Ceritasilat Novel Online

Kumbang Penghisap Kembang 10


Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



Kembali hal ini menunjukkan kecerdikan Ji Sun. Dia agaknya tahu bahwa kelihaian pemuda itu yang selalu dapat menghindarkan diri dari sambaran goloknya terletak pada geseran-geseran dan langkah-langkah kaki. Oleh karena itu, kini dia menyerang kaki pemuda itu, sambil bersembunyi di balik perisainya sehingga dia sudah berani memastikan dalam hatinya bahwa tentu dia akan mampu mempertahankan sampai lebih dari sepuluh jurus! Katakanlah dia tidak akan menang melawan pemuda ini, akan tetapi kalau dia sudah mampu mempertahankan diri selama lebih dari sepuluh jurus, berarti dia sudah dapat membersihkan mukanya karena pemuda itu seperti kalah bertaruh! Sama sekali Hek-houw Ju-sin tidak tahu bahwa Hay Hay memang sengaja mengalah.

   Kalau pemuda itu menghendaki, dengan dasar tingkat ilmu kepandaiannya yang jauh lebih tinggi, dalam dua tiga jurus saja agaknya dia sudah akan mampu melumpuhkan semua perlawanan Hek-houw Ju-sin! Hay Hay memang sengaja membiarkan lawannya menyerangnya secara bertubi-tubi sambil memperhatikan permainan golok dan perisai itu, mencari titik kelemahan. Kalau dia mau mengerahkan sin-kangnya, dengan tangan kosong saja agaknya dia akan mampu memukul pecah perisai itu, atau kalau dia mau mempergunakan kekuatan sihirnya, juga mudah baginya untuk menundukkan lawan. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal itu, menanti sampai Ji Sun menyerangnya selama delapan jurus. Kemudian, meliha tbetapa kaki kiri lawan itu terjulur keluar dari lindungan perisai,

   Secepat kilat buntungan lengan baju itu menyambar ke arah pergelangan kaki itu, seperti seekor ular kain itu membelit kaki. Hek-houw Sun terkejut bukan main, menggerakkan goloknya untuk membacok putus kain itu, akan tetapi pada saat itu, Hay Hay telah menarik kain itu dengan tiba-tiba sambil mengerahkan tenaganya dan... tubuh Hek-houw Ji Sun yang tinggi besar itu terlempar ke atas. Biarpun tubuhnya sudah melambung ke atas, kaki kirinya masih saja terlibat kain, dan sekali sentakan kebawah, tubuhnya meluncur lagi ke bawah, dan sebelum menghantam tanah, kembali Hay Hay menggerakkan tangan dan demikianlah, tubuh itu diputar-putar oleh Hay Hay, makih lama semakin cepat sepertl kitiran dan akhirnya, Hay Hay melepaskan kain dan tubuh itupun meluncur sampai jauh dan terbanting ke atas tanah.

   Hek-houw Ji Sun sudah kehilangan golok dan perisainya yang terlepas ketika diputar-putar tadi, dan begitu tubuhnya terbanting ke atas tanah, diapun cepat meloncat bangun. Semua orang sudah merasa kagum melihat betapa si tinggi besar hitam yang sudah dipurat-putar seperti itu dan terbanting jatuh, begitu jatuh sudah dapat bangkit kembali. Juga Hay Hay memandang terbelalak. Betapa kebal tubuh orang itu, pikirnya. Akan tetapi dia lalu tersenyum melihat betapa tubuh itu terhuyung-huyung, lalu jatuh terkulai dan tidak bergerak lagi karena pingsan. Kiranya, Hek-houw Ji Sun hanya bangkit sebentar saja. Kepalanya terasa pening, pandang matanya berputar-putar dan dia roboh pingsan. Karena penglihatan ini memang menggelikan, di antara para anak buah yang berada disitu, banyak yang menahan senyum geli melihat tingkah jagoan kedua ini.

   "Keparat...!"

   Tiat-ci Thio Kang membentak keras dan dia sudah menghadapi Hay Hay, mengamati wajah dan seluruh tubuh pemuda itu. Seorang pemuda yang biasa saja, pikirnya, namun mampu merobohkan Hek-houw Ji Sun dalam sembilan jurus!

   "Orang muda, sebenarnya siapakah engkau, darimana dan apa maksudmu datang membikin kacau di sini?"

   Lagaknya tinggi, dan memang Tiat-ci Thio Kang terkenal seorang yang tinggi hati. Dia adalah jagoan yang datang dari kota raja, suka memandang rendah orang lain. Hay Hay tersenyum.

   "Sudah kukatakan bahwa namaku Hay Hay, aku seorang perantau dan aku datang bukan untuk membikin kacau, melainkan untuk bertemu dan bicara dengan Hartawan Coa. Kenapa engkau dan kawan-kawanmu menghalangiku? Kalian yang membikin kacau, bukan aku!"

   "Hemm, lagakmu sombong, Hay Hay. Kalau engkau mampu mengalahkan sepasang pedangku dan jari tanganku, barulah engkau boleh menghadap majikan kami.Nah, rasakan kelihaian Tiat-ci Thio Kang!"

   Berkata demikian, dia menggerakkan tangan dan nampak kilatan sinar sepasang pedang yang sudah dicabutnya dari punggung dan kini dia sudah memasang kuda-kuda sambil melintangkan kedua pedang di atas kepala, membentuk sebuah gunting. Hay Hay mengangguk-angguk.

   "Memang kalian ini orang-orang yang tinggi hati dan biasa mengandalkan kepandaian silat untuk menggunakan kekerasan memaksakan kehendak."

   "Tidak usah cerewet! Kalau engkau tidak berani, berlututlah dan menyerahkan kembali emas yang lima puluh tail itu kepadaku!"

   Hay Hay sudah kehabisan kesabaran. Dia tidak mau melayani orang-orang sombong ini, maka diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata lantang.

   "Tiat-ci Thio Kang, engkau membawa-bawa dua ekor ular berbisa di tanganmu itu untuk apakah?"

   Tiat-ci Thio Kang terkejut.

   "Hah? Ular berbisa...?"

   Dia menurunkan kedua tangannya dan melihat sepasang pedangnya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan bentakan aneh, lalu dia membuang jauh-jauh dua ekor ular cobra yang dipegangnya! Dua ekor ular itu sudah mengembangkan lehernya dan agaknya siap hendak mematuknya!

   Untung dia cepat membuangnya, kalau tidak, sekali patuk saja dia akan tewas! Semua orang yang melihat betapa Tiat-ci Thio Kang tiba-tiba membuang sepasang pedangnya, menjadi heran sekali. Hay Hay mengambil sepasang pedang itu dan dengan kedua tangannya, dia menekuk dua batang pedang itu. Terdengar suara "krekk! krekk!"

   Dan dua patang pedang itu patah-patah. Pemuda itu seolah mematahkan dua batang ranting kecil yang lemah saja! Dibuangnya patahan dua batang pedang itu ke atas tanah.. Tiat-ci Thio Kang terbelalak. Ketika dia membuang dua ekor ular itu, dia meJihat betapa dua ekor ular itu terjatuh ke atas tanah lalu berubah menjadi dua batang pedangnya sendiri! Dan dia melihat pula betapa dua batang pedangnya itu dipatah-patahkan oleh pemuda yang luar biasa itu!

   "Bagaimana, Tiat-ci Thio Kang, apakah engkau belum juga mau mengundang majikanmu untuk keluar menemui aku?"

   Tanya Hay Hay yang mengharapkan agar perkelahian terhenti sampai sekian saja. Akan tetapi, watak Tiat-ci Thio Kang amat tinggi hati. Biarpun dia melihat kenyataan yang aneh ketika sepasang pedangnya berubah menjadi ular berbisa, kemudian sepasang pedang itu dipatah-patahkan lawan, hal yang membuktikan betapa lihainya lawan, dia masih belum mau menyerah kalah dan masih penasaran. Dia tidak percaya bahwa seorang pemuda sederhana seperti itu akan dapat mengalahkannya, dan mampu menandingi jari-jari tangannya!

   "Pemuda iblis! Kalau engkau tidak mempergunakan sihir dan ilmu setan, mari kita mengadu kekuatan sebagai laki-laki!"

   "Maksudmu, mengadu kekuatan bagaimana?"

   Hay Hay bertanya.

   "Lihat jari-jari tanganku ini!"

   Thiat-ci Thio Kang mengangkat kedua tangannya ke depan, memperlihatkan jari-jari tangannya yang warna kulitnya berbeda dengan warna kulit bagian tubuh lain. Kulit jari tangan itu agak membiru dan mengkilat.

   "Sudah kulihat. Jari-jari tanganmu itu seperti tahu!"

   Kata Hay Hay sambil tersenyum mengejek. Thio Kang marah sekali. Akan tetapi dia menahan diri dan berkata,

   "Bagus! Mari kita mengadu kekuatan. Jari tanganku yang seperti tahu ini boleh di adu dengan dadamu yang seperti agar-agar itu! Kalau sekali tusuk dengan kedua jari telunjukku ini aku tidak mampu menembus dadamu, aku mengaku kalah!"

   "Bagus, bagus! Pertandingan yang menarik. Jari tahu melawan dada agar-agar! Baik, Thiat-ci Thio Kang, aku menerima tantanganmu.tapi harus kubuka bajuku agar tidak sampai kotor oleh jari tanganmu."

   Berkata demikian, Hay Hay melepaskan kancing bajunya dan ketika dia membuka bajunya, nampak kulit dadanya yang putih. Diam-diam Tiat-ci Thio Kang sudah mengerahkan sin-kangnya, menggunakan Ilmu Jari Besi sehingga jari-jari tangannya menjadi keras, terutama sekali kedua jari telunjuknya di mana dia memusatkan tenaga dalamnya. Mereka sudah saling berhadapan. Hay Hay berdiri tegak dan santai, sedangkan Tiat-ci Thio Kang berdiri dengan kaku, memasang kuda-kuda.

   "Aku sudah siap!"

   Kata Hay Hay dan begitu dia bicara, Tiat-ci Thio Kang sudah mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tiba-tiba saja kedua lengannya meluncur ke depan, kedua jari telunjuknya menusuk ke arah dada kanan kiri! Cepat dan kuat sekali tusukannya itu dan semua orang yang sudah pernah melihat jagoan ini menggunakan dua jari tangannya menusuk batu sampai berlubang dan papan sampai tembus, membayangkan betapa dada pemuda itu akan berlubang dan mengucurkan darah.

   "Krekkkk!"

   Dua jari telunjuk itu dalam saat yang sama bertemu dengan dada yang terbuka itu dan akibatnya, tiba-tiba Tiat-ci Thio Kang menekuk pinggangnya, membungkuk dan menggenggam jari telunjuk di kedua tangan, mukanya pucat dan mulutnya merintih-rintih, mukanya penuh dengan keringat dingin. Rasa nyeri yang menusuk-nusuk jantung datang dari kedua jari telunjuknya yang tulangnya patah-patah! Dia mencoba untuk mempertahankan, namun akhirnya dia terkulai dan roboh pingsan! Hek-houw Ji Sun dan Kang-thouw-cu Phang Su sudah dapat memulihkan diri. Melihat jagoan pertama itu roboh pingsan, mereka lalu memberi aba-aba kepada puluhan orang pengawal untuk mengeroyok Hay Hay.

   "Tangkap dia!"

   "Bunuh dia!"

   Para pengawal itu bergerak lambat. Mereka ragu-ragu dan merasa agak jerih melihat betapa tiga orang jagoan itu semua sudah roboh oleh pemuda sederhana ini, roboh dengan mudahnya! Pada saat itu, terdengar bentakan seorang wanita.

   "Tahan semua senjata! Semua orang mundur!"

   Mendengar suara yang mereka kenal ini dan melihat munculnya Siok Bi. Gadis cantik manis yang selain menjadi pengawal pribadi Hartawan Coa, juga menjadi seorang kekasihnya itu, para pengawal menahan gerakan mereka. Tentu saja mereka mentaati gadis itu yang biarpun ilmu kepandaiannya tidak setinggi tiga orang jagoan yang telah kalah, namun memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari mereka.

   "Kalian mundur dan tidak boleh mengeroyok tamu ini! Selain kalian tidak akan menang, juga majikan kita berkenan hendak menerimanya. Dia memang datang untuk bertemu dengan majikan kita dan diterima sebagai tamu!"

   Siok Bi memberi isarat kepada Hay Hay, akan tetapi ia menjura dan berkata,

   "Taihiap dipersilakan masuk."

   Hay Hay juga memberi hormat dan menjawab,

   "Terima kasih, nona."

   Mereka berdua berjalan memasuki gedung itu, diikuti pandang mata semua pengawal yang kini memandang jerih dan kagum.

   Tak mereka sangka bahwa pemuda bercaping lebar yang sederhana itu memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya. Bukan hanya ilmu silat yang aneh dan tinggi, akan tetapi juga kekebalan tubuh dan ilmu sihir! Diam-diam, tiga orang jagoan itu, kini Thio Kang telah siuman, bergidik membayangkan apa akan jadinya dengan mereka andaikata pemuda itu bersungguh-sungguh hendak mencelakakan mereka. Tentu sekarang mereka bertiga telah menjadi mayat. Sementara itu, Siok Bi mendampingi Hay Hay memasuki gedung yang besar sekali itu. Para pengawal menjaga di setiap tikungan dengan tombak di tangan. Akan tetapi mereka berdiri tegak tak bergerak karena melihat bahwa pemuda asing itu ditemani oleh Siok Bi yang mereka kenal dan percaya.

   "Aku girang sekali engkau memenuhi janji, Taihiap""

   Siok Bi berbisik ketika mereka lewat di bagian yang jauh dari penjaga. Hay Hay tersenyum.

   "Aku tidak pernah melanggar janji, apa lagi terhadap seorang gadis cantik jelita seperti engkau, nona Siok Bi!"

   Gadis itu menahan senyum dan merasa terharu sekali. Pemuda ini memang hebat. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu menyenangkan hati! Aih, kalau saja ia dapat hidup di samping pria ini untuk selamanya! Biar dikurangi sepuluh tahun usianya, ia rela! Mereka berhenti di depan pintu yang tertutup, pintu sebuah kamar yang besar. Siok Bi mengetuk pintu dengan ketukan lirih tiga kali.

   "Ah, engkau kah itu, Siok Bi? Bagaimana, apakah dia sudah datang?"

   Terdengar suara dari dalam kamar, suara besar Hartawan Coa.

   "Sudah, tai-ya, bahkan dia kini sudah berada di sini bersama saya. Bolehkah dia masuk menghadap?"

   Hening sejenak, kemudian terdengar suara Hartawan Coa.

   "Suruh dia masuk!"

   Daun pintu didorong terbuka oleh Siok Bi. Hay Hay melihat sebuah kamar yang mewah sekali. Kamar yang luas dan penuh dengan prabot yang serba mahal, indah dan mewah. Hartawan Coa sedang menghadapi meja penuh hidangan yang masih mengepulkan uap panas! Itukah sarapan pagi? Bukan main! Hidangan untuk sarapan pagi saja mengalahkan sebuah pesta orang biasa!

   Hartawan itu agaknya sedang sarapan, dilayani oleh tujuh orang gadis yang rata-rata berwajah cantik, bertubuh langsing dan bersikap genit. Di sebelah dalam agak ke sudut, terdapat sebuah pembaringan yang besar, yang cukup untuk tidur sepuluh orang. Agaknya hartawan itu sudah selesai sarapan, karena pada saat itu, para gadis sedang menyingkirkan hidangan-hidangan yang masih panas itu. Ketika Hartawan Coa melihat Siok Bi masuk bersama seorang pemuda yang capingnya lebar dan tergantung di punggung, menutupi buntalan yang cukup besar, dia memandang penuh perhatian. Inilah pemudayang semalam melindungi Gui Lok, mengalahkan dua orang pengawalnya dan membikin malu padanya di depan umum! Dan kini pemuda ini berani muncul, bahkan menurut laporan Siok Bi tadi,

   Pemuda ini mengalahkan semua jagoannya dan tentu akan merobohkan puluhan orang pengawal kalau tidak segera diundang masuk. Siok Bi mengatakan bahwa pemuda tu datang bukan untuk membikin kacau, melainkan untuk menyerahkan uang sebanyak lima puluh tail emas! Dan diapun sudah mendengar bahwa pemuda ini pula yang telah mengeduk lima puluh tail emas dari rumah judi, mengalahkan semua bandar judi yang tangguh. Biarpun hatinya diliputi keraguan dan juga perasaan takut, terpaksa dia menyetujui ketika Siok Bi menyatakan hendak mengundang saja pemuda itu masuk agar dapat bicara baik-baik. Menghadapi seorang pemuda yang selihai itu memang lebih baik degan cara damai. Bahkan, akan amat menguntungkan kalau pemuda selihai itu mau menjadi kaki tangannya!

   "Duduklah, orang muda yang gagah perkasa"

   Kata Hartawan Coa. Para pelayan wanita segera mengundurkan diri kamar itu hanya tinggal Hartawan Coa, Hay Hay dan Siok Bi bertiga saja. Para pengawal kini menggerombol di luar kamar itu, siap melindungi majikan mereka kalau diperlukan.

   "Terima kasih, Coa Wan-gwe,"

   Kata Hay Hay sederhana dan diapun menurunkan buntalannya dari atas punggung, meletakkannya di atas meja dan dia sendiri lalu duduk di atas bangku dekat meja. Siok Bi juga duduk di antara mereka, dengan wajah berseri dan kedua pipi merah, matanya yang indah itu bersinar-sinar karena ia tahu bahwa pemuda itu menepati janji, membawa lima puluh tail emas itu untuk membeli kebebasannya! Semalam ia sudah memberi kabar kepada pemuda yang mencintainya itu, agar pagi ini siap menantinya di depan gedung, siap pergi bersamanya untuk menjadi suami isteri, memulai hidup baru yang cerah!

   "Orang muda, semalam engkau berkata kepadaku untuk datang berkunjung. Dan sekarang, pagi-pagi engkau benar datang berkunjung dan mengatakan kepada para pengawal bahwa engkau datang membawa lima puluh tail emas untuk diberikan kepadaku. Benarkah itu dan apakah maksudmu? Apakah engkau hendak mengembalikan lima puluh tail emas yang kau bawa dari rumah judi itu?"

   Melihat sikap hartawan itu, Hay Hay tersenyum. Tentu saja hartawan ini bersikap angkuh karena pada saat itu, dia menjadi tuan rumah dan selain itu, juga di luar kamar ini terdapat puluhan orang pengawal. Selain itu, juga di dekatnya terdapat Siok Bi yang tentu dianggapnya sebagai seorang pengawal yang setia. Dan memang sesungguhnya Siok Bi seorang pengawal yang setia, kalau saja ia tidak merasa begitu sengsara menjadi kekasih hartawan yang tidak dicintanya itu.

   "Coa Wan-gwe, rumah judi itu milikmu, bukan? Dan pernahkah engkau mengembalikan uang kekalahan dari para penjudi selama ini? Beberapa ratus ribu tail saja yang dimenangkan rumah judi itu dari para penjudi?"

   Hartawan itu tersenyum.

   "Dalam perjudian, menang dan kalah merupakan hal yang biasa, bukan?"

   "Benar begitu. Karena itu, kemenanganku di rumah judimu juga bukan hal aneh, kenapa sekarang kau mengharapkan aku mengembalikan uang kemenanganku dari rumah judi itu?"

   Hartawan yang tinggi besar dengan muka hitam bopeng itu tertawa.

   "Ha-ha-ha, akupun tidak mengharapkan, hanya aku mendengar engkau hendak memberikan lima puluh tail emas kepadaku. Benarkah itu, dan apa maksudmu dengan itu?"

   "Aku hendak menebus kebebasan nona Siok Bi!"

   Wajah yang tadinya tertawa itu tiba-tiba menjadi kaku, dan matanya terbelalak ketika dia menoleh dan memandang kepada Siok Bi. Gadis ini menundukkan mukanya yang berubah merah, akan tetapi lalu diangkatnya mukanya itu dan dia menentang pandang mata Coa Wan-gwe dengan berani.

   "Dulu tai-ya membeliku dari mendiang ayah, kalau sekarang ada yang hendak menebusku kembali, anehkah itu?"

   Siok Bi berkata dengan suara yang tegas.

   "Tapi... tapi... uang tebusan itu banyak sekali sekarang!"

   Kata Coa Wan-gwe yang merasa sayang kepada Siok Bi untuk dua hal. Pertama, sebagai seorang di antara kekasihnya Siok Bi tetap merupakan seorang kekasih istimewa, tidak genit seperti para wanita lain sehingga kadang menjemukan, dan ke dua gadis ini memiliki ilmu silat yang cukup lihai sehingga dapat menjadi pengawal pribadi yang boleh diandalkan. Rumah judi itu maju pesat setelah Siok Bi menjadi pengurusnya.

   "Aku tahu, tai-ya. Pernah tai-ya mengatakan bahwa harga diriku sudah mencapai lima puluh tail emas, bukan? kata Siok Bi!"

   Kata Hay Hay sambil mendorong

   "Nah, untuk itulah aku datang, Coa Wan-gwe. Ini adalah lima puluh tail emas itu, untuk menebus kebebasan diri nona Siok Bi!"

   Kata Hay Hay sambil mendorongkan buntalan emas itu ke arah tuan rumah. Sepasang alis yang tebal itu berkerut dan Hartawan Coa menoleh kepada Siok Bi. Teringatlah dia betapa selama sudah hampir sebulan ini Siok Bi selalu menjauhkan diri darinya, dengan dalih tidak enak badan dan sebagainya!

   "Ah, kiranya engkau jatuh cinta kepada pemuda ini dan hendak menikah dengan dia?"

   Tanyanya.

   "Jangan salah mengerti, Wan-gwe."

   Kata Hay Hay cepat, sedangkan Siok Bi menggelengkan kepalanya.

   "Aku hanya ingin menolongnya agar dia bebas dari sini dan dapat memilih jodohnya sendiri. Engkau tidak perlu tahu siapa yang dipilihnya, yang jelas bukan aku. Nah, bagaimana jawabanmu, Coa Wan-gwe?"

   Hartawan itu merasa serba salah. Uang lima puluh tail emas memang banyak, bagi kebanyakan orang. Bagi dia, tidak ada artinya. Dia tidak ingin uang sebanyak itu, karena uangnya sudah jauh lebih banyak lagi. Dia juga sayang kepada Sjok Bi. Terutama sekali, dia tidak rela harus mengalah kepada pemuda yang pernah membuat dia malu ini. Akan tetapi menentang kehendak pemuda lihai ini? Diapun ragu-ragu! Tiba-tiba dia tersenyum, memperoleh pendapat yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Banyak wanita di dunia ini, yang lebih cantik menarik dari pada Siok Bi dan yang mudah dia dapatkan kalau dia menghendaki.

   "Aku tidak berkeberatan kalau Siok Bi hendak menikah dengan seorang pria pilihan hatinya. Akan tetapi aku tidak rela kehilangan seorang pembantu yang cakap. Begini saja, orang muda. Bagaimana kalau engkau menggantikan kedudukannya? Bukan hanya kedudukannya sebagai pemimpin rumah judi, bahkan kuserahkan kepadamu semua pimpinan para pasukan keamanan dan pengawal! Kuangkat engkau menjadi pembantu utama dan berapa saja gajih yang kau kehendaki, akan kupenuhi! Bagaimana?"

   Wajah pemuda itu berubah merah. Kurang ajar, pikirnya. Dia hendak dijadikan antek hartawan ini!

   "Coa Wan-gwe, urusan itu adalah urusan antara kita berdua dan boleh kita bicarakan nanti. Sekarang, beri dulu keputusan mengenai kebebasan nona Siok Bi!"

   Tidak ada pilihan lain bagi Hartawan Coa untuk mempertimbangkannya lagi kecuali menyetujui. Dia tahu betapa bahayanya menentang pemuda ini, apa lagi setelah kini Siok Bi berpihak kepadanya! Kalau terjadi keributan, dapat dipastikan bahwa Siok Bi yang akan dibebaskan oleh pemuda itu tentu akan membantunya. Dia menarik napas panjang dan menyentuh buntalan uang emas.

   "Baiklah, aku menerima lima puluh tail emas ini untuk penebus kebebasan Siok Bi. Mulai saat ini engkau bebas, Siok Bi."

   Mendengar ini, Siok Bi mengeluarkan seruan lirih dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Hay Hay dan merangkul kaki pemuda itu.

   "Ah, Taihiap, terima kasih"

   Terima kasih atas budimu yang takkan kulupakan selama hidupku""

   Suaranya mengandung isak. Hay Hay tersenyum dan sekali tarik, dia sudah memaksa gadis itu bangkit berdiri lalu merangkulnya. Dengan lembut sekali, diciumnya dahi gadis itu, lalu kedua pipinya sehingga ada air mata yang memasuki mulut melalui hisapan bibirnya.

   "Siok Bi, engkau memang pantas menemukan kebahagiaan. Nah, semoga engkau hidup berbahagia bersama suamimu dan ini aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali bekal ini, agar engkau dan suamimu dapat memulai hidup baru dan memiliki modal."

   Hay Hay mengambil sebuah guci arak, menaruhnya di atas meja di depan Coa Wan-gwe di dekat buntalan emas, lalu dia meraih buntalan emas lima puluh tail itu dan menyerahkannya kepada Siok Bi. Gadis itu terbelalak.

   "Tapi... tapi..."

   Ia memandang ke arah Hartawan Coa yang agaknya telah berubah menjadi arca atau tidak melihat atau tidak peduli bahwa buntalan emas itu diambil oleh Hay Hay dan sebagai gantinya, di depanya kini berdiri sebuah guci arak itu, telah kosong pula.

   "Bawalah, Siok Bi, disertai doaku. Ini milikmu! Ingat, bukankah engkau yang telah berhasil menyelidiki tentang Ang-hong-cu itu? Nah, bawalah dan cepat kau pergi dari sini!"

   Gadis itu menahan isak, lalu merangkul Hay Hay dan tanpa memperdulikan Coa Wan-gwe yang berada di situ dan duduk seperti arca, Siok Bi mencium bibir pemuda itu dengan sepenuh perasaan hatinya, penuh kemesraan, kehangatan, keharuan dan rasa sukur yang tak terukur dalamnya. Kemudian, sambil menahan isak iapun menerima buntalan emas itu dari tangan Hay Hay, berbisik,

   "Selamat tinggal, sampai jumpa pula, Taihiap."

   Ia lalu keluar dari kamar dengan langkah yang cepat.

   "Selamat jalan, sampai jumpa pula, Siok Bi,"

   Hay Hay berkata lirih sambil tersenyum. Masih terasa kehangatan dan kelembutan bibir gadis itu akan tetapi dia segera mengusir lenyap kenangan indah itu.

   "Coa Wan-gwe, sebaiknya kita bungkus dulu emas ini dan suruh orangmu menyimpannya, baru kita bicara."

   Katanya kepada hartawan yang tadi duduk seperti arca itu. Dia kini seperti baru sadar dari tidur.

   "Ah, benar sekali, sebaiknya kusuruh simpan dulu."

   Katanya sementara itu Hay Hay mengambil kain tilam meja yang lebar dan membungkus guci itu. Coa Wan-gwe bertepuk tangan dan muncullah dua orang gadis pelayan yang cantik genit. Tepukan tangan tadi adalah tepukan khas untuk memanggil dua orang selir terkasih ini.

   "Simpan buntalan emas ini di dalam almari dulu, dan jangan bilang kepada siapapun bahwa di situ disimpan emas lima puluh tail."

   Katanya. Dua orang gadis itu lalu mengambil buntalan guci dari atas meja, membawanya ke almari di sudut dan menyimpannya. Mereka lalu meninggalkan kamar lagi ketika mendapat isarat dari majikan mereka. Biarpun mereka itu selir, akah tetapi kedudukan mereka tidak lebih sebagai pelayan yang melayani majikan mereka, bukan sebagai isteri.

   "Nah, sekarang kita berada berdua saja dalam kamar ini, Coa Wan-gwe. Terus terang saja, kalau aku menjadi pembantumu, dalam waktu beberapa bulan saja tentu engkau akan jatuh bangkrut dan seluruh harta bendamu akan habis!"

   "Mengapa begitu?"

   Tanya hartawan itu terkejut.

   "Pertama, karena aku tidak suka melihat orang menjadi korban perjudian. Kedua, karena aku selalu menentang perbuatan jahat dan kejam yang dilakukan orang-orangmu atas perintahmu. Ke tiga, karena aku tidak suka melihat orang bersikap sewenang-wenang, memaksa wanita muda untuk menjadi miliknya. Dan ke empat, aku tidak dapat tinggal diam saja melihat orang-orang hidup melarat dan tidak dapat makan, dan hartamu tentu akan kubagi-bagikan kepada mereka!"

   Sepasang mata hartawan itu terbelalak.

   "Wah, wah, kalau begitu, tidak jadi saja! Aku tidak mau mempunyai pembantu seperti itu!"

   Hartawan Coa menjadi marah, lalu bangkit berdiri.

   "Orang muda, segera kau pergi tinggalkan rumahku ini dan jangan lagi mengganggu aku!"

   "Kalau aku tetap mengganggumu, kau mau apa?"

   Hartawan itu masih belum mau menyerah dan tiba-tiba dia menyambar sebuah tali yang tersembunyi di antara kain-kain sutera yang menghias kamar itu. Terdengar suara kelenengan di luar dan daun pintu kamar itu terbuka. Tiga orang gadis pelayan cantik yang bertubuh kuat muncul, bersama tiga orang jagoan yang tadi sudah dirobohkannya! Tiga orang jagoan itu nampak gentar sekali walaupun mereka cepat datang mendengar kelenengan yang berarti tanda bahaya bagi majikan mereka itu. Di luar pintu masih berdiri puluhan orang pengawal, siap dengan senjata di tangan.

   "Nah, engkau masih berani menggangguku?"

   Bentak hartawan itu. Hay Hay tersenyum. Hartawan Coa ini harus diberi hajaran yang cukup keras untuk melunakkan hatinya yang keras.

   "Hemm, kau mengandalkan para pengawalmu? Engkau tidak tahu bahwa setiap waktu, para tukang pukul dan pengawalmu itu dapat saja berbalik memusuhimu, dan mungkin engkau akan dibunuh oleh mereka."

   
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tidak mungkin! Mereka adalah para pembantuku yang setia!"

   "Setia? Karena terpaksa dan karena uang, seperti halnya nona Siok Bi tadi. Kau"!"

   Hay Hay menggapai seorang di antara tiga gadis itu.

   "Kau ke sinilah dan beri satu kali tamparan pada pipi Hartawan Coa!"

   Semua orang terkejut, juga Hartawan Coa. Akan tetapi sungguh aneh. Gadis itu yang tadinya terbelalak kaget mendengar perintah itu, kini melangkah maju menghampiri Hartawan Coa.

   "Plakk!"

   Tangannya menampar dan pipi hartawan itu telah ditamparnya! Tidak begitu nyeri, akan tetapi Hartawan Coa menjadi terkejut dan marah bukan main. Sebentar pucat dan sebentar merah mukanya.

   "Tangkap perempuan kurang ajar ini!"

   Hay Hay melangkah maju.

   "Siapa berani menangkapnya? Kalau aku tidak memberi perintah, tak seorangpun boleh mengganggunya!"

   Dan aneh, mendengar teriakan Hay Hay ini, tak seorangpun berani maju, biarpun Hartawan Coa berkali-kali memberi perintah.

   "Kau! Majulah dan tampar pipi hartawan ini agar dia tidak berteriak-teriak Jagi!"

   Kata Hay Hay pada gadis ke dua. Gadis itupun tadinya terbelalak, akan tetapi ia melangkah maju dan tangannya menampar. Hartawan itu hendak menangkis, namun kalah cepat.

   "Plakk!"

   Untuk kedua kalinya pipinya kena ditampar oleh gadis kesayangannya yang biasanya amat patuh kepadanya.

   "Tiat-ci Thjo Kang, jarimu sudah patah, maka pergunakan kakimu menendang pantat Hartawan Coa! Hayo cepat, jangan keras-keras, biar dia tahu rasa saja!"

   Tentu saja mendengar ini, Tiat-ci Thio Kang mempertahankan diri sekuatnya untuk menentang perintah yang berlawanan dengan kemauan hatinya itu. Akan tetapi, entah apa yang mendorongnya untuk melangkah maju dan kakinya terayun.

   "Bukk!"

   Hartawan Coa jatuh tersungkur dan bangkit sambil meringis dan menggosok pinggulnya yang tertendang. Kini mukanya pucat dan matanya terbelalak ketakutan memandang kepada Hay Hay.

   "Bagaimana? Haruskah aku lanjutkan? Kalau aku memerintahkan mereka itu menyembelihmu, sekarang juga akan mereka laksanakan, Wan-gwe!"

   "Tidak"

   Tidak...! Hentikan permainan setan ini!"

   Katanya meratap ketakutan

   "Kalau begitu, perintahkan mereka itu mundur."

   "Mundur! Kalian semua mundur, terkutuk kalian!"

   Hartawan Coa membentak dan mereka semua segera keluar dari dalam kamar, menutupkan daun pintu kamar dengan khawatir melihat betapa majikan mereka marah-marah.

   "Nah, Wan-gwe. Begjtulah kalau engkau memelihara harimau-harimau liar. Sekali waktu mereka akan membalik dan mencelakai dirimu sendiri. Sekarang, aku minta agar engkau tidak lagi menggunakan kekayaan dan kekuasaanmu untuk berbuat sewenang-wenang. Kalau aku mendengar engkau masih melanjutkan perbuatanmu yang jahat, aku akan segera kembali ke kota ini dan akan kuperintahkan anak buahmu membunuhmu, atau mungkin juga keluargamu sendiri akan kuperintahkan mereka membunuh dan menyiksamu lebih dulu!"

   "Aku"

   Aku tidak berani lagi..."

   "Engkau tidak akan mengganggu lagi Gui Lok dan puterjnya, Gui Ai Ling yang kau inginkan itu?"

   "Tidak, tidak... tidak lagi."

   "Dan engkau tidak akan menyuruh orang-orangmu mencari Siok Bi untuk kau ganggu?" .

   "Tidak, aku tidak berani."

   "Bagus, akan tetapi jangan mencoba-coba untuk membohongi dan menipuku. Kalau perlu, aku dapat menyuruh siapa saja atau apa saja untuk menghukum dan membunuhmu. Lihat tombak dan pedang di sudut kamar itu. Aku dapat memerintahkan mereka itu untuk membunuhmu!"

   Sekali ini, dalam pandang mata yang tadinya ketakutan dari hartawan itu, berkilat sinar tidak percaya, walaupun mulutnya tidak berani mengatakan hal itu.

   "Engkau tidak percaya, Coa Wan-gwe? Nah, lihat baik-baik! Pedang dan tombakmu itu sendiri akan menyerangmu!"

   Tiba-tiba mata hartawan itu terbelalak dan mukanya yang hitam itu menjadi berkurang hitamnya karena pucat sekali. Dia melihat betapa pedang yang berada dalam sarungnya dan tergantung di tembok, kini meninggalkan sarung dan melayang-layang, bersama dengan tombak yang juga meninggalkan rak senjata. Kedua senjata itu melayang-layang ke atas lalu keduanya meluncur ke arah dirinya! Dia terkejut ketakutan dan melompat, menjauhi, akan tetapi ke manapun dia mundur, dua batang senjata itu terus mengejarnya, tombak itu seperti hendak menusuk-nusuk perutnya dan pedang yang tajam itu mengancam untuk membacok lehernya! Tentu saja dia mandi keringat dingin.

   "Tidak...! Tidak...! Jangan"

   Ah, ampunkan aku"

   Ampunkan""

   Dia jatuh berlutut dan tidak berani mengangkat lagi mukanya, tidak berani melihat dua senjata yang seperti hidup dan mengancamnya itu.

   "Mereka sudah kuperintahkan kembali ke tempat masing-masing, Wan-gwe."

   Hartawan Coa mengangkat mukanya dan benar saja. Dua buah senjata itu sudah berada di tempat masing-masing, tidak bergerak dan mati seperti biasanya. Dia mengeluh dan menghapus keringat dengan ujung lengan bajunya.

   "Nah, kau lihat sendiri, Wan-gwe. Sedangkan benda mati saja dapat berkhianat padamu, apa lagi manusia hidup. Sekali waktu, bisa saja pelayanmu sendiri meracunimu atau membunuhmu selagi engkau tidur. Karena itu, bertobatlah dan tinggalkan semua perbuatan jahat, baru Tuhan akan mengampunimu."

   Hartawan itu masih berlutut dan dia mengangguk-angguk.

   "Baik, baik"

   Aku minta ampun, aku bertobat... tidak berani lagi""

   Ketika dia mengangkat muka, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ! Ketika para pelayan dan pengawal memasuki kamar, mereka menemukan hartawan itu masih berlutut dalam keadaan seperti tidak bersemangat lagi!

   Hay Hay sama sekali tidak tahu bahwa sepeninggalnya, dia tidak hanya membuat hartawan itu menjadi bertobat, bahkan lebih dari itu dan sangat menyedihkan. Hartawan Coa menjadi seperti orang gila yang selalu ketakutan, takut terhadap isterinya, anak-anaknya, pelayan, bahkan takut kepada benda-benda dalam kamarnya. Dia selalu berteriak-teriak bahwa mereka semua hendak membunuhnya. Akhirnya, karena dia selalu marah-marah dan minta agar semua benda disingkirkan dari kamarnya, maka kamar itu menjadi gundul dan kosong. Bahkan dia tidur begitu saja di atas lantai karena takut kalau segala macam ranjang, kelambu, meja kursi, bantal guling, di tengah malam akan membunuhnya! Hartawan Coa menjadi seperti orang gila. Akan tetapi, kota itu menjadi tenang dan para penduduknya bernapas lega karena setidaknya, seorang yang tadinya amat ditakuti dan mengganggu ketenangan hidup mereka telah mati kutu.

   Malam yang gelap karena malam itu gelap bulan. Langit hanya dihiasi laksaan bintang, atau jutaan atau bahkan lebih. Tak terhitung! Biarpun tidak ada bulan, namun sinar lemah dari bintang-bintang itu bergabung dan mampu pula mengurangi kepekatan malam, bukan menjadi gelap gulita lagi melainkan remang-remang. Akan tetapi, kompleks bangunan dalam lingkungan istana sama sekali tidak pernah gelap! Banyak sekali lampu-lampu gantung besar kecil, beraneka warna dan bentuk, menerangi bagian dalam dan luar istana. Bahkan di taman-taman bunga yang teratur indah terdapat lampu penerangan. Malam itu sunyi karena hawa malam itu amat dinginnya. Musim semi telah mulai, akan tetapi sisa musim salju masih meninggalkan hawa dingin yang menyengat tulang.

   Karena dinginnya, maka biar di lingkungan istana sendiri, malam itu sunyi. Para penghuninya, yaitu kaisar dan semua keluarganya, juga para dayang, para selir, para pelayan dan bahkan para pengawal, lebih suka berada di dalam bangunan dari pada di luar! Di udara terbuka, sungguh hawa dingin tak tertahankan. Para pengawal luar yang melakukan penjagaan di luar kompleks bangunan, lebih suka berkelompok di dalam gardu-gardu penjagaan di mana mereka dapat menghangatkan tubuh di dekat arang membara, atau perapian yang mereka buat untuk sekedar menghangatkan badan melawan hawa dingin. Para penjaga menjadi malas untuk meronda, karena meronda berarti meninggalkan gardu, memasuki tempat terbuka di mana mereka akan disambut oleh dekapan hawa yang amat dingin.

   Pula, siapakah yang akan berani mengganggu ketentraman istana? Berarti mencari mati konyol! Maling? Sebelum mendapatkan sesuatu, dia sudah akan mati kedinginan! Malam itu, malam yang dingin sunyi para penjaga menjadi lengah. Namun, bagi seseorang yang sedang dimabok cinta dan dendam birahi, yang sedang menderita rindu, pekerjaan berkencan dengan seorang kekasih yang dirindukan merupakan kewajiban yang dilakukan dengan sepenuh hati, dengan nekat dan kalau perlu mengorbankan diri! Apa lagi hanya hawa dingin di malam sunyi itu, biar harus menghadapi rintangan yang lebih berat sekalipun, seorang yang sedang merindukan pertemuan dengan kekasihnya takkan mundur selangkahpun! Demikian pula bagi pria yang kini sedang menanti di dalam taman bunga sebelah barat istana itu. Dia bersembunyi di balik rumpun bunga yang tumbuh lebat di sebelah kiri depan pondok indah itu.

   Pondok yang bercat merah dan diberi nama "Sarang Madu"

   Di depannya, nama itu tertulis indah di papan yang tergantung di depan pondok. Nama ini diberikan kaisar karena dia merasa seolah-olah berada di sarang madu kala sedang bersenang-senang dengan para selir dan dayang yang muda-muda dan cantik jelita di pondok merah itu. Nama Sarang Madu itu ada riwayatnya. Ketika itu, pondok merah ini baru saja selesai dibangun dan belum ada namanya. Ketika kaisar dan para selir tercinta sedang bersenang-senang di situ, kaisar melihat sebuah sarang lebah tergantung di dahan pohon dekat pondok. Sarang lebah itu sudah penuh madu, nampak ada madu menetes-netes turun. Kaisar segera menyuruh pengawal untuk mengusir lebah-lebahnya dan menurunkan sarang lebah itu.

   Ternyata penuh dengan madu! Tentu saja kaisar menjadi gembira sekali, bersama para selir dan dayang minum madu yang manis. Karena peristiwa itulah maka pondok itu diberi nama Sarang Madu. Bukan hanya karena madu itu memang manis. Akan tetapi berpesta pora dengan para dayang dan seli yang cantik-cantik itu memang amatlah manisnya! Dan bagi pria yang kini bersembunyi di dekat pohon Sarang Madu itu, memang pondok itu merupakan sarang madu yang amat manis baginya. Semua kenangan manis, indah dan menggembirakan berada di dalam pondok itu sejak dia bertemu dan berhubungan dengan Hwee Lan! Pria itu kini menyelinap dekat tembok pondok yang lebih melindungi dirinya dari hembusan angin lembut dan kini sinar lampu gantung yang halus menyentuhnya.

   Dia seorang laki-laki muda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, berpakaian sebagai seorang perwira dan dia nampak gagah sekali dalam pakaian yang cemerlang ini. Sebuah pedang tergantung di pinggangnya, dan topi bulunya nampak bersih. Bulu itu kelihatan putih sekali di atas rambutnya yang hitam panjang. Wajahnya tampan menarik, dan jantan. Wajah yang disuka oleh kaum wanita. Tubuhnya jangkung dengan pinggang ramping, tubuh yang juga menjadi idaman wanita. Pendeknya, pemuda berusia dua puluh lima tahun ini amat menarik bagi wanita. Seorang yahg tampan, gagah dan memiliki kedudukan baik. Seorang perwira pengawal! Dan dari pangkatnya ini saja, perwira pengawal dalam istana, mudah diduga bahwa dia bukan seorang pemuda lemah, melainkan seorang pemuda gemblengan yang memiliki kegagahan dan ilmu silat tinggi.

   Perwira muda ini bernama Tang Gun. Baru dua tahun dia menjadi perwira di dalam istana, dipilih oleh kaisar sendiri karena dia telah berjasa, membantu pasukan pengawal membasmi perampok yang berani memberontak dan mengganggu ketenangan kaisar ketika kaisar berburu binatang di hutan. Pemuda yang gagah perkasa dan yang pekerjaannya sebagai seorang pemburu itu berhasil membantu para pengawal, bahkan dialah yang berhasil membunuh kepala perampok. Mendengar tentang kegagahan pemuda ini, kaisar memanggilnya dan karena gembiranya kaisar lalu menganugerahkan pangkat perwira pengawal kepadanya. Bukan pengawal luar, melainkan pengawal dalam istana, pangkat yang hanya diberikan kepada orang-orang yang benar-benar dipercaya oleh kaisar! Tang Gun tadinya hidup berdua saja dengan ibunya yang sudah berusia empat puluh tiga tahun.

   Hidup berdua dalam keadaan miskin karena ibunya adalah seorang janda dan kehidupan mereka hanya mengandalkan hasil buruannya. Kalau dia berhasil membunuh seekor dua ekor kijang atau beberapa ekor kelinci, dagingnya lalu dibuat daging kering oleh ibunya, kulit dan daging kering itu dijual dan di tukar dengan beras, terigu dan bumbu-bumbu masak, juga untuk membeli pakaian. Mereka hidup di tempat terpencil, di dekat hutan. Sejak kecil, Tang Gun memang suka mempelajari ilmu silat. Dari kawan-kawannya, para pemburu, dia belajar silat dan mencari guru-guru silat yang pandai. Karena tekunnya dan tidak mengenal lelah, juga rajin mencari guru yang pandai. Akhirnya dia menjadi seorang pemuda gemblengan yang pandai silat dan menjadi jago di antara para pemburu. Ibunya selalu mengatakan bahwa sejak dia masih kecil sekali, ayah kandungnya telah meninggalkan mereka.

   Menurut ibunya, ayah kandungnya itu she Tang dan ibunya menyerahkan sebuah benda yang berbentuk ukiran seekor kumbang dari emas dan batu mirah. Si Kumbang Merah atau Ang-hong-cu, demikianlah julukan ayah kandungnya. Demikian menurut ibunya. Dia tidak pernah mengenal ayahnya, hanya tahu bahwa ayahnya she Tang dan berjuluk Ang-hong-cu, menurut ibunya seorang yang amat sakti dan kalau dia kelak melihat seorang pria yang mempunyai tanda mainan seperti yang dimilikinya, maka itulah ayahnya! Tang Gun sudah mencari keterangan di dunia kang-ouw tentang Ang-hong-cu. Akan tetapi, dengan kecewa dia mendengar bahwa sudah bertahun-tahun dunia kang-ouw tidak lagi mendengar nama Ang-hong-cu. Seolah-olah Si Kumbang Merah itu telah lenyap atau mungkin juga sudah mati! Maka, Tang Gun menjadi putus asa dan tidak mencari lagi.

   Ketika dia masih menjadi seorang pemburu biasa, kenyataan bahwa dia tidak berayah lagi, bahkan dia tidak tahu dimana ayahnya, sudah mati atau belum, tidak merupakan hal yang perlu dirisaukan benar. Dia hanya seorang pemburu miskin. Siapa yang akan memperhatikan dirinya dan siapa yang ingin mengetahui siapa ayahnya? Akan tetapi, setelah dia menjadi seorang perwira pengawal di istana, hal itu menjadi amat penting! Dia kini seorang yang berkedudukan dihormati dan disegani, bahkan dekat dengan keluarga kaisar! Maka, untuk mengangkat dirinya, terutama di kalangan pasukan dan juga di dunia persilatan mulailah dia mengaku bahwa dia adalah putera dari Ang-hong-cu yang dikabarkan memiliki kesaktian hebat itu! Berita yang dibangga-banggakan inilah yang akhirnya sampai ke telinga Hay Hay lewat Siok Bi.

   Sejak remaja, karena dia memiliki wajah tampan menarik, tubuh yang kokoh kuat sehingga dia nampak gagah dan jantan, Tang Gun disukai banyak wanita. Dan diapun sadar akan ketampanannya, sadar bahwa banyak wanita menyukainya. Oleh karena itu, biarpun ibunya yang menjanda itu mendesaknya untuk segera menikah, Tang Gun selalu menolak. Dia merasa rugi kalau harus menikah. Pertama, untuk menikah dia harus memiliki uang dan dia seorang yang miskin. Setelah menikah, berarti tanggungannya bertambah, tadinya hanya dua orang menjadi tiga orang, belum lagi kalau isterinya melahirkan anak. Ke dua, setelah dia beristeri, tentu akan berkurang rasa suka para wanita terhadap dirinya. Jauh lebih senang kalau dia masih bebas, dia dapat berpacaran dengan wanita manapun yang suka padanya dan disukainya.

   Maka, mulailah Tang Gun dikenal sebagai seorang pemuda yang mata keranjang, selalu diburu wanita dan dia berganti-ganti pacar! Betapapun juga, dia tidak pernah melakukan pelanggaran. Tidak pernah dia memperkosa wanita, tidak pernah pula dia mempermainkan isteri orang. Dia hanya menyambut uluran cinta seorang gadis atau seorang janda muda. Setelah berusia dua puluh tiga tahun dan diangkat menjadi perwira pengawal dalam istana, nafsu berahi yang selama ini memperhamba batin dan badannya terkekang dan tidak mudah dapat disalurkan. Dia kini telah menjadi seorang perwira pengawal dalam istana. Tentu saja dia tidak boleh sembarangan mengumbar nafsu seperti ketika dia masih tinggal di dusun. Dia harus menjaga namanya dan kini dia tinggal di kompleks perumahan para perwira yang berada di lingkungan istana, walaupun di bagian luar, namun masih berada di belakang tembok yang mengelilingi istana.

   Dia tinggal bersama ibunya, dalam sebuah rumah yang cukup indah walaupun sedang saja. Ada pula dua orang pelayan, laki-laki dan wanita, yang menjadi pelayan rumah mereka. Dia hanya dapat mencari hiburan dan bersenang-senang kalau dia sedang memperoleh giliran cuti dan dia pergi ke rumah pelesir yang jauh berada di sudut kota, menyamar sebagai seorang pemuda biasa. Akan tetapi kalau dia sedang bertugas, dan berada di rumah, dia tidak dapat berkutik. Sebagai seorang perwira pengawal, apa lagi pengawal di dalam istana, dia harus selalu sopan dan menjaga kesusilaan. Sebagian besar para perwira pengawal, juga para prajurit pengawal, yang mengawal sebelah dalam istana, apa lagi yang mengawal bagian keluarga puteri kaisar, adalah para thai-kam (laki-laki kebiri). Dia sendiri tidak diharuskan menjadi thai-kam karena kaisar percaya kepadanya.

   Karena tugasnya menjadi komandan pengawal dalam istana, maka seringkali Tang Gun memimpin rombongan pengawal melakukan perondaan di waktu malam. Bahkan sering pula dia mendapat giliran berjaga di dalam taman yang berhubungan dengan tempat para puteri. Maka, sering pula dia melihat kaisar kalau Sri Baginda ini sedang berjalan-jalan di dalam taman atau sedang bersenang-senang dengan para selir dan dayang di pondok-pondok indah. Tentu saja dia selalu bersikap hormat, berlutut dan menundukkan mukanya, tidak berani mengangkat muka memandang Sri Baginda dan para wanita cantik itu. Akan tetapi, karena dia mata keranjang, ketika matanya tidak dapat melihat namun hidungnya dapat mencium keharuman yang keluar dari pakaian para wanita, telinganya dapat menangkap suara tawa merdu sekali, sepatah dua patah kata yang keluar dengan halus lembut seperti nyanyian merdu, jantungnya terguncang hebat.

   Dan lambat laun, setelah hampir dua tahun dia terbiasa dengan kesempatan seperti itu, mulailah dia berani bermain mata. Biarpun kepalanya ditundukkan, namun matanya mengerling ke atas. Makin kagumlah dia ketika meiihat wanita-wanita cantik jelita dalam pakaian yang serba indah itu. Tadinya, dia hanya mampu melihat bagian tubuh di bawah saja. Dari kaki-kaki mungil sampai ke lutut yang tertutup suteta beraneka warna. Kini dia dapat melihat wajah para pemilik kaki mungil itu. Dan ternyata dia tidak menemukan wanita yang angkuh dan tinggi seperti dalam dongeng tentang puteri-puteri dan keluarga kaisar. Melainkan wajah-wajah cantik jelita dan manis yang memandang kepadanya dengan penuh gairah! Mata yang jeli itu, mulut yang segar kemerahan itu, menunjukkan dengan jelas sekali betapa mereka itu kehausan!

   Tang Gun yang sudah banyak bergaul dengan wanita, dapat melihattanda-tanda yang menunjukkan bahwa kebanyakan dari para wanita muda itu, para selir dan dayang dari Kaisar, memandang kepadanya dengan penuh birahi! Memang demikianlah keadaan para wanita muda dan cantik itu. Mereka melihat seorang perwira pengawal yang muda, tampan, ganteng, gagah dan jantan. Apa lagi mereka mendengar dari para thai-kam yang selalu bermuka-muka terhadap mereka bahwa Tang-ciangkun (Perwira Tang) ini, yang pernah menyelamatkan kaisar, adalah seorang perwira yang benar-benar jantan dan laki-laki tulen, bukan thai-kam! Tentu saja hal ini membuat mereka tertarik dan mereka selalu timbul birahi dan gairah setiap kali melihat perwira itu. Memang seperti itulah keadaan para wanita muda yang menjadi penghuni istana raja di manapun juga. Seorang kaisar sudah lajim mempunyai banyak sekali selir dan dayang, sampai puluhan orang banyaknya.

   Hal ini tentu saja merupakan keadaan yang tidak seimbang, puluhan orang selir dan dayang itu adalah wanita-wanita yang masih muda, bagaikan bunga-bunga di taman yang sedang segar-segarnya, sedang mekar indah dan membutuhkan banyak sekali siraman dan curahan kasih sayang dan kemanjaan pria. Sebaliknya, kaisar yang sudah setengah tua itu tentu saja tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan badan dan batin mereka. Kaisar hanya mampu memberikan kedudukan dan kemewahan saja. Para wanita itu mendambakan perhatian, pencurahan kasih sayang yang lebih sering dan lebih banyak. Mereka itu rata-rata merasa kesepian, seperti burung-burung dalam kurungan. Maka, tidaklah mengherankan dan bukan semata karena watak mereka yang genit kalau mereka itu segera tertarik kepada Tang Gun yang muda, tampan, gagah dan memiliki kerling mata tajam dan senyuman menggairahkan hati mereka itu.

   Akan tetapi bagi Tang Gun, yang paling membuatnya tergila-gila adalah seorang selir kaisar yang bernama Hwee Lan. Mula-mula, pertemuannya dengan Hwee Lan merupakan hal yang kebetulan saja dan tidak disengaja. Pada suatu malam, bebarapa bulan yang lalu, malam terang bulan yang amat indah. Tang Gun yang kebetulan dinas jaga, memimpin para pengawal dalam istana dan membagi-bagi tugas jaga, merasa iseng dan diapun memasuki tarman istana bagian barat yang indah. Sambil meronda, diapun sekalian menikmati malam yang amat indah itu. Malam yang hawanya tidak begitu dingin, terang bulan pula dan karena ketika itu bunga-bunga di taman sedang mekar, maka keadaan taman itu sungguh amat indah, romantis dan penuh dengan keharuman bunga.

   Tiba-tiba dia dikejutkan oleh gerakan dan suara orang di belakang pondok Sarang Madu yang merah itu. Menduga terjadi sesuatu yang mencurigakan, diapun menyelinap di antara semak-semak dalam taman dan mengintai dari balik batang pohon. Kiranya yang berada di antara bunga mawar yang ditaman di bagian belakang pondok itu adalah seorang diantara para selir yang paling jellta! Selir itu memang amat menarik dan mempesona hati Tang Gun setiap kali melihatnya, dengan kulit muka yang bukan hanya putih mulus seperti para selir lain, melainkan putih bercampur warna merah segar, seperti kulit bayi yang montok. Dan selir yang usianya paling banyak delapan belas tahun itu ditemani seorang dayang pelayan yang juga usianya masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun, cantik pula. Namun, dibandingkan dengan selir itu, kecantikan dayang ini tidak ada artinya lagi.
(Lanjut ke Jilid 10)

   Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10
"A Sui, malam begini indah, taman penuh bunga, udara begini sejuk dan harum. Aih, betapa indahnya malam ini""

   Tang Gun yang mengintai, merasa jantungnya berdebar penuh kagum. Suara itu, demikian merdu, dan kata-kata itu demikian halus dan indah. Dayang itu tersenyum.

   "Aduh, kata-kata nona Hwee Lan selalu amat indah, seperti nyanyian, seperti sajak""

   Dayang itu memuji.

   "Memang aku suka bersajak, A Sui, apa lagi dalam suasana yang begini indah""

   Selir cantik itu mengangkat muka memandang ke arah bulan purnama. Wajah itu sepenuhnya tertimpa sinar bulan, nampak putih kemerahan, seperti disepuh emas sehingga Tang Gun yang mengintai terpesona. Belum pernah selama hidupnya dia melihat wanita secantik selir itu. Dan namanya Hwee Lan! Dayang itu bertepuk tangan memuji.

   "Kalau begitu, mengapa nona tidak membuat sajak tentang malam yang indah ini? Saya akan berbahagia sekali mendengarkannya, nona."

   Sikap dayang itu amat bersahabat, karena walaupun kedudukannya sebagai dayang yang melayani selir itu, sebagai pelayan pribadi, namun dayang inipun termasuk seorang di antara para dayang cantik yang menerima "kehormatan"

   Dari kaisar, yaitu pernah dan sewaktu-waktu menemani dan melayani kaisar di kamar tidurnya. Oleh karena itu, walaupun kedudukan mereka berbeda, namun keduanya merasa senasib dan seperti madu saja. Hwee Lan kembali merenung memandang bulan, lalu beberapa kali dia menarik napas panjang.

   "A Sui, di malam terang bulan seperti ini selalu mengingatkan aku akan masa remaja ketika aku belum dibawa ke dalam istana, bergembira ria bersama teman-teman di kampung. Dan malam sepertl ini selalu mengingatkan aku akan keadaanku sekarang. Aku akan mencoba bersajak, akan tetapi hanya untuk telinga kita berdua saja, A Sui."

   Suasana menjadi hening. A Sui, juga Tang Gun yang bersembunyi, menanti dengan penuh pesona. Bahkan kembang-kembang di taman itu seperti menanti pula, dari semilir angin lembut mendadak berhenti, seperti memberi kesempatan kepada si jelita untuk mengalunkan suaranya yang merdu. Hwee Lan masih berdiri, demikian lembut seperti sebatang pohon yang-liu muda, memandang bulan, kemudian terdengarlah suaranya, lirih dan lembut seperti desahan bayu di antara daun pohon cemara.

   "Malam syahdu penuh pesona
Mencipta sajak memuja asmara
Bulan gemilang bayu berdendang
Taman mengharum mengapa hati
bimbang?

   Mawar merah cantik jelita,
Tiada belaian, sepi menderita
Siapa perduJi mawar sengsara
Apa guna segala ratap hampa
Mawar jndah menangis sendirj
Akhirnya layu... kering... mati...!"

   Sajak itu diakhiri dengan isak tangis tertahan. A Sui segera bangkit berdiri, merangkul Hwee Lan dan ikut pula menangis, akan tetapi disertai kata-kata menghibur.

   "Sudahlah, nona, Tidak perlu membiarkan duka berlarut-larut menggerogoti hati. Memang beginilah nasib wanita-wanita seperti kita..."

   "Wahai Mawar Merah nan suci
ada taman sepotong hati
dengan pupuk kesetiaan sejati
dan siraman air cinta murni
bersedia menampung jika sudi!"

   Dua orang wanita itu terkejut dan menengok ke arah pohon besar di belakang pondok. Ketika melihat munculnya Tang Gun, Hwee Lan tidak menjadi ketakutan. Wajahnya berubah kemerahan dan kedua kakinya gemetar ketika perwira yang tampan itu menghampiri. Mereka berdiri dan saling pandang, sedangkan A Sui sambil menahan senyumnya mundur ke belakang nonanya. Dua orang wanita ini sudah sering kali membicarakan ketampanan dan kegagahan Tang Gun.

   "Kiranya Tang-ciangkun...!"

   Kata Hwee Lan, suaranya merdu dan lirih, agak gemetar karena jantungnya berdebar penuh ketegangan.

   "Selamat malam, Tuan Puteri dan maafkan kalau hamba mengganggu. Hamba tadi meronda lalu mendengar..."

   "Sudahlah, ciangkun. Engkau kah yang menjawab sajakku tadi?"

   Betapa beraninya wanita ini, pikir Tang Gun, betapa hausnya!

   "Benar, Tuan Puteri, dan ampunkan hamba..."

   "Benarkah apa yang kau katakan dalam sajak tadi? Engkau bersedia menampung mawar layu, bersedia menyirami dan menyegarkannya kembali?"

   "Hamba bersedia, dengan sungguh hati dan dengan segala kebahagiaan dan kehormatan, Tuan Puteri..." Kini seluruh tubuh Hwee Lan gemetar dan ia menoleh ke sekelilihg. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain di situ, ia melangkah maju, memegang tangan perwira itu dan berkata lirih,

   "Mari kita bicara di dalam pondok, ciangkun. Tidak baik kalau diketahui orang. A Sui, engkau menjaga di luar."

   A Sui tersenyum gembira dan mengangguk, membayangkan bahwa iapun sudah pasti akan mendapat bagian karena bukankah rahasia mereka berdua berada di telapak tangannya? Tang Gun menjadi berani dan diapun menggenggam tangan yang kecil hangat dan lunak itu dan mereka bergandeng tangan memasuki pondok Sarang Madu. Mudah dibayangkan apa yang terjadi malam itu di pondok Sarang Madu. Dua orang muda yang dilanda dan dicengkeram nafsu birahi itu sepenuhnya menyerah dan menjadi permainan nafsu mereka sendiri yang tak pernah mengenal puas. Dan keduanya terkulai dan menyerah.

   Bagi Hwee Lan yang sejak perawan dibawa ke dalam istana, selama ini hanya mengenat kaisar yang setengah tua sebagai satu-satunya pria yang menggaulinya, kini bertemu dengan Tang Gun yang muda, gagah, tampan dan jantan, tidaktah mengherankan kalau ia tergila-gila. Sebaliknya, biarpun Tang Gun sudah banyak bergaul dengan wanita, namun selama ini diapun belum pernah bertemu dengan wanita secantik dan sepanas Hwee Lan, maka diapun tergila-gila dan keduanya saling melekat dan merasa bahwa mereka tak mungkin dapat saling kehilangan atau saling berpisah! Tang Gun yang cerdik maklum bahwa keselamatan dia dan kekasihnya berada di tangan A Sui. Kalau dibiarkan hal itu lewat begitu saja, tentu dia dan kekasihnya akan menjadi permainan dayang itu dan dapat diperas habis-habisan.

   

Pendekar Mata Keranjang Eps 22 Asmara Berdarah Eps 22 Pendekar Mata Keranjang Eps 19

Cari Blog Ini