Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Mata Keranjang 9


Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Demikian pula, duka nestapa di hati kalau sudah mencair menjadi air mata dan tertumpah keluar, terasa ringan di hati yang tadinya amat tertekan itu. Hay Hay tanpa sengaja atau disadari, menarik napas panjang. Seolah-olah hawa udara yang sejuk itu mengalir memasuki paru-paru dan seluruh rongga-rongga kosong yang tadinya diisi hawa kedukaan. Terasa nyaman dan nikmat sekali, melegakan. Hay Hay membuka matanya, seolah baru bangun dari mimpi buruk. Begitu membuka matanya, teringatlah dia akan segala yang terjadi. Tentang Cin-ling-pai, keluarga Cia, tentang keadaannya selama dua hari dua malam setelah meninggalkan ruangan tamu rumah Kui Hong itu. Dia menghela napas panjang, merasa heran mengapa dia sampai dapat bersikap seperti itu. Dan dia menunduk. Bayangan wajahnya nampak di air danau yang jernih seperti cermin itu. Dia terkejut.

   "Ehh? Kaukah itu, Hay Hay?"

   Tanyanya kepada bayangannya. Dia melihat ketika dia bertanya itu, bayangannya menggerak-gerakkan bibir yang nampak begitu pucat, kering dan dengan tarikan yang menyedihkan, betapa bayangan itu memiliki pandang mata yang seperti mayat hidup, wajah yang kotor dan muram, rambut awut-awutan, pakaian lusuh kototr.

   "Ihh! Apa-apan sih kau ini, Hay Hay?"

   Tegurnya kepada bayangannya. Dan tiba-tiba dia membungkuk dan membenamkan kepalanya sendiri sampai ke leher ke dalam air! Air yang dingin itu meresap ke seluruh kepalanya seperti menembus ke otak, mengusir semua kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Yang terasa hanyalah dingin dan dingin, segar dan nyaman. Ketika akhirnya dia mengangkat kembali mukanya dari dalam air, dia agak terengah-engah. Air menetes-netes dari muka dan rambutnya ketika dia menunduk dan nampak bayangan mukanya yang kacau balau di permukaan air yang pecah.

   "Engkau tolol, Hay Hay! Engkau membiarkan kepalamu terbenam dalam duka yang hampa. Lebih baik dibenamkan dalam air sejuk nyaman, ha-ha-ha!"

   Dan kembali ia membenamkan kepalanya ke dalam air! Hal ini berulang sampai beberapa kali, sampai napasnya terengah-engah ketika dia mengangkat kembali kepalanya keluar. Akan tetapi dia kini telah sadar sepenuhnya. Nampak benar segala sikapnya yang dianggapnya lucu dan bodoh. Dia sudah mengambil keputusan untuk mundur dari Kui Hong, karena tahu bahwa hal itu yang sebaiknya bagi Kui Hong, gadis yang dicintanya. Kenapa setelah mengambil keputusan yang dianggapnya sudah tepat itu, dia lalu menyiksa batin dengan penyesalan, kedukaan, kekecewaan dan kehilangan?

   Kini dia duduk di tepi danau, melamun akan tetapi tidak berduka lagi. Rambutnya sudah dia keringkan, masih terurai di pundak. Dia bahkan sudah mandi dan berganti pakaian. Kini dia tinggal menanti pakaian kotor yang dicucinya menjadi kering, dijermurnya di ranting pohon. Sambil menanti, dia memutar otaknya untuk mengatur langkah hidup selanjutnya. Kini dia dapat mengenang pengalaman pahit itu tanpa mengeluh, tanpa merasa sakit hati lagi. Memang dia telah diremehkan keluarga Cia, namun kini, dengan pikiran jernih dan dingin, dia dapat melihat mengapa keluarga Cia meremehkan dirinya dan tidak menyetujui perjodohan antara dia dan Kui Hong. Dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Semua ini merupakan akibat daripada sebab yang diperbuat oleh ayah kandungnya, merupakan buah dari pohon yang ditanam oleh Ang-hong-cu.

   Kui Hong adalah seorang pangcu yang terhormat yang mempunyai tugas berat, harus menjaga nama baik Cin-ling-pai. Juga puteri suami isteri pendekar, tokoh Cin-ling-pai yang amat terkenal. Semua anggauta keluarga Cia merupakan pendekar-pendekar besar, pendekar-pendekar gagah perkasa dan budiman yang selalu menentang kejahatan. Bagaimana mungkin gadis seperti Kui Hong berjodoh dengan putera Ang-hong-cu, penjahat cabul yang ditentang, dibenci dan bahkan dikutuk oleh semua pendekar? Hay Hay tertawa-tawa, mentertawakan kebodohannya sendiri. Pikiran ini hanya alat, kenapa kita suka mempergunakannya untuk mengenangkan dan membayangkan hal-hal yang lalu dan yang akan datang, hanya untuk menimbulkan rasa duka dan ketakutan? Kenapa kita tidak mempergunakan alat ini untuk hal-hal yang bermanfaat, sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang bermanfaat pula?

   "Ha-ha-ha, dasar otak udang kau, Hay Hay?"

   Katanya sambil tertawa dan sekali lagi dia membenamkan kepalanya ke dalam air sampai ke lehernya!

   Ketika dengan terengah-engah dia mengeluarkan lagi kepalanya dari dalam air, dengan rambut basah kuyup menutupi sebagian mukanya, dan air menetes-netes dari hidung dan dagunya, ia mendengar suara ketawa di belakangnya. Suara tawa merdu seorang wanita! Kalau saja dia tidak membenamkan kepalanya ke dalam air tadi, tentu dia akan tahu ketika wanita itu datang ke situ. Akan tetapi, tadi kedua telinganya tertutup air sehingga tahu-tahu ada wanita di belakangnya tanpa dia ketahui. Dia menengok dan memandang dengan mata terpentang lebar dan mulut ternganga. Wanita itu makin geli tertawa, menutupi mulut dengan jari tangan akan tetapi celah-celah jari tangan masih memperlihatkan bibir yang merah, gigi berkilat putih dan rongga mulut yang merah dengan lidah yang jambon. Hidung kecil mancung itu bergerak-gerak ketika ia tertawa. Lucu sekali!

   "Hi-hi-hik, lucunya... heh-heh... kau mirip kura-kura yang baru nongol dari dalam air, hi-hi-hi...!"

   Hay Hay ikut tertawa dan menyingkap rambut yang menutupi mukanya. Dengan kepala dan muka basah kuyup seperti itu, memang mungkin sekali dia nampak seperti kura-kura. Ketika dia menyingkap rambutnya, wanita itu ternganga.

   "Ihh..., kau... kau seorang pemuda yang tampan kiranya..."

   Ia berkata lirih.

   "Kusangka tadi seorang dari kampungku... maafkan,"

   Akan tetapi kembali wanita itu tersenyum lebar dengan hati yang masih merasa geli.

   "Nona, mengapa engkau mentertawaiku?"

   Hay Hay bertanya.

   "Engkau yang aneh. Kenapa engkau membenamkan kepalamu ke dalam air sampai lama benar? Itu namanya mandi bukan, mencuci muka juga bukan. Apa sih yang kau lakukan tadi?"

   Hay Hay mengusap mukanya yang basah. Kini mukanya tidak tertutup air, dan dia dapat memandang dengan jelas, dapat melihat sepenuhnya kepada wanita muda yang berdiri di depannya. Seorang gadis yang belum dua puluh tahun usianya. Pakaiannya memang sederhana seperti gadis dusun, akan tetapi wajahnya! Wajah tanpa bedak gincu itu bagaikan setangkai bunga hutan yang amat indah segar seperi selalu mandi air embun. Sejenak dia terpesona.

   "Heiii! Kenapa diam saja, bengong seperti ikan? Kutanya apa yang kau lakukan tadi!"

   Gadis itu berkata lagi, semakin geli. Aduh, mana cantik manis masih lincah genit menggemaskan lagi!

   "Aku tadi mengintai ikan!"

   Jawabnya sambil tersenyum dan timbul kenakalannya melihat sikap yang wajar dan berani dari gadis dusun itu.

   "Mengintai ikan?"

   Sepasang mata yang indah itu melebar. Hay Hay mengangguk, senyumnya semakin cerah dan lupalah dia sudah betapa sejam yang lalu dia masih tenggelam dalam duka! Pikiran memang seperti ombak lautan, sebentar ke kanan sebentar ke kiri, menjadi permainan suka-duka yang ditimbulkan kenangan masa lalu dan bayangan masa depan.

   "Ya, mengintai ikan yang sedang pacaran!"

   Sepasang mata indah itu semakin melebar. Jeli dan indahnya!

   "Ikan... Pacaran? Ikan apa itu?"

   Gadis itu bertanya, tertarik sekali akan tetapi juga tidak percaya.

   "Entah ikan apa, akan tetapi yang betina cantik bukan main,"

   Kata Hay Hay sambil mengamati gadis itu dari kepala sampai ke kaki.

   "Ikan betina itu bertubuh ramping padat, mukanya cantik manis dengan sepasang mata bintang, hidungnya kecil mancung, mulutnya... hemmm, bibir kecil merah seperti mencibir, giginya putih mengkilap, dagunya runcing dan ada lesung di sebelah kiri mulutnya, lehernya panjang seperti tangkai bunga teratai, kulitnya putih halus mulus dan segar, sisiknya berwarna hijau muda, rambutnya dihias ukiran perak berbentuk bunga mawar..."

   Gadis itu memandang ke arah bajunya yang hijau muda, tangannya meraba rambut dimana terdapat hiasan perak berbentuk mawar.

   "Ehh? Seperti aku...?"

   Tanyanya dan tahulah Hay Hay bahwa gadis manis ini agak bodoh.

   "Bagaimana yang jantan?"

   Tanya pula gadis itu. Hay Hay tersenyum. Sukar membayangkan gadis manis ini berpacaran dengan orang lain, kecuali dengan dia.

   "Yang jantan? Aih, buruk sekali..."

   "Kalau begitu ikan itu aku!"

   Gadis itu berkata lagi. Kini Hay Hay yang menjadi heran, akan tetapi sebelum dia berkata sesuatu, nampak seorang laki-laki berlari-larian menuju ke tempat mereka. Dia mengangkat muka memandang dan gadis itu pun menoleh. Ketika melihat laki-laki yang sudah lari mendekat itu, si gadis lalu menyongsongnya dan mereka pun bertemu dan berpelukan!

   "Koko, engkau menyusul...?"

   "Ya, akan kubantu engkau mencuci pakaian, Moi-moi!"

   Kata laki-laki itu sambil merangkul leher. Dan Hay Hay terbelalak. Laki-laki itu seorang pemuda yang sebaya dengan dia, usianya sekitar dua puluh tahun, tubuhnya pendek sehingga kalah tinggi sedikit bila dibandingkan gadis itu, dan mukanya kehitaman, biarpun tidak buruk sekali akan tetapi jauh daripada tampan. Cukup jelek dengan mata yang sipit sekali, hidung besar mekar, mulutnya juga lebar dengan bibir tebal. Akan tetapi pakaiannya mentereng dan gerak-geriknya kuat namun lembut.

   "Moi-moi, dengan siapa engkau bercakap-cakap tadi? Siapakah pemuda ini?"

   Si pendek itu memandang kepada Hay Hay dengan heran, akan tetapi sedikit pun tidak kelihatan marah.

   "Aih, dia?"

   Wanita itu terkekeh genit.

   "Dia lucu sekali, Koko. Dia tadi membenamkan kepala di air, katanya sedang mengintai ikan, hik-hik! Dan ikan betinanya seperti aku, jantannya seperti engkau, heh-heh!"

   Mendengar ucapan gadis itu, mau tidak mau Hay Hay tertawa geli.

   "Ha-ha-ha-ha, benar sekali...!"

   Katanya. Kini dia tahu bahwa gadis itu biarpun cantik manis sekali, akan tetapi juga bodoh! Pria itu juga tersenyum.

   "Hemm, kiranya engkau bertemu dengan seorang yang miring otaknya, Moi-moi. Mana ada orang mengintai ikan dan mana ada ikan mirip manusia? Tentu kepalanya panas maka dia membenamkan kepala di dalam air."

   Kemudian dia menghampiri Hay Hay dan melihat sebuah batu besar didekatnya, pria itu lalu menggerakkan tangannya ke arah batu.

   "Plakkk!"

   Ketika tangan itu diangkatnya, di batu tadi nampak bekas telapak tangan yang tertinggal di batu, ada dua sentimeter dalamnya! Kiranya pria itu memiliki tenaga yang cukup hebat, pikir Hay Hay kagum.

   "Saudara yang baik,"

   Kata pria itu dengan suara tenang dan sabar.

   "Aku hanya ingin mengatakan bahwa amat merugikan diri sendiri kalau seorang pria suka mendekati isteri orang lain."

   "Aku tidak mendekati... ohhh, kau mau katakan bahwa gadis ini isterimu?"

   Hay Hay terbelalak. Pria pendek itu mengangguk.

   "Ia isteriku, kami pengantin baru, belum ada sebulan kami menikah. Ia cantik manis sekali, bukan? Ia kembangnya kampung kami."

   Hay Hay menutup mulutnya yang tadi ternganga, dan menelan ludah.

   "Isterimu...? Sungguh tak kusangka... ia memang cantik jelita dan pantas menjadi kembang kampung, dan engkau... Hemmm..."

   Hay Hay meraba dagunya dan tidak bermaksud menghina.

   "terpaksa kukatakan bahwa engkau tidak terlalu tampan."

   Pria itu tidak marah, bahkan tertawa sehingga nampak giginya yang besar-besar dan tidak rapi.

   "Ha-ha-ha, katakan saja aku buruk rupa, sobat! Memang aku jelek dan ia cantik. Isteriku merupakan kembang di kampung kami, yang paling cantik. Dan ia telah memilih diriku, memilih yang paling baik!"

   "Ehh? Kau mau bilang bahwa engkau yang paling tampan di dusunmu?"

   Hay Hay bertanya, tidak percaya.

   "Bukan paling tampan, akan tetapi paling baik! Aku pemuda yang paling kaya, paling terpelajar, paling pandai, paling kuat di dusun kami. Otakku paling terang. Dan isteriku ini gadis yang paling cantik pula di dusun. Keburukan rupaku tidak mengapa karena isteriku cantik, dan kebodohan isteriku juga tidak mengapa karena aku pandai. Nah, bukankah kami merupakan pasangan yang paling serasi? Kami pasti akan mempunyai anak-anak yang paling hebat!"

   "Hemm, mengapa begitu?"

   Hay Hay bertanya, menahan perasaan geli hatinya. Orang ini memang agaknya pintar, walaupun terlalu menonjolkan bagian yang baik dari dirinya.

   "Mengapa? Wah, engkau seperti isteriku, termasuk yang kurang cerdik sehingga tidak mampu menangkap inti sari pertanyaanku tadi. Sobat, tentu saja anak-anak kami yang paling hebat karena mereka akan mewarisi keelokan wajah isteriku dan mewarisi kecerdasan otak dariku, ha-ha-ha!"

   Dan si pendek itu dengan tangan kirinya menyambar keranjang cucian isterinya, tangan kanan menggandeng isterinya dan berkata.

   "Mari, isteriku yang tercinta, kita mencuci ditempat lain."

   "Marilah, suamiku tersayang!"

   Kata sang isteri bersikap manja. Mereka pergi, bergandeng tangan mesra, diikuti pandang mata Hay Hay yang masih bengong. Setelah mereka lenyap disebuah tikungan, barulah Hay Hay tertawa bergelak, bahkan tertawa sampai mengeluarkan air mata dan memegangi perutnya.

   "Aduh, Hay Hay, lihat betapa lucunya di dunia ini! Dunia ini seperti panggung sandiwara dan manusia-manusia menjadi pelawaknya! Ha-ha-ha-ha..., pergilah semua duka nestapa, pergilah semua kecewa dan penasaran! Hidup ini masih terlalu indah untuk disusahkan, ha-ha-ha!"

   Dan membayangkan kembali suami isteri yang aneh tadi, Hay Hay terus tertawa. Apalagi ketika dia membayangkan mereka dengan anak-anak mereka, tawanya makin terbahak.

   "Ha-ha-ha-he-he... anak-anak mereka... ha-ha-ha-ha, aduh, anak-anak mereka ternyata mewarisi wajah ayahnya dan otak ibunya! Ho-ho-ha-ha-ha...!"

   Hay Hay terpingkal-pingkal sampai tubuhnya terlipat dan dia memegangi perutnya. Akan tetapi wajah anak-anak yang seperti si pendek tadi dengan sinar mata bodoh terus membayanginya sehingga sukar baginya untuk menghentikan tawanya.

   Wajah tampan Sim Ki Liong nampak muram dan alisnya berkerut ketika Mayang berkeras minta disediakan dua buah kamar kepada pelayan rumah penginapan dikota Wangsian disebelah utara tepi Sungai Yang-ce. Seperti kita ketahui, dua orang muda ini meninggalkan pulau Teratai Merah dan sebelum mereka pergi ke tempat tinggal ibu dan guru Mayang diperbatasan Tibet, mereka akan lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai. Cin-ling-pai masih cukup jauh, diutara karena pegunungan itu terletak ditapal batas Propinsi Se-cuan dan Sen-si. Adapaun kota Wang-sian terletak dibagian utara Propinsi Se-cuan.

   Sudah berkali-kali Ki Liong merasa kecewa karena gadis yang menjadi kekasihnya itu selalu minta disediakan kamar terpisah apabila mereka bermalam dirumah penginapan. Sikap gadis ini mendatangkan dua pukulan baginya. Pertama, keinginan untuk segera "memiliki"

   Gadis itu menjadi tidak mungkin kalau dia selalu berpisah kamar. Dan ke dua, sikap gadis itu jelas merupakan bukti bahwa kekasihnya tidak percaya kepadanya! Tentu saja Ki Liong tidak mau bercekcok dan berbantahan di depan pelayan. Setelah mereka diantarkan dan mendapatkan dua buah kamar yang bersebelahan, dan pelayan itu pergi, barulah Ki Liong menegur Mayang.

   "Mayang, kenapa engkau sampai sekarang masih belum percaya kepadaku? Apa artinya dua kamar terpisah ini? Bukankah kita saling mencinta dan kita adalah calon suami isteri?"

   Tegurnya marah.

   "Baru calon, Liong-ko. Ingat, kita belum suami isteri, bagaimana mungkin harus sekamar?"

   "Akan tetapi, asal kita tidak melakukan pelanggaran, apa salahnya?"

   Ki Liong membantah.

   "Bukan hanya itu yang harus dijaga, Liong-ko, akan tetapi terutama sekali pandangan dan dugaan orang. apa akan dikata orang kalau mereka tahu bahwa seorang pemuda dan seorang gadis yang bukan suami isteri menginap dalam satu kamar?"

   "Perduli amat dengan pandangan dan kata orang, Mayang!"

   "Mudah saja engkau berkata demikian karena engkau laki-laki, Liong-ko. Akan tetapi aku perempuan dan aku tidak ingin nama dan kehormatanku tercemar."

   Melihat gadis itu sudah merah mukanya dan mulai marah, Ki Liong tersenyum dan menghela napas panjang.

   "Baiklah, Mayang, mungkin engkau yang benar. Aku pun tidak mempunyai niat lain kecuali merasa bahwa lebih aman bagi kita kalau sekamar. Juga tidak bertemu semalam saja denganmu rasanya hati ini merasa kesepian dan rindu. Sudahlah, maafkan aku kalau aku bersalah."

   Melihat sikap Ki Liong yang mengaku salah dan minta maaf, luluh kekerasan hati Mayang dan ia pun tersenyum lalu memegang tangan kekasihnya.

   "Kau tahu, Ling-ko. Penolakanku hanya untuk kebaikan kita berdua. Sabarlah, kalau kita sudah menghadap ibu dan subo, kalau kita sudah menikah, tentu setiap saat kita berkumpul dan takkan berpisah lagi."

   Ki Liong menggenggam tangan kekasihnya sejenak, lalu melepaskan dan mereka memasuki kamar masing-masing. Pada saat itu, sepasang mata yang jeli memandang ke arah Ki Liong. Sejak pemuda dan gadis itu memasuki rumah penginapan, pemilik sepasang mata jeli ini sudah mengikuti mereka.

   Akan tetapi karena pemilik mata itu mengikuti gerak-gerik mereka, bahkan mendengarkan percakapan mereka di depan kamar Mayang sambil bersembunyi, Ki Liong dan Mayang tidak tahu bahwa ada orang memperhatikan mereka. Setelah Ki Liong dan Mayang memasuki kamar masing-masing, pemilik mata jeli itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Menjelang tengah malam, Ki Liong yang sudah pulas terbangun oleh suara ketukan perlahan di jendela kamarnya. Sebagai seorang ahli silat yang pandai, sedikit suara saja sudah cukup untuk membangunkannya. Dan begitu terbangun dia pun sudah siap siaga, meloncat dengan cepat turun dari pembaringan dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun dia sudah mendekati jendela kamarnya yang tertutup, mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Tik-tik-tik!"

   Lirih saja ketukan itu. Tentu pengetuknya menggunakan kuku jari tangan saja untuk mengetuk daun jendela kamarnya.

   Karena pengetuk itu bersikap hati-hati dengan ketukan lirih seolah tidak ingin membuat gaduh. Ki Liong mengira bahwa tentu Mayang sipengetuk itu, dan tentu terjadi sesuatu yang membuat kekasihnya itu curiga. Cepat dia membuka daun jendela tanpa mengeluarkan suara dan begitu daun jendela dibuka dan dia pun siap menghadapi serangan kalau yang datang itu musuh. Dia melihat bayangan berkelebat, bayangan yang ramping. Tentu Mayang! Bayangan itu meloncat menjauhi kamar dan menyelinap ke bagian yang gelap disudut taman diluar kamarnya itu. Ki Liong cepat mengenakan sepatunya dan dia pun meloncat keluar dari jendela dengan gerakan seperti seekor burung saja, lalu dia berlari menuju ke tempat gelap itu, kini hampir yakin bahwa Mayang tentu menemukan sesuatu dan memanggil dia keluar.

   Ketika dia tiba disudut gelap itu, bayangan itu muncul bahkan berdiri di bawah lampu gantung sehingga sinar lampu menerangi dirinya dan nampak wajah dan tubuhnya, cukup jelas. Ki Liong terbelalak, kaget dan heran. Bukan Mayang! Walaupun tak kalah cantiknya! Seorang wanita muda, namun jauh lebih dewasa daripada Mayang, usianya sekitar dua puluh lima tahun, berwajah lonjong manis dengan senyum memikat dan matanya tajam dengan kerling yang amat genit. Wanita itu memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan, dengan sikap menantang berdiri menanti dengan senyum dan kerling penuh arti. Seorang wanita yang sudah matang! Ki Liong menghampiri dan berdiri berhadapan. Mereka saling pandang dan wanita itu mengamati Ki Liong seperti seorang pedagang kuda sedang mengamati dan menilai seekor kuda yang akan dibelinya.

   "Nona, siapakah engkau dan mengapa pula mengetuk daun jendela kamarku?"

   Tanya Ki Liong, suaranya lirih agar jangan sampai terdengar orang lain, terutama Mayang walaupun kini kamar gadis itu agak jauh dari situ. Wanita itu tersenyum lebar sehingga nampak deretan gigi putih mengkilap yang menambah kecantikannya.

   "Kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian hebat, seorang pendekar! Caramu melompat keluar dari kamarmu tadi..."

   "Nona, siapakah engkau dan mengapa pula..."

   Ki Liong mengulang pertanyaannya.

   "Hi-hik, pendekar kesepian! Aku pun senasib denganmu. Aku pun merasa kesepian sekali. Sepi, dingin dan rindu!"

   Kembali senyum dan kerlingnya memikat. Ki Liong bukan seorang pemuda alim. Sama sekali bukan. Dia bahkan pernah menjadi hamba nafsu yang tidak pantang melakukan apa pun demi pemuas nafsunya. Kini, menghadapi seorang wanita yang demikian cantik manis dan menggairahkan, yang menantang lagi, tentu saja jantungnya sudah berdebar tegang, membayangkan hal-hal yang amat menyenangkan. Akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti.

   "Maksudmu bagaimana?"

   "Hi-hik, orang muda yang ganteng. Kita dapat saling menolong mengusir kesepian masing-masing, saling menghangatkan dan saling mengobati hati rindu. Aku pun bermalam disini. Kamarku disana. Marilah kita bicara dikamarku!"

   Wanita itu menunjuk ke kiri. Akan tetapi biarpun gairahnya sudah bangkit oleh kecantikan wanita yang menantangnya itu, Ki Liong bukan orang yang ceroboh atau bodoh. Dia selalu berhati-hati karena maklum bahwa dia mempunyai banyak musuh. Dia tidak mengenal siapa wanita ini sehingga bahaya tetap saja mungkin mengancamnya. Siapa tahu ini merupakan sebuah perangkap dan dia tidak begitu bodoh untuk memasuki perangkap hanya karena tertarik paras cantik dan sikap genit memikat.

   "Nona, usulmu memang baik dan memikat. Kita dapat saling menghibur. Akan tetapi, kamarku lebih dekat. Maka, kalau benar engkau menghendaki dan jujur, mari kita bicara dikamarku saja."

   Wanita itu tersenyum dan mengedipkan matanya.

   "Tapi... kamar gadis Tibet itu berdampingan dengan kamarmu. Kalau ia mendengar..."

   Ki Liong tersenyum.

   "Perlukah kita membuat gaduh? Bicarapun dapat berbisik kalau mulut dan telinga kita saling berdekatan."

   Dia pun mengedipkan matanya. Wanita itu tertawa, tampa menutupi mulutnya dan hal ini memang tidak perlu. Mulutnya amat menarik kalau ia tertawa. Hanya ia menahan diri sehingga suara tawanya tidak nyaring. Dan ia pun mengangguk.

   "Mari kita berlumba siapa yang dapat masuk lebih dulu kekamarmu tanpa mengeluarkan suara gaduh sedikitpun!"

   Kata wanita itu.

   "Yang kalah harus menuruti semua permintaan yang menang."

   Ki Liong tersenyum. Kalah atau menang sama enaknya baginya, baik dia yang memerintah atau yang diperintah,

   "Baik, silakan!"

   
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Katanya, akan tetapi terkejutlah dia melihat wanita itu bergerak cepat sekali, seperti meluncur saja menuju ke kamarnya. Dia pun cepat mengerahkan gin-kangnya mengejar, namun ketika dia meloncat ke dalam kamarnya melalui jendela yang terbuka, wanita itu rebah diatas pembaringan sambil tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.

   "Nah, kau kalah. Sekarang kuperintahkan tutup dan palang daun jendela, lalu ke sinilah, aku kedinginan!"

   Dengan patuh dan dengan senang hati Ki Liong mentaati perintah itu. Mereka segera mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hati mereka karena mereka itu bagaikan minyak bertemu api. Ki Liong menemukan seorang wanita yang benar-benar menggairahkan, berpengalaman dan bagaikan bunga sudah mekar sepenuhnya, bagaikan buah sudah masak benar.

   Di lain pihak, wanita itu pun dengan heran dan gembira menemukan seorang pemuda yang sama sekali tidak hijau seperti yang disangkanya semula, melainkan seorang laki-laki yang banyak pengalaman dan pandai menyenangkan hatinya. Tidak mengherankan jika mereka segera menjadi amat mesra dan akrab, tidak seperti dua orang yang baru bertemu melainkan sebagai sepasang kekasih yang sudah saling berkasih-kasihan selama bertahun-tahun. Keduanya pun menjadi semakin kagum ketika mereka saling menceritakan riwayat masing-masing dengan sejujurnya. Keduanya dapat merasakan bahwa mereka masing-masing telah bertemu dengan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya, orang yang memiliki kecocokan hati.

   Wanita itu memperkenalkan dirinya. Ia bukan lain adalah Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun) Su Bi Hwa! Ketika Sim Ki Liong mendengar bahwa kekasihnya yang cantik manis dan pandai menyenangkan hatinya ini murid Pek-lian Sam-kwi, tahulah dia bahwa wanita ini memang seorang tokoh sesat yang berilmu tinggi, pantas sekali menjadi kekasihnya dan juga sekutunya. Dia pun bercerita terus terang siapa dirinya. Ketika mendengar bahwa pemuda ganteng itu adalah murid Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah, Su Bi Hwa terkejut bukan main sampai ia melompat turun dari atas pembaringan dan memandang pemuda itu dengan muka pucat dan mata terbelalak.

   "Pen..., Pendekar Sadis...?"

   Ia berseru dalam bisikan. Siapa orangnya tidak gentar mendengar nama julukan itu? Bahkan para datuk sesat sekalipun menjadi gentar kalau mendengar nama Pendekar Sadis. Pendekar itu memang sekarang jarang meninggalkan pulaunya dan tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Akan tetapi sekali dia keluar, kalau ada penjahat bentrok dengan dia, maka nasib penjahat itu akan mengerikan sekali. Pendekar Sadis terkenal tak pernah dapat memberi ampun kepada musuhnya, dan dia bukan hanya membunuh, akan tetapi juga menyiksa lawannya sedemikian rupa sehingga para penjahat lain yang mendengarnya menjadi ngeri dan ketakutan. Ki Liong tersenyum dan dia pun melompat turun, merangkul dan menarik Bi Hwa ke dalam pelukannya.

   "Jangan takut, manis. Aku adalah muridnya, dan aku tidak sadis seperti guruku. Lihat, aku tidak sadis terhadap dirimu, bukan?"

   Bi Hwa menghela napas panjang.

   "Ihh, engkau sungguh mengejutkan hatiku, Ki Liong. Pantas engkau lihai bukan main. Kiranya engkau murid Pendekar Sadis."

   "Bekas muridnya, Bi Hwa. Aku sudah diusir dari pulau Teratai Merah dan tidak diakui lagi sebagai murid."

   Ki Liong lalu menceritakan tentang hubungannya yang terputus dari suhu dan subonya di pulau itu. Tanpa malu-malu lagi dia menceritakan betapa dahulu dia melarikan diri sambil mencuri pedangmilik gurunya, akan tetapi kemudian dia mengembalikan pedang dengan maksud minta diampuni. Akan tetapi, suhu dan subonya tidak mau mengampuninya.

   "Hatiku sakit sekali, B Hwa. Akan tetapi apa yang dapat kulakukan? Mereka itu lihai bukan main. Dan memang sebetulnya aku pun tidak ingin sekali kembali ke sana dan hidup sebagai pertapa. Aku tidak akan kembali lagi ke sana!"

   "Bagus, Ki Liong. Cocok sekali dengan aku! Aku pun tidak suka terikat seperti itu. Aku ingin bebas menikmati hidup ini. Aku senang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, bahkan kita menjadi sepasang kekasih yang cocok. Mari kita hidup bersama, kita mencari kesenangan sepuasnya, kita bertualang bersama!"

   Bi Hwa merangkul. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang kekasih yang sehebat ini, juga yang ia tahu amat lihai. Murid Pendekar Sadis! Bayangkan!

   "Aku pun senang sekali bertemu denganmu Bi Hwa. Kita memang cocok dan hidup ini akan menggembirakan sekali kalau kita dapat selalu bersama-sama dan mengadakan petualang bersama. Akan tetapi, aku mempunyai teman, bahkan ia tunanganku..."

   "Hemm, gadis cantik peranakan Tibet itu?"

   "Kau tahu?"

   "Tentu saja. Sudah sejak tadi aku mengintai kalian. Aku pun merasa heran mengapa kalian tidak tidur sekamar. Hemm, agaknya tunanganmu itu menjaga kehormatannya dengan ketat, ya? Dan engkau bertunangan dengan gadis kuno seperti itu?"

   "Hemm, terus terang saja, Bi Hwa. Aku mencinta Mayang, gadis itu. Dan ia bahkan pernah menyelamatkan nyawaku ketika aku terancam maut di tangan musuh. Aku cinta padanya, akan tetapi ia memang selalu menjauhkan diri, mengatakan bahwa ia hanya mau menyerahkan diri kalau kami sudah menikah. Itulah yang menyusahkan hatiku. Kalau saja ia bersikap seperti engkau ini, betapa akan bahagianya hatiku."

   Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa tertawa. Ia adalah seorang wanita yang tidak lagi mengenal apa artinya cinta. Sejak kecil ia digembleng tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian Sam-kwi. Dan sejak ia berusia lima belas tahun, tiga orang gurunya itu menggauli murid ini sehingga mulai saat itu, Bi Hwa menjadi murid dan juga kekasih tiga orang gurunya yang mesum akhlak itu. Dan sejak itu pula, Bi Hwa menjadi seorang hamba nafsu, melampiaskan nafsunya kepada pria mana saja yang berkenan dihatinya. Ia hanya mengenal nafsu berahi, sama sekali tidak mengenal apa artinya cinta! Oleh karena itu, mendengar seorang rekan dalam dunia sesat seperti Sim Ki Liong mengaku jatuh cinta kepada seorang gadis, ia pun tertawa.

   "Heh-heh-hi-hik, Ki Liong, engkau sungguh aneh. Kalau kekasihmu itu tidak mau kau dekati, apa sih sukarnya bagi orang sepandai engkau? Banyak jalan untuk dapat memaksanya menyerahkan diri kepadamu. Engkau dapat meringkus dan menotoknya, engkau dapat memberi minum obat bius atau perangsang kepadanya. Sekali ia sudah menyerahkan diri kepadamu, tentu selanjutnya ia akan menjadi penurut."

   Ki Liong menggeleng kepalanya.

   "Engkau tidak tahu gadis macam apa adanya Mayang! Pertama, ia juga lihai, murid Kim Mo Sian-kauw, dan biarpun aku mampu mengunggulinya dalam ilmu silat, namun tidak mudah menundukkan Mayang. Kedua, aku ingin ia menyerah dengan cintanya kepadaku seperti sekarang ini. Kalau aku memaksanya, ia tentu akan membenciku dan aku tidak menghendaki itu. Aku cinta padanya."

   Bi Hwa mencium pipi pemuda itu.

   "Disini ada aku yang dengan senang hati mau menyerahkan diri kepadamu dengan cinta, kenapa engkau masih menghendaki wanita lain? Apakah aku kurang hangat, kurang memuaskan?"

   Ki Liong mencubit dagu yang manis itu.

   "Engkau hebat, Bi Hwa. Akan tetapi, engkau lebih cocok menjadi kekasihku dan sekutuku, kita bertualang bersama, bercinta bersama, saling bantu dan saling bela. Akan tetapi aku ingin Mayang menjadi isteriku, aku ingin ia menjadi ibu dari anak-anakku."

   "Ihh! Aku tidak mau menjadi ibu!"

   Bi Hwa berkata genit.

   "Itu hanya akan merusak keindahan tubuh dan membuat aku cepat tua!"

   Ia tertawa-tawa.

   "Kalau engkau benar-benar menganggap aku sebagai kekasih dan sekutu, dan selalu akan menyenangkan hatiku seperti sekarang ini, aku mempunyai cara untuk membuat ia menyerah kepadamu tanpa paksaan, melainkan dengan sukarela, Ki Liong."

   Tentu saja Ki Liong merasa girang sekali.

   "Kalau benar engkau mampu membuat Mayang menyerah kepadaku secara sukarela, aku akan semakin sayang kepadamu, Bi Hwa. Akan tetapi, bagaimana caranya? Ingat, hati Mayang keras sekali dan ia amat sukar ditundukkan."

   "Hi-hi-hik, kau lihat saja nanti. Besok pagi, perkenalkan aku kepadanya. Katakan bahwa kita pernah berkenalan..."

   Mereka lalu bisik-bisik mengatur siasat untuk membuat Mayang dapat menerima Bi Hwa sebagai seorang sahabat!

   "Engkau tadi telah menceritakan riwayatmu, Ki Liong. Akan tetapi, sekarang bersama Mayang, engkau hendak pergi kemanakah?"

   "Aku sendiri bingung, Bi Hwa. Tadinya, setelah kami pergi dari Pulau Teratai Merah, Mayang mengajak aku pergi ke barat untuk minta restu ibunya dan gurunya agar kami dapat menikah. Akan tetapi aku tidak ingin melakukan perjalanan jauh dan sukar itu, maka kuusulkan kepadanya untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai agar Kui Hong memberi surat kepada guru-guruku di pulau Teratai Merah. Setelah kupikir-pikir, tidak enak juga. Sebetulnya, aku tidak ingin kembali kepada guru-guruku, hanya Mayang selalu mendesak."

   "Ke Cin-ling-pai?"

   Bi Hwa bergidik. Baru saja ia meninggalkan Cin-ling-pai setelah gagal menguasai perkumpulan itu, bahkan ia nyaris tewas dan ketiga orang gurunya juga tewas oleh keluarga Cin-ling-pai.

   "Pergi ke Cin-ling-pai sama saja dengan ular mencari penggebuk, Ki Liong. Justeru keluarga Cin-ling-pai adalah musuh besarku. Merekalah yang membunuh tiga orang guruku."

   Ki Liong bangkit duduk dan mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya.

   "Terus terang saja, mereka pun tadinya musuh-musuhku. Cia Kui Hong, ketua Cin-ling-pai itu pun tadinya musuh besarku dan aku hampir saja tewas ditangannya kalau tidak ada Mayang yang menolongku. Aku pun tidak suka kepada mereka yang sombong."

   "Kalau begitu, untuk apa pergi kesana? Lebih baik kalau kau pergi bersamaku ke kota raja. Bukankah kita akan bertualang, mencari keuntungan dan kesenangan, menikmati hidup ini? Nah, aku mempunyai rencana yang kalau berhasil akan membuat kita hidup mulia, terhormat, dan kaya raya."

   "Aih, nampaknya menarik sekali. Apakah rencanamu itu, manis?"

   Kembali mereka berbisik-bisik. Malam itu mereka penuhi dengan mengatur siasat kerja sama dan membiarkan diri hanyut dalam gelombang nafsu berahi. Dan pada keesokan harinya mereka telah menjadi sekutu yang saling mencinta dan mereka telah menemukan pasangan yang amat menyenangkan. Setelah Mayang bangun dan mandi, ia ditemui Ki Liong yang juga sudah nampak segar walaupun matanya agak sayu karena kurang tidur dan lelah, dan pemuda itu mengajaknya sarapan di sebuah kedai bubur. Di kedai inilah, ketika mereka sedang makan bubur, masuk seorang wanita cantik. Setelah melihat ke kanan kiri mencari tempat kosong, wanita itu melihat Ki Liong dan Mayang dan ia pun berseru.

   "Ki Liong...! Bukankah engkau Ki Liong...?"

   Wanita itu bukan lain adalah Su Bi Hwa yang mulai
(Lanjut ke Jilid 09)
Jodoh Si Mata Keranjang (Seri ke 11 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09
memainkan sandiwara yang sudah diaturkan semalam dengan Ki Liong. Ki Liong dan Mayang terkejut dan mereka menengok. Mayang merasa heran sekali melihat seorang wanita yang cantik manis, dengan pakaian yang mewah, pesolek, berdiri tak jauh di dalam kedai itu dan memandang kepada Ki Liong dengan senyum ramah. Ki Liong bangkit berdiri dan dia pun mulai bersandiwara. Dia memandang dengan ragu, lalu mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat dan berkata,

   "Maafkan aku, nona. Akan tetapi, siapakah nona?"

   Mayang masih duduk, dan ia mengamati wanita itu dengan penuh selidik. Melihat wanita cantik yang sinar mata dan senyumnya genit memikat itu, hatinya menaruh curiga dan ia merasa tidak enak hati. Akan tetapi, wanita itu tersenyum ramah dan menekat. Semerbak harum menyengat hidung Mayang ketika wanita itu mendekat, dan ia semakin tidak senang. Ia memang tidak suka melihat wanita memakai minyak wangi sedemikian banyaknya sampai semerbak baunya.

   "Ki Liong, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Ketika aku berusia sepuluh tahun, bukankah aku yang menjadi sahabatmu bermain-main di dusun, dan ketika engkau menjadi ketua Kim-lian-pang, kita juga pernah bertemu."

   Sepasang mata Ki Liong bersinar, wajahnya perlahan-lahan berseri.

   "Ah, engkau kiranya Bi Hwa! Ya, aku ingat, engkau tentu Bi Hwa!"

   Bi Hwa tersenyum ramah.

   "Bagus, akhirnya engkau ingat juga kepada sahabat lamamu! Engkau tampak agak kurus, Ki Liong dan ini... Eh, adik manis ini siapakah?"

   "O ya, kuperkenalkan. Mayang, ini adalah Su Bi Hwa, seorang sahabat baikku sejak kami masih kanak-kanak. Sekarang ia telah menjadi wanita yang lihai sekali. Dan Bi Hwa sahabatku, perkenalkan, ini adalah Mayang, tunanganku."

   "Tunangan? Ah, kionghi (selamat) kalau begitu! Kiranya engkau sudah bertunangan dan tentu tak lama lagi akan menikah."

   Dengan ramah Bi Hwa memberi hormat dan dibalas oleh Mayang. Bi Hwa dipersilakan duduk di meja mereka dan Ki Liong memesan bubur untuk tamu ini.

   "Bagaimana engkau dapat berada di Wang-sian ini? Dimana engkau bermalam, Bi Hwa?"

   "Di losmen Goat-likoan,"

   Jawab Bi Hwa.

   "Ah, kami juga bermalam disana!"

   Kata Mayang. Bi Hwa memandang heran.

   "Benarkah? Aih, kita selosmen akan tetapi tidak saling berjumpa!"

   Mereka selesai makan dan melanjutkan percakapan di ruangan tamu losmen di mana mereka bermalam. Dan Mayang segera dapat akrab dengan Bi Hwa. Ia mendapat kenyataan bahwa Bi Hwa seorang wanita yang ramah sekali, pula luas pengetahuannya, dapat menceritakan hal-hal yang amat menarik. Juga lenyaplah semua kecurigaannya karena sikap Ki Liong dan Bi Hwa sungguh akrab seperti dua orang sahabat lama. Apalagi ia mendengar Bi Hwa mengaku bahwa ia seorang janda, bahwa suaminya sudah meninggal dunia di tangan orang-orang jahat dan ia sudah membalaskan kematian suaminya.

   "Sejak itu, aku mengambil keputusan untuk tidak menikah lagi, Adik Mayang. Aku pujikan saja engkau dan Ki Liong akan menjadi suami isteri yang baik. Eh, ngomong-ngomong, kapan menikahnya? Jangan lupa mengundang aku."

   Wajah Mayang berubah kemerahan ketika Ki Liong menjawab terus terang.

   "Kalau aku sih ingin segera menikah, akan tetapi Mayang hendak minta restu ibunya dan gurunya lebih dulu. Akan tetapi ia memang benar, apalagi aku belum mempunyai pekerjaan yang tetap untuk membiayai kehidupan berumah tangga."

   "Bagaimana mungkin aku dapat menikah di luar persetujuan ibu dan suboku?"

   Kata Mayang membela diri karena ia maklum bahwa kekasihnya masih marah oleh penolakannya tinggal sekamar. Bi Hwa tersenyum.

   "Kalian berdua memang benar. Akan tetapi menurut pendapatku, alasan Ki Liong paling kuat. Orang berumah tangga membutuhkan biaya, dan kehidupan setiap hari pun tidak ringan. Seorang suami memang harus memiliki penghasilan yang tetap dan mantap. Ki Liong, kenapa engkau tidak mencari pekerjaan di kota raja? Dengan kepandaianmu, tentu tidak sukar bagimu untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi."

   "Bi Hwa, kau kira mudah begitu saja mendapatkan kedudukan di kota raja? Disana gudangnya orang pandai. Lebih banyak orangnya daripada jabatan yang diperebutkan. Tanpa adanya perantara yang berkuasa, mana mungkin mendapatkan pekerjaan yang baik?"

   "Jangan khawatir, Ki Liong. Aku mempunyai seorang kenalan baik, seorang pejabat tinggi di kota raja, sahabat mendiang sauamiku dahulu. Kalau engkau memang membutuhkan pekerjaan, mari bersama dengan aku ke sana. Aku pun sedang pergi ke sana, juga untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku."

   "Bagus sekali! Ah, bagaimana, Mayang? Ini kesempatan baik sekali! Mari kita ikut Bi Hwa ke kota raja mencari kedudukan yang baik."

   "Tapi, bagaimana perjalanan kita menjadi tertunda-tunda?"

   Mayang membantah.

   "Pertama, kita akan pergi kebarat, ke rumah ibuku. Lalu engkau mengubahnya, engkau ingin lebih dulu bertemu enci Kui Hong di Cin-ling-pai, kemudian sekarang kembali kita mengubah perjalanan, ke kota raja!"

   Mendengar ini, Bi Hwa mendekati Mayang dan menaruh tangannya di pundak gadis Tibet itu.

   "Adik Mayang, kalau kita menghadapi beberapa pilihan, kita sebaiknya memilih yang paling penting lebih dahulu. Urusan menemui ketua Cin-ling-pai dan menemui ibu dan gurumu, biarpun penting, namun dapat ditunda karena mereka itu mempunyai tempat yang tetap dan tidak akan kemana-mana. Datang hari ini atau lain bulan pun sama saja. Akan tetapi, urusan pekerjaan lain lagi. Sekarang ada kesempatan yang amat baik. Aku akan menjadi perantara, ada kenalanku disana. Kalau ditunda lain kali, tanpa perantara, akan amat sukar mendapatkan kedudukan yang baik."

   "Benar sekali, Mayang. Pula bagaimana mungkin aku berani menghadap ibumu dan mengajukan lamaran atas diriku kalau belum mempunyai pekerjaan apapun? Kalau ibumu atau subomu bertanya tentang pekerjaanku, bagaimana aku harus menjawab mereka?"

   Ki Liong membujuk pula. Dibujuk oleh dua orang itu yang sebelumnya memang sudah mengatur siasat, akhirnya Mayang terpaksa mengalah. Alasan kedua orang itu terlalu kuat. Pula, perlu apa tergesa-gesa mendapatkan persetujuan menikah. Yang penting, Ki Liong sudah mengubah wataknya dan menjadi orang baik-baik, dan mereka berdua saling mencinta. Iapun ingin merantau ke kota raja sebelum memasuki hidup berumah tangga yang akan mengikat ia di rumah sebagai ibu rumah tangga.

   Kaisar Cia Ceng (1520-1566) dari Kerajaan Beng-tiauw adalah seorang kaisar yang sebetulnya tidak dapat dibilang bijaksana. Dia bahkan lemah dan tentu akan menjadi permainan para penjilat yang menjadi pembesar di sekelilingnya kalau saja di dalam pemerintahannya tidak ada dua orang menteri yang pandai dan bijaksana. Yang pertama adalah Menteri Yang Ting Hoo yang ahli siasat dan mengatur pemerintahan, sabar dan bijaksana. Usia menteri ini lima puluh tiga tahun dan dia adalah merupakan orang kedua setelah menteri Cang Ku Ceng yang usianya lima puluh enam tahun. Menteri Cang Ku Ceng merupakan menteri yang disegani kaisar dan untung bagi negara bahwa kaisar masih suka mendengar nasihat kedua orang menteri itu, terutama Menteri Cang Ku Ceng. Menteri Cang Ku Ceng yang usianya lima puluh enam tahun itu masih nampak kokoh kuat. Tinggi besar dan brewok, dengan tubuh tegap, namun sikapnya halus dan dia cerdik bukan main.

   Kemajuan yang dicapai Kaisar Cia Ceng sebagian besar karena jasa Menteri Cang Ku Ceng. Namun, Menteri Cang tidak pernah mau menonjolkan dirinya. Dia menganggap bahwa semua hasi jerih payahnya itu merupakan tugas, merupakan kewajiban seorang pejabat pemerintahan. Dia menghembakan diri demi rakyat, demi negara, demi kaisar. Kalau ada penyelewengan di lingkungan istana, dia tidak segan-segan untuk menegur dan memperingatkan kaisar. Hal ini pun dia anggap sebagai tugas seorang pejabat. Bukan hanya menyenangkan hati kaisar saja tugas seorang pejabat, melainkan juga menjaga agar kaisar dan seluruh pembantunya melaksanakan tugas dengan baik dan adil. Cang Taijin (Pembesar Cang) atau Menteri Cang ini hanya mempunyai seorang putera yang bernama Cang Sun. Dari beberapa orang selirnya, dia hanya mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Cang Hui.

   Cang Sun berusia tiga puluh tahun, tampan dan lembut, seorang sastrawan yang pandai. Sedangkan adik tirinya, Cang Hui, berusia delapan belas tahun, cantik manis dan lincah jenaka. Pada waktu itu, biarpun usianya sudah tiga puluh tahun, Cang Sun belum menikah. Menteri Cang dan isterinya sudah seringkali membujuk, namun Cang Sun selalu menolak. Pernah Cang Sun jatuh cinta kepada pendekar wanita Cia Kui Hong yang membantu Menteri Cang mengamankan negara, akan tetapi pendekar wanita yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu tidak membalas cinta kasih pemuda bangsawan itu karena ia sendiri sudah jatuh cinta kepada pendekar petualang Tang Hay yang dijuluki Pendekar Mata Keranjang. Dan sejak kegagalan cinta itu, Cang Sun tidak pernah setuju untuk dinikahkan dengan gadis mana pun pilihan orang tuanya. Padahal, banyak dara yang pandai dan cantik, lebih cantik dari Cia Kui Hong, yang dicalonkan menjadi isterinya, namun Cang Sun selalu menolak.

   Hal ini membuat Menteri Cang dan isterinya kadang termenung dan berduka. Pembesar ini terlalu bijaksana untuk memaksa puteranya. Dia tahu bahwa untuk satu hal ini, yaitu pernikahan, amat tidak baik kalau digunakan paksaan. Dia hendak memberi kebebasan memilih kepada puteranya. Akan tetapi, usia puteranya sudah tiga puluh tahun dan nampaknya Cang Sun belum juga berminat untuk memilih seorang wanita sebagai jodohnya! Dan menurut penyelidikannya melalui para petugas, di dalam pergaulannya, Cang Sun tidak pernah mendekati wanita, tidak pernah mengunjungi rumah pelesir. Cang Taijin dan isterinya lalu berusaha untuk mendekatkan putera mereka itu kepada seorang gadis yang baik. Mereka tentu saja merasa cemas. Cang Sun merupakan putera tunggal, penyambung keturunan keluarga Cang!

   Akhirnya mereka menemukan pilihan mereka. Dara itu berusia delapan belas tahun dan bukan orang luar. Namanya Tan Cin Nio, seorang gadis yang cantik jelita, manis, pendiam, pandai dan cerdas. Juga ia masih saudara misan puteri mereka, jadi masih keponakan dari ibu Cang Hui yang menjadi selir Menteri Cang. Ayah dan gadis itu tentu saja merasa bangga bahwa puteri mereka dipilih oleh Menteri Cang untuk dijodohkan, atau setidaknya, dicalonkan sebagai jodoh Cang Sun. Maka, mereka menyetujui sepenuhnya ketika Menteri Cang dan selirnya minta agar Tan Cin Nio tinggal di rumah bangsawan itu. Akan tetapi, biarpun Cin Nio dan Cang Hui segera akrab sekali karena mereka memang saudara misan, Cang Sun tidak kelihatan tertarik. Biarpun demikian, Menteri Cang tidak putus asa dan selirnya selalu berusaha mendekatkan dua orang muda ini. Bagi Cin Nio sendiri, tentu saja dalam sudut hatinya,

   Ia merasa setuju karena sejak kecil ia memang sudah kagum terhadap Cang Sun yang terkenal ganteng dan terpelajar, putera bangsawan yang berkedudukan tinggi dan kaya raya! Namun, ia seorang gadis pendiam dan biarpun seringkali misannya, Cang Hui menggodanya, ia tidak pernah memperlihatkan rasa kagum dan harapannya terhadap pemuda bangsawan itu. Cang Hui amat mengagumi Cia Kui Hong, pendekar wanita yang pernah membantu ayahnya membasmi para pemberontak, dan tadinya ia sudah merasa gembira mendengar bahwa ayahnya ingin mengambil pendekar wanita itu sebagai menantunya. Akan tetapi, ia merasa kecewa sekali ketika Kui Hong menolak dan meninggalkan kota raja. Ia merasa penasaran dan timbul keinginannya untuk belajar ilmu silat! Ketika ia mengajukan permohonan kepada ayahnya, Menteri Cang yang bijaksana tertawa dan tidak keberatan.

   Ilmu silat memang penting, pikirnya, biar untuk anak perempuan sekali pun. Pertama, ilmu itu menyehatkan badan, ke dua, ilmu dapat dipergunakan untuk membela diri dari ancaman perbuatan jahat dan mendatangkan jiwa pendekar yang gagah dan membela kebenaran. Dia bukan saja menyetujui, bahkan dia lalu memilih seorang diantara para panglimanya yang ahli silat, yaitu Panglima Coa yang usianya sudah enam puluh tahun, untuk menjadi guru silat bagi puterinya. Kegembiraan Cang Hui bertambah ketika adik misannya, Tan Cin Nio, yang kini tinggal dirumah keluarganya, ternyata pernah belajar ilmu silat pula. Dengan demikian, ia mempunyai teman untuk berlatih silat. Hanya Cang Sun yang tidak suka belajar ilmu silat. Dia bahkan mengejek adiknya yang suka belajar ilmu silat.

   "Engkau ini anak perempuan untuk apa belajar ilmu silat dan bermain-main dengan pedang? Apakah engkau ingin menjadi perajurit, atau pembunuh?"

   "Sun-koko (kakak Sun) jangan begitu! Aku belajar ilmu silat agar aku dapat menjaga diri. Kalau aku lemah, bagaimana aku dapat membela diri apabila diganggu orang jahat."

   "Hemm, siapa akan berani mengganggu, Adikku? Ayah kita adalah seorang menteri, dan banyak perajurit yang siap untuk membela kita apa bila ada marabahaya datang. Juga disampingmu ada ayah, ada aku, ada para pengawal. Kelak kalau engkau sudah menikah, ada pengganti kami untuk menjagamu, yaitu suamimu."

   Wajah dara itu berubah merah.

   "Ihh, Sun-koko, apa-apaan engkau bicara tentang suami? Aku hanya ingin menjadi seorang wanita yang perkasa, seperti enci Kui Hong itu!"

   Disebutnya nama pendekar wanita ini membuat Cang Sun mengerutkan alisnya dan dia pun tidak mau menggoda adiknya lagi, apalagi pada saat itu muncul Cin Nio yang mencari saudara misannya. Cang Sun segera pergi meninggalkan dia orang gadis itu. Cang Sun meninggalkan taman dimana dia bertemu dengan adiknya tadi dengan wajah muram. Ucapan adiknya mengingatkan dia akan seorang gadis pendekar yang sesungguhnya merupakan wanita pertama yang pernah menjatuhkan hatinya,

   Cia Kui Hong! Gadis yang selain cantik jelita dan memiliki daya tarik yang kuat sekali, juga seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Dan dia pernah tergila-gila kepada Kui Hong. Tadinya dia sudah merasa yakin bahwa gadis itu tentu akan menjadi isterinya. Betapa senangnya mempunyai seorang isteri yang selihai itu, keamanan keluarganya akan terjamin keselamatannya! Dia merasa yakin karena dia tahu bahwa dirinya dirindukan hampir semua gadis di kota raja. Tentu Kui Hong juga akan menerima pinangannya. Dia putera Menteri Cang yang terkenal. Akan tetapi, ternyata ketika dia menyatakan cintanya, gadis pendekar itu dengan terang-terangan menolak cintanya, bahkan mengatakan bahwa gadis itu telah mempunyai seorang pilihan hatinya sendiri!

   Cang Sun merasa terpukul dan sampai kini dia tidak pernah mau menerima bujukan orang tuanya untuk memilih seorang gadis sebagai isterinya. Dianggapnya bahwa tidak ada gadis lain yang dapat menggantikan Kui Hong dalam hatinya, tidak ada gadis sehebat Kui Hong! Ketika adiknya menyebut nama Kui Hong, dia merasa tertusuk hatinya, dan kenangan akan gadis pendekar itu membuat Cang Sun murung. Dia lalu keluar dari taman, terus menuju ke halaman depan dan keluar dari halaman ke jalan raya. Dia menyambut pemberian hormat para petugas jaga di depan dengan sikap acuh, lalu melangkah keluar tanpa tujuan. Kakinya membawanya berjalan ke luar kota, dan dia tidak memperdulikan orang-oranga yang bersimpang jalan memberi hormat kepadanya. Tidak perduli pula akan kerling dan pandang mata banyak mata wanita ditujukan kepadanya.

   Pada waktu itu, Menteri Cang Ku Ceng bertugas di Nan-king, yaitu ibu kota ke dua setelah Peking. Adapun Menteri Yang Ting Hoo yang bertugas di Peking. Kaisar Cia Ceng mengerti bahwa dia hanya dapat percaya dan mengandalkan kebijaksanaan dua orang menteri setia inilah. Maka dia sengaja membagi tugas kepada mereka. Yang Ting Hoo yang lebih ahli dalam urusan ketentaraan bertugas di Peking, sedangkan Cang Ku Ceng yang ahli dalam urusan dalam negeri, juga pandai mengamankan para pejabat daerah yang suka memberontak, ditugaskan di Nan-king. Karena tugas ini, Menteri Cang sekeluarga pindah ke Nan-king dimana dia memang mempunyai sebuah gedung yang disediakan pemerintah untuknya. Di luar kota Nan-king disebelah selatan terdapat sebuah danau kecil, dan tempat ini merupakan tempat di mana Cang Sun seringkali menghibur diri.

   Pemuda ini suka menyendiri, mendayung sebuah perahu kecil, membawa makanan dan arak, juga alat tulis untuk membuat sajak atau memainkan sebuah yang-kim (semacam gitar) sambil melamun di bagian danau yang sunyi. Apalagi saat itu hatinya sedang gundah, teringat akan Kui Hong, maka begitu dia mendayung perahunya menuju ke bagian yang sunyi di danau itu, jauh dari perahu lain, dia membiarkan perahunya terapung-apung dan dia sendiri duduk melamun. Dia tidak menulis sajak, tidak pula memukul yang-kim, melainkan hanya melamun dan membayangkan semua kenangan indah bersama Kui Hong ketika gadis pendekar itu tinggal di rumah orang tuanya di Peking, ketika Kui Hong membantu ayanya melakukan penyelidikan tentang kerusuhan yang terjadi di istana kaisar (baca Kisah Si Kumbang Merah).

   Cang Sun sama sekali tidak tahu bahwa sejak dia keluar dari pekarangan rumah keluarganya, ada dua pasang mata mengikutinya sampai ke danau itu. Bahkan ketika dia mendayung perahu kecilnya, sebuah perahu kecil lain tak lama kemudian mengikuti dari jauh. Setiap gerak-gerik yang dilakukan Cang Sun diamati pendayung perahu lain itu, yang kini hanya seorang saja, sedangkan pemilik mata yang lain masih mengamatinya dari jauh, dari tepi danau. Dia baru tahu setelah perahu kecil bercat hitam itu meluncur mendekati perahunya. Dia menengok dan melihat ada seorang laki-laki yang mengenakan caping lebar di atas perahu itu. Sama sekali dia tidak dapat melihat wajah orang itu yang tertutup caping sama sekali. Setelah perahu itu menabrak perahunya sendiri, dia terkejut dan menegur marah.

   "Heiiii...! Apa engkau tidak melihat ada perahu di depanmu? Kenapa engkau menabrak saja?"

   Cang Sun menggunakan dayungnya untuk mengembalikan keseimbangan perahunya yang terguncang oleh tabrakan itu. Orang bercaping itu mengangkat mukanya dan nampaklah kini wajah dibawah caping lebar. Cang Sun terbelalak karena wajah itu tertutup kedok saputangan hitam! Yang nampak hanya sepasang mata yang mencorong!

   "Heiii! Siapa engkau dan mau apa...!"

   Belum habis ucapannya, orang berkedok itu telah meloncat dari perahunya ke atas perahu Cang Sun dan sebelum Cang Sun sempat berteriak, tangan orang itu bergerak dan Cang Sun tak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi! Dia telah tertotok dan sekali lagi tangan orang itu menyentuh leher Cang Sun, membuat pemuda bangsawan itu bukan saja tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara! Dia hanya dapat memandang kepada orang berkedok itu dengan sinar mata terkejut, heran dan juga ketakutan. Orang berkedok itu bicara dengan suara yang parau dan dalam sehingga aneh menyeramkan.

   "Engkau kusandera. Hanya kalau ayahmu telah menyerahkan uang seribu tail kepadaku, engkau kubebaskan. Kalau dalam waktu sehari semalam uang itu tidak diserahkan kepadaku, aku akan menyiksamu sampai mati."

   

Pendekar Mata Keranjang Eps 30 Pendekar Mata Keranjang Eps 29 Pendekar Mata Keranjang Eps 30

Cari Blog Ini