Pendekar Sakti 23
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 23
"Dua...!"
Komandan itu memberi aba-aba. Akan tetapi sebelum sepuluh orang algojo itu menjatuhkan cambuk untuk kedua kalinya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan berteriaklah sepuluh orang algojo itu dengan terkejut karena tahu-tahu cambuk mereka terlepas dari tangan! Mereka cepat memandang dan seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana telah berdiri di situ, di kedua tangannya kelihatan sepuluh batang cambuk itu. Wajah pemuda yang tampan sekali ini kelihatan berkerut ketika dia berkata,
"Jangan pukul mereka yang tidak berdosa! Lepaskan mereka ini."
Sambil berkata demikian, tanpa menanti jawaban, pemuda ini kembali menggerakkan tubuhnya dan dalam sekejap mata saja sepuluh orang tawanan itu telah terlepas dari ikatan tangan mereka! Semua orang menjadi melongo karena pemuda itu hanya berlari dari tiang ke tiang, tidak kelihatan dia melepaskan tali, akan tetapi ternyata ikatan tangan orang-orang itu telah putus semua! Para prajurit menjadi gempar. Beberapa orang Perwira datang menghampiri pemuda itu dengan golok terhunus.
"Kau siapakah berani mati mengacau disini? Apa kehendakmu?"
Biarpun bersikap galak, namun para Perwira ini tidak berani sembarangan turun tangan karena mereka telah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda aneh ini.
"Aku datang untuk mewakili orang-orang itu, kasihan mereka yang bertubuh lemah, tentu takkan kuat menerima lima puluh kali cambukan. Kalau memang kalian haus akan hiburan menyiksa orang, biarlah aku yang mewakili hukuman mereka. Ikatlah aku dan cambuklah sesukamu, agar hatimu yang buas akan puas."
Para Perwira itu saling pandang dengan mata terbelalak. Tadinya mereka mengira bahwa pemuda ini tentulah dari barisan Rakyat yang memberontak, tidak tahunya pemuda ini adalah seorang yang tidak waras otaknya.
"Kau betul-betul hendak mewakili mereka menerima hukuman cambuk? Mereka ada sepuluh orang, masing-masing menerima lima puluh cambukan, apakah kau bersedia menerima lima ratus kali cambukan?"
Tanya seorang Perwira. Pemuda itu menoleh ke arah penonton dan pandang matanya bertemu dengan pandangan mata seorang berpakaian Sastrawan yang pakaiannya sudah banyak tambalan namun matanya mengandung pengaruh luar biasa sekali. Sastrawan tua itu mengangguk- anggukkan kepalanya kepada pemuda itu dan berubah giranglah wajah pemuda yang tadinya amat keruh dan muram.
"Boleh, boleh, sesukamulah!"
Katanya kepada para Perwira itu dengan wajah berseri, akan tetapi kembali wajahnya muram dan berduka ketika dia menyambung kata-katanya.
"Aku memang sudah patut menerima hukuman lima puluh kali cambukan atas dosa-dosaku!"
"Lima ratus kali, bukan lima puluh kali!"
Bentak komandan itu.
"Sesukamulah, mau lima ratus atau seribu kali. Akan tetapi yang patut kuterima sebagai hukumanku adalah lima puluh kali!"
Jawab pemuda itu yang menghampiri sebuah di antara tiang-tiang dan memeluk tiang di belakang tubuhnya. Komandan itu menjadi cemas dan geli. Tak perlu bersitegang dengan seorang gila pikirnya. Lebih baik dia memperlihatkan kepada Rakyat yang menonton bahwa dia adalah seorang yang "Bijaksana"
Dan yang berlaku adil.
"Rakyat semua!"
Serunya memandang kepada penonton.
"Orang muda ini dengan sesuka sendiri mewakili hukuman yang hendak dijatuhkan kepada sepuluh orang ini. Kami berlaku adil dan menerima permintaannya. Hai, kalian sepuluh orang yang bernasib baik, kalian kami bebaskan, akan tetapi sebagai gantinya, kalian harus membayar denda setiap orang lima puluh tail perak. Kami beri waktu tiga hari lamanya!"
Sepuluh orang itu saling pandang seperti tidak percaya akan pendengaran sendiri. Tadinya mereka sudah mengira bahwa mereka pasti akan mati di tiang siksaan itu. Dengan mata penuh terima kasih akan tetapi juga belas kasihan karena mengira pemuda ini berotak miring, mereka memandang kepada pemuda ini.
"Saudara yang baik, sudah yakinkah kau akan menolong kami sepuluh orang? Cambukan lima ratus kali akan merenggut nyawamu."
Kata seorang di antara bekas tawanan itu. Namun pemuda ini menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi sambil berkata,
"Pergilah, pergilah! Untuk apa mengganggu aku yang mau menjalani hukumanku?"
Sepuluh orang itu lalu minggir dan berdiri di antara para penonton akan tetapi tentu saja mereka tidak mau pergi sebelum menonton apa yang akan terjadi atas diri pemuda yang aneh itu.
"Hayo, pukul aku!"
Teriak pemuda ini.
Komandan menunjuk seorang algojo yang paling kuat tubuhnya dan memberi tanda supaya menjalankan hukuman cambuk itu. Algojo ini segera menghampiri pemuda yang amat aneh itu dan wajahnya menyeringai gembira. Sekali ini dia menghadapi pengalaman yang aneh. Ia sudah merasa bosan menyiksa orang-orang yang lemah dan yang jatuh pingsan dengan tiga kali cambukan saja. Akan tetapi, pemuda ini, yang berotak miring dan yang dengan secara aneh sekali dapat merampas cambuknya tadi, benar-benar merupakan seorang hukuman yang luar biasa. Pemuda ini dengan gerakan yang tidak dapat dilihat, telah dapat merampas cambuk sepuluh orang algojo dan cambuk-cambuk itu lalu dilemparkan ke tanah dengan sikap acuh tak acuh.
Ketika para algojo mengambil cambuk masing-masing dari tanah, ternyata bahwa gagang cambuk yang terbuat daripada kayu telah hancur sama sekali, tinggal cambuknya saja! Tentu saja hal itu membuat semua orang merasa khawatir dan gentar, akan tetapi setelah sekarang pemuda itu dengan suka rela mau menerima hukuman, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa dan menggembirakan. Dengan lagak gagah algojo yang terpilih untuk menjalankan hukuman itu mengangkat cambuk tak bergagang itu tinggi-tinggi di atas kepala, mengayun-ayunkannya beberapa kali kemudian dengan sekuat tenaga dia menimpakan ujung cambuk ke arah dada pemuda yang kini kedua tangannya telah diikatkan pada tiang oleh seorang algojo lain.
"Tar...!"
Semua penonton menahan napas, mengharapkan sesuatu yang aneh.
Mereka itu semua mengharapkan cambuk itu akan putus atau stidak-tidaknya, cambukan itu takkan terasa oleh pemuda aneh yang seperti gila lakunya ini. Akan tetapi, semua orang menahan napas dan merasa amat kecewa. Baju pemuda itu robek dan cambuk itu meninggalkan tanda merah pada kulitnya. Pemuda itu mengrutkan kening dan nampaknya berduka sekali, akan tetapi harus diakui bahwa dia agaknya sama sekali tidak merasakan perihnya bekas cambuk. Bahkan dia meramkan kedua matanya, menahan jatuhnya air mata dan bibirnya bergerak-gerak seperti berdoa. Cambuk itu menari-nari di atas tubuhnya, mengenai mukanya yang tampan, pakaiannya mulai robek di sana-sini. Di antara hujan cambukan, terdengar pemuda itu berkata perlahan sambil, meramkan kedua matanya.
"Suhu, semoga Suhu puas melihat hukuman yang Teecu terima dengan segala kerelaan hati. Biarlah Suhu menganggap ini sebagai hukuman Teecu yang meninggalkan Suhu sehingga Suhu teraniaya oleh orang-orang jahat..."
Tak seorangpun di antara para penonton maupun para prajurit An Lu Shan mengerti apa maksud kata-kata itu. Hanya seorang saja yang mengerti, yakni Sastrawan tua yang pakaiannya tambal-tambalan itu. Sastrawan ini memandang tajam, kemudian dia menghela napas dan berkata perlahan,
"Dia benar-benar menerima hukuman dengan suka rela. Ah... orang inilah harapan Rakyat...! Benar-benar dia agaknya yang mewarisi isi kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng!"
Memang benar, pemuda yang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang menerima cambukan dengan mata meram dan tiada sakit sedikit pun keluhan keluar dari bibirnya, bukan lain adalah Lu Kwan Cu!
Siapakah Sastrawan berbaju tambal-tambalan itu yang berdiri di antara para penonton dan yang agaknya mengerti akan sikap aneh dari Kwan Cu? Dia ini bukan lain adalah Pujangga besar, pecinta Rakyat jelata, Pujangga yang namanya tetap harum sampai ribuan tahun lamanya, yakni Tu Fu! Untuk mengetahui bagaimana Kwan Cu bisa dapat berada di tempat itu dan bagaimana pula Pujangga Tu Fu dapat menonton pelaksanaan hukuman itu, marilah kita mundur dulu beberapa hari yang lalu. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lu Kwan Cu meninggalkan pulau berpohon putih dan dengan perahu buatannya sendiri, dia menuju ke Barat, ke daratan Tiongkok. Ia teringat akan pesan Suhunya Ang-Bin Sin-Kai, bahwa Suhunya itu hendak bertapa di pantai Laut Po-hai.
Maka dia menujukan perahunya ke pantai ini. Kesukaran-kesukaran di dalam pelayaran itu dapat di tempuh dengan amat mudah, karena sekarang dia bukanlah Kwan Cu pada empat tahun yang lalu. Kepandaiannya telah meningkat puluhan kali, bahkan ratusan kali tanpa dia sadari dan dia kini benar-benar telah menjadi seorang yang sakti. Setelah mendarat di pantai Laut Po-hai, dia mencari-cari Gurunya, akan tetapi hasilnya nihil. Kemudian dia bertemu dengan para nelayan di dekat pantai, dan dari mereka inilah dia mendengar tentang Pemberontakan An Lu Shan dan tentang perubahan hebat yang telah terjadi selama empat tahun itu. Kwan Cu mendengarkan semua itu tanpa perhatian. Ia tidak tertarik sama sekali tentang semua kejadian itu, karena memang pemuda ini setelah mempelajari ilmu dari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, pandangannya telah luas sekali,
Tidak sempit dan tidak mudah di kuasai oleh nafsu dan pertimbangan otak sendiri. Ia telah terbuka mata hatinya tentang kekuasaan Thian, dan dia percaya sepenuhnya bahwa peristiwa di dunia ini, sesungguhnya dilakukan oleh manusia, namun keputusan terakhir di tangan Thian. Oleh karena ini, betapapun janggal terdengarnya oleh orang lain, Kwan Cu percaya pula bahwa berhasilnya Pasukan Pemberontak An Lu Shan juga merupakan penentuan dari Yang Maha Kuasa! Hanya satu hal yang terpikir olehnya di saat dia mendengar itu, bahwa Suhunya tentu pergi ke Kota Raja. Suhunya adalah kakak dari Menteri Lu Pin yang menjadi Kakek angkatnya pula, pada peristiwa pengoperan kekuasaan itu tentu setidaknya mendatangkan akibat kepada Menteri Lu Pin. Mustahil kalau Ang-Bin Sin-Kai diam saja dan tidak menengok keadaan Kota Raja.
"Pasti Suhu berada di Kota Raja dan tidak aneh kalau aku mendapatkan dia di dapur isatana, siapapun juga Kaisarnya yang menempati istana itu,"
Pikir Kwan Cu dengan geli mengenangkan kesukaan Gurunya menyikat habis hidangan Kaisar di dalam istana. Maka berangkatlah Kwan Cu langsung menuju ke Kota Raja. Di dalam perjalanan, dia mendengar pula tentang usaha Rakyat menentang pemerintah An Lu Shan dan melihat betapa keadaan memang benar-benar berubah tidak mempengaruhi ketenangan batinnya. Ia melakukan perjalanan cepat tanpa menarik perhatian orang lain. Bagi orang lain, dia hanya seorang pemuda tampan sederhana yang berpakaian buruk, menggendong sebuah buntalan dan di samping pakaian butut itu, Suling pemberian Hang-Houw-Siauw Yok-Ong adalah harta satu-satunya.
Beberapa kali dia bertemu dengan rombongan pengungsi yang menuju ke Selatan, menjauhi Pasukan-Pasukan An Lu Shan yang terkenal buas dan kejam. Terutama sekali mereka yang memiliki anak-anak gadis, banyak yang mengungsi ke Selatan, sejauh mungkin. Ketika dia telah tiba di dekat kota Thian-Cin, dia melihat pula serombongan pengungsi terdiri dari para Petani yang kehilangan tanah dan kehilangan pekerjaan. Berbondong-bondong mereka berjalan kaki menuju ke Selatan, mencari hidup baru. Mereka berjalan dengan kaki lemas karena memang telah melakukan perjalanan jauh, dan wajah mereka semua nampak muram. Ketika Kwan Cu bertemu dengan rombongan ini, tiba-tiba di antara para pengungsi, terdengar seorang tua bernyanyi dengan suara yang lantang:
"Seekor babi gemuk memimpin negara
mana negara bisa kuat dan Rakyat bisa bahagia?
Akan tetapi srigala Utara lebih jahat lagi.
Tak saja Rakyat diabaikan, bahkan dicekik mati.
Negara kacau, selalu timbul pengkhianatan Bangsa.
Penasaran...! Penasaran...!
Sayang sekali dua saudara Lu menjadi korban.
Menteri setia ditumpas habis sekeluarga,
pendekar gagah korbankan nyawa dengan sia-sia.
Penasaran...! Penasaran...!
Berkali-kali orang itu mengucapkan nyanyian ini sampai seorang di antara para pengungsi menegurnya,
"Tu-Siucai, harap kau diam jangan bernyanyi seperti itu. Apakah kau ingin kita semua di tangkap dan dihukum mati?"
Mendengar teguran ini, si penyanyi tidak menjawab, hanya berkata seorang diri dengan suara keras,
"Didalam dunia memang banyak orang yang berhati pengecut dan penakut. Bagaimana kehormatan Bangsa bisa dapat dipertahankan? Aku pergi mengungsi bukan karena takut kepada Pemberontak An, melainkan karena tidak kuat melihat keadaan lebih lama lagi, muak perutku dan ingin muntah saja mulutku."
Orang yang menegurnya tadi hendak menegur lagi dengan muka merah, akan tetapi tiba-tiba dia berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak lebar. Ternyata bahwa si penyanyi yang ditegurnya tadi, tanpa di lihat bagaimana terjadinya tahu-tahu telah lengap dari tengah-tengah rombongan itu. Tidak saja si penegur itu yang menjadi kaget, bahkan orang-orang lain juga menjadi bengong seperti melihat setan di tengah hari.
"Di mana dia? Kemana perginya Tu-Siucai?"
Terdengar suara susul menyusul.
"Dia menghilang begitu saja!"
Ramailah rombongan itu akan tetapi karena mereka khawatir akan pengejaran Pasukan An Lu Shan, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan itu sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa yang aneh itu.
Apakah betul penyanyi tadi dapat menghilang? Sebenarnya penyanyi itu adalah Pujangga Tu Fu, seorang Sastrawan yang berbatin kuat berpikiran tajam dan berbakat luar biasa, namun bertubuh lemah. Mana bisa dia menghilang begitu saja. Ketika dia bicara dengan penegurnya tadi, tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tak dapat dilihat oleh pandangan mata dan tahu-tahu Tu Fu merasa tubuhnya dibawa melompat cepat sekali melewati kepala orang-orang dalam rombongan pengungsi itu! Sastrawan ini terpaksa meramkan mata karena angin meniup keras ke arah mukanya. Ketika dia membuka mata, ternyata dia telah berdiri di dalam hutan, jauh dari rombongan pengungsi yang tidak kelihatan lagi. Di hadapannya berdiri seorang pemuda sederhana yang menjura sambil berkata,
"Siauwte mohon maaf sebanyaknya kepada Tu-Siucai yang terhormat karena Siauwte telah berani berlaku lancang membawa Siucai ke sini."
Tu Fu biarpun seorang Sastrawan namun pengalamannya sudah banyak dan luas sekali, bahkan dia mengenal semua tokoh-tokoh kang-ouw yang paling terkenal. Kini dia menghadapi Kwan Cu dengan senyum di bibir dan matanya memandang kagum.
"Seorang muda yang gagah perkasa dan lihai sekali. Siapakah namamu dan murid siapakah kau?"
"Siauwte seorang tak berarti, Bu-Pun-Su (Tiada Kepandaian), dan tidak ada sesuatu yang berharga untuk diceritakan. Akan tetapi, dua saudara Lu yang Siucai nyanyikan tadi, amat menarik hati Siauwte. Bolehkah Siauwte mengetahui siapakah adanya mereka itu? Apakah mereka itu Lu Sin dan Lu Pin?"
Tu Fu tertawa.
"Orang muda yang aneh, kau lebih aneh daripada Ang-Bin Sin-Kai Lu Sin! Baiklah, Bu-Pun-Su (Tiada Kepandaian), aku akan menyebutmu Bu-Pun-Su saja, sebutan yang merupakan pujian tertinggi sungguh pun aku masih belum tahu apakah kau patut mendapat sebutan itu. Memang benar, yang kunyanyikan tadi adalah Menteri setia Lu Pin dan pendekar perkasa Ang-Bin Sin-Kai Lu Sin."
"Apakah yang terjadi dengan mereka?"
Kwan Cu bertanya dan biarpun dia telah menekan goncangan hatinya, namun dia tetap saja berdebar-debar.
Di dalam dunia ini, manusia yang dipandang dan yang selalu dikenangnya hanya Ang-Bin Sin-Kai seorang, maka sesuatu yang terjadi kepada Kakek sakti ini tentu saja menggerakkan hatinya. Orang-orang yang memiliki kepandaian istimewa, hampir selalu mempunyai tabiat aneh. Demikian pula Sastrawan Tu Fu. Biarpun dia tidak mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi, namun ketabahan hati dan keangkuhannya tidak kalah oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang manapun juga. Kekerasan hati dan keteguhan semangatnya laksana baja yang tak dapat dibengkokkan. Ketika dia mendengar pertanyaan Kwan Cu yang terdengar seperti tuntutan, dia mengedikkan kepalanya dan memandang tajam sambil berkata,
"Orang muda, ada hubungan apa antara kau dan Ang-Bin Sin-Kai? Ada hubungan apa pula antara kau dengan keluaraga Lu?"
"Sudah Siauwte katakan bahwa Siauwte seorang tidak berharga, tak perlu dibicarakan tentang diri Siauwte."
"Hm, anak sombong. Jangan coba merendahkan diri di depan air! kau ceritakan apa hubunganmu dengan Ang-Bin Sin-Kai, kalau tidak jangan harap mendengar sesuatu tentang dia dari mulutku!"
Kwan Cu menghela napas kewalahan. Ia maklun bahwa dia menghadapi seorang yang berwatak keras dan bersemangat baja, maka dia mengalah dan berkata,
"Ang-Bin Sin-Kai adalah Guruku."
Mendengar ini Sastrawan Tu Fu mencak-mencak, membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu,
"Bu-Pun-Su, murid macam apa engkau ini? Sudah bertahun-tahun Ang-Bin Sin-Kai tewas dalam penasaran dan sekarang tiba-tiba kau muncul menanyakan apa yang terjadi dengan dia? Apa gunanya air bagi tetumbuhan yang mati mengering dan apa gunanya obat bagi si sakit yang sudah tak bernapas lagi? Guru dalam bahaya dan berjuang mati-matian mempertahankan nama baik negara dan Bangsa kau bersembunyi tidak memperlihatkan diri. Sekarang Guru sudah tewas di tangan orang jahat, kau pura-pura muncul dan tanya-tanya apa yang telah terjadi dengan Gurumu? Kau sudah sepantasnya mendapat hukuman! Kalau aku menjadi Gurumu, kau kuhukum lima puluh kali cambukan pada tubuhmu!"
Kwan Cu menjura lagi.
"Siucai yang terhormat, sudilah kiranya menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Guruku Ang-Bin Sin-Kai yang tercinta."
"Ang-Bin Sin-Kai adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan berjiwa besar, tidak seperti engkau yang katanya menjadi muridnya. Melihat tokoh-tokoh kang-ouw membela Pemberontak An Lu Shan, dia menjadi penasaran dan menyerbu Kota Raja. Akan tetapi dia tidak kuat menghadapi tokoh-tokoh besar seperti Jeng-Kin-Jiu, Hek-I Hui-Mo dan lain-lain karena dikeroyok. Suhumu benar-benar seorang Patriot sejati, seorang Pahlawan gagah perkasa."
Bukan main sedihnya hati Kwan Cu mendengar akan nasib Suhunya itu. Tak terasa pula dua titik air mata meloncat keluar dari sepasang matanya. Ia terharu sekali akan nasib Gurunya yang amat dia cinta, setua itu masih terlibat urusan dunia dan terpaksa mengorbankan nyawa untuk nama dan kehormatan negara. Hatinya mulai diliputi rasa sakit hati dan dendam terhadap para pembunuh Suhunya, akan tetapi kesadarannya timbul ketika dia teringat bahwa kesemuanya itu adalah kehendak Thian yang tak dapat di cegah lagi. Hatinya menjadi dingin lagi dan dia berkata perlahan,
"Mengapa Suhu begitu lemah menurutkan nafsu hati? Apakah Suhu tidak tahu bahwa semua itu sudah menjadi kehendak alam yang berkuasa?"
Mendengar ini, kembali Tu Fu mencak-mencak dan membanting-banting kaki.
"Wahai semua mahluk yang kebetulan berada di dekat tempat ini. Dengarlah kalian kata-kata seorang pemuda hijau yang berlagak menjadi ahli filsafat besar! Seorang pemuda masih berbau minyak dan param berani mencela Gurunya, Ang-Bin Sin-Kai yang kuhormati?"
Merah muka Kwan Cu mendengar ini. Ia menjawab perlahan karena entah mengapa, dia merasa segan dan tunduk menghadapi orang tua ini yang mempunyai pengaruh luar biasa.
"Siucai yang baik, Siauwte mana berani mencela Guru? Siauwte hanya menyatakan dengan sebenarnya bahwa memang kesemuanya adalah kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Apakah daya manusia menghadapi kehendak dan keputusan Thian? Kita hanya bisa menerima, mengapa Suhu tidak melihat kenyataan ini?"
Tu Fu makin marah-marah.
"Inilah namanya memanggang daging dengan api bernyala, matang dan gosong luarnya, sedangkan di sebelah dalamnya masih mentah! Demikian pula hasilnya kalau orang memberi pelajaran terlalu dalam kepada seorang pemuda yang masih hijau dan goblok! Akibatnya menjadi seorang pemuda berlagak ahli filsafat padahal masih mentah! Pengetahuan mendalam tanpa pengalaman matang seperti mangkok berkembang tanpa isi. Apa gunanya? Hanya untuk pameran belaka! Bu-Pun-Su, kau bermimpi dalam sadar. Jalan Tuhan memang luar biasa dan tak dapat di mengerti oleh manusia dan memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk menyerahkan seluruh hasil dan keputusan kepada Thian dengan penuh iman dan kepercayaan. Akan tetapi jangan kau lupa bahwa manusia juga berhak untuk berikhtiar, untuk berusaha demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Penyerahan secara membuta tanpa disertai ikhtiar, itu bahkan berarti penghinaan namanya! Kau dilahirkan bertanah air, berBangsa, bukankah itu kehendak Thian pula? Kalau kau tidak dapat membela tanah air dan Bangsa, membiarkan tanah air dan Bangsa dihina dan diinjak-injak oleh kaki orang lain, patutkah kau disebut seorang anak Bangsa? Hm, kau memang pantas dicambuk lima puluh kali!"
Tu Fu marah-marah dan masih banyak kata-kata pedas dilontarkan kepada pemuda itu. Kwan Cu tertegun. Semua kata-kata yang dikeluarkan dari mulut Sastrawan tua ini merupakan hal baru baginya, menancap di ulu hatinya dan terasa betul-betul olehnya. Ia terlalu diayun oleh lamunan Nabi Lo Cu yang memang sukar ditangkap artinya.
"Siucai yang bijaksana, siapakah sebenarnya kau yang kenal baik kepada Suhuku dan yang dapat mengeluarkan buah pemikiran sedemikian baiknya?"
"Bu-Pun-Su murid murtad, belum pernahkah Gurumu menyebut nama Tu Fu si Sastrawan miskin?"
Kwan Cu terkejut sekali mendengar nama ini.
Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, bukan satu dua kali bahkan telah berkali-kali, karena dahulu, Gurunya yang pertama, yakni Gui-Siucai, berkali-kali menyebut nama Tu Fu ini dengan penuh kekaguman. Gui Tin menyebut nama Tu Fu sebagai Pujangga dan Sastrawan yang paling besar di samping Sastrawan Li Po, seorang Sastrawan Patriot yang berjiwa besar. Tidak itu saja, bahkan Gurunya, Ang-Bin Sin-Kai sering menyatakan kekagumannya kepada Tu Fu. Kini melihat sendiri orangnya dan mendengar ucapannya yang amat berkenan di dalam hatinya, sekaligus tunduklah hati Kwan Cu. Ia merasa berhadapan dengan seorang yang setingkat dengan Gurunya bahkan melebihi Gurunya dalam hal ilmu filsafat dan kebatinan. Maka serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tu Fu. Dengan amat terharu dia berkata,
"Locianpwe, Teecu telah berlaku kurang hormat mohon maaf sebanyaknya. Sekarang Teecu melihat betapa besar dosa Teecu terhadap Suhu Ang-Bin Sin-Kai, oleh karena itu mohon petunjuk dari Locianpwe bagaimana selanjutnya Teecu berlaku, karena sesungguhnya Teecu tidak tahu harus berlaku bagaimana."
"Pertama-tama kau harus di hukum lima puluh kali cambukan,"
Kata Tu Fu dengan wajah sungguh-sungguh.
"Orang muda seperti engkau ini mudah terharu, mudah berduka dan mudah gembira. Siapa bisa percaya bahwa kau benar-benar sadar bahwa tindakan Suhumu itu baik dan sempurna? Di kota ini Thian-Cin, tak jauh dari sini, orang baik-baik dan tidak berdosa sedang ditangkapi dan dihukum cambuk. Kalau kau bisa mencegah perlakuan sewenang-wenang itu dan mewakili mereka kau akan dapat melanjutkan usaha Suhumu membasmi pengkhianat-pengkhianat Bangsa yang amat berbahaya bagi keselamatan negara dan Bangsa."
Mendengar ini, bangkit semangat Kwan Cu.
"Mari, Locianpwe, akan Teecu perlihatkan bahwa kepercayaan Locianpwe terhadap murid Ang-Bin Sin-Kai takkan sia-sia belaka."
Tanpa menanti jawaban Kwan Cu menyambar tubuh Sastrawan itu dan dibawanya lari cepat sekali ke kota Thian-Cin di mana sedang berlangsung penghukuman cambuk atas diri sepuluh orang Sastrawan yang didakwa menjadi Pemimpin para gerombolan pengacau yang sesungguhnya adalah Pejuang-Pejuang Rakyat. Kwan Cu menurunkan tu Fu di antara para penonton sedangkan dia sendiri sebagaimana telah dituturkan di bagian depan turun tangan merampas cambuk, mencegah di lanjutkannya hukuman itu dan dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan sebagai hukuman kepada dirinya yang membiarkan Gurunya tewas di tangan orang-orang jahat.
Demikianlah sebabnya mengapa Kwan Cu dapat datang di Thian-Cin bersama Sastrawan Tu Fu dalam saat yang amat tepat sehingga dia dapat menolong sepuluh orang hukuman itu dan sebaliknya dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan dari algojo yang tidak mengenal kasihan. Biarpun para penonton merasa amat ngeri menyaksikan pemuda yang dianggapnya setengah gila dicambuki, namun diam-diam mereka merasa heran sekali, mengapa pemuda ini meramkan mata dan sama sekali tidak pernah mengaduh, biarpun pakaiannya robek-robek dan tubuhnya serta mukanya penuh dengan gurat-gurat merah bekas cambuk. Suara cambuk mereka memecah di udara lalu disusul menjepretnya ujung cambuk memecah pakaian Kwan Cu dan menimpa kulit dadanya, susul-menyusul sampai puluhan kali. Tiba-tiba di antara para penonton terdengar suara,
"Cukup, Bu-Pun-Su sudah lima puluh kali kau menerima hukuman!"
Inilah suara dari Sastrawan besar Tu Fu yang menghitung jumlah cambukan itu sampai lima puluh kali. Pujangga ini benar-benar merasa kagum terhadap Kwan Cu yang demikian jujur dan setia kepada sumpahnya. Juga dia merasa kagum akan kesadaran pemuda itu yang merasa berdosa terhadap Ang-Bin Sin-Kai dan untuk kedosaannya menebus dengan lima puluh kali cambukan, padahal kalau dipikir benar-benar, pemuda itu tidak berdosa apa-apa, karena ketika Gurunya ditewaskan orang, dia benar-benar tidak tahu.
Baru saja ucapan ini dikeluarkan oleh Tu Fu, tiba-tiba algojo yang mencambuk tubuh Kwan Cu itu menjerit keras dan cambuknya terlepas dari pegangan karena telapak tangannya berdarah! Ternyata bahwa ketika cambukan yang ke lima puluh satunya tiba, Kwan Cu mengerahkan tenaga sedemikian rupa sehingga tenaga cambukan itu membalik dan melukai telapak tangan si pemegang cambuk sendiri. Demikianlah lihainya Kwan Cu yang sudah dapat menyalurkan tenaga itu sehingga membalik melukai pecut. Getaran tenaga yang membalik itu membuat telapak tangan algojo terobek kulitnya sehingga dia melepaskan cambuk, mengaduh-aduh sambil memegangi tangan kanannya yang berdarah! Komandan Pasukan mengira bahwa algojo itu saking lelahnya merasa sakit tangannya. Ia sudah amat mendongkol melihat pemuda itu dicambuk lima puluh kali masih belum apa-apa,
Maka segera dia memberi aba-aba kepada sembilan orang algojo yang lain untuk turun tangan. Sembilan batang cambuk berputar di atas kepala dan jatuh bertubi-tubi ke tubuh Kwan Cu. Akan tetapi, kembali terdengar jerit kesakitan susul menyusul, sembilan batang cambuk itu terlempar dan sembilan orang algojo memegang tangan kanan yang berdarah pula! Geger keadaan di situ. Para anggauta Pasukan mencabut senjata, para penonton kagum dan juga ketakutan. Apalagi ketika Kwan Cu dengan sekali renggut saja mematahkan ikatan tangannya, keadaan menjadi makin kacau. Para Perwira bala Tentara An Lu Shan segera memberi aba-aba dan membawa anak buahnya maju mengepung. Ratusan orang mengepung seorang saja, dapat dibayangkan betapa hiruk-pikuk dan kacau balaunya.
Akan tetapi, barisan belakang terpaksa mundur kembali ketika mereka tiba-tiba tertimpa kawan-kawan sendiri yang dilempar-lemparkan dari depan bagaikan daun-daun kering tertiup angin. Terdengar pekik kesakitan di sana-sini dan tak lama kemudian, anggauta-anggauta Pasukan menjadi bingung sekali karena pemuda aneh itu tidak kelihatan lagi, dan demikian pula para Perwira mereka tidak terdengar lagi komadonya. Ketika mereka memandang, alangkah terkejutnya mereka sepuluh orang Perwira telah terikat erat-erat di sepuluh buah tiang yang tadinya disediakan untuk menyiksa
(Lanjut ke Jilid 22)
Pendekar Sakti/Bu Pun Su Lu Kwan Cu (Seri ke 01 - Serial Pendekar Sakti)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 22
para tawanan! Adapun pemuda luar biasa itu, entah pergi kemana karena tidak kelihatan bayangannya lagi. Semenjak peristiwa itu, nama Bu-Pun-Su terkenal di kalangan Pasukan-Pasukan An Lu Shan. Nama ini mendatangkan rasa gentar dalam hati mereka, karena selama menghadapi para Pejuang Rakyat, belum pernah ada yang selihai pemuda aneh itu.
Setelah memperlihatkan kepandaiannya ketika dikepung oleh barisan itu dan berhasil membebaskan diri dari kepungan tanpa terlihat oleh siapapun juga, Kwan Cu membawa Sastrawan Tu Fu keluar dari Thian-Cin dan dia menghaturkan terima kasih atas segala petunjuk Pujangga itu. Ia benar-benar tunduk kepada Sastrawan ini, hanya ada sedikit perbedaan perasaan antara dia dan Tu Fu. Kalau Pujangga itu lahir batin membenci semua Pasukan An Lu Shan yang telah menggulingkan kerajaan dan seperti juga lain-lain Pejuang ingin sekali membasmi habis An Lu Shan dan seluruh pengikutnya, adalah Kwan Cu tidak dapat menaruh rasa benci kepada para anggauta Pasukan. Oleh karena ini ketika dia dikepung dia tidak menewaskan lawan, hanya memberi hajaran dan melempar-lemparkan mereka saja!
Setelah Kwan Cu mendengar dari Tu Fu bahwa pada saat akan tewas, Ang-Bin Sin-Kai menyebut-nyebut namanya, dia menjadi amat terharu dan timbullah kebenciannya kepada mereka yang telah membunuh Gurunya. Ia mendengar dari Tu Fu yang agaknya mengerti akan segala peristiwa itu bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok Ang-Bin Sin-Kai sehingga tewas adalah Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu, Hek-I Hui-Mo Thian Seng Hwesio, Toat-Beng Hui-Houw, dan Pek-Eng Sianjin. Nama-nama ini dicatat oleh Kwan Cu di dalam hatinya dan dia mengambil keputusan untuk mencari mereka seorang demi seorang. Yang membuat dia merasa amat heran dan juga mendongkol adalah ketika dia mendengar bahwa Jeng-Kin-Jiu juga ikut mengeroyok Suhunya. Ia tahu bahwa antara Suhunya dan Jeng-Kin-Jiu, terdapat hubungan yang amat erat, bagaimana kedua orang tokoh ini sampai saling bermusuhan?
Dia sendiri masih mempunyai hubungan amat erat dengan Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu, karena namanya pun adalah pemberian dari Hwesio gendut itu. Oleh karena ini maka orang pertama yang hendak adalah Jeng-Kin-Jiu. Ia berpisah dari Tu Fu yang seperti biasa hendak merantau. Kwan Cu langsung menuju ke Kota Raja. Di sepanjang perjalanan, setiap kali bertemu dengan Pasukan-Pasukan An Lu Shan yang menindas Rakyat, pemuda ini pasti menolongnya, memberi hajaran kepada Pasukan itu, mengancam Perwiranya. Semua ini dia lakukan tanpa memperlihatkan diri, hanya menuliskan ancaman di dalam kamar markas Pasukan dengan cara mengukir dinding batu dengan telunjuknya yang berbunyi singkat:
KALAU MASIH BERANI MENINDAS RAKYAT, AKU AKAN DATANG MENGAMBIL NYAWA!
BU PUN SU
Banyaknya kejadian yang amat tidak adil dan kekejaman-kekejaman dari fihak Pasukan terhadap Rakyat, membuat hati Kwan Cu makin lama makin panas terbakar. Tadinya dia mengira bahwa anggauta-anggauta Pasukan itu hanya memenuhi perintah saja dan segala dosa dia timpakan kepada para Pemimpin kaki tangan An Lu Shan. Akan tetapi, makin lama menjadi kenyataan baginya bahwa rata-rata anggauta Pasukan Pemberontak An Lu Shan memang kasar dan kejam, ganas dan menindas Rakyat jelata. Namun seberapa bisa, Kwan Cu masih berusaha menghindarkan diri agar jangan sampai membunuh orang, dengan memberi ancaman seperti yang dia ukirkan pada dinding-dinding markas Pasukan Pemberontak.
Karena melakukan perjalanan cepat biarpun banyak ganguan di jalan untuk menolong Rakyat dari gangguan Pasukan-Pasukan An Lu Shan, beberapa pekan kemudian sampailah Kwan Cu di Kota Raja. Ia teringat ketika bersama Gurunya datang di Kota Raja dan keadaan sekarang kelihatannya tiada perubahan sama sekali. Ia menuju ke jalan di mana dahulu berdiri rumah gedung dari Menteri Lu Pin. Ternyata bahwa rumah itu kini telah berubah bentuk, bahkan rumah ini agaknya masih baru. Tidak ada tanda-tanda atau bekas dari rumah yang lama. Kwan Cu berjalan terus lalu memasuki rumah makan yang besar, agaknya rumah makan ini pun baru karena seingatnya dahulu tidak ada rumah makan ini di jalan besar itu.
Ia disambut oleh seorang pelayan yang memandangnya dengan mata curiga, maklumlah, pakaian Kwan Cu yang amat bersahaja itu tentu saja menimbulkan kecurigaan karena rumah makan yang besar ini biasanya hanya dimasuki oleh Hartawan-Hartawan dan para Bangsawan belaka. Kwan Cu tidak mempedulikan sikap pelayan ini. Di dalam perjalanannya, dia mendapat kenyataan bahwa dia memang perlu sekali membawa bekal uang untuk makan dan biaya-biaya lainnya, maka dia telah mengambil cukup banyak emas dari kamar harta seorang pembesar kaya raya ketika dia memberi ancaman kepada pembesar yang terkenal sebagai penindas kaum tani itu. Rumah makan itu banyak tamunya dan sebagian besar adalah orang-orang muda dengan pakaian mewah. Mereka bercakap-cakap sambil makan dan suara ketawa mereka memecah di ruang makan itu.
Orang-orang ini tidak menarik perhatian Kwan Cu, hanya seorang laki-laki berkepala botak yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun cukup menarik, laki-laki ini sedang bicara dengan suara yang dalam, lantang dan bertenaga, sedangkan banyak pemuda berpakaian mewah mendengarkan ceritanya sambil tertawa-tawa. Diam-diam Kwan Cu merasa geli karena dia tahu bahwa laki-laki botak itu di waktu bicara mengerahkan tenaga Khikangnya yang lumayan juga sehingga suaranya terdengar nyaring sekali. Pelayan rumah makan mempersilakan Kwan Cu duduk di depan meja yang terletak di pojok, agak jauh dari tamu-tamu lain. Padahal di dekat tamu-tamu itu masih ada beberapa tempat yang kosong. Namun Kwan Cu tidak ambil peduli dan segera dia memesan beberapa makanan.
Sambil menanti makan, Kwan Cu duduk melamun sambil memandang keluar jendela rumah makan. Dilihatnya seorang pelayan mengusir pergi tiga orang Pengemis. Seekor anjing kurus makan tulang yang hitam. Pengemis-Pengemis itu berjalan dengan kaki lemas, seorang di antaranya terpincang-pincang. Melihat ini, diam-diam Kwan Cu menghela napas panjang. Bukan saja para Pengemis itu mengingatkan dia akan Gurunya, Ang-Bin Sin-Kai, juga pemandangan itu membuat dia melihat perbedaan yang amat menyolok antara kehidupan tiga orang manusia dan manusia-manusia lain yang tengah makan sambil berkelakar itu. Pengemis-Pengemis itu tiada ubahnya seperti anjing kurus itu, bahkan mungkin lebih kelaparan lagi. Dia lalu melambaikan tangan kepada pelayan yang tadi menyambutnya. Pelayan itu datang dengan muka angkuh.
"Tolong bikin tiga mangkok masak bihun lagi dan berikan kepada tiga orang Pengemis itu. Aku yang akan bayar."
Pelayan itu mengerutkan keningnya, akan tetapi dia tentu saja tidak dapat membantah kehendak seorang tamu. Ia mengangguk-angguk, kemudian membuka mulut.
"Pesanan Tuan akan kami layani, akan tetapi untuk memberikan kepada para jembel itu, harap Tuan berikan sendiri."
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa begitu?"
Tanya Kwan Cu dengan suara sabar.
"Oleh karena kalau kami yang memberikan, mereka akan menjadi keenakan dan biasa, dan setiap hari tentu akan datang ke sini mengharapkan pemberian seperti itu!"
Kwan Cu menahan sabar dan menekan kegemasan dalam hatinya.
"Baiklah, biar aku yang memberikan sendiri."
"Hei, A-kiu...!"
Tiba-tiba laki-laki botak itu memanggil pelayan yang sedang bicara dengan Kwan Cu. Pelayan itu cepat meninggalkan Kwan Cu tanpa pamit, setengah berlari, menghampiri meja si botak.
"Ada apakah memanggil hamba, An-Siauw-Ongya (Pangeran Muda she An)?"
Katanya membungkuk-bungkuk.
"Bagaimana sih kerjaanmu? Banyak lalat busuk tidak kau usir dari sini?"
Sambil berkata demikian, si botak melirik ke arah Kwan Cu.
"Membikin bau saja!"
Pelayan itu mengerti akan sindiran ini dan dia tersenyum-senyum, lalu mendekati meja mereka dan bicara bisik-bisik, menceritakan bahwa pemuda asing itu memesan masakan untuk tiga orang Pengemis. Terdengar suara ketawa meledak.
Kwan Cu melirik dan melihat mereka semua memandang ke arahnya sambil bisik-bisik. Pendengaran Kwan Cu amat tajam dan dari mejanya dia dapat mendengar semua percakapan mereka yang membicarakan dia. Bahkan dia mengerti pula bahwa yang dimaksudkan dengan lalat busuk adalah dia sendiri! Akan tetapi kesabaran Kwan Cu memang luar biasa sekali. Sedikit pun dia tidak merasa mendongkol atau marah, bahkan merasa kasihan melihat betapa pemuda-pemuda itu menyia-nyiakan waktu muda begitu saja. Orang muda botak yang di sebut An-Siauw-Ongya itu bangkit berdiri dari bangkunya, diikuti oleh kawan-kawannya.
------- Sepertinya ada HALAMAN yang hilang -------
Akan tetapi Kwan Cu seperti tidak melihatnya, meletakkan mangkok yang sudah kosong ke atas meja dan menepuk pundak pelayan itu sehingga pulih kembali keadaan tubuh pelayan ini yang menjadi amat pucat dan ketakutan.
"Nah, aku terima kalah,"
Kata Kwan Cu.
"Ternyata kau memang sudah biasa makan masakan busuk dan rumah makan ini memang hanya menjual masakan yang sudah bau. Terimalah pembayaran ini."
Ia melemparkan beberapa potong uang perak ke atas meja.
"Pengemis liar dari mana berani main gila dan mengacau di Kota Raja?"
Pangeran Muda An yang botak itu membentak dan mencabut keluar sepasang senjatanya yang aneh.
Melihat senjata itu, diam-diam Kwan Cu merasa heran karena hanya orang berilmu silat tinggi saja yang bersenjata seperti itu. Tangan kanan pangeran botak itu memegang sebuah Joan-Pian (Ruyung Lemas) yang terbuat daripada logam hitam diuntai, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah Hudtim (pengebut yang biasa digunakan oleh Pendeta). Kwan Cu sudah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, kalau-kalau orang botak itu dan kawan-kawannya hendak menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, terlihat tiga orang Pengemis yang tadi dia beri makanan, datang bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian mewah sekali. Melihat pakaiannya, terang bahwa orang muda ini seorang berpangkat pula.
Pangeran An yang botak itu tadinya tidak melihat kedatangannya tamu baru ini dan kemarahannya membuat mukanya menjadi merah sekali. Dengan gerakan istimewa, Kebutan di tangan kirinya menyambar ke arah meja yang menghalang di depannya. Ujung Kebutan itu melilit kaki meja dan sekali dia menggerakkan tangan, meja kosong itu terbang ke kiri dan empat buah kakinya menancap pada dinding dan menempel di situ. Amat aneh dan lucu meja itu kini menempel miring dengan empat kaki pada dinding! Kwan Cu terkejut. Terang bahwa si botak ini memamerkan kepandaiannya dan harus dia akui bahwa hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kepandaian serta Lweekang yang sudah tinggi tingkatnya. Akan tetapi sebelum si botak turun tangan, orang muda berpakaian mewah yang baru masuk itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata,
"Terlalu banyak orang pandai sekarang sehingga di mana saja melihat orang memamerkan tenaga!"
Sambil berkata demikian, dia melangkah ke arah dinding di mana meja itu menancap empat kakinya.
Dengan gerakan perlahan dia memegang meja itu dan sekali renggut ke bawah, meja itu telah terlepas dari dinding. Ketika Kwan Cu memandang ke arah dinding, dia menjadi makin keheranan dan tertegun karena ternyata bahwa pemuda berpakaian mewah yang datang ini bahkan lebih tinggi kepandaiannya daripada si botak tadi. Dengan sekali gentak saja sudah dapat mematahkan empat kaki meja yang rata dengan dinding sehingga seakan-akan lubang dinding yang ditusuk oleh kaki meja, kini telah disumbat rapat dan rata dengan permukaan dinding. Pemuda botak ketika memandang kepada orang yang baru datang ini, menjadi berubah air mukanya. Ia menyimpan kembali sepasang senjatanya dan berkata sambil tersenyum pahit.
"Eh, kiranya Suheng tidak menginginkan keributan. Biarlah Siauwte meninggalkan Pengemis kurang ajar ini kepada Suheng."
Sehabis berkata demikian, pemuda botak ini sambil tertawa-tawa mengejek, lalu meninggalkan ruangan rumah makan, diikuti oleh kawan-kawannya yang kelihatan takut sekali terhadap pemuda baju mewah yang baru datang. Kini perhatian Kwan Cu tertuju kepada pemuda pakaian mewah ini. Makin dia pandang, makin dikenalnya muka pemuda ini. Ia merasa yakin bahwa dia pernah bertemu dengan pemuda ini, hanya dia lupa lagi di mana dan bilamana. Tiga orang Pengemis tadi kini berdiri di luar pintu dan jelas sekali bahwa di antara tiga orang Pengemis itu dan pemuda ini pasti ada hubungan dan dapat diduga pula bahwa kedatangan pemuda ini pun atas pemberitahuan tiga orang Pengemis itu. Makin heranlah hati Kwan Cu. Agaknya keadaan di Kota Raja ini penuh dengan rahasia.
Siapa tahu kalau-kalau tiga orang Pengemis itu memang mata-mata yang menyamar dan bekerja untuk kepentingan pemuda mewah ini. Tentu pemuda ini pun tinggi pangkatnya, kalau tidak demikian, tidak nanti pemuda botak yang disebut pangeran muda itu menyebutnya Suheng (kakak seperguruan) dan sikapnya begitu mengalah. Sementara itu, pemuda berpakaian mewah ini juga memandang kepada Kwan Cu dengan penuh perhatian. Sepasang matanya memandang dan mulutnya tersenyum setengah mengejek. Melihat sinar mata dan senyum itu, timbul rasa tidak suka di hati Kwan Cu. Pemuda yang bersikap halus namun mempunyai watak dasar yang sombong sekali, jauh lebih sombong dari pemuda botak tadi, pikirnya. Hanya kesombongannya tersembunyi di balik kehalusan yang disengaja dan kelicinan yang luar biasa. Terhadap orang seperti ini aku harus berlaku hati-hati sekali, pikir Kwan Cu.
"Kiranya benar sekali laporan Sam-Lokai (Tiga Pengemis Tua) bahwa Kota Raja kedatangan seorang pemuda luar biasa, seorang tamu agung yang menyembunyikan keadaan sebenarnya. Ah, Kwan Cu, sudah lupakah kau kepadaku?"
Kata pemuda itu sambil tersenyum dan menghampiri Kwan Cu. Kwan Cu hampir melompat dari bangkunya. Baru sekarang dia teringat siapa adanya orang ini.
"Lu Thong...!"
Serunya. Lu Thong memperlebar senyumnya, lalu memberi tanda agar supaya Kwan Cu jangan banyak bicara di tempat terbuka itu.
"Kita masih bersaudara, bukan? Nah, marilah kau ikut dengan aku ke rumahku, di sana kita dapat bicara dengan enak dan leluasa."
Akan tetapi, melihat senyum pemuda yang dulu amat sombong dan jahat itu, Kwan Cu menjadi makin curiga dan benci.
"Aku tidak mau pergi bersama murid orang yang telah menewaskan Guruku secara keji,"
Jawabnya. Lu Thong mainkan alisnya.
"Aha, kau sudah mendengar tentang hal yang mentertawakan itu? Kwan Cu, kita kesampingkan dulu urusan orang-orang tua itu. Kau mau mendengar keterangan yang sejelasnya tentang semua keadaan selama kau menyembunyikan diri sampai bertahun-tahun? Nah, keterangan itu hanya bisa kau dapatkan dari aku. Marilah kau mampir ke rumahku, ataukah kau takut?"
Keangkuhan hati Kwan Cu tersentuh dengan tantangan ini, maka dengan gagah dia menjawab,
"Siapa takut? Kau mau bisa berbuat apakah terhadap aku? Baik, aku ikut denganmu, hendak kulihat apa yang hendak kau lakukan."
Lu Thong tertawa girang dan memberi tanda kepada tiga orang Pengemis tua yang masih berdiri di luar pintu. Tiga orang Pengemis itu lalu berlari pergi dengan cepat sekali dan kembali Kwan Cu tertegun. Kiranya para Pengemis yang tadi menimbulkan belas kasihannya, bukanlah Pengemis sembarangan! Lu Thong membawa Kwan Cu pergi ke sebuah gedung yang mentereng di bagian Barat kota. Tadi ketika pemuda mewah ini bercakap-cakap dengan Kwan Cu di dalam rumah makan, para pelayan tidak ada yang berani mendekat.
Di sepanjang jalan pun, semua orang yang bertemu dengan Lu thong, memberi hormat dengan sopan sekali, bahkan serombongan Tentara yang kebetulan lewat, cepat bersikap tegak dan memberi hormat pula. Diam-diam Kwan Cu memuji bahwa pemuda ini telah dapat mengangkat diri dalam kedudukan yang tinggi. Ia merasa heran sekali mengapa Kakek angkatnya, Menteri Lu Pin yang terbinasa sekeluarga, keadaanya jauh berbeda dengan cucunya ini. Akan tetapi dia tidak banyak bertanya, hanya mengikuti Lu Thong dengan diam-diam. Ketika memasuki rumah gedung itu, banyak pelayan menyambut kedatangan Lu Thong dan Kwan Cu dengan penuh penghormatan. Di antara para penyambut, terdapat lima orang wanita muda yang cantik jelita dan dengan sikap biasa seakan-akan hal itu tidak ada keanehannya, Lu Thong memperkenalkan lima orang itu sebagai selir-selirnya!
"Aku belum menikah dan masih menanti datangnya jodoh yang cocok,"
Katanya tertawa.
"karena itu, mereka inilah yang menghiburku dan mengusir kesepian dari anak malang yang hidup sebatang kara ini."
Kwan Cu hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak berkata sesuatu, juga tidak mempedulikan sinar mata para wanita muda yang ditujukan kepadanya dengan sikap genit. Juga dia melihat tiga orang Pengemis tadi kini telah ikut menyambut dengan pakaian bagus dan sikap hormat sambil tertawa-tawa.
"Mari kita bicara di dalam taman bunga, saudara Kwan Cu. Di sana hawanya lebih enak dan leluasa."
Kwan Cu harus mengakui, bahwa taman bunga ini indah sekali. Tidak saja di situ penuh dengan tanaman bunga beraneka warna dan dihias pula dengan sebuah kolam ikan yang penuh ikan emas dan bunga teratai, juga di tengah-tengah taman bunga itu dibuat tanah lapang yang amat bersih dan lega, agaknya tempat berlatih ilmu silat.
"Kau hidup mewah dan senang sekali, Lu Thong,"
Kata Kwan Cu sambil memandang ke sekeliling tempat itu. Ia mendapat kenyataan bahwa baik rumah gedung itu maupun taman bunganya, dikelilingi oleh tembok yang tinggi sekali dan di atas tembok dipasangi kawat berduri.
"Akan tetapi kau juga menjaga tempatmu ini dengan amat kuat seperti takut akan kedatangan musuh."
Lu Thong tertawa dan mengajak Kwan Cu duduk menghadapi meja yang telah penuh dengan hidangan-hidangan mewah dan guci arak berukir yang penuh dengan arak wangi.
"Duduklah, saudaraku. Matamu benar-benar awas dan kau dapat menduga tepat. Memang di Kota Raja sekarang tidak aman, kekacauan hebat timbul, tidak saja untuk para pembesar dan penduduk, bahwa di dalam istana sendiri terjadi kekacauan dan persaingan hebat."
"Seperti halnya Suhumu Jeng-Kin-Jiu yang mengeroyok dan menewaskan Suhuku,"
Kata Kwan Cu dengan pandang mata tajam.
"Jangan kau persalahkanaku dalam urusan itu. Suhu juga merasa amat menyesal dan sekarang Suhu tidak mau lagi menginjak Kota Raja karena merasa menyesal telah ikut terseret dalam permusuhan."
"Akan tetapi muridnya bahkan hidup mewah di sini, sungguhpun seluruh keluarganya telah musnah..."
Kwan Cu menyindir.
"Kau tidak tahu, Kwan Cu. Kong-kong (Kakek) Lu Pin sebenarnya masih hidup."
Berubah wajah Kwan Cu.
"Benarkah? Di mana beliau?"
"Itulah soalnya, Kwan Cu. Kong-kong telah dapat melarikan diri membawa harta benda istana yang besar sekali harganya, dan sampai sekarang tak seorang pun mengetahui di mana adanya kong-kong Lu Pin. Oleh karena itulah, biarpun semua keluarga terbinasa, aku terpaksa harus mencari kedudukan setelah ditolong oleh Suhu dan diberi ampun oleh mendiang Panglima An Lu Shan."
Kembali Kwan Cu tertegun.
"Apa? Pemberontak itu sudah meninggal dunia?"
"Huuusss, jangan keras-keras kau bicara, Kwan Cu. Panglima An Lu Shan adalah seorng Panglima gagah perkasa dan bahkan telah menjadi Kaisar yang bijaksana. Kalau tidak demikian, tidak nanti aku diangkat menjadi pangeran dan dianggap sebagai putera angkatnya sendiri."
"Hemmm, begitukah...?"
Kata Kwan Cu sambil merapatkan bibirnya. Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa muak sekali terhadap pemuda ini. Seluruh keluarganya, termasuk Ayah bundanya, dan semua orang, telah dibinasakan oleh An Lu Shan dan dia sendiri mau diangkat menjadi puteranya! Alangkah rendahnya watak pemuda ini.
"Kau agaknya tidak tahu sama sekali tentang keadaan di sini, Kwan Cu."
"Memang aku tidak tahu, bukankah kau mengajak aku kesini untuk menceritakan semua itu?"
Kwan Cu bertanya. Lu Thong kembali tersenyum, senyum yang mengandung ejekan dan rahasia, senyum yang membayangkan kecerdikannya dan yang membuat Kwan Cu bersikap waspada.
"Baiklah, kuceritakan semuanya dengan jelas keadaan di Kota Raja."
Maka berceritalah Lu Tong. Sebagaimana diketahui, Kaisan Hian Tiong yang lalim itu dengan cara amat sembrono telah mengangkat An Lu Shan, seorang Panglima Tartar menjadi Panglima di tiga kota Timur laut dan berkedudukan di Ho-pei. Hal ini sudah dibantah oleh banyak Menteri, terutama sekali ditentang oleh Menteri Lu Pin.
Akan tetapi Kaisar tidak mempedulikan semua teguran itu yang diajukan dengan alasan bahwa amat berbahaya mengangkat Panglima asing dengan kekuasaan besar. Akhirnya, benar saja An Lu Shan memberontak dengan sejumlah Tentara tidak kurang dari lima belas laksa orang yang telah dilatih sempurna sekali dalam hal ilmu Pedang, lalu Pemberontak ini memukul ke Selatan! Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tidak berdaya sama sekali. Para pejabat dan Panglimanya hanya mengutamakan kesenangan dan pelesiran saja seperti Kaisarnya. Memang, keadaan Kaisar Hian Tiong amat lemah. Kaisar ini sendiri seakan-akan menjadi boneka saja yang selalu menuruti kehendak seorang isterinya yang amat cantik, yakni Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita dan genit.
Oleh karena pertahanan amat lemah dan bala Tentara An Lu Shan memang istimewa, lagipula dibantu oleh orang-orang pandai, kerajaan dapat dirampas oleh An Lu Shan dan Kaisar sendiri lalu melarikan diri mengungsi ke Se-cuan. An Lu Shan dan kaki tangan, keluarga serta pembantu-pembantunya terdiri dari orang-orang kasar. Sekali mendapatkan tahta kerajaan, laksana orang-orang kelaparan menghadapi hidangan-hidangan lezat. Mereka menjadi mata gelap dan terjadilah perebutan kekuasaan. Dalam keributan ini, An Lu Shan telah dibunuh oleh puteranya sendiri. Keributan merajalela, tidak saja di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan, bahkan hal itu menjalar sampai di luar istana. Banyak sekali orang-orang berkuasa saling mempengaruhi dan menanam bibit permusuhan dan persaingan yang dalam sekali dengan diam-diam.
Adapun fihak Tentara Kerajaan Tang, masih bersetia dan selalu melakukan perlawanan pembalasan. Ketika bala Tentara Tang mengawal Kaisar dan isterinya mengungsi, mereka mendesak kepada Kaisar untuk merelakan Yang Kui Hui, karena mereka menganggap bahwa permaisuri inilah yang menjadi biang keladi sehingga pemerintah menjadi lemah dan mudah terjatuh ke dalam tangan Pemberontak. Dengan hati sedih Kaisar tak dapat menolak desakan ini sehingga akhirnya, di tengah jalan Yang Kui Hui di hukum mati oleh Tentara Tang sendiri! Telah dituturkan di bagian depan betapa Menteri Lu Pin dapat melarikan diri membawa harta benda Kerajaan Tang. Keluarganya, termasuk semua pelayan, telah dihukum mati oleh An Lu Shan,
Sedangkan Menteri Lu Pin sendiri selalu dikejar-kejar dan dicari-cari oleh karena An Lu Shan maklum bahwa Menteri itu membawa lari sejumlah harta negara yang amat besar. Telah dituturkan pula betapa Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-Bin Sin-Kai dan dapat bersembunyi di dalam gua yang selanjutnya di sebut Gua Tengkorak, karena bekas Menteri ini membuat tengkorak-tengkorak Raksasa dari tulang-tulang binatang purbakala yang banyak terdapat di dalam gua itu. Hanya Lu Thong yang selamat dan terbebas dari hukuman An Lu Shan. Bahkan ketika pemuda ini datang ke Kota Raja bersama Gurunya, yakni Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu, An Lu Shan telah memaafkannya dan mengambilnya sebagai anak angkat, diberi gelar pangeran dan diberi kedudukan istimewa. Semua ini diceritakan oleh Lu Thong dengan jelas sekali, dan sebagai penutup ceritanya, dia berkata,
"Demikianlah, saudara Kwan Cu. Betapapun juga, An Lu Shan telah bersikap baik terhadap aku, dan setelah dia terbunuh oleh puteranya sendiri, di dalam istana terdapat persaingan hebat secara diam-diam. Mereka saling menjaga agar persaingan itu tidak mengacaukan bala Tentara. Akan tetapi memang benar-benar terdapat persaingan yang luar biasa hebatnya, yakni antara tiga golongan. Golongan pertama adalah pangeran mahkota yang telah membunuh An Lu Shan beserta pengikutnya, golongan kedua adalah tangan kanan An Lu Shan yang bernama Si Su Beng. Adapun golongan ketiga adalah Pangeran An Lu Kui, adik dari An Lu Shan."
"Hm, diakah? Aku pernah bertemu dengan Panglima kasar itu,"
Kata Kwan Cu yang teringat akan pengalamannya dahulu ketika dia menghajar An Lu Kui, dalam pondongan Ang-Bin Sin-Kai.
"Ya, memang dia dan tadi kau telah bertemu dengan puteranya yang bernama An Kong."
"Pemuda botak hidung belang tadi?"
Tanya Kwan Cu.
"Dan dia itu sutemu?"
Lu Thong menarik napas panjang.
"Suhu selalu tidak bisa melepaskan orang yang memiliki bakat baik. Dia itu sebagai murid ke dua."
"Lu Thong, sebetulnya semua ceritamu itu tidak menarik hatiku, karena tiada sangkut pautnya dengan aku? Apakah maksudmu membawaku ke sini? Aku datang ke Kota Raja untuk mencari Jeng-Kin-Jiu, di manakah Gurumu itu?"
"Kwan Cu, benar-benarkah kau hendak membalaskan sakit hati karena Suhumu tewas oleh Suhuku?"
Tanya Lu Thong mengerutkan kening.
"Bukan hanya oleh Suhumu, melainkan oleh keroyokan tokoh-tokoh besar yang bersikap pengecut."
"Kwan Cu, kau keliru. Gurumu Ang-Bin Sin-Kai itu memang salah sekali, hendak membalaskan sakit hati karena Kakek Lu Pin dihukum sekeluarganya oleh An Lu Shan. Dia tidak dapat melihat keadaan, sedangkan Suhu beserta lain orang telah membantu pemerintah baru, untuk apa membela pemerintah lama yang sudah runtuh?"
Kwan Cu hendak membantah, akan tetapi Lu Thong segera melanjutkan kata-katanya dengan suara membujuk.
"Kwan Cu, sudahlah jangan kita bicarakan tentang urusan orang-orang tua itu. Kita masih muda dan masih banyak harapan untuk maju. Ingatlah bahwa kau adalah keturunan Lu pula, sungguhpun hanya cucu angkat dari kong-kong Lu Pin. Keturunan Lu hanya kau dan aku saja dan kalau saja kau suka membantuku, kita dapat mengangkat nama keluarga kita!"
"Apa maksudmu?"
Jodoh Si Mata Keranjang Eps 15 Pendekar Kelana Eps 11 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 14