Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 30


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



"Ayaaaahhh...!"

   Dan menangislah gadis ini sesenggukan di dada ayahnya dengan pencurahan seluruh rasa rindunya. Cia Hui Song juga merangkul dan menciumi puterinya itu dengan air mata bercucuran! Selama hidupnya, baru kali ini ia menangis demikian sedihnya. Cia Kong Liang merasa terharu juga, akan tetapi girang melihat betapa kekerasan hati cucunya sudah dapat mencair. Dia membiarkan ayah dan anak itu bertangisan sejenak, kemudian dia pun berbatuk-batuk dan berkata.

   "Ayahmu benar, cucuku Kui Hong. Dia hanya ingin menyenangkan hati Ayahnya. Akulah yang bersalah, kalau saja keinginan seorang kakek tua memperoleh cucu laki-laki penyambung nama keturunan dapat disalahkan. Kalau saja Ibumu tidak terlalu menurutkan kekerasan hatinya, kalau saja ia dapat menerima kenyataan hidup ini, tentu ia tidak akan pergi dan tidak terjadi keretakan dalam keluarga kita. Ah, betapa dalam usia tuaku ini aku selalu menyesali sebab daripada perbuatan-perbuatanku sendiri."

   Kui Hong melepaskan rangkulannya pada ayahnya, lalu ia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakeknya. Ia teringat betapa orang tua ini sejak ia masih kecil, amat menyayangnya dan setelah kini ia sadar akan segala hal yang terjadi, ia pun dapat melihat betapa ibunya juga terlalu keras hati. Ia pun merasa menyesal atas sikapnya terhadap kakeknya tadi.

   "Kong-kong, maafkanlah aku, Kong-kong. Aku telah bersikap kurang ajar terhadap Kong-kong."

   "Sudahlah, Cucuku yang manis. Bangkitlah, bukan kesalahanmu, melainkan Kakekmu ini yang bersalah, terlalu menuruti keinginannya sendiri."

   Pada saat itu terdengar suara halus,

   "Bagus sekali, baru sekarang kakek tua Cia Kong Liang dapat melihat kesalahannya yang telah mendatangkan korban pada banyak orang!"

   Semua orang terkejut dan memandang gadis yang tiba-tiba saja muncul dari ambang pintu itu. Hui Song segera mengenal gadis itu, gadis yang pagi tadi datang minta bertemu dengan ayahnya! Gadis itu memang Kok Hui Lian! Sudah sejak tadi ia mengintai ke dalam ruangan itu. Dengan ilmu ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat, gadis ini berhasil meloncati pagar tembok tanpa diketahui oleh para anak murid Cin-ling-pai yang berjaga.

   Para murid itu memang agak lengah karena kedatangan Kui Hong yang membuat mereka merasa gembira dan mereka beramai-ramai membicarakan kemunculan Kui Hong yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita. Setelah berhasil memasuki gedung itu, Hui Lian menyelinap dan mencari kamar Cia Kong Liang, akan tetapi ia mendengar ribut-ribut di dalam ruangan itu maka ia oun mengintai dan melihat segala yang terjadi di situ. Melihat betapa cucu sendiri mencela ayah dan kakeknya, diam-diam ia merasa gembira dan menonton saja. Andaikata tadi Kui Hong kalah oleh Ling Ling, tentu ia akan turun tangan membantu Kui Hong yang memusuhi ayah dan kakek sendiri. Akan tetapi Kui Hong menang dan ia pun hanya mengintai saja. Tak disangkanya bahwa kemudian Kui Hong luluh oleh sikap ayahnya dan melihat ini, Hui Lian merasa tiba saatnya untuk keluar.

   "Nona datang lagi, secara menggelap, apa kehendakmu, Nona?"

   Tanga Cia Hui Song, siap untuk bertindak. Hui Lian tersenyum mengejek kepada Cia Kong Liang, akan tetapi ia menjura kepada Hui Song sambil berkata,

   "Harap Cia Pangcu (Ketua Cia) tidak mencampuri urusanku ini, karena aku hanya berurusan dengan Kakek Cia Kong Liang seorang."

   "Tapi dia adalah Ayahku!"

   Bantah Hui Song.

   "Hui Song, biarkan Nona ini bicara denganku dan jangan mencampuri,"

   Kata Cia Kong Liang dan dia sudah bangkit berdiri lalu melangkah maju menghadapi wanita muda yang baru datang ini. Biarpun usianya sudah enampuluh delapan tahun, namun ketika dia berdiri di depan Hui Lian, tubuhnya masih tegap dan tegak, nampak gagah berwibawa. Namun, sepasang matanya tidaklah angkuh dan keras lagi seperti dahulu, kini matanya bersinar lembut dan mulutnya yang dulu membayangkan kekerasan hatinya. Kini membayangkan kesabaran.

   "Nona, akulah Cia Kong Liang. Siapakah Nona dan urusan apakah Nona berkeras hendak bertemu denganku?"

   Sejenak Hui Lian mengamati kakek itu. melihat sikap dan ketegakan tubuhnya, masih ada bayangan ketinggian hati kakek itu, pikirnya, akan tetapi sinar matanya lembut dan suaranya halus ramah. Apalagi kalau diingat bahwa kakek ini adalah ayah dari pendekar Cia Hui Song yang kini telah menjadi ketua Cin-ling-pai, timbul keraguan dalam hatinya untuk menganggap bahwa kakek ini seorang kejam yang telah menyebabkan buntungnya sebelah lengan dari suhengnya, Ciang Su Kiat. Teringat suhengnya yang buntung, kembali perasaan marah dan penasaran memenuhi hati Hui Lian dan sinar matanya kembali mencorong ketika ia memandang wajah kakek itu.

   "Hemm, kiranya engkau Kakek Cia Kong Liang yang berhati kejam itu! Aku adalah adik seperguruan dari Suheng Ciang Su Kiat dan aku datang untuk menegur kelakuanmu yang jahat dan kejam terhadap suheng sehingga dia terpaksa hidup sebagai seorang manusia cacat, kehilangan sebelah lengannya! Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang ketua perkumpulan besar Cin-ling-pai, yang mengaku gagah dan pendekar perkasa, dapat bertindak sekejam itu, tanpa perkemanusiaan, membikin buntung lengan muridnya sendiri! Aku datang bukan hanya untuk menegur, akan tetapi juga mewakili Suheng Ciang Su Kiat minta pertanggung jawab atas perbuatan kejam itu!"

   Semua orang terkejut mendengar ini dan memandang kepada Kakek Cia Kong Liang. Kakek ini tidak kelihatan heran, hanya menarik napas panjang karena ia merasa sedih diingatkan tentang peristiwa yang terjadi selama kurang lebih dua puluh tahun itu. Selama ini, setelah wataknya berubah, tak pernah dia berhenti menyesali perbuatannya yang didasari kekerasan hatinya, terutama buntungnya lengan Ciang Su Kiat. Setelah dia sadar, barulah dia dapat membayangkan betapa kerasnya sikapnya pada waktu itu. Ciang Su Kiat adalah seorang murid Cin-ling-pai yang baik dan berbakat.

   Pada suatu hari, ayah dari Ciang Su Kiat mencuri perhiasan untuk dijual dan untuk mengobati isteri dan anak bungsunya yang sakit keras. Dia ditangkap dan disiksa oleh seorang pembesar, Coan Tihu, sehingga orang tua itu menemui ajalnya. Ciang Su Kiat mengamuk dan menyerbu gedung tihu untuk membunuh Coan Tihu, akan tetapi usahanya tidak berhasil dan dia dikeroyok para pengawal, melarikan diri dan menjadi buronan. Karena dia dikenal sebagai murid Cin-ling-pai maka tentu saja Coan Tihu lalu menegur pimpinan Cin-ling-pai dan menuntut diserahkannya Ciang Su Kiat. Ketika itu, sebagai Ketua Cin-ling-pai Cia Kong Liang bersikap keras dan tegas hendak menangkap dan menyerahkan Ciang Su Kiat kepada pembesar itu, tanpa mempedulikan alasan mengapa murid itu mengamuk.

   Su Kiat mencela peraturan Cin-ling-pai, dan di depan ketua yang juga menjadi gurunya itu, dia membuntungi lengan kirinya sendiri! Biarpun sudah demikian, tetap saja Cia Kong Liang hendak menyerahkannya kepada Coan Tihu! Karena putus asa, hampir saja Su Kiat membunuh diri. Akan tetapi pada saat itu, muncul Hui Song yang mencegah perbuatannya, bahkan Hui Song mengajak Su Kiat pergi ke gedung Coan Tihu, disana dia meninggalkan buntungan lengannya, kemudian Su Kiat disuruh melarikan diri oleh Hui Song. Teringat akan semua ini, penyesalan besar muncul di dalam
(Lanjut ke Jilid 28)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28
hati Kakek Cia Kong Liang. Setelah menarik napas panjang, Cia Kong Liang memandang wajah gadis itu dan terdengar dia berkata dengan suara halus.

   "Nona, tidak kusangkal bahwa kami pernah bersikap terlalu keras terhadap Ciang Su Kiat sehingga ia membuntungi lengannya sendiri. Percayalah bahwa selama ini aku telah merasa tersiksa oleh penyesalan. Akan tetapi, hal itu sudah terjadi dan disesalkan bagaimanapun juga, tidak ada artinya lagi. Kalau Nona merasa penasaran dan datang untuk memberi hukuman sebagai pembalasan atas kesengsaraan yang diderita oleh Ciang Su Kiat, nah, silakan!"

   "Nanti dulu!"

   Tiba-tiba terdengar Cia Kui Hong membentak marah dan ia pun sudah meloncat ke depan kakeknya, melindungi kakeknya dari Hui Lian dan ia memandang kepada Hui Liandengan alis berkerut dan mata berkliat.

   "Enak saja engkau datang menjual lagak dan hendak menghina Kakekku! Engkau tadi bilang bahwa engkau datang untuk membela Suhengmu, nah, sekarang aku berada disini untuk membela Kong-kongku! Engkau yang datang tanpa diundang, seperti maling mencari keributan, sambutlah seranganku ini!"

   Kui Hong sudah mencabut pedangnya dan sudah menyerang dengan dahsyatnya! Hui Lian terkejut melihat serangan ini dan ia pun cepat kebelakang sambil mencabut pedang dari punggungnya. Sinar berkilat ketika pedang Kiok-hwa-kiam tercabut dan tertimpa sinar lampu dan lentera yang tergantung di ruangan itu.

   Kui Hong sudah menerjang lagi dan menyerang dengan pedangnya, gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang cukup kuat. Hui Lian maklim akan kelihaian lawan maka ia pun menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring ketika sepasang pedang bertemu dan nampak api berpijar. Dengan kaget sekali Kui Hong merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat dan kesemutan, maka tahulah ia bahwa lawan ini memang lihai bukan main. Cia Kong Liang dan Cia Hui Song terkejut melihat betapa Kui Hong menyerang gadis itu, akan tetapi diam-diam mereka pun ingin sekali melihat sampai dimana kelihaian gadis yang mengaku sumoi dari Ciang Su Kiat itu, maka mereka mendiamkannya saja. Dan mereka pun terkejut. Terjadilah perkelahian pedang yang amat hebat dan biarpun kini Kui Hong memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi,

   Namun gadis itu ternyata memiliki gerakan yang aneh dan hebat bukan main. Hui Song yang diam-diam memperhatikannya, merasa heran sekali karena dia yang sudah banyak pengalaman tetap tidak pernah melihat ilmu pedang seperti yang dimainkan oleh Hui Lian. Hal ini tidaklah aneh karena ilmu pedang itu adalah In-liong Kiam-sut, ilmu pedang peninggalan dari In Liong Nio Nio, seorang di antara Delapan Dewa! Yang membuat Kui Hong mulai terdesak dan kewalahan adalah kehebatan ginkang dari Hui Lian. Gadis ini dapat bergerak demikian ringan dan cepatnya, seperti seekor burung saja sehingga Kui Hong merasa kalah cepat padahal ia sudah menerima gemblengan dalam hal ilmu meringankan tubuh ini dari neneknya, yaitu Toan Kim Hong! Tiba-tiba terdengar seruan keras.

   "Enci Hong, aku membantumu!"

   Dan kini Ling Ling juga sudah meloncat ke dalam kalangan pertempuran, dengan pedang di tangan gadis ini pun membantu Kui Hong menghadapi Hui Lian. Makin hebatlah perkelahian itu dan diam-diam Hui Song dan ayahnya merasa kagum bukan main karena biarpun dikeroyok dua, ternyata gadis itu sama sekali tidak terdesak dan bahkan beberapa kali sinar pedangnya mengancam Ling Ling dan Kui Hong. Kakek Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Perkelahian itu demikian seru dan hebat. Tentu seorang di antara mereka akan terluka parah kalau dilanjutkan. Kalau sampai terjadi Ling Ling atau Kui Hong terluka, bahkan tewas, dia akan menyesal karena hal itu terjadi gara-gara dia! membayangkan hal ini Cia Kong Liang cepat meloncat ke depan sambil berseru nyaring.

   "Cukup, hentikan perkelahian itu! Kui Hong, Ling Ling, mundurlah kalian!"

   Dua orang gadis itu terpaksa berloncatan ke belakang dan kini Cia Kong Liang menghadapi Hui Lian yang masih memegang pedangnya. Diam-diam gadis ini merasa kagum. Dua orang gadis muda itu sungguh lihai dan biarpun ia mampu menandingi mereka, akan tetapi agaknya tidak terlalu mudah baginya untuk menundukkan mereka. Belum lagi maju pendekar Cia Hui Song! Kalau keluarga itu maju, ia dapat celaka!

   "Nona,"

   Kata kakek itu kepada Hui Lian.

   "Urusan antara aku dan Ciang Su Kiat yang sekarang kau wakili adalah urusan pribadi, aku tidak ingin keluargaku tersangkut. Karena itu, kalau engkau masih penasaran dan hendak menyelesaikan perkara ini dengan kekerasan, nah, akulah yang harus kau serang, bukan cucu-cucuku. Majulah dan lawanlah aku, Nona!"

   Nada suara Cia Kong Liang halus, namun menantang karena memang dia sengaja menantang agar gadis itu menyerang dia saja, walaupun dia maklum bahwa dia tidak akan menang dan tentu dia akan tewas di tangan gadis yang lihai ini. Dia rela menebus dengan nyawanya sebagai pembayar hutang. Hui Lian memang sudah marah sekali. Dendamnya karena penderitaan suhengnya amat besar. Ia ingin melakukan sesuatu untuk suhengnya itu, ia memegangi pedangnya lebih erat lagi.

   "Kakek Cia, keluarkan senjatamu!"

   Bentaknya. Cia Kong Liang tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Nona, sudah lama aku membersihkan batinku dari kekrasan, oleh karena itu, sudah pantang bagiku untuk membiarkan tangan ini memegang pendag. Kalau engkau hendak menyerangku, pergunakan pedangmu dan aku akan menghadapimu dengan tangan kosong saja."

   Hati yang sedang dikeruhkan amarah membuat orang tidak waspada dan selalu salah terima akan maksud orang lain. Demikian pula dengan Hui Lian. Mendengar ucapan itu, ia sudah paham, menganggap bahwa kakek itu memandang rendah kepadanya, menantangnya dengan tangan kosong! Maka mukanya menjadi semakin merah.

   "Bagus! Kakek sombong, jangan salahkan pedangku ini!"

   Dania pun menerjang dan menusukkan pedangnya. Bukan main kaget hati Hui Lian ketika melihat betapa orang yang ditusuknya itu sama sekali tidak mengelak, menerima saja tusukan pedangnyayang meluncur ke arah dada! Cepat ia hendak menarik tangannya, namun terlambat karena pedang itu sudah meluncur terlalu cepat. Pada saat itu nampak bayangan orang berkelebat, cepat sekali dan lengan kanan Hui Lian ditangkis orang sehingga tusukannya itu meleset dan tidak mengenai sasaran. Ketika Hui Lian meloncat ke belakang dan memandang, ia terkejut bukan main melihat suhengnya, Ciang Su Kiat, telah berdiri disitu dan kiranya suhengnya yang tadi menangkis dan menggagalkan serangannya.

   "Sumoi, sarungkan kembali pedangmu!"

   Kata Su Kiat dengan halus dan melihat sinar mata suhengnya yang mengandung penyesalan, Hui Lian cepat menyarungkan pedangnya kembali. Su Kiat lalu memegang tangan sumoinya dan ditariknya sumoinya itu diajaknya berlutut di depan kaki Cia Kong Liang!

   "Locianpwe, sayalah yang memohonkan maaf bagi kelancangan Sumoi Kok Hui Lian. Kalau Locianpwe hendak menghukumnya, hukumlah saya sebagai penggantinya.."

   Melihat bekas muridnya ini, hati kakek itu diliputi keharuan. Ternyata muridnya ini telah berubah sama sekali. Kini telah berusia lima puluh tahun lebih dan sikapnya demikian matang, demikian berwibawa namun suaranya halus dan tenang. Dia lalu membungkuk dan memegang kedua pundak Ciang Su Kiat sambil berkata.

   "Su Kiat, bangkitlah, dan engkau juga, Nona. Su Kiat, sudahlah, jangan membuat aku merasa semakin sedih dan menyesal. Sungguh, aku sudah merasa menyesal sekali karena sikap dan perbuatanku di masa lalu. Bahkan untuk menebus kesalahanku itu, aku tadi rela mati di ujung pedang Sumoimu yang lihai ini."

   "Locianpwe, sama sekali tidak ada penyesalan. Yang sudah terjadi adalah peristiwa yang lalu, dan sudah dihendaki Thian. Bahkan saya telah merasakan berkah dan hikmat peristiwa itu. Sumoi terburu nafsu dan karena itu saya mohon maaf dan kami mohon diri. Mari, Sumoi, kita pergi."

   Sambil memegang tangan sumoinya, Su Kiat mengajaknya pergi dan sekali meloncat tubuh mereka berkelebat dan lenyap di tengah kegelapan malam! Semua orang tertegun dan kagum bukan main.

   "Bukan main!"

   Kakek Cia Kong Liang memuji.

   "Su Kiat kini telah menjadi seorang yang luar biasa lihainya.."

   Hui Song lalu menepuk pahanya sendiri.

   "Aihhh. sekarang aku teringat! Gadis itu tentulah puteri Kok Taijin!"

   Kui Hong yang juga kagum terhadap wanita muda yang lihai bukan main itu segera bertanya.

   "Ayah, siapakah itu Kok Taijin?"

   "Dia adalah bekas gubernur San-hai-koan, seorang pembesar yang setia kepada pemerintah dan menjadi korban pemberontakan."

   Hui Song lalu menceritakan peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu.

   Ketika itu, terjadi pemberontakan dari persekutuan orang jahat dan San-hai-koan di serbu pemberontak. Rumah Gubernur Kok diserbu penjahat dan keluarga itu tewas semua, kecuali seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang berhasil di selamatkan Hui Song. Akan tetapi, ketika dia melarikan anak perempuan itu, ditengah perjalanan dia dihadang oleh tokoh-tokoh sesat yang membantu pemberontakan, karena dikeroyok tiga orang sakti, terpaksa Hui Song melepaskan anak perempuan itu. Pada saat anak perempuan itu terancam bahaya karena di tangkap seorang di antara para datuk sesat, muncullah Ciang Su Kiat yang menyelamatkan dan membawa lari anak perempuan puteri Gubernur Kok itu.

   "Nah, demikianlah. Tadi aku seperti merasa pernah mengenal gadis itu, akan tetapi lupa lagi. Kiranya ia anak perempuan dahulu itu sekarang telah menjadi Sumoi dari Suheng Ciang Su Kiat! Bukan main, memang mereka berdua telah memiliki kepandaian yang amat hebat!"

   Kakek Cia Kong Liang kembali ke dalam kamarnya untuk bersamadhi dengan prihatin. Peristiwa tadi menggugah semua kenangan dan mendatangkan penyesalan yang lebih menekan hatinya. Sementara itu, Hui Song mengajak puterinya dan Ling Ling untuk bercakap-cakap, terutama sekali Kui Hong diminta untuk menceritakan semua pengalamannya dan keadaan ibunya yang berada di Pulau Teratai Merah. Juga antara Kui Hong dan Ling Ling segera terjalin hubungan yang akrab dan cocok. Dalam percakapan ini, Hui Song menyatakan bahwa dia akan segera mengunjungi tempat mertuanya di Pulau Teratai Merah, dan minta maaf kepada kedua orang mertuanya, juga kepada isterinya, dengan harapan mudah-mudahan setelah lewat tiga tahun lebih, kini isterinya itu sudah dingin hatinya, mau memaafkannya dan mau kembali ke Cin-ling-san.

   Sementara itu, di malam yang hanya diterangi bintang-bintang di langit itu, Ciang Su Kiat berjalan bersama Kok Hui Lian, menuruni Pegunungan Cin-ling-san. Mereka tidak bicara sejak meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai, dan setelah tiba di kaki gunung, barulah Su Kiat mengajak sumoinya memasuki sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Malam tadi pun dia bermalam di kuil itu. Mereka membuat api unggun dan baru sekarang mereka berkesempatan untuk saling pandang dibawah sinar penerangan api unggun. Sejenak mereka saling pandang dan akhirnya Su Kiat menarik napas panjang. Hatinya yang penuh kerinduan terhadap sumoinya itu terobatilah setelah melihat sumoinya dalam keadaan sehat selamat.

   "Sumoi, aku girang melihat engkau dalam keadaan sehat dan selamat,"

   Katanya, sederhana.

   "Suheng, engkau pun kelihatan sehat. Sungguh tak kusangka akan dapat bertemu denganmu di tempat ini, Suheng."

   "Sumoi, kenapa engkau menyerbu Cin-ling-pai..?"

   Wanita itu menatap wajah suhengnya dengan pandang mata penuh selidik, akan tetapi tidak nampak kemarahan pada wajah suhengnya itu.

   "Suheng, harap maafkan aku."

   "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi, akan tetapi aku sungguh ingin sekali mengetahui mengapa engkau pergi ke Cin-ling-pai dan dengan nekat melakukan penyerangan terhadap bekas Guruku?"

   Sejenak mereka saling tatap di bawah sinar api unggun, kemudian Hui Lian menunduk.

   "Suheng, salahkah aku? sudah sejak dahulu, setiap kali aku memandang lengan kirimu, hatiku seperti ditusuk rasanya dan terdapat perasaan dendam yang makin menebal terhadap orang yang menyebabkan lenganmu buntung. Karena itu, sejak dahulu aku sudah mempunyai niat untuk pada suatu hari mencari ketua Cin-ling-pai dan membalaskan dendam atas penderitaanmu."

   Su Kiat tersenyum.

   "Sumoi, kita harus dapat menerima segala peristiwa dengan hati terbuka karena di dalam setiap peristiwa terdapat hikmatnya yang amat besar. Kalau saja tidak terjadi peristiwa di Cin-ling-pai itu, kalau saja lenganku tidak buntung, sekarang aku tentu masih menjadi seorang murid Cin-ling-pai. Aku tidak akan mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, dan yang lebih dari segalanya, aku tentu tidak akan bertemu dengan engkau, Sumoi."

   "Dan aku mungkin mati di tangan penjahat itu ketika pendekar Cia Hui Song dikeroyok,"

   Sambung Hui Lian.

   "Nah, karena itu, tidak ada gunanya kita mendendam, apalagi bekas Guruku nampaknya sudah demikian menyesal dan menderita batin. Akan tetapi, yang membuat aku penasaran, kenapa engkau.. engkau begini nekat dan bersusah payah, menempuh bahaya pula, hendak membelaku, Sumoi?"

   Kembali mereka saling pandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian Hui Lian menarik napas panjang.

   "Karena... aku merasa berhutang budi kepadamu, Suheng, aku.. aku tidak mampu membalasnya dan aku ingin melakukan sesuatu yang besar untuk sekedar membalas budimu yang bertumpuk."

   "Hemm, aku tidak merasa melepas budi, Sumoi. Aku.. sudah girang sekali melihat engkau selamat, aku.. aku selalu ingin melihat engkau dalam keadaan sehat dan berbahagia, Sumoi."

   Mereka diam, kehabisan bahan percakapan. Entah mengapa, sebelum bertemu, mereka saling merasa rindu sekali, akan tetapi begitu bertemu, mereka merasa canggung dan salah tingkah. Karena keduanya diam, suasana menjadi hening sekali dan keduanya merenung sambil memandangi api unggun yang menari-nari. Kemudian, Hui Lian melirik dan memperhatikan wajah suhengnya dari samping, dan nampak olehnya betapa kurusnya wajah itu, dengan garis-garis muka yang membayangkan penderitaan batin. Ia merasa kasihan sekali.

   "Suheng, engkau. engkau kenapakah?"

   Su Kiat menoleh dan mereka berpandangan.

   "Mengapa? Tidak apa-apa, Sumoi."

   "Tidak sakitkah, sehat sajakah engkau Suheng?"

   "Tidak, aku tidak sakit dan sehat-sehat saja."

   "Akan tetapi, engkau begini kurus, Suheng. Sungguh baru nampak sekarang olehku betapa kurusnya engkau, dan pandang matamu begitu sayu seperti orang bersedih."

   Su Kiat memandang wajah sumoinya dengan alis berkerut, terjadi perang di dalam batinnya antara mengaku atau tidak. Akhirnya dia menggigit bibirnya dan memberanikan hatinya karena dia tahu bahwa soalnya sekarang adalah sekarang mengaku atau selamanya tidak akan ada kesempatan lagi!

   "Sumoi, terus terang saja, memang ada kesedihan di dalam hatiku. Aku merasa kesepian sekali, Sumoi, sejak engkau pergi. bukan, bahkan sejak engkau menikah untuk pertama kalinya itu. Aku kesepian dan kehilangan, akan tetapi semua itu masih dapat kuhibur dengan membayangkan engkau hidup berbahagia bersama suamimu. Akan tetapi sungguh celaka, kenyataannya tidak demikian. Engkau menderita, engkau gagal, bahkan dua kali pernikahanmu berakhir dengan kegagalan. Melihat engkau tidak berbahagia, melihat engkau menderita, aku merasa betapa hancur hatiku, Sumoi. Aku berduka, aku bersedih, mungkin lebih sedih daripada perasaanmu sendiri. Aku ingin melihat engkau berbahagia selalu, Sumoi, aku.. aku.."

   Sejak tadi, Hui Lian memandang dengan mata terbelalak, kemudian perlahan-lahan ada air menetes turun, dibiarkanny saja, wajahnya menjadi pucat.

   "Tapi.. tapi kenapa, Suheng..? Kenapa engkau begitu memprihatinkan keadaanku..? Mengapa...?"

   Tanyanya, suaranya menggetar dalam bisikan bercampur isak tertahan.

   "Karena.. karena... demi Tuhan, biar aku berterus terang! Karena aku cinta padamu, Sumoi, sejak dahulu, sejak kita berada di dalam jurang.."

   "Suheng...!"

   Hui Lian menjerit dan menubruk kaki suhengnya menangis dengan mengguguk seperti anak kecil, merangkul kaki suhengnya. Su Kiat terkejut sekali. Dirangkulnya Hui Lian, ditariknya supaya jangan berlutut merangkul kakinya, dan gadis itu lalu menubruknya dan menangis di atas dadanya! Tidak ada kata-kata yang keluar, karena setiap kali membuka mulut, yang keluar hanyalah "Suheng."

   Dan isak tangis.

   "Sumoi. maafkan aku, ah, aku lancing mulut, tidak sepatutnya aku menyinggung perasaan hatimu, Sumoi."

   "Suheng, diam..!"

   Tiba-tiba wanita muda itu membentak sehingga mengejutkan suhengnya. Kini Hui Lian dapat menekan perasaannya dan ia pun kini mengangkat muka, memandang kepada suhengnya melalui genangan air mata.

   "Kenapa Suheng begitu rendah hati? Aih, Suheng.. Suheng.. kenapa tidak dari dulu engkau katakan itu? sudah sejak dahulu aku menanti-nanti keluarnya ucapan itu dari mulutmu!"

   "Sumoi..?"

   Su Kiat berseru, kaget dan heran.

   "Suheng, engkaulah satu-satunya orang yang kumiliki. Engkau menjadi pengganti orang tuaku, Guruku, saudaraku, sahabatku.. engkaulah segala-galanya bagiku. Tentu saja aku tidak berani mengharapkan yang lebih daripada semua budi yang telah kau limpahkan kepadaku. Kemudian engkau minta aku menikah. Aku mencoba untuk membantah, akan tetapi engkau mendesak sehingga aku tidak berani lagi menolak. Aku mengira engkau tidak cinta kepadaku, Suheng. Dan aku. ah, aku bodoh. baru-baru ini saja aku tahu benar bahwa di dunia ini tidak mungkin ada orang lain yang akan kucinta lebih daripada perasaan cintaku padamu.."

   "Sumoi..!"

   Mereka berangkulan dan kembali Hui Lian menangis di dada suhengnya.

   "Sumoi, mana aku berani? Aku jauh lebih tua darimu, dan aku seorang laki-laki yang cacat, buntung lenganku. Aku merasa rendah diri, dan baru sekarang. setelah engkau menjadi janda dua kali, setelah aku melihat pembelaanmu di Cin-ling-pai, aku memberanikan diri mengaku cintaku.."

   "Suheng. ah, peluklah aku, Suheng, peluklah aku yang kuat, dan jangan kau lepaskan aku lagi. tanpa engkau, aku tidak berani hidup di dunia yang kejam ini.."

   "Tidak, Sumoi, demi Tuhan, mulai sekarang aku tidak akan melepaskanmu lagi. Engkau milikku dan aku milikmu, aku akan mempertahankan engkau dengan taruhan nyawaku. Engkau calon isteriku."

   "Dan engkau suamiku. sampai aku mati, Suheng."

   Sungguh mesra dan mengharukan pertemuan antara dua hati yang sesungguhnya sudah saling cinta sejak dahulu. Kini segalanya terbuka bagi mereka, dan mereka merasa seolah-olah baru bangkit dari kematian untuk menyongsong sinar matahari pagi yang cerah dan penuh kebahagiaan.

   Mereka bercakap-cakap dengan mesra, seperti sepasang pengantin baru, membicarakan masa depan mereka dan rencana mereka. Mereka akan mencari pendeta dalam kuil yang mau menikahkan mereka, kemudian mereka akan hidup sebagai suami siteri dengan lembaran baru, di tempat yang jauh dari segala pertikaian dunia, membentuk rumah tangga, kalau mungkin melahirkan anak-anak. Alangkah indahnya semua itu! Pernikahan Hui Lian dengan suaminya yang pertama, yaitu Tee Sun, terjadi atas anjuran Ciang Su Kiat dan Hui Lian mau menjadi isteri Tee Sun hanya untuk mentaati permintaan suhengnya. Ternyata kemudian terdapat ketidakcocokan antara suami isteri ini, karena Tee Sun amat pencemburu dan memang tidak ada rasa cinta dalam hati Hui Lian terhadap suami pertama itu.

   Kemudian terjadi perceraian dan pernikahannya yang kedua, dengan Su Ta Touw, terjadi karena Hui Lian silau oleh bujuk rayu dari suami ke dua itu yang memang seorang perayu dan penakluk wanita. Pernikahan kedua hanya terdorong oleh nafsu ini tidak bertahan lama, karena setelah Su Ta Touw merasa bosan, nampaklah belangnya dan kembali terjadi perceraian. Kemudian Hui Lian merana dan barulah terasa benar olehnya betapa sesungguhnya dia memuja dan mencinta Su Kiat, suhengnya sendiri! Dan mereka berdua ini, yang sudah hidup bersama mengalami segala macam kesengsaraan berdua, mengalami suka duka berdua bahkan menghadapi maut yang mengerikan, memliki cinta yang didasari persamaan selera dan watak. Maka ketika dua hati itu bertemu, lengkaplah sudah pertemuan cinta antara mereka dan dengan penuh bahagia mereka menyongsong hari depan yang nampak cerah!

   Sudah terlalu lama kita meninggalkan Pek Han Siong, yang ketika kecilnya dianggap sebagai Sin Tong (Anak Ajaib) dan dijadikan perebutan karena oleh para Pendeta Lama di Tibet dia dicalonkan menjadi seorang Dalai Lama! Seperti kita ketahui, Pek Han Siong yang meninggalkan perguruan, berhasil bertemu dengan keluarga Pek di Kong-goan. Ketika dia mendengar bahwa adik kandungnya, Pek Eng, meninggalkan rumah karena hendak mencari dia, juga sebagai pernyataan tidak suka karena orang tuanya menerima pinangan keluarga Song dari Kang-jiu-pang. Setelah melakukan pengelidikan dan mencari-cari, akhirnya Han Siong berhasil menemukan jejak adiknya itu yang menuju ke selatan.

   Dia sudah minta keterangan yang selengkapnya tentang adiknya itu dari keluarganya, dan sudah mempunyai gambaran bahwa adiknya itu seorang gadis berusia kurang lebih tujuh belas tahun, bertubuh tinggi ramping dengan kaki panjang. Wajahnya hitam manis, matanya agak sipit dan hidungnya yang kecil mancung itu agak berjungkat ujungnya, bibirnya merah dan ada lesung pipit di sebelah kiri mulutnya. Adiknya itu lincah jenaka, manja, pandai bicara, hatinya lembut dan suka mengenakan pakaian suku bangsa Yi, yaitu pakaian adat dan memakai topi sorban yang di hias bulu burung. Dari cirri-ciri inilah dia mendapatkan jejak adiknya yang menuju ke selatan. Pada suatu hari tibalah dia di kota Kui-yang, di Propinsi Kui-couw. Dia mengharapkan untuk dapat memperoleh berita tentang adiknya di kota ini.

   Hari telah siang ketika dia memasuki kota itu dan karena sejak kemarin malam dia bekum makan apa-apa dan perutnya terasa lapar, dia lalu masuk ke sebuah rumah makan ketika kebetulan lewat di depannya. Tidak ada pelayan yang menyambutnya, akan tetapi Han Siong tidak peduli, dan dia pun masuk ke sebuah ruangan rumah makan yang sudah setengahnya diisi tamu. Tidak kurang dari tiga meja penuh tamu, setiap meja delapan orang dan sikap mereka itu kasar, dengan bercanda mereka makan minum, bicara keras dan tertawa bergelak. Han Siong memillih meja kosong di sudut dan setelah duduk, barulah seorang pelayan menghampirinya. Pelayan ini sudah tua, dengan tubuh kurus dan muka membayangkan ketakutan, kain lap di pundak, dia menghampiri Han Siong dan terbongkok-bongkok, berkata dengan suara setengah berbisik.

   "Kongcu, rumah makan kami sedang dipakai pesta, kalau Kongcu ingin makan, saya sarankan sebaiknya Kongcu pergi ke rumah makan lain di ujung jalan ini."

   Han Siong mengerutkan alisnya memandang pelayan itu. baginya tidak menjadi persoalan kalau restoran ini tidak menerima tamu, akan tetapi dia melihat betapa wajah itu membayangkan ketakutan dan mata pelayan itu melirik-lirik ke arah tiga buah meja penuh tamu itu. Dia dapat menduga bahwa tentu pelayan ini tidak berani menerima tamu baru karena takut kepadaorang-orang kasar yang sedang berpesta pora itu.

   "Akan tetapi, Paman, kalau engkau menerima mereka itu sebagai tamu, kenapa hendak menolak kehadiranku?"

   "Sama sekali tidak menolak, Kongcu, hanya saran. ah, sudahlah, Kongcu hendak memesan apakah?"

   "Nasi, tiga macam masak sayur, tidak pakai daging atau kalau pakai juga, sedikit saja. Aku lebih suka makan sayur daripada daging. Dan air teh."

   "Arak?"

   Tanya pelayan itu yang memandang heran. Han Siong menggeleng kepalanya. Dia lama hidup di dalam kuil dan karena itu, dia tidak doyan arak dan tidak begitu suka makan daging. Pelayan itu meninggalkan Han Siong sambil menggeleng kepala dan mengomel perlahan.

   
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sementara itu, munculnya Han Siong di situ menarik perhatian beberapa orang tamu yang berpesta pora. Mereka adalah jagoan-jagoan dan tukang-tukang pukul kota Kui-yang dan sekitarnya. Pada siang hari itu, seorang kepala jagoan she Ciok yang bertempat tinggal di Kui-yang, amat terkenal sebagai seorang jagoan yang lihai, sedang mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke empat puluh. Pesta diadakan di rumah makan itu dan dia mengundang teman-temannya, dari dalam dan luar kota sehingga dua puluh orang lebih tukang pukul dan jagoan berkumpul di situ dan berpesta pora. Melihat mereka itu, tak seorang pun berani memasuki rumah makan. Para tamu yang datang begitu melihat mereka, segera keluar lagi dan tidak berani makan di situ. Hal ini diketahui oleh mereka dan mereka pun menjadi bangga.

   Akan tetapi, kemudian muncul seorang pemuda sederhana yang berani masuk ke rumah makan itu bahkan tidak menghiraukan anjuran pelayan agar pergi makan ke lain restoran saja. Keberanian pemuda ini membuat beberapa orang tamu merasa tidak senang dan menganggap bahwa pemuda itu tidak memandang kepada mereka. Apalagi ketika mereka mendengar betapa pemuda itu hanya memesan nasi, sayur tanpa daging dan air teh, membuat mereka memandang rendah dan menganggap pemuda ini tentu seorang pendatang dari luar kota yang miskin dan tidak mengenal mereka. Di antara mereka yang merasa tidak senang dengan kehadiran Han Siong, terdapat dua orang kakak beradik yang bertubuh tinggi besar dan melihat otot-otot melingkar-lingkar pada lengan dan leher mereka,

   Dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang kuat. Mereka ini bernama Giam Hok dan Giam Kui, pembantu-pembantu yang dapat di andalkan dari kepala jagoan Ciok. Setelah kakak beradik ini saling berbisik sambil tersenyum-senyum, mereka lalu menghampiri meja Han Siong. Pelayan yang datang menghidangkan masakan dan air teh yang dipesan Han Siong, ketika melihat mereka datang, cepat-cepat pergi meninggalkan meja Han Siong dengan muka pucat. Tentu saja Han Siong tahu akan sikap dua orang yang kini melangkah menghampirinya dengan lagak sombong itu. Dia pun sudah siap siaga dan mengerahkan tenaga untuk membela diri, namun pada lahirnya, dia bersikap biasa saja, bahkan pura-pura tidak melihat mereka dan mulai makan nasi dengan sayurnya.

   Kini kakak beradik itu sudah tiba di meja Han Siong dan dengan sikap congkak sekali mereka mengangkat kaki kanan dan diletakkan kaki itu di atas kursi di dekat meja Han Siong. Mereka tertawa-tawa dan kini semua tamu yang sedang berpesta pora itu memandang sambil tertawa, mengharapkan pertunjukan yang lucu dan menggembirakan. Perlakuan kasar dan sewenang-wenang terhadap orang lain bai mereka merupakan makanan sehari-hari dan melihat orang lain menderita oleh perlakuan mereka merupakan suatu kegembiraan. Melihat ulah kedua orang pembantunya, kepala jagoan Ciok hanya tersenyum saja sambil minum arak lagi yang sudah terlalu banyak memasuki perutnya yang gendut.

   "Heii, lihat anak dusun ini! Makanannya seperti makanan kambing! Sayur-sayuran melulu!"

   Kata Giam Hok yang hidungnya pesek.

   "Ha-ha-ha, lihat minumnya juga air teh. Eh, kambing, engkau tentu suka sekali kalau disiram air dingin seperti kambing kehujanan, ha-ha!"

   Kata pula Giam Kui yang pergi ke sudut di mana terdapat seember besar terisi air. Air ini disediakan di situ untuk mencuci tangan para tamu dan kini Giam Kui mengangkat ember itu. Melihat ulah adiknya, Giam Hok yang tahu apa maksudnya, sambil tertawa-tawa lalu membantu adiknya mengangkat ember besar berisi air kotor itu. Han Siong masih makan, akan tetapi kini dia memandang kepada dua orang kakak beradik yang menggotong ember kayu berisi air itu,

   Sikapnya tetap tenang akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan amat berpengaruh dan kuat sekali. Giam Hok dan Giam Kui mengangkat ember besar itu sambil tertawa-tawa, melangkah maju dan kemudian dengan pengerahan tenaga, mereka menggerakkan ember itu dan semua isinya mengguyur ke arah meja kepala jagoan Ciok! Tentu saja, orang-orang yang tadinya menonton sambil tertawa-tawa, seketika menjadi geger dan menyumpah-nyumpah. Air kotor dari bak itu bukan hanya menyiram semua hidangan yang berada di atas meja pertama itu, akan tetapi juga mengguyur muka dan pakaian sebagian dari mereka! Semua orang berloncatan dibarengi makian-makian dan Ciok sendiri lalu meloncat bangkit dengan pakaian agak basah dan dia pun memaki.

   "Apakah kalian sudah menjadi gila?"

   Bentak Ciok dengan marah sekali. Juga para jagoan lain menjadi marah, akan tetapi juga terheran-heran bagaimana dua orang kakak beradik itu berani melakukan kekurangajaran seperti itu terhadap mereka. Dan dua orang itu pun kini terbelalak dengan muka pucat ketika melihat kenyataan yang tidak masuk akal itu. Ternyata mereka telah menyiram isi air bak itu ke meja pimpinan mereka, padahal tadi sudah jelas bahwa mereka mengguyurkan air itu kepada bocah dusun yang sedang makan minum seorang diri di meja sudut itu. Mereka kini memutar tubuh memandang kepada pemuda itu yang masih enak-enak makan, seolah-olah tidak pernah tahu akan terjadinya peristiwa di meja lain itu!

   "Tapi. tapi.. Ciok-toako, tadi kami mengguyur air itu ke meja bocah dusun itu!"

   Kata Giam Hok sambil menudingkan telunjuknya ke arah Han Siong. Juga Giam Kui merasa heran dan juga ngeri membayangkan akibat perbuatan dia dan kakaknya. Dengan geram dia lalu melangkah menghampiri Han Siong dan melihat ini, Giam Hok juga cepat melangkah lebar menghampiri Han Siong.

   "Bocah dusun ini yang membikin gara-gara, kita harus menghajarnya sampai mampus!"

   Kata Giam Kui.

   "Benar, dia harus mempertanggungjawabkan apa yang telah terjadi!"

   Kata pula Giam Hok. Orang she Ciok yang tadinya marah-marah, kini memandang dengan heran.

   Dia pun tidak percaya bahwa dua orang kakak beradik yang menjadi pembantu-pembantunya itu sedemikian nekatnya untuk melakukan penghinaan kepadanya dan kepada teman-teman lain, menyiramkan seember air kotor kepada mereka seperti itu. Tentu ada apa-apa yang aneh dalam hal ini, pikirnya. Maka, seperti yang lain, dia pun kini memandang ke arah dua orang kakak beradik yang menghampiri pemuda itu dengan sikap mengancam dan pandang mata beringas sekali. Tentu pemuda dusun itu akan mereka hajar sampai mati, pikir mereka. Akan tetapi agaknya pemuda itu tidak peduli, melanjutkan makan, hanya menoleh ke arah mereka berdua sejenak. Dan terjadilah keanehan ke dua yang oleh para jagoan itu dianggap tidak masuk akal. Giam Hok dan Giam Kui mulai menerjang dan memukul, akan tetapi sama sekali bukan kepada pemuda itu, melainkan saling menyerang sendiri! Kakak beradik itu berkelahi mati-matian, saling gebuk dan saling tending.

   "Keparat, kuhancurkan kepalamu!"

   Bentak Giam Hok dan dia menjotos ke arah kepala Giam Kui yang cepat mengelak, akan tetapi tetap saja menyerempet pipinya. Dia terpelanting dan pipinya bengkak. Marahlah Giam Kui.

   "Jahanam, kupecahkan dadamu!"

   Dan dia pun balas menonjok ke arah dada kakaknya sendiri. Giam Hok menangkis, akan tetapi sebuah tendangan adiknya mengenai perutnya yang membuat dia terjungkal memegangi perut yang mendadak terasa mulas itu. Dia marah dan kembali mereka saling serang, saling pukul dan saling tendang. Tentu saja kepala jagoan dan para tamunya memandang dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Bagaimana mungkin ini? Pemuda itu masih enak-enak makan dan kakak beradik itu sudah saling hantam mati-matian.

   "Giam Hok! Giam Kui! Apakah kalian sudah gila? Hentikan perkelahian itu!"

   Bentak Ciok sambil meloncat dekat. Dua orang kakak beradik itu kini sudah saling cengkeram dan saling jambak. Tiba-tiba mereka sadar dan masing-masing mengeluarkan seruan heran ketika mendapatkan kenyataan bahwa mereka telah saling serang!

   "Kui-te (Adik Kui), kenapa engkau menyerang aku?"

   Bentak Giam Hok.

   "Tapi. tapi.. bagaimana ini bisa terjadi? Aku tadi memukuli petani busuk itu!"

   "Aku juga! Apa yang telah terjadi..?"

   Keduanya terbelalak dan kini menoleh kepada Han Siong yang sudah menyelesaikan makannya dan kini dengan sikap tenang bangkit dari duduknya menghadapi mereka. Kepala jagoan Ciok adalah seorang yang berpengalaman di dunia persilatan. Kini dia mengerti apa yang telah terjadi. Pemuda yang tidak makan daging itu tentulah seorang ahli sihir! Seperti orang-orang Pek-lian-kauw!

   "Celaka, kalian telah dipermainkan dengan sihir!"

   Teriaknya. Kedua orang kakak beradik itu marah sekali.

   "Bunuh tukang sihir!"

   Bentak mereka dan dua puluh lebih orang yang terkenal sebagai jagoan-jagoan dan tukang-tukang pukul itu kini serentak maju mengepung dan menyerang Han Siong yang berdiri dengan tenang. Dan kembali terjadi hal yang luar biasa anehnya, dan sekali ini, para pelayan rumah makan yang bersembunyi di balik pintu dan tiang, menjadi penonton yang keheranan melihat betapa para tukang pukul itu kini saling berkelahi dengan mati-matian! Sedangkan pemuda itu masih tetap berdiri di sudut, sama sekali tidak di ganggu dan nampaknya tenang saja. Bahkan kini Han Siong menghampiri meja kasir dan melihat semua pelayan bersembunyi, dia tersenyum.

   "Mengapa kalian sembunyi? Hayo hitung berapa yang harus kubayar."

   Karena kini Han Siong tidak lagi memperhatikan kepada para tukang pukul, dan tidak lagi mengerahkan kekuatan sihirnya, maka Ciok lebih dulu sadar dan dia terkejut melihat semua tamunya saling hantam.

   "Tahan. Kita berkelahi antara teman sendiri!"

   Bentakan ini menyadarkan mereka dan semua orang kini menghentikan perkelahian, mengusap-usap bagian tubuh yang terpukul dalam perkelahian kacau-balau tadi dan kini mereka semua memandang ke arah Han Siong yang sudah membayar harga makanan yang dipesannya tadi. Han Siong menghadapi mereka dan melihat sikap Ciok, dia pun dapat menduga bahwa orang yang perutnya gendut dan kepalanya botak inilah agaknya yang menjadi pimpinan gerombolan orang kasar itu.

   "Sobat, engkau dan teman-temanmu telah merusak meja kursi dan mangkok piring, maka sudah sepatutnya kalau kalian mengganti kerugian yang diderita oleh pemilik rumah makan ini."

   Ciok Cun, kepala jagoan itu, yang sudah menyadari bahwa pemuda ini yang telah mempermainkan mereka semua, kini melangkah maju. Mukanya merah sekali karena dia marah.

   "Bocah setan! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Engkau telah mempermainkan kami, akan tetapi aku tidak takut dan aku harus menghajarmu sendiri!"

   Orang yang perutnya gendut dan kepalanya botak ini sudah melangkah maju dan mengayun tangannya untuk menampar ke arah muka Han Siong yang sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan hanya memandang dengan matanya yang mencorong.

   "Plakkk!"

   Pipi itu kena di tampar dan menjadi matang biru. Pipi Ciok Cun! Dia mengaduh-aduh dan mengusap pipinya yang ditamparnya tadi. Semua orang melihat betapa Ciok Cun menampar dengan kuatnya, akan tetapi anehnya, yang ditampar bukan muka pemuda itu, melainkan mukanya sendiri! Agaknya hal ini masih belum membuat kepala jagoan itu menjadi jera, dia menyerang lagi dengan hantaman ke arah dada lawan.

   "Bukkk!"

   Ciok Cun terbatuk-batuk saking kerasnya Pukulan tangan kananya menghantam dada sendiri. Dia masih nekat, beberapa kali masih menyerang akan tetapi selalu yang dipukul adalah tubuhnya sendiri dan ketika dia menyerang ke arah kepala, kepalan kirinya menghantam kepala sendiri dan dia pun roboh! Dia mencoba bangun, menggoyang-goyangkan kepalanya yang menjadi pening dan sepasang matanya menjadi juling karena segala sesuatu di sekelilingnya nampak berputaran! Han Siong masih menghadapi mereka dan kini terdengar dia berkata,

   "Harap kalian sadar bahwa kalianlah yang mencari penyakit, suka mengganggu orang lain. Aku sekali ini mengampuni kalian asal saja kalian mau memberitabukan kepadaku tentang diri seorang gadis yang mungkin baru-baru ini lewat di kota ini. Dia seorang gadis berusia tujuh belas tahun, hitam manis, tinggi ramping, lesung pipit di sebelah kiri mulutnya, pakaiannya seperti pakaian wanita suku bangsa Yi, memakai topi sorban terhias bulu burung, namanya Pek Eng. Apakah di antara kalian ada yang mengetahuinya?"

   Kini Ciok Cun sudah bangkit kembali dan mendengar pertanyaan Han Siong itu, dia tertawa mengejek.

   "Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau mencari gadis itu? Bocah setan, biar aku tahu sekalipun, takkan kuberitabukan kepadamu! Engkau telah menghina kami dengan ilmu iblismu, dan mengapa tak kau pergunakan ilmu iblismu untuk menemukan gadis itu? ha-ha-ha!"

   Karena tidak berdaya membalas kepada pemuda yang memiliki ilmu sihir itu, Ciok Cun mentertawakannya, dan teman-temannya yang juga tadi sudah kebagian, ada yang bengkak-bengkak ada yang babak belur karena saling hantam sendiri, kini membantu kepala jagoan itu mentertawakan Han Siong! Pemuda itu sudah merasa girang sekali mendengar bahwa orang gendut botak didepannya ini tahu tentang adiknya. Maka dia pun cepat mengerahkan kekuatan sihirnya.

   "Baiklah, kalian tertawalah sepuasnya, kalau sudah puas dan ingin bercerita tentang gadis itu, bilang saja padaku. Aku masih sabar Menunggu."

   Dia pun duduk kembali dan terjadilah keanehan lagi. Ciok Cun dan teman-temannya masih tertawa-tawa, akan tetapi kini suara ketawa mereka itu makin menjadi-jadi, bergelak bahkan berkakakan. Dan biarpun mulut mereka terbuka mengeluarkan suara ketawa, namun ada sesuatu pada pandang mata mereka. Mata itu terbelalak dan membayangkan rasa kaget dan ketakutan, namun suara ketawa mereka semakin hebat saja. Mereka bahkan kini terpingkal-pingkal, memegangi perut mereka dan ada pula yang sudah jatuh bergulingan ke atas lantai sambin masih terus tertawa. Melihat keadaan ini, seorang pelayan merasa geli dan dia pun tak dapat menahan ketawanya.

   Akan tetapi sekali dia tertawa, dia pun hanyut dan terus tertawa terpingkal-pingkla pula, sampi terguling dari atas bangkunya! Melihat ini, kawan-kawan mereka terkejut dan mereka tidak berani tertawa. Agakknya telah terjangkit penyakit aneh di tempat itu, penyakit tertawa! Ciok Cun maklum bahwa ini bukan sewajarnya. Dia berusaha menahan diri, akan tetapi semakin ditahan, semakin kuatlah dorongan untuk tertawa sehingga akhirnya dia pun terjungkal dan bergulingan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh dan Ciok Cun merasa betapa napasnya sesak, perutnya sakit dan kepalanya pening, namun dia terus tertwa. Barulah dia ketakutan, apalagi melihat betapa di antara teman-temannya ada yang sudah jatuh pingsan! Dia lalu merangkak ke arah Han Siong, dan sambil bertiarap dan terus tertawa, dia berkata,

   "Orang.. ha-ha, orang muda.. heh-heh-heh. aku. aku menyerah. ha-ha-ha. aku mau memberi tahu.. Hoah-ha-ha. mengenai gadis itu.. ha-ha-ha!"

   Han Siong sudah merasa cukup memberi hajaran kepada gerombolan orang kasar itu dan dia memang membutuhkan keterangan tentang adiknya, maka dia pun segera menyimpan kekuatan sihirnya yang mnggelitik batin mereka sehingga mereka tertawa-tawa tanpa dapat dihentikan itu. begitu dia menarik kembali kekuatannya semua orang yang tadinya tertawa-tawa sampai ada yang bergulingan di lantai dengan napas hampir putus, tiba-tiba saja berhenti tertawa. Suasana menjadi aneh dan sunyi setelah tadi terdengar suara ketawa riuh rendah dan mereka hanya saling pandang dengan mata terbelalak, muka pucat dan napas terengah-engah, keringat bercucuran. Kini Ciok Cun menjadi jerih dan maklumlah dia dan kawan-kawannya takkan mampu menandingi pemuda yang luar biasa ini. Dia pun bangkit dan memberi hormat kepada Han Siong, diturut oleh kawan-kawannya.

   "Harap Kongcu (Tuan Muda) suka memaafkan kami yang tidak mengenal orang pandai dan telah berani main-main."

   Katanya.

   "Sudahlah, semua yang terjadi adalah akibat ulah kalian sendiri, mudah-mudahan menjadi pelajaran agar lain kali kalian tidak bersikap sewenang-wenang mengganggu orang lain. Nah, yang kuminta sekarang adalah keteranganmu tentang gadis yang kutanyakan tadi. Betulkah engkau pernah melihatnya dan tahu di mana ia berada?"

   Melihat sikap Han Siong yang halus walaupun jelas pemuda itu telah mengalahkan mereka. Ciok Cun menjadi semakin tunduk dan dia tidak lagi berani main-main. Selain itu, juga dia melihat kesempatan untuk membalas kekalahannya terhadap pemuda itu melalui orang-orang yang jauh lebih lihai.

   "Kami memang melihat gadis yang Kongcu maksudkan itu. Bukankah dia seorang gadis suku bangsa Yi, pakai topi sorban terhias bulu burung, berusia kurang lebih tujuh belas tahun, hitam manis, dengan lesung pipit di sebelah kiri mulutnya, jenaka, galak dan berani, juga memiliki ilmu silat yang tinggi, katanya dari Pek-sim-pang?"

   "Benar sekali!"

   Kata Han Siong gembira karena jelas bahwa yang dimaksudkan orang ini tentulah adik kandungnya itu!

   "Kurang lebih dua pekan yang lalu ia berada di kota ini, akan tetapi ia bentrok dengan orang-orangnya Lam-hai giam-lo dan ia ditawan lalu diajak pergi ke selatan!"

   Tentu saja berita ini mengejutkan Han Siong.

   "Lam-hai Giam-lo?"

   Pikirnya dalam hati dan teringatlah dia akan hwesio tua bermuka kuda yang gagu dan tuli di kuil Siauw-lim-pai itu! Penjahat besar, datuk kaum sesat yang amat lihai sehingga kalau saja tidak ada kedua orang gurunya yang menjadi orang-orang hukuman di kuil itu, tentu semua hwesio di kuil itu akan tewas olehnya! Lam-hai Giam-lo setelah dikalahkan kedua orang gurunya lalu melarikan diri dan kini adik kandungnya tertawan dan dibawa pergi orang-orangnya yang menjadi anak buah Lam-hai Giam-lo? Tentu saja dia terkejut dan merasa khawatir sekali.

   "Kemana ia dibawa dan di mana tinggalnya Lam-hai Giam-lo?"

   Tanyanya dengan suara dan sikap tenang. Kini Ciok Cun memandang wajah pemuda itu seperti orang yang keheranan. Pemuda ini memiliki ilmu tinggi dan aneh, akan tetapi tidak tahu di mana tempat tinggalnya Lam-hai Giam-lo! Akan tetapi dia tidak berani mencela atau mentertawakan.

   "Lam-hai Giam-lo berada di daerah pegunungan di Propinsi Yunan, di Lembah Yang-ce-kiang. Semua orang di daerah itu mengenal namanya dan tahu di mana tokoh itu tinggal."

   Han Siong mengangguk.

   "Baik, terima kasih atas petunjukmu. Akan tetapi sekali lagi, kuharap kalian sadar bahwa mengganggu orang lain mengandalkan kekerasan dan kekuasaan hanya akan mencelakakan diri sendiri. Nah, selamat tinggal!"

   Dia lalu membayar harga makanan dan keluar dari restoran itu, diikuti pandang mata mereka yang tadi telah merasakan kelihaiannya.

   Mari kita ikuti perjalanan Pek Eng yang sedang di cari jejaknya oleh Han Siong. Seperti kita ketahui, gadis ini meninggalkan rumah orang tuanya tanpa pamit dan hanya meninggalkan surat bahwa ia hendak pergi mencari kakak kandungnya, Pek Han Siong. Sesungguhnya, bukan untuk mencari kakaknya penyebabb utama dari kepergiannya tanpa minta ijin orang tua itu. Ia merasa penasaran dan marah karena orang tuanya menerima pinangan keluarga Song. Ia sama sekali tidak mencita pemuda she Song walaupun harus diakuinya bahwa Song Bu Hok adalah seorang pemuda yang gagah sekali, juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, putera Ketua Kang-jiu-pang yang amat terkenal pula. Ia tidak menganggap bahwa pilihan orang tuanya itu keliru karena memang sudah sepatutnya kalau ia berjodoh dengan Song Bu Hok,

   Keduanya putera ketua perkumpulan besar dan di antara orang tua mereka terdapat pertalian persahabatan yang erat. Akan tetapi, ia sama sekali tidak mencinta Song Bu Hok. Hal ini terutama sekali dirasakannya setelah ia bertemu dengan Hay Hay! Ia amat tertarik dan jatuh cinta kepada pemuda yang ugal-ugalan itu, bukan karena ia pernah mencium Hay Hay karena ia mengira pemuda itu kakaknya, bukan pula karena tingkat kepandaian pemuda itu sedemikian tingginya sehingga ia merasa kagum. Atau mungkin juga ada sebagian dari kedua kenyataan itu yang memperkuat perasaan cintanya. Akan tetapi yang jelas, ia tidak lagi dapat melupakan Ha Hay! Itulah sebabnya maka ia menjadi nekat untuk pergi tanpa pamit dan ingin mencari kakaknya kepada siapa ia akan membuka semua isi hatinya dan mengharapkan kakak kandungnya itu akan mau membelanya.

   Ia membawa bekal uang secukupnya, Beberapa stel pakaian lengkap yang dibuntalnya dalam sebuah bungkusan kain tebal, tidak lupa membawa sebatang pedang dan dengan pakaian sebagai seorang gadis suku bangsa Yi, ia pun melakukan perjalanan menuju ke selatan. Tidak aneh kalau di sepanjang perjalanannya, Pek Eng menjadi perhatian banyak orang, terutama sekali para pria yang melihatnya melakukan perjalanan seorang diri. Gadis ini cantik manis dan biarpun kulitnya agak gelap. Terutama sekali mata yang agak sipit itu bersinar tajam, dan hidungnya dapat mempesona hati seorang pria dengan bentuknya yang mungil, ujungnya agak naik sedikit. Bibirnya merah basah dan pipi kirinya terdapat sebuah lesung pipit yang nampak jelas kalau tersenyum. Bentuk tubuhnya yang tinggi ramping dengan kaki panjang juga memiliki daya tarik tersendiri, dengan lekuk-lengkung tubuh gadis yang mulai dewasa.

   Dari pandang mata dan bibir yang selalu di hias senyum itu dapat diketahui bahwa gadis ini lincah, jenaka dan gembira, akan tetapi juga memiliki ketabahan besar. Orang-orang yang melihat betapa gadis ini membawa pedang di punggungnya, agak segan untuk mengganggu dan biarpun ada pula pria yang merasa dirinya kuat dan sudah biasa mengganggu wanita mencoba untuk bersikap kurang ajar, namun Pek Eng dapat mengatasinya bahkan telah merobohkan beberapa orang pengganggu. Pada suatu hari tibalah ia di kota Kui-yang. Seperti yang selalu dilakukan semenjak ia meninggalkan rumah, setiap kali ada kesempatan ia bertanya-tanya kepada orang tentang dua orang pemuda, yaitu Pek han Siong dan Hay Hay! Ia sendiri tidak tahu apa yang ia katakana atau ia lakukan kalau ia berhasil menemukan Hay Hay.

   Akan tetapi ia ingin sekali bertemu kembali dengan pemuda itu. Di kota Kui-yang, Pek Eng juga bertanya-tanya ketika ia berjalan-jalan dan melihat-lihat keadaan kota itu di waktu senja, setelah ia mendapatkan sebuah kamar di rumah penginapan. Ia hanya meninggalkan buntalan pakaiannya saja di kamar, dan semua uangnya ia bawa, demikian pula pedangnya. Perhatian Pek Eng tertarik sekali melihat sebuah rumah makan besar yang dikelilingi pagar tembok tebal dan tinggi, dan di depan pintu gerbangnya terdapat papan yang bertuliskan huruf-huruf besar berbunyi "HUI-HOUW BU-KOAN" (Perguruan Silat Macan Terbang). Apalagi ketika dari pintu gerbang yang terbuka itu ia dapat melihat belasan orang sedang berlatih gerakan silat, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar.

   

Pendekar Sadis Eps 45 Asmara Berdarah Eps 21 Harta Karun Jenghis Khan Eps 3

Cari Blog Ini