Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Mata Keranjang 3


Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Siapakah kalian?"

   Tanyanya.

   "Lihiap (pendekar wanita), kami adalah tuan dan nyonya rumah, dan engkau adalah tamu kami. Mari silakan ikut dengan kami!"

   Kata Bi Hwa. Sui Cin mengerutkan alisnya.

   "Apa maksudmu? Aku tidak mengenal kalian dan tidak akan menjadi tamu kalian."

   Kecurigaannya semakin menebal.

   "Aihh, Nyonya Cia Hui Song, bukankah engkau sedang mencari suamimu, anakmu dan ayah mertuamu?"

   Sui Cin terkejut. Ternyata apa yang dikhawatirkannya benar. Mereka ini tahu tentang keluarganya yang hilang!

   "Di mana mereka? Siapa kalian?"

   Bentaknya. Bi Hwa tersenyum.

   "Siapa adanya kami tidaklah penting bagimu, Lihiap. Yang penting, kami mengundangmu untuk menjadi tamu kami, dan kami berjanji bahwa engkau pasti akan dapat berjumpa dengan Kakek Cia, suamimu, dan puteramu dalam keadaan selamat."

   Wajah Sui Cin seketika menjadi merah saking marahnya.

   "Aku tidak sudi menjadi tamu kalian! Jadi kalian telah menawan keluargaku? Katakan, benarkah itu?"

   Kembali Bi Hwa tersenyum, merasa menang.

   "Bukan menawan. Mereka menjadi tamu-tamu kami, tamu terhormat."

   "Hayo bebaskan mereka sekarang juga!"

   Bentak Sui Cin sambil mengepal kedua tinju tangannya.

   "Hemmm, engkau galak benar, Lihiap. Bagaimana kalau kami tidak mau membebaskan mereka?"

   "Keparat, berarti kalian sudah bosan hidup! Akan kusiksa kalian, akan kubunuh kalian kalau tidak segera membebaskan Kakek Cia, suamiku, dan puteraku!"

   "Ho-ho-ha-ha, betapa sombongnya perempuan ini!"

   Siok Hwa Cu sudah melangkah ke depan dan memandang Sui Cin dengan sikap mengejek, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja suaranya yang menggetar penuh kekuatan sihir itu membentak, matanya menatap tajam wajah Sui Cin.

   "Ceng Sui Cin, engkau bertemu dengan orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi. Hayo engkau cepat berlutut dan memberi hormat kepada kami!"

   Diam-diam Kim Hwa Cu dan Lan Hwa tu juga mengerahkan kekuatan sihir mereka melalui pandang mata, untuk membantu usaha Siok Hwa Cu menundukkan nyonya lihai itu dengan sihir. Sui Cin tiba-tiba merasa betapa tubuhnya tergetar, jantungnya terguncang dan semangatnya melayang. Hampir saja kedua kakinya berlutut. Akan tetapi ia segera tahu bahwa lawan menggunakan kekuatan sihir.

   Tidak percuma ia menjadi puteri Pendekar Sadis, dan ibunya Toan Kim Hong pernah menjadi seorang datuk besar berjuluk Lam Sin. Maka, tentu saja dari ayah ibunya selain ilmu silat, ia telah dibekali kekuatan batin untuk menghadapi serangan sihir. Ia mengerahkan tenaga itu untuk menolak dan getaran pada tubuhnya menghilang, juga dorongan untuk bertekuk lutut lenyap. Sebaliknya, dengan marah sekali ia lalu menyerang tosu muka hitam yang gendut pendek itu. Karena ia marah sekali, maka begitu menyerang, Ceng Sui Cin sudah menggunakan sebuah jurus dari Hek-liong Sin-ciang! Ilmu silat sakti ini hanya terdiri dari delapan jurus saja, namun karena ilmu ini merupakan ilmu andalan ayahnya yang mempelajarinya dari Bu-beng Hud-couw, maka hebatnya bukan main. Dahsyat sekali! Begitu tubuhnya merendah, wanita cantik ini menerjang ke depan dan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong.

   Siok Hwa Cu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi, maka dia agak memandang rendah kepada wanita ini. Sebetulnya, dia juga sudah mendengar akan kelihaian pendekar wanita Ceng Sui Cin, akan tetapi, sudah menjadi ciri orang yang menjadi budah nafsu, yang selalu mengejar kesenangan melalui cara kekerasan, dia memandang diri sendiri terlalu tinggi sehingga memandang rendah orang lain. Melihat wanita itu tidak terpengaruh oleh ilmu sihirnya saja, sebetulnya sudah merupakan peringatan yang cukup untuknya. Akan tetapi, dia menganggap gerakan serangan Ceng Sui Cin itu sebagai gerakan serangan yang tidak ada artmya, maka dengan sombong dia menghadapi dengan kedua tangan menyambar, maksudnya untuk menangkap pergelangan kedua tangan lawannya itu

   "Desssssss...!"

   Pertemuan antara kedua pasang lengan itu hebat sekali. Kim Hwa Cu dan Lan Hwa Cu hendak memperingatkan saudara mereka, namun terlambat. Tubuh Siok Hwa Cu terjengkang dan terbanting keras. Ketika dia dibantu kedua orang saudaranya bangkit dia muntah darah! Akan tetapi Sui Cin tidak berhenti sampai di situ saja. Ia kini tahu bahwa tentu keluarganya ditawan oleh orang-orang jahat ini, maka setelah tosu gendut pendek itu roboh, ia pun terus menyerang lagi, kini ia menyerang wanita cantik yang tadi menjadi juru bicara. Kembali Sui Cin mempergunakan jurus dari Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga), dan kini kedua tangannya bukan mendorong seperti tadi, melainkan menyerang dari atas dan bawah, tangan kiri mencengkeram ke arah kepala, tangan kanan mencengkeram ke arah perut.

   Bukan hanya cengkeraman itu yang berbahaya, akan tetapi terutama sekali tenaga yang terkandung dalam serangan inilah yang amat kuat sehingga tadi ketika Siok Hwa Cu menangkis, seketika dia terjengkang dah muntah darah! Akan tetapi biarpun ilmu kepandaian Tok-ciangBi Moli Su Bi Hwa tidak lebih tinggi dari kepandaian Siok Hwa Cu atau dua orang gurunya yang lain, kecerdikannya jauh lebih menang. Wanita ini maklum betapa dahsyatnya serang Ceng Sui Cin, maka, dia tidak sebodoh gurunya ke dua tadi. Ia tidak berani langsung menghadapi serangan itu, melainkan cepat melompat jauh ke belakang dan begitu tangan kirinya bergerak, sinar lembut menyambar ke arah penyerangnya. Namun, jarum-jarum itu runtuh tertiup hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Sui Cin.

   "Jahanam! Kubunuh, kalian semua kalau tidak cepat membebaskan semua keluargaku!"

   Sui Cin membentak dan biarpun ia masih tetap nampak cantik, namun kini empat orang musuhnya menjadi gentar juga. Pendekar wanita itu bagaikan seekor naga betina yang marah.

   "Tahan dulu!"

   Su Bi Hwa membentak nyaring.

   "Perempuan rendah, mau bicara apa lagi engkau?"

   Cui Sin memandang marah.

   "Bebaskan mereka atau kubunuh kalian! Tidak ada urusan lain!"

   "Lihiap, harap tenang dulu. Kami bukan bermaksud buruk, tidak ingin bermusuhan denganmu. Sekali lagi, kami mengundangmu baik-baik sebagai tamu kami, dan kami berjanji tidak akan mengganggu keluargamu. Akan tetapi kalau engkau hendak menggunakan kekerasan, terpaksa kami akan lebih dulu membunuh Kakek Cia, suamimu dan puteramu!"

   "Bedebah! Engkau mengancam dan memerasku?"

   "Bukan mengancam kosong atau memeras, melainkan merupakan pilihan bagimu. Engkau menyerah baik-baik dan keluargamu selamat atau engkau memusuhi kami dan keluargamu akan kami bunuh lebih dulu."

   Akan tetapi, sekali ini mereka berhadapan dengan Ceng Sui Cin, puteri dan anak tunggal dari Pendekar Sadis! Wanita ini tidak mungkin dapat diancam dan digertak!

   "Siluman betina,dan kalian tosu-tosu palsu, bukalah telingamu dan dengar baik-baik. Nyawa keluargaku berada di tangan Tuhan! Bukan di tangan-tangan kotor kalian. Bagiku, aku lebih senang melihat mereka itu tewas sebagai orang-orang gagah, daripada hidup menyerah kepada kalian iblis-iblis busuk! Nah, sekarang bebaskan mereka, baru kami akan mempertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni kalian atau tidak!"

   Bukan main kerasnya ucapan ini, dan tahulah Bi Hwa bahwa ia dan tiga orang gurunya tidak mungkin dapat membujuk wanita ini, tidak mungkin menundukkannya dengan sikap halus atau dengan ancaman. Wanita seperti ini hanya dapat ditundukkan dengan kekerasan! Akan tetapi, biarpun mereka mengeroyoknya berempat dan pasti akan mampu merobohkan wanita itu, mereka masih terancam bahaya bahwa seorang di antara
(Lanjut ke Jilid 03)
Jodoh Si Mata Keranjang (Seri ke 11 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03
mereka mungkin akan tewas atau terluka parah menghadapi amukan pendekar wanita yang nekat ini!

   "Kalau begitu, sekarang juga kami akan membunuh puteramu dan suamimu!"

   Bi Hwa berseru jengkel.

   "Iblis betina, engkau yang akan kubunuh lebih dahulu!"

   Sui Cin membentak dan menyerang dengan dahsyat. Bi Hwa sudah mengelak cepat, namun gerakannya kalah cepat dan hawa pukulan dahsyat dari Hok-liong Sin-ciang membuat ia terhuyung. Tiga orang gurunya sudah menyerang Sui Cin dengan senjata mereka.

   Terutama sekali Siok Hwa Cu yang tadi sudah terpukul dan terluka dalam, kini dengan marah menyerang dengan golok besarnya yang berat. Kim Hwa Cu menyerang dengan siang-kiam (sepasang pedang). Lan Hwa Cu menggunakan sehelai sabuk yang kedua ujungnya berupa bola dan bintang baja. Sedangkan Su Bi Hwa juga sudah mencabut sebatang pedang. Biarpun ia sendiri bertangan kosong, dikeroyok empat orang yang memegang senjata tajam, sedangkan tingkat empat orang itu tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya, Sui Cin sama sekali tidak menjadi gentar. Wanita ini memang terlatih, dan selain ia telah mewarisi ilmu-ilmu pilihan, juga semangatnya besar bukan main, pantang mundur, apalagi sekarang ia berusaha untuk menyelamatkan ayah suaminya, puteranya dan suaminya, tentu saja ia mengamuk mati-matian.

   Untuk menghindarkan diri dari sambaran empat senjata lawan, ia telah mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dipelajarinya dari ibunya, seorang ahli gin-kang yang sukar dicari tandingannya, juga ia memainkan gerakan kaki yang berdasarkan ilmu Bu-eng Hui-teng (Ilmu Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Maka, tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang lenyap dari pandangan mata empat orang pengetoyoknya! Biarpun ia sendiri tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas, namun Sui Cin membuat empat orang pengeroyok itu terkejut dan gentar. Tiba-tiba yang biarpun menjadi murid selalu merupakan pimpinan mereka, berseru,

   "Pergi...!!"

   Ini merupakan isyarat kepada tiga orang gurunya. Mereka berloncatan pergi dan pada saat itu Ceng Sui Cin hendak mengejar, Lan Hwa Cu melemparkan sebuah benda ke atas tanah dan terdengar ledakan disusul asap hitam yang membuat tempat itu menjadi gelap. Sui Cin terkejut, karena khawatir kalau asap itu beracun, terpaksa ia melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dari pengaruh asap.

   Akan tetapi ternyata asap itu tidak beracun, dan ketika ia mencari-cari, empat orang itu sudah lenyap, tak nampak lagi bayangan mereka. Sui Cin membanting-banting kakinya dengan marah sekali. Ia menyumpah-nyumpah dan memaki mereka mencari ke sana-sini. Ia memasuki hutan yang gelap itu, akan tetapi karena tidak tahu ke mana arah yang ditempuh empat orang tadi, ia menjadi bingung. Selagi ia menyusup-nyusup di dalam kegelapan malam di hutan lebat itu, di mana sinar bulan sama sekali tidak mampu memberi penerangan, meraba-raba dan tidak tahu arah ke mana ia bergerak. Akhirnya Sui Cin terpaksa berhenti di bawah sebatang pohon besar. Kecerdikannya belaka yang mencegah ia melanjutkan pencariannya.

   Di dalam hutan yang gelap itu, amat berbahaya melakukan pencarian kepada empat orang yang lihai dan curang itu. Ia akan mudah terjebak, mudah diserang dari kegelapan. Biarpun ia mengenal benar tempat ini, karena ketika masih muda ia sering bermain-main di bukit-bukit sekitar Cin-ling-san, namun dalam kegelapan malam ini ia tidak akan mampu membela diri dengan baik kalau diserang dari kegelapan. Ia duduk bersila, mengatur pernapasan dan mengumpulkan hawa murni. Ia harus mengumpulkan tenaganya dan besok pagi ia harus segar kembali karena ia membutuhkan kekuatan untuk mencari keluarganya sampai dapat, untuk melawan pihak musuh yang kuat. Akan tetapi, baru saja ia bersamadhi belum dua jam, dan waktu kurang lebih baru jam tiga pagi, keadaan masih gelap, sinar matahari masih belum nampak, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang.

   "Su-pek-bo (uwa guru)...!"

   Sui Cin membuka mata dan menoleh ke arah datangnya suara. Ia melihat sinar obor dipegang oleh seseorang yang menuju ke tempat itu. Ia tidak mengenal suara itu, maka cepat ia meloncat dan menyusup di balik semak-semak, mendekati pembawa obor. Setelah dekat, baru ia melihat bahwa pemegang obor itu bukan lain adalah Ciok Gun! Ciok Gun terhitung pembantu dan murid Gouw Kian Sun, maka menyebut suaminya supek (uwa guru), dan menyebut ia supek-bo. Sekali menggerakkan kaki, ia meloncat dan tiba di depan Ciok Gun yang nampak kaget karena munculnya Ceng Sui Cin begitu tiba-tiba.

   "Su-pek-bo..."

   "Ciok Gun, dari mana saja engkau? Dan di mana...

   "

   "Ssttt, supek-bo, jangan terlalu keras bicara. Teecu (murid) tahu di mana mereka menawan su-kong (kakek guru), supek, dan sute (adik seperguruan)."

   Dia berbisik.

   "Bagus...!"

   Sui Cin berseru girang, juga dengan berbisik.

   "Di mana mereka? Apakah mereka semua selamat?"

   "Mereka selamat. Mari, supek-bo, kita harus cepat membebaskan mereka."

   Sui Cin tentu saja tidak mau banyak cakap lagi dan dengan hati tegang namun gembira, ia mengikuti Ciok Gun yang menyusup-nyusup melalui hutan itu, mendaki ke puncak bukit. Akan tetapi sebelum sampai ke puncak, di tengah hutan, Ciok Gun berhenti. Tak jauh dari situ, di depan mereka, nampak sebuah bangunan besar tersembunyi di antara pohon-pohon. Ada beberapa buah lampu tergantung di sudut bangunan. Sui Cin merasa heran sekali. Seingatnya, di bukit ini tidak terdapat rumah orang, apalagi sebuah bangunan yang cukup besar itu! Akan tetapi ia tidak banyak bertanya karena ia melihat Ciok Gun memadamkan obornya dan murid keponakan suaminya ini memberi isyarat dengan telunjut ke depan bibir agar ia tidak bicara. Dengan isyarat tangan, Ciok Gun mengajak supek-bo itu itu menghampiri bangunan dari samping dan dia membisikkan ucapan lirih sekali.

   "Supek-bo, teecu tahu di mana mereka ditawan. Harap supek-bo mengikuti teecu saja."

   Sui Cin mengangguk. Sedikit pun tentu saja ia tidak mencurigai murid Cin-ling-pai yang sudah dipercaya oleh ayah mertuanya sehingga diangkat menjadi pembantu dari Gouw Kian Sun ini. Ia hanya waspada terhadap ancaman yang mungkin datang dari luar, dan dengan berindap-indap ia mengikuti murid keponakan itu yang meloncati pagar halaman rumah gedung itu, kemudian mereka menuju ke belakang bangunan.

   Sebuah pintu kecil dari kayu bukan merupakan halangan berat bagi Ciok Gun. Dia mempergunakan tenaganya mendorong dan daun pintu itu pun terbuka. Mereka masuk dan Ciok Gun memberi isyarat kepada supek-bonya agar mengikutinya. Kini sinar subuh sudah mulai mengusir kegelapan malam. Akan tetapi lampu penerangan di bagian belakang rumah itu masih bernyala terang. Agaknya penghuni rumah itu masih tidur, kalau pun ada penghuninya. Namun Sui Cin tetap waspada sehingga andaikata saat itu ia diserang senjata rahasia sekali pun, tentu ia akan mampu menghindarkan diri. Karena hatinya tegang bercampur gembira akan bertemu kembali dengan suaminya, puteranya dan ayah mertuanya dalam keadaan selamat, kepercayaaan Sui Cin terhadap Ciok Gun itu agak berlebihan.

   Dalam keadaan tegang gembira itu, ia kehilangan kewaspadaan. Dalam keadaan biasa, wanita yang biasanya amat cerdik ini tentu merasa curiga melihat betapa Ciok Gun dapat memasuki bangunan itu dengan begitu leluasa, bahkan kini membawanya melalui lorong yang panjang dan berliku. Penawan keluarganya adalah orang-orang pandai, bagaimana mungkin seorang dengan tingkat kepandaian seperti Ciok Gun dapat menemukan keluarganya yang ditawan oleh para penjahat lihai itu? Namun, saat itu ia sama sekali tidak menaruh curiga terhadap Ciok Gun. Ciok Gun berhenti di depan sebuah pintu beruji besi yang terbuka. Ruangan itu kosong, ukurannya kurang lebih delapan kali sepuluh meter dan terdapat sebuah lampu gantung di tengah-tengah. Di seberang sana terdapat pula sebuah Pintu jeruji besi yang juga terbuka.

   "Supek-bo, di belakang kamar inilah ruangan tahanan. Kita menyeberang ke sana. supek-bo dulu, teecu takut..."

   Masih juga Sui Cin belum curiga. Ia mengangguk dan dengan hati-hati ia melangkah masuk lewat pintu yang terbuka itu. Ia bersiap-siap mehghadapi jebakan, kalau-kalau lantai itu terbuka atau ada senjata rahasia menyerang dari kanan kiri, atau atas bawah. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan ia pun melangkah terus. Ciok Gun melangkah di belakangnya. Ketika mereka tiba di tengah ruangan itu, tiba-tiba Ciok Gun menunjuk ke atas. Sui Cin melihat ke atas, akan tetapi tidak terjadi sesuatu di sana. Terdengar suara keras beradunya besi dengan besi dan kedua pintu besi di depan dan belakangnya itu kini telah tertutup! Mereka terjebak, terkurung ke dalam kamar itu.

   "Ciok Gun, mari kita jebol pintu itu!"

   Teriaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi tiba-tiba nampak sebuah benda dilempar dari luar dan sebuah pula dari belakang, terdengar dua kali ledakan dan kamar itu penuh asap putih!

   "Awas, Ciok Gun. Tahan napas, jebol pintu...!"

   Teriak Sui Cin, akan tetapi terlambat. Ia melihat Ciok Gun terhuyung lalu terbatuk-batuk dan roboh. Ia sendiri lalu mengerahkan tenaga dan menubruk pintu belakang untuk membobol pintu yang tertutup. Akan tetapi, terpaksa ia menarik diri lagi karena melalui jeruji besi, ada senjata-senjata golok dan pedang yang menyambutnya! Ia membalik dan hendak menjebol pintu depan. Akan tetapi kembali ia harus mundur karena dari pintu itu pun nampak senjata ditodongkan, siap menyambutnya.

   Ia segera membuka jubah luarnya, memutar-mutar jubah itu untuk mengusir asap keluar dari kamar melalui jeruji besi. Akan tetapi, kembali ada ledakan-ledakan dan asap semakin menebal. Betapa pun gigihnya Sui Cin mempertahankan diri, tentu saja ia tidak mungkin dapat menahan napas terlalu lama. Akhirnya terpaksa ia terengah, asap terhisap dan ia terbatuk-batuk, kepalanya pening, pandang matanya gelap dan pendekar wanita yang gigih ini pun akhirnya roboh pingsan di dekat Ciok Gun. Setelah siuman dari pingsannya, Sui Cin mendapatkan dirinya rebah di atas sebuah pembaringan, dalam sebuah kamar yang berpintu baja tebal dengan jeruji baja amat kuatnya. Ia merasa lega bahwa tubuhnya tidak terluka, dan ia pun tidak dibelenggu. Ketika ia bangkit duduk, ia mendengar suara lirih.

   "Sui Cin...!"

   Ia menoleh dan cepat meloncat ke dekat jendela beruji baja itu. Kiranya suaminya berada di sana, di dalam ruangan lain, terpisah beberapa meter dari jendela itu. Juga suaminya berdiri di balik jendela beruji baja.

   "Mana ayah dan Kui Bu?"

   Sui Cin bertanya. Keadaan suaminya tak perlu ia tanya lagi. Suaminya jelas selamat dan sehat, hanya tertawan seperti dirinya.

   "Mereka di kamar sebelah. Dalam sebuah kamar, kami dapat saling melihat dan bicara. Mereka selamat."

   Kata Hui Song.

   "Bagaimana mereka dapat menawanmu?"

   "Aku terjebak, dalam ruangan dan pingsan karena asap pembius. Aku bersama Ciok Gun yang juga roboh pingsan."

   "Hemm, kiranya mereka mempergunakan dia pula. Ciok Gun itu kaki tangan mereka."

   "Eh? Apa maksudmu?"

   Tentu saja Sui Cin merasa heran dan terkejut pula mendengar ini.

   "Mereka lebih dulu menawan Ciok Gun dan membuat dia menjadi seperti mayat hidup yahg mentaati semua perintah mereka. Ingatannya telah mereka kuasai melalui sihir dan racun."

   "Ahhh...! Tapi, siapa mereka dan mengapa mereka menawan kita?"

   "Iblis betina itu adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu adalah guru-gurunya."

   "Hemm, sudah kuduga mereka orang-orang Pek-lian-kauw, melihat alat peledak itu. Tapi mereka mau apa...?"

   "Mereka tidak mengaku, akan tetapi aku dapat menduga bahwa mereka agaknya hendak menguasai Cin-ling-pai dan akan mempergunakan nama Cin-ling-pai untuk maksud-maksud buruk."

   "Hemm, berbahaya sekali kalau begitu! Akan tetapi bagaimana mereka dapat menawanmu? Apakah juga karena jebakan dan asap pembius?"

   Sui Cin merasa penasaran sekali. Suaminya adalah seorang pendekar sakti, bagaimana sekarang dapat demikian mudahnya tertawan? Hui Song menghela napas panjang. Dia tahu bahwa isterinya tentu tidak setuju, akan tetapi dia pun tidak dapat berbohong.

   "Mereka itu hendak membunuh ayah dan Kui Bu di depan mataku, terpaksa aku menyerah."

   "Hemm...!"

   Sui Cin menahan hatinya yang hendak menegur. Diam-diam ia tidak dapat terlalu menyalahkan suaminya. Suaminya adalah seorang anak yang berbakti, juga seorang ayah yang amat mencinta puteranya. Bagaimana mungkin dia tega membiarkan ayahnya dan puteranya dibunuh?

   "Mereka berjanji tidak akan mengganggu ayah dan Kui Bu. Kalau mereka berani melanggar, aku pasti akan mengamuk dan mengadu nyawa dengan mereka!"

   "Kita berdua akan mengadu nyawa dengan mereka!"

   Sui Cin berkata penuh semangat.

   "Hi-hi-hik, sungguh mengagumkan sekali. Sepasang pendekar sakti Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin sungguh gagah perkasa!"

   Terdengar suara ketawa. Baik Hui Song maupun Sui Cin dapat melihat wanita yang berada di luar kamar tahanan itu melalui jeruji baja pintu kamar mereka. Kalau Hui Song memandang dengan sikap tenang dan sinar mata dingin, sebaliknya Sui Cin memandang dengan sinar mata seperti berapi-api.

   "Perempuan hina tak tahu malu. Kalian menggunakan cara yang amat curang dan pengecut! Kalau memang kalian orang-orang Pek-lian-kauw mempunyai kegagahan, mari kita bertanding sampai seribu jurus!"

   Su Bi Hwa menghadapi makian itu dengan senyum simpul.

   "Nyonya yang gagah, simpanlah kemarahanmu. Tidak baik untuk kesehatanmu dan kesehatan keluargamu."

   "Huh! Engkau jangan harap dapat menggertak aku. Kalau engkau melanggar janjimu kepada suamiku, aku pasti akan merobek-robek kulitmu, mencabuti semua uratmu dan mematahkan semua tulangmu!"

   Biarpun mulutnya masih tersenyum, namun wajah Bi Hwa berubah agak pucat dan ia merasa ngeri mendengar ancaman wanita itu. Ia teringat bahwa wanita ini adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, dan kenyataan ini saja sudah membuat bulu tengkuknya berdiri, apalagi mendengar ancaman yang luar biasa sadisnya tadi. Ia sudah mendengar tentang Pendekar Sadis di waktu mudanya.

   Berdiri bulu tengkuknya kalau ia mendengarkan cerita para tokoh kang-ouw yang tua tentang kekejaman Pendekar Sadis kalau menyiksa dan membunuh musuh-musuhnya. Dan yang mengeluarkan ancaman sekarang ini, adalah puteri Pendekar Sadis, anak tunggalnya! Tentu saja ia tidak tahu bahwa sejak kecil, ayah ibunya melarang Sui Cin untuk bersikap kejam, bahkan tidak membunuh kalau tidak sangat terpaksa. Sui Cin sama sekali tidak memiliki watak kejam seperti ayahnya dahulu, tidak pula aneh seperti ibunya dahulu. Akan tetapi begitu melihat seluruh keluarganya terancam bahaya, ia dapat berubah menjadi seorang yang amat ganas dan mungkin saja dapat melakukan kekejaman seperti yang diancamkannya tadi.

   "Tenanglah, Lihiap,"

   Kata Bi Hwa sambil tetap tersenyum untuk menyembunyikan perasaan ngerinya.

   "Kami tidak bermaksud buruk terhadap keluargamu. Kalau memang kami bermaksud buruk, tentu mereka itu tidak kami tawan, melainkan kami bunuh. Dan engkau boleh bertanya kepada mereka. Kami tidak pernah bersikap kasar, kami selalu menghormati mereka. Kalian hanya menjadi tamu kami untuk sementara saja. Kalau sudah selesai urusan kami, tentu kami akan membebaskan kalian disertai maaf kami yang sebesarnya."

   Setelah berkata demikian, tidak memberi kesempatan kepada Sui Cin untuk memaki lagi, Bi Hwa menghilang.

   "Sui Cin, tenanglah. Mereka adalah orang-orang yang jahat, keji dan curang. Kita harus berhati-hati, terutama untuk keselamatan ayah dan Kui Bu."

   "Hemm, menghadapi anjing-anjing busuk seperti orang-orang Pek-lian-kauw, tidak boleh kita terlalu mengalah. Kalau mereka memang tidak mengganggu keluarga kita, boleh kita pertimbangkan untuk melepaskan mereka. Akan tetapi sedikit saja mereka mengganggu keluarga kita, aku bersumpah akan membuat perhitungan sampai tuntas, dan akan mengejar mereka sampai ke negaranya sekali pun!"

   Hui Song yang maklum bahwa isterinya itu marah sekali karena terdorong kekhawatirannya terhadap keselamatan keluarga, hanya mengangguk-angguk. Memang ada baiknya isterinya memperlilihatkan sikap keras agar orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak berani bertindak sembarangan terhadap keluarga mereka. Akan tetapi diam-diam Hui Song amat mengkhawatirkan keadaan Cin-ling-pai yang kini ditinggalkan para pimpinan. Yang berada di sana tinggal Gouw Kian Sun! Dan dia tetap khawatir kalau puterinya, Cia Kui Hong pulang, tentu akan terjadi geger! Puterinya itu malah lebih galak dan lebih berani dibandingkan ibunya!

   "Aduh, sungguh berbahaya sekali...!"

   Berkali-kali gadis itu berseru khawatir. Namun pemuda yang mengemudikan perahu itu bersikap tenang saja, bahkan tersenyum-senyum menyaksikan kekhawatiran gadis itu. Mereka hanya berdua saja di dalam perahu kecil.

   "Jangan takut, manis. Aku sudah biasa di tempat ini. Kalau orang lain yang belum pernah tinggal di sini, pasti akan mengalami bahaya mengemudikan perahu di antara batu-batu karang tajam meruncing ini, apalagi kalau ombaknya sedang pasang dan banyak batu yang tidak nampak di permukaan air. Perahu itu dengan mahir dan cekatan sekali menggerakkan dayungnya dan moncong perahu terhindar dari tubrukan dengan batu karang hitam yang menonjol di permukaan air.

   Memang daerah itu amat berbahaya. Di permukaan air laut itu banyak terdapat batu-batu karang seperti barisan yang dipasang rapi, sengaja hendak menghalang perahu yang berani mendekat ke pulau itu. Dan pulau itu pun sukar didekati. Sebagian besar merupakan tebing yang tinggi sehingga tidak mungkin perahu mendekat dan para penumpangnya mendarat. Satu-satunya bagian yang landai hanyalah yang penuh batu karang itu! Dan bagian ini berbahaya sekali. Karena hanya bagian ini yang landai, maka ombak dengan bebasnya menyerbu ke darat dan menghantam batu-batu karang. Dan kadang-kadang, di antara batu-batu karang itu, nampak pula seperti batu karang kecil meruncing yang meluncur ke sana sini. Ada belasan buah banyaknya!

   Yang itu bukan batu karang, melainkan sirip ikan-ikan hiu yang amat ganas dan haus darah. Maka, kalau sampai ada perahu membentur karang dan pecah, penumpangnya terjatuh ke dalam air, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi. Gadis yang berada di perahu itu tidak nampak seperti seorang gadis pemalu dan bodoh. Sebaliknya, ia nampak pemberani dan cerdik. Usianya sekitar dua puluh tahun dan ia memiliki kecantikan yang khas Tibet. Rambutnya hitam panjang dikuncir menjadi dua. Sepasang matanya sipit, hidungnya agak besar dan mulutnya amat kecil mungil, wajah itu nampak manis sekali. Kulit tubuhnya putih kemerahan dan yang lebih menarik lagi adalah bentuk tubuhnya. Tinggi ramping dengan pinggul yang besar bulat dan dada yang montok menonjol. Memang ia peranakan Tibet.

   Ibunya seorang wanita Tibet yang cantik bernama Souli, sedangkan ayahnya adalah seorang pria Han, seorang tokoh, besar dunia hitam yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Ayahnya yang kini sudah tidak ada lagi itu berjuluk Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) dan bernama Tang Bun An. Gadis ini bernama Mayang dan ia pun bukan seorang gadis sembarangan saja. Ia adalah murid terkasih dari Kim Mo Sian-kouw. Seorang datuk persilatan yang lihai pula dan yang bertempat tinggal di Puncak Awan Kelabu di pegunungan Ning-jing-san. Ilmu silat yang dikuasai Mayang adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi di antaranya yang paling hebat adalah ilmu silat tangan kosong yang disebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan ilmu senjata pecut yang sukar ditandingi!

   Ada pun pemuda yang bersama ia naik perahu dan yang demikian pandainya mengemudikan perahu di antara batu-batu karang itu pun seorang pemuda yang amat menarik perhatian. Usianya sekitar dua puluh empat tahun, tubuhnya sedang namun tegap, sikap dan bicaranya halus dan sopan. Wajah pemuda ini tampak menarik, namun di dalam sinar mata nya yang kadang dingin redup itu terkadung sesuatu yang mengerikan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang bahkan lebih tinggi daripada Mayang, karena pemuda ini adalah seorang yang telah mewarisi atau mempelajari ilmu-ilmu yang dahsyat dari Pendekar Sadis, majikan pulau Teratai Merah. Dia bernama Sim Ki Liong dan tumbuh dewasa di pulau itu, menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya.

   Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu dia melarikan diri, minggat dari pulau Teratai Merah sambil membawa pusaka yaitu pedang Gin-hwa-kiam. Kemudian, di dalam petualangannya selama dua tahun lebih itu, berkali-kali dia bergaul dengan tokoh-tokoh sesat sehingga dia melakukan berbagai kejahatan termasuk pemberontakan. Akhirnya, dalam bentrokan dengan para pendekar, dia bertemu dengan Mayang, saling jatuh cinta dan agaknya perasaan cinta kasihnya terhadap Mayang gadis pendekar keturunan Ang-hong-cu ini, telah mengubah wataknya dan dia ingin kembali ke jalan kebenaran. Pedang pusaka Gim-hwa-kiam yang telah dirampas dari tangannya dan kembali ke tangan Cia Kui Hong, cucu Pendekar Sadis, oleh Kui Hong diserahkan kepadanya untuk dia bawa kembali ke pulau Teratai Merah!

   Dia ingin menghadap suhu dan subonya, mengembalikan pusaka dan mohon ampun, ditemani oleh kekasihnya, Mayang. Melihat kesungguhan hati pemuda ini, juga karena bujukan Mayang, akhirnya Cia Kui Hong menyerahkan pusaka itu dan dua orang kekasih itu segera menuju ke Laut Selatan untuk berkunjung ke pulau Teratai Merah. (Baca Kisah Si Kumbang Merah). Demikianlah riwayat singkat kedua orang muda mudi yang kini sedang naik perahu hendak mendarat di pulau Teratai Merah. Ki Liong pernah tinggal bertahun-tahun di pulau ini, tentu saja dia masih hafal akan keadaan di situ dan tahu benar bagaimana harus mengemudi perahu menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang.

   "Pada musim air laut surut seperti ini, ikan-ikan hiu itu kelaparan dan menjadi ganas, selalu berkeliaran di sekitar batu-batu karang ini. Di sini kita harus berhenti dan melanjutkan perjalanan ke darat dengan berlompatan dari batu ke batu. Mari...!"

   
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Beberapa kali Mayang menggerakkan pundaknya karena merasa ngeri melihat betapa dekatnya sirip-sirip ikan hiu itu meluncur di permukaan air dekat batu karang yang diinjaknya. Sekali meleset dan terjatuh ke air, moncong-moncong ikan hiu tentu akan menyergapnya dan tubuhnya akan dicabik-cabik!

   "Mayang, sekarang pergunakan cambukmu untuk melindungi kita selagi kita berjalan dari batu ke batu menuju daratan. Setiap kali ada hiu mendekat, pergunakan cambukmu untuk melecutnya. Kalau sudah terlalu kelaparan, ada saja hiu yang berani menyerang kaki yang menginjak batu karang dengan loncatan."

   Kata Ki Liong yang juga sudah berdiri di atas batu karang dan kedua tangannya memanggul perahu kecil yang tadi mereka pergunakan untuk menyeberang ke pulau itu.

   Mayang mengangguk dan cambuk itu sudah berada di tangan kanannya. Benar saja ucapan Ki Liong. Begitu mereka bergerak melangkah dari batu ke batu, sirip-sirip hiu itu berluncuran dari kanan kiri. Mayang segera menggerakkan cambuknya, dan terdengarlah ledakan-ledakan kecil disusul meluncurnya ujung cambuk ke air, ke arah depan sirip-sirip itu. Memang hebat permainan cambuk gadis ini. Walaupun kekuatan cambuk itu sudah terhalang air, namun tetap saja masih mampu menembus air dan mengenai kepala hiu. Ikan-ikan itu merasa kesakitan dan melarikan diri, membuat air di sekitar situ menjadi keruh dan suaranya berdeburan. Mayang terus menggerakkan cambuknya sambil mengikuti Ki Liong yang memanggul perahu dan yang mengenal jalan. Akhirnya mereka melalui batu-batu karang yang lebih tinggi dan tidak dapat dicapai ikan hiu dan sirip-sirip itu pun kembali ke tengah.

   "Ihhh mengerikan sekali ikan-ikan itu!"

   Kata Mayang setelah akhirnya mereka tiba di tanah daratan. Ki Liong tersenyum dan menyimpan perahunya di bawah semak-semak.

   "Sekarang kita berjalan ke tengah pulau, dan menghadap suhu dan subo. Ah, kita harus membereskan pakaian kita agar nampak pantas."

   Kata Ki Liong yang membereskan pakaian dan rambutnya yang awut-awutan tertiup angin lautan tadi. Mayang mencontoh kekasihnya, membereskan pakaian dan rambutnya.

   "Aih, hatiku menjadi tegang rasanya, Liong-ko."

   Kata Mayang melihat betapa kekasihnya nampak begitu tegang dan gugup. Ki Liong mencoba tersenyum untuk menutupi ketegangan hatinya. Hati siapa tidak akan tegang? Dia kembali ke pulau itu, kepada suhu dan subonya setelah minggat dari situ dua tahun yang lalu sambil melarikan atau mencuri pusaka kedua orang gurunya, yaitu pedang Gin-hwa-kiam! Padahal dia tahu siapa gurunya. Suhunya adalah Pendekar Sadis yang namanya saja sudah membuat semua tokoh sesat di dunia persilatan gemetar ketakutan. Dan subonya adalah seorang wanita yang lebih galak lagi, pernah menjadi seorang datuk besar! Kalau saja dia tidak ditemani Mayang, agaknya sampai bagaimana pun dia tidak akan berani mendarat di pulau ini, apalagi menghadap suhu dan subonya!

   "Tentu saja aku juga tegang, Mayang. Masih ingatkah engkau tehtang suhu dan subo seperti yang kuceritakan kepadamu?"

   Mayang mengangguk dan bergidik.

   "Mereka itu tentu menyeramkan, aku agak... takut, Liong-ko."

   "Jangan takut, Mayang. Engkau masih ingat pula bagaimana harus kau lakukan di depan mereka?"

   "Aku ingat, koko. Aku akan membela dan melindungimu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku."

   "Mayang, engkau sungguh baik sekali. Aku makin cinta kepadamu, Mayang."

   Kata Ki Liong dan ia memegang tangan gadis itu, hendak menariknya mendekat. Akan tetapi Mayang menahan tangannya dan memberi isyarat ke tengah pulau.

   "Liong-koko, kalau benar suhu dan subomu itu sehebat yang kau ceritakan, bukan tidak mungkin saat ini mereka mengamati kita."

   Mendengar peringatan ini, Ki Liong melepaskan pegangan tangannya seperti orang yang kena pegang ular. Dia mengangguk,

   "Mari kita ke sana, Mayang." Apa yang diucapkan Mayang tadi segera ternyata kebenarannya. Mereka kini tiba di pohon-pohon pertama yang merupakan hutan di pulau itu, dan di antara pohon-pohon itu nampak banyak sekali kolam ikan yang penuh dengan teratai merah yang sedang berbunga.

   "Aduh, indahnya...!"

   Seperti tadi ketika menyatakan kengeriannya terhadap batu karang dan ikan hiu, kini berulang kali Mayang berseru kagum akan keindahan tempat itu. Dia menghampiri tepi kolam dan menjulurkan tangannya untuk memetik setangkai bunga teratai merah.

   "Jangan...!"Ki Long sudah menangkap pergelangan tangan kekasihnya. Tentu saja Mayang terkejut sekali

   "Eh? Kenapa, Liong-ko?"

   "Kau tahu, nama pulau ini adalah pulau Teratai Merah. Karena adanya bunga-bunga itulah maka pulau ini dinamakan demikian. Keindahan bunga-bunga ini dijadikan nama pulau dikeramatkan dan tak seorang pun boleh merusak keindahannya. Memetik sebuah bunganya saja dapat dianggap merusak keindahan dan kalau engkau dihukum potong tangan, bagaimana aku akan dapat melindungi tanganmu?"

   "Ihhh!"

   Mayang bergidik dan memandang ke arah tangan kirinya yang tadi hampir memetik setangkai bunga teratai merah.

   "Betapa kejamnya peraturan itu."

   Ki Liong tersenyum.

   "Lupakah engkau akan julukan suhu?"

   "Pendekar Sadis! Kalau begitu, dia benar sadis dan kejam, sungguh jahat sekali!"

   "Hushh, jangan berkata begitu, Mayang. Suhu hanya bertindak keras terhadap penjahat dan kalau engkau memetik bunga, bisa saja dituduh mencuri."

   Ki Liong memberi isyarat kepada Mayang untuk mengikutinya melanjutkan perjalanan.

   "Kita sudah dekat. Di balik hutan kecil itulah tempat tinggal suhu! Ehgkau jangan berbuat sesuatu. Ikuti saja aku."

   Akan tetapi, baru saja mereka memasuki hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan,

   "Berhenti!"

   Dan tiga bayangan orang berkelebat dari kanan kiri. Di depan mereka telah berdiri tiga orang laki-laki yang usianya antara empat puluh sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti petani, wajah mereka dingin. Seorang di antara mereka, yang tertua dan berjenggot panjang, segera menuding kan telunjuknya ke arah muka Ki Liong dan suaranya terdengar ketus.

   "Kiranya engkau pengkhianat murtad! Berani engkau mengotori pulau ini?"

   "Maaf, Paman bertiga apakah lupa kepadaku? Aku Ki Liong..."

   "Engkau pengkhianat, murid murtad dan jahat! Hajar dia!"

   Dan tiga orang itu sudah menerjang dan menyerang Ki Liong dengan pukulan-pukulan mereka. Gerakan mereka gesit dan pukulan mereka mengandung tenaga yang kuat. Namun, mereka itu hanyalah pelayan-pelayan setia dari majikan pulau Teratai Merah yang telah menerima latihan beberapa macam ilmu silat dari majikan mereka. Tentu saja dibandingkan Ki Liong, murid dari suami isteri majikan pulau itu, mereka kalah jauh. Untung bagi mereka bahwa Ki Liong yang datang untuk minta ampun dari kedua gurunya, tidak berani mencelakai mereka.

   Pemuda ini hanya mengelak dan menangkis saja, namun setiap kali tertangkis pukulan mereka, tiga orang itu tentu terhuyung dan terdorong ke belakang. Mereka menyerang terus dengan hati penuh kebencian. Dahulu, mereka juga sayang dan hormat kepada murid majikan mereka ini. Akan tetapi semenjak Ki Liong minggat dari pulau melarikan pusaka, mereka ikit marah dan membencinya, menganggap dia sebagai musuh majikan mereka. Melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan jelas bahwa pemuda itu sama sekali tidak mau membasas serangan para pengeroyok, melainkan mengelak dan menangkis saja, Mayang menjadi marah. Ia tidak berarti lancang turun tangan, akan tetapi karena mendongkol, ia pun tidak dapat menahan dirinya dan berserulah ia dengan suara nyaring.

   "Bagus, bagus! Beginikah caranya Majikan Pulau Teratai Merah yang bernama besar itu menyambut tamu? Sungguh tidak sesuai dengan nama besar dan kehormatannya!"

   "Mayang, jangan bicara sembarangan!"

   Ki Liong menegur sambil tetap menghindarkan diri dari pengeroyokan tiga orang itu dengan elakan dan tangkisan. Tiba-tiba ada angin besar yang menyambar dan tiga orang pelayan pulau Teratai Merah itu terjengkang dan bergulingan di atas tanah, sedangkan Ki Liong sendiri terhuyung karena sambaran angin dahsyat itu. Dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut karena dia tahu bahwa suhu dan subonya yang datang melerai perkelahlan tadi.

   Mayang memandang penuh perhatian dan entah dari mana datangnya, seperti pandai menghilang saja, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek dan seorang nenek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun akan tetapi mereka masih nampak sehat dan bertubuh ramping tegak. Rambut mereka sudah putih, wajah sudah keriputan, namun masih jelas membayangkan ketampanan dan kecantikan di waktu mereka masih muda. Yang mengagumkan adalah mata mereka. Mata mereka masih jeli dan tajam seperti mata orang muda saja. Mereka itu bukan lain adalah majikan pulau Teratai Merah, yaitu si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong yang dahulu pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Ceng Thian Sin memandang kepada tiga orang pengeroyok tadi yang kini sudah bangkit dan berlutut menghadap mereka. Terdengar suaranya, yang lembut namun mengandung wibawa.

   "Siapa menyuruh kalian lancang tangan menyerang orang?"

   Tiga orang itu menyembah-nyembah dengan sikap ketakutan, dan si jenggot panjang berkata dengan suara gemetar,

   "Harap maafkan kami, Taihiap, akan tetapi dia... dia...!"

   "Sudahlah, pergilah kalian melanjutkan pekerjaan kalian!"

   Tiga orang itu memberi hormat, bangkit dan pergi dari tempat itu. Kini kakek dan nenek itu memandang kepada Ki Liong yang masih berlutut dan kepada Mayang. Gadis ini tetap berdiri dan menatap mereka dengan berani. Diam-diam Toan Kim Hong merasa tertarik dan kagum kepada gadis yang nampaknya asing itu, yang memiliki kecantikan khas Tibet.

   "Nona, engkau tadi mengatakan bahwa kami menyambut tamu tidak sebagaimana mestinya. Akan tetapi kami tidak pernah mengundang tamu ke pulau kami! Engkau bukan tamu kami, melainkan pelanggar wilayah dan tempat tinggal pribadi kami!"

   "Subo...!"

   Ki Liong berkata dengan suara lemah.

   "Diam kau! Aku tidak mempunyai seorang murid macam engkau!"

   Nenek itu menghardik. Mayang merasa penasaran sekali. Nenek ini terlalu galak, pikirnya. Akan tetapi karena nenek itu adalah guru Ki Liong, ia pun tidak berani bersikap tidak sopan.

   "Lo-cian-pwe, teguran lo-can-pwe tadi sungguh tidak dapat kuterima begitu saja. Tidak seorang pun di dunia ini yang tidak melanggar wilayah yang bukan miliknya. Apakah ji-wi Lo-cian-pwe (kedua orang tua gagah) selama hidup, sejak lahir sampai sekarang, berdiam terus di sini? Kalau ji-wi- keluar dari pulau ini, berarti ji-wi sudah melanggar wilayah yang bukan milik ji-wi, apalagi kalau mendarat di seberang sana, menjelajah gunung-gunung, kota dan dusun, entah berapa banyak wilayah bukan milik ji-wi yang dilanggar! Pulau ini merupakan sebagian kecil dari bumi, tentu saja sewaktu-waktu didatangi orang. Dan kalau kami datang ke sini, bukan bermaksud melanggar wilayah ji-wi, melainkan ada keperluan, maka sudah sepantasnya disambut sebagai tamu!"

   Kakek dan nenek itu saling pandang dan sinar mata mereka saja yang maklum bahwa mereka diam-diam merasa kagum dan tertawa. Kalau saja di situ tidak ada Ki Liong yang kemunculannya membuat mereka terkejut dan marah, tentu mereka sudah tertawa gembira mendengar ucapan gadis peranakan Tibet yang lincah itu. Gadis itu mengingatkan mereka kepada cucu mereka, Cia Kui Hong.

   "Hemm, bocah lancang mulut!"

   Nenek Toan Kim Hong menghardik.

   "Engkau bilang datang ke sini ada keperluan? Keperluan apakah, hayo katakan agar kami pertimbangkan apakah pantas engkau kami layani ataukah tidak!"

   "Aku pun tidak minta ji-wi layani karena keperluanku hanyalah menemani Liong-koko ini untuk menghadap ji-wi. Dialah yang mempunyai keperluan dengan ji-wi locianpwe, bukan aku."

   Tentu saja kakek dan nenek ini kini memandang kepada Ki Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya. Pemuda ini diam-diam memaki Mayang karena menganggap sikap gadis itu terlalu berani dan tentu akan membuat suhu dan subonya semakin marah kepadanya.

   "Hemm, orang sesat dan murtad! Mau apa engkau datang ke sini? Betapa beraninya mengantarkan nyawa kepada kami!"

   Kata Ceng Thian Sin dengan suara yang keren.

   "Suhu dan subo, ampunkanlah teecu. Teecu memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo. Teecu telah sadar dan menyesali kesalahan teecu, dan hari ini teecu datang menghadap suhu dan subo untuk mengembalikan Gin-hwa-kiam dan teecu siap menerima hukuman apa pun yang akan ji-wi jatuhkan kepada diri teecu!"

   Berkata demikian, Ki Liong mengambil pedang Gim-hwa-kiam dengan sarungnya, dan dengan kedua tangan dia memegang pedang dan sarungnya itu di atas kepala dan dia pun menyerahkannya kepada kedua orang gurunya sambil berlutut.

   Tiba-tiba nenek itu menggerakkan kepalanya dan sinar putih menyambar ke arah pedang itu. Mayang terbelalak kagum. Ia melihat betapa rambut nenek penuh uban itu ternyata panjang sekali dan kini rambut itu telah menotok kedua pergelangan tangan Ki Liong sehingga kedua tangan itu menjadi lumpuh dan pedang yang dipegangnya terlepas. Akan tetapi pedang itu telah digulung ujung rambut yang kini membawa pedang itu ke arah si nenek yang menangkapnya dengan tangan kanan. Setelah memandangi sejenak, nenek itu menyerahkan pedang kepada suaminya, kemudian ia menggelung kembali rambutnya yang terlepas dari sanggulnya. Ceng Thian Sin mencabut pedang itu. Nampak sinar perak berkilauan dan dia pun mengangguk-angguk, lalu menyimpan kembali pedang ke dalam sarung pedang.

   "Manusia laknat! Apakah setelah mengembalikan pedang ini, dosamu akan menjadi bersih begitu saja? Engkau tidak layak lagi untuk hidup di dunia, hanya akan mendatangkan kejahatan saja!"

   Kata nenek Toan Kim Hong dan kini ia bergerak ke depan, melangkah mendekati Ki Liong dan siap untuk membunuh bekas murid itu dengan sekali pukul. Akan tetapi tiba-tiba Mayang meloncat ke depan Ki Liong, menghadang dan gadis ini kelihatan marah seperti seekor harimau betina melindungi anaknya yang akan diganggu.

   "Ini sungguh tidak adil!"

   Terlak Mayang penasaran. Nenek itu mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah gadis itu.

   "Apa kau bilang? Kami tidak adil? Anak lancang mulut, berani engkau mengatakan kami tidak adil? Bedebah ini telah kami didik selama bertahun-tahun, dan apa yang dia lakukan untuk membalas budi kami? Dia minggat dari pulau ini, membawa harta dan pusaka! Dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa kami tidak adil? Apa engkau sudah bosan hidup?"

   "Aku tahu Lo-cian-pwe. Aku tahu bahwa Liong-ko pernah menjadi murid ji-wi di sini kemudian melakukan penyelewengan, minggat dan melarikan pusaka. Kalau pada waktu itu ji-wi mengejar dan membunuhnya, hal itu memang sudah, sepantasnya. Akan tetapi sekarang persoalannya menjadi lain. Dia telah menyadari kesalahannya, merasa menyesal dan bertaubat. Dia menghadap ji-wi untuk mengakui kesalahan, mengembalikan pedang pusaka, bahkan menyatakan siap menerima hukuman. Dia datang dengan itikad baik, akan tetapi ji-wi bahkan hendak membunuhnya. Mana bisa ini dikatakan adil? Beginikah sikap tokoh-tokoh besar yang bijaksana? Ataukah hanya ulah orang yang berhati kejam sekali?"

   "Mayang! Jangan kurang ajar engkau!"

   Ki Liong berseru, khawatir sekali karena kini dia merasa pasti bahwa suhu dan subonya akan membunuh mereka berdua tanpa ampun lagi. Akan tetapi, kembali kakek dan nenek itu saling pandang, dan anehnya, nenek itu melangkah mundur lagi dan berdiri di samping suaminya seperti tadi, sikapnya hendak turun tangan membunuh Ki Liong sudah lenyap sama sekali.

   "Hemm, anak berani mati. Siapakah engkau dan mengapa pula engkau membela orang murtad ini mati-matian?"

   Tanya Ceng Thian Sin dengan suaranya yang lembut. Kini Mayang memberi hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan di depan dadanya.

   "Namaku Mayang, dan Liong-ko adalah sahabatku yang pernah menyelamatkan aku dari tangan orang jahat. Melihat dia telah bertaubat, maka aku ingin menemaninya menghadap ji-wi di sini dan mohon pengampunan. Aku percaya bahwa ji-wi sebagai dua orang tokoh besar tentu akan suka mengampuninya."

   "Ah, engkau kira kami yang telah dikhianatinya itu akan suka menerimanya kembali sebagai murid kami?"

   Ceng Thian Sin berkata sambil tersenyum dingin.

   "Dia terlalu jahat!"

   "Kami harus menghukum keparat ini dan engkau tidak berhak mencampuri urusan kami, Mayang."

   Kata pula Toan Kim Hong.

   "Siapa sih gurumu yang tidak mampu mengajarmu untuk bersikap sopan dan tidak mencampuri urusan orang lain."

   "Guruku bernama Kim Mo Sian-kouw yang tinggal di Puncak Awan Kelabu di Ning-jing-san."

   Jawab Mayang. Kembali suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mengenal nama itu dan maklum bahwa guru gadis itu merupakan orang yang setingkat dengan mereka, berwatak aneh namun tidak pernah digolongkan sebagai tokoh sesat. Tidak mengherankan kalau tokoh itu mempunyai seorang murid wanita yang begini ugal-ugalan dan berani mati. Akan tetapi Toan Kim Hong adalah seorang nenek yang keras hati dan tidak mau mengalah, apalagi terhadap Kim Mo Sian-kouw yang dianggap sebagai saingannya di dunia persilatan.

   "Tidak perduli siapa gururnu, engkau tetap tidak boleh mencampuri urusan kami. Aku harus membunuh si laknat yang durhaka dan murtad ini!"

   "Lo-cian-pwe, jangan...!"

   Mayang kembali menghadapi nenek itu dan melindungi Ki Liong.

   "Bocah lancang! Berani engkau menghalangi aku bertindak terhadap bekas muridku sendiri di pulauku sendiri?"

   Toan Kim Hong membentak, kini marah sekali karena merasa ditantang seorang bocah. Walaupun Ceng Thian Sih tidak ingin membunuh bekas murid itu, dia tidak mencegah isterinya karena dia berangagapan bahwa kalau isterinya membunuh Ki Liong, hal itu tidak dapat disalahkan.

   "Lo-cian-pwe, aku tidak berani menghalangi tindakan Lo-cian-pwe. Hanya aku sudah berjanji akan membela Liong-ko dengan taruhan nyawa untuk membalas budinya. Juga aku hanya ingin memperingatan Lo-cian-pwe agar Lo-cian-pwe bertindak adil seadil-adilnya, juga kalau Lo-cian-pwe membunuh Liong-ko, hal itu berarti bahwa enci Cia Kui Hong adalah seorang penipu besar!"

   Nenek itu sudah mengepal tangannya. Mendengar kalimat terakhir tentang Cia Kui Hong, kepalan tangannya terbuka lagi dan matanya terbelalak memandang kepada Mayang.

   "Mayang, apa maksudmu? Apa hubungannya Kui Hong dengan urusan ini?"

   Tanya nenek Toan Kim Hong.

   "Enci Kui Hong telah memaafkan Liong-ko dan bahkan menganjurkan agar Liong-ko menghadap ji-wi. Kalau sekarang Liong-ko di sini dibunuh, bukankah itu berarti bahwa enci Kui Hong sengaja menipu Liong-ko agar dibunuh?"

   Ceng Thian Sin mengerutkan alisnya.

   "Bagaimana kami dapat percaya bahwa kalian sudah bertemu dengan Kui Hong? Kalau ia bertemu dengan dia, tentu Kui Hong telah merampas Gin-hwa-kiam ini dari tangannya dan bukan dia yang mengembalikannya ke sini."

   Ki Liong mengangkat mukanya hendak menjawab, akan tetapi begitu bertemu pandang dengan suhunya, dia menunduk kembali dan tidak berani bicara. Sinar mata suhunya demikian tajam dan marah, membuat dia menjadi gentar. Akan tetapi Mayang sama sekali tidak takut.

   "Terserah Lo-cian-pwe mau percaya kepadaku ataukah tidak! Akan tetapi yang jelas, pedang itu sudah lama sekali terampas dari tangan Liong-ko, dan yang merampasnya bukan enci Kui Hong. Yang merampasnya adalah kakakku, yang membantu enci Hong dan kemudian mengembalikan pedang itu kepada enci Kui Hong."

   "Hemm, siapakah kakakmu itu?"

   Mayang mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah besar itu.

   "Kakakku adalah seorang pendekar sakti, namanya Tang Hay. Lo-cian-pwe hendak mengetahui siapa guru kakakku? Bukan subo, akan tetapi gurunya banyak, di antaranya menurut cerita kakakku adalah See Thian Lama, Ciu-sian Sin-kai Pek Mau San-jin, Song Lojin dan lain-lain. Kakakku sakti dan hebat sekali!"

   Kembali kakek dan nenek itu saling pandang. Diam-diam mereka terkejut karena nama-nama yang disebut gadis itu adalah nama orang-orang yang tinggi sekali tingkatnya di dalam dunia persilatan.

   "Kalau Kui Hong sudah menerima kembali pedang ini, kenapa sekarang bukan ia yang membawanya pulang ke sini?"

   Ceng Thian Sin mengejar karena dia tidak dapat percaya begitu saja.

   "Sudah kukatakan bahwa enci Kui Hong memaafkan Liong-ko. Bahkan enci Kui Hong menyetujui kalau Liong-ko kembali ke sini menghadap ji-wi, mengembalikan Gin-hwa-kiam dan mohon ampun. Karena itu, dengan senang hati enci Kui Hong memberikan pedang pusaka itu kepada Liong-ko."

   "Aku tidak percaya!"

   Nenak Toan Kim Hong membentak. Mayang bersungut-sungut.

   "Percaya atau tidak terserah, akan tetapi begitulah kenyataannya. Kalau ji-wi tetap hendak membunuh Liong-ko, bunuhlah aku juga, akan tetapi ji-wi akan menjadi orang-orang yang paling tidak adil di dunia ini dan enci Kui Hong menjadi pembohong terbesar di dunia! Nah, Lo-cian-pwe boleh membunuh kami!"

   Gadis itu berdiri menghadang antara kakek dan nenek itu dan Ki Liong, mengembangkan kedua lengannya seolah siap untuk menerima pukulan maut. Ia berada dalam bahaya maut. Tidak pernah ada orang yang menantang nenek Toan Kim Hong dapat keluar dengan selamat! Nenek itu sudah menjadi merah mukanya dan matanya memancarkan sinar berapi. Ceng Thian Sin melihat keadaan isterinya ini dan maklum bahwa sekali isterinya menggerakkan tangan, pemuda dan gadis itu tentu akan tewas seketika. Maka, dia pun sudah mendahului melangkah maju sehingga isterinya menahan gerakannya.

   "Ki Liong, benarkah apa yang dikatakan oleh gadis ini?"

   Baru sekarang kakek itu bicara langsung ditujukan kepada Ki Liong. Sejak tadi, kakek dan nenek itu tidak sudi bicara dengan dia, hanya bicara kepada Mayang. Ki Liong yang masih berlutut itu segera merangkap kedua tangan dan mengangguk dengan sikap merendah sekali.

   "Suhu yang mulia, semua yang diceritakan Mayang memang benar, akan tetapi mohon suhu dan subo sudi memaafkan kelancangan Mayang. Ia tidak bersalah dan biarlah teecu yang menanggung semua hukuman."

   "Huh, gadis yang kasar ini jauh lebih berharga daripada kamu!"

   Nenek Toan Kim Hong berseru.

   "Ia jujur dan terus terang, tidak seperti kamu yang licik dan curang!"

   Biarpun ia masih marah sekali, namun kini nenek Toan Kim Hong merasa ragu untuk membunuh Ki Liong.

   Kalau benar seperti dugaannya bahwa Mayang terlalu jujur untuk berbohong, maka Kui Hong memang sudah memaafkan Ki Liong. Padahal, minggatnya Ki Liong dari pulau itu dan membawa pergi pusaka Gin-hwa-kiam, adalah karena gara-gara Kui Hong. Ki Liong tergila-gila kepada Kui Hong dan berani menggodanya, bahkan berniat cabul. Kui Hong menolak dan karena dia ditegur dan merasa malu, maka Ki Liong melarikan diri. Kesalahannya yang terbesar adalah oleh peristiwa Kui Hong. Kalau kini Kui Hong sendiri sudah dapat memaafkan Ki Liong, bagaimana mereka yang pernah menjadi guru pemuda itu berkeras hendak membunuhnya? Ia menyerahkan saja kepada suaminya yang ia tahu amat bijaksana dan dapat mengambil keputusan tepat.

   

Pendekar Mata Keranjang Eps 50 Pendekar Mata Keranjang Eps 44 Kumbang Penghisap Kembang Eps 5

Cari Blog Ini