterangan singkat dari Mayang, maklum bahwa Ki Liong, telah mengkhianati gadis itu dan tentu telah melakukan kejahatan kembali. Memang ia sudah sangat membenci pemuda murid pulau Teratai Merah yang murtad ini. Kalau dulu ia mengampuninya adalah karena atas permintaan Mayang. Kini, ia menyerang untuk membunuh sehingga Ki Liong hanya mampu menangkis dan menjaga diri, tidak diberi kesempatan lagi untuk balas menyerang. Adapun Su Bi Hwa yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan Mayang, kini juga kewalahan menghadapi desakan Mayang karena gadis peranakan Tibet ini marah sekali sehingga gerakannya menjadi sangat dahsyat, terutama sekali serangan tangan kirinya yang menggunakan Hek-coa-tok-ciang. Tiba-tiba Su Bi Hwa berseru nyaring.

   "Suhu, keluarlah dan bantulah kami!"

   Ki Liong sendiri merasa heran, mengira bahwa tentu sekutunya itu hanya mempergunakan siasat menggertak saja. Akan tetapi, betapa girang rasa hatinya ketika tiba-tiba terdengar suara orang yang amat dikenalnya, suara Hek Tok Siansu!

   "Omitohud..., banyak benar orang muda perkasa bermunculan!"

   Dan sambaran angin dahsyat menyerang ke arah Kui Hong dari arah kanan! Kui Hong yang sedang mendesak Ki Liong, ketika mendengar suara itu dan merasakan sambaran angin pukulan dahsyat, cepat membalik ke arah suara itu dan memindahkan pedang dari tangan kanan ke tangan kiri yang kini memegang dua batang pedang, lalu tangan kanannya ia dorongkan kearah dari mana datangnya angin pukulan,

   "Desss...!"

   Dua tenaga sakti bertemu di udara lewat telapak tangan Hek Tok Siansu dan Cia Kui Hong.

   "Omitohud...!"

   Hek Tok Siansu berseru kaget dan heran karena tangkisan gadis itu membuat pukulannya tadi membalik. Jarang di dunia ini ada orang mampu menangkis pukulannya seperti itu, dan gadis ini masih muda sekali! "Bi Hwa, siapakah nona ini?"

   Saking heran dan kagumnya, ia bertanya kepada Bi Hwa. Bagi, Hek Tok Siansu, tidak ada rahasia lagi tentang Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong karena mereka sudah mengaku kepadanya tentang keadaan mereka yang sebenarnya. Su Bi Hwa memang cerdik. Ia telah mengatur semuanya sehingga kakek itu berada pula di situ, siap membantu. Bahkan banyak pula orang-orang Pek-lian-kauw sudah siap membantunya.

   "Suhu, ia adalah pangcu (ketua) dari Cin-ling-pai."

   "Omitohud, seorang wanita masih begini muda sudah menjadi ketua perkumpulan besar. Pantas saja lihai!"

   Kui Hong merasa heran mendengar Bi Hwa menyebut suhu kepada hwesio ini. Setahunya, guru Bi Hwa adalah Pek-lian Sam-kwi yang ketiganya sudah tewas semua. Bagaimana tiba-tiba muncul seorang hwesio yang mengaku sebagai guru wanita iblis ini?

   "Lo-cian-pwe,"

   Katanya dengan sikap tegas.

   "Aku Cia Kui Hong tidak pernah bermusuhan denganmu. Tok-ciang Bi Moli ini pernah mengacau Cin-ling-pai, maka aku akan membunuhnya, dan Sim Ki Liong ini adalah murid murtad dari kakek dan nenekku. Oleh karena itu, harap Lo-cian-pwe tidak mencampuri urusan kami agar aku tidak perlu bermusuhan denganmu."

   "Omitohud, nona muda yang sombong. Apa kau kira pinceng takut melawanmu! Ha-ha-ha, dua orang ini adalah sekutu pinceng, sudah menjadi murid pinceng, tentu saja urusan mereka adalah urusan pinceng."

   Tahulah Kui Hong bahwa ia berhadapan dengan seorang yang bentuk dan pakaiannya saja pendeta, akan tetapi isinya adalah seorang yang condong kepada golongan sesat.

   "Kalau begitu, pendeta palsu, engkau pun hanya akan membikin kacau dunia saja!"

   Bentaknya dan ia pun sudah menyerang dengan sepasang pedangnya.

   "Omitohud, biarlah nona ini menjadi lawan pinceng!"

   Kata Hek Tok Siansu dan dia sudah menggerakkan kedua tangannya. Ujung lengan bajunya menyambar dan ketika kedua ujung lengan baju itu menangkis pedang di tangan Kui Hong, gadis itu merasa seolah-olah sepasang pedangnya ditangkis oleh senjata keras yang kuat. Segera terjadi perkelahian di antara mereka.

   "Bi-moi, kau bantu suhu menundukkan Kui Hong, biar aku yang menangkap Mayang!"

   Kata Ki Liong dengan gembira. Tak disangkanya bahwa Bi Hwa sedemikian cerdiknya sehingga kini pihaknya yang lebih kuat. Bi Hwa juga maklum bahwa kalau ketua Cin-ling-pai itu tidak di kalahkan, tentu merupakan ancaman baginya, maka tanpa banyak cakap lagi ia membantu Hek Tok Siansu mengeroyok Kui Hong. Adapun Ki Liong segera menghadapi Mayang. Kembali keadaan berubah setelah tadi Kui Hong dan Mayang mampu mendesak dua orang lawannya. Dengan masuknya Hek Tok Siansu, keadaan kembali tidak menguntungkan bagi pihak Mayang dan Kui Hong.

   Kakek ini memiliki ilmu yang aneh-aneh, yang kadang amat mengejutkan Kui Hong dan membuat gadis itu terdesak dan hanya dapat melindungi dirinya saja tanpa dapat membalas menyerang. Apalagi di situ terdapat Bi Hwa yang menggunakan pedang mengeroyok dan jelas bahwa iblis betina ini bersungguh-sungguh hendak membunuhnya, membuat Kui Hong segera terdesak. Hanya kematangan ilmu pedang Kui Hong yang bersumber kepada ilmu pedang dahsyat dari neneknya yang membuat gadis itu masih dapat bertahan. Yang payah adalah Mayang. Gadis ini sudah terluka, dan menghadapi Ki Liong ia merasa kalah setingkat, maka segera ia diserang dan didesak hebat oleh Ki Liong yang amat bergairah untuk menangkapnya hidup-hidup. Kini Ki Liong bagi Mayang merupakan iblis yang amat jahat, dan ia tahu bahwa kalau sampai ia tertawan, tentu Ki Liong akan menghina dan memperkosannya.

   Kiranya pemuda ini sama sekali tidak mempunyai peri kemanusiaan, tidak tahu malu dan sudah tersesat sampai jauh. Mayang menggigit bibirnya dan melawan mati-matian. Sudah dua kali ia terpelanting oleh tendangan kaki Ki Liong, akan tetapi setiap kali ia meloncat bangun lagi, tidak merasakan kenyerian yang dideritanya dan melawan terus dengan gigihnya. Kui Hong maklum bahwa pihaknya terancam bahaya kalau perkelahian berat sebelah itu dan membiarkan diri mati konyol. Ia harus melindungi Mayang karena ia dapat melihat betapa gadis itu terancam oleh Ki Liong. Ia mulai mencari kesempatan untuk mengajak Mayang melarikan diri lebih dahulu agar terlepas dari himpitan lawan. Akan tetapi, tiga orang lawan itu tidak memberi kesempatan dan mendesak terus. Selagi Kui Hong memutar pedang mencari kesempatan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Tahan semua senjata!"

   Ucapan itu demikian penuh wibawa sehingga seperti tertahan oleh tenaga yang tidak nampak,

   Lima orang yang sedang berkelahi itu otomatis menghentikan gerakan tangan mereka. Hek Tok Siansu terkejut bukan main karena dia merasakan getaran yang amat kuat dalam suara itu, getaran yang mengandung kekuatan sihir yang luar biasa kuatnya. Segera ia memandang dan ternyata yang membentak itu pun hanya seorang pria yang masih amat muda! Sungguh mengherankan hatinya karena demikian banyaknya bermunculan orang muda yang amat lihai! Yang paling kaget sampai mukanya berubah pucat adalah Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa ketika mereka mengenal orang yang datang itu karena pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay! Melihat pemuda itu, Mayang menjerit sambil terisak dan lari menghampiri Hay Hay, langsung meloncat dan merangkul leher pemuda itu.

   "Hay-koko... Hay-ko... uuuuuhuhu-huuuuu... Hay-kooo...!"

   Ia menangis tersedu-sedu di dada kakaknya itu. Hay Hay mengelus kepala adiknya penuh kasih sayang.

   "Sssttt, Mayang adikku yang manis, di mana kegagahanmu? Hentikan tangismu, Mayang dan ceritakan apa yang terjadi."

   Dia lalu mengangkat muka dan bertemu pandang dengan Kui Hong. Keduanya beradu pandang mata, dua pasang sinar mata bertaut sejenak dan keduanya tersipu.

   "Hay-ko...!"

   Kui Hong berbisik hampir tidak bersuara, akan tetapi bibirnya jelas menyebut nama pemuda itu.

   "Hong-moi, kulihat mati-matian engkau melindungi Mayang adikku. Terima kasih! Akan tetapi apa yang telah terjadi? Ini si iblis betina dari Pek-lian-kauw kembali telah mengacau dan kenapa Ki Liong bahkan menyerang Mayang, bukan melindungi? Dan siapa pula kakek yang gagah ini?"

   Hay Hay bertanya. Ki Liong merasa gentar bukan main dan dia pun cepat berkata kepada Hek Tok Siansu,

   "Suhu, inilah yang bernama Tang Hay, yang suhu cari-cari!"

   Katanya. Mendengar keterangan itu, Hek Tok Siansu terkejut, akan tetapi juga girang. Diam-diam dia lalu menggerakkan kekuatan sihirnya dan berkata dengan suara yang mengandung wibawa.

   "Omitohud... kiranya engkau yang bernama Tang Hay? Orang muda, engkaulah yang telah menewaskan dua orang saudara pinceng yang bernama Janghau Lama dan Pat Hoa Lama di Tibet?"

   Hay Hay mengamati kakek itu dan dia menjawab,

   "Kalau yang Lo-cian-pwe maksudkan tiga orang pendeta Lama yang memberontak kepada Dalai Lama itu, memang benar bahwa aku pernah bertentangan dengan mereka. Aku tidak membunuh siapa pun, dan kalau ada yang tewas dalam pertandingan, maka itu sudahlah wajar. Yang bersalah akhirnya pasti akan kalah dan terhukum perbuatannya sendiri. Mengapa Lo-cian-pwe masih merasa penasaran?"

   "Omitohud, engkau orang muda yang sombong. Kematian tiga orang saudara kami itu harus di balas. Kim Mo Siankouw sudah membalas kematian Gunga Lama, dan sekarang, engkau harus menebus kematian Janghau Lama dan Pat Hoa Lama."

   "Kalau Lo-cian-pwe membela yang bersalah, berarti bahwa Lo-cian-pwe juga menyeleweng dari kebenaran!"

   Kakek itu tertawa.

   "Ha-ha, sungguh menyenangkan sekali bertemu dengan orang yang sudah lama kucari-cari. Menggembirakan sekali bertemu dengan orang-orang muda yang berkepandaian. Nah, orang-orang muda, mari kita bergembira, tertawa dengan gembira, ha-ha-ha-ha!!"

   Suara tawanya sernakin lama semakin kuat dan mengandung getaran hebat, Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa sudah ikut tertawa. Mayang sendiri cepat mengerahkan ilmunya. Dari gurunya ia memang menerima ilmu yang menolak kekuatan sihir, maka ia dapat bertahan. Kui Hong juga tergetar hebat dan dengan segera mengerahkan sin-kang untuk menolak, namun tetap saja mulutnya membentuk senyum lebar.

   "Bagus, tertawalah Lo-cian-pwe. Tertawalah sepuasmu biar kulihat!"

   Kata Hay Hay, tentu saja dengan mengerahkan kekuatan sihirnya untuk melawan. Akhirnya, yang tertawa bergelak adalah kakek itu sendiri, diiringi suara tawa Ki Liong dan Bi Hwa! Melihat kenyataan ini, Hek Tok Siansu terkejut. Dia mempergunakan sihir agar para lawan itu tertawa dan muda dia kuasai. Tidak tahunya sekarang malah dia sendiri yang tertawa dan tidak dapat dihentikan Cepat dia merendahkan tubuhnya, seperti katak hendak meloncat dan mengerahkan tenaga dari dalam perut sehingga terdengar bunyi berkokok seperti katak. Akan tetapi dia berhasil menghentikan tawanya dan otomatis Ki Liong dan Bi Hwa juga berhenti tertawa. Wajah dua orang itu menjadi pucat.

   "Tang Hay, hari ini, pinceng Hek Tok Siansu akan membuat perhitungan denganmu! Bersiaplah untuk menebus kematian saudara-saudaraku!"

   Kakek itu membentak. Hay Hay tersenyum.

   "Kalau Lo-cianpwe tetap hendak membela yang bersalah, dan ingin menyusul mereka, silakan!"

   Hek Tok Siansu yang sudah marah sekali, segera memutar kedua lengannya dan dia sudah menyerang Hay Hay dengan ilmu pukulannya yang ampuh, yaitu pukulan Gelombang Samudera yang amat dahsyati Hay Hay mengenal ilmu pukulan ampuh, maka dia pun mengerahkan tenaga dan menyambut dengan kedua tangannya

   

Pendekar Mata Keranjang Eps 50 Pendekar Mata Keranjang Eps 50 Kumbang Penghisap Kembang Eps 17

Cari Blog Ini