Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Mata Keranjang 12


Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Dan kini, beberapa bulan kemudian, puteri mereka itu pulang, bukan bersama Tan Hok Seng, melainkan bersama Pek Han Siong murid mereka yang pertama dan ditemani pula oleh Pek Hong, ketua Pek-sim-pang atau ayah Pek Han Siong, dan Pek Ki Bu, kakek dari Pek Han Siong. Tentu saja, suami isteri penghuni Lembah Ayam Emas itu menjadi girang dan juga heran melihat puterinya pulang bersama murid pertama mereka, ditemani ayah dan kakek murid itu. Mereka menyambut dengan gembira dan setelah diperkenalkan kepada ayah dan kakek murid mereka, suami isteri itu mempersilakan mereka semua memasuki ruangan dalam dan mereka duduk dalam suasana akrab dan gembira. Toan Hui Cu yang diam-diam merasa girang sekali melihat betapa puterinya nampak demikian akrab dengan muridnya, dan ia dapat melihat kasih sayang dalam sinar mata mereka kalau saling pandang, segera berkata dengan lantang.

   "Aihhh, kepulanganmu sekali ini sungguh membuat kami menjadi bingung dan kaget, biarpun juga amat bergembira, Bi Lian. Sebelum engkau ceritakan hal-hal lain, jawab dulu pertanyaanku. Di mana suhengmu Tan Hok Seng?"

   Gadis itu memandang kepada ibunya, menoleh kepada Han Siong yang juga suhengnya, memandang lagi kepada ibunya dan ayahnya, dan tersenyum. Gadis ini memang manis sekali. Tubuhnya ramping dan padat, rambutnya panjang hitam dan saat itu rambutnya dikucir panjang sampai ke pinggul. Matanya tajam, hidungnya mancung kecil dan mulutnya merah basah. Bentuk wajahnya bulat telur dan semua kecantikan itu bertambah manis dengan adanya tahi lalat di dagunya. Gadis ini bukan saja mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya, akan tetapi ketika remaja, ia pernah menjadi murid mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-heh-kwi, dua di antara Empat Setan, datuk-datuk yang amat lihai dari golongan sesat.

   "Ibu dan Ayah. Ketika kami berangkat, aku pun percaya sepenuhnya kepada orang yang mengaku bernama Tan Hok Seng dan berhasil menjadi suhengku, bahkan mempelajari ilmu-ilmu dari ayah dan ibu. Akan tetapi ternyata kita telah kebobolan Ibu!"

   "Kebobolan? Apa maksudmu?"

   Tanya ibunya dengan heran.

   "Dia tidak bernama Tan Hok Seng, melainkan Tang Gun dan dia adalah seorang jahat, perwira yang menyeleweng dan menjadi buruan pemerintah. Dia bahkan kemudian diketahui sebagai putera penjahat besar Ang-hong-cu!"

   "Ahhh...!"

   Suami isteri yang sakti itu terkejut bukan main mendengar keterangan puteri mereka itu. Mereka telah menerima seorang jahat menjadi murid!

   "Akan tetapi jangan khawatir, si jahat Tang Gun itu bersama ayahnya dan sekutunya telah dapat ditumpas dan dihancurkan. Tang Gun yang kita kenal sebagai Tan Hok Seng itu pun telah tewas. Aku bertemu dengan suheng Pek Han Siong dan para pendekar lainnya, bekerja sama dan menumpas para penjahat itu."

   Suami isteri itu mengangguk-angguk dan merasa lega. Biarpun mereka telah kebobolan dan mengambil murid seorang penjahat, akan tetapi penjahat itu telah tewas. Mereka memandang kepada murid mereka, Pek Han Siong dan Siangkoan Ci Kang bertanya.

   "Dan bagaimana pula sekarang Bi Lian dapat pulang bersama engkau, Han Siong? Dan ditemani pula oleh ayahmu dan kakekmu yang terhormat ini?"

   Pemuda itu mengangkat muka memandang kepada suhunya dengan warna muka berubah agak kemerahan. Pemuda ini memiliki kulit muka yang putih, maka kini nampak sekali perubahan warna itu. Alisnya yang tebal agak berkerut, matanya yang agak sipit itu ditundukkan. Dia seorang pemuda yang gagah perkasa yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan juga memiliki kekuatan sihir dan tak pernah merasa gentar menghadapi apa pun. Namun kini, menghadapi pertanyaan suhunya itu, dia merasa bingung dan malu. Dia memandang kepada ayahnya dan kakeknya, seperti minta bantuan dari mereka.

   "Suhu dan Subo, seperti diceritakan sumoi tadi, kami bertemu ketika bersama para pendekar kami, menghadapi Ang-hong-cu dan dua orang anaknya yang jahat. Kemudian... sumoi dan teecu (murid) pergi ke Kong-goan, menghadap ayah teecu dan... dan sekarang ayah dan kakek teecu ikut ke sini untuk menghadap Suhu dan Subo dan untuk... untuk bicara...

   "

   Han Siong tidak dapat melanjutkan, hanya memandang kepada ayahnya dan kakeknya dengan sikap tidak berdaya dan menyerah! Siangkoan Ci Kang dan isterinya tentu saja sudah dapat menduga apa maksud kunjungan keluarga murid mereka itu, dan melihat kecanggungan murid mereka, mereka hanya tersenyum saja. Melihat keadaan puteranya, Pek Kong ketua Pek-sim-pang lalu bangkit dan memberi hormat kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.

   "Sebelumnya harap ji-wi (anda berdua) suka memaafkan kami kalau kami dianggap lancang. Akan tetapi atas desakan putera kami dan juga nona Siangkoan Bi Lian, maka kami terpaksa memberanikan diri untuk datang menghadap ji-wi. Terus terang saja, kedatangan kami ini untuk memenuhi permintaan putera kami, yaitu untuk mengajukan pinangan atas diri nona Siangkoan Bi Lian."

   Mendengar ucapan yang penuh sopan santun itu, dan sikap Pek Kong yang nampak sungkan, suami isteri itu saling pandang lalu mereka berdua tertawa dengan gembira.

   "Ha-ha-ha, sungguh lucu dan aneh terdengarnya, Saudara Pek."

   Kata Siangkoan Ci Kang.

   "Sebelum Saudara datang hari ini, kami yang lebih dulu bertindak lancang. Ketahuilah bahwa telah lama sekali kami berdua menjodohkan murid kami dan puteri kami ini! Dan sekarang Saudara datang untuk mengajukan pinangan, tentu saja kami setuju sepenuhnya!"

   Mereka semua bergembira dan tidak seperti gadis-gadis lain, Bi Lian tidak menjadi malu-malu walaupun kedua pipinya berubah kemerahan. Ia tidak lari ke dalam dan ia bahkan melayani ketika orang tuanya menjamu tamu-tamu itu dengan hidangan yang dubuatnya sendiri bersama ibunya. Atas persetujuan kedua pihak, maka pernikahan antara Han Siong dan Bi Lian dilangsungkan dua bulan kemudian, di lembah itu. Perayaannya sederhana saja, dihadiri keluarga Pek yang terdiri dari belasan orang, dan tamu yang diundang hanyalah penduduk dusun-dusun di sekitar pegunungan Heng-tuan-san. Perayaan itu sungguh sederhana namun cukup meriah dan menggembirakan, dirayakan pada malam hari.

   Sebagai tuan rumah, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu menerima para tamu dengan gembira dan mempersilakan para tamu untuk mengambil tempat duduk. Ketika pesta dimulai dan para tamu memberi selamat kepada sepasang mempelai sehingga suasana menjadi meriah gembira, dan Siangkoan Ci Kang bersama isterinya yang mengira bahwa tentus sudah tidak ada tamu baru datang sudah duduk di dekat sepasang mempelai, muncullah dua orang berpakaian pertapa yang tentu saja membuat semua orang merasa heran. Juga Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu heran melihat datangnya dua orang tamu aneh itu, akan tetapi mereka cepat menuju ke depan untuk menyambut. Mereka adalah dua orang yang berjubah kuning, pakaian yang biasa dipakai para hwesio.

   Usia mereka enam puluh tahun lebih. Seorang di antara mereka bertubuh gendut dan kepalanya gundul, akan tetapi yang amat menyolok adalah warna kulitnya, yaitu hitam kehijauan! Bukan hanya warna kulit muka, melainkan juga kulit tangan dan leher, juga mungkin warna kulit seluruh tubuhnya. Matanya mencorong dan mulutnya selalu tersenyum sinis. Kakek ke dua juga berpakaian jubah kuning, akan tetapi kepalanya tidak gundul, melainkan berambut putih yang tipis dan rambut itu digelung ke atas seperti kebiasaan seorang pertapa atau tosu. Orang ke dua ini bertubuh tinggi kurus dan mukanya selalu muram dan mulutnya cemberut. Siangkoan Ci Kang dan isterinya menyambut dengan sikap hormat, mengangkat tangan di depan dada dan Siangkoan Ci Kang berkata dengan lembut.

   "Kami merasa terhormat sekali menerima kunjungan ji-wi Suhu (guru berdua). Dapatkah kami mengetahui nama yang mulia ji-wi?"

   Dua orang kakek itu tidak membalas penghormatan tuan dan nyonya rumah, suatu hal yang sungguh membuat mereka yang melihat menjadi penasaran. Biasanya, para pendeta amatlah sopan dan halus budi, akan tetapi kenapa dua orang ini demikian tidak sopan? Bahkan kini yang gendut perutnya itu menyeringai dan bertanya,

   "Apakah engkau yang bernama Siangkoan Ci Kang?"

   Suaranya terdengar parau dan besar, seperti gerengan binatang buas. Sementara itu, yang kurus tinggi hanya memandang saja dengan mulut cemberut. Melihat sikap dua orang tamu itu tentu saja Siangkoan Ci Kang dan terutama sekali Toan Hui Cu merasa tak senang. Akan tetapi, mengingat bahwa mereka adalah tuan rumah yang sedang merayakan pernikahan puteri mereka dan harus bersikap ramah terhadap semua tamu, Sioangkoan Ci Kang menahan perasaan hatinya dan dia pun mengangguk.

   "Benar sekali, Lo-suhu. Aku adalah Siangkoan Ci Kang,"

   Katanya dan dia melihat betapa kakek gundul itu memandang ke arah lengan kirinya yang buntung sebatas siku.

   "Omitobud...! Bagus kalau begitu, tidak sia-sia perjalanan kita jauh-jauh ke sini, Ban-tok (Selaksa Racun)!"

   Kata si gendut kepada kawannya yang nampak semakin murung.

   "Sudah kukatakan, kita tentu berhasil. Akan tetapi mereka sedang merayakan pernikahan, sebaiknya lain kali saja kita datang lagi."

   Kata si kurus tinggi.

   "Tidak enak mengganggu orang yang sedang berpesta, Hek-tok (Racun Hitam)!"

   Mendengar percakapan itu, Siangkoan Ci Kang segera berkata,

   "Marilah, jiwi Suhu, silakan masuk dan menjadi tamu kehormatan kami, menerima hidangan kami dan menambah doa restu untuk putri kami yang sedang melangsungkan pernikahannya."

   "Silakan, ji-wi Losuhu.

   "

   Kata pula Toan Hui Cu dengan ramah walaupun di dalam hatinya, nyonya ini merasa penasaran sekali dengan sikap dua orang kakek itu yang aneh dan tidak sopan. Kakek gendut itu tertawa.

   "Ha-ha-ha, tidak perlu kalian menjamu kami. Ketahuilah, Siangkoan Ci Kang, kedatanganku ke sini adalah untuk menangkapmu!"

   Tentu saja Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu terkejut mendengar ini, juga para tamu yang duduk dekat pintu mendengar ini dan mereka pun berbisik-bisik, sehingga bisikan itu akhirnya terdengar oleh sepasang mempelai. Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian terkejut sekali, dan biarpun tidak pantas bagi sepasang mempelai yang sedang duduk bersanding itu untuk bangkit sebelum waktunya, mereka tidak perduli dan keduanya sudah bangkit dan mendekat ke pintu. Demikian pula Pek Kong dan isterinya Siauw Bwee, Pek Ki Bu dan lima orang tokoh pimpinan Pek-sim-pang bangkit dan mendekat ke pintu. Mereka adalah keluarga pengantin pria, besan dari tuan rumah, maka tentu saja mereka harus ikut menjaga keamatan pesta pernikahan itu. Dengan sikap tenang, Siangkoan Ci Kang yang mendengar ucapan kakek gendut itu laru berkata,

   "Lo-cian-pwe siapakah dan mengapa pula Lo-cian-pwe datang hendak menangkap aku?"

   Biarpun kini di dekat pintu telah berkumpul banyak orang, di antaranya sepasang mempelai dan keluarga mempelai pria, kakek gendut itu tidak perduli dan dia pun bicara dengan lantang seperti seorang hakim yang mengadili seorang terdakwa.

   "Siangkoan Ci Kang, ingatkah engkau kepada Ceng Hok Hwesio, ketua cabang Siauw-lim-pai di luar kota Yu-shu, di tepi sungai Cin-sha tak begitu jauh dari sini?"

   Pendekar yang lengan kirinya buntung itu mengerutkan alisnya, menduga-duga siapa orang ini dan apa hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi dia menjawab dengan tegas.

   "Tentu saja aku masih ingat dengan baik kepada suhu Ceng Hok Hwesio."

   "Omitohud...! Bagus sekali kalau begitu. Tentu engkau mau pula mengakui bahwaa Ceng Hok Hwesio telah meninggal dunia karena engkau! Karena ulahmu, murid yang murtad!"

   Senyum itu menghilang dari wajah yang menghitam, dan mata itu mencorong. Siangkoan Ci Kang tidak merasa heran mendengar bahwa Ceng Hok Hwesio telah meninggal dunia karena memang hwesio itu sudah tua. Akan tetapi dia merasa terkejut dan penasaran mendengar tuduhan bahwa hwesio tua itu mati karena ulahnya.

   "Lo-cian-pwe, bicaralah yang jelas. Memang aku mengenal baik mendiang suhu Ceng Hok Hwesio, bahkan aku menjadi muridnya untuk mempelajari soal agama, akan tetapi aku tidak merasa telah menyebabkan kematiannya! Bahkan aku baru tahu sekarang bahwa dia telah merunggal dunia."

   "Heh-heh, kalau kami tahu sejak dahulu, jangan harap engkau akan dapat hidup sampai hari ini. Sayang kami tahu setelah terlambat. Kami datang ke kuil itu dan mendapatkan Ceng Hok Hwesio sudah tinggal tulang dan kulit, bahkan dia mati dalam pelukan kami. Dan dari para hwesio di sana, kami mendengar tentang kematiannya. Siangkoan Ci Kang, dahulu engkau sebagai seorang muda datang kepada Ceng Hok Hwesio bersama seorang wanita bernama Toan Hui Cu..."

   "Akulah Toan Hui Cu yang datang bersama dia ke kuil Siauw-lim-pai!"

   Tiba-tiba Toan Hui Cu berkata dengan nada ketus.

   "Aha, kiranya keduanya berada di sini dan menjadi suami isteri, ya? Omitohud, ini memudahkan pekerjaan pinceng (aku). Nah, bersiaplah kalian berdua untuk ikut dengan kami ke kuil Siauw-lim-pai itu, untuk menebus dosa dan menerima hukuman atas perbuatan kalian. Kalian telah mengotori kuil, kalian menodai kesucian kuil sehingga Ceng Hok Hwesio menghukum kalian. Akan tetapi hal itu membuat dia menyesali dirinya sendiri sehingga selama bertahun-tahun dia menyiksa diri, bertapa di dalam ruangan tertutup dan akhirnya berpuasa sampai mati. Kalian harus menebus dosa!"

   Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu termenung sejenak mendengar ucapan itu. Teringat mereka akan semua peristiwa yang terjadi dua puluh empat tahun yang lalu itu. Siangkoan Ci Kang merasa bahwa dia adalah keturunan seorang datuk sesat, yaitu Si Iblis Buta, sedangkan Toan Hui Cu lebih lagi, karena ayah ibunya adalah Raja dan Ratu Iblis. Keduanya saling jatuh cinta, kemudian karena ingin membersihkan diri, mereka bersepakat untuk menebus dosa-dosa orang tua mereka di dalam kuil Siauw-lim-pai yang dipimpin oleh Ceng Hok Hwesio. Mereka diterima sebagai murid untuk mempelajari agama dan bersamadhi menebus dosa. Akan tetapi, kecantikan Hui Cu agaknya membuat Ceng Hok Hwesio lupa diri. Nafsu telah mencengkeramnya, mendatangkan gairah dan dia mendekati Hui Cu. Akan tetapi, Hui Cu yang mencinta Siangkoan Ci Kang dan telah menyerahkan jiwa raganya, tentu saja menolak. Hal ini membuat Ceng Hok Hwesio menjadi marah dan dendam.

   Dia lalu menjatuhkan hukuman kepada kedua orang muda itu, dan mengharuskan mereka "bertapa"

   Di ruangan terpisah selama dua puluh tahun. Baru dengan cara demikian, kotoran dari dosa orang tua mereka akan dapat terhapus! Mereka berdua mentaati hukuman itu, biarpun secara diam-diam mereka pernah berhubungan sebagai suami isteri. Terlahirlah Siangkoan Bi Lian yang terpaksa mereka titipkan ke sebuah dusun, kepada seorang penduduk. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, tidak sukar bagi mereka untuk sewaktu-waktu menengok anak mereka. Akan tetapi kemudian Bi Lian diculik datuk jahat dan menjadi murid para datuk, dan baru setelah gadis itu dewasa maka dapat bertemu kembali dengan mereka, berkat bantuan Pek Han Siong, murid mereka. Dan kini, tiba-tiba saja muncul dua orang pendeta aneh ini yang menyalahkan mereka karena kematian Ceng Hok Hwesio yang sudah tua!

   "Lo-cian-pwe, kami tidak pernah melakukan pelanggaran dan selalu mentaati mendiang suhu Ceng Hok Hwesio. Kami tidak tahu-menahu tentang kematiannya, dan kalau dia mati tua dan mati karena bertapa, kenapa harus menyalahkan kami?"

   "Omitohud...! Kalau tidak karena ulah kalian, tidak mungkin beliau mati dalam keadaan tersiksa lahir batin seperti itu! Kalian harus dihukum!"

   "Penasaran...!"

   Tiba-tiba kakek Pek Ki Bu yang sejak tadi mendengarkan saja, berseru marah dan dia pun menghampiri dua orang pendeta itu. Si gendut memandang kepadanya dan mulutnya menyeringai sadis.

   "Hem, siapa pun juga tidak boleh mencampuri urusan kami! Orang luar yang lancang akan celaka."

   "Hemm, hwesio sombong, aku bukan orang luar! Bahkan aku heran sekali kalau engkau mengaku hendak mengurus tentang Ceng Hok Hwesio. Aku kenal baik Ceng Hok Hwesio karena dia adalah saudara seperguruanku, dia murid keponakan mendiang ayahku, Pek Khun! Siangkoan Ci Kang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, dan kalau Ceng Hok Hwesio mati tua dalam pertapaannya, kenapa harus menyalahkan dia?"

   "Akulah saksinya bahwa suhu Siangkoan Ci Kang tidak bersalah!"

   Tiba-tiba Pek Han Siong berseru dengan tenang dan juga menghadapi dua orang pendeta itu. Si gendut melemparkan senyumnya.

   "Dan siapa pula engkau! Bukankah engkau mempelai prianya?"

   Tanyanya sambil memandang pakaian Han Siong, pakaian pengantin.

   "Benar. Aku adalah Pek Han Siong, dan aku murid suhu Siangkoan Ci Kang dan subo Toan Hui Cu yang kini menjadi mertuaku. Aku juga bekas murid di kuil Siauw-lim-si yang dipimpin mendiang Ceng Hok Hwesio. Aku pernah berkunjung ke sana setelah suhu dan subo bebas dari hukuman di kuil itu, dan Ceng Hok Hwesio sendiri yang mengatakan bahwa dia telah merasa menyesal karena menghukum suhu dan subo tanpa salah! Kalau dia mati karena penyesalan, hal itu bukanlah kesalahan suhu dan subo!"

   Siangkoan Ci Kang melangkah maju dan menghadapi keluarga Pek dan mohon agar mereka mundur.

   "Biarlah kami yang akan menghadapi semua urusan ini,"

   Katanya. Lalu dia menghadapi dua orang pendeta itu dan berkata.

   "Ji-wi datang dengan tuduhan-tuduhan dan tuntutan, akan tetapi kami belum mengetahui siapakah ji-wi sebenarnya dan apa hubungan ji-wi dengan Ceng Hok Hwesio maka kini menuntut kami."

   "Sebut saja aku Hek-tok Sian-su (Dewa Racun Hitam) dan dia ini suhengku Ban-tok Sian-su (Dewa Racun Selaksa). Ketahuilah, Siangkoan Ci Kang bahwa dahulu kami pernah menjadi tokoh-tokoh sesat. Kami disadarkan oleh Cang Hok Hwesio, bahkan setelah diajar agama, beliau mengirim kami berdua ke India untuk memperdalam ilmu. Kami berhutang budi yang lebih besar daripada nyawa kepada Ceng Hok Hwesio. Sampai puluhan tahun kami memperdalam ilmu di dunia barat dan dengan penuh kerinduan akhirnya kami pulang ke kuil. Dan apa yang kami temukan? Ceng Hok Hwesio yang tinggal kulit dan tulang, napasnya tinggal satu-satu dan dia meninggal dalam rangkulan kami. Dan dari para hwesio kami mendengar tentang engkau dan isterimu. Nah, kami segera mencarimu dan akhirnya saat ini kita dapat berhadapan."

   Siangkoan Bi Lian sejak tadi hanya mendengarkan saja,akan tetapi kini ia tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Ia meloncat ke depan, lengkap dengan pakaian pengantin dan tangan kirinya bergerak, telunjuknya menunjuk ke arah hidung pendeta gendut itu.

   "Kalian pendeta-pendeta sesat! Selama ini, kalau kalian memperdalam ilmu tentang agama, tentu kalian menjadi manusia-manusia yang arif bijaksana dan budiman. Akan tetapi kalian pulang sebagai iblis-iblis penuh dendam, bahkan julukan kalian juga Racun! Jelas, yang kalian pelajari dan perdalam selama ini hanyalah ilmu iblis!"

   Bentakan Bi Lian ini memang tepat sekali dengan suara hati mereka yang hadir, yang juga menduga demikian setelah mendengar cerita pendeta gendut, dan agaknya Siangkoan Bi Lian sudah akan menerjang maju menyerang dua orang pendeta, siap dibantu oleh Han Siong. Akan tetapi melihat ini, Siangkoan Ci Kang cepat melompat ke depan dan mencegah sepasang mempelai itu turun tangan.

   "Kalian mundurlah. Tidak baik bagi kalian yang sedang melangsungkan pernikahan untuk berkelahi. Urusan ini merupakan pribadi, biar kami berdua saja yang menghadapinya,"

   Katanya.

   "Benar, orang lain harap jangan mencampuri. Kami berdua masih sanggup menghadapi dua orang iblis berjubah pendeta ini!"

   Kata pula Toan Hui Cu dan dari ucapannya itu saja jelaslah bahwa nyonya ini juga sudah marah bukan main.Hanya Ci Kang yang tetap tenang. Kini dia menghadapi si gendut, lalu bertanya.

   "Ji-wi Lo-cianpwe, kami suami isteri tidak merasa bersalah, olen karena itu, kami pun menolak untuk menjadi tangkapan ji-wi dan tidak mau mengikuti ji-wi pergi. Nah, itulah keputusan kami dan terserah kepada ji-wi."

   Si gendut itu tertawa dan menoleh kepada si kurus.

   "Heh-heh-heh, Ban-tok, sudah kita duga bahwa mereka akan berani membantah dan melawan kita!"

   Si kurus nampak makin muram dan dia menarik napas panjang beberapa kali sebelum menjawab,

   "Aihh, Hek-tok, sudahlah jangan ganggu mereka. Mereka sedang merayakan pernikahan anak mereka, kenapa diganggu? Sebaiknya kita pulang saja dan kita mengadakan sembahyangan besar untuk suhu Ceng Hok Hwesio."

   Agaknya pendeta kurus yang kepalanya berambut tipis itu berbeda pendapat dengan kakek gundul yang menjadi sutenya. Dia nampak malas dan tidak bergairah.

   "Heiii, Suheng Ban-tok! Apakah engkau takut melawan bocah berlengan buntung sebelah ini?"

   Mendengar ucapan itu, si tinggi kurus yang tadinya bermalas-malasan dan seperti orang mengantuk, seketika terbangun semangatnya dan dia memandang marah kepada sutenya,

   "Hek-tok, jangan seenak perut gendutmu saja engkau bicara! Aku takut? Biar orang tua dia ini, Si Iblis Buta bangkit dari kubur dan membantunya mengeroyokku, aku masih tidak takut!"

   "Kalau tidak takut, kenapa banyak cakap lagi? Bantulah aku untuk menangkap dia dan membawanya ke kuil untuk menerima hukuman. Ini merupakan tugas kita membalas budi mendiang Ceng Hok Hwesio!"

   Kata si gendut. Mendengar ini, si tinggi kurus lalu melangkah maju menghadapi Siangkoan Ci Kang. Pendekar ini diam-diam terkejut. Kiranya dua orang aneh ini sudah menyelidiki secara mendalam tentang dirinya sehingga tahu pula bahwa dia adalah putera Si Iblis Buta.

   "Siangkoan Ci Kang, sebaiknya engkau menyerah saja dan ikut dengan kami ke kuil. Tidak ada gunanya engkau melawanku. Ingat, selama empat puluh tahun kami menggembleng diri dan memperdalam ilmu-ilmu kami. Engkau takkan menang, bahkan mungkin terluka parah kalau berani melawan aku!"

   Kata si tinggi kurus dengan suaranya yang kecil seperti suara wanita.

   "Pendeta siluman, kami akan menghajarmu!"

   Lima orang pimpinan Pek-sim-pang, yaitu para pembantu dari Pek Kong ketuanya, tiba-tiba saja menerjang maju. Mereka sebagai tamu-tamu dan pengiring pengantin pria, menjadi marah sekali melihat ada orang-orang yang membikin kacau, mengganggu perayaan pernikahan itu. Mereka merasa tidak enak sekali kalau berdiam diri saja, maka melihat pendeta gendut yang seolah-olah menjadi biang keladinya karena si kurus tadi kelihatan enggan berkelahi, kini menerjang ke arah si gendut dengan serentak. Mereka tidak menggunakan senjata, hanya menyerang dengan pukulan dan tamparan. Akan tetapi karena mereka adalah tokoh-tokoh Pek-sim-pang yang tinggi tingkatnya, yaitu pembantu-pembantu ketua,

   Maka serangan mereka itu cukup dahsyat, apalagi mereka menyerang dengan berbareng sambil menyerang dengan berbareng sambil mengerahkan tenaga. Siangkoan Ci Kang terkejut, akan tetapi tidak sempat lagi untuk mencegah karena serbuan lima orang Pek-sim-pang itu sama sekali tidak disangka-sangkanya. Bahkan Pek Ki Bu dan Pek Kong sendiri pun tidak mengira sehingga mereka pun hanya dapat memandang. Mereka semua menjadi semakin kaget melihat betapa kakek gendut itu masih menyeringai saja, sama sekali tidak membuat gerakan untuk mengelak ataupun menangkis. Maka tentu saja pukulan lima orang Pek-sim-pang itu mengenai sasaran dengan tepat dan terdengar lah suara bak-bik-buk seperti orang-orang memukuli sekarung pasir ketika pukulan-pukulan itu mengenai sasaran, yaitu di perut, punggung, dada, lambung dan leher kakek gendut itu.

   Akibatnya ternyata lebih mengejutkan lagi. Kakek gendut itu masih nampak berdiri sambil menyeringai, bahkan kini terdengar suara tawanya, sebaliknya lima orang yang berhasil menyarangkan pukulan mereka ke sasaran itu, terjengkang atau terpelanting roboh, berkelojotan dan segera terdiam kaku, mati dengan tubuh berubah menghitam seperti kulit kakek gendut itu! Siangkoan Ci Kang terkejut bukan main. Kiranya si genddut hitam itu merupakan orang yang memiliki tubuh yang beracun, luar biasa sekali betapa pukulan itu diterimanya begitu saja dan yang memukul sudah keracunan! Ini merupakan ilmu sesat yang amat jahat dan kejam, padahal pukulan lima orang itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena pukulan itu mengandung tenaga sin-kang yang cukup kuat!

   "Jangan sentuh...!"

   Han Siong berseru ketika melihat ayah dan kakeknya meloncat ke dekat mayat-mayat itu. Untung dia mengeluarkan seruan ini karena orang yang menyentuh mayat-mayat itu terancam bahaya keracunan, setidaknya keracunan kulitnya.

   "Ha-ha-ha, jangan salahkan pinceng (aku). Mereka itu menyerangku, dan mereka mati karena perbuatan sendiri. Memang sudah takdirnya. mereka mati."

   Kata si gendut sambil tertawa-tawa. Wajah Siangkoan Ci Kang berubah. Kini dia marah sekali. Dalam pesta pernikahan puterinya terjadi bukan hanya pengacauan, akan tetapi juga pembunuhan walaupun dia juga melihat sendiri betapa lima orang tamu itu tadi menyerang si kakek gendut yang sama sekali tidak menangkis atau balas menyerang. Bagaimanapun juga, lima orang itu adalah tamu-tamunya, bahkan tamu kehormatan karena mereka adalah pengikut-pengikut mempelai pria, tokoh-tokoh Pek-sim-pang. Dialah yang bertanggung jawab, sebagai tuan rumah.

   "Kalian adalah orang-orang tua, pendeta-pendeta, yang tidak patut dihormati. Kalian iblis-iblis jahat!"

   Bentaknya dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan. Akan tetapi sebelum pendekar ini menyerang si gendut yang telah membunuh lima orang Pek-sim-pang, si kurus sudah menyambutnya dengan sambaran tangan ke arah leher. Sambaran tangan yang kurus panjang itu nampaknya tidak bertenaga,

   Akan tetapi nampak sinar hitam dari telapak tangan itu dan tahulah Ci Kang bahwa si tinggi kurus ini pun mempunyai pukulan beracun, apalagi kalau dingat bahwa Julukannya pun Ban-tok Sian-su (Dewa Selaksa Racun)! Dia mengelak dengan menarik tubuh atas ke samping, lalu dari samping, tangannya menyambar dengan totokan ke arah lambung. Ban-tok Sian-su dapat mengelak dengan mudah dan membalas lagi, kini kedua orang sakti itu saling serang dengan dahsyatnya. Setiap serangan merupakan cengkera man maut dan kalau mengenai sasaran, tentu akan mematikan. Karena maklum sepenuhnya bahwa lawannya menggunakan hawa beracun yang amat berbahaya, maka Siangkoan Ci Kang selalu mengandalkan kecepatan dan keringanan tubuhnya untuk mengelak dari setiap serangan, tidak mau menangkis.

   Juga setiap kali menyerang, dia melindungi jari tangannya dengan sin-kang untuk menolak hawa beracun kalau sampai serangannya mengenai tubuh lawan, atau kalau lengannya beradu dengan lengan lawan yang menangkis. Dari setiap kali adu lengan, pendekar ini pun maklum bahwa lawannya benar-benar lihai, memiliki sin-kang yang amat kuat, setidaknya tidak kalah kuat olehnya. Puluhan jurus lewat dan mereka sama kuat akan tetapi Toan Hui Cu maklum bahwa suaminya terdesak dan ia tahu pula mengapa demikian. Suaminya tidak berani menangkis langsung dan selalu mengelak. Hal ini tentu saja mengurangi kesempatan baginya untuk memperbanyak serangannya dan terdesak lawan. Untuk menghadapi lawan yang ahli racun itu, memang berbahaya sekali menggunakan tangan kosong. Maka, nyonya ini lalu minta pedang Kwan-im-kiam dari Han Siong dan ia melemparkan pedang itu kepada suaminya sambi! berseru.

   "Membunuh ular beracun harus dengan senjata. Terimalah ini!"

   Ci Kang maklum akan maksud isterinya, maka dia pun meloncat ke belakang menyambar pedang yang pada saat itu dilontarkan isterinya dengan penuh perhitungan. Setelah pedang Kwan-im-kiam berada di tangan kanannya, Ci Kang meloncat turun menghadapi lawannya. Dia adalah seorang gagah yang berjiwa pendekar, maka dia tidak segera menyerang, melainkan berkata dengan sikap gagah.

   "Ban-tok Sian-su, keluarkan senjatamu!"

   Si tinggi kurus itu mewek-mewek seperti mau menangis, padahal maksud hatinya ingin tersenyum mengejek! Memang orang ini tidak bisa menggerakkan mulut untuk tertawa. Kedua ujung mulutnya selalu bergerak ke bawah, tidak dapat ke atas.

   "Siangkoan Ci Kang, aku tak pernah menggunakan senjata. Menghadapi seorang muda seperti engkau, apa perlunya bersenjata? Majulah!"

   "Lihat pedangku!"

   Ci Kang membentak dan dia pun mulai menyerang. Kakek tinggi kurus itu mengelak dan menyampok pedang dari samping dengan tangannya! Kakek itu memang lihai sekali. Kedua lengan dan tangannya agaknya memiliki kekebalan sehingga berani menyampok pedang pusaka dari samping. Biarpun tidak langsung menangkis mata pedang, namun sampokan ini saja sudah membuktikan bahwa lengannya kebal.

   Kembali mereka, saling serang dengan seru, bahkan lebih hebat daripada tadi. Setelah memegang Kwan-im-kiam, Siang-koan Ci-Kang bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayap. Dia memang bersama isterinya telah mewarisi ilmu pedang Kwan-im Kiam-sut yang dahsyat, apalagi ilmu itu dimainkan dengan Kwan-im-kiam, maka pedang itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Indah namun berbahaya, lembut namun mengandung kekuatan yang dahsyat bukan main. Ilmu itu seperti menggambarkan sifat Dewi Kwan Im. Lemah lembut, luhur budi, namun mengandung kesaktian yang sukar dilawan! Bahkan seorang sakti seperti Ban-tok Sian-su menjadi terkejut dan mulailah dia terdesak. Si gendut Hek-tok Sian-su yang menjadi penonton di pinggir, memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya lupa tersenyum. Hampir dia tidak percaya.

   Bagaimana mungkin suhengnya yang sudah menguasai ilmu yang amat hebat itu sampai terdesak oleh lawan yang lengannya buntung sebelah itu? Tadinya dia dan suhengnya amat memandang rendah kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, mengingat mereka hanyalah murid-murid Ceng Hok Hwesio yang tingkat kepandaiannya jauh di bawah mereka. Akan tetapi, di luar dugaannya Ci Kang bukan saja mampu menandingi Ban-tok Sian-su, bahkan mampu mendesaknya dan membuat suhengnya itu kini terancam bahaya. Tentu saja dia merasa gelisah! Dia ingin sekali membantu suhengnya yang kini terancam oleh gulungan sinar yang lembut namun amat kuat itu. Akan tetapi, dia bukanlah seorang bodoh yang sombong begitu saja. Dia dapat melihat kenyataan, dapat mengenal keadaannya dan mempertimbangkannya, menghitungnya masak-masak.

   Kalau dia membantu suhengnya, hal itu bukan menguntungkan fihaknya, bahkan sama dengan melempar dirinya sendiri ke dalam bahaya. Di situ terdapat Toan Hui Cu yang kabarnya tidak kalah lihainya dibandingkan Ci Kang, apalagi mengingat bahwa wanita itu adalah puteri tunggal mendiang Raja Iblis dan Ratu Iblis. Dan di situ masih terdapat pula sepasang mempelai, yaitu puteri dan murid suami isteri itu, yang tentu juga lihai, di samping adanya orang-orang Pek-sim-pang. Tidak, kalau dia main keroyokan, dia dan suhengnya akan celaka! Maka, dia menahan diri dan hanya menjadi penonton, dengan hati berdebar penuh kekhawatiran dan ketegangan. Kekhawatiran Hek-tok Sian-su memang beralasan. Pada waktu itu, pertandingan itu sejak dimulai sampai sekarang telah berlangsung seratus jurus lebih dan kini Ban-tok Sian-su sudah terdesak hebat.

   Beberapa kali dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu kedua tangan yang didorongkan ke depan mengeluarkan uap hitam yang berbau busuk, tanda bahwa uap itu beracun dan jahat sekali. Namun, gulungan sinar pedang itu menghalau uap hitam dan melihat ini, Toan Hui Cu, Pek Han Siang, dan Siangkoan Bi Lian yang mempunyai kepandaian tinggi sudah memperingatkan para tamu untuk menyingkir, menjauhi tempat perkelahian itu karena mereka maklum bahwa uap hitam itu amat berbahaya kalau tersedot atau tersentuh para tamu. Biarpun Ban-tok Sian-su telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang aneh-aneh dan jahat, namun ilmu pedang itu dapat menghalau semua serangan, bahkan gulungan sinar pedang itu mengurungnya dan membuat Ban-tok Sian-su menjadi sibuk sekali untuk mengelak dan menangkis, bahkan akhirnya tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk balas menyerang.

   Beberapa kali dicobanya pula untuk menggunakan ilmu sihir dan beberapa kali Ci Kang terhuyung, terkena pengaruh sihir yang amat kuat walaupun dia sudah mengerahkan sin-kangnya. Akan tetapi, Han Siong yang melihat ini, segera diam-diam membantu suhu dan juga ayah mertuanya, dengan kekuatan sihirnya, dia memunahkan daya sihir kakek kurus sehingga Ci Kang tidak terpengaruh lagi. Kakek kurus itu tidak tahu bahwa pemuda mempelai pria itu yang menolak sihirnya, yang terasa olehnya hanya betapa kekuatan sihirnya membalik seperti seekor anjing pemburu yang lari kembali kepada majikannya dengan ekor ditekuk ke bawah! Tentu saja dia menjadi semakin panik dan karena itu, gerakannya mengendur dan kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ci Kang. Dengan gerakan istimewa, setengah membalik dengan tubuh condong, pedangnya menyambar dan tahu-tahu telah menusuk dan menembus dada Ban-tok Sian-su.

   "Crappp...!!"

   "Aughhh...!!"

   Ketika pedang dicabutnya cepat-cepat, kakek tinggi kurus itu roboh terjengkang, kedua tangannya mendekap dada dan darah pun bercucuran dari celah-celah jari tangannya. Ci Kang adalah seorang yang sudah lama mengundurkan diri, bahkan seperti mengasingkan diri bersama isterinya, menjauhi dunia kang-ouw dan menjauhi kekerasan. Kini, melihat betapa pedangnya menembusi dada seorang lawan yang tadinya sama sekali tidak dikenalnya, bahkan tidak ada urusan apa pun antara mereka, menjadi terkejut dan menyesal bukan main.

   "Ah, maafkan aku"

   Katanya dan dia pun berlutut di dekat tubuh yang rebah terlentang itu.

   "Ayah, jangan!"

   Teriak Bi Lian, dan Han Siong juga menubruk ke depan. Namun terlambat. Kedua tangan yang berlumuran darah dan yang tadi mendekap dada yang tertembus pedang, tiba-tiba menyambar ke depan. Biarpun Han Siong dapat mendorong tubuh suhunya ke samping, namun tetap saja tangan kiri Ban-tok Sian-su sempat menghahtam dada kanan Ci Kang.

   "Plakk...!!"

   Ci Kang terjengkang, akan tetapi dapat segera bangkit kembali dan di bajunya bagian dada nampak tanda cap merah, yaitu bekas tangan Bantok Sian-su yang berlepotan darah. Dan tiba-tiba terjadi keanehan. Ban-tok Sian-su yang tadi hanya nampak cemberut dan mukanya muram dan masam, kini tiba-tiba tertawa bergelak-gelak.

   
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ban-tok...!"

   Kakek gendut menubruk dan merangkul suhengnya yang masih tertawa. Setelah suara tawa itu terhenti, kepala si tinggi kurus itu terkulai di pangkuan Hek-tok Sian-su dan dia pun tewas! Dan terjadi keanehan ke dua. Kakek gendut yang sejak tadi hanya tersenyum dan tertawa-tawa, kini merangkul mayat si tinggi kurus sambil menangis tersedu-sedu! Semua orang memandang dengan bengong. Sambi terus menangis, si gendut itu bangkit dan memondong mayat suhengnya.

   "Siangkoan Ci Kang, lain waktu aku akan membuat perhitungan denganmu. Sekarang aku hendak mengurus suhengku lebih dulu!"

   Dia lalu membalikkan tubuhnya.

   "Pendeta palsu, engkau hendak lari ke mana?"

   Bentak Toan Hui Cu yang sudah mengambil pedang Kwan-im-kiam dari tangan suaminya.

   "Tahan...!"

   Kata Ci Kang lemah.

   "biarkan dia pergi mengurus jenazah suhengnya."

   Dengah gemas Toan Hui Cu terpaksa mentaati suaminya, demikian pula Han Siong dan Bi Lian tidak berani melanggar, walaupun mereka berdua ingin pula untuk menahan dan. membunuh kakek gendut yang berbahaya itu. Apalagi ketika mereka melihat Siangkoan Ci Kang terkulai lemas, dan dirangkul oleh Hui Cu.

   "Bagaimana keadaanmu...?"

   Isteri itu bertanya khawatir. Han Siong dan Bi Lian mendekat dan mereka berdua terkejut bukan main melihat betapa kulit leher dan muka Siangkoan Ci Kang perlahan-lahan berubah menghitam! Keracunan! Tentu pukulan tadi mengandung racun yang amat hebat!

   "Keparat, pendeta busuk itu!"

   Bi Lian teringat dan ia sudah meloncat berdiri dan menoleh, akan tetapi pendeta gendut tadi sudah tidak nampak lagi bayangannya.

   "Aku harus mengejarnya. untuk minta obat penawar!"

   Han Siong memegang lengannya.

   "Nanti dulu, Lian-moi. Kita periksa dulu keadaan ayah "Han Siong lalu memondong tubuh suhunya yang kini menjadi ayah mertuanya itu ke dalam, diikuti oleh Bi Lian dan Toan Hui Cu, sedangkan Pek Ki Bu dan Pek Kong, dibantu oleh beberapa orang, sibuk mengurus jenazah lima orang pimpinan Pek-sim-pang. Tentu saja perayaan itu menjadi bubar dan para tamu, orang-orang dusun, merasa ketakutan dan juga tahu diri. Mereka melihat betapa pihak tuan rumah mengalami kesulitan, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat perayaan, kembali ke dusun masing-masing.

   Sementara itu, Hui Cu, Bi Lian dan Han Siong memeriksa keadaan Siangkoan Ci Kang. Kalau saja pendekar ini tidak memiliki tubuh yang kuat dan penuh tenaga sin-kang, tentu dia sudah tewas. Pukulan tadi mengandung hawa beracun yang amat jahat, yang membuat kulit tubuhnya menjadi kehitaman! Sebagai ahli-ahli silat, Hui Cu, Bi Lian dan Han Si-ong mengerti tentang pengobatan, dan mereka sudah membantu Ci Kang dengan pengerahan sin-kang untuk mengusir hawa beracun, juga memberi obat yang akan mencegah menjalarnya racun. Akan tetapi semua usaha itu hanya dapat menahan menjalarnya racun, tidak dapat mengusir racun yang telah memasuki dada dan tidak menyembuhkan lukanya. Racun yang terkandung dalam pukulan Ban-tok Sian-su memang aneh dan luar biasa jahatnya.

   "Biar kukejar dan kucari pendeta iblis gendut itu, akan kupaksa dia menyerahkan obat penawarnya!"

   Kata Bi Lian.

   "Jangan, Lian-moi. Hek Tok Siansu itu berbahaya, biar aku yang akan mengejarnya, sedangkan engkau pergilah mencari Hay Hay. Dia memiliki sebuah mustika batu giok yang dapat menyedot racun dan menjadi obat yang amat manjur. Engkau pinjamlah mustika itu darinya, dan aku sendiri yang akan mengejar Hek Tok Siansu."

   "Akan tetapi, ke mana aku dapat mencarinya?"

   "Dia tentu pergi ke Cin-ling-san bersama Kui Hong. Carilah di sana, andaikata, tidak jumpa pun tentu kau akan dapat mendengar ke mana dia pergi."

   Karena amat mengkhawatirkan keadaan Ci Kang yang keadaannya parah itu, Han Siong dan Bi Lian segera berangkat pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Bahkan Han Siong sudah berangkat lebih dahulu melakukan pelacakan dan pengejaran terhadap Hek Tok Siansu yang pergi membawa jenazah Ban Tok Siansu. Sungguh menyedihkan. Sepasang pengantin yang tidak sempat berpengantinan, karena harus saling berpisah! Toan Hui Cu tinggal di rumah menjaga suaminya dengan hati penuh kegelisahan. Keluarga Pek juga segera kembali ke Kong-goan sambil membawa abu lima orang pimpinan Pek-sim-pang.

   Karena melakukan perjalanan sambil melacak dan mencari keterangan tentang jejak Hek Tok Siansu, maka Han Siong terlambat tiba di kuil Siauw-lim-si itu. Andaikata dia tidak mengikuti jejak kakek gendut itu dan langsung saja pergi ke sana, tentu dia tidak akan terlambat. Baru setelah dia kehilangan jejak kakek itu, dia teringat untuk mencari di kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu, di tepi sungai Cin-sha di kaki pegunungan Heng-tuan-san, juga tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mertuanya. Ketika akhirnya dia tiba di kuil itu, para hwesio masih ingat kepada Han Siong yang dahulu dikenal sebagai seorang sin-tong (bocah ajaib) dan mereka menyambut dengan gembira. Pemuda ini pernah menjadi kacung atau juga pelayan dan juga murid Ceng Hok Hwesio dan karena wataknya yang baik dan penurut, maka semua hwesio di kuil itu menyayangnya. Dari mereka inilah Han Siong mendengar keterangan yang lebih jelas.

   Ternyata bahwa Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu memang benar dahulu merupakan hwesio muda di kuil itu, setelah mereka itu sadar dari penyelewengannya menjadi penjahat-penjahat yang ditaklukkan oleh Ceng Hok Hwesio, kemudian menjadi hwesio dan menerima ajaran agama dari Ceng Hok Hwesio. Kemudian mereka berdua atas petunjuk Ceng Hok Hwesio melakukan perjalanan ke barat, ke Tibet dan India untuk memperdalam ilmu keagamaan mereka. Sebulan yang lalu, mereka datang sebagai dua orang pendeta yang aneh dan berilmu tinggi. Kedatangan mereka tepat pada hari kematian Ceng Hok Hwesio karena usia tua. Mereka bertanya tentang Ceng Hok Hwesio yang bertapa dan menghukum diri sendiri, dan mendengar tentang Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui. Cu, mereka menganggap bahwa kematian Ceng Hok Hwesio adalah karena kesalahan suami isteri yang pernah dihukum di kuil itu

   "Mereka juga mengirim seorang diantara kami untuk menyelidiki di mana adanya seorang pendekar yang bernama Tang Hay atau Hay Hay, dan ketika kemarin dulu Hek Tok Siansu pulang, dia membawa jenazah Ban Tok Siansu, setelah jenazah itu diperabukan, dia lalu pergi ke kota raja untuk mencari Hay Hay karena menurut penyelidikan, pendekar itu mungkin sekali berada di kota raja."

   Han Siong merasa kecewa sekali, juga merasa heran. Dia merasa kecewa karena kedatangannya terlambat, dan merasa heran mengapa Hek Tok Siansu mencari Hay Hay! Ada urusan apa pendeta hitam itu dengan Hay Hay? Ceng Sun Hwesio, yaitu hwesio yang kini menjadi kepala kuil di situ menggantikan Ceng Hok Hwesio yang telah wafat, melihat kekecewaan itu dan dia pun berkata,

   "Omitohud, apakah engkau mencari obat penawar racun?"

   Han Siong kaget dan meloncat bangun, memberi hormat kepada hwesio tua itu dan berseru,

   "Bagaimana Losuhu dapat mengetahuinya? Memang benar, saya mencari Hek Tok Siansu untuk minta obat penawar racun!"

   "Omitohud, betapa bijaksananya Hek Tok Siansu walaupun nama julukannya menyeramkan. Han Siong, sebelum beliau pergi, telah meninggalkan sebungkus obat dan agaknya beliau telah tahu bahwa tentu engkau akan datang mengejarnya ke sini. Beliau berpesan agar obat penawar itu diberikan kepadamu!"

   Hwesio tua itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dan menyerahkannya kepada Han Siong. Dengan heran dan ragu, akan tetapi penuh harapan, pemuda itu menerima bungkusan dan dengan hati-hati membukanya. Di dalam bungkusan itu terdapat bubuk putih.

   "Losuhu, apakah Hek Tok Siansu tidak meninggalkan pesan mengenai obat penawar racun ini?"

   "Ada... ada! Beliau berpesan agar obat ini diminumkan sekaligus sampai habis, dan katanya bahwa Siangkoan Ci Kang harus bertapa di sini sampai mati. Kalau dia tidak datang sendiri, kelak beliau akan menjumpainya. Nah, hanya itulah pesannya."

   Han Siong mengucapkan terima kasih, kemudian cepat-cepat dia kembali ke Kim-ke-kok. Subonya menerimanya dengan gembira setelah dia menceritakan pengalamannya, akan tetapi guru dan murid ini berhati-hati sekali ketika hendak memberikan obat penawar itu kepada Siangkoan Ci Kang. Bergantian mereka mencoba dan menjilat obat itu. Setelah yakin bahwa obat itu tidak menganduhg racun, barulah mereka berani memberikan obat itu kepada Siangkoan Ci Kang yang keadaannya rnasih lemah. Ketika sebelum minum obat Ci Kang dilapori Han Siang tentang obat yang oleh Hek Tok Siansu ditinggalkan kepada hwesio di kuil Siauw-lim-si, dia pun mengangguk dan mau meminumnya.

   Mereka bertiga dapat mengerti jalan pikiran hwesio gendut itu. Tentu hwesio itu tidak rela melihat Ci Kang mati begitu saja oleh racun dan menghendaki agar Ci Kang dan Hui Cu menebus "dosa"

   Dan bertapa di kuil itu sampai mati sebagai hukuman mereka yang menjadi sebab Ceng Hok, Hwesio menderita sampai mati! Han Siang menanti sampai tiga hari setelah suhunya minum obat penawar racun. Dan memang ternyata benar, obat itu manjur sekali. Keadaan Ci Kang membaik dan setelah tiga hari, dadanya tidak terasa nyeri lagi dan kulitnya yang tadinya menghitam, mulai pulih dan bersih kembali. Akan tetapi ketika dia mencoba untuk mengerahkan sin-kang, ternyata tenaganya lemah bukan main. Tahulah dia bahwa akibat racun yang ganas itu, dia kehilangan tenaganya, dia harus berlatih dan menghimpun kekuatan sin-kang dengan tekun.

   "Engkau pergilah, susul isterimu dan ajak ia pulang,"

   Kata Ci Kang kepada mantunya.

   "Keadaanku sudah membaik, tinggal mengumpulkan tenaga saja."

   "Benar, Han Siong. Pergilah kau mencari isterimu dan ajak ia pulang. Kasihan kalian betdua, semestinya menjadi pengantin baru, malah saling berpisah seperti ini,"

   Kata Hui Cu. Han Siong tersenyum dan memberi hormat kepada suhu dan subonya yang kini menjadi ayah dan ibu mertuanya itu.

   "Harap, Ayah dan Ibu tidak memikirkan hal remeh seperti itu. Yang penting, Ayah dapat diselamatkan. Saya akan pergi mencari Lian-moi dan kalau sudah jumpa, kami akan berpesiar sebagai bulan madu, mengajaknya ke rumah keluarga saya di Kong-goan, mengunjungi para pendekar kenalan kami yang pernah bekerja sama, kemudian baru kembali ke sini."

   Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu mengangguk-angguk girang dan setelah mengucapkan selamat tinggal, Han Siong lalu meninggalkan Kim-ke-kok, pergi mencari isterinya. Karena sebelum pergi, Bi Lian dia beritahu agar mencari keterangan tentang Hay Hay ke Cin-ling-pai, maka dia pun melakukan pengejaran ke sana, walaupun dari para hwesio di kuil Siauw-lim-si dia mendengar bahwa kabarnya Hay Hay berada di kota raja dan Hek Tok Siansu juga pergi ke sana. Baginya yang terpenting adalah menemukan isterinya dulu.

   Cang Hui, dara jelita yang lincah jenaka itu maklum akan maksud ayah ibunya untuk menjodohkan saudara misannya, Tan Cin Nio, dengan kakaknya, Cang Sun. Ia amat sayang kepada kakaknya, dan juga ia sayang kepada Cin Nio yang dianggapnya bukan saja manis wajahnya, akan tetapi juga manis budinya dan akan menjadi isteri yang baik sekali bagi kakaknya, sepenuhnya mendukung niat orang tuanya itu. Seringkali, secara cerdik dan tidak menyolok, ia menceritakan semua kebaikan kakaknya kepada Tan Cin Nio, dan gadis yang memang kagum kepada Cang Sun itu menjadi semakin tertarik.

   Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani menyatakan rasa kagumnya, walau kepada Cang Hui sekalipun. Mengaku cinta kepada seorang pria kepada orang lain merupakan pantangan besar bagi seorang gadis baik-baik! Cang Hui memang cerdik, lincah dan jenaka. Ia tidak kekurangan akal untuk "menjodohkan"

   Saudara misannya itu dengan kakaknya, yaitu dengan jalan mempertemukan mereka berdua empat mata saja. Ia mulai mengatur siasat. Ia menanti sampai malam bulan purnama tiba, karena di bawah sinar bulan purnama biasanya orang mudah jatuh cinta! Ia tahu bahwa kakaknya seringkali menikmati bulan purnama ditaman bunga mereka yang indah, di mana terdapat sebuah kolam ikan dan tempat duduk yang terlindung atap tanpa dinding,

   Dan di tempat ini biasanya kakaknya menulis sajak atau membaca buku, sampai jauh malam. Ketika saat yang dinanti-nantinya tiba dan ia tahu benar bahwa kakaknya malam itu berada di taman, ia lalu mengajak Cin Nio untuk berjalan-jalan di taman bunga menikmati keindahan bulan purnama. Cin Nio yang tidak mencurigai misannya yang disayangnya itu, menjadi gembira dan tak lama kemudian kedua orang gadis bangsawan itu melangkah perlahan-lahan memasuki taman, berbeda dengan para puteri bangsawan lainnya yang selalu ditemani pelayan, dua orang gadis ini tidak. Mereka adalah gadis-gadis yang mempelajari ilmu silat dan merasa. diri mereka cukup kuat untuk melindungi diri sendiri sehingga tidak membutuhkan penjagaan pelayan, atau pengawal.

   Ketika mereka berjalan-jalan di dekat kolam ikan, tiba-tiba Cang Hui menarik tangan Cin Nio dan memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara, lalu mereka bersembunyi di balik rumpun bunga mawar, Cin Nio memandang ke depan dan pipinya terasa panas. Ia pun kini melihat seorang pemuda duduk membelakangi mereka, menghadapi kolam ikan, agaknya menikmati bulan yang tenggelam di dalam kolam, lalu terdengar pemuda itu membaca sajak yang agaknya baru saja dibuatnya. Suaranya lembut dan merdu, menambah keindahan malam itu. Malam gemilang dengan
(Lanjut ke Jilid 12)
Jodoh Si Mata Keranjang (Seri ke 11 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12
cahaya bulan purnama, langit bersih, taman yang penuh bunga-bunga musim semi yang sedang bersaing dalam lomba kecantikan, semerbak harum dan silir angin lembut, lalu suara merdu memuat sajak, diiringi paduan suara jengkerik dan belalang!

   "Bunga setaman aneka warna
bermandikan cahaya purnama
bersaing cantik indah berseri
berlomba sedap harum mewangi
betapa bahagianya hati ini!
Namun, bagaikan mimpi hampa
tak lama lagi bulan sirna
meninggalkanku dalam gulita
bunga akan habis gugur layu
tinggal aku di sini sepi sendiri.
Wahai ikan-ikan dalam kolam taman
kalian akan tetap gembira dengan teman-teman
tapi... aku? sepi sendiri termenung iri..."

   Terdengar tepuk tangan mendahului munculnya seorang wanita cantik. Cang Hui dan Cin Nio menahan diri, bahkan Cang Hui memegang lengan Cin Nio dan memberi isyarat agar tidak mengeluarkan suara. Tadi ia sudah siap bertepuk tangan memuji kakaknya, akan tetapi begitu mendengar tepuk tangan dari lain jurusan, ia tidak jadi bertepuk tangan. Dua orang gadis itu melihat bahwa yang muncul adalah Liong Bi yang kini telah menjadi pengawal keluarga Cang. Cang Hui ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan wanita yang biarpun ia kagumi kelihaiannya namun sikapnya yang dianggap genit itu menimbulkan perasaan tidak suka dalam hatinya itu. Sementara itu, ketika Cang Sun melihat bahwa yang muncul dan bertepuk tangan memuji adalah Liong Bi, wanita cantik yang kini menjadi pengawal keluarga ayahnya, segera bangkit dari duduknya.

   "Hebat, Cang-kongcu. Tak kusangka bahwa Kongcu sepandai ini, dapat membuat sajak sedemikian indahnya!"

   Liong Bi atau Su Bi Hwa memuji sambil memperlihatkan senyum manis dan kerling mata memikat. Wajah Cang Sun berubah kemerahan.

   "Ah, Liong-Lihiap (pendekar wanita Liong) terlalu memuji. Aku hanya iseng menikmati bulan purnama."

   Liong Bi mengangkat muka memandang ke arah bulan purnama sambil tersenyum dan giginya nampak berkilauan tertimpa sinar bulan.

   "Memang cantik dan indah sekali malam ini, Kongcu, tidak mengherankan kalau keindahan ini menggerakkan jiwa senimu untuk membuat sajak. Alangkah akan semakin meriahnya kalau malam yang indah ini diisi dengan tarian pedang. Maukah Kongcu melihat saya menari pedang untuk mengimbangi sajakmu tadi?"

   Cang Sun adalah seorang pemuda yang sopan. Biarpun dia merasa tidak sepatutnya seorang pria seperti dia mengadakan pertemuan berdua saja dengan seorang wanita muda dan cantik di malam hari dalam taman, akan tetapi dia merasa tidak baik kalau menolak. Apalagi, wanita itu adalah pengawal keluarga, dan kini hanya ingin melakukan tari pedang untuk memeriahkan suasana malam bulan purnama. Maka dia pun mengangguk dan hanya berkata,

   "Silakan."

   Liong Bi sudah mencabut pedangnya dan mulailah ia menari. Tarian itu mengandung gerakan silat pedang, akan tetapi dilakukan dalam gaya tarian yang nampak indah dan menonjolkan keindahan lekuk lengkung tubuh wanita itu.

   Apalag Liong bi sengaja bergerak lambat, dengan gerakan seindah mungkin, disertai senyum manis dan kerling memikat sehingga Cang Sun terpesona juga. Memang, Liong Bi adalah seorang wanita yang cantik menarik dan berpengalaman. Ia tahu bagaimana harus bergaya untuk memikat hati pria. Tubuhnya yang memang padat menggairahkan dengan kulit yang halus putih itu sengaja dibungkus pakaian yang ketat dan ketika ia menarikan silat pedang, tubuh yang ramping itu membuat gerakan dan goyangan seperti seekor ular, menggairahkan dan memikat. Dan tarian itu, memang indah, pedangnya, membuat gulungan sinar berkeredepan. Wanita cantik itu nampak gagah perkasa, mengingatkan Cang Sun akan Kui Hong, gadis pendekar yang dicintanya, dan dia pun terpesona. Setelah Liong Bi menghentikan tariannya, Cang Sun bertepuk tangan memuji.

   "Bagus sekali, Liong-Lihiap. Tarianmu indah dan gagah!"

   Serunya gembira. Setelah menyimpan pedangnya, Liong Bi menghampiri pemuda itu. Seorang pemuda yang ganteng, pikirnya, bukan saja ganteng, akan tetapi juga putera seorang menteri yang terkenal dan besar kekuasaannya. Alangkah akan senangnya kalau ia dapat menjadi isteri pemuda ini, dan amat besar manfaatnya bagi Pek-lian-kauw! Kalau berhasil, ia akan mendapat keuntungan ganda. Ia sendiri akan menikmati kemuliaan, dan ia akan dapat berbuat banyak demi keuntungan Pek-lian-kauw.

   "Aihh, sekarang engkau yang terlalu memujiku, Kongcu. Sajakmu tadi yang patut dikagumi, hanya sayang sekali engkau bersedih pada akhir sajak itu, Kongcu. Kenapa engkau iri terhadap ikan-ikan di kolam ini, Kongcu?"

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 28 Kumbang Penghisap Kembang Eps 28 Pendekar Mata Keranjang Eps 44

Cari Blog Ini