Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti 22


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



Kepandaiannya telah meningkat amat tinggi dan dengan berdiri di atas batang pohon itu yang mengambang di permukaan air, dia dapat mempergunakan cabang pohon sebagai dayung dan mendayung cepat sekali sambil berdiri! Mula-mula dia mencari pulau tempat tinggal Bangsa katai, dan setelah dia berkeliling dengan bingung karena kedudukan pulaunya telah berubah, akhirnya dia mendapatkan pulau Bangsa katai itu. Ia mendarat dengan dada berdebar tegang dan tenggorokan seakan-akan tersumbat sesuatu dan kedua mata pedas menahan jatuhnya air mata, Kwan Cu melihat betapa pulau itu telah musnah sama sekali. Bangunan-bangunan kecil hancur dan hanya tinggal bekas-bekasnya saja, semua tersapu bersih oleh air yang mengamuk.

   Kwan Cu memeriksa semua pulau dan hatinya makin terharu karena tidak seorangpun manusia katai selamat. Agaknya semua telah hanyut oleh air dan sudah jelas nasib mereka, pasti semua terendam ke dasar laut atau ke dalam perut-perut ikan-ikan besar. Akan tetapi ketika dia melongok ke dalam sebuah gua, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat air matanya tercucur keluar. Di dalam gua itu dia melihat Malita dan Malika, dua orang puteri katai kakak beradik itu saling peluk, dengan tubuh mereka terikat pada batu karang yang kuat, dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi! Agaknya mereka dalam serangan ombak yang menenggelamkan pulau, telah berdaya untuk menolong diri dengan mengikatkan diri sendiri pada batu karang dan saling berpelukan, akan tetapi mereka tewas karena tenggelam di dalam air yang menaik tinggi sampai menutupi semua pulau itu!

   "Malita... Malika... kasihan kalian..."

   Kata Kwan Cu yang segera melepaskan tubuh mereka dari ikatan. Tubuh kedua orang gadis katai itu tidak kaku, akan tetapi sudah dingin sekali. Tiba-tiba dia mendengar suara Burung mayat yang beterbangan di pantai sebelah Selatan.

   "Tentu di sana terdapat korban lain,"

   Pikirnya. Ia lalu berlari menuju ke pantai itu dengan maksud mengumpulkan korban-korban untuk dikubur bersama. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dari jauh dia melihat tubuh seorang Raksasa terbujur di pantai! Dan ketika dia berlari cepat tiba di tempat itu, dia terbelalak memandang kepada jenazah seorang wanita Raksasa yang bukan lain adalah Liyani!

   "Liyani...!"

   Kwan Cu cepat melompat dan berlutut untuk memeriksa. Tubuh yang sudah hampir telanjang itu ternyata telah tak bernapas lagi, mati seperti Malita dan Malika. Dengan hati tidak karuan rasa, teringatlah Kwan Cu akan pengalamannya ketika dia berada di pulau Raksasa. Gadis Raksasa ini suka kepadanya, dan sekarang, gadis yang baik hati ini telah tewas dalam keadaan yang amat memilukan hati.

   "Liyani... agaknya kau dan Bangsamu juga musnah oleh amukan laut mengganas...!"

   Kwan Cu segera memondong tubuh Liyani yang tinggi besar itu tanpa sukar, karena semenjak mempelajari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, tenaga pemuda ini sudah meningkat luar biasa sekali. Lalu dia membawa pulang tiga jenazah itu dengan perahu ke pulaunya. Ia menggali lubang dalam dan lebar, kemudian menurunkan tiga jenazah yang jauh sekali ukuran tubuhnya itu ke dalam lubang. Sampai lama dia memandang kepada tiga mayat itu.

   Ia melihat betapa keadaan Malita dan Malika masih cantik, pakaian mereka masih rapi dan rambut mereka masih tergelung indah. Akan tetapi keadaan Liyani amat memilukan hati. Hampir telanjang dan rambutnya terlepas, agaknya sudah lama ombak mempermainkannya sehingga dari pulau Raksasa yang begitu jauh dia terdampar ke pulau Bangsa katai. Kwan Cu teringat akan tusuk konde yang dahulu dia terima dari Liyani, maka cepat dia berlari ke dalam guanya, mengambil tusuk konde itu dari buntalan pakaiannya dan kembali ke dalam lubang kuburan. Dengan hati penuh belas kasihan, dia merapikan rambut Liyani digelungnya baik-baik dan sedapat-dapatnya lalu di pasangnya tusuk konde itu di rambut gadis Raksasa ini. Tiga orang gadis yang sudah menjadi mayat itu diletakkan telentang berjajar, Liyani di sebelah kiri. Malita di tengah dan Malika di sebelah kanan.

   Ketika dia hendak menutupi lubang itu dengan tanah, hatinya tidak tega, maka dia cepat mengumpulkan daun-daun putih yang rontok dan banyak sekali terdapat di pulau itu, dan dengan daun-daun ini dia menutupi tiga jenazah itu sampai tidak kelihatan lagi. Setelah timbunan daun itu cukup tebal, barulah dia menutupnya dengan tanah sampai bergunduk tinggi dan di tanamnya sebatang pohon berdaun putih yang masih kecil di atas gundukan tanah kuburan ini. Baiknya pulau berpohon putih itu tidak terbinasa oleh taufan dan ombak laut. Kalau terjadi demikian, biarpun andaikata Kwan Cu dapat menyelamatkan diri, dia tentu akan kelaparan pula. Namun ternyata bahwa semua binatang di pulau itu hanya mengalami kekagetan saja, dan mereka sempat menyembunyikan diri ke dalam gua-gua yang banyak terdapat di pulau itu.

   Semenjak saat itu, Kwan Cu, lebih prihatin. Kedukaan dan keharuan hatinya melihat dua Bangsa manusia yang aneh sekali itu yakni Bangsa Raksasa dan Bangsa katai, termusnah oleh kekuasaan alam, membuat dia makin yakin akan kekuasaan alam yang dalam sekejap mata dapat memusnahkan dua Bangsa manusia. Apakah daya manusia terhadap kekuasaan alam? Kurang apakah kehebatan dan kekuatan Bangsa Raksasa itu? Namun mereka tidak berdaya menghadapi bencana yang dilakukan olah alam maha kuasa. Kurang bagaimana sederhana dan suci kehidupan Bangsa katai itu? Mereka jauh lebih mulia dan suci hidupnya apabila dibandingkan dengan manusia biasa, dan kalaupun mereka pernah membuat dosa, agaknya dosa itu tidak sebesar dosa yang biasa di lakukan oleh manusia seperti Bangsa Kwan Cu,

   Akan tetapi kalau alam menghendaki, Bangsa yang suci ini pun dapat di musnahkan! Kenyataan ini membuat Kwan Cu makin tunduk kepada kekuasaan alam yang berada dalam tangan Thian Yang Maha Kuasa dan Sakti. Apalagi ketika dia makin tekun mempelajari ilmu dari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, terbukalah matanya. Kitab ini tidak saja mengajarkan ilmu silat-ilmu silat yang tinggi-tinggi, bahkan memberi pelajaran tentang pokok-pokok dasar semua ilmu silat dan pergerakan tubuh manusia dalam pertempuran, akan tetapi juga berisi filsafat-filsafat kebatinan yang amat tinggi. Filsafat kebatinan ini condong kepada aliran Lo Cu yang menyatakan bahwa makin tinggi kepandaian seseorang makin terbukalah matanya bahwa semua yang di sebut "kepandaian"

   Itu sebenarnya hanya kosong belaka!

   Makin terbuka mata orang akan kekuasaan alam, makin terasalah olehnya betapa kecil tak berarti adanya dirinya, betapa menggelikan dan tiada harganya segala macam kepandaian yang dimiliki manusia! Oleh karena itu, makin dalam pengetahuan Kwan Cu, makin lama dia mempelajari ilmu dari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, makin sederhana jiwanya dan makin pendiam wataknya. Ia merasa seakan-akan dia bukan sedang mempelajari ilmu kepandaian, melainkan mempelajari ilmu pengertian untuk menemukan diri sendiri dan untuk mengenal sifat-sifat manusia yang ada pada dirinya. Tanpa disadarinya, dia telah mendapatkan ilmu yang amat tinggi, mendapatkan dasar-dasar dari segala pergerakan ilmu silat yang kesemuanya harus bersandarkan kepada tenaga Im dan Yang.

   Namun dengan sadar dia kini melihat betapa semua pengetahuannya adalah kosong belaka dan membuat dia tidak berani menyombongkan kepandaian, karena segala kepandaian manusia dipelajari dari otak, sedangkan siapakah penggerak otak manusia? Kalau Yang Maha Kuasa mencabut tenaga dan kegunaan otak, habislah semua yang dianggap oleh manusia sebagai "kepintaran"

   Itu! Bahkan lebih hebat lagi kalau Yang Maha Kuasa menghendaki napas yang keluar masuk tanpa disengaja oleh manusia, akan lenyaplah ujud yang disebut manusia! Apakah mahluk yang begini lemah, yang mengandalkan hidup dan keadaannya dari pengaruh alam, patut menyombongkan diri dan menganggap diri sendiri pandai? Menggelikan sekali! Sang waktu lewat cepat sekali tanpa terasa oleh manusia.

   Setiap lembar dari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, dipelajari oleh Kwan Cu sedikitnya seminggu berikut prakteknya dan dua tahun kemudian, tamatlah Buku ini di pelajarinya. Itu pun baru merupakan setengah daripada kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, yakni bagian latihan tenaga Lweekang dan bagian ilmu silat saja, karena ketika dia menamatkan bagian ilmu silat dan hendak mulai membuka lembaran atau bagian ilmu perang, ternyata bahwa bagian ini telah lengket menjadi satu dan kalau dipaksa dibuka, lembaran-lembaran itu akan hancur! Di bagian paling bawah terdapat lembaran tentang ilmu pengobatan, juga halaman-halaman ini tidak dapat dibuka. Namun, setelah menamatkan bagian ilmu silat, Kwan Cu sudah tiada nafsu lagi untuk mempelajari bagian lain. Untuk apakah bagian segala pengetahuan tentang ilmu perang?

   Ia benci akan perang yang hanya merupakan penyembelihan antara sesama manusia, lepas daripada persoalan yang menimbulkan perang itu sendiri. Adapun tentang ilmu pengobatan, memang tadinya dia ada hasrat untuk mempelajarinya dan menjadi agak kecewa melihat bagian ini tidak mungkin dibaca. Akan tetapi pengetahuannya yang mulai mendalam tentang garis-garis hidup membuat dia berpikir bahwa betapapun pandai seseorang mengobati orang sakit, kalau Thian tidak menghendaki, si sakit itu takkan tertolong juga! Sembuh tidaknya seorang penderita penyakit memang tergantung dari pengobatan, hal ini dia percaya sepenuhnya. Namun baginya, mati hidupnya seorang sama sekali bukan tergantung dari pengobatan. Kalau Thian menghendaki nyawa seseorang, biarpun seribu orang dewa datang menolong, orang itu pasti akan mati juga!

   Karena kini kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng sudah tak dapat dipergunakan lagi, yakni bagian depan setelah dia baca telah menjadi hancur dan robek-robek sedangkan bagian belakang telah lengket-lengket tak dapat dibuka, maka Kwan Cu lalu mengubur kitab itu berikut petinya, di dekat makam tiga orang gadis, yakni Liyani, Malita dan Malika. Juga di atas "kuburan"

   Kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng ini dia taruhi tanda batu karang besar. Kemudian dengan telunjuknya dia mencoret-coret batu karang itu dan... Bukan main hebatnya, ternyata bahwa di atas batu karang yang keras itu telah terdapat tulisan tangan yang amat jelas. Tulisan itu berbunyi seperti berikut:

   "Teecu Lu Kwan Cu telah menerima petunjuk dan selamanya Teecu akan mentaati semua pelajaran yang Teecu terima serta bersumpah untuk mempergunakan segala pelajaran demi kebaikan dan perikemanusiaan."

   Kurang lebih sebulan kemudian, nampak pemuda itu membawa buntalannya, menyeret sebuah perahu buatannya sendiri, menuju ke air laut yang tenang. Ia meluncurkan perahu ke air, melompat ke dalam perahu dan memegang dayung, lalu mendayung perahu itu ke tengah samudera. Tak lama kemudian, dia menghentikan gerakan tangannya yang mendayung perahu, menengok ke arah pulau itu. Semua kelihatan jelas, bahkan pohon yang tumbuh di atas makam Liyani, Malita dan Malika kini sudah tinggi. Juga batu karang yang ditulisinya itu kelihatan dari perahunya. Segala pengalaman selama tiga tahun di atas pulau itu terbayanglah. Basah kedua mata Kwan Cu dan dia cepat menyusutkan dengan ujung lengan bajunya yang sudah kumal.

   Kemudian dia menarik napas panjang dan mendayung perahunya lagi. Tak lama kemudian, dia memasangkan layar yang dibuatnya dari pakaiannya yang di sambung-sambung, dan meluncurlah perahu itu cepat sekali menuju ke Utara, ke daratan tanah Tiongkok. Tak seorang pun di daratan Tiongkok tahu bahwa pada saat itu, seorang pemuda yang telah mewarisi kepandaian luar biasa dari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, seorang pendekar yang sakti, sedang menuju ke daratan Tiongkok, dan akan terjadilah sejarah baru dalam dunia kang-ouw! Sebaliknya, Kwan Cu yang kini sudah berusia dua puluhan itu sama sekali tidak tahu bahwa selama dia pergi, yakni kurang lebih empat tahun dari daratan Tiongkok, di Tiongkok telah terjadi perubahan besar sekali. Telah terjadi hal-hal yang amat hebat!

   Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pada masa itu, Kaisar Kerajaan Tang adalah Kaisar Hian Tiong yang terkenal sebagai seorang yang amat doyan pelesir, mencari kesenangan dan hiburan bagi diri sendiri belaka, sama sekali tidak mempedulikan pemerintahannya, apalagi keadaan Rakyatnya. Oleh karena itu, secara sembrono sekali Kaisar ini mengangkat An Lu Shan sebagai Panglima besar di Utara, dan sama sekali dia tidak menaruh dugaan atau kecurigaan terhadap An Lu Shan. Bahkan sampai pada saat An Lu Shan telah membentuk Pasukan yang besar dan mempunyai niat memberontak, Kaisar ini masih enak-enak saja berpelesiran di istananya yang indah, dikelilingi oleh selir-selirnya yang banyak jumlahnya dan yang rata-rata amat cantik jelita dan muda-muda! Bukan sampai di situ saja kelalaian Kaisar Hian Tiong. Bahkan ketika An Lu Shan mulai menggerakkan Tentaranya ke Selatan, Kaisar ini masih tinggal enak-enakan saja di dalam istananya.

   "Bentuk Pasukan, hancurkan Pemberontakan bodoh itu, apa sih sukarnya?"

   Katanya acuh tak acuh, seakan-akan yang dihadapinya hanya persoalan kecil belaka. Para Menteri yang jujur dan setia tergopoh-gopoh menghadap Kaisar untuk memperingatkan junjungan ini daripada mabuk dan mimpinya, akan tetapi Kaisar tetap tinggal enak-enak, bahkan mencaci para Menteri itu sebagai pengecut-pengecut besar! Menteri Lu Pin yang dianggap Menteri tertua yang paling setia dan disegani oleh Kaisar, lalu didatangi oleh para Menteri dengan desakan agar Menteri Lu Pin suka memberi peringatan kepada Kaisar. Menteri Lu Pin lalu menghadap Kaisar dan diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan ucapan menyindir.

   "Apakah kau yang terkenal sebagai Menteri jujur, setia dan keturunan Panglima gagah perkasa, juga berhati pengecut seperti mereka itu dan hendak menakut-nakuti aku?"

   Merahlah wajah Lu Pin mendengar sabda Kaisar ini. Ia memberi hormat dengan berlutut sambil berkata,

   "Harap Sri Baginda sadar dari keadaan Sri Baginda yang tidak sewajarnya ini. Sesungguhnya para perdana Menteri dan Panglima itu memberi nasihat amat baik kepada Paduka. Demikianpun hamba datang menghadap ini bukan karena hamba berhati pengecut, melainkan karena hamba melihat datangnya bahaya besar yang mengancam keselamatan negara kita. Sadarlah Paduka dari mimpi, keadaan kita benar-benar terancam bahaya besar dan Tentara An Lu Shan si Pemberontak jahat itu telah menyerang makin jauh ke Selatan."

   Marah sekali Kaisar Hian Tiong mendengar ini. Ia menggebrak meja dan menudingkan jari tangannya ke arah pintu,

   "Pergi! Pergilah! Hendak kulihat sampai di mana kebisaan An Lu Shan! Mustahil kalau para barisan penjaga kita dapat dia bobolkan!"

   Dengan hati terpukul, Menteri Lu Pin keluar dari ruangan itu dan menuturkan kepada para Menteri lainnya atas kegagalannya dengan suara penuh kekecewaan dan kedukaan. Tidak senanglah hati para Menteri itu ketika mendengar bahwa Kaisar tetap saja tenggelam dalam mimpi buruk. Keadaan sudah amat berbahaya dan kalau para Pemberontak sampai berhasil memasuki Kota Raja, tentu mereka sekeluarga sekarang takkan selamat pula. Hal ini yang melemahkan semangat mereka. Ketika para mata-mata An Lu Shan datang menghubungi mereka, sebagian besar para Menteri ini lalu menerima uluran tangan para Pemberontak. Demi keselamatan seluruh keluarga dan harta benda serta kedudukan mereka,

   Para Menteri ini tidak segan-segan untuk berkhianat dan memihak Pemberontak. Diam-diam mereka memberi kesanggupan kepada An Lu Shan bahwa apabila Tentara Pemberontak itu memasuki Kota Raja, mereka diam-diam akan mengadakan bantuan dari dalam agar pembobolan Benteng Kota Raja dipermudah! Menteri Lu Pin dapat membuka rahasia mereka ini. Dengan hati amat berang, Menteri yang setia ini lalu menghadap Kaisar dan membeberkan semua rahasia para Menteri yang berkhianat. Marahlah Kaisar dan baru Kaisar sadar akan keadaan yang memang amat berbahaya. Segera dia memeritahkan Pasukan pengawal untuk menangkap-nangkapi para Menteri dorna itu dan menghukum penggal kepala sekeluarga mereka! Setelah melakukan hal ini, Kaisar lalu menggerakkan barisan untuk mempertahankan kerajaan.

   Akan tetapi, hal ini benar-benar merupakan pengobatan yang amat terlambat bagi penyakit yang berat. Dengan di hukumnya para Menteri, keadaan menjadi makin kalut dan lemah. Kalau saja Kaisar Hian Tiong dari dahulu sadar pada waktu para Menteri itu belum memiliki hati khianat, agaknya keadaan masih dapat diharapkan akan tertolong. Terlambatlah semua usaha Kaisar ini. Barisan Pemberontak An Lu Shan telah menerobos dan memasuki Kota Raja! Pertahanan Kaisar hancur luluh! Dalam kekacuan yang menghebat ini, Menteri Lu Pin menjadi tujuan pertama dari An Lu Shan. Tentu saja An Lu Shan telah mendengar bahwa Menteri Lu Pin yang menggagalkan rencananya menghubungi para Menteri, dan bahwa Menteri Lu Pin yang membuka rahasia para Menteri pengikutnya sehingga para Menteri dorna itu sekeluarga di jatuhi hukuman mati oleh Kaisar.

   Maka begitu memasuki Kota Raja, An Lu Shan memerintahkan semua anak buahnya untuk pertama-tama mencari Menteri Lu Pin dan membunuh serta membasmi seluruh keluarganya! Akan tetapi, atas desakan keluarganya, Manteri Lu Pin siang-siang telah melarikan diri, mengungsi dikawal oleh Pasukan Panglima yang setia. Diam-diam Menteri Lu Pin mengumpulkan harta benda sepeti besar dari istana, bukan dengan niat hendak mempergunakan harta benda itu untuk dirinya sendiri, melainkan dia bercita-cita besar hendak melarikan harta benda itu agar jangan terjatuh ke dalam tangan Pemberontak serta kelak dapat dia pergunakan untuk membiayai Pasukan yang akan dipimpinnya untuk memukul mundur para Pemberontak itu!

   Kota Raja diduduki, dan sungguh malang nasib keluarga Menteri Lu pin. Semua keluarga, dari yang tua sampai anak bayi, dikumpulkan dan dibakar hidup-hidup oleh An Lu Shan! Bahkan Lu Seng Hok, puteri Lu Pin atau Ayah dari Lu Thong sekeluarganya juga dibasmi dalam pembersihan ini, tidak terkecuali para bujang pelayan! Hanya Lu Thong seorang yang dibawa pergi Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu, yakni Gurunya, yang tidak ikut jadi korban. Lu Pin mendengar tentang berita ini dan di sepanjang jalan, Kakek ini menangis keras, bukan semata menyedihi kebinasaan seluruh keluarganya. Kakek ini memang berjiwa Patriot dan amat setia kepada pemerintah, maka sambil menangis dan dia bersembahyang dan bersumpah bahwa dia akan menuntut balas kepada Pemberontak An Lu Shan!

   Melihat kesetiaan ini, tiga orang Panglima besar yang mengawalnya bersama Pasukan kecil, ikut pula menangis. Akan tetapi, An Lu Shan ternyata bukan orang bodoh dan sebentar saja dia telah mendengar kemana larinya Menteri Lu Pin yang dibencinya itu. Segera dia mengirim Pasukan besar untuk melakukan pengejaran kepada Lu Pin dan rombongannya! Tiga hari kemudian, benar saja Pasukan gerak cepat ini berhasil menyusul rombongan Menteri Lu Pin. Pertempuran hebat terjadilah. Pasukan pengawal Menteri Lu Pin melakukan perlawanan mati-matian, namun jumlah Pasukan pengejar jauh lebih besar sehingga banyak di antara mereka roboh. Akhirnya hanya tiga orang Panglima besar itu saja yang masih sempat menggendong Menteri Lu Pin dan membawa peti harta dan melarikan diri.

   Namun tentu saja para pengejar yang sudah mendengar bahwa Menteri tua itu membawa sepeti harta benda yang tak ternilai harganya, melakukan pengejaran cepat sekali. Tiga orang Panglima ini memiliki kepandaian tinggi, maka mereka berhasil membawa pergi Menteri Lu Pin. Namun, kalau mereka sampai tersusul, menghadapi pengeroyokan yang demikian banyaknya, mana mereka mampu mempertahankan diri? Sehari semalam mereka telah melarikan diri, terus dikejar oleh barisan Pemberontak. Akhirnya, pada esok paginya, ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang amat liar, kuda-kuda yang ditunggangi oleh tiga orang Panglima yang membawa lari Menteri Lu Pin, roboh dan tewas saking lelahnya. Padahal para pengejar sudah dekat dan suara teriakan mereka telah terdengar riuh rendah.

   "Kita terpaksa melawan mati-matian!"

   Berkata tiga orang Panglima yang gagah berani itu. Menteri Lu Pin mengalirkan air mata.

   "Sudah terlalu banyak orang menjadi korban karena aku seorang, padahal bukan maksudku untuk menyelamatkan badan yang sudah tua dan tidak berharga ini. Sam-wi Ciangkun (Tiga Panglima), harap Sam-wi membawa pergi harta ini dan usahakanlah agar supaya dapat dibentuk Pasukan baru guna menumpas penjahat An Lu Shan dan membalaskan sakit hati kerajaan kita. Biarkan aku mereka tangkap, aku tidak takut mati."

   Namun tiga orang Panglima itu menolak.

   "Harta benda ini tiada artinya bagi kami bertiga. Tanpa adanya Taijin yang bijaksana untuk mengatur, bagaimana dapat dibentuk Pasukan besar? Tidak, Taijin, kalau sudah semestinya kita mati, biarlah kita mati bersama di tempat ini! Namun kami berjanji bahwa penjahat-penjahat itu takkan mudah begitu saja untuk merenggut nyawa kita!"

   Sambil berkata demikian, tiga orang

   (Lanjut ke Jilid 21)

   Pendekar Sakti/Bu Pun Su Lu Kwan Cu (Seri ke 01 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21

   Panglima itu mencabut golok besar mereka dan menanti dengan penuh semangat. Maka datanglah para pengejar itu dan mereka menyerbu bagaikan taufan mengamuk! Tiga orang Panglima perang itu menjaga Menteri Lu Pin yang berdiri di tengah-tengah. Mereka merupakan Benteng segitiga yang amat kuat dan para Pemberontak yang terdekat, segera terjungkal mandi darah terlanggar golok mereka yang tajam dan kuat. Hebat sekali perang tanding yang tidak seimbang ini.

   Datangnya Pemberontak seperti semut dan tak lama kemudian, tiga orang Panglima itu sudah lelah sekali. Mereka mulai menerima bacokan yang mendatangkan luka, namun mereka tetap mengamuk bagaikan banteng-banteng terluka! Pada saat yang amat berbahaya bagi Menteri Lu Pin dan tiga orang pengawalnya, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kaget dan kacau-balaulah kepungan para Pemberontak. Tak lama kemudian, nampaklah tubuh para Pemberontak terpental dan terlempar ke sana ke mari, seakan-akan ada seorang Raksasa kuat yang menangkap-nangkapi dan melempar-lemparkan tubuh mereka. Ketika Menteri Lu Pin memandang, dia menjadi amat terharu melihat bahwa yang mengamuk dan memaki-maki para Pemberontak itu bukan lain adalah Lu Sin atau Ang-Bin Sin-Kai kakaknya sendiri!

   "Anjing-anjing Pemberontak yang busuk! Kalian berani menganggu adikku yang tercinta?"

   Berkali-kali Ang-Bin Sin-Kai memaki dan setiap kali tangannya diulur, tentu dua tiga orang Pemberontak ditangkapnya dan dilemparkannya sampai jauh. Adapula yang ditendang bagaikan seorang menendang bal karet saja. Tubuh para Pemberontak terapung dan jatuh dengan kepala pecah atau tulang patah.

   Keadaan amat kacau-balau dan para Pemberontak menjadi gentar dan ngeri melihat sepak terjang Ang-Bin Sin-Kai yang saat itu kelihatan amat menyeramkan. Kakek Pengemis itu yang biasanya bermuka merah, kini menjadi makin merah mukanya, kedua matanya bersinar-sinar, rambutnya terurai dan jenggotnya melambai-lambai dalam gerakannya yang kuat dan cepat, pakaiannya robek sana-sini. Dua orang Perwira Pemberontak ketika melihat Kakek Pengemis ini, menjadi amat penasaran. Kakek Pengemis itu kurus dan tua, bertangan kosong pula, masa tidak dapat merobohkannya? Mereka melompat turun dari atas kuda dan dengan Pedang di tangan, kedua orang Perwira itu menyerang Ang-Bin Sin-Kai yang masih saja mengamuk dan melempar-lemparkan para Pemberontak yang berada di hadapannya.

   Ketika dua Pedang dari kanan kiri itu menyambar dekat, tiba-tiba dia membuat gerakan seperti seekor Burung garuda hendak terbang kedua lengannya di pentang ke kanan kiri dan sungguh hebat, tahu-tahu dia telah dapat mencekik batang leher kedua Perwira Pemberontak itu, dan Pedang mereka terpental ketika beradu dengan jari-jari tangan Kakek ini. Ang-Bin Sin-Kai maklum bahwa untuk mengundurkan para Pemberontak, dia harus menjatuhkan pimpinan mereka, maka ketika dia melihat bahwa yang terpegang oleh kedua tangannya adalah Perwira-Perwira Pemberontak, tanpa ragu-ragu lagi dia lalu membenturkan kepala mereka satu kepada yang lain! Terdengar suara keras dan Ang-Bin Sin-Kai melemparkan kedua tubuh Perwira Pemberontak yang kepalanya sudah pecah itu ke atas sampai tinggi.

   "Lihat Pemimpin-Pemimpinmu ini, hai anjing-anjing Pemberontak! Siapa berani mati hendak mengukur tenaga dengan Ang-Bin Sin-Kai, boleh lekas maju!"

   Suara ini dikeluarkan dengan keras dan menyeramkan. Tentu saja para Pemberontak menjadi makin ketakutan ketika melihat bahwa dua orang pimpinan mereka sudah tewas. Apalagi ketika mereka mendengar nama Ang-Bin Sin-Kai yang sudah amat terkenal, tanpa pikir panjang lagi mereka lalu melarikan diri. Suara derap kaki kuda menjauh dan tak lama kemudian tempat itu menjadi sunyi, kecuali suara keluhan para anggauta Pemberontak yang tergeletak di sana-sini. Tiga orang Panglima pengawal Menteri Lu Pin menjadi kagum sekali, mereka lalu memandang kepada Ang-Bin Sin-Kai dan menjura sebagai tanda terima kasih. Namun Ang-Bin Sin-Kai tidak memperhatikan mereka, melainkan datang mengehampiri Menteri Lu Pin dan tersenyum pahit dan berkata,

   "Inilah jadinya kalau kau membantu Kaisar lalim!"

   Menteri Lu Pin sejak tadi telah basah matanya, mendengar ucapan ini, dia mengedikkan kepala dan berkata keras,

   "Twako, aku bukan berjuang untuk Kaisar, melainkan untuk tanah air dan Bangsa! An Lu Shan telah berkhianat dan merusak negara, semua bukan semata kesalahan Kaisar, namun para petugas juga mempunyai bagian dalam kesalahan itu. Aku bersumpah hendak membalas dendam kepada An Lu Shan, aku sengaja pergi membawa harta benda di dalam peti ini untuk membentuk Pasukan baru agar dapat mengusir Penjajah khianat itu dari Kota Raja!"

   "Adik Pin, suaramu seperti Harimau ompong tak berkuku yang meraung-raung! Kau yang begini lemah bagaimana bisa mengusir An Lu Shan dengan Pasukannya yang dibantu oleh orang-orang pandai?"

   Kata Ang-Bin Sin-Kai.

   "Kita sama lihat saja nanti!"

   Jawab Menteri Lu Pin gagah.

   "Biarpun aku seorang lemah, seorang seniman bodoh, namun semangatku masih, Sin-ko. Soal orang-orang pandai, ada kau di sini, takut apakah?"

   Melihat sikap adiknya, Ang-Bin Sin-Kai menjadi terharu sekali.

   "Orang bodoh, kau kira aku tidak tahu akan semua yang terjadi? Aku amat kagum kepadamu, Adikku. Kau patut menjadi teladan semua pembesar dan Pemimpin Rakyat. Kau tidak tahu bahwa semenjak kau keluar dari Kota Raja, aku selalu mengikuti kau secara diam-diam. Aku telah mendengar pula tentang nasib keluargamu. Ah, adikku yang gagah, kau menderita demikian hebat akan tetapi masih bersemangat membela negara, sungguh aku Pengemis hina-dina merasa bangga dan juga malu kepada diri sendiri."

   "Sin-ko, jangan kau berkata begitu..."

   Menteri Lu Pin mencucurkan air mata saking terharunya. Ia menghampiri Kakek Pengemis itu dan kedua orang kakak beradik ini berpelukan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

   Dari kedua mata Ang-Bin Sin-Kai berlinang dua butir air mata. Inilah adik kandungnya, Menteri setia yang berjiwa Patriot aseli! Dan adiknya ini padahal seorang lemah yang tidak mengerti ilmu silat! Sedangkan dia, seorang yang semenjak kecil mempelajari kepandaian silat, tidak mengacuhkan sama sekali tentang keselamatan tanah air! Pada saat berpelukan dengan Menteri Lu Pin, terbangunlah semangat dalam dada Ang-Bin Sin-Kai. Tak patut dia disebut seorang gagah apabila dia tidak dapat berbuat seperti adiknya ini, tidak dapat mengorbankan diri untuk Rakyat dan negara. Ia tahu bahwa An Lu Shan mendapat bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Hek-I Hui-Mo sendiri menjadi sekutu An Lu Shan. Siapakah akan dapat menghadapi mereka kalau tokoh-tokoh seperti dia tidak mau turun tangan?

   "Adik Pin, kau betul. Harta ini harus kau simpan baik-baik dan dengan diam-diam kau dapat mengerahkan kesatuan yang kuat, atau setidaknya dengan harta ini kau dapat membantu pengerahan para Pasukan Rakyat gerilya. Aku tahu sebuah tempat persembunyian yang amat baik, Adikku. Pergilah ke Timur, di sebelah bukit ini terdapat pegunungan dan setelah kau menyebrangi sungai kecil, kau akan melihat hutan pohon Pek dan di sebelah Selatan hutan itulah terdapat sebuah gua besar yang penuh dengan tulang-tulang binatang purbakala yang besar-besar. Gua itu lebar sekali, aku telah mempergunakannya sebagai tempat bertapa. kau bawalah harta ini dan kau bersembunyilah di gua itu. Gua itu tertutup oleh serumpun pohon Bunga Cilan yang lebat sekali, takkan terlihat dari luar. Aku sendiri akan segera ke Kota Raja dan akan kuhajar An Lu Shan dan kaki tangannya. Selamat berpisah adikku!"

   Bukan main girangnya hati Menteri Lu Pin mendengar ini. Memang dia amat kecewa melihat kakaknya yang sakti ini di kala terjadi perang, tidak muncul sama sekali. Memang mereka sekeluarga adalah keturunan Patriot ternama, sudah selayaknya kalau kakaknya pun bersikap sebagai seorang Pahlawan Bangsa.

   "Terima kasih, Sin-ko. Semoga perjuanganmu berhasil,"

   Jawabnya. Dua orang kakak beradik ini kembali berpelukan, disaksikan oleh tiga orang Panglima yang memandang dengan penuh penghormatan dan kekaguman. Mereka menjadi saksi dari pertemuan dua orang kakak beradik yang berjiwa gagah, namun yang keadaannya amat berlainan, seorang Kakek Pengemis dan seorang Menteri setia, namun keduanya gagah perkasa dalam bidang masing-masing. Mereka lalu berpisah dan tiga orang Panglima itu melanjutkan kawalan mereka terhadap Menteri Lu Pin, menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Ang-Bin Sin-Kai.

   Benar saja seperti petunjuk dari Ang-Bin Sin-Kai, mereka mendapatkan gua besar itu yang amat lebar dan di situ penuh dengan tulang-tulang besar putih dan kuat. Selain ini juga di sebelah ruangan kecil di dalam gua itu mereka mendaparkan sebuah hiolouw (tempat hio atau tempat abu hio) yang amat besar dan kuno. Hiolouw ini biasanya dipergunakan oleh Ang-Bin Sin-Kai untuk membakar dupa dan akar-akar untuk mengusir hawa busuk dari dalam gua. Melihat tulang-tulang berserakan itu, Menteri Lu Pin tertarik sekali hatinya. Dia adalah seorang ahli ukir yang kenamaan dan pandai, melihat tulang-tulang ini dia merasa tertarik dan gembira. Tulang-tulang itu merupakan bahan untuk diukir yang baik sekali. Setelah membereskan dan membersihkan tempat itu, Menteri Lu Pin lalu menyuruh tiga orang Panglima pengawalnya untuk mulai menghubungi para Pejuang Rakyat.

   Mereka ditugaskan untuk memperkuat Pasukan-Pasukan Rakyat yang melakukan perlawanan terhadap Pemberontak An Lu Shan. Mereka disuruh membawa sebagian daripada harta istana itu untuk membiayai dan membantu pergerakan Rakyat dan sewaktu-waktu datang ke gua itu memberi laporan. Adapun Menteri Lu Pin yang hidup seorang diri di dalam gua, mendapatkan makanan dari buah-buahan yang tumbuh di sekitar tempat itu, dan di dalam waktu senggang, dia mulai membuat ukir-ukiran pada tulang-tulang besar tadi. Menteri Lu Pin tinggal sampai bertahun-tahun di situ dan dia telah menciptakan ukir-ukiran berupa tengkorak-tengkorak manusia yang luar biasa besarnya, semuanya dibuatnya daripada tulang-tulang itu sehingga tengkorak-tengkorak atau rangka-rangka manusia Raksasa itu seperti tulen, terbuat daripada tulang-tulang!

   Ia mengatur dan menyambung-nyambung tulang-tulang ini, didirikan di sepanjang terowongan gua, berjajar seperti barisan Raksasa yang menjaga gua, namun Raksasa yang sudah menjadi rangka yang amat menyeramkan! Memang, Menteri Lu Pin membuat ini bukan saja untuk menimbulkan daya khayalnya menjadi kenyataan, akan tetapi juga dengan maksud agar para penjahat yang iseng-iseng dan kebetulan masuk ke situ, akan menjadi ketakutan dan mundur kembali setelah melihat rangka-rangka Raksasa yang benar-benar menyeramkan sekali itu. Adapun Ang-Bin Sin-Kai setelah berpisah dari Menteri Lu Pin, segera menuju ke Kota Raja dengan hati panas sekali. Dari orang-orang kang-ouw dia sudah mendengar bahwa tidak saja An Lu Shan memiliki barisan yang berjumlah besar dan terlatih baik sekali serta memiliki ilmu perang yang luar biasa, juga Pemberontak ini dibantu oleh orang-orang pandai.

   Ia sudah mendengar siapa-siapa yang membantu para Pemberontak itu, yaitu yang sudah dia kenal adalah Hek-I Hui-Mo Thian Seng Hwesio, pendekar gundul yang berjubah dan berkulit hitam dari Tibet yang lihai itu. Ke dua, Pek-Eng Sianjin Ketua dari Kun-Lun Ngo-Eng yang pernah dia hajar di puncak Kun-Lun-San. Ketiga, Toat-Beng Hui-Houw Siluman tua berkuku panjang yang lihai, yang pernah pula dia hajar ketika dia berada di dapur istana Kaisar. Dan yang membuat hati Ang-Bin Sin-Kai merasa sakit dan penasaran adalah ketika dia mendengar bahwa di samping tokoh-tokoh itu dan lain-lain ahli silat ternama, juga Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu terpikat oleh bujukan An Lu Shan dan membantu Pemberontak itu menggulingkan kedudukan Kaisar Hian Tiong! Tadinya sebelum dia bertemu dengan Menteri Lu Pin, mendengar semua berita ini dia hanya tersenyum.

   "Tua bangka-tua bangka itu sudah gila rupanya sudi mengikat diri dengan urusan perang, urusan yang paling busuk di antara semua urusan keduniaan,"

   Pikirnya. Akan tetapi kini setelah dia bertemu dengan adiknya itu, pandangannya berubah. Ia menjadi marah sekali ketika matanya terbuka betapa orang-orang itu, terutama sekali Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu, seakan-akan membantu Pemberontak untuk menindas Rakyat jelata. Apalagi ketika dia mendengar di sepanjang jalan, betapa kejam perlakuan para anggauta Pemberontak terhadap Rakyat, hatinya menjadi makin panas. Kemarahan hati Kakek sakti ini memuncak ketika tiba di Kota Raja, dia mendengar berita bahwa sebelumnya, semenjak Kota Raja diduduki oleh An Lu Shan, berturut-turut datang beberapa tokoh kang-ouw untuk menyerang An Lu Shan.

   Ia mendengar bahwa Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai sudah datang menyerbu istana, Akan tetapi Kakek sakti dari Utara ini terpaksa melarikan diri karena tidak kuat menghadapi keroyokan Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu yang di bantu oleh Hek-I Hui-Mo dan tokoh-tokoh lain! Juga Kiu-Bwe Coa-Li wanita sakti yang ganas itu sudah datang dengan maksud memberi hajaran kepada mereka, namun wanita sakti ini bahkan terluka dan terpaksa mundur pula. Kalau dua orang sakti ini hanya terluka dan dapat melarikan diri, adalah beberapa orang tokoh kang-ouw lainnya tewas dalam usaha mereka membalaskan sakit hati Rakyat ini. Yang tewas adalah Pouw Hong Taisu Ketua Thian-San-Pai bersama beberapa orang muridnya, tiga tokoh Kun-Lun-Pai yakni Seng Te Taisu, Seng Jin Taisu dan Seng Giok Siansu, dan masih banyak pula tokoh-tokoh besar yang telah mengorbankan nyawa dalam perjuangan itu.

   "Terkutuk!"

   Ang-Bin Sin-Kai mengerutkan keningnya.

   "Biadab benar An Lu Shan dan kaki tangannya!"

   Dengan amarah meluap-luap, begitu tiba di Kota Raja, Ang-Bin Sin-Kai langsung menyerbu ke istana dan di dalam istana, setelah merobohkan para penjaga yang hendak mencegah masuk, dia berseru keras sekali,

   "Anjing Pemberontak An Lu Shan, keluarlah untuk terima binasa!"

   Tentu saja keadaan menjadi gempar sekali di halaman istana itu. Para penjaga dan pengawal menyerbu dari luar dan dalam istana, dan sebentar saja Ang-Bin Sin-Kai dikeroyok sedikitnya seratus orang penjaga!

   Namun pada saat itu, Ang-Bin Sin-Kai sedang marah luar biasa, maka para penjaga ini seakan-akan nyamuk-nyamuk yang melawan api pelita. Siapa saja yang menyerbu dekat, tentu roboh tak bernyawa pula oleh pukulan, tamparan atau tendangan kaki Ang-Bin Sin-Kai. Dalam kemarahannya, setiap gerakan kaki tangan Kakek ini merupakan tangan maut yang menjangkau nyawa lawan. Suara hiruk-pikuk, suara senjata terlempar dan orang memekik, memenuhi halaman istana itu, gaduh bukan main. Mayat-mayat para penjaga sudah malang melintang dan bertumpuk-tumpuk memenuhi tempat itu, karena dalam waktu cepat sekali Ang-Bin Sin-Kai sudah menewaskan sedikitnya tiga puluh orang penjaga! Sambil mengamuk, Ang-Bin Sin-Kai tetap berseru-seru keras,

   "Pengecut An Lu Shan, anjing Pemberontak tak kenal budi, keluarlah untuk terima hukuman!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan keras sekali kepada para penjaga.

   "Mundur semua!"

   Mendengar bentakan ini, para penjaga lalu mengundurkan diri dan menarik mayat-mayat kawan yang bergeletakan di situ. Ang-Bin Sin-Kai memandang dengan mata merah dan dia melihat Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu muncul dari pintu samping istana, diikuti oleh Hek-I Hui-Mo, Toat-Beng Hui-Houw, Pek-Eng Sianjin dan banyak orang kang-ouw ternama lagi. Jeng-Kin-Jiu yang bertubuh bundar gendut tertawa bergelak lalu berkata,

   "Ha, ha, ha, kukira siapa, tidak tahunya sahabat baikku setan tua dari Timur yang datang main-main di sini dengan para penjaga! Ah, Ang-Bin Sin-Kai, sahabat baik, apakah kau terlalu banyak minum arak sehingga jadi mabuk dan membunuh orang banyak seperti membunuh semut saja?"

   Hubungan antara dua orang tokoh besar ini biasanya erat dan mereka sudah biasa bicara main-main tanpa banyak peraturan. Biasanya Ang-Bin Sin-Kai menghadapi kelakar si gendut itu dengan gembira. Akan tetapi kali ini dengan mata terbelalak penuh kebencian dia membentak,

   "Jeng-Kin-Jiu, kau tahu bahwa aku Ang-Bin Sin-Kai tidak sudi mempunyai sahabat anjing-anjing penjilat! Aku tidak mempunyai sahabat anjing penjilat Pemberontak seperti An Lu Shan seperti engkau!"

   Kembali Jeng-Kin-Jiu tertawa bergelak. Sudah biasa dia menerima makian-makian dari Ang-Bin Sin-Kai, maka kata-kata yang pedas itu tidak membuat dia marah. Akan tetapi Hek-I Hui-Mo yang memang mempunyai rasa benci terhadap Ang-Bin Sin-Kai, menjadi marah sekali.

   "Pengemis busuk, kau mempunyai kepandaian apakah berani bersikap sombong di hadapanku?"

   Setelah berkata demikian dia melangkah maju dan mengayun lengan kanan memukul ke arah kepala Ang-Bin Sin-Kai. Pukulan ini kelihatannya seperti pukulan orang biasa saja, akan tetapi sebetulnya pukulan ini mengandung tenaga Lweekang yang akan dapat menghancurkan batu karang, apalagi kepala manusia! Melihat ini, Ang-Bin Sin-Kai mengerahkan tenaga dan menggunakan lengannya menyampok pukulan itu sambil berseru,

   "Aku tidak ada urusan dengan kau!"

   Dua batang lengan tangan yang sama kuatnya bertemu, mengeluarkan suara "Duk!"

   Dan keduanya terhuyung mundur empat langkah! Ternyata bahwa keduanya mempunyai tenaga berimbang.

   "Nanti dulu, Hek-I Bengyu,"

   Kata Jeng-Kin-Jiu mencegah Hek-I Hui-Mo menyerang terus.

   "Biar kita dengar dulu maksud kedatangan Ang-Bin Sin-Kai."

   Kemudian setelah Hwesio hitam yang bertubuh bulat seperti dia sendiri itu mundur dengan marah Jeng-Kin-Jiu lalu menghadapi Ang-Bin Sin-Kai dan berkata dengan suara sungguh-sungguh,

   "Sahabatku yang baik, agaknya kau telah mabuk arak murah sehingga dalam mabukmu kau marah-marah. Jangan kau membolak-balikkan kenyataan, Sahabat. An Lu Shan bukanlah pengkhianat, demikianpun kami bukan penjilat-penjilat. Kau sudah tahu bahwa Kaisar Hian Tiong adalah seorang Kaisar lalim yang tidak mempedulikan kesengsaraan Rakyat yang hidup untuk kesenangan diri sendiri. Perjuangannya suci dan kami tentu saja membantunya. Apakah kau hendak membela Kaisar lalim itu demi mengingat adik kandungmu yang menjadi Menteri?"

   "Jangan mengeluarkan omongan berbau busuk!"

   Ang-Bin Sin-Kai membanting-banting kaki.

   "Matamu sudah buta atau telingamu sudah tuli, siapa orangnya tidak mendengar tentang kebusukan An Lu Shan dan anak buahnya?"

   Jeng-Kin-Jiu menjadi habis sabar dan mulai kurang senyumnya.

   "Ang-Bin Sin-Kai, habis apa yang kau kehendaki?"

   Tantangnya.

   "Pertama-tama, keluarkan cucuku Lu Thong agar dia jangan terseret ke dalam jurang kehinaan dan mencemarkan nama keluargaku. Ke dua, suruh An Lu Shan keluar untuk menerima hukuman di tanganku!"

   Terdengar seruan-seruan marah di antara kawan-kawan Jeng-Kin-Jiu, akan tetapi si gendut ini memberi isyarat dengan tangan menyabarkan kawan-kawannya. Kemudian dia tertawa bergelak menghadapi Ang-Bin Sin-Kai yang sudah marah sekali.

   "Ang-Bin Sin-Kai, kalau kita bicara tentang buta dan tuli, kau lah orangnya. An Lu Shan adalah seorang Pahlawan gagah perkasa yang dapat menghargai orang-orang gagah. Kau lihat saja betapa adikmu Lu Pin itu telah mengkhianati rencana baik, telah mengkhianati banyak Menteri sehingga mereka dihukum sekeluarga mereka olah Kaisar Hian Tiong yang lalim! Sudah sepatutnya kalau Lu Pin sekeluarganya dihukum mampus. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh An-Ciangkun terhadap muridku Lu Thong? Biarpun dia adalah cucu dalam dari Lu Pin, namun melihat kegagahannya, terutama memandang mukaku, muridku itu tidak saja diampuni, bahkan dianugerahi pangkat dan kedudukan! Berkat kebijaksanaan An-Ciangkun, cucumu Lu Thong itu telah menjadi seorang yang dimuliakan dan sekarang kau datang untuk menghina An-Ciangkun? Sungguh buta dan tuli, dimana keadilan dan kebijaksanaanmu?"

   Mendengar berita ini, bukan luluh kemarahan Ang-Bin Sin-Kai, bahkan bagaikan api yang disiram minyak, berkobar makin hebat. Dua kali dia membanting kakinya dan tanah di sekitarnya sejauh lima kaki tergetar oleh tenaga bantingan kaki ini!

   "Bangsat kau, Kak Thong Taisu! Kau telah menyeretnya menjadi anjing penjilat Pemberontak An Lu Shan pula? Kalau begitu, sebelum menghancurkan An Lu Shan, kepalamu harus kupecahkan lebih dulu!"

   Setelah berkata demikian, dia menubruk maju dan melakukan serangan hebat.

   "Sombong dan gila!"

   Seru Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu sambil menangkis. Segera dua orang Kakek yang sudah pernah bertempur mati-matian dengan keadaan seimbang itu kini mulai bertempur lagi mati-matian.

   Bukan main hebatnya pertempuran ini yang biarpun dilakukan dengan tangan kosong, namun sekali saja pukulan mengenai tubuh lawan, berarti merenggut nyawanya. Hek-I Hui-Mo tidak mau tinggal diam. Ia menggerakkan sepasang senjatanya, yakni tasbih di tangan kiri dan Liong-touw-tung di tangan kanan, menyerang Ang-Bin Sin-Kai dengan gemas. Kepandaian Hek-I Hui-Mo semenjak dia berhasil mendapatkan kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng palsu, telah meningkat hebat sekali. Maka serangan-serangannya juga membuat Ang-Bin Sin-Kai terkejut karena serangan ini benar-benar jauh lebih berbahaya daripada gerakan-gerakan Hwesio ini pada waktu dahulu, bahkan masih lebih lihai daripada serangan yang dilancarkan Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu!

   Akan tetapi, dia bukanlah tokoh besar dari Timur kalau gentar menghadapi keroyokan dua orang ahli silat yang kepandaiannya berimbang dengan tingkat kepandaiannya sendiri itu. Dengan gerakan cepat amat lincah, mengandalkan ginkangnya yang tinggi, dia menghindarkan diri dari serangan-serangan itu dan masih sempat membalas tak kalah hebatnya. Pek-Eng Sianjin, Ketua dari Kun-Lun Ngo-Eng, sebagaimana diketahui telah mendendam sakit hati kepada Ang-Bin Sin-Kai, karena empat orang saudara seperguruannya tewas dalam pertempuran ketika Ang-Bin Sin-Kai menyerang ke sarangnya. Kini melihat Ang-Bin Sin-Kai telah di keroyok oleh dua orang tokoh besar itu, dia merasa mendapat kesempatan untuk membalas dendam. Sambil berseru keras, dia lalu melompat maju menggerakkan Pedangnya dan menyerang dengan hebat. Namun, Pek-Eng Sianjin ternyata tidak bijaksana dengan perbuatannya ini.

   Ia tidak mengukur kepandaian sendiri yang masih kalah jauh. Baru saja dia maju, tiba-tiba dia berteriak keras dan tubuhnya terlempar dua tombak lebih, Pedangnya terlepas dan jatuh tak jauh dari tubuhnya. Ternyata bahwa hawa pukulan Ang-Bin Sin-Kai saja sudah cukup untuk membuat dia terpental, seakan-akan seekor nyamuk mendekati kitiran angin. Baiknya dia tidak terkena tangan Ang-Bin Sin-Kai, hanya keserempet hawa pukulan saja, karena kalau sampai terjadi demikian, kiranya nyawanya akan menyusul nyawa empat orang adik seperguruannya yang tewas terlebih dulu! Berbeda dengan Pek-Eng Sianjin, Toat-Beng Hui-Houw yang kepandaiannya juga sudah amat tinggi, berani menyerbu dan dengan masuknya Kakek seperti iblis yang berkuku panjang ini, tentu saja keadaan Ang-Bin Sin-Kai menjadi amat terdesak.

   Di antara tiga orang pengeroyoknya, hanya Toat-Beng Hui-Houw saja yang kepandaiannya masih agak rendah apabila di bandingkan dengan kepandaian sendiri. Akan tetapi Jeng-Kin-Jiu dan Hek-I Hui-Mo benar-benar hebat. Apalagi Hek-I Hui-Mo, serangan-serangannya benar-benar amat luar biasa. Menghadapi seorang di antara dua tokoh ini saja, belum dapat di pastikan bahwa Ang-Bin Sin-Kai akan menang. Apalagi sekarang dikeroyok tiga! Namun Ang-Bin Sin-Kai dalam pertempuran ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga. Segala pengalamannya yang berpuluh tahun itu dia keluarkan dan pergunakan dalam pertempuran ini, maka dia masih dapat mempertahankan diri sampai seratus jurus! Hal ini benar-benar membuat ketiga orang pengeroyoknya terheran-heran dan kagum bukan main, namun mereka mendesak makin hebat dan akhirnya robohlah Ang-Bin Sin-Kai!

   Kepalanya terpukul oleh tasbih dari tangan kiri Hek-I Hui-Mo, dadanya terkena hawa pukulan Jeng-Kin-Jiu, sedangkan kuku panjang Toat-Beng Hui-Houw yang beracun melukai lambungnya. Ang-Bin Sin-Kai terhuyung-huyung lalu jatuh terkulai. Kalau orang lain yang terkena pukulan-pukulan itu, biarpun hanya terkena satu di antaranya, tentu sudah roboh tak bernyawa lagi. Pukulan tasbih di kepala itu dapat memecahkan batok kepala, pukulan Jeng-Kin-Jiu ke dada itu, biarpun hanya hawanya saja, dapat melukai isi dada, apalagi kuku panjang dari Toat-Beng Hui-Houw itu mengandung racun ular yang berbahaya sekali. Ang-Bin Sin-Kai biarpun tidak tewas di saat itu juga, dia maklum bahwa luka-lukanya tak dapat diobati lagi. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan tertawa geli sambil berkata,

   
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Syukurlah aku mati di tangan kalian, bukan di tangan para anjing Pemberontak! Namun aku mati sebagai putera Bangsa, Ang-Bin Sin-Kai biarpun mungkin takkan diingat orang lagi, namanya tidak busuk dan rusak. Akan tetapi kalian... ha, ha, ha, kalian akan mati sebagai anjing-anjing perusak dan nama kalian akan membusuk sampai ratusan tahun! Jeng-Kin-Jiu, kau menjadi pucat... dan ngeri? Ha, ha, ha, tunggu saja kalau Kwan Cu pulang, kau... kalian ini... akan merasai pembalasannya..."

   Bicara sampai disini, putuslah napas Ang-Bin Sin-Kai dan lenyaplah sifat-sifat kegagahannya, karena setelah mati, dia tidak berbeda dengan orang lain, yakni sebuah mayat yang dingin dan tidak berdaya. Setelah melihat Pengemis tua ini mati, Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu teringat akan hubungan mereka yang dahulu, maka dia menjadi tidak tega hati. Ia menyuruh orang-orangnya untuk merawat dan mengubur jenazah Kakek sakti itu baik-baik.

   Demikianlah, jatuhnya pemerintahan Kaisar Hian Tiong membawa korban banyak sekali, tidak hanya para pembesar dan Rakyat jelata, bahkan banyak pula tokoh-tokoh kang-ouw binasa. Penuturan Jeng-Kin-Jiu kepada Ang-Bin Sin-Kai tentang diri Lu Thong memang betul. An Lu Shan adalah seorang cerdik sekali. Ia tahu bahwa Jeng-Kin-Jiu amat lihai, demikian pula muridnya, yakni pemuda Lu Thong yang sebetulnya adalah cucu dari Menteri Lu Pin sendiri. Setelah bertemu dengan pemuda ini, An Lu Shan dapat melihat sifat-sifat Lu Thong yang suka akan kemewahan dan sombong sekali, maka dia lalu mengampuni pemuda ini dan bahkan mengangkatnya sebagai seorang pangeran dan diberi kedudukan tinggi sebagai kepala daerah di kota Ciang-bun.

   Adapun Jeng-Kin-Jiu, Hek-I Hui-Mo dan lain-lain tokoh besar, diberi kedudukan sebagai Guru-guru dan penasihat-penasihat di istana. Hal ini pun merupakan kecerdikan dari An Lu Shan yang ingin tinggal dekat dengan orang-orang sakti ini sehingga dia selalu terlindung oleh mereka. Tokoh-tokoh ini tidak sadar bahwa sebenarnya mereka diperalat dan dijadikan pengawal-pengawal pribadi tanpa mereka ketahui! Biarpun An Lu Shan telah berhasil merebut kedudukan Kaisar Hian Tiong, namun ternyata bahwa Rakyat di mana-mana tidak mau terima begitu saja. Pemberontakan terjadi di mana-mana di kalangan Rakyat jelata. Di sana-sini Rakyat melakukan perlawanan terhadap barisan An Lu Shan sehingga An Lu Shan boleh di bilang tak dapat tidur nyenyak!

   Ia sudah melakukan usaha-usaha untuk menumpas perlawanan Rakyat ini, akan tetapi bagaimana dia dapat memadamkan gelora dalam hati Rakyat yang tidak sudi melihat dia menduduki singgasana Kaisar? Tadinya Jeng-kin-ji, Hek-I Hui-Mo dan lain-lain tokoh besar membantu usaha ini menumpas perlawanan Rakyat di beberapa tempat. Akan tetapi setelah beberapa tahun perlawanan Rakyat bukannya mereda bahkan makin menghebat, diam-diam Jeng-Kin-Jiu dan yang lain-lain sadar dan terkejut. Barulah mereka tahu bahwa sebenarnya Rakyat tidak suka kepada Pemberontakan An Lu Shan! Apalagi ketika kaum persilatan juga membantu perlawanan dan perjuangan Rakyat ini, diam-diam Jeng-Kin-Jiu menjadi gentar. Ia lalu berunding dengan Hek-I Hui-Mo dan yang lain-lain dan berkata,

   "Kalau begini, kita telah menempatkan diri ke dalam kedudukan amat berbahaya. Sebelum menghebat keadaan ini, lebih baik kalau kita mengundurkan diri dan mencuci tangan daripada kekeruhan ini."

   Memang mereka merasa ngeri kalau teringat akan ucapan Ang-Bin Sin-Kai bahwa kelak mereka akan mati sebagai pengkhianat-pengkhianat Bangsa dengan nama busuk ratusan tahun lamanya! Setelah mengadakan permufakatan, mereka lalu menghadap An Lu Shan dan menyatakan bahwa kini setelah kerajaan digulingkan, mereka hendak kembali ke tempat pertapaan masing-masing.

   Tentu saja An Lu Shan menjadi amat kecewa, akan tetapi dia pun tidak berani menahan tokoh-tokoh besar ini, bahkan untuk memikat hati mereka, dia lalu memberi bekal berupa harta benda yang amat besar jumlahnya dan dengan demikian dia dapat menarik janji mereka bahwa sewaktu-waktu apabila ada kesulitan menimpa kerajaan, orang-orang pandai ini bersedia untuk membantunya. Sepeninggal orang-orang sakti ini, An Lu Shan lalu memberi perintah kepada anak buahnya untuk melakukan kekerasan berlipat ganda kepada Pemberontak. Mereka yang tertangkap, lalu disiksa di tempat umum agar Rakyat dapat melihatnya. Keganasan dan kekejaman terjadi di mana-mana dan biarpun Rakyat menjadi takut sekali, namun hal ini menumbuhkan kebencian yang amat mendalam terhadap An Lu Shan.

   Pada suatu hari, di kota Thian-Cin, pagi-pagi sekali keadaan di tanah lapang telah ramai sekali. Tanah lapang ini menjadi markas Pasukan An Lu Shan yang melakukan "operasi"

   Dan berpindah-pindah. Di kota mana saja mereka tiba, mereka mendirikan tenda dan mulai menangkap-nangkapi orang-orang yang mereka cap sebagai Pemberontak untuk menerima hukuman yang mengerikan di tempat terbuka. Dalam hal ini, tentu terjadi hal-hal yang amat kotor, para petugas ini mendatangi orang-orang biasa, mengancam akan menangkapnya sebagai Pemberontak. Apabila yang diancam ini mempunyai harta, tentu dia tidak segan-segan untuk mengeluarkan emas dan perak untuk menyogok agar dirinya selamat. Ada pula yang sengaja menangkap keluarga di mana terdapat gadisnya yang cantik sehingga dengan jalan mengancam, keluarga itu terpaksa menyerahkan gadis itu kepada pembesar setempat supaya keluarga itu bebas daripada siksa dan kebinasaan!

   Masih banyak lagi hal-hal kotor terjadi dan dilakukan oleh orang yang bermoral rendah, baik oleh anak buah An Lu Shan maupun oleh pembesar-pembesar setempat yang telah mempunyai hubungan baik dengan kepala-kepala Pasukan yang beroperasi itu. Penduduk Thian-Cin dipaksa meninggalkan rumah untuk menonton hukuman yang akan dijalankan di tempat terbuka, di lapangan rumput dekat markas Pasukan itu. Hal itu di sebut sebagai hari istimewa karena menurut pengumuman kepala Pasukan, yang akan menjalani hukuman adalah Pemimpin-Pemimpin gerombolan yang tertawan, yang jumlahnya ada sepuluh orang. Penduduk berbondong datang ke tempat itu, bukan karena memang suka melihat orang tersiksa, melainkan dipaksa oleh anggauta-anggauta Pasukan supaya datang menonton, dan juga karena ingin tahu siapakah gerangan sepuluh orang yang dianggap sebagai Pemimpin-Pemimpin Pejuang Rakyat itu.

   Di tengah-tengah lapangan itu, sepuluh orang laki-laki diikat kepada tiang-tiang dan mereka ini benar-benar tidak patut di sebut Pemimpin-Pemimpin Pejuang karena pakaian mereka seperti orang-orang Sastrawan, dan mereka kelihatan lemah. Wajah mereka pucat-pucat dan mereka tergantung kepada tiang dengan kepala menunduk. Di belakang tiang itu, berjajar barisan yang berpakaian seragam bersikap garang, sedangkan para penonton berdiri berjejal di tempat yang agak jauh, menghadapi sepuluh orang itu. Kemudian datanglah sepuluh orang prajurit yang membawa cambuk panjang. Mereka ini rata-rata bertubuh tinggi besar dan nampak kuat sekali. Sambil memutar-mutar cambuk mereka menyeringai dan masing-masing menghampiri korbannya, siap menanti komando dari Pemimpin mereka. Seorang Perwira Pasukan maju ke depan, menghadapi para penonton dan berkata keras-keras.

   "Lihatlah, begini nasib para pengacau! Pukul mereka ini masing-masing lima puluh kali!"

   Teriaknya dan mulailah menghitung.

   "Satu...!"

   Sepuluh orang algojo itu mengayun cambuk.

   "Tar...!"

   Hampir berbareng sepuluh batang cambuk itu jatuh di tubuh sepuluh orang tawanan. Jerit mengerikan terdengar dan baju mereka robek-robek. Darah mengalir dari kulit di mana cambuk itu menyabet. Wajah para penonton menegang. Mana mungkin sepuluh orang ini di sebut Pemimpin-Pemimpin gerombolan? Mereka begitu lemah. Sebenarnya, mereka ini Sastrawan-Sastrawan yang memiliki hati anti kepada An Lu Shan. Perasaan mereka itu terdengar oleh mata-mata dan mereka ditangkap. Juga ada sebagian di antara mereka yang tidak punya uang untuk memberi sogokan sehingga mereka menjadi korban fitnah belaka.

   

Pendekar Kelana Eps 1 Pendekar Kelana Eps 15 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 12

Cari Blog Ini