Kumbang Penghisap Kembang 17
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
"Aduhhh... aduhhh... mati aku... engkau membunuhku... ah, mati aku...!"
Han Siong berdiri tertegun, matanya terbelalak memandang kepada tubuh Hay Hay yang kini sudah menelungkup tak bergerak, bibirnya gemetar dan berbisik,
"...apa yang kulakukan ini...? Aku... aku membunuhnya..."
Dugaan dan perhitungan Hay Hay memang tepat. Naluri watak yang baik kini bekerja dan Han Siong menghampiri tubuh Hay Hay, lalu berlutut. Akan tetapi, sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, Han Siong tetap waspada dan Hay Hay maklum bahwa dia harus membuat perhitungan yang tepat, tidak boleh salah. Kalau dia menyerang pada saat itu, tentu dia akan gagal karena Han Siong memiliki kewaspadaan tinggi. Han Siong memegang pundak Hay Hay dan membalikkan tubuh yang menelungkup itu. Kini tubuh Hay Hay telentang dan nampak betapa ada darah segar keluar dari mulut itu.
"Ahh... dia... dia mati...!"
Han Siong berkata dengan penuh kaget dan penyesalan dan pada saat itulah baru Hay Hay menggerakkan tangannya, secepat kilat kedua tangan sudah melakukan gerakan menotok.
Dalam keadaan menyesal dan terkejut itu, apa lagi melihat darah itu dia percaya bahwa orang, yang ditendangnya benar telah mati, Han Siong kehilangan kewaspadaannya sesaat dan saat itu dipergunakan dengan baik oleh Hay Hay. Han Siong berusaha melempar tubuh ke belakang, namun satu di antara serangan Hay Hay tepat mengenai sasaran. Jalan darahnya tertotok dan diapun roboh terkulai lemas! Hay Hay meloncat bangun, girang sekali. Dia tadi ketika "berkelojotan"
Menggigit lengannya sendiri sampai keluar banyak darah yang berlepotan pada mulutnya! Kini dia cepat menghampiri Han Siong yang sudah tidak mampu bergerak, lalu menyusulkan beberapa tekanan pada jalan darah Han Siong sehingga benar-benar Han Siong tidak mampu berkutik lagi. Kini Hay Hay mengamati wajah yang telentang itu. Memang wajah Han Siong, akan tetapi sinar mata itu! Sungguh beringas dan penuh kemarahan.
"Keparat, kau curang! Kubunuh kau!"
Han Siong menggerutu dan matanya berkilat marah. Hay Hay mencoba untuk mepergunakan kekuatan sihirnya. Dengan pandang matanya yang mencorong dia. Memandang wajah itu, menentang pandang matanya, kemudian terdengar suaranya yang dalam dan menggetar penuh kekuatan sihir.
"Han Siong, sadarlah. Engkau Pek Han Siong... dan aku adalah Hay Hay! Sadarlah dan lepaskan pengaruh kekuasaan dunia kegelapan...!"
Akan tetapi, hasilnya sia-sia saja. Sepasang mata itu masih berkilat marah dan setelah beberapa kali mengulang usahanya tanpa hasil, Hay Hay duduk termenung, menjadi agak bingung. Kalau saja dia tahu di mana adanya tiga orang pendeta Lama itu dan dapat menggempur mereka, tentu Han Siong akan dapat terbebas dari permainan sihir hitam mereka. Kemudian dia teringat. Batu giok mustika yang dimilikinya! Beberapa tahun yang lalu, karena merasa berhutang budi kepadanya, seorang jaksa, yaitu Kwan Taijin (Pembesar Kwan) telah menghadiahkan pusakanya yang amat berharga, yaitu sebuah batu giok mustika yang berwarna belang merah dan hijau.
Jaksa dari kota Siang-tan itu menghadiahkan batu giok itu kepadanya dan sampai sekarang masih tergantung di lehernya. Batu giok mustika itu merupakan obat pencegah racun yang amat mujarab. Segala macam racun dihisap dan dilenyapkan dari tubuh oleh batu giok mustika itu. Dan menurut penuturan jaksa itu, juga batu giok itu mempunyai khasiat lain, yaitu memiliki kekuatan mujijat untuk menolak kekuatan setan. Dia belum pernah membuktikannya, akan tetapi sekarang, apa salahnya kaldu dia mencobanya? Dia melepaskan tali yang mengikat mustika batu giok itu dari lehernya. Kalau dia menggunakan totokan pada bagian kepala yang bawah di atas tengkuk dari Han Siong, yang menjadi pusat penerimaan segala yang datangnya dari luar, tentu hubungan dengan kekuatan sihir hitam itu terputus.
Akan tetapi hal itu berbahaya sekali karena Han Siong akan menjadi terputus sama sekali dengan hal-hal di luar dirinya, dan kalau terlalu lama dapat membuat pemuda itu menjadi hilang ingatan dan hilang daya pikirnya. Akan tetapi, kalau memang batu giok ini memiliki kekuatan ajaib yang halus, siapa tahu dapat membebaskan Han Siong dari pengaruh sihir, atau setidaknya dapat mengurangi kekuatan sihir itu. Hay Hay lalu menggosok-gosokkan batu giok itu pada seluruh kepala, muka dan leher, kemudian di tempelkan sampai lama di atas tengkuk. Tak lama kemudian, Hay Hay yang selalu memperhatikan wajah Han Siong, melihat perubahan pada pandang mata itu. Kalau tadi ketika dia mulai dengan penggosokkan batu giok, sepasang mata itu berkilat marah kini kilatan kemarahan itu makin menipis akhirnya memudar dan tiba-tiba Han Siong membelalakkan matanya dengan pandang mata heran.
"Heiii! Hay Hay, apa yang kau lakukan ini? Ihhh... aku tertotok!"
Serunya ketika dia gagal menggerakkan kaki tangannya.
"Han Siong, dengarlah baik-baik dengan hati tenang dan sabar. Engkau baru saja sadar dari pengaruh sihir hitam yang amat jahat. Tadi engkau menyerangku dan kita berkelahi, untung dengan akal aku dapat menotokmu roboh. Sekarang, kau kerahkan kekuatan batinmu untuk merasakan datangnya serangan pengaruh sihir itu. Cepat...!"
Hay Hay mengangkat batu gioknya dan Han Siong yang cerdik segera mentaati perintah Hay Hay. Benar saja, begitu batu giok di angkat, dia merasakan getaran aneh, akan tetapi sekarang dia mampu menahannya dengan kekuatan sihirnya sendiri.
"Hay Hay, ada getaran aneh... begitu kuat untuk menguasai diriku. Ah, ada dorongan agar aku memusuhimu, membunuhmu..."
"Bagus, engkau sudah dapat merasakannya dan dapat menguasainya. Dengar baik-baik, Han Siong. Engkau pertahankan dengan kekuatanmu dan engkau peganglah kuat, tempelkan batu giok ini di atas tengkukmu, nah, di sini, dan pengaruh itu akan menipis. Akan tetapi jangan di tolak sama sekali, melainkan ikuti saja..."
"Kau gila? Mengikuti pengaruh itu?"
"Maksudku kalau pengaruh itu memanggilmu, ikuti karena hal itu akan membawa kita kepada yang melepaskan sihir atas dirimu. Aku akan membayangi dari belakang dan kita bersama akan menumpas mereka!"
"Mereka? Kau maksudkan... para pendeta Lama itu?"
"Siapa lagi? Mereka mengambil darahmu untuk menyihirmu. Ingat, jangan kau turun tangan menyerang kalau belum kuberi tanda. Sebaiknya urusanmu dengan Dalai Lama ini diselesaikan agar engkau jangan sampai terganggu lagi!"
"Maksudmu bagaimana, Hay Hay...?"
Han Siong bertanya bingung karena dia masih merasakan tarikan yang kuat dari pengaruh sihir hitam itu.
"Jangan banyak bicara dan dengarkan baik-baik, Han Siong. Para pendeta Lama itu mempengaruhimu agar bermusuhan dengan aku, dan kalau tidak keliru dugaanku, hal itu adalah agar dengan mudah engkau akan dapat mereka bawa ke Tibet. Bukankah dari dahulu, sejak kau bayi, mereka itu memang hendak membawamu ke sana? Sekaranglah saatnya yang baik. Engkau sudah tahu bahwa engkau disihir, akan tetapi dengan batu giok itu, engkau dapat menolak mereka. Engkau pura-pura dalam pengaruh sihir mereka dan kalau mereka mengajakmu ke Tibet, kau ikuti saja. Aku membayangimu dari belakang dan kita bersama akan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di sana. Engkau mau bukan bersamaku menempuh petualangan baru di Tibet? Tentu akan penuh bahaya dan hebat sekali. Maukah engkau?"
Hay Hay tidak menyebut tentang Ci Goet karena kalau sampai pemuda itu menyadari apa yang telah diperbuatnya dengan Ci Goat maka hal itu akan merupakan pukulan batin yang berat dan akan melemahkannya sehingga pengaruh sihir itu akan lebih mudah menguasanya.
"Baik, aku mengerti. Ah, dorongan itu makin kuat, menyuruh aku membawa pakaianku dan pergi dari rumah itu..."
"Bagus, kubebaskan engkau dan ikuti saja, Han Siong. Ingat, pergunakan batu kemala (giok) itu kalau sampai dorongan itu terlalu kuat. Engkau harus selalu dapat menguasai dirimu, dan hanya berpura-pura saja taat kepada pengaruh sihir mereka,"
Hay Hay tanpa ragu lagi membebaskan totokan pada tubuh Han Siong. Pemuda ini dapat bergerak kembali dan Hay Hay mengangguk angguk.
"Nah, turutilah perintah melalui pengaruh sihir itu Han Siong."
Keduanya lalu kembali ke rumah keluarga Ouw, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Kini terdengar jelas dalam telinga Han Siong perintah bahwa dia harus membunuh Hay Hay, atau menjauhkan diri dan setelah mengambil pakaian harus meninggalkan rumah itu tanpa setahu Hay Hay. Tanpa setahu Hay Hay? Akan tetapi, Han Siong tersenyum. Hay Hay akan mengetahuinya, yang tidak tahu adalah mereka yang menyihirnyar! Kedatangan mereka disambut oleh Ouw Lok Khi yang nampak bingung dan gelisah. Betapa kaget rasa hati Hay Hay ketika mendengar dari tuan rumah itu bahwa Ouw Ci Goat telah pergi dari dalam kamarnya! Dia mengamati wajah Han Siong yang mengerutkan alis dan kelihatan terheran-heran. Agaknya Han Siong belum menyadari apa yang telah dilakukannya semalam, atau menganggapnya sebagai mimpi saja.
"Kapan perginya, Paman Ouw? Dan ke mana?"
"Entah ke mana dan kapan, akan tetapi pagi-pagi sekali tadi dia sudah tidak ada di dalam kamarnya, dan ia membawa pedangnya. Tadinya, melihat bahwa ji-wi Taihiap (pendekar besar berdua) juga tidak berada di kamar, hati kami lega dan mengira bahwa ia pergi bersama ji-wi (kalian). Akan tetapi, sekarang ji-wi pulang dan ia... ah, ke mana perginya anakku?"
"Hemmm, jangan khawatir, paman. Kami berdua akan segera pergi mencarinya!"
Kata Hay Hay. Wajah Ouw Lok Khi kelihatan lega.
"Ah, terima kasih. Kalau ji-wi yang pergi mencari, hatiku tidak akan khawatir lagi."
Han Siong lalu mengambil pakaiannya, demikian juga Hay Hay dan tak lama kemudian, setelah matahari naik agak tinggi,
Han Siong memberi isarat kepada Hay Hay bahwa pengaruh sihir itu mulai memerintahkan agar dia pergi dari situ! Mereka lalu pergi meninggalkan rumah Ouw Lok Khi. Setel.ah tiba di luar kota, Hay Hay memberi isarat agar Han Siong terus mengikuti arah yang ditunjukkan dalam pengaruh sihir, sedangkan dia sendiri mengikuti atau membayangi dari jauh. Ke mana perginya Ci Goat? Semalam ia telah mengalami hal yang sama sekali tak pernah disangkanya. Ketika ia mendengar dari Hay Hay bahwa pemuda yang dicintanya itu. Pek Han Siong, tidak mungkin dapat menyambut dan membalas cintanya, ia merasa berduka walaupun duka itu telah banyak berkurang karena jasa Hay Hay yang pandai menghiburnya dan menyadarkannya. Akan tetapi bagamanapun juga, malam itu ia tidak dapat tidur dan lebih banyak melamun sambil berbaring.
Ketika ada ketukan daun jendela, ia belum tidur dan dapat dibayangkan betapa gembira dan tegang rasa hatinya ketika mendengar bahwa yang mengetuk daun jendela kamarnya adalah Pek Han Siong dan pemuda itu minta dibukakan jendela karena ingin bicara! Ketegangan dan kegembiraan itu berubah menjadi lautan kebahagian ketika pemuda itu meloncat ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan langsung merangkulnya! Hampir ia tidak dapat mempercaya apa yang didengar, dilihat dan dirasakannya, disangkanya dalam mimpi. Akan tetapi, karena pada saat itu ia sedang kehausan kasih sayang, sedang patah hati setelah tadi mendengar bahwa orang yang dicintanya tidak dapat menerima cintanya, kini melihat betapa orang yang dicintanya itu datang-datang merangkul dan menciuminya, Ci-Goat. kehilangan semua keseimbangan,hatinya. Ia hanyut dan terseret, dan tidak perduli apapun yang akan menjadi akibatnya.
Ia menyerah sebulatnya, penuh kepasrahan dan dengan suka rela, bahkan menyambut dengan api gairah yang menyala-nyala. Ia dan kekasihnya itu sampai lupa diri, lupa tempat dan waktu. Baru setelah Pek Han Siong meninggalkannya, ia terkejut. Selama tenggelam dalam gelombang nafsu berahi dan kemesraan tadi, keduanya tidak sempat bicara. Dalam keadaan seperti itu, kata-kata tidak ada artinya lagi. Pikiran tidak lagi bekerja, kesadaran tidak lagi bergerak. Yang ada hanya satu, yaitu mengikuti dorongan gairah dan nafsu berahi yang menguasai seluruh diri lahir batin, lain-lain hal tidak masuk hitungan lagi. Setelah Han Siong meninggalkannya, Ci Goat baru tersentak kaget. Ia terkejut sekali melihat kenyataan yang tak masuk di akal itu. Ia telah menyerahkan diri begitu saja, bahkan menyambut dengan gairah yang sama besarnya, pada seorang pria!
Biarpun ia mencinta pria itu dengan seluruh jiwa raganya, namun penyerahan itu sungguh menyalahi segala peraturan, melanggar kesusilaan dan merendahkan martabatnya sebagai wanita! ia tidak menyesal, melainkan terkejut dan juga terheran mengapa hal seperti itu bisa terjadi! Juga ia mengenal Han Siong bukan sebagai seorang pemuda seperti itu, dan ia sendiri juga seorang gadis yang mempunyai harga diri yang tinggi. Maka, timbul rasa penasaran di hatinya dan iapun keluar dari kamarnya, diam-diam membayangi kekasihnya yang menuju kembali ke kamarnya sendiri itu. Dan tiba-tiba ia melihat munculnya Hay Hay dan mendengarkan percakapan antara Han Siong dan Hay Hay. Makin didengarkan percakapan itu, semakin pucatlah wajah Ci Goat. Bibirnya gemetar dan kedua matanya sudah bercucuran air mata ketika ia mendengar ucapan Hay Hay,
"Engkau masuk ke kamar Ci Goat karena dituntun oleh kekuatan hitam! Engkau telah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga orang pendeta Lama itu, Han Siong!"
Juga ia mendengar ucapan Han Siong,
"Aku tidak akan mengawini gadis manapun!"
Kini mengertilah Ci Goat. Mengertilah ia dengan hati hancur bahwa segala yang telah terjadi tadi hanya merupakan sesuatu yang palsu. Kepalsuan yang harus ditebusnya dengan aib dan kehormatannya. Han Siong tidak mencintanya! Han Siong melakukan perbuatan tadi bukan atas kehendaknya sendiri, bukan karena cintanya, bahkan tanpa disadarinya! Dia melakukannya atas tuntunan pengaruh sihir atau kekuatan hitam dari pendeta Lama. Tiga orang pendeta Lama! Ci. Goat tersentak dan cepat ia memasuki kembali kamarnya, mengenakan pakaian ringkas dan membawa pedangnya. la tahu ke mana ia harus pergi.
la telah memperoleh keterangan dari seorang penduduk yang ikut menyerbu para penjahat bahwa ada tiga orang pendeta Lama beberapa hari sebelumnya bertanya-tanya tentang orang yang bernama Pek Han Siong alias Sin-tong, dan mereka adalah tiga orang pendeta Lama yang hadir dalam pemakaman tiga orang murid Pek-tiauw-pang. Menurut orang itu, dia bertemu dengan tiga orang pendeta Lama yang tinggal di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, di sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam. Kini, setelah ia mendengar kekuasaan ilmu hitam dari tiga orang pendeta Lama, Ci Goat dengan hati penuh duka dan dendam, pergi menuju ke bukit itu. Cuaca masih gelap ketika gadis itu dengan isak tertahan berlari mendaki bukit. Setelah tiba di depan kuil tua itu, Ci Goat mencabut pedangnya dan dengan nekat, tanpa mengenal rasa takut karena duka dan sakit hati menyesak di dada, ia meloncat dan lari memasuki kuil itu. Dan di tengah kuil itu,
Di ruangan yang luas, ia melihat tiga orang pendeta Lama itu duduk bersila menghadapi dupa mengepulkan asap tebal dan di atas lantai terdapat coret-coretan, lilin dan jimat-jimat. Biarpun ia tidak tahu apa artinya semua itu, Ci Goat menduga bahwa tentu mereka itu sedang melakukan sihir yang menguasai Han Siong. Hal ini mengingatkan ia akan keadaan dirinya yang sudah ternoda. Kalau saja Han Siong melakukan hal semalam atas dirinya dengan suka rela, atas dasar cinta dan pemuda itu mau mempertanggungjawabkannya, tentu ia tidak akan merasa ternoda karena ia pun menyerah dengan suka rela. Akan tetapi, pemuda itu melakukan hal itu bukan karena cinta, melainkan karena ulah tiga orang pendeta Lama ini, di luar kesadarannya dan karena itu tidak mau bertanggung jawab. Maka, semua dendam dan sakit hati gadis itu ditumpahkan kepada ketiga orang pendeta Lama.
"Pendeta keparat, kalian layak mampus!"
Bentaknya dan gadis ini sudah meloncat masuk. Akan tetapi, tiga orang pendeta itu nampak tenang saja, bahkan tidak bergerak seolah-olah tidak tahu akan kehadiran gadis itu. Dengan kemarahan meluap karena sakit hatinya. Ci Goat menerjang dan mengayun pedangnya ke arah kepala pendeta terdekat, yaitu Pat Hoa Lama. Pedangnya menyambar ke arah kepala yang gundul itu dan Pat Hoa Lama sama sekali tidak menangkis atau mengelak, seolah tidak tahu bahwa kepalanya dibacok orang dengan sebatang pedang yang tajam.
"Singgg takkk!"
Ci Goat terkejut bukan main. Pedangnya terpental, seolah bertemu dengan baja, bukan kepala manusia! Dan pada saat itu, pinggangnya dipeluk orang dan tahu-tahu pedangnya sudah dirampas dan tubuhnya sudah ditarik dan jatuh ke atas pangkuan pendeta Lama yang berada di tengah. Pendeta tinggi kurus Janghau Lama telah menangkapnya dan mata yang amat sipit itu kini terbuka, dan mulutnya yang ompong menyeringai.
"Ha-ha-ha, gadis cantik, engkau datang hendak menemani pinceng? Bagus! Memang pinceng sedang merasa kesepian. Suheng dan sute, kalian lanjutkan permainan kita, pinceng ingin bermain-main sejenak dengan gadis manis ini!"
Dua orang pendeta yang lain seperti tidak tahu atau tidak perduli, tetap duduk bersila seperti patung Janghau Lama bangkit sambil memondong tubuh Ci Goat. Gadis itu merasa ngeri melihat keadaan tiga orang pendeta itu. la meronta, akan tetapi kedua tangannya tak dapat bergerak karena keduanya telah dipegang dengan amat kuatnya oleh tangan kiri Janghau Lama yang jarinya panjang-panjang. Janghau Lama membawa Ci Goat ke sudut ruangan itu, lalu dia menjatuhkan diri ke atas lantai sambil mendekap Ci Goat.
Tangan kanannya bergerak dan terdengar kain robek berulang kali ketika tangan yang kurus panjang namun amat kuat itu merobek-robek semua pakaian dan merenggutnya lepas dari tubuh Ci Goat. Jelas bagi Ci Goat apa yang akan dilakukan pendeta itu terhadap dirinya. Ia merasa tidak berdaya. Kini ia maklum bahwa dirinya sama sekali bukan tandingan tiga orang pendeta Lama ini. Melawanpun akan percuma dan tentu ia akan diperkosa tanpa mampu mempertahankan diri sama sekali. Rasa ngeri membuat ia mencari akal Ketika Janghau Lama nampak terangsang setelah merenggut lepas semua pakaian Ci Goat, pendeta yang kini kelihatan watak aselinya itu mendengus dan mencium mulut Ci Goat. Gadis ini pura-pura lunglai dan lemas, tidak melawan lagi, seolah membiarkan mulutnya dicium. Akan tetapi begitu bibir Janghau Lama menempel di mulutnya, ia membuka mulut dan menggigit bibir itu sekuat tenaga.
"Auhhh!"
Janghau Lama yang sedang dikuasai nafsu berahi itu menjadi lengah, bibirnya tergigit hampir putus dan terluka. Dia melepaskan rangkulannya, dan pada saat itu merasa betapa dirinya bebas, Ci Goat cepat menggerakkan kepalanya, dibenturkan sekuatnya pada dinding di dekatnya. Terdengar suara nyaring dan gadis itu terkulai dengan kepala retak! Ia tewas seketika. Agaknya ia memilih mati membunuh diri dari pada membiarkan dirinya dinodai pendeta Tibet itu, yakin bahwa ia tidak mampu melawan, tidak akan mampu menghindarkan diri dari perkosaan. Janghau Lama terkejut melihat gadis itu rebah tak bernyawa lagi, cairan merah bercampur putih keluar dari retakan kepalanya. Terdengar, suara Gunga Lama.
"Sute, engkau telah bertindak ceroboh. Gadis itu telah tewas, dan urusan tentu menjadi kacau. Mari kita cepat memperkuat daya pengaruh kita untuk memanggil Pek Han Siong ke sini!"
Janghau Lama tidak berani banyak membantah. Dia telah merasa bersalah. Tadi dia terlampau dipengaruhi nafsu berahi sehingga dia kurang waspada, mudah dibuat lengah oleh gadis itu yang membunuh diri. Pada hal dia hanya ingin main-main sebentar sebelum menawan gadis yang datang mengamuk itu. Dia tahu bahwa kini permainan mereka bertiga telah diketahui orang. Buktinya, gadis itu datang dan menyerang. Hal itu berarti bahwa gadis itu telah mengetahui atau setidaknya menduga bahwa mereka memainkan suatu permainan rahasia.
Janghau Lama cepat kembali ke tempatnya semula dan mereka bertiga mengerahkan seluruh kekuatan untuk memanggil Pek Han Siong melalui ilmu sihir. Bibir Janghau Lama terluka dan berdarah. Han Siong merasa benar tarikan pengaruh yang amat kuat itu, sesuatu yang memanggil-manggilnya, yang seperti menyedotnya. Dia mengikuti daya tarikan ini dan kadang, kalau tarikan itu terlalu kuat, dia meraba batu kemala yang tergantung di lehernya dan tersembunyi di balik bajunya, menempelkannya di atas tengkuknya dan benar saja, setiap kali dia melakukan itu, daya tarikan itu menjadi berkurang banyak sekali kekuatannya. Dengan adanya bukti ini, hatinya menjadi tenang. Apalagi mengingat bahwa tak jauh di belakangnya, ada sahabatnya yang amat boleh dipercaya, yaitu Hay Hay.
Kini biarpun bayangan itu suram muram, namun Han Siong mulai dapat mengingat apa yang terjadi semalam. Seperti orang mengenang sebuah mimpi yang sudah hampir terlupa saja rasanya. Namun, bayangan itu cukup membuat mukanya berubah merah setiap kali dia mengingatnya. Apa yang telah terjadi di dalam kamarnya Ci Goat itu! Bergidik dia mengenangkan semua itu. Walaupun hanya samar-samar, namun dia dapat menduga apa yang telah terjadi. Dibawah pengaruh daya sihir yang amat kuat, yang melumpuhkan semua kekuatan sihirnya sendiri, dia telah dituntun memasuki kamar Ci Goat dan dibangkitkan oleh gairah yang tidak wajar. Dia dapat pula membayangkan penyambutan Ci Goat; Gadis itu jatuh cinta kepadanya, bahkan ketika bersembahyang, gadis itu mengaku bahwa mencinta dirinya sepenuh jiwa raganya. Agaknya, gadis itupun menyambutnya dengan suka rela.
Setelah gadis itu mendengar dari Hay Hay bahwa dia tidak dapat menerima dan membalas cintanya, tentu Ci Goat menjadi patah hati dan berduka, maka ketika malam itu dia memasuki kamarnya, agaknya gadis itu mendapat harapan baru. Dan dia bergidik kalau membayangkan apa yang tentu telah terjadi antara mereka. Samar-samar masih ingat dia dan meremang bulu tengkuknya kalau dia membayangkan apa yang akan menjadi tanggung jawabnya. Biarpun dia melakukannya di luar kesadarannya, karena terpengaruh sihir, namun hal itu telah terjadi. Ci Goat telah ternoda dan dia, sebagai seorang jantan, harus berani mempertanggungjawabkannya. Tarikan daya kekuatan itu menuntunnya ke sebuah bukit dan tak lama kemudian dia telah tiba di depan sebuah kuil tua. Jantungnya berdebar tegang.
Menurutkan suara hatinya, ingin dia menghajar tiga orang pendeta Lama itu karena mereka telah membuat dia tanpa disadarinya menodai Ci Goat dan hal ini berarti akan merubah seluruh jalan hidupnya karena dia harus mengawini gadis itu! Sudah sepatutnya tiga orang pendeta Lama itu dihajar bahkan dibunuhnya! Akan tetapi dia teringat akan nasihat Hay Hay. Memang sebaiknya kalau dia menyelidiki dan membiarkan dirinya diDawa ke Tibet agar urusan dirinya dengan para Lama di Tibet segera dapat diselesaikan dan tidak berlarut-larut. Kalau dia membunuh tiga orang pendeta Lama ini, maka akan terputus dan terhapus semua jejak menuju ke Tibet. Dia memasuki kuil tua itu karena ada dorongan atau tarikan yang amat kuat dari arah itu. Ketika dia masuk ke ruangan dalam itu, tiga orang pendeta Lama telah bangkit berdiri dan menyambutnya dengan sikap hormat.
"Terima kasih bahwa Sin-tong telah berkenan menerima undangan kami dan datang ke sini!"
Kata Gunga Lama sambil memberi hormat, diturut oleh dua orang sutenya. Han Siong bersikap seorang yang linglung, dan dia membalas penghormatan itu, lalu menjawab dengan suara datar.
"Sam-wi Lo-Suhu ada keperluan apakah mengundang aku ke sini?"
"Sin-tong, ketahuilah bahwa engkau adalah calon junjungan kami, engKau lah calon Dalai Lama yang sejati. Sudah terlalu lama kami menantimu, sin-tong dan sekarang tibalah saatnya engkau ikut bersama kami pergi ke tempat di mana selayaknya engkau berada, yaitu di Tibet, untuk memimpin kami, ke Jalan Terang.
"Marilah, ikutilah kami, Sin-tong, kita pergi sekarang juga ke barat."
Dalam suara itu terkandung kekuatan mujijat dan Han Siong kini merasakan getaran yang amat kuat. Di depan mereka, dia tidak mungkin dapat mempergunakan kemala mustikanya yang tergantung di lehernya, maka diapun mengangguk dan berkata singkat,
"Baiklah, aku menurut."
Tiga orang pendeta Lama itu girang bukan main dan mereka lalu mengajak Han Siong ke luar dari kuil itu, langsung menuruni bukit menuju ke barat. Dalam kesempatan ini, diam-diam Han Siong menggerakkan kalungnya sehingga kemala itu berputar ke tengkuknya dan seketika dia merasa betapa tekanan atau tarikan yang memaksanya itu mengendur. Hal ini perlu dia lakukan agar dia jangan tenggelam ke dalam pengaruh sihir mujijat itu. Dalam keadaan setengah sadar ini, dia masih mampu meneliti apa yang sesungguhnya terjadi dan dia dapat berpura-pura taat dan tunduk atas permintaan mereka.
Sementara itu, Hay Hay yang membayangi dari belakang, mengambil jalan memutar dan dia memasuki kuil dari arah belakang. Akan tetapi ketika dia tiba di belakang kuil, dia melihat tubuh seorang wanita menelungkup. Jelas ia sudah tak bernyawa lagi. Hay Hay menghampiri. Mayat itu masih baru, masih ada darah basah di kepalanya. Dia dengan hati-hati membalikkan tubuh mayat itu dan hampir dia menjerit saking kagetnya. Ci Goat! Gadis ini telah mendahului Han Siong, entah bagaimana bisa sampai kekuil ini dan terbunuh. Kepalanya pecah! Ketika melihat tiga orang pendeta Lama sedang mengajak Han Siong pergi ke Tibet, hatinya panas sekali. Siapa lagi yang membunuh Ci Goat kalau bukan mereka? Ingin dia menerjang dan menghajar mereka. Akan tetapi dia teringat akan Han Siong yang pura-pura takluk di bawah kekuasaan mereka. Tidak, dia harus bersabar.
Bagaimanapun juga, Ci Goat telah tewas. Kini tinggal menyelesaikan urusan Han Siong dengan para pendeta Lama. Kasihan pemuda itu yang terus dikejar-kejar sejak bayi sampai sekarang. Dia dan Han Siong harus menyelidiki sedalamnya, kalau perlu bertemu dengan pimpinan para Lama untuk mengajukan protes. Setelah urusan Han Siong selesai, barulah dia akan membalas kematian Ci Goat yang penasaran itu, menuntut tiga orang pendeta Lama ini. Ketika tiga orang pendeta Lama dan Han Siong meninggalkan kuil, dan melihat betapa mereka menuruni bukit menuju ke barat, dia lalu cepat mengubur jenazah Ci Gat dengan sederhana di belakang kuil itu. Kemudian, dia mempergunakan ilmu berlari cepat mengejar ke barat karena dia tadi mendengar bahwa mereka mengajak Han Siong pergi ke Tibet dan mereka tadi menuruni bukit ke arah barat.
Kota Pao-teng hari itu ramai sekali. Maklum, dua hari lagi rakyat merayakan hari raya Tahun Baru Impek. Biasanya beberapa hari sebelum Sin-cia (TahuBaru imlek) orang-orang sibuk berbelanja, membeli kain dan pakaian baru, membeli bahan-bahan untuk mengadakan sembahyangan dan pesta. Para pedagang pakaian dan bahan masakan dan sembahyang yang lebih dahulu berpesta pora mengumpulkan keuntungan karena seperti biasa, pada hari-hari sebelum Sin-cia para pedagang itu kebanjiran pembeli. Dan seperti biasa, kalau pembelinya terlalu banyak, lebih banyak yang dibutuhkan daripada persediaannya, maka harga-harga akan membubung tinggi dan para pedagang makin gendut perutnya.
Semua orang nampak berseri wajahnya, mereka yang saling mengenal, saling menegur di jalan dan ada yang bercakap dengan santai dan gembira, ada para wanita yang bicara serius sambil berbisik. Apa lagi kalau tidak membicarakan desas-desus tentang wanita lainnya! Asyik memang membicarakan aib atau keburukan orang lain. Membicarakan kekotoran orang lain dan merendahkannya, kita merasa bersih dan tinggi. Para wanita yang biasanya lebih banyak tinggal di rumah, kini banyak meninggalkan rumah keluar ke jalan raya. Inilah kesempatan baik sekali bagi para pria tua muda. untuk memuaskan mata mereka, mengagumi gadis-gadis manis yang banyak berkeliaran di jalan-jalan, toko-toko dan pasar untuk berbelanja. Daya tarik yang selalu dikekang demi sopan santun dan tata susila antara pria dan wanita,
Pada kesempatan itu agak longgar dan terlepas sehingga kedua pihak merasakan kegembiraan besar karena dapat saling pandang, saling senyum. Yang pria mengambil sikap dan mengeluarkan kata-kata menyanjung dan menggoda, yang wanita menyembunyikan rasa gembira di balik senyum tersipu malu. Bukan mustahil bahwa dalam kesempatan seperti itu, dua hati bertaut dan merupakan suatu awal menuju kepada ikatan pernikahan. Ada pula yang menjadi awal malapetaka karena terjadi pelanggaran susila dan penyelewengan. Di segala pelosok dunia, keadaan seperti ini sudah lazim terjadi. Kehidupan memang berputar di sekitar hubungan antara pria dan wanita. Seperti sudah menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu, pada hari-hari menjelang Sin Cia sampai biasanya lima belas hari sesudah Sin-cia,
Orang-orang berpesta pora dan di mana-mana orang memasang petasan sehingga keadaan menjadi meriah dan bising. Kebisingan suara petasan mendatangkan suatu perasaan gembira tersendiri dalam hati manusia. Dan biasanya orang tidak sayang menghamburkan uang untuk membeli petasan dari membakar petasan seperti bersaing dengan orang lain. Makin besar petasar yang disulut, makin banyak, akan makin banggalah hati. Di antara sekian banyaknya orang yang berlalu-lalang di jalan raya kota Pao-teng, nampak seorang gadis yang amat menarik. Memang banyak terdapat wanita cantik berkeliaran di jalan karena boleh dibilang semua wanita di kota Pao teng keluar. pada pagi hari itu. Akan tetapi, gadis ini memiliki daya tarik tersendiri yang membuat semua mata pria yang berpapasan di jalan tentu memandangnya dengan kagum.
Bahkan banyak pria sampai menoleh ke belakang untuk terus menikmati penglihatan yang menyenangkan itu. Ia seorang gadis berusia antara sembilan belas sampai dua puluh tahun, bagaikan setangkai bunga yang sudah mekar semerbak. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu runcing. Mulutnya kecil dengan sepasang bibir yang manis sekali, segar kemerahan, hidungnya yang mancung itu dapat bergerak-gerak ujungnya, lucu sekali. Matanya jeli dan sinarnya tajam, kalau mengerling nampak anggun dan dapat meruntuhkan hati setiap orang pria. Pakaiannya dari sutera yang halus dan biarpun tidak terlalu mewah, namun pakaian itu rapi dan menunjukkan bahwa gadis itu bukan seorang miskin. Melihat sebuah buntalan panjang tergendong di punggungnya, mudah diduga bahwa ia tentu seorang gadis pendatang,
Bukan penduduk kota Pao-teng dan agaknya hari itu ia baru saja memasuki kota sehingga buntalan barangnya masih digendong di punggung. Gadis manis itu bukan lain adalah Cia Kui Hong! Seperti telah kita ketahui, dalam pemilihan ketua baru Cin-ling-pai, terjadi perebutan antara Cia Kui Hong dan Tang Cun Sek. Sebetulnya Kui Hong tidak ingin menjadi ketua Ci-ling-pai, dan kalau ia mengikuti pemilihan itu hanyalah untuk mencegah agar kedudukan ketua Cin-ling-pai tidak terjatuh ke tangan Tang Cun Sek. la berhasil mengalahkan Cun Sek dan ia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru, sedangkan Cun Sek minggat sambil membawa pergi Hong-cu-kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai. Karena ia memang tidak suka menjadi ketua baru, Kui Hong lalu menyerahkan kekuasaan pimpinan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, sute dari ayahhya untuk mengurus perkumpulan itu.
Ia sendiri lalu meninggalkan Cin-ling-san untuk mencari Tang Cun Sek dan merebut kembali Hong-cu-kiam, juga untuk mencari Sim Ki Long dan merebut kembali Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah yang dibawa minggat oleh Sim Ki Liong. Adapun ayah dan ibunya, setelah menyerahkan kedudukan ketua Cin-ling-pai, pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah. Demikianlah perjalanan, singkat Cia Kui Hong sampai pada pagi hari itu ia memasuki kota Pao-teng. Ia ikut merasa gembira melihat ramainya kota itu dengan penduduknya yang bergembira ria menyambut datangnya Sin-cia yang tinggal dua hari lagi. Akan tetapi disamping kegembiraannya, di sudut hatinya terdapat perasaan kesepian dan iuga bersedih karena ia teringat kepada ayah ibunya, juga kepada kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, dan kepada kakeknya di Cin-Iing-pai.
Biasanya, pada hari Sin-cia, ia selalu berkumpul dengan keluarganya, dan terdapat suatu kegembiraan yang khas berkumpul dengan seluruh keluarga pada hari Sin-cia itu. Sekarang, la menyambut menjelang Sin-cia seorang diri saja, di tempat asing, dimana ia tidak mempunyai seorangpun kenalan. Yang lebih mengesalkan hatinya lagi. sampai sekian lamanya ia belum dapat menemukan jejak kedua orang yang dicarinya, yaitu Tang Cun Sek dan Sim Ki Liong. Pada saat itu, terdengar bunyi roda kereta dan sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda lewat di jalan raya itu. Semua orang minggir dan memberi jalan, dan banyak di antara ntereka yang memberi hormat ke arah kereta. Kui Hong melihat bahwa kereta itu milik seorang berpangkat tinggi. Hal ini mudah dilihat dengan adanya sebuah bendera kebesaran di kereta itu, dan ada selosin pasukan mengiringkan kereta.
Ketika kereta itu lewat di depan sebuah toko, tiba-tiba seuntai mercon besar-besar yang disulut oleh pemiliknya, meledak-ledak dengan suara yang amat nyaring dan bising. Empat ekor kuda penarik kereta terkejut dan dua diantaranya mengangkat kaki depan tinggi-tinggi, lalu empat ekor kuda itu meloncat ke depan dan lari sambil berloncatan ketakutan. Kusirnya terkejut dan berusaha menenangkan kuda. Dia bangkit berdiri, akan tetapi kuda-kuda itu makin ketakutan, melonjak-lonjak sehingga saking kuatnya guncangan itu, kusirnya terlempar keluar dari atas kereta! Empat ekor kuda itu lalu kabur! Melihat ini, para pengawal membalapkan kuda untuk menyusul, akan tetapi merekapun tidak dapat menenangkan kuda, bahkan kuda-kuda penarik kereta itu menjadi semakin panik melihat banyak kuda para pengawal lari di samping mereka. Orang-orang yang melihat peristiwa itu terjadi, terbelalak dan merasa khawatir.
Mereka yang mengenal bendera di atas kereta itu tahu bahwa yang duduk di dalam kereta itu adalah Cang Tai-jin, seorang pembesar dari kota raja yang amat terkenal karena dia adalah seorang menteri yang bijaksana dan disegani seluruh pembesar, bahkan menjadi tangan kanan kaisar! Selagi semua orang merasa panik, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke atas kereta yang sedang dibalapkan empat ekor kuda yang kabur itu. Semua orang terbelalak heran melihat betapa di tempat kusir tadi kini sudah berdiri seorang gadis yang manis sekali. la bukan lain adalah Kui Hong! Ketika tadi ia melihat kereta dibawa kabur dan kusirnya terpental keluar kereta, Kui Hong cepat lari menghadang dan ketika kereta itu lewat, ia pun mempergunakan kelincahan tubuhnya, melompat ke atas kereta dan segera ia menyambar kendali kuda yang terlepas.
Dengan kekuatan sin-kangnya, ia lalu menarik kendali kuda itu, memaksa kepala empat ekor kuda itu meronta, melonjak dan mempergunakan tenaga mereka untuk melepaskan kendali yang menarik kepala mereka ke belakang, namun sia-sia saja dan akhirnya, biarpun mereka itu meringkik-ringkik, mereka tidak mampu kabur lagi. Dengan kepala ditarik ke belakang seperti itu mau tidak mau mereka menghentikan lari mereka dan kereta itupun berhenti. Pintu kereta dibuka dari dalam dan keluarlah seorang laki-laki setengah tua bersama seorang laki-laki muda. Mereka berpakaian serba
(Lanjut ke Jilid 16)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
indah, pakaian bangsawan. Pria yang usianya lebih dari lima puluh tahun dan bertubuh tegap itu nampak tenang ketika menuruni kereta, akan tetapi orang kedua, seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun nampak pucat dan kedua kakinya gementar ketika dia menuruni kereta. Kusir kereta segera naik ke atas kereta dengan pipi lembam dan pakaian koyak-koyak.
"Terima kasih, nona, terima kasih...!"
Katanya sambil menerima kendali kuda dari tangan gadis itu. Kui Hong hanya mengangguk lalu iapun meloncat turun. Buntalan panjang tadi masih melekat di punggungnya dan ia sama sekali tidak kelihatan tegang, masih tetap tenang seolah-olah apa yang ia lakukan hanyalah permainan kanak-kanak saja. Pembesar itu memandang kepadanya dan mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah mengenal nona manis itu. Sebaliknya, Kui Hong yang memandang kepadanya juga segera menghampiri dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada.
"Ah, kiranya, Cang Tai-jin yang berada di dalam Kereta!"
Serunya gembira sekali karena ternyata pejabat pemerintah yang ditolongnya itu adalah seorang pembesar yang amat dikaguminya dan pernah dikenalnya, yaitu Menteri Cang Ku Ceng yang setia dan bijaksana. Menteri itu yang sejak tadi sudah merasa mengenal Kui Hong, kini melangkah maju mendekat dan membalas penghormatan gadis itu.
"Maafkan aku, rasanya aku pernah mengenalmu, nona, akan tetapi aku lupa lagi kapan dan di mana."
Kui Hong tersenyum, tidak tersinggung walaupun pembesar ini lupa kepadanya. Maklum, sebagai pejabat tinggi yang berhubungan dengan banyak sekali orang, tentu saja tidak mungkin Cang Taijin ingat semua orang yang pernah dikenalnya.
"Kita pernah saling jumpa ketika para pendekar membantu pasukan Cang Taijin membasmi penberontak Kulana..."
"Ah, benar! Nona adalah seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa itu. Maafkan kalau aku sudah lupa, dan siapakah namamu, Li-hiap (pendekar wanita)?"
"Nama saya Cia Kui Hong, Taijin."
"She Cia? Ah, sekarang aku ingat. Li-hiap adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan? Li-hiap adalah seorang di antara para pendekar wanita muda yang kami kagumi. Dan sekarang, Li-hiap pula yang telah menyelamatkan kami dari bahaya. Sun-ji, (anak Sun), ini adalah pendekar wanita Cia Kui Hong dari Cin-ling-pai yang telah menyelamatkan kita tadi. Li-hiap, ini adalah puteraku Cang Sun."
Kui Hong memberi hormat kepada pemuda itu dan diam-diam ia kecewa. Ia mengenal Cang Taijin sebagai seorang pembesar yang bijaksana, setia dan juga pandai, akan tetapi mengapa puteranya ini demikian penakut? Memang tampan, akan tetapi tidak memiliki keagungan dan wibawa seperti ayahnya, bahkan pandang matanya mengandung kecabulan ketika menjelajahi tubuhnya.
"Nona Cia Kui Hong, terima kasih atas pertolonganmu."
Kata Cang Sun sambil tersenyum.
"Cia-lihiap, kulihat engkau agaknya baru saja masuk ke kota ini? Buntalan pakaianmu masih kau gendong..."
Kata pembesar itu.
"Memang, baru pagi ini saya memasuki kota Pao-teng ini, Tai-jin."
"Kalau begitu, mari engkau ikut bersama kami, Li-hiap, menjadi tamu kami yang terhormat."
"Saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja, Tai-jin."
"Ah, sama sekali tidak, Li-hiap. Kami mempunyai rumah di Pao-teng sini, dan keluargaku akan merasa girang sekali menerimamu sebagai seorang tamu."
"Akan tetapi, saya ingin mengunjungi keluarga paman Cia Sun di dusun Ciang-si-bun sebelah selatan kota raja."
Kata Kui Hong. Alasan ini bukan dicari-cari karena memang ia ingin berkunjung ke rumah pendekar Cia Sun.
Sebetulnya, Cia Sun masih terhitung paman dari ayahnya, akan tetapi karena usia Cia Sun sebaya dengan ayahnya, ia sudah biasa menyebutnya paman saja. Memang hubungannya dengan keluarga ini cukup dekat. Cia Sun bukan saja mempunyai hubungan darah dengan ayahnya, akan tetapi juga isteri Cia Sun yang bernama Tan Siang Wi adalah seorang tokoh dan murid Cin-ling-pai, murid kong-kongnya. Dan puteri mereka, Cia Ling juga sudah dikenalnya dengan baik sekali ketika mereka bersama terlibat dalam gerakan pembasmian gerombolan pemberontak yang dipimpin Kulana. Ia bukan hanya ingin berkunjung, melainkan juga ingin mencari jejak Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, dan bertanya kepada keluarga pendekar itu kalau-kalau mereka mendengar tentang dua orang yang dicarinya itu.
"Ciang-si-bun? Keluarga Cia Sun? Ah, jangan khawatir, akan kami antarkan karena kalau kami pulang ke kota raja juga melewati dusun itu, dan kami adalah sahabat baik pendekar Cia Sun! Kita bermalam di Pao-teng hari ini dan besok kita ke kota raja, singgah di rumah keluarga pendekar Cia Sun. Engkau harus suka menggembirakan kami dengan merayakan Sin-cia di rumah kami di kota raja, Li-hiap."
Melihat sikap yang amat ramah dan kesungguhan hati pejabat tinggi yang bijaksana itu, Kui Hong tidak dapat menolak lagi.
Ia merasa kurang enak kalau menolak terus setelah pembesar itu bersikap sedemikian ramahnya. Dan iapun tahu. bahwa Menteri Cang Ku Ceng ini memiliki kedudukan yang amat tinggi, bahkan dia dihormati oleh semua pejabat lain. Hal itu sudah dilihatnya ketika mereka bersama menghadapi gerombolan yang dipimpin Kulana dan kawan-kawannya. Sungguh merupakan suatu kehormatan besar yang membanggakan kalau menjadi tamu pembesar ini, apa lagi tamu kehormatan! Setelah Kui Hong menerima undangannya, Cang Tai-jin merasa girang bukan main. Dia mempersilakan Kui Hong duduk di dalam kereta bersamanya, dan menyuruh puteranya, Cang Sun untuk menunggang kuda. Dan berangkatlah kereta yang dikawal itu meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata banyak orang dengan kagum.
Mereka bukan saja kagum melihat gadis manis yang menyelamatkan Cang Tai-jin, dengan keberanian luar biasa telah mampu menghentikan kereta yang dibawa kabur empat ekor kuda, melainkan juga kagum melihat gadis itu menjadi tamu terhormat dari seorang menteri yang demikian terkenal seperti Cang Tai-jin. Cang Ku Ceng adalah seorang menteri yang bukan saja pandai dan bijaksana, akan tetapi juga sederhana. Karena dia melaksanakan tugasnya tanpa dinodai perbuatan korup, seperti pembesar lain yang menyalahgunakan kedudukan untuk memperkaya diri, maka kehidupan keluarganya yang hanya mengandalkan penghasilan halal sebagai seorang menteri, tidak ter lalu berlebihan. Isterinya berasal dari Poa-teng, maka tidak mengherankan kalau menteri ini memiliki sebuah rumah di kota ini.
Rumahnya besar, akan tetapi tidak mewah sekali, tidak seperti rumah para pembesar lain yang biarpun pangkatnya belum setinggi Cang Tai-jin, akan tetapi dalam hal kemewahan, menyaingi kehidupan kaisar sendiri. Isteri dan dua orang selir Cang Tai-jin menerima Kui Hong dengan gembira dan ramah sekali sehingga lenyaplah perasaan rikuh dari hati gadis itu. Hanya seorang saja di dalam keluarga itu yang tidak begitu ia sukai yaitu Cang Sun. Pemuda ini selalu memandang kepadanya dengan sinar mata penuh nafsu. Walaupun di depan ayahnya pemuda itu kelihatan pendiam dan tidak pernah mengganggunya, namun sinar mata dan senyumnya jelas membayangkan kegenitan yang cabul! Setelah bicara dengan isteri dan dua orang selir Cang Tai-jin, baru Kui Hong tahu bahwa pemuda itu adalah putera seorang di antara selir-selir itu, dan hanya Cang Sun seoranglah keturunan Cang Tai-jin.
Isteri Menteri Cang adalah seorang wanita yang lembut dan ramah sekali dan ia segera akrab dengan Kui Hong, nampak betapa nyonya yang tidak mempunyai keturunan itu amat sayang kepada Kui Hong. Dan melihat keakraban keluarga itu terhadap dirinya, Kui Hong merasa tak enak kalau terus disebut Li-hiap (pendekar wanita), maka ia minta agar mereka menyebut namanya saja, tanpa sebutan pendekar wanita. Setelah bermalam di rumah keluarga Cang semalam di Pao-teng, pada keesokan harinya, Cang Tai-jin menyuruh puteranya mengantar isteri dan dua orang selirnya pulang lebih dulu ke kota raja menggunakan sebuah kereta besar, sedangkan dia sendiri bersama Kui Hong berkunjung ke rumah keluarga Cia Sun. Ketika komandan pengawal hendak membagi pasukan pengawal. Menteri Cang tertawa.
"Ha-ha-ha, aku melakukan perjalanan bersama nona Cia Kui Hong,"
Katanya kepada komandan pengawal.
"Ia sudah merupakan kekuatan pengawal yang tidak kalah oleh seratus orang perajurit pengawal!"
Dan dia memerintahkan kepala pasukan pengawal itu untuk mengawal kereta keluarganya saja. Dia sendiri menunggang kuda bersama Kui Hong dan menuju ke dusun Ciang-si-bun.
Cia Sun adalah seorang pendekar kenamaan yang berilmu tinggi. Dia putera pendekar dari Lembah Naga Cia Han Tong ketua Pek-liong-pang. Sebagai putera seorang pendekar sakti, juga menjadi murid dari Go-bi San-jin, maka Cia Sun memiliki kepandaian yang tinggi. Namun wataknya sederhana dan pendiam, halus berwibawa. Dia tidak pernah menonjolkan diri dan kini, setelah usianya empat puluh tiga tahun lebih, dia bahkan jarang sekali muncul di dunia persilatan. Dia tin tinggal di dusun Ciang-si-bun bersama isterinya yang bernama Tang Siang Wi. Walaupun isterinya tidak selihai dia, namun Tang Siang Wi yang sekarang berusia empat puluh satu tahun itu bukanlah wanita lemah.
Ia pernah menjadi murid kesayangan ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kong Liang, juga di gembleng oleh isteri ketua itu. bahkan ketika masih muda, pernah ia terkenal di dunia persilatan dengan julukanToat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena ia bersikap ganas dan tak mengenal ampun terhadap para penjahat. Suami isteri ini hanya mempunyai seorang anak, yaitu anaka perempuan yang bernama Cia Ling atau selalu di sebut Ling Ling. Ling Ling yang kini berusia delapan belas tahun itu telah menikah dan kini tinggal bersama suaminya yang bernama Can Sun Hok di kota Siang-tan. Can Sun Hok seorang pemuda perkasa rang kaya raya. Setelah Ling Ling pergi meninggalkan rumah orang tuanya untuk mengikuti suaminya, maka Cia Sun dan isterinya hanya hidup berdua dan seringkali merasa kesepian.
Karena dia seorang pendekar besar yang kenamaan, maka beberapa orang pejabat pemerintah kadang suka minta bantuannya untuk membasmi penjahat dan mengamankan daerahnya. Bahkan Menteri Cang Ku Ceng yang bijaksana dan dapat menghargai para pendekar, setelah mendengar namanya lalu menghubunginya dan setelah bercakap-cakap, Menteri Cang merasa cocok sekali dengan Cia Sun sehingga seringkali mereka saling berkunjung. Terjalinlah persahabatan antara menteri dan pendekar itu. Di dusun Ciang-si-bun sendiri, Cia Sun dan isterinya dikenal sebagai suami isteri dermawan, dan karena semua penduduk dusun itu mengenal siapa mereka, tahu bahwa suami isteri pendekar itu mempunyai banyak kenalan di kalangan pembesar tinggi, maka tentu saja mereka semakin di hormati.
Penduduk dusun Ciang-si-bun tidak merasa heran lagi kalau ada kereta pembesar dari kota raja datang berkunjung ke rumah keluarga pendekar itu, kereta yang dikawal oleh pasukan yang gagah. Akan tetapi, ketika mereka melihat Menteri Cang datang dengan seorang gadis cantik yang gagah berdua saja dan hanya berkuda tanpa pengawal, banyak penduduk memandang heran. Akan tetapi Cia Sun dan isterinya yang menyambut dua orang tamu itu tidak merasa heran setelah mereka tahu bahwa menteri itu datang bersama Cia Kui Hong yang mereka kenal sebagai seorang gadis gemblengan yang gagah perkasa. Mereka tadinya agak pangling, akan tetapi setelah Kui Hong memperkenalkan diri, isteri Cia Sun, yaitu Toat-beng Sian-li Tang Siang Wi segera merangkul murid keponakan itu dengan gembira sekali.
"Aih, kiranya engkau, Kui Hong! Pantas saja Cang Tai-jin datang berkunjung tanpa pengawal, kiranya ada engkau! Mari, mari, silakan masuk."
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menggandeng tangan gadis itu dan diajaknya masuk ke dalam setelah memberi hormat kepada kepada Cang Tai-jin.
Cang Tai-jin memang seorang pejabat tinggi yang amat bijaksana. Dia tidak pernah mengangkat dirinya tinggi-tinggi karena kedudukannya. Biarpun keluarga Cia Sun hanya rakyat biasa, akan tetapi setelah bersahabat, dia tidak memperkenankan keluarga itu memberi penghormatan yang berlebihan kepadanya, maka sambutan Cia Sun dan isterinya juga sederhana saja. Sebagai seorang menteri, dia layak dihormati dengan berlutut, akan tetapi dia tidak mau seorang sahabatnya menghormatnya sambil berlutut. Sungguh merupakan sikap yang amat bijaksana dan karena sikapnya inilah maka Cang Tai-jin amat dikenal dan disayang oleh rakyat. Cia Sun diam-diam merasa heran bagaimana menteri itu kini berkunjung bersama Kui Hong dan apa hubungan antara menteri itu dan puteri ketua cin-ling-pai itu demikian akrabnya.
"Kau tentu heran melihat aku datang bersama Kui Hong ke sini!"
Pejabat tinggi itu mendahului ketika dia melihat sikap Cia Sun, setelah mereka berempat duduk di ruangan dalam. Cia Sun mengangguk.
"Benar sekali, Tai-jin. Bagaimana Tai-jin dapat bersama Kui Hong dan agaknya ada keperluan yang amat penting dalam kunjungan Tai-jin sekali ini."
Menteri Cang menggeleng kepalanya.
"Sama sekali tidak, bahkan ini hanya kunjungan sambil lalu saja, untuk menemani Kui Hong yang ingin berkunjung ke sini. Kau tahu, Taihiap, kemarin, Kui Hong telah menyelamatkan aku dari bahaya maut!"
"Ahh?"
Cia Sun dan isterinya terkejut mendengar ini.
"Aih, Cang Tai-jin terlalu membesarkan, harap paman dan bibi tidak menerimanya dengan sungguh-sungguh. Yang benar, kereta yang ditumpangi Cang Tai-jin dan puteranya dibawa kabur oleh empat ekor kuda yang menariknya dan aku hanya menenangkan kuda-kuda itu. Dan sebelum itu, memang aku sudah pernah berkenalan dengan Cang Tai-jin, yaitu ketika penumpasan gerombolan Kulena dahulu itu. Tentu paman dan bibi sudah mendengarnya dari Ling Ling. Oya, di mana sekarang Ling Ling, paman? Aku ingin sekali bertemu dengannya."
Suami isteri itu memandang kepada Kui Hong, dan disebutnya nama puteri mereka itu membuat hati mereka terasa perih. Telah terjadi malapetaka atas diri puteri mereka, akan tetapi menurut keterangan Ling Ling, Kui Hong adalah satu-satunya orang yang dipercaya puteri mereka, itu tahu pula akan malapetaka yang menimpa diri Ling Ling.
Peristiwa itu terjadi ketika Ling Ling berada di antara para pendekar yang membantu Cang Tai-jin membasmi gerombolan Kulana. Gadis yang sejak kecil telah mempelajari ilmu silat dan telah menjadi seorang pendekar wanita yang cukup tangguh, pada suatu malam telah dibuat tidak berdaya dan diperkosa seorang pria! Tadinya Hay Hay Si Pendekar Mata Keranjang yang dituduh sebagai pemerkosanya, akan tetapi kemudian diketahui bahwa yang melakukan perbuatan biadab itu adalah Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah, penjahat Jai-hwa-jat (Pemetik Bunga) yang amat tersohor itu. Masih baik nasib puteri mereka bahwa seorang pemuda perkasa yang jatuh cinta kepadanya, yaitu Can Sun Hok, tetap mencintanya dan bahkan meminangnya walaupun dia tahu akan malapetaka dan aib yang menimpa diri gadis yang dicintanya itu.
"Ling Ling telah menikah dan sekarang ia turut dengan suaminya ke Siang-tan."
Kata isteri Cia Sun singkat. Berseri wajah Kui Hong mendengar berita itu. Sukurlah, demikian bisik hatinya. Kiranya Can Sun Hok, cucu Pangeran Can Seng Ong itu adalah seorang pemuda yang setia dalam kasihnya. Dia tahu bahwa Can Sun Hok seorang pemuda yang baik sekali walaupun Can Sun Hok pernah mendendam kepada ibunya dan pernah memusuhi ibunya.
Hal itu adalah karena Can Sun Hok hendak membalaskan kematian ibu kandungnya.Ibu kandung Can Sun Hok adalah mendiang Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa (Dewi Racun Wangi), seorang tokoh sesat yang tewas di tangan pendekar Ceng Sui Cin, ibu kandungnya. Akan tetapi, ibunya dapat menyadarkan Sun Hok akan kejahatan ibu kandungnya sehingga pemuda itu suka menghabiskan dendamnya. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa Can Sun Hok adalah seorang pemuda yang gagah perkasa. Hanya seorang gagah saja yang mampu menyadari kesalahan pihaknya sendiri. Karena itu ketika mendengar keterangan bibinya bahwa kini Ling Ling telah pindah ke rumah suaminya di kota Siang-tan, ia tidak meragukan lagi bahwa suami gadis itu tentulah Can Sun Hok yang rumahnya di kota itu.
"Jadi ia telah menikah dengan Can Sun Hok? Bagus sekali! Aku ikut merasa berbahagia, paman dan bibi. Akan tetapi, mengapa aku tidak diberitahu? Keluarga kami tidak ada yang diundang..."
"Maafkan kami, memang pernikahan itu tidak dirayakan, atas kehendak mereka berdua. Karena tidak dirayakan, kamipun tidak mengundang tamu, apa lagi yang dari jauh karena hanya akan merepotkan saja. Harap maklum."
Kata Cia sun dan Kui Hong tentu saja maklum. Dalam keadaan ternoda aib seperti keadaan Ling Ling, ia dapat memaklumi kalau pernikahan itu dilakukan secara sederhana dan diam-diam ia makin iba kepada Ling Ling dan makin berterima kasih kepada Can Sun Hok.
"Aku dapat memaklumi, paman dan bibi. Tidak mengapalah, kelak kalau ada kesempatan, tentu aku akan berkunjung ke rumah mereka di Siang-tan."
"Sebetulnya, urusan apa yang membawamu sampai ke sini, Kui Hong? Apakah hanya pesiar dan sengaja hendak berkunjung ke rumah kami ataukah ada kepentingan lain?"
Cia Sun bertanya. Kui Hong memandang kepada Cang Tai-jin dan menteri ini sambil tersenyum berkata,
"Apakah kehadiranku mengganggu dan membuat kalian sekeluarga menjadi tidak leluasa untuk bicara? Kalau begitu, biar aku menyingkir ke ruangan lain lebih dulu."
"Ah, tidak sama sekali, Tai-jin."
Kata Kui Hong.
"Jangan begitu, membuat saya tidak enak saja. Kalau orang lain mungkin saja kami anggap orang asing yang tidak berhak ikut mendengar, Tai-jin, akan tetapi Tai-jin kuanggap bukan orang lain lagi. Baiklah, akan saya ceritakan keperluan saya maka sampai ke sini."
Asmara Berdarah Eps 36 Asmara Berdarah Eps 36 Asmara Berdarah Eps 31