Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 44


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 44



Apa lagi ketika ia teringat betapa Hay Hay memang memiliki sikap yang perayu dan seperti pemuda mata keranjang, begitu bertemu dengannya langsung saja memuji-muji kecantikannya. Benarkah Hay Hay seorang penjahat pemetik bunga, atau penjahat yang suka memperkosa dan mempermainkan wanita? Tidak sukar bagi Hay Hay untuk melakukan kejahatan seperti itu pikirnya. Hay Hay cukup tampan dan ganteng untuk menggetarkan hati wanita, cukup gagah dan lihai sekali untuk menarik hati wanita, dan pandai merayu pula dengan kata-kata manis dan indah. Kalau rayuannya tidak mempan, tentu saja dia dapat mempergunakan kepandaiannya untuk menundukkan wanita dan memperkosanya. Ling Ling bergidik, merasa ngeri. Benarkah pemuda yang gagah itu, yang masih terhitung paman gurunya sendiri, adalah seorang pen jahat keji?

   Tadinya ia sudah tidak ingin mempedulikan lagi, ingin meninggalkan Hay Hay dan menyelidiki sendiri persekutuan pemberontak itu. Akan tetapi, bagaimanapun juga, hatinya merasa tidak tega kepada Hay Hay. Pemuda itu telah berjanji bahwa tiga hari kemudian akan menjumpainya di tepi telaga, di bagian yang sunyi di mana untuk pertama kali ia bertemu dengan susioknya itu, ketika Hay Hay sedang memancing ikan kemudian terganggu oleh luncuran perahunya. Maka, pada hari ketiga, Ling Ling membawa perbekalan makanan dan pergilah ia ke tempat itu. Ia menanti dengan sabar, bahkan sampai menjelang malam, ketika hari telah menjadi gelap, ia masih duduk di tepi telaga, menanti munculnya Hay Hay di situ. Gadis ini merasa yakin bahwa susioknya pasti akan datang, entah malam ini atau paling lambat besok pagi-pagi.

   Ia akan menanti dan akan bicara dari hati ke hati, bukan hanya untuk mendengar akan hasil penyelidikan susioknya, akan tetapi juga tentang tuduhan orang-orang Bu-tong-pai itu. Ia harus dapat yakin akan hal itu!Ketika malam tiba dan hawa mulai dingin, dengan bulan yang masih muda muncul mendatangkan cuaca yang muram, Ling Ling membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan dingin, juga untuk memberi sedikit cahaya penerangan sebelum ia tidur. Ia tetap menanti, akan tetapi sampai jauh malam, setelah semua kayu untuk dibakar telah habis, Hay Hay belum juga datang. Ling Ling membiarkan api unggun padam, lalu merebahkan diri di atas tanah di tepi telaga, berselimut kain yang dibawanya. Ia tidak mempunyai nafsu untuk makan malam dan membiarkan saja bekal makanan tanpa disentuh. Bagaimanapun juga, ia merasa agak kecewa karena malam itu agaknya Hay Hay tidak datang.

   Gadis itu mulai hanyut dalam kantuk dan hampir pulas sehingga ia tidak melihat berkelebatnya bayangan orang menghampirinya. Ia baru terkejut ketika ada tangan menotoknya. Ia tidak keburu mengelak atau bergerak, dan ketika ia sadar hendak meloncat, ternyata tubuhnya sudah lemas tak berdaya. Ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang menjadi seperti lumpuh! Ada sosok tubuh orang berdiri di dekatnya, dan biarpun cuaca remang-remang tidak memungkinkan ia mengenal wajah orang itu, namun dari bentuk tubuhnya, ia merasa yakin bahwa orang itu adalah Hay Hay! Ingin ia memanggil susioknya, namun mulutnya juga tidak mampu bersuara. Totokan itu lihai bukan main, membuat ia tidak mampu menggerakkan kaki tangan maupun mulutnya, namun tetap membuat ia sadar. Kenapa susioknya melakukan hal ini? Menotoknya? Apakah hendak main-main atau ada alasan lain yang memaksanya?

   Alangkah kagetnya ketika ia melihat apa yang dilakukan susioknya terhadap dirinya! Ia terbelalak, tak dapat meronta dan hampir pingsan! Susioknya telah melucuti pakaiannya dan memperkosanya! Hatinya memberontak! Bukan karena hubungan itu sendiri, melainkan karena perkosaan itu! Tak tahulah susioknya itu bahwa sejak pertama kali bertemu, ia telah jatuh hati? Dan ia akan merasa berbahagia sekali menjadi isteri susioknya itu, dengan rela dan suka hati ia akan menyerahkan dirinya, dengan pasrah dan penuh kasih sayang! Akan tetapi mengapa susioknya itu memperkosanya? Betapa kejamnya, betapa kejinya! Benar-benar dia seorang jai-hwa-cat! Dan Ling Ling jatuh pingsan, tidak merasakan lagi apa yang telah terjadi pada dirinya. Hatinya menjerit-jerit, langit bagaikan runtuh bagi gadis yang baru berusia tujuh belas tahun lebih ini.

   Ketika akhirnya Ling Ling siuman dan membuka matanya, ia mengeluh tanpa dapat mengeluarkan suara rintihan panjang keluar dari dalam dadanya dan ia menggigil. Dingin sekali rasanya. Ketika ia membuka mata, ternyata malam telah lewat dan biarpun matahari belum muncul, namun sinarnya telah mendahuluinya mengusir sisa-sisa malam pekat dan dingin. Ling Ling mendapatkan dirinya masih rebah terlentang dengan telanjang bulat, di atas pakaiannya sendiri! Ia masih belum mampu bergerak! Dan Hay Hay telah tidak ada, tak nampak bayangannya. Keparat! Betapa kejinya! Meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Telanjang bulat dan dalam keadaan masih tertotok. Atau ditotok lagi, pikir Ling Ling penuh kebencian dan kedukaan. Totokan pertama itu telah habis daya gunanya dan agaknya, sebelum meninggalkannya, jai-hwa-cat itu telah menotoknya lagi!

   "Ling Ling...!"

   Tiba-tiba terdengar suara Hay Hay dan muncullah pemuda ini. Matanya terbelalak melihat gadis yang terlentang telanjang bulat dan tidak mampu bergerak itu. Cepat Hay Hay menanggalkan baju luarnya dan menutupi tubuh Ling Ling.

   "Ling Ling, kau kenapakah?"

   Teriaknyadan melihat betapa gadis itu hanya memandangnya dengan mata mengalirkan air rnata, tanpa suara dan kaki tangannya lemas, Hay Hay lalu cepat memulihkan totokan itu. Ling Ling mampu bergerak dan pertama kali yang dilakukannya adalah membalikkan tubuhnya, membelakangi Hay Hay dan mengenakan kembali pakaiannya satu demi satu dengan cepat, dengan kedua tangan gemetar dan kedua kaki menggigil, air matanya bercucuran. Hay Hay memandang saja, membiarkan sampai Ling Ling selesai berpakaian, barulah dia bertanya lagi.

   "Ling Ling, apa yang telah terjadi? Apa... siapa..."

   Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena gadis itu sudah membalik dan memandang kepadanya dengan sinar mata berapi akan tetapi juga mencucurkan air mata yang menuruni sepanjang kedua pipinya yang pucat.

   "Manusia keji! Engkau masih berpura-pura dan bertanya apa yang telah terjadi? Aih, Susiok, kenapa hati manusia dapat sekejam hatimu?"

   Gadis itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah menangis tersedu-sedu sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Hay Hay terbelalak dan mengerutkan alisnya, memandang penuh selidik dan juga penuh kekhawatiran.

   "Ling Ling, apa.. apa maksudmu..?"

   Ling Ling menahan tangisnya, menurunkan kedua tangan dan dengan mata membendul merah karena terlalu banyak menangis ia menatap wajah pemuda itu dan berkata, suaranya penuh nada penyesalan.

   "Engkau... jai-hwa-cat terkutuk berjiwa pengecut! Semalam... engkau datang ketika aku tidur, dan engkau menotokku kemudian kau... kau... memperkosa aku! Dan sekarang engkau pura-pura bertanya dan bersikap tidak berdosa?"

   Kalau saat itu ada kilat menggelegar dan menyambar kepalanya, belum tentu Hay Hay akan sekaget ketika mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh gadis itu. Dia meloncat dengan muka pucat, kemudian mukanya berubah merah sekali.

   "Ling Ling... Benarkah engkau melihat bahwa orang itu adalah aku? Dapatkah engkau melihat dan mengenalku?"

   Dengan mata mencorong karena marah melihat pemuda itu tetap hendak berpura-pura, Ling Ling berkata,

   "Biarpun keadaan gelap dan tidak dapat melihat mukamu, akan tetapi aku mengenalmu. Bayangan tubuhmu, juga mukamu halus, dan siapa lagi yang tahu akan tempat ini selain kita berdua? Bukankah engkau sudah berjanji padaku akan datang setelah tiga hari, jadi tepat malam tadi? Susiok, engkau mempergunakan kesempatan dan kepandaianmu untuk melakukan kekejian dan engkau menghancurkan hatiku, menodai kehormatanku..."

   Gadis itu menangis lagi.

   "Akan tetapi... semua itu telah terlanjur..., mungkin engkau dikuasai nafsu... dan aku mau memaafkan semua itu asal engkau menyatakan penyesalanmu dan bertobat, tidak menjadi Ang-hong-cu lagi, dan engkau memperisteri aku dengan sah.."

   "Tidak... Tidak, bukan aku, Ling Ling! Sungguh mati, bukan aku yang melakukan kekejian itu terhadap dirimu!"

   Ling Ling meloncat dengan marah dan berdiri tegak, tangisnya terhenti dan wajahnya membayangkan kemarahan.

   "Tang Hay! Begini sajakah keadaan batinmu? Engkau melakukan kekejian, memperkosa aku, dan kini masih sampai hati untuk berpura-pura tidak tahu dan menyangkal? Kalau begitu engkau bukan manusia, engkau kejam melebihi binatang, engkau iblis dan engkau atau aku akan mati di sini!"

   Gadis yang biasanya berwatak lembut itu kini berubah beringas seperti seekor harimau marah dan ia sudah menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali karena ia mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan itu. Hay Hay yang masih terguncang batinnya karena tuduhan tadi, seperti orang bingung dan menghadapi serangan ini, dia hanya menolaknya untuk melindungi dirinya, atau sebagai gerakan pertahanan otomatis. Akan tetapi dia tidak mengerahkan tenaga terlalu besar, karena di samping kebingungan dan kekagetannya, juga dia merasa iba sekali kepada gadis yang baru saja ditimpa malapetaka yang bagi seorang gadis lebih hebat daripada maut itu.

   "Dukkk...!"

   Tubuh Hay Hay terlempar dan terbanting jatuh bergulingan, dan dengan gerakan yang cepat bukan main Ling Ling sudah meloncat, mengejar dan mengirim tendangan ke arah kepala Hay Hay. Serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh, karena dalam tendangan itu terkandung pula tenaga yang amat besar. Hay Hay belum sempat bangun dan melihat tendangan menyambar ke arah kepalanya, kembali gerakan otomatis membuat dia menggerakkan tangan melindungi kepala.

   "Desss...!"

   Tendangan yang diterima oleh tangan Hay Hay itu kuat sekali, dan untuk kedua kalinya tubuh Hay Hay terlempar dan bergulingan seperti sebutir bola ditendang. Bagaikan seekor harimau mencium darah, Ling Ling bertambah beringas dan ia pun sudah mengejar lagi. Akan tetapi Hay Hay sudah meloncat bangun.

   "Ling Ling, tahan dulu! Sungguh mati, aku tidak melakukan perbuatan itu!"

   Hay Hay berseru sambil mengangkat tangan ke atas. Akan tetapi penyangkalan ini membuat hati Ling Ling menjadi semakin marah. Kemarahan yang timbul karena kekhawatiran hebat. Bagaimana kalau benar-benar bukan Hay Hay yang memperkosanya? Hal ini akan mendatangkan kehancuran hati lebih besar lagi. Kalau Hay Hay yang melakukannya, bagaimanapun juga ia mencinta susioknya itu. Akan tetapi kalau orang lain? Akan lenyaplah harapannya untuk dapat memaksa Hay Hay mempertanggungjawabkan perbuatannya. Maka ia tidak sudi mendengarkan kemungkinan ini dan ia sudah menerjang lagi sambil berkata,

   "Engkau mengakui perbuatanmu atau mengadu nyawa dengan aku!"

   Dan ini memang sudah menjadi tekadnya. Kalau Hay Hay mengaku dan mau bertanggung jawab ia akan suka memaafkan dan menjadi isteri pemuda itu, sebaliknya kalau Hay Hay tetap menyangkal, pemuda itu harus mati atau ia sendiri yang akan mati dalam tangan pemuda itu.

   Ia menyerang lagi dengan loncatan tinggi dan ketika tubuhnya meluncur turun, kedua tangannya membentuk cakar dan mencengkeram ke arah ubun-ubun, kepala dan leher pemuda itu. Serangan bukan main hebatnya karena Ling Ling sudah menggunakan satu jurus dari Ilmu Silat Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis)! Serangan ini memang dahsyat sekali, akan tetapi dengan tingkat kepandaiannya yang lebih tinggi, kiranya tidak akan begitu sukar bagi Hay Hay untuk menyelamatkan diri, juga membalas. Akan tetapi sekuku hitam pun tiada niat di hatinya untuk membalas kepada gadis yang amat dikasihaninya itu. Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi kedua tangan gadis itu terus mengejar kepala dan lehernya. Terpaksa dia menangkis dengan lengannya, menyampok ke dalam.

   "Dukkk!"

   Kini tubuh Ling Ling terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting ke atas tanah, Hay Hay sudah merangkap lengannya sehingga gadis itu tidak terbanting. Hay Hay masih memegang lengan Ling Ling dengan lembut, berdiri dekat dan membujuk.

   "Dengarkanlah dulu, Ling Ling dan jangan terburu nafsu. Sesungguhnyalah kalau kukatakan bahwa aku tidak.."

   "Bukkk!"

   Kini hantaman Ling Ling tepat mengenai dada Hay Hay dan pemuda itu terpelanting. Pukulan dari jarak dekat itu cukup keras dan mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Namun tidak melukai Hay Hay walaupun dalam dadanya terguncang dan ada sedikit darah nampak pada ujung bibirnya ketika dia meloncat bangun kembali. Pada saat itu, Ling Ling sudah menyerang lagi, dan Hay Hay hanya mengelak sambil mundur .

   "Ling Ling, demi Tuhan... Ling Ling..."

   Di antara serangan bertubi yang dielakkan atau ditangkisnya dengan lembut, Hay Hay masih mencoba untuk menyabarkan gadis itu.

   "Pengecut keji!"

   Ling Ling bahkan menjadi semakin marah dan menyerang lagi, kini menggunakan Ilmu Totokan It-sin-ci yang amat cepat dan berbahaya sekali. Karena sama sekali tidak membalas, Hay Hay menjadi repot juga ketika dihujani serangan totokan ini. Percuma saja dia menghindarkan diri dengan Jiauw-pouw-poan-soan karena gadis itu sudah mengenal ilmu ini dan tentu akan melihat rahasia gerakan kakinya dan bahkan membahayakan dirinya. Maka, dia pun mempergunakan kedua tangannya untuk selalu menangkis atau menyambut totokan sebuah jari itu dengan telapaktangannya yang diisi dengan sin-kang lunak. Dia mundur terus dan menjadi semakin bingung karena Ling Ling menyerang makin hebat.

   "Tahan serangan! Nona, kenapa Nona menyerang pendekar itu mati-matian?"

   Hay Hay melirik dan mengenal pemuda perkasa Can Sun Hok yang pernah dibujuknya untuk menentang persekutuan pemberontak. Dia menjadi semakin bingung karena kalau pemuda ini menanyakan urusan, tidak mungkin dia dapat menceritakan tentang aib yang menimpa diri Ling Ling. Maka, menggunakan kesempatan selagi Ling Ling menoleh dan memandang kepada orang yang baru datang itu, Hay Hay melompat dan mempergunakan kepandaiannya menghilang di antara pohon-pohon dalam hutan di tepi telaga.

   "Jahanam, janngan lari!"

   Bentak Ling Ling, yang segera melakukan pengejaran. Pemuda itu, Can Sun Hok, yang merasa heran sekali, juga ikut pula mengejar. Akan tetapi, bayangan Hay Hay telah menghilang dan Ling Ling kehilangan jejaknya. Ketika gadis ini berhenti di tengah hultan dengan bingung, Can Sun Hok muncul, dan bersikap hormat.

   "Maaf, Nona. Bukan maksudku hendak mencampuri urusan Nona, akan tetapi aku sungguh merasa heran melihat betapa Nona mati-matian menyerang dia, seorang pendekar yang berilmu tinggi dan seorang utusan pemerintah untuk menumpas persekutuan pemberontak itu."

   Tadinya Ling Ling hendak marah melihat ada orang mencampuri urusannya, akan tetapi melihat Sun Hok yang demikian sopan dan mendengar Sun Hok memuji-muji Hay Hay, kemarahannya berkurang. Ia pun maklum bahwa ia sama sekali tidak mungkin dapat menceritakan peristiwa antara ia dan Hay Hay itu, yang merupakan rahasia pribadinya merupakan aib yang tak mungkin diceritakannya kepada orang lain, kecuali orang tuanya sendiri.

   "Pendekar? Huh, dia adalah Ang-hong-cu, Jai-hwa-cat yang amat keji, maka aku tadi berusaha mati-matian untuk membunuhnya. Kini Sun Hok yang terbelalak heran,

   "Apa..? Dia...? Ang-hong-cu Si Jai-hwa-cat.? Ah, benarkah itu, Nona? Aku pernah bertemu dengannya. Ilmu silatnya tinggi sekali, dan dia membujukku untuk membantu pemerintah menghadapi para datuk sesat yang bersekutu dan hendak memberontak. Bahkan aku mendengar sendiri dari Menteri Cang Ku Ceng bahwa Saudara Hay Hay itu adalah orang kepercayaan Menteri Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan di kota Siang-tan, dan mereka itu memesan kepadaku agar aku suka membantunya. Akan tetapi, ah... kenapa aku begini lancang mulut, padahal aku tidak mengenalmu, Nona. Siapakah engkau, dan bagaimana dapat menuduh Saudara Hay Hay yang gagah perkasa itu seorang Jai-hwa-cat?"

   "Hemm, aku sendiri belum mengenal siapa engkau.."

   Kata Ling Ling sambil menatap tajam.

   "Namaku Can Sun Hok, Nona, juga tinggal di kota Siang-tan. Aku sudah janji kepada Saudara Hay Hay untuk membantu pemerintah menentang kaum sesat yang memberontak."

   Ling Ling percaya kepada pemuda yang sopan dan halus ini,

   "Namaku Cia Ling, dan aku pun sedang melakukan penyelidikan ketika mendengar bahwa di daerah Yunan terdapat persekutuan kaum sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo dan mereka hendak melakukan pemberontakan. Kebetulan saja aku bertemu dengan Hay Hay itu dan ada serombongan murid Bu-tong-pai yang mengejar-ngejar dan menyerangnya karena menurut para murid Bu-tong-pai itu, dia adalah Ang-hdng-cu, jai-hwa-cat yang telah mengganggu dan membunuh seorang murid Bu-tong-pai."

   "Ah, kalau benar demikian, sungguh berbahaya! Dia lihai sekali dan kalau benar dia jai-hwa-cat, berarti dia seorang tokoh sesat dan tentu saja dia menjadi sekutu Lam-hai Giam-lo! Padahal Menteri Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan telah percaya kepadanya, bahkan menurut Menteri Cang Ku Ceng, dia telah menerima tanda kepercayaan Menteri Yang. Kalau begitu, sebaiknya kita melapor kepada Menteri Cang agar jangan sampai terlambat. Siapa tahu dia itu mata-mata pihak musuh."

   "Tapi... Menteri Cang Ku Ceng tentu berada di kota raja!"

   Kata Ling Ling ragu. Pemuda itu tersenyum.

   "Menteri Cang telah berada di sini, tak jauh dari telaga ini, di balik bukit di utara itu, dan mempersiapkan ribuan orang pasukan dalam benteng darurat di sana. Juga banyak pendekar sudah berkumpul dl sana, siap menanti saat baik untuk menggempur para pemberontak. Marilah, Nona. Kita harus melaporkan tentang Hay Hay itu kepada Menteri Cang agar beliau dapat mengambil keputusan."

   Tidak ada jalan lain bagi Ling Ling kecuali menyetujui. Ia ingin sekali mengejar dan mencari Hay Hay sampai dapat, akan tetapi maklum bahwa tidak mudah menyusul pemuda yang amat lihai itu. Dengan perasaan hancur dan tubuh lemas ia mengikuti pemuda yang sopan itu menuju ke utara. Untung ia adalah seorang gadis gemblengan dan tubuhnya sudah memiliki kekuatan yang jauh melebihi gadis biasa. Kalau tidak demikian, setelah apa yang dialaminya semalam, tentu ia tidak akan dapat melakukan perjalanan jauh tanpa merasa amat menderita lahir batin. Ia membayangkan betapa ayah ibunya akan terkejut sekali kalau mendengar malapetaka yang menimpa dirinya. Ibunya tentu akan marah bukan main dan akan mencari Hay Hay untuk membalas dendam. Kalau mengingat ini, ingin rasanya ia menangis tersedu-sedan,

   Akan tetapi perasaan ini ditekannya karena ia tidak mau memperlihatkan kelemahan hatinya di depan Can Sun Hok yang baru saja dikenalnya. Ia sendiri harus dapat bertemu lagi dengan Hay Hay, dan akan dicobanya sekali lagi untuk minta pertanggunganjawab pemuda itu. Kalau Hay Hay tetap menyangkal, ia akan menyerang mati-matian, dan tidak akan berhenti menyerang sebelum Hay Hay atau ia yang roboh dan tewas. Hati Hay Hay gelisah bukan main. Gelisah, bingung dan penasaran! Dia telah dituduh memperkosa Ling Ling! Tak mungkin gadis itu berbohong, dan bukankah dia telah melihat sendiri ketika datang di tepi telaga betapa Ling Ling berada dalam keadaan telanjang bulat dan tertotok? Tak dapat disangsikan lagi kebenaran cerita gadis itu bahwa semalam ada seorang laki-laki datang, menotoknya dan memperkosanya.

   Akan tetapi jelas bukan dia! Lalu siapa? Potongan tubuhnya seperti dia, dan mukanya halus seperti dia pula! Tentu seorang pemuda lain yang mempergunakan kesempatan itu, Can Sun Hok? Pemuda itu baru muncul. Hemm, mungkinkah Can Sun Hok yang melakukan perbuatan keji itu? Mungkin saja! Bentuk tubuh dan muka Can Sun Hok mirip dia, bentuknya sedang dan mukanya halus tanpa kumis dan jenggot. Hanya itu yang dikenal Ling Ling karena malam itu gelap. Tapi, kalau benar Can Sun Hok, kiranya tidak mungkin dia begitu tolol untuk muncul kembali. Seolah-olah seekor ular mencari penggebuk! Lalu siapa? Hay Hay berlari keluar masuk hutan dan pikirannya demikian ruwet sehingga dia yang biasanya waspada tidak melihat bahwa dari depan datang seorang gadis, yang juga berlarian sehingga hampir saja mereka bertabrakan.

   "Hay-ko... Ah, betapa aku mencari-carimu, Hay-ko..!"

   Dan gadis itu langsung saja merangkul dan menangis di dadanya. Hay Hay terkejut dan merangkul gadis itu.

   "Eng-moi, tenanglah, diamlah. Ada apakah, Eng-moi?"

   Tanyanya, wajahnya berubah merah karena dia teringat akan peristiwa dua hari yang lalu, di waktu malam di dalam taman itu. Hampir saja dia melakukan pelanggaran yang akan mendatangkan penyesalan hebat di kemudian hari ketika dia dan gadis ini seperti dimabok nafsu berahi. Pek Eng menangis, menangis dengan hati lega karena ia telah dapat menemukan kekasihnya, dan melihat sikap Hay Hay, tentu pemuda ini mau bertanggung jawab. Sikapnya jelas menunjukkan bahwa Hay Hay mencintanya. Setelah keharuannya mereda, ia lalu mengusap air matanya dan berkata dengan lirih.

   "Hay-ko, kenapa engkau begltu kejam? Engkau meninggalkan aku begitu saja setelah malam kemarin dulu itu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku bangun dan mencarimu, akan tetapi hanya mendengar bahwa engkau telah pergi malam itu juga tanpa pamit! Hay-ko, kenapa engkau meninggalkan aku? Setengah mati aku mencarimu, keluar masuk hutan."

   Gadis itu menangis lagi. Hay Hay menarik napas panjang, teringat akan peristiwa malam itu dan dia merasa malu sekali. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dua langkah dan memaksakan hatinya untuk menatap wajah Pek Eng dengan tajam.

   "Maafkan aku, Eng-moi. Malam itu... ah, entah iblis apa yang telah menyusup ke dalam diriku. Aku seperti mabuk dan hampir saja..., ah, aku merasa begitu menyesal sehingga malam itu juga aku pergi meninggalkan perkampungan. Maafkan aku, Eng-moi."

   Sungguh aneh! Gadis itu memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemesraan dan mulutnya tersenyum manis! Kemudian ucapannya membuat Hay Hay menjadi lebih heran lagi.

   "Hay-ko, tidak ada yang perlu dimaafkan dan tidak ada yang perlu disesalkan! Kenapa minta maaf dan kenapa menyesal kalau memang hal itu sudah kita kehendaki bersama? Terus terang saja, aku... aku bahkan merasa berbahagia sekali, Hay-ko, dan terasa benar olehku betapa besar artinya engkau bagi kehidupanku. Marilah, Hay-ko, mari kita menghadap Bengcu untuk minta persetujuannya karena bagaimanapun juga dia adalah Guruku, kemudian kita pergi dari sini, pulang ke Kong-goan untuk memberitahu kepada Ayah Ibuku tentang perjodohan kita."

   Hay Hay terbelalak memandang wajah gadis itu.

   "Eng-moi, apa maksudmu sebenarnya? Aku tidak mengerti! Aku... aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikat perjodohan..., ah, jangan salah mengerti, Eng-moi. Peristiwa malam kemarin dulu itu... sungguh aku seperti mabuk dan kau maafkanlah aku. Bukan maksudku untuk... untuk mengikat perjodohan.."

   Hay Hay menghentikan kata-katanya karena dia terkejut dan heran melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan bibirnya menggigil, pandang matanya seperti orang yang tidak percaya, atau seperti orang melihat setan di tengah hari. Suaranya lebih aneh lagi, menggigil seperti orang terserang demam.

   "Hay-ko... apa... apa maksudmu? Maksudku sudah jelas... setelah apa yang kau... kita lakukan malam itu... tidaklah sewajarnya kalau... kalau kita... menikah?"

   "Eng-moi! Sudah kuakui bahwa aku khilaf, aku seperti mabuk, dan aku menyesal sekali, aku sudah minta maaf. Akan tetapi tidak mungkin peristiwa itu harus dilanjutkan dengan pernikahan. Anggap saja kita berdua telah lupa diri, akan tetapi belum terlambat, Eng-moi. Untung bahwa aku berhasil sadar dan melarikan diri "

   "Apa? Belum terlambat? Apakah urusan itu cukup untuk dimaafkan begitu saja kemudian dilupakan? Hay-ko, sungguh aku tidak mengerti akan sikapmu ini. Bukankah aku telah menjadi isterimu? Malam itu... bukankah engkau telah memiliki diriku dan aku telah menyerahkan badanku, kehormatanku, segalanya kepadamu? Dan engkau tidak ingin diresmikan dalam pernikahan? Aku tidak percaya bahwa engkau hanya main-main saja! Aku tidak percaya bahwa setelah aku menyerahkan jiwa ragaku kepadamu malam itu, engkau lalu tidak mau menikahiku.."

   Wajah itu semakin pucat. Kini wajah Hay Hay yang berubah seperti orang melihat iblis.

   "Eng-moi! Apa maksudmu? Memang kita seperti mabuk, kita saling peluk dan saling berciuman, masuk ke dalam pondok. Akan tetapi hanya sampai di situ, aku lalu sadar dan aku lari keluar pondok sebelum terjadi sesuatu antara kita."

   "Benar sekali! Dan tak lama kemudian engkau masuk lagi, dan engkau menuntut, dan aku menyerah, dan tubuhku, kehormatanku, menjadi milikmu.."

   "Tidak! Aku tidak pernah kembali ke pondok!"

   "Hay-ko...!"

   Pek Eng menjerit, menutupi mulut dengan tangan kanan yang menggigil, mulutnya terbuka dan gemetar, akan tetapi sampai beberapa lamanya tidak mengeluarkan suara, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali. Sementara itu wajah Hay Hay juga pucat. Dia tidak ragu akan kebenaran pengakuan Pek Eng, dan sekilas teringatlah dia akan nasib Ling Ling.

   "Eng-moi, katakanlah, siapa yang memasuki pondok itu. Yang pasti, aku tidak kembali dan..."

   "Orang itu adalah engkau!"

   Pek Eng menjerit.

   "Apa engkau tidak keliru? Engkau melihat benar bahwa orang itu adalah aku? Bukankah pondok itu gelap?"

   "Aku tidak akan keliru, bentuk tubuhmu, mukanya... engkaulah orang itu!"

   Tiba-tiba Hay Hay menjadi marah sekali. Sim Ki Liong! Siapa lagi yang akan mampu menalukkan gadis-gadis seperti Ling Ling dan Pek Eng kalau bukan Ki Liong? Orang itu sebaya dengannya, bentuk tubuh mereka pun sama, dan wajah Ki Liong juga halus, tidak berkumis atau berjenggot. Tentu Ki Liong, si jahanam itu yang melakukan perkosaan atas diri Ling Ling dan Pek Eng. Mungkin karena memang pemuda itu jahat dan cabul, atau lebih masuk akal lagi kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjatuhkan fitnah kepadanya, atau untuk menjadi akal mengikatnya dengan persekutuan itu.

   "Ki Liong jahanam kau...!"

   Hay Hay berseru dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.

   "Hay-ko... ouhhh... Hay-ko.!"

   Pek Eng mengeluh, tubuhnya menjadi lemas dan ia pun terkulai pingsan di tengah hutan itu. Keraguan yang timbul di dalam hatinya, keraguan bahwa Hay Hay akan mengingkari atau benar-benar bukan pemuda itu yang telah merenggut kehormatannya, terasa amat menusuk perasaannya dan gadis ini pun tidak kuat menahan kenyerian batinnya. Dua kemungkinan itu sama beratnya bagi Pek Eng, sama menyakitkan dan melenyapkan harapan bahwa ia akan hidup di samping pemuda yang dicintanya itu untuk selamanya, sebagai isterinya.

   Aneh rasanya melihat seorang laki-laki yang usianya sudah hampir separuh baya, lebih dari empat puluh tahun itu, menangis dengan air mata bercucuran sambil berlutut. Apalagi kalau orang mengenal siapa dia. Dia seorang laki-laki gagah perkasa, bukan saja seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan lebih dari itu, dia seorang ketua perkumpulan orang gagah yang sangat terkenal! Dia adalah Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai, seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Namunt pada saat itu dia seperti seorang anak kecil, menangis mengguguk bercucuran air mata di depan kakek dan nenek itu. Manusia memang lemah, karena itu, sikap orang gagah ini sama sekali tidaklah aneh. Ilmu kepandaian tinggi tidak akan membebaskan manusia dari kelemahannya itu, perasaan iba diri yang amat besar, keakuan yang menebal. Hanya kesadaran dan pengertian saja menjadi langkah pertama ke arah kebebasan.

   Ada orang yang dapat menyembunyikan kelemahan ini melalui kekejaman, melalui kekerasan, namun tetap saja hal itu membuktikan akan kelemahannya. Duka menjadi makanan setiap orang, apabila dia belum mampu membebaskan diri dari belenggu keakuannya. Kakek dan nenek itu menghela napas panjang melihat mantu mereka berlutut di depan mereka sambil menangis dan minta ampun itu. Mereka hanya mengamati dan mendengarkan dengan sikap tenang. Kakek itu adalah Ceng Thian Sin, Si Pendekar Sadis, majikan Pulau Teratai Merah. Kakek yang berusia enam puluh lima tahun ini masih nampak gagah perkasa dan sikapnya tenang dan matang. Sedangkan nenek itu, yang usianya sama dengan suaminya, bernama Toan Kim Hong, dan pernah ketika masih gadis menjadi seorang datuk sesat yang berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Juga nenek ini masih nampak muda dan jelas masih kelihatan bekas kecantikannya, sikapnya tenang seperti suaminya.

   "Harap Ayah dan Ibu mertua sudi memaafkan saya yang berani lancang datang menghadap. Sesungguhnya, sudah lama sekali saya menahan hati yang ingin sekali datang berkunjung, akan tetapi terus terang saja, saya tidak berani datang karena saya telah merasa bersalah terhadap puteri Ayah dan Ibu. Baru setelah anak Cia Kui Hong datang berkunjung ke Cin-ling-pai, saya memaksakan diri untuk menghadap dan mengakui semua kesalahan yang telah saya lakukan terhadap isteri saya, Ceng Sui Cin."

   Suami isteri yang usianya sudah enam pulun tahun lebih itu tidak menjawab, melainkan saling pandang, lalu mereka menoleh kepada puteri mereka. Sui Cin, wanita yang kini berusia hampir empat puluh tahun itu duduk sambil menundukkan mukanya yang menjadi merah dan ketika ia mengangkat mukahya memandang ke arah suaminya yang berlutut, kedua matanya menjadi basah, akan tetapi ia diam saja dan masih nampak kemarahan membayang pada sinar matanya.

   "Hui Song, kami orang tua tidak ingin mencampuri urusan kalian suami isteri, sungguhpun kami merasa ikut berduka dan prihatin sekali ketika anak kami pulang. Sekarang engkau telah datang setelah isterimu pulang selama tiga tahun lebih. Nah, sebaiknya kalau kalian berdua membicarakan sendiri urusan itu dan kami sebagai orang tua hanya ingin melihat kalian dapat akur kembali sebagai suami isteri. Sui Cin, ini suamimu datang, sudah sepatutnya kalau engkau menyambutnya dan segala urusan dapat kalian bicarakan dengan sebaiknya. Ajaklah suamimu masuk dan kalian bicaralah di dalam sana,"

   Kata Ceng Thian Sin dengan suara halus.

   "Ayahmu benar, Sui Cin,"

   Kata Nenek itu.

   "Tidak ada persoalan yang tidak dapat diatasi dengan musyawarah, dan tidak ada kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Ajaklah suamimu ini berunding dan atur sebaiknya bagaimana untuk menyelesaikan urusan diantara kalian itu."

   "Ayah dan Ibu, aku ingin bicara dengan dia di sini saja, agar dapat disaksikan oleh Ayah dan Ibu!"

   Kata Sui Cin dan nada suaranya keras, membayangkan keadaan hati yang sakit. Kemudian ia menghadapi Hui Song, memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan terdengar ia berkata.

   "Selama tiga tahun aku telah menjauhkan diri, sekarang tiba-tiba engkau datang menyusulku ke sini dengan maksud apakah?"

   Melihat dan mendengar sikap dan ucapan isterinya itu, perih rasa hati Hui Song. Namun, dia tidak menjadi marah. Tidak, dia tidak dapat marah kepada isterinya yang dicintanya itu, melainkan merasa kasihan. Dia merasa bahwa dia telah berdosa kepada isterinya, walaupun perbuatannya itu dilakukannya dengan terpaksa sekali. Dan kini, setelah dia melihat sendiri penyesalan ayahnya karena keputusan ayahnya yang mengakibatkan terpisahnya dia dan isterinya, semenjak datangnya Kui Hong ke Cin-ling-pai, dia sengaja datang untuk meminta maaf, untuk mengajak isterinya kembali. Akan tetapi sikap isterinya itu membuat dia merasa gelisah dan ragu. Jangan-jangan isterinya tidak dapat memaafkannya, dan ajakannya untuk rujuk kembali bahkan akan membuat isterinya menjadi semakin marah. Betapapun juga, dia harus mencobanya! Setelah menarik napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan, Hui Song berkata,

   "Cin-moi, seperti telah kukatakan kepada Ayah dan. Ibu mertua tadi, aku merasa bersalah kepadamu, dan karena perasaan bersalah itulah maka selama ini aku tidak berani datang berkunjung ke sini. Baru setelah anak kita datang ke Cin-ling-pai dan menegur aku dan Ayahku, aku memberanikan diri untuk datang ke sini. Maksudku tiada lain hanya untuk minta maaf kepadamu, dan mohon kepadamu sukalah engkau kembali ke Cin-ling-san."

   "Dan hidup serumah dengan isterimu yang baru, yang jauh lebih muda dan cantik dariku, dan setiap hari makan hati melihat engkau bermesraan dengan isteri barumu? Tidak! Tidak sudi aku!"

   "Cin-moi, tentu engkau pun dapat merasakan bahwa aku selamanya cinta kepadamu, dan kalau aku sampai menikah lagi, hal itu kulakukan karena terpaksa untuk berbakti kepada Ayahku yang menginginkan seorang cucu laki-laki penyambung keturunan keluarga Cia. Aku menikah lagi bukan untuk mengumbar nafsu, Cin-moi, engkau tentu tahu akan hal ini dan bagaimanapun juga, aku telah merasa bersalah kepadamu, telah menyakiti hatimu, harap engkau suka bersikap bijaksana dan suka memaafkan aku."

   Kerut diantara sepasang alis Sui Cin tidak lenyap, bahkan kini pandang matanya kepada suaminya menjadi semakin tajam penuh selidik.

   "Hemm, engkau mau enaknya saja. Apakah kalau sudah minta maaf begitu keadaannya lalu menjadi baik kembali? Sekarang, apa kehendakmu selanjutnya?"

   Hui Song maklum akan kemarahan di hati isterinya dan dia tidak menyalahkan istermya. Tidak, isterinya sama sekali tidak bersalah. Sudah wajarlah kalau isterinya merasa panas hatinya dan marah, sakit hati karena dia menikah lagi, memperisteri seorang wanita muda sehingga tentu saja isterinya merasa dibanding-bandingkan, merasa diremehkan dan tidak dibutuhkan lagi! Betapa nyerinya perasaan ini bagi seorang wanita, dia dapat memakluminya. Maka, dia pun tidak merasa tersinggung walaupun isterinya bersikap keras dan menggunakan kata-kata ketus.

   "Selanjutnya, terserah kepadamu, Cin-moi. Sudah kukatakan bahwa aku telah bersalah kepadamu, bagaikan seorang pesakitan aku telah mengakui kesalahanku, dan aku siap menerima hukumannya. Aku hanya mohon agar engkau suka mengampuniku dan suka kembali ke rumah kita di Cin-ling-san."

   "Tidak sudi aku selama wanita itu masih berada di sana! Dengarlah, aku mau kembali hidup di sampingmu, sebagai Ibu anak kita dan sebagai isterimu yang setia, hanya dengan satu syarat!"

   "Apakah syarat itu, Cin-moi?"

   "Syaratnya, wanita itu harus kau bunuh!"

   Seketika wajan Hui Song menjadi pucat, matanya terbelalak dan melihat ini, hati Sui Cin menjadi semakin panas.

   "Huh, engkau terlalu cinta kepadanya, tentu tidak akan mau kehilangan wanita itu! Kalau begitu, engkau lebih berat kepadanya, engkau lebih cinta kepadanya daripada kepadaku!"

   Dan kini kedua mata Sui Cin menjadi basah, namun dengan sikap gagah ia menanan tangisnya.

   "Bukan begitu, Cin-moi. Engkau tentu tahu bahwa engkaulah yang kucinta, sejak dahulu, sekarang sampai hayat meninggalkan badan. Akan tetapi... untuk membunuh Siok Bi Nio..., bagaimana hal itu mungkin? Bagaimanapun juga, ia adalah Ibu kandung puteraku, Cia Kui Bu!

   "Terserah! Tinggal kau pilih saja."

   Kata Sui Cin, suaranya serak oleh tangis yang ditahan-tahannya.

   "Ia atau aku! Kalau engkau memilih ia, jangan engkau harap aku akan sudi hidup bersamamu sebagai isterimu dan jangan engkau berani mencariku lagi karena kalau hal itu kau lakukan, aku akan menganggap itu sebagai penghinaan! Sebaiknya, kalau engkau memilih aku, engkau harus membunuhnya, membunuh wanita pelacur itu!"

   
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sui Cin, jangan engkau memaki orang tanpa alasan!"

   Tiba-tiba Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin menegur puterinya. Ia dan suaminya sejak tadi hanya mendengarkan saja, tidak mencampuri urusan puteri mereka, hanya menjadi saksi saja. Akan tetapi, mendengar puterinya memaki isteri muda Hui Song sebagai pelacur, ia merasa tidak setuju dan menegur puterinya.

   "Tentu saja ada alasannya, Ibu!"

   Bantah Sui Cin.

   "Semua wanita yang merebut suamiku adalah pelacur!"

   Lalu ia menoleh kepada suaminya lagi.

   "Nah, sekarang engkau boleh pilih dan mengambil keputusan sekarang juga!"

   Diam-diam Pendekar Sadis Ceng Thian Sin juga menyesalkan sikap puterinya, yang dianggapnya terlalu keras itu, akan tetapi dia diam saja dan hanya memandang kepada Hui Song. Ketua Cin-ling-pai ini merasa terpukul sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa isterinya akan bersikap sekaku dan sekeras itu. Dia menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, dia sudah mengenal baik watak lsterinya ini. Memang sikap Sui Cin keras, sesuai dengan wataknya yang keras, akan tetapi di balik kekerasan itu, isterinya memiliki hati yang amat baik dan bijaksana. Kalau sekarang kelihatan kejam adalah karena hatinya sedang dikeruhkan oleh perasaan cemburu dan panas. Dia tidak percaya bahwa isterinya akan memaksanya membunuh Bi Nio, karena hal ini sungguh berlawanan dengan watak pendekar dari isterinya.

   "Cin-moi, terus terang saja, aku tidak tega membunuh ibu dari puteraku sendiri. Kalau engkau yang akan melakukannya, terserah. Bagaimanapun juga, aku jelas lebih, berat kepadamu karena engkau adalah isteri yang kupilih sendiri, sedangkan Bi Nio menjadi isteriku karena keadaan. Marilah ikut pulang bersamaku dan di sana terserah kepadamu kalau engkau hendak menyingkirkan dan membunuh Siok Bi Nio."

   Pendekar Sadis diam-diam memuji mantunya itu. Dia dapat mengerti akan sikap Hui song dan dia sendiri pun tidak percaya kalau puterinya akan demikian kejamnya membunuh isteri muda Hui Song yang sama sekali tidak berdosa itu.

   "Memang sebaiknya kalau engkau ikut pulang suamimu, Sui Cin dan urusan itu dapat kalian selesaikan di Cin-ling-san,"

   Katanya. Isteri pendekar sakti itu pun mengangguk, karena ia pun dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Ia tahu bahwa puterinya mencinta Hui Song dan pada saat ini, puterinya sedang terbakar hatinya oleh cemburu dan ia merasa yakin bahwa kalau cemburu itu sudah hilang, muka puterinya tidak akan bersikap seperti itu.

   "Ayahmu benar, Sui Cin. Memang sebaiknya kalau kalian pulang ke Cin-ling-san dan di sana, urusan keluarga ini dapat dibicarakan dengan semua yang bersangkutan."

   Tidak dapat disangkal oleh Sui Cin sendiri bahwa jauh di dasar hatinya, ia amat mencinta Hui Song. Hampir tidak kuat ia bertahan ketika ia harus berpisah dari orang yang dicintanya selama tiga tahun ini. Hanya keangkuhan dan kekerasan hatinya sajalah yang membuat ia mampu bertahan dan menekan rasa rindunya yang amat sangat. Dan kekerasan hatinya juga yang membuat ia enggan mengalah, sehingga bersikap keras dan menuhtut agar suaminya membunuh isteri mudanya itu yang dianggapnya sebagai saingannya, sebagai seorang yang menjadi sebab kehancuran kebahagiaannya. Ia tidak mau mempedulikan alasan lain. Dianggapnya bahwa isteri muda suaminya itulah yang bersalah!

   "Baik,"

   Katanya setelah mendengar ucapan ayah ibunya.

   "Aku akan ikut bersamamu ke Cin-ling-pai, akan tetapi, kalau sampai di sana engkau tidak mau membunuh perempuan pelacur itu, akulah yang akan turun tangan membunuhnya sendiri!"

   Hui Song mengangguk.

   "Baiklah, aku dapat menerima syaratmu itu, Cin-moi."

   Ceng Thian Sin mengeluarkan suara ketawa.

   "Aha, akhirnya dapat juga dicapai kata sepakat. Girang sekali hati kami suami isteri mendengar ini, Anakku dan kami sungguh mengharap agar kalian dapat menemukan jalan keluar dari persoalan keluarga ini. Akan tetapi cukuplah bicara bersitegang dan ajaklah suamimu untuk makan minum dulu, Sui Cin "

   Hui Song tinggal di Pulau Teratai Merah selama tiga hari, barulah Pendekar Sadis dan isterinya memperkenankan dia dan Sui Cin meninggalkan pulau. Biarpun Sui Cin tidak lagi memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap suaminya, namun ia masih selalu menjauhkan diri. Hui Song diperlakukan sebagai seorang tamu saja! Bahkan ketika mereka meninggalkan pulau itu menuju ke Cin-ling-pai, ketika di sepanjang perjalanan mereka bermalam di sebuah rumah penginapan,Sui Cin menghendaki agar mereka menyewa dua buah kamar karena ia belum mau tinggal atau tidur sekamar dengan suaminya itu sebelum urusan di antara mereka dapat disesalkan. Ketika mereka tiba di Cin-ling-san, para anggauta Cin-ling-pai merasa gembira sekali melihat munculnya isteri ketua mereka. Mereka memberi hormat dan diterima dengan dingin saja oleh Sui Cin. Ketika mereka tiba di beranda, Sui Cin menolak untuk masuk terus.

   "Biarlah aku menanti saja di sini sampai kulihat engkau membunuhnya atau aku sendiri yang akan membunuhnya. Setelah itu, baru aku mau masuk ke dalam rumah ini."

   Hui Song tidak menjawab dan sampai beberapa lamanya dia memandang kepada isterinya, hatinya sedih bukan main. Tidak ada anggauta Cin-ling-pai yang berani mengganggu mereka dan di beranda rumah itu sunyi. Ayahnya tentu sedang bersamadhi di dalam kamarnya sendiri, pikirnya. Dan isterinya, Bi Nio, bersama puteranya, tentu berada di dalam kamar atau di bagian belakang. Mereka semua belum tahu akan kedatangannya, dan tentu sama sekali tidak menyangka bahwa pulangnya bersama Sui Cin, isteri pertamanya.

   "Baiklah, aku akan menemui Bi Nio."

   Katanya dan dia meninggalkan Sui Cin masuk ke dalam rumah untuk mencari isteri mudanya. Dia menemukan mereka berada di ruangan belakang. Bi Nio terkejut dan girang melihat suaminya pulang.

   "Ah, engkau begini tiba-tiba pulang sehingga kami tidak dapat melakukan penyambutan."

   Katanya sambil tersenyum manis, akan tetapi senyumnya segera menghilang ketika ia melihat wajah suaminya yang nampak keruh dan berkerut penuh kegelisahan.

   "Apakah yang telah terjadi.?"

   Tanya isteri itu khawatir. Hui Song belum menjawab, melainkan meraih puteranya, Cia Kui Bu yang baru berusia sekitar dua tahun memangkunya, mencium kepalanya. Anak yang mengenal ayahnya itu tertawa-tawa dan kembali Bi Nio mendesak.

   "Apakah yang terjadi maka engkau kelihatan begini susah....?"

   Tanyanya lagi sambil menyentuh lengan suaminya. Biarpun wanita ini menjadi isteri Hui Song atas kehendak orang tuanya, namun selama ini ia menemukan seorang suami yang amat baik dan bijaksana, dan Bi Nio telah jatuh cinta kepada suaminya sendiri yang jauh lebih tua darinya itu, setua ayahnya.

   "Bi Nio."

   Hui Song berkata, akan tetapi tidak mampu melanjutkan. Biarpun tadinya dia merasa yakin bahwa Sui Cin tidak mungkin akan melaksanakan tuntutan atau ancamannya, namun berhadapan dengan Bi Nio dan membayangkan betapa nasib amat buruk menanti wanita ini, hatinya penuh rasa iba. Bi Nio tidak bersalah apa pun, dan Cia Kui Bu juga tidak bersalah apa-apa. Mana mungkin dia harus membunuh Bi Nio dan memisahkan Kui Bu dari ibunya? Dosanya akan menjadi semakin besar kalau dia melakukan hal itu!

   "Bi Nio, ketahuilah bahwa isteriku yang pertama kini ikut pulang bersamaku."

   "Ah, sungguh berita yang menggembirakan sekali. Saya harus segera keluar menyambut! Di mana ia.?"

   Bi Nio menggendong puteranya dan nampak gembira. Melihat ini, Hui Song menarik napas panjang.

   "Nanti dulu, Bi Nio. Justeru karena inilah maka aku menjadi bingung. Ceng Sui Cin, isteri yang pertama itu, ia... ia menuntut agar aku memilih salah satu. Memilih engkau atau memilih ia! Ia tidak mau dimadu, tidak mau kalau aku memiliki dua orang isteri."

   Sepasang mata itu terbelalak dan mukanya menjadi sepucat kertas ketika ia menatap wajah suaminya. Beberapa saat lamanya ia seperti kehilangan akal saking kagetnya mendengar ucapan suaminya itu. Kemudian, dengan suara lirih ia bertanya.

   "Kalau... kalau memilih aku..?"

   "Kalau aku memilih engkau, ia tidak sudi kembali ke sini, tidak mau lagi hidup di sampingku sebagai isteriku."

   "Ah, tidak mungkin kau lakukan hal itu!"

   Bi Nio berseru kaget.

   "Tentu saja tidak mungkin. Engkau tahu bahwa ia adalah isteriku, dan pernah kukatakan kepadamu bahwa ia isteriku yang kucinta, dan kami telah mempunyai seorang anak perempuan yang kucinta pula. Engkau sudah melihat Kui Hong ketika ia datang berkunjung."

   "Seorang gadis yang hebat. Dan kalau engkau memilih isterimu yang pertama?"

   Bi Nio mendesak. Hui Song menarik napas panjang, tidak mampu menjawab, tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa Sui Cin menghendaki dia membunuh Bi Nio! Melihat keraguan suaminya, Bi Nio mendekap anaknya dan berkata sambil menangis!

   "Aku tahu! Aku yang harus pergi dari sini! Ah, memang sudah sepatutnya begitu. Aku hanya isteri ke dua, dan sudah tentu engkau lebih berat kepada isterimu pertama baiklah, aku akan pergi, akan kubawa Kui Bu pergi.."

   "Tidak mungkin!"

   Tiba-tiba Hui Song berseru keras mengejutkan Bi Nio yang belum pernah selama menjadi isteri Ketua Cin-ling-pai itu mendengar suaminya membentak kepadanya.

   "Engkau tidak boleh membawa pergi Kui Bu! Dia adalah putera tunggalku, satu-satunya penyambung keturunan keluarga Cia. Engkau tidak boleh membawanya!"Sepasang mata Bi Nio kini terbelalak lebar penuh kegelisahan dan puteranya didekap di dadanya dekapannya kuat sekali sehingga anak yang baru berusia dua tahun lebih itu menangis. Agaknya dia dapat merasakan kegelisahan hati ibunya.

   "Kau... kau hendak memisahkah aku dari Anakku? Ahh tidak... jangan..."

   Biar kubawa dia pergi aku tidak minta apa-apa darimu, tidak menuntut apa pun. Aku akan pergi tanpa membawa apa pun... tapi... jangan minta aku pergi meninggalkannya di sini! Ah, jangan... lebih baik kau bunuh saja aku.."

   Dan wanita itu menangis sesenggukan sambil mendekap dan menciumi puteranya yang juga ikut menangis. Melihat keadaan Ibu dan anak itu, Hui Song lalu berlari keluar. Inilah saatnya yang tepat untuk mempertemukan Sui Cin dengan mereka, pikirnya. Dia melihat Sui Cin masih duduk di serambi depan.

   "Cin-moi, marilah. Siok Bi Nio dan anaknya sudah menantimu di dalam. Mari kita temui mereka!"

   Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi ia menurut dan mengikuti suaminya memasuki rumah itu, rumah di mana kurang lebih enam belas tahun menjadi tempat tinggalnya, di mana selama enam belas tahun ia hidup berbahagia dengan suaminya. Mereka mendapatkan Bi Nio masih menciumi puteranya sambil menangis di ruangan dalam. Sui Cin memandang penuh perhatian. Hemm, seorang perempuan yang masih muda sekali, paling banyak berusia dua puluh satu atau dua tahun, sepantasnya menjadi kakak Kui Hong. Pantas menjadi anaknya, atau keponakannya! Dan anak laki-laki yang juga ikut menangis bersama ibunya itu, demikian mirip dengan Hui Song! Berkerut alis Sui Cin.

   "Cin-moi, inilah Siok Bi Nio dan anak kami, Cia Kui Bu. Aku sudah memberitahu kepadanya akan keputusanmu bahwa aku harus memilih antara engkau dan ia. Dan sudah kukatakan bahwa tentu saja aku berat kepadamu yang menjadi isteriku sejak muda. Sekarang terserah kepadamu, ini ia dan anaknya, boleh kau putuskan sendiri,"

   Kata Hui Song, wajahnya agak pucat dan hatinya terasa tegang sekali. Sementara itu, mendengar kedatangan dua orang itu, Bi Nio mencoba untuk menghentikan tangisnya dan mengangkat muka memandang kepada wanita cantik yang berdiri di depannya. Seorang wanita yang cantik dan berwibawa, nampak galak dan membuat ia merasa kecil sekali, kecil dan lemah.

   "Engkau yang bernama Siok Bi Nio?"

   Sui Cin bertanya, suaranya ketus.

   "Benar, aku bernama Siok Bi Nio."

   Jawab yang ditanya, suaranya lirih dan ia mendekap puteranya yang masih menangis, menggoyang-goyang anaknya untuk membujuknya agar diam.

   "Engkau sudah mendengar akan keputusanku. Suamiku minta agar suka kembali dan tinggal di sini. Aku mau kembali, dengan syarat bahwa dia harus membunuhmu. Dan tentang anakmu ini, karena dia anak suamiku, biarlah aku yang akan memeliharanya."

   Berkata demikian Sui Cin menatap wajah Bi Nio dengan tajam penuh selidik, agaknya hendak melihat reaksi wanita itu setelah mendengar ucapannya. Bi Nio terbelalak, kembali anaknya didekap erat-erat, dan ia memandang suaminya.

   "Ah, jadi begitukah? Suamiku, kalau memang kalian berkeras untuk mimsahkan aku dari anakku, lebih baik cepat kau turun tangan dan bunuh aku. Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dengan anakku, dan bunuh pula anakku ini. Aku akan membawanya ke mana saja, hidup atau mati harus bersama dia! Bunuhlah agar kalian dapat hidup berbahagia!"

   Bi Nio berkata sambil menangis dan tak pernah melepaskan rangkulannya dari anaknya.

   "Cin-moi, tak mungkin aku dapat membunuhnya. Tidak mungkin aku akan sekejam itu. Kalau engkau masih menghendaki untuk membunuhnya, nah, terserah kepadamu. Lakukanlah kalau memang kau ingin demikian!"

   Hui Song berada dalam keadaan tegang sekali. Dia tahu bahwa kalau sampai isterinya itu benar-benar turun tangan hendak membunuh Bi Nio, dia tentu akan menentang dan mencegahnya, dan mungkin sekali dia akan memutuskan hubungan batinnya dengan Sui Cin, betapa besar pun cintanya terhadap Sui Cin. Dia akan menganggap perbuatan Sui Cin yang hendak membunuh Bi Nio sebagai perbuatan terkutuk dan kejam sekali.

   Hui Song sama sekali tidak tahu atau menyangka bahwa kalau Sui Cin mengatakan bahwa dia harus membunuh Bi Nio, hal itupun hanya merupakan suatu ujian saja. Sui Cin hendak melihat apakah suaminya tetah menjadi sedemikian palsunya, mudah mengorbankan seorang wanita demi tercapainya keinginannya. Dulu, suaminya mengorbankan dirinya, membiarkan ia pergi bersama Kui Hong karena suaminya hendak menikah lagi. Dan sekarang, karena suaminya menghendaki ia kembali, ia ingin melihat apakah suaminya mau mengorbankan Bi Nio, bahkan mau membunuhnya! Tentu saja, betapa pun rasa cemburu dan panas hati menyesak dadanya ketika berhadapan dengan madunya, ia sebagai seorang pendekar tidak akan sudi menyerang, melukai apalagi membunuh seorang wanita lemah seperti Bi Nio.

   "Bi Nio, karena suamiku memilih aku untuk kembali ke sini, maka aku minta agar engkau suka pergi dengan baik-baik dari rumah ini. Puteramu harus ditinggal di sini, akan kupelihara, dan kami akan memberimu uang secukupnya agar engkau dapat berdagang, membuka toko, atau menikah lagi dengan seorang laki-laki yang muda dan sebaya denganmu,"

   Kata Sui Cin, suaranya tidak ketus lagi, bahkan agak lembut. Ucapan Sui Cin itu membuat Bi Nio terbelalak, wajahnya berubah pucat lalu merah sekali, tubuhnya menggigil dan ia pun mendekap anaknya, lalu bangkit berdiri.

   "Tidak... Tidaaaakk... Siapa pun tidak boleh mengambil anakku! Biarkan aku pergi bersama anakku. Aku tidak butuh uang, tidak butuh harta, tidak butuh suami muda..., aku ingin hidup bersama anakku, biar miskin sekalipun. Biarkan aku pergiiii.!"

   Wanita itu lalu keluar dengan tubuh terhuyung, sambil memondong puteranya dan menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, baru tiba di pintu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di depannya, menghadangnya dan sekali kakek itu menggerakkan tangan, Kui Bu, anak berusia dua tahun itu telah terampas dari pondongan ibunya dan berada dalam pondongan lengan kanan kakek itu.

   "Cia Kui Bu adalah satu-satunya keturunan keluarga Cia yang harus berada di sini, mewarisi seluruh peninggalan keluarga Cia dan menjadi calon ketua Cin-ling-pai, tidak boleh siapa pun membawanya pergi dari sini."

   Katanya, suaranya keren sekali. Melihat ayah mertuanya, Bi Nio menjerit dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan ayah mertuanya.

   "Ayaaaahhh...!"

   Ia merangkul kaki ayah mertuanya dan menangis sesenggukan. Kakek itu adalah Cia Kong Liang yang terbangun dari samadhinya dan ketika dia mendengar keributan di ruangan belakang, dia segera menghampiri dan turun tangan merampas cucunya yang hendak dibawa pergi oleh mantunya itu. Kini, dengan cucunya yang masih menangis dalam pondongannya, dia berkata kepada mantunya yang pertama, suaranya halus namun tegas.

   "Sui Cin, aku tahu betapa pernikahan Hui Song dengan Bi Nio telah menghancurkan hatimu dan kini engkau datang untuk menuntut hakmu. Akan tetapi aku harap engkau bertindak adil, dapat melihat siapa yang bersalah dan siapa tidak! Bi Nio tidak dapat disalahkan dalam hal ini, karena ia hanya seorang wanita yang menurut kemauan orang tuanya, menyerahkannya kepada kami untuk menjadi isteri kedua Hui Song. Jadi, kesalahannya kini terletak di atas pundak Hui Song. Akan tetapi, engkau pun tentu telah mengetahui bahwa pernikahan ke dua ini sama sekali bukan keinginan hati Hui Song. Dia hanya ingin memenuhi perintahku, atau tidak berani menolak perintahku sebagai seorang putera berbakti. Dengan demikian, kesalahan dari pundaknya kini berada di atas pundakku! Nah, akulah yang bersalah, aku yang berdosa, karena itu, tidak sepatutnya kalau untuk kesalahan yang kulakukan, Bi Nio yang harus menanggung hukumannya! Aku sudah tua dan aku siap menerima hukumannya, Sui Cin. Kalau engkau merasa sakit hati, nah, balaslah kepadaku, aku tidak akan melawan untuk menebus kesalahanku kepadamu, akan tetapi jangan ganggu Bi Nio. Ia seorang isteri yang baik, ia telah memberi seorang keturunan laki-laki kepada keluarga Cia, dan ia mencinta suaminya..."

   "Ayah...!"

   Sambil terisak dan merangkul kaki ayah mertuanya, Bi Nio berkata.

   "Ayah tidak bersalah, Ayah tidak berdosa! Kalau Ayah menginginkan putera Ayah menikah lagi, hal itu Ayah lakukan bukan karena Ayah membenci mantu pertama, melainkan karena Ayah ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki! Bagaimana pun juga, sayalah yang menjadi biang keladi semua pertentangan dan keributan ini. Ayahnya Kui Bu ingin kembali dengan isterinya yang pertama, dan isterinya yang pertama mau kembali kepadanya akan tetapi tidak mau dimadu, dan Ayah tidak ingin melihat Kui Bu keluar dari sini, tidak ada yang dapat memberi penerangan dalam kegelapan ini kecuali saya. Satu-satunya jalan, saya harus pergi dari sini, tanpa... tanpa anakku..., biarlah saya menderita, merana, demi kebahagiaan suami saya, isterinya, dan Ayah, juga Kui Bu sendiri."

   Kini wanita itu bangkit dan lari keluar, terhuyung dan menangis sedih. Sejenak tiga orang itu tidak ada yang bergerak, akan tetapi tiba-tiba Sui Cin meloncat dan tubuhnya meluncur cepat melewati Bi Nio. Ketika ia turun, ia telah menghadang di depan Bi Nio.

   

Asmara Berdarah Eps 39 Siluman Gua Tengkorak Eps 8 Asmara Berdarah Eps 5

Cari Blog Ini