Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Mata Keranjang 8


Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



"Wah, terima kasih atas sumbanganmu pisau-pisau ini, kodok buduk! Semua pisau ini dapat kutukarkan sebuah caping yang lebih baik dan lebih baru."

   Kembali semua orang tertawa memuji kelihaian Hay Hay dan si gendut pendek semakin marah. Seluruh pisau terbangnya sudah dia pergunakan untuk menyerang dan jadang ada orang mampu menghindarkan diri dari serangan tiga belas pisau terbangnya itu. Dan kini, semua pisau terbangnya hilang dan dilumpuhkan hanya oleh sebuah caping! Dengan marah dia menggerakkan kepalanya dengan goyangan beberapa kali dan rambutnya yang digelung itu terlepas dan terurai. Kini, dia menyerang lagi dengan golok besarnya, dan rambutnya ikut menyerang ketika dia menggerak-gerakkan kepalanya. Serangan rambut itu tidak kalah bahayanya dengan serangan golok besar ditangannya. Agaknya Siok Hwa Cu hendak mengamuk habis-habisan untuk memenangkan pertandingan ini.

   Terkejut dan kagum juga Hay Hay ketika dia mengelak dari sambaran golok besar, tiba-tiba segumpal rambut menyambar dengan dahsyatnya ke arah lehernya! Rambut yang penuh uban, kaku dan berbau apak! Dia tahu bahwa senjata istimewa itu tidak boleh dipandang ringan, karena rambut itu agaknya menjadi senjata andalan lawan, kini rambut yang menyerangnya itu tiada ubahnya kawat-kawat baja yang berbahaya sekali. Hay Hay melangkah mundur, akan tetapi gumpalan rambut itu mengejar terus dengan bertubi-tubi. Ketika Hay Hay berusaha menangkap gulungan rambut itu sambil menangkis, rambut itu berubah lemas dan seperti ular saja telah membelit dan mengikat pergelangan tangannya. Pada saat itu, golok besar menyambar ke arah lengannya yang sudah terbelit rambut.

   "Hemmm...!"

   Hay Hay menotok ke arah siku lengan yang memegang golok, lalu menarik tangan yang terlibat. Hampir saja lengannya buntung! Tahulah dia bahwa rambut itu berbahaya sekali.

   "Ihh, kodok tua. Rambutmu apak menjijikkan!"

   Katanya dan melihat banyak senjata berserakan diatas tanah, dia lalu menyambar sebatang pedang. Golok menyambar lagi dan sengaja dia menyambut dengan pedang sebagai pancingan. Benar saja, begitu pedang bertemu golok, rambut itu sudah menyambar lagi. Hay Hay cepat memantulkan pedang yang bertemu golok dan memutar pergelangan tangannya yang memegang pedang sambil mencengkeram gumpalan rambut dengan tangan kiri.

   "Brettt!"

   Sebelum Siok Hwa Cu menyadari kesalahannya, rambutnya yang panjang telah terbabat pedang dan buntung! Hay Hay mengangkat tinggi-tinggi gulungan rambut itu.

   "Heiii, siapa mau membeli ekor babi?"

   Dia menawarkan gumpalan rambut itu kepada para murid Cin-ling-pai yang menjadi penonton. Semua orang menyambutnya dengan gelak tawa karena mereka semua merasa senang melihat pengacau yang dibenci itu kini menjadi permainan pemuda yang lihai itu. Siok Hwa Cu hampir meledak saking marahnya ketika rambutnya dibuntungi lawan. Dia menggerakkan golok besarnya membabat ke arah pinggang Hay Hay dengan marah sekali.

   "Haiiii, sayang luput!"

   Kata Hay Hay yang dengan lincahnya sudah melompat ke atas. Siok Hw Cu mengejar dengan tanga goloknya membacok ke atas, akan tetapi Hay Hay menarik kedua kaki ke atas dengan menekuk lutut, kemudian ketika golok menyambar lewat di bawah kakinya, dia menurunkan kedua kaki di atas golok, seperti seekor burung hinggap diatas rating saja!

   Semua orang menahan napas saking kagum dan juga khawatir. Pemuda itu sungguh amat berani mempermainkan lawannya yang demikian berbahaya. Melihat pemuda yang menjadi lawannya itu berdiri di atas goloknya, Siok Hwa Cu hampir tidak percaya. Betapa beraninya lawan ini, dan betapa tinggi tingkat ilmunya meringankan tubuh. Dia menggunakan tangan kirinya untuk mencengkeram ke arah kaki, akan tetapi kini Hay Hay melompat ke atas kepala si pendek gendut itu! Semua orang merasa semakin kagum dan bertepuk tangan. Mereka seolah-olah melihat pertunjukan akrobatik, bukan pertandingan silat lagi. Sepasang mata Siok Hwa Cu terbelalak. Kalau tidak merasa malu, tentu dia sudah menjerit-jerit karena kepalanya terasa nyeri bukan main, seperti ditindih batu yang beratnya ratusan kati!

   Ketika dia menggerakkan golok besarnya untuk membacok ke arah dua kaki yang berada di atas kepalanya, tiba-tiba ujung sepatu Hay Hay menotok pundaknya dan lengan kanannya terasa lumpuh. Hay Hay meloncat turun, berjungkir balik dan begitu dia menampar dengan tangan ke arah pergelangan tangan yang memegang golok, golok itu pun terlepas dan jatuh ke atas tanah. Kembali semua orang bersorak dan tertawa. Hay hay tersenyum dan menengok. Dia melihat betapa Kui Hong sudah berdiri menganggur dan menonton disitu sambil tersenyum. Juga para tokoh Cin-ling-pai berdiri dan menjadi penonton. Kiranya pertempuran itu telah selesai dan agaknya orang-orang Cin-ling-pai sudah berhasil merobohkan semua musuh masing-masing. Tinggal dia seorang yang menjadi tontonan!

   Hay Hay memang berwatak gembira, jenaka dan nakal. Sama sekali bukan karena kesombongan atau mencari pujian kalau dia mempermainkan lawannya, melainkan karena dia hendak menghukum orang yang dia tahu amat jahat seperti iblis ini, dan untuk memberi kegembiraan kepada orang-orang Cin-ling-pai yang telah dirugikan besar sekali oleh para tokoh Pek-lian-kauw ini. Dia sama sekali tidak tahu betapa di antara para penonton, terdapat beberapa penonton yang memandangnya dengan alis berkerut. Mereka itu adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin. Dalam pandangan mereka, pemuda yang tersenyum-senyum mempermainkan tosu Pek-lian-kauw itu sedang menjual lagak.

   Akan tetapi karena jelas bahwa pemuda itu membantu Cin-ling-pai melawan musuh, tentu saja mereka merasa tidak enak untuk menghalanginya, hanya diam-diam mereka bertanya-tanya siapa kiranya pemuda bercaping yang lihai namun sombong itu. Kui Hong yang sudah mengenal watak pemuda itu, hanya tersenyum saja melihat kenakalan Hay Hay. Ia tahu benar bahwa perbuatan Hay Hay itu bukan untuk menyombongkan diri atau memamerkan kepandaian, melainkan untuk mempermainkan dan menghukum tosu Pek-lian-kauw itu agar hatinya puas dan agar orang-orang Cin-ling-pai yang sakit hati juga mendapat kepuasan. Maka, ia pun diam saja dan hanya menonton. Seluruh anak buah Pek-lian-kauw telah dapat dibasmi, dan satu-satunya orang yang lolos hanya Tok-ciang Bi Moli. Kim Hwa Cu, tosu termuda dari Pek-lian Sam-kwi telah tewas di tangannya.

   Demikian pula Lan Hwa Cu, tosu tertua, tewas di tangan suaminya. Kini di antara tiga orang tokoh sesat Pek-lian-kauw itu tinggal seorang lagi, yaitu Siok Hwa Cu yang masih bertanding dengan Hay Hay. Seluruh anggauta Cin-ling-pai yang sudah selesai bertempur kini juga menonton perkelahian yang lucu dan menarik itu. Bahkan mereka yang terluka seperti mendapat hiburan segar. Siok Hwa Cu juga maklum bahwa nyawanya terancam bahaya dan bahwa dia dipermainkan pemuda itu. Senjata rahasianya telah habis, rambutnya juga sudah buntung dan kini golok besarnya terlepas dari tangan pula. Dia hanya dapat mengandalkan sin-kangnya dan dalam keadaan putus asa dan marah dia menjadi nekat. Dia merendahkan diri, berjongkok di depan Hay Hay. Melihat ini, Hay Hay berseru sambil memencet hidung dengan tangan kananya.

   "Hai, kodok buduk, kalau kau mau buang air besar jangan di sini! Kotor dan bau menjijikkan!"

   Tentu saja para anggauta Cin-ling-pai tertawa mengejek mendengar itu dan muka Siok Hwa yang memang sudah hitam itu menjadi semkain hitam karena marahnya. Apalagi melihat banyak anak buah Cin-ling-pai ikut-ikutan menutup hidung seperti apa yang dilakukan pemuda lawannya yang lihai itu.

   "Jahanam sombong, engkau atau aku yang mati!"

   Bentaknya dan ia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, perutnya yang gendut itu membengkak dan mengeluarkan suara berkokokan, kemudian tubuhnya seperti menggelundung maju dan kedua tangannya didorongkan lurus ke depan, ke arah Hay Hay.

   "Kok-kok-kokk!"

   Tosu gendut itu mengeluarkan bunyi dari perutnya melalui kerongkongan. Hay Hay yang ingin mempermainkan lawan, juga meniru gerakan Siok Hwa Cu, dia juga berjongkok dengan pantat di tonjolkan kebelakang, bahkan agak digoyang-goynag, kedua tangan didorongkan ke depan dan dia pun mengeluarkan suara seperti lawannya.

   "Kok-kok-kokk!"

   Diam-diam Siok Hwa Cu terkejut karena mengira bahwa lawannya juga mampu memainkan ilmu pukulan katak seperti dia. Akan tetapi pemandangan itu terasa lucu sekali oleh mereka yang nonton, seolah mereka melihat dua ekor katak raksasa sedang laga.

   "Dukk!!"

   Dua pasang telapak tangan saling bertemu dengan kekuatan dahsyat, dan akibatnya, tubuh Siok Hwa Cu terguling-guling ke belakang, sedangkan Hay Hay meloncat berdiri. Tentu saja dia tidak pernah belajar ilmu katak seperti lawannya. Tadi dia hanya main-main saja. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang untuk melawan serangan orang itu. Dan karena memang tenaga sin-kangnya jauh lebih kuat, tentu saja tubuh Siok Hwa Cu yang terpental dan terguling-guling. Kalau Hay Hay menghendaki, dalam adu sin-kang ini saja dia akan dapat membunuh lawannya. Akan tetapi dia belum merasa puas, hendak mempermainkan lawan sampai lawan mengaku kalah atau menyerah.

   "Hei, katak buduk. Berlututlah dan minta ampun seratus kali kepada Cin-ling-pai, baru aku akan menyerahkan kamu kepada pimpinan Cin-ling-pai!"

   Akan tetapi Siok Hwa Cu sudah nekat. Dia maklum bahwa kalau dia diserahkan kepada pimpinan Cin-ling-pai, sudah pasti dia akan dibunuh juga, mengingat bahwa kesalahannya terhadap Cin-ling-pai amat besar. Daripada mati dihukum oleh para pimpinan Cin-ling-pai, lebih baik mati dalam perkelahian melawan pemuda lihai ini.

   "Sampai mati pun aku tidak sudi minta ampun!"

   Bentaknya dan kembali ia berjongkok dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kini dia hendak mengeluarkan ilmunya yang paling akhir dan paling diandalkan, yaitu mengerahkan seluruh sin-kangnya dan menyalurkannya ke arah kepalanya!

   "Heii, mau berak lagi?"

   Hay Hay mengejek dan banyak orang tertawa. Kini tubuh pendek gendut itu lari menyeruduk ke depan, kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk. Hay Hay melihat serangan itu dan dia pun mengerti. Lawannya hendak menggunakan kepala untuk menyerangnya! Dia pun berdiri tegak dan menyambut terjangan lawan itu dengan perutnya!

   "Capp!"

   Kepala itu menusuk ke perut Hay Hay dan semua orang terbelalak khawatir akan keselamatan pemuda yang berani itu. Biarpun tubuhnya gendut, akan tetapi kepala Siok Hwa Cu termasuk kecil dan kepala itu disedot masuk ke rongga perut Hay Hay. Hay Hay menotok kedua pundaknya sehingga kedua tangannya lumpuh dan hanya tinggal kakinya saja yang bergerak-gerak. Siok Hwa Cu merasa betapa kepalanya seperti masuk ke dalam lumpur yang mendidih panas!

   "Pergilah!"

   Hay Hay mengerahkan sin-kangnya dan menendang kepala itu dengan kekuatan perutnya. Tubuh Siok Hwa Cu terlempar kebelakang dan terbangting keras ke atas tanah. Tosu Pek-lian-kauw ini merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, hampir meledak rasanya dan tahulah dia bahwa kalau dia lanjutkan perlawanannya, dia hanya akan menjadi permainan yang memalukan saja. Dia mengerahkan sisa tenaganya kepada tangan kanannya sehingga tangan kanan itu dapat bergerak kembali dan tiba-tiba dia mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya dengan sisa tenaga terakhir.

   "Krekkk!"

   Jari-jari tanganya masuk ke dalam kepalanya dan dia pun tewas seketika. Banyak anak buah Cin-ling-pai bersorak memuji, dan Kui Hong menghampiri kekasihnya sambil tersenyum girang.

   "Hay-ko, mari kuperkenalkan kau kepada keluargaku!"

   Hay Hay juga tersenyum dan mengangguk. Mereka lalu menghampiri Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang berdiri menanti mereka. Hay Hay sudah banyak mendengar akan kebesaran nama keluarga Cia dari Cin-ling-pai ini, maka begitu berhadapan, dia pun cepat mengangkat kedua tangan ke dada dan memberi hormat dengan sikap sopan dan wajah berseri.

   "Saya telah banyak mendengar nama besar keluarga Cia dari Cin-ling-pai, sungguh beruntung sekali dan merupakan kehormatan besar hari ini saya dapat berhadapan dengan cu-wi (anda sekalian)."

   Katanya.

   "Kong-kong, Ayah dan Ibu, dia adalah sahabatku bernama Hay Hay. Hay-ko, perkenalkan ini kong-kong Cia Kong Liang, ayah Cia Hui Song dan ibu Ceng Sui Cin. Dan ini adikku Cia Kui Bu."

   Kembali Hay Hay memberi hormat kepada tiga orang tua itu, yang dibalas mereka dengan sikap sederhana. Kesan buruk akan cara Hay Hay mempermainkan lawan tadi masih membuat mereka enggan beramah tamah dengan pemuda itu. Akan tetapi, pandang mata mereka cukup tajam untuk dapat melihat sikap Kui Hong yang amat mesra terhadap pemuda itu, maka mereka pun menahan diri dan tidak mengeluarkan kata-kata yang menyinggung. Cia Hui Song hanya membalas penghormatan Hay Hay dan berkata tenang.

   "Orang muda, engkau sungguh lihai dan terima kasih atas bantuanmu kepada kami."

   "Ah, harap Paman tidak bersikap sungkan. Saya adalah sahabat baik adik Cia Kui Hong, dan biarpun andaikata orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak mengacau disini, kalau bertemu dengan saya dimana pun tentu mereka akan saya tantang karena mereka selalu melakukan kejahatan-kejahatan."

   "Ayah, Ibu, aku telah mengundang Hay-koko untuk bertamu ditempat kita untuk beberapa hari lamanya."

   Suami isteri itu saling pandang dan Ceng Sui Cin yang menjawab.

   "Baiklah, antar dia pulang dulu. Kami masih ingin mengatur anak buah untuk membersihkan tempat ini."

   "Benar, Kui Hong. Kau pulanglah dulu bersama sahabatmu ini,"

   Kata pula Hui Song. Melihat sikap ayah ibunya, juga kakeknya yang agaknya tidak suka kepada Hay Hay, tentu saja Kui Hong merasa tidak enak hati. Akan tetapi Hay Hay tetap gembira saja dan dua orang muda ini lalu mendahului keluarga Cia pulang ke rumah keluarga Cia yang berada dibagian belakang. Markas Cin-ling-pai itu memang luas, dan yang menjadi tempat perkelahian tadi adalah bagian paling depan.

   Para wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tadi telah menjadi saksi dan mereka pun maklum akan apa yang terjadi. Mereka tahu bahwa ternyata Cin-ling-pai dimasuki orang-orang Pek-lian-kauw yang setelah menawan keluarga Cia, lalu menggunakan nama Cin-ling-pai untuk mengadu domba antara Cin-ling-pai dan partai-partai persilatan besar.

   Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai tidak bersalah, maka tentu saja ketika terjadi keributan tadi, kemarahan mereka ditujukan kepada orang-orang Pek-lian-kauw dan mereka pun ikut pula membasmi anak buah Pek-lian-kauw. Juga mereka ikut pula melihat sepak terjang Hay Hay dan melihat pertemuan antara Hay Hay dan keluarga Cia. Karena merasa urusan itu bukan urusan mereka, maka mereka pun tidak mencampuri bicara dan diam saja. Padahal, diantara mereka banyak yang mengenal Hay Hay. Dua orang hwesio dari Siauw-lim-pai, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, sudah mendengar tentang pemuda itu. Bahkan Tiong Gi Cinjin, tokoh Bu-tong-pai itu, dahulu pernah bentrok dengan Hay Hay yang mereka kira jai-hoa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Biarpun akhirnya mereka tahu bahwa pemuda itu bukan Ang-hong-cu, namun diam-diam mereka merasa heran bagaimana putera penjahat besar itu dapat menjadi sahabat akrab dengan Cia Kui Hong, yang menjadi pangcu ketua Cin-ling-pai!

   Cia Kong Liang, Cia Hui Song, dan Ceng Sui Cin memerintahkan anak buah mereka untuk menyingkirkan mayat-mayat musuh, mengurus pula mayat kawan-kawan sendiri dan merawat yang luka. Kemudian mereka mengundang para tamu dari empat partai besar untuk minum bersama agar peristiwa tidak enak yang hampir saja membuat Cin-ling-pai bentrok dengan mereka itu dapat dihapuskan. Karena merasa bahwa mereka pun telah salah kira dan memusuhi Cin-ling-pai yang sesungguhnya tidak bersalah, rombongan empat partai besar itu merasa sungkan. Mereka menolak dengan halus dan minta diri untuk pulang ke tempat mereka masing-masing. Keluarga Cia tidak dapat menahan mereka, hanya mohon maaf dan berterima kasih atas pengertian mereka. Kemudian rombongan Bu-tong-pai yang merupakan rombongan terakhir berpamit. Dalam kesempatan itu, Tiong Gi Cinjin berkata kepada Hui Song.

   "Kami mengucapkan selamat kepada Cia-taihaip, bukan saja karena terbebas dari tangan orang-orang Pek-lian-kauw dan Cin-ling-pai telah dapat membersihkan namanya, akan tetapi terutama sekali karena Cia-Taihiap mempunyai seorang puteri yang demikian perkasa seperti Cia-pangcu (ketua Cia). Kalau tidak atas kebijaksanaan puteri Taihiap, dan dibantu oleh Pendekar Mata Keranjang, tentu kami semua juga masih salah duga."

   "Pendekar Mata Keranjang? Siapa yang totiang maksudkan?"

   Ceng Sui Cin bertanya sambil memandang dengan alis berkerut. Tiong Gi Cinjin memandang kepada nyonya yang gagah perkasa itu.

   "Apakah Lihiap belum mengetahuinya? Pemuda tadi..."

   "Ah, kau maksudkan pemuda sahabat Kui Hong yang bernama Hay Hay tadi? Apakah totiang mengenal dia?"

   Tanya Sui Cin.

   "Tentu saja kami mengenal dia, semua orang mengenal dia. Bahkan kami rombongan Bu-tong-pai pernah mengejar-ngejarnya dan menyerangnya karena kami mengira bahwa yang memperkosa seorang murid Bu-tong-pai adalah dia yang tadinya kami kira Ang-hong-cu."

   "Ang-hong-cu?"

   Cia Hui Song bertanya dengan kaget.

   "Kenapa menyangka dia Ang-hong-cu?"

   "Maklumlah,"

   Kata Tiong Gi Cinjin sambil menarik napas panjang.

   "Sikapnya selalu merayu wanita dan dia dikenal sebagai seorang yang mata keranjang sehingga dijuluki Pendekar Mata Keranjang."

   "Dan ternyata bahwa bukan dia jai-hwa-cat yang terkenal jahat itu?"

   Tanya Sui Cin.

   "Bukan dia, melainkan ayah kandungnya."

   "Ahhh...?"

   Suami isteru tokoh Cin-ling-pai itu terkejut bukan main mendengar ucapan itu.

   "Dia... dia putera Ang-hong-cu?"

   Ting Gi Cinjin mengangguk dan menghela napas. Bukan maksudnya untuk memburukkan nama orang, akan tetapi bagaimanapun juga dia menganggap Hay Hay bukan pemuda yang baik dan pantas menjadi sahabat seorang gadis sehebat Cia Kui Hong. Apalagi kalau diingat bahwa pemuda itu membikin orang-orang Bu-tong-pai malu karena tidak sanggup mengalahkannya dengan keroyokan.

   "Ang-hong-cu bernama Tang Bun An, dan dia seorang di antara banyak anak-anaknya yang lahir dari para wanita yang diperkosanya. Namanya Tang Hay, dan dia tadinya disangka sebagai Ang-hong-cu. Baru dia dapat membersihkan namanya setelah dia berhasil menangkap mendiang Ang-hong-cu."

   "Hemm, Ang-hong-cu sudah mati? Anaknya itu pula yang membunuh."

   "Mereka berkelahi dengan seru sekali, ayah dan anak itu. Ang-hong-cu kalah dan membunuh diri. Sudahlah, Taihiap dan Lihiap, saya tidak enak membicarakan dia, apalagi karena bagaimanapun, dia dianggap sebagai seorang pendekar yang telah berjasa. Dia pernah membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak, bersama dengan Cia-pangcu, puteri Taihiap. Selamat tinggal."

   Tiong Gi Cinjin mengajak rombongannya meninggalkan tempat itu. Sampai beberapa lamanya suami isteri itu termenung. Bahkan Cia Kong Liang menjadi semakin tidak suka kepada pemuda itu.

   "Pantas saja dia menjual lagak seperti itu!"

   Gerutunya.

   "Kiranya dia seorang mata keranjang, putera penjahat besar Ang-hong-cu!"

   "Dan dia yang menangkap ayah kandungnya sendiri, menyebabkan ayahnya sendiri mati,"

   Kata Hui Song.

   "Tidak baik anak kita bergaul dengan orang seperti itu."

   "Sudahlah, kita tidak perlu pusing-pusing. Nanti Kui Hong tentu dapat memberi penjelasan mengapa pemuda itu ikut datang ke sini bersamanya. Kurasa Kui Hong bukanlah seorang gadis bodoh yang mudah dirayu seorang mata keranjang,"

   Kata Sui Cin. Setelah selesai mengurus para anggauta Cin-ling-pai, mereka pun kembali ke dalam rumah mereka untuk menemui puteri mereka yang telah masuk lebih dahulu dengan Hay Hay.

   "Untung ada engkau yang menggunakan sihirmu menguasai Ciok Gun, Hay-ko, kalau tidak, aku sendiri tidak akan tahu entah bagaimana aku dapat membongkar rahasia mereka dan memancing mereka. Sungguh Cin-ling-pai berhutang budi besar terhadapmu,"

   Kata Kui Hong kepada kekasihnya ketika mereka duduk berhadapan di ruangan tamu rumah keluarga Cia. Hay Hay tertawa dan menepuk punggung tangan gadis itu.

   "Hushh, diantara kita mana pantas bicara tentang budi? Aku membantumu, hal itu sama saja dengan kalau engkau membantuku. Saling bantu antara kita adalah wajar sekali, bukan? Jangan katakan Cin-ling-pai hutang budi kepadaku."

   "Kau tidak tahu, Hay-ko. Bagi kami keluarga Cia, Cin-ling-pai paling kami utamakan. Jatuh-bangunnya Cin-ling-pai merupakan jatuh-bangunnya kehidupan kami, setidaknya tekad itu merupakan sumpah bagi setiap anngauta kami yang menjadi pangcu seperti aku sekarang ini."

   Wajah Hay Hay yang tadinya berseri itu kehilangan kegembiraannya, dan dia menatap tajam wajah kekasihnya.

   "Akan tetapi, Hong-moi, kulihat semua sikap tokoh Cin-ling-pai, maafkan keterus teranganku ini, tidak menunjukkan seperti apa yang kau katakan itu."

   Sinar mata gadis itu dengan tajam menyambar wajah Hay Hay.

   "Apa yang kau maksudkan dengan ucapanmu itu, Hay-ko?"

   "Mereka semua itu, dari kakekmu sampai ayah ibumu, juga wakil ketua Cin-ling-pai dan pembantunya, semua menyerah kepada orang-orang Pek-lian-kauw karena mendahulukan kepentingan keluarga. Bukankah demikan? Mereka tidak dapat melawan karena mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cia yang telah tertawan. Nah, hal itu bagiku wajar saja. Bagaimanapun juga, setiap orang manusia akan mementingkan diri sendiri dan keluarganya lebih dahulu, baru mementingkan yang lain."

   "Tidak! Kukatakan tadi bahwa sumpah itu hanya dilakukan oleh seorang ketua Cin-ling-pai. Ketika kakekku menjadi ketua dahulu, dia pun bersikap demikian. Juga ayahku. Sekarang, akulah yang bersumpah. Karena itu, aku seorang yang tidak mau tunduk kepada mereka, dan aku melawan, biarpun perlawananku itu membahayakan keluargaku. Untung engkau yang membantuku sehingga keluarga kami semua selamat dan Cin-ling-pai dapat pula dibersihkan dari para penyelundup itu."

   Hay Hay mengerutkan alisnya. Pendirian kekasihnya itu merupakan suatu segi yang asing baginya. Akan tetapi dia menghibur dirinya dan sambil tersenyum berkata,

   "Tentu saja engkau benar, Hong-moi. Akan tetapi, setelah kita menikah, tentu engkau akan melepaskan kedudukan ketua itu kepada orang lain sehingga tidak terikat lagi oleh kewajiban dan tugas yang berat."

   Kui Hong menunduk dan menarik napas panjang.

   "Tadinya aku pun tidak suka terikat, Hay-ko, maka aku pergi meninggalkan Cin-ling-pai dan menyerahkan tugas kepada susiok Gouw Kian Sun dan suheng Ciok Gun. Aku sendiri merantau untuk menambah pengalaman. Akan tetapi engkau lihat sendiri, apa yang terjadi dengan Cin-ling-pai. Aku merasa menyesal sekali dan aku melihat bahwa aku telah melalaikan kewajibanku. Maka, aku berjanji akan membela dan mengatur Cin-ling-pai sehingga menjadi kuat dan jaya kembali."

   "Biarpun sudah menikah?"

   "Apa salahnya setelah menikah tetap menjadi pangcu?"

   "Dan suamimu... eh, aku?"

   "Dengan sendirinya engkau menjadi Cin-ling-pai dan bantuanmu amat kami butuhkan, Hay-ko. Justeru dengan adanya engkau, maka aku menjadi besar hati dan yakin akan mampu membuat Cing-ling-pai kembali jaya seperti di jaman nenek-moyang dahulu."

   Hay Hay tidak bicara lagi karena pada saat itu nampak rombongan keluarga Cia memasuki ruang tamu dimana mereka bercakap-cakap. Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa gelisah. Dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat dan keinginan hati kekasihnya. Dia ingin bebas, biarpun sudah menikah dengan Kui Hong, dia ingin bersama isterinya bagaikan dua ekor burung terbang diangkasa luas. Tidak terkurung dalam sangkar berupa Cin-ling-pai. Karena kakek, ayah dan ibu Kui Hong memasuki ruangan itu, Hay Hay cepat bangkit berdiri dengan sikap hormat. Diam-diam mengagumi keluarga kekasihnya itu. Memang keluarga gagah perkasa, pantas namanya terkenal di dunia kang-ouw karena sepak terjang mereka yang keras namun selalu menjunjung kebenaran dan keadilan.

   Cia Kong Liang adalah seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih tegak, wajahnya keren berwibawa dan pandang matanya menusuk penuh ketabahan. Cia Hui Song seorang pria berusia empat puluh empat tahun yang juga tampan dan gagah walaupun nampak lebih tua daripada usia sebenarnya dengan banyak garis-garis derita di dahinya. Ibu dari Kui Hon, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembilan tahun, nampak penuh semangat dan sinar matanya jelas nampak kekerasan hati dan keberanian. Dari sikap mereka saja sudah mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang lihai. Akan tetapi, Hay Hay merasa tidak enak melihat betapa mereka bertiga itu, terutama ibu Kui Hong yang menggandeng tangan anak laki-laki berusia lima tahun, memandang hanya sekilas kepadanya dengan mulut cemberut. Kakek Cia Kong Liang bahkan sama sekali tidak memandangnya, hanya melewati saja pandang mata itu diatas kepalanya.

   Hanya Cia Hui Song yang memandang kepadanya agak lama, namun bukan dengan sinar mata ramah, melainkan dengan sinar mata penuh selidik! Sungguh bukan sikap orang-orang yang berterima kasih walau dia seujung rambutpun tidak mengharapkan terima kasih dari mereka. Yang dia bantu adalah Kui Hong, gadis yang dikasihinya, bukan keluarhga Cia atau Cin-ling-pai. Kui Hong juga agaknya menjadi curiga. Tentu saja ia mengenal baik tiga orang tua itu dan merasa bahwa sikap mereka sungguh tidak seperti biasa, tidak semestinya, bahkan tidak pada tempatnya. Mereka jelas mengacuhkan, bahkan meremehkan Hay Hay! Biarpun hatinya merasa tidak enak, bahkan tidak senang melihat sikap orang tuanya, namun tentu saja Kui Hong tidak berani bertanya terang-terangan. Disambutnya ibunya dan ia memondong adiknya, Cia Kui Bu dan mencium kedua pipi adiknya itu!

   "Enci hebat! Kata kong-kong, enci yang membebaskan kami. Aih, kalau saja aku sudah besar dan selihai Enci, tentu akan kubasmi habis semua orang Pek-lian-kauw yang jahat itu!"

   Kui Hong tersenyum bangga dan menurunkan adiknya, mengelus kepala adiknya,

   "Kelak engkau tentu lebih lihai daripada aku. Ingat selalu bahwa engkau adalah calon ketua Cin-ling-pai yang hebat!"

   Mendengar ini, Cia Kong Liang berkata,

   "Mudah-mudahan saja kelak dia akan mampu mengangkat kembali nama Cin-ling-pai yang dirusak oleh para jahanam itu."

   Kui Hong memandang kepada ayahnya.

   "Ayah, apakah orang-orang dari empat partai itu sudah pergi? Mereka sungguh menjemukan. Kita sedang tertimpa malapetaka, mereka bahkan menghimpit kita dengan tuduhan-tuduhan berat!"

   "Hemm, jangan engkau berkata begitu Kui Hong,"

   Kata Hui Song dengan suara tegas.

   "Mereka itu menjadi korban, bahkan ada yang tewas dan terluka di antara orang-orang tak berdosa itu. Karena mereka berada disini, dan yang melakukan menyamar sebagai murid kita, tentu saja tadinya mereka merasa yakin bahwa Cin-ling-pai yang melakukan kejahatan itu. Sungguh sial, Cin-ling-pai telah dinodai dan dicemarkan. Tugasmulah sebagai pangcu untuk mengangkat kembali nama baik Cin-ling-pai, membersihkannya dari noda dengan bertindak tegas dan keras terhadap semua murid dan anggauta."

   "Nanti dulu,"

   Kata Ceng Sui Cin sambil memandang kepada Hay Hay.

   "Sungguh tidak sepatutnya bicara soal Cin-ling-pai di depan orang luar, padahal yang kita bicarakan adalah urusan pribadi Cin-ling-pai. Kui Hong, sahabatmu ini dari partai manakah, dan siapa pula nama selengkapnya, siapa gurunya dan orang tuanya?"

   Biarpun pertanyaan itu ditujukan kepada Kui Hong, namun sinar mata nyonya itu menatap wajah Hay Hay yang penuh senyum kembali, sehingga Hay Hay merasa benar bahwa pertanyaan itu langsung ditujukan kepadanya. Sui Cin sengaja bertanya untuk mengalihkan percakapan keluarga dan langsung saja bicara tentang pemuda yang mendatangkan perasaan tidak suka di hati mereka itu karena pemuda itu adalah putera seorang jai-hwa-cat besar!

   Tentu saja sebagai seorang ibu, hatinya tidak suka dan khawatir melihat puterinya akrab dengan putera seorang penjahat yang demikian tersohor seperti Ang-hong-cu. Kui Hong memandang ibunya, ia pun merasakan sesuatu yang tidak beres dalam sikap ibunya, ayahnya, dan juga kakeknya. Hal ini membuat dia terheran-heran. Bukankah jasa Hay Hay amat besar dalam menyelamatkan keluarga Cia tadi sehingga naka baik Cin-ling-pai dapat dibersihkan kembali? Sepatutnya kalau ibunya, setidaknya, bersikap bersahabat dengan Hay Hay, bukan malah bersikap dingin dan seperti orang yang tidak menyukai kehadiran pemuda itu di Cin-ling-pai. Ia tidak percaya bahwa orang tuanya mempunyai watak yang demikian tak kenal budi.

   "Hay-ko, engkau jawablah sendiri pertanyaan ibu,"

   Katanya dengan hati yang tidak puas. Sengaja ia memperlihatkan sikap ini karena ia memang jengkel dan agar ayah ibunya, juga kakeknya tahu akan kejengkelannya itu. Akan tetapi Hay Hay tenang saja, bahkan senyumnya tidak meninggalkan mulutnya. Setelah memberi hormat kepada tiga orang tua itu yang kini juga mengambil tempat duduk menghadapinya, seperti panitia hakim yang sedang mengadilinya, diapun berkata dengan lembut.

   
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Saya mohon maaf kepada Kakek, Paman dan Bibi yang terhormat sebagai sesepuh Cin-ling-pai bahwa saya dengan lancang berani datang ke sini dan mencampuri urusan Cin-ling-pai."

   "Hay-ko, engkau datang karena kuajak, dan kedatanganmu bahkan menjadi penyelamat keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Bagaimana engkau malah minta maaf?"

   Kui Hong berkata setengah berteriak karena hatinya merasa penasaran sekali.

   "Kui Hong, kami hanya ingin mengenal pemuda ini lebih dekat, kenapa engkau mendadak bersikap begini kasar?"

   Hui Song menegur puterinya. Mendapatkan teguran ayahnya, wajah Kui Hong menjadi marah dan mulutnya cemberut.

   "Ayahmu benar, Kui Hong. Aku hanya ingin mengetahui siapa gurunya, dan siapa pula orang tuanya. Bukankah ini wajar?"

   Kata ibunya.

   "Hemm, sikap kalian yang tidak wajar,"

   Teriak hati Kui Hong. Akan tetapi karena disitu terdapat Hay Hay, ia tidak ingin memperlihatkan perbantahan antara anak dan orang tua. Hay Hay sejak tadi
(Lanjut ke Jilid 08)
Jodoh Si Mata Keranjang (Seri ke 11 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08
masih tersenyum saja, walaupun disudut hatinya, dia pun merasa heran mengapa keluarga pendekar yang terkenal berbudi itu bersikap seperti itu, hal yang sesungguhnya amat janggal kalau diingat sejak kemunculannya disitu, dia hanya membantu keluarga itu.

   "Kalau cu-wi (anda sekalian) ingin mengetahui siapa guru-guru saya, sesungguhnya saya belum pernah menyebut nama mereka kepada orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa keluarga cu-wi adalah keluarga pendekar besar, dan saya hanya memberi keterangan karena ditanya dan cu-wi menghendaki jawaban, maka biarlah sekali ini saya menyebut nama mereka..."

   "Hay-ko, kita sudah berkenalan lama sekali, menghadapi segala macam pengalaman dan bahaya maut, namun aku belum pernah mendesakmu untuk mengatakan siapa guru-gurumu. Kalau memang nama mereka harus dirahasiakan, engkau tidak perlu memaksa diri untuk menceritakan kepada orang tuaku!"

   Kembali Kui Hong berseru, hatinya mulai terasa pahit.

   "Kui Hong, engkau ini kenapa sih?"

   Tiba-tiba kakek Cia Kong Liang menegurnya.

   "Ayah ibumu hanya ingin lebih mengenal sahabatmu yang kau ajak ke sini, hal itu kurasa wajar saja! Kenapa engkau seperti orang yang marah-marah?"

   Kini Kui Hong tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Ia memang berwatak keras dan galak seperti ibunya, suka berterus terang.

   "Kong-kong, siapakah yang aneh dan siapa yang tidak wajar? Hay-ko ini datang karena ku ajak, kemudian disini kami melihat hal yang tidak wajar, bahkan dia membantuku, dan terang terang saja, tanpa bantuannya, belum tentu aku akan mampu membereskan para penjahat itu dan membebaskan Cin-ling-pai dari malapetaka dengan mudah. Akan tetapi, apa yang kulihat sekarang? Sahabatku ini bukan disambut ramah, melainkan disambut dengan sikap yang tidak sepatutnya, seolah sahabatku ini baru saja melakukan kejahatan!"

   Hui Song dan isterinya saling pandang, juga kakek Cia Kong Liang merasa canggung. Mereka bertiga bukan tidak tahu bahwa sikap mereka terhadap pemuda itu memang tidak patut kalau mengingat bahwa pemuda itu telah menyelamatkan keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Akan tetapi, mendengar siapa adanya pemuda itu membuat mereka mengkhawatirkan hal yang mereka anggap tidak kalah pentingnya, yaitu masa depan Kui Hong yang berarti menyangkut pula nama baik Cin-ling-pai. Melihat peledakan yang terjadi antara kekasihnya dan orang tua kekasihnya itu, tentu Hay Hay yang merasa paling tidak enak. Dia cepat bangkit dan memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata kepada Kui Hong.

   "Hong-moi, kuminta dengan sangat agar engkau tidak menduga yang bukan-bukan. Biarlah saya memperkenalkan diri kepada orang tuamu, karena mereka berhak mengenalku sedalamnya. Nah, Kakek, Paman dan Bibi. Terus terang saya akui bahwa saya mempunyai empat orang guru. Yang pertama adalah suhu See-thian Lama atau Gobi San-jin, yang kedua adalah suhu Giu-sian Sin-kai, ketiga adalah suhu Pek Mau Sanjin, dan keempat suhu Song Lojin."

   Mendengar disebutnya nama-nama itu, tiga orang tua itu terkejut bukan main. Dua orang terdahulu adalah dua diantara Delapan Dewa. Kemudian, biarpun nama Pek Mau Sanjin jarang dikenal orang, namun mereka pernah mendengar nama ini sebagai nama seorang aneh yang kabarnya hidup diantara awan-awan di pegunungan tinggi! Juga nama Song Lojin hanya mereka kenal seperti nama tokoh dongeng saja. Tidak aneh kalau pemuda ini memiliki ilmu kepandaian silat dan sihir yang demikian hebat. Mereka kagum, namun kekaguman itu belum cukup kuat untuk mengusir perasaan tidak senang terhadap pemuda putera Ang-hong-cu itu.

   "Kiranya guru-gurumu adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang namanya disebut-sebut seperti dalam dongeng. Mengagumkan sekali!"

   Kata Ceng Sui Cin.

   "Dan siapakah orang tuamu, orang muda? Apakah nama keluargamu?"

   Hay Hay merasa betapa jangtungnya berdebar tegang. Paling tidak enak kalau dia ditanya tentang orang tuanya.

   Kalau orang lain yang bertanya, mudah saja dia menjawab bahwa dia tidak mempunyai orang tua lagi. Akan tetapi sekali ini lain. Yang bertanya adalah ayah dan ibu Cia Kui Hong, gadis yang dicintanya dan diharapkan menjadi isterinya. Tentu saja orang tua gadis itu berhak mengetahui dengan jelas siapa ayah dan ibunya, walaupun mereka telah tiada. Apakah akan dia katakan saja bahwa dia tidak berayah! Kalau begitu, berarti dia anak haram! Ah, tidak! Bagaimanapun juga ayahnya, dia tidak akan mengingkarinya karena memang benar ayahnya adalah Tang Bun An, Si Kumbang Merah! Lebih baik berterus terang, dari pada menyembunyikan dan kelak diketahui. Akan lebih tidak enak akibatnya. Lebih baik memasuki perjodohan dengan semua mata yang bersangkutan terbuka lebar, daripada dipejamkan seperti dalam mimpi dan kelak terkejut kalau sadar dan melihat kenyataan.

   "Ayah dan ibu saya telah meninggal dunia,"

   Katanya lirih, namun wajahnya masih nampak berseri. Hui Song dan Sui Cin, juga kakek Cia Kong Liang, masih teringat akan keterangan Ting Gi Cinjin tokoh Bu-tong-pai bahwa ayah pemuda ini, Ang-hong-cu, memang telah tewas setelah roboh oleh puteranya ini! Anak penjahat besar ini telah membunuh ayahnya sendiri!"

   "Ah, jadi engkau sudah yatim piatu? Kasihan!"

   Kata Ceng Sui Cin.

   "Siapakah nama mendiang ayahmu? Barangkali kami pernah mendengar atau bahkan mengenalnya."

   Kui Hong memandang khawatir. Ia memang sudah mengkhawatirkan hal ini, akan tetapi tentu saja ia tiak dapat melarang kekasihnya memperkenalkan nama ayahnya.

   "Nama ayah saya she Tang bernama Bun An,"

   Kata Hay Hay dengan tabah, akan tetapi kini wajahnya serius dan senyumnya menghilang.

   "Tang Bun An?"

   Sui Cin tiba-tiba menoleh kepada puterinya.

   "Kui Hong, aku mendengar tentang adik seperguruankmu Ling Ling... apakah Tang Bun An yang itu, ataukah orang lain?"

   Kui Hong menegakkan kepalanya dan dengan tabah ia pun menjawab,

   "Benar sekali, ibu. Tang Bun An adalah Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) itu, dan Hay-ko juga tahu tentang adik Ling Ling, bahkan tadinya Hay-ko yang dituduh..."

   "Dan kami mendengar bahwa Ang-hong-cu telah di bunuh oleh Pendekar Mata Keranjang, putera kandungnya sendiri?"

   Tanya Hui Song sambil memandang kepada Hay Hay.

   "Benar sekali, Ayah! Walaupun tidak dibunuh sendiri, melainkan dikalahkan dan Ang-hong-cu membunuh diri sendiri. Dan yang disebut Pendekar Mata Keranjang itu adalah Tang Hay, atau Hay-koko inilah!"

   Mendengar pengakuan Kui Hong, tiga orang tua itu menjadi heran bukan main. Bukan heran mendengar siapa adanya pemuda itu karena memang mereka sudah mendengar sebelumnya, melainkan heran mengapa Kui Hong agaknya menganggap keadaan pemuda itu biasa saja untuk dijadikan sahabat! Bahkan agaknya sahabat yang baik sekali.

   "Kui Hong! Engkau tahu bahwa dia ini seorang mata keranjang, anak kandung Ang-hong-cu yang amat keji dan jahat itu? Dan kau bawa dia datang ke tempat kita ini? Apakah engkau sudah gila?"

   Ceng Sui Cin membentak marah sekali kepada puterinya, kemarahan yang sejak tadi ditahan-tahannya, sekarang meledak karena ternyata puterinya sudah tahu akan keadaan pemuda itu.

   "Ibu!"

   Kui Hong yang tidak kalah hebatnya itu menjawab.

   "Biarpun orang-orang yang tidak suka itu memberi julukan Pendekar Mata Keranjang kepadanya, akan tetapi Hay-ko bukanlah seorang penjahat cabul. Dia tidak boleh disamakan ayahnya, dan buktinya, dia malah menentang ayahnya dan yang menangkap ayahnya bahkan dia sendiri. Kalau ayahnya yang bersalah, kenapa Ibu menyeret pula anaknya?"

   "Kui Hong... uhh...!!"

   Sui Cin membanting kaki dan memondong tubuh Kui Bu, lalu pergi ke dalam meninggalkan ruangan itu. Hui Song memandang anaknya dengan alis berkerut.

   "Kui Hong, sudah benarkah sikapmu terhadap ibumu?"

   Lalu dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Hay Hay dan berkata.

   "Saudara muda Tang, maafkan kami, akan tetapi terpaksa kami tidak dapat menerima Saudara karena diantara kita terdapat perbedaan golongan."

   "Ayahhh...! Dia ini tamuku, aku yang mengundangnya!"

   Kembali Kui Hong membentak marah.

   "Hemmm..."

   Hui Song menahan kemarahannya yang dan mengepal tinju.

   "Aku belum lupa bahwa engkaulah pangcu dari Cin-ling-pai, jadi engkau yang berhak menentukan!"

   Setelah berkata demikian, Hui Song juga pergi kedalam menyusul isterinya. Dia tidak peduli lagi ketika puterinya memanggilnya.

   "Ayahhh...!!"

   Melihat ayahnya terus masuk, Kui Hong berpaling kepada kakek Cia Kong Liang.

   "Kong-kong...!!"

   Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepala.

   "Kui Hong, sekali ini engkaulah yang keliru. Pikirkan dulu baik-baik,"

   Katanya dan dia pun pergi meninggalkan ruangan itu. Kui Hong berdiri seperti patung, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah, kedua tangan terkepal. Suara Hay Hay menyeretnya kembali kepada kenyataan.

   "Hong-moi, ucapan kakekmu benar. Ayah ibumu yang benar dan engkau yang keliru membelaku. Bagaimanapun juga, kenyataan adalah bahwa aku ini anak kandung Ang-hong-cu yang keji dan jahat, bahkan aku dilahirkan dari hasil perkosaan terhadap ibuku. Sedangkan engkau, engkau ini puteri keluarga Cia yang sudah turun temurun menjadi pemimpin Cin-ling-pai yang besar. Tentu saja engkau tidak boleh menyeret Cin-ling-pai sampai demikian rendahnya..."

   "Hay-ko..., diam kau! Begitu tega engkau hendak merobek-robek perasaan hatiku dengan ucapan itu? Engkau tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Kita saling mencinta. Aku tahu akan keadaan dirimu dan aku tidak perduli akan keturunanmu. Mereka tidak berhak melarangku bergaul denganmu, bahkan menikah denganmu. Siapapun tidak berhak! Aku yang akan menentukan sendiri langkah hidupku!"

   "Hong-moi, jangan begitu..."

   "Hay-ko, katakan, apakah engkau cinta padaku?"

   "Perlukah kukatakan lagi? Sudah berapa kali kunyatakan kepadamu? Tentu saja aku cinta padamu, Hong-moi, dan justeru karena cintaku maka aku tidak ingin melihat engkau menderita karena bertentangan dengan keluargamu..."

   "Hay-ko, ini urusan keluargaku, engkau tidak dapat mencampuri. Biar kuselesaikan sendiri. Kau tunggu dulu di sini, aku harus bicara dengan mereka sampai tuntas!"

   Setelah berkata demikian, dengan gesit Kui Hong lalu menyusul ayah, ibu dan kakeknya ke dalam. Ia masih melihat pemuda itu menjatuhkan diri dengan lemas ke atas kursi dan belum pernah ia melihat wajah Hay Hay sepucat itu!

   "Kui Hong!"

   Suara Cia Hui Song kini mengandung kemarahan dan ketegasan.

   "Di mana akal sehatmu? Tentu saja ayah ibumu tidak melarang engkau bergaul dengan orang-orang gagah sedunia, terutama dengan pendekar-pendekar yang budiman dan gagah perkasa. Akan tetapi bagaimana engkau dapat mengajak putera Ang-hong-cu ke sini? Biarpun dia sudah membantu kita, tetap saja kami tidak mungkin dapat menerimanya sebagai seorang tamu kehormatan, apalagi sahabat anak kita. Lebih-lebih lagi sebagai pilihan hatinya! Engkau tahu, nama Ang-hong-cu dikutuk orang gagah sedunia, dan engkau akrab dengannya?"

   "Tapi, Ayah. Kami sudah saling mencinta! Bahkan dia kuajak datang ke sini untuk minta pertimbangan Ayah dan Ibu agar kami diperkenankan menjadi suami isteri!"

   "Tidak...!"

   Bentakan Hui Song dan Sui Cin hampir berbareng dan ini saja sudah cukup mejadi bukti bahwa suami isteri itu sependirian dalam hal ini, tidak setuju kalau puteri mereka berjodoh dengan anak Ang-hong-cu! Kui Hong adalah seorang gadis berhati baja. Makin ditentang, semakin panas hatinya dan semakin berani. Ia menghadapi ayah ibunya dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, walaupun agak basah.

   "Sungguh aku tidak menyangka. Apakah ayah dan ibu berpendirian kolot. Apakah ayah dan ibu tidak menghargai kesucian dua hati yang saling mencinta? Apakah Ayah dan Ibu hendak menjodohkan aku dengan pria pilihan Ayah dan Ibu sendiri, tidak menghiraukan pilihan hatiku seolah-olah aku ini bukan manusia, melainkan seekor anjing atau sapi saja? Bukankah ayah dan ibu dahulu juga menikah atas dasar saling mencinta?"

   Mendengar serangan pertanyaan dari puteri mereka itu, Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan agak berkuranglah rasa marah dan penasaran mereka. Hui Song lalu berkata, suaranya lebih tenang.

   "Memang benar, Kui Hong. Ayah ibu menikah berdasarkan cinta. Akan tetapi, tidak ada latar belakang buruk antara ayah dan ibumu sehingga pernikahan kami pun tidak ada halangannya. Akan tetapi, engkau harus ingat bahwa Ang-hong-cu adalah seorang jai-hwa-cat yang amat jahat dan keji, entah sudah merusak berapa ratus orang wanita! Bahkan keluarga kita sendiri, Cia Ling, menjadi korbannya! Seluruh orang gagah mengutuknya dan..."

   "Akan tetapi, Ayah. Aku tidak menikah dengan Ang-hong-cu, melainkan dengan Hay-koko!"

   "Tapi dia adalah anak kandung Ang-hong-cu, Kui Hong!"

   Bantah ibunya. Kui Bu sudah disuruh masuk kekamar, tidak diperbolehkan ikut mendengarkan percakapan itu oleh ibunya.

   "Dan bagaimana mungkin keluarga kita yang dihormati orang dapat berbesan dengan ang-hong-cu yang dikutuk semua orang?"

   "Tapi, Ang-hong-cu sudah mati, Ibu! Yang jahat memang Ang-hong-cu, akan tetapi Hay-ko tidak jahat, bahkan dia seorang pendekar yang budiman dan gagah! Ingat, Ibu, Hay-ko tidak pernah minta dijadikan anak Ang-hong-cu! Bahkan sejak lahir dia belum pernah melihat muka Ang-hong-cu, sampai dia dewasa dan mencari Ang-hong-cu untuk membalaskan dendam ibunya yang diperkosa..."

   Tiba-tiba Kui Hong menghentikan kata-katanya. Karena emosi, ia sampai lupa dan bahkan membuka rahasia Hay Hay yang tadinya hendak disembunyikan dari orang tuanya itu.

   "Ya Tuhan! Bahkan dia anak akibat perkosaan yang dilakukan Ang-hong-cu terhadap ibunya? Anak haram...?"

   "Ibu! Ibu terlalu kejam kepadanya! Apa dosa Hay-ko dalam peristiwa terkutuk itu? Apa dosanya? Coba Ibu katakan, apa dosanya?"

   Tentu saja Sui Cin tidak mampu menjawab, hanya menggeleng-geleng kepala.

   "Jelas bahwa kami tidak mungkin dapat menyetujui engkau berjodoh dengan dia, Kui Hong. Ingat, engkau seorang pangcu dari Cin-ling-pai. Ingat akan sumpahmu? Engkau harus lebih mementingkan Cin-ling-pai daripada urusan pribadimu."

   "Ayah, kalau aku menikah dengan Hay-koko, hal itu sama sekali tidak merugikan Cin-ling-pai, bahkan Cin-ling-pai akan mendapat tenaga bantuan orang yang memiliki kepandaian amat tinggi. Cin-ling-pai bahkan akan menjadi semakin maju dengan bantuan Hay-ko sebagai suamiku."

   "Kui Hong, engkau lupa!"

   Tiba-tiba kakek Cia Kong Liang berkata.

   "Kalau begitu, lalu apa bedanya dengan Cin-ling-pai maju karena bantuan Pek-lian-kauw, misalnya? Orang-orang dunia kang-ouw akan mengatakan bahwa Cin-ling-pai menjadi kuat karena ada anak Ang-hong-cu menjadi anggauta pimpinan."

   "Kami tidak menghendaki itu!"

   Kata pula Hui Song.

   Kui Hong diam saja, sejenak ia memejamkan mata sambil membiarkan dirinya jatuh ke atas kursi. Ia tahu bahwa tidak mungkin lagi berbantahan dengan mereka ini. Jelas bahwa apa pun alasan yang ia kemukakan, kakeknya, ayah dan ibunya tidak akan mau menyetujui perjodohannya dengan Hay Hay. Apalagi kalau mereka menggunakan alasan Cin-ling-pai, tentu ia tidak lagi mampu bergerak. Suasana menjadi lengang sekali ketika gadis itu berdiam diri. Tiga orang tua itu memandang kepadanya dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kekhawatiran. Mereka semua mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang keras hati dan sukar diduga apa yang akan dilakukan gadis itu. Akhirnya Kui Hong berdiri dan memandang kepada tiga orang tua itu, mula-mula kepada ibunya, lalu ayahnya, akhirnya kakeknya.

   "Baiklah, kalau begitu, aku akan mengundurkan diri dari Cin-ling-pai, aku tidak akan menjadi ketua Cin-ling-pai agar aku dapat menikah dengan suami pilihan hatiku sendiri. Aku akan memberi tahu kepada Hay-ko mengenai keputusanku ini."

   Setelah berkata demikian ia lalu melangkah pergi meniggalkan ruangan itu.

   "Kui Hong...!"

   Sui Cin juga bangkit dan hendak mengejar, akan tetapi tangan suaminya menyentuh pundaknya.

   "Jangan, tidak ada gunanya lagi,"

   Kata suaminya. Sui Cin mengerti dan ia pun hanya dapat melempar diri ke atas kursi dan menyembunyikan tangisnya di balik kedua tangannya. Suasana menjadi sangat mencekam dan tiga orang tua itu tenggelam dalam duka dan kecewa.

   Dengan muka dan hati masih panas Kui Hong melangkah ke dalam ruangan tamu di mana Hay Hay menunggu. Akan tetapi, ketika ia tiba disana, ia tidak melihat Hay Hay yang tadi duduk di kursi. Ia memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya sampai keluar ruangan. Namun tidak nampak bayangan Hay Hay. Ia mendekati meja dan kursi dimana tadi Hay Hay duduk dan melihat selembar kertas dilipat di atas meja. Surat dari Hay Hay! Dengan tangan gemetar dan jantung berdebar dibukanya lipatan surat dan dibacanya.

   Adik Kui Hong tersayang,
Kita harus melihat dua buah kenyataan yang membuat perjodohan kita tidak mungkin terjadi. Pertama, keluargamu tidak setuju, aku menjadi suamimu, dan kedua, aku sendiri tidak suka terikat di Cin-ling-pai kalau menjadi suamimu. Jangan menjadi anak tidak berbakti dan murid Cin-ling-pai yang murtad, Hong-moi. Cinta kasih adalah antara dua buah hati, akan tetapi pernikahan sudah diatur oleh Tuhan! Sudah kupertimbangkan. Demi kebaikanmu, aku harus mundur.
Aku harus pergi dan jangan tanya ke mana aku pergi, sayang.
Aku sendiri tidak tahu kemana aku pergi.
Sekali lagi ingat, Hong-moi. Jodoh di tangan Tuhan, maka kalau kita saling berjodoh, biar hari ini berpisah, kelak pasti akan bertemu kembali.

   Salam dan doaku,
Hay Hay

   "Hay-koko...!"

   Kui Hong menggenggam surat itu dan menjatuhkan kepalanya di atas meja. Kedua pundaknya berguncang dan walaupun tidak terdengar tangisnya, namun di bawah mukanya, meja menjadi semakin basah air mata. Kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin beberapa lama kemudian ketika menyusul ke ruangan tamu, mendapatkan gadis itu dalam keadaan pingsan, duduk di kursi dengan kepala di atas meja, surat masih tergenggam di tangan. Dengan hati-hati Sui Cin mengambil surat itu dan membacanya. Beberapa butir air mata mengalir turun dari kedua mata nyonya ini. Ia merasa kasihan sekali kepada Hay Hay dan Kui Hong, akan tetapi juga lega dan girang bahwa pemuda itu telah mengambil keputusan yang demikian bijaksana.

   Sayang, pikirnya kalau saja bukan putera Ang-hong-cu, keluarga Cia, dan ia sendiri, pasti akan menerima pemuda itu dengan hati dan tangan terbuka! Tubuh Kui Hong panas! Ia terserang demam karena tekanan batin. Kakek, ayah dan ibunya membujuk dan menghiburnya penuh dengan kata-dan perawatan penuh kasih sayang sehingga akhirnya, bagaimanapun juga, Kui Hong harus membenarkan pendapat dan keputusan kekasihnya. Ia pulih kembali dan dalam hatinya berjanji akan mengurus Cin-ling-pai sebaiknya, dan tidak akan menikah dengan pria mana pun juga. Kalau Tuhan menghendaki, kelak pasti ia akan bertemu kembali dengan Hay Hay dan kalau memang menjodohkan mereka, pasti terbuka jalan sehingga pertalian kasih sayang mereka dapat terjalin dalam pernikahan. Belum pernah selama hidupnya Hay Hay mengalami perasaan seperti saat itu.

   Kepalanya terasa berat, seluruh tubuhnya lemas, perasaan hatinya mengambang, tak menentu, dan ada sesuatu yang menekan dan menusuk, seperti himpitan berat yang sekaligus mendatangkan rasa nyeri di dada. Pandang matanya hampa dan ia merasa betapa dia hidup di dunia yang teramat sunyi dan kosong, bahkan tidak ada artinya, hampa. Wajahnya yang biasa berseri itu kini muram, senyum yang biasanya tak pernah meninggalkan bibirnya itu kini terganti tarikan mulut seperti orang yang sedang tersiksa nyeri yang amat hebat, sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar dan mencorong itu kini bagaikan pelita kehabisan minyak yang hampir padam. Rambut yang biasanya bersih dan tersisir rapi itu kini kusut dan kotor, juga pakaian yang biasanya rapi itu kini nampak kusut dan seudah perlu diganti. Memang sudah dua hari Hay Hay tidak makan, tidak tidur, tidak berganti pakaian, tidak mandi.

   Selama dua hari dua malam dia berjalan terus, jalan tanpa arah tertentu, asal kedua kakinya melangkah saja. Banyak lembah bukit dan sawah ladang dilalui, hutan ditembusi, dan dia tidak tahu berada dimana, dari mana atau hendak ke mana. Dia seperti seorang yang kehilangan ingatan, atau yang kehabisan semangat, kehilangan gairah hidup. Sejak dia meninggalkan ruangan tamu di rumah keluarga Cia, keluar dari Cin-ling-san, keadaannya sudah seperti itu. Hanya satu saja yang selalu teringat, selalu terbayang, selalu terngiang, yaitu bahwa dia harus berpisah dari Kui Hong! Dan satu hal ii justeru membuat perasaan hatinya seperti di tusuk-tusuk. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis. Ingin memprotes, namun dia tidak mampu melakukannya. Dia harus meninggalkan kekasihnya. Harus! Hanya satu ini yang menjadi tekadnya. Demi kebaikan Kui Hong. Dia harus pergi meninggalkannya!

   Setiap lambaian daun pohon tertiup angin, atau setiap kicau burung, apa saja yang dilihatnya, seolah-olah tahu akan keadaannya dan ikut berduka dengannya. Ada pula perasaan bahwa setiap orang yang dijumpainya dalam perjalanan tanpa arah itu, seolah mengejeknya, menyorakinya! Haus dan lapar membuat dia lemas dan hampir pingsan ketika dia menjatuhkan diri berlutut di tepi sebuah danau kecil yang jernih airnya. Sejenak dia hanya berlutut saja, memejamkan kedua matanya, masih belum ada gairah untuk minum walaupun air berada didekatnya dan haus mencekik lehernya. Dan ketika dia memejamkan kedua matanya, malah terbayang wajah Kui Hong. Wajah yang demikian manisnya, mata yang memandangnya dengan pancaran kasih sayang yang demikian mendalam, dengan ujung bibir bergerak-gerak seolah hendak menyatakan kasih sayangnya dengan seribu satu bisikan.

   "Hong-moi... aihhh, Hong-moi..."

   Dan kini Hay Hay tidak mampu lagi menahan tangisnya. Hanya sesenggukan, akan tetapi air matanya jatuh bagaikan hujan deras, menetes-netes, ke dalam air danau di depannya. Makin dirasakan, semakin perih rasa hatinya dan semakin deras keluarnya air mata. Belum pernah selama hidupnya dia menangis seperti ini! Tiada hujan yang takkan mereda, tida tangis tanpa berhenti. Setelah berlutut sambil menangis dan memejamkan mata selama hampir setengah jam, akhirnya mereda juga badai dan topan yang mengamuk di dalam perasaan hati Hay Hay. Air matanya terkuras sudah, terkuras bersama air matanya. Kalau awan mendung yang gelap sudah mencair menjadi air hujan dan jatuh, cuaca pun berubah terang.

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 10 Pendekar Mata Keranjang Eps 29 Kumbang Penghisap Kembang Eps 32

Cari Blog Ini