Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kelana 11


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



Alangkah cepatnya waktu berlalu. Membayangkan semua pengalamannya diwaktu muda, seolah-olah baru terjadi beberapa bulan yang lalu. Tahu-tahu ia telah menjadi seorang nenek-nenek! Kembali ia menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya yang sudah berwarna kelabu itu. Pada hari itu juga, Hui Lan meninggalkan rumah keluarganya dan ibunya memberi bekal uang cukup banyak serta sepasang pedang Hok-mo-kiam. Ayahnya juga menyerahkan batu giok mustika yang dapat mengobati segala macam luka beracun. Setelah menerima banyak petuah dari orang tuanya, berangkatlah Hui Lan dengan buntalan pakaian dan pedangnya di punggung. Demikianlah, pada hari itu ia memasuki kota Liok-bun dan hal pertama yang dilakukan adalah membeli sebuah payung di kedai terdekat. Hari itu panasnya bukan main dan ia tidak mau kalau wajahnya menjadi rusak kulitnya oleh sengatan matahari.

   Setelah membeli payung iapun melanjutkan perjalanan memasuki kota Liok-bun. Ia tidak memperdulikan pandang mata penuh gairah dari para pria yang berpapasan di jalan, melainkan melangkah terus dengan tenangnya sampai ia melihat papan nama di depan sebuah rumah makan besar. Papan itu menyatakan bahwa tempat itu memiliki rumah makan berikut pula rumah penginapan. Hui Lan sudah melakukan perjalanan sejak pagi tadi. Ia merasa lelah dan lapar, maka dimasukinya rumah makan itu. Semua tamu pria menengok dan memandang wajah yang cantik itu, yang kini tidak tertutup payung lagi karena Hui Lan sudah menutupkan payungnya sehingga wajahnya dapat nampak dari kanan kiri dan depan. Seorang pelayan segera menghampirinya dan berkata dengan hormat.

   "Selamat siang, nona. Apakah siocia hendak makan atau menyewa kamar?"

   "Kedua-duanya,"

   Jawab Hui Lan.

   "Akan tetapi perlihatkan dulu kamar itu!"

   "Mari, silakan nona."

   Kata si pelayan yang mendahului naik anak tangga menuju ke loteng di mana banyak kamar disewakan. Setelah diantarkan ke sebuah kamar sudut, Hui Lan merasa cocok. Kamar itu cukup bersih dan ia segera menaruh buntalannya diatas meja.

   "Sekarang, harap sediakan air untuk mencuci muka, setelah itu baru aku akan turun dan memesan makanan."

   "Baik, siocia."

   Pelayan itu pergi dan tak lama kemudian dia datang lagi membawa sebaskom air jernih yang dia letakkan ke atas sebuah bangku.

   "Terima kasih, dan keluarlah. Nanti aku akan turun dan makan."

   "Baik, siocia."

   Pelayan itu mengangguk dan segera meninggalkan kamar itu. Hui Lan menutupkan kamar itu, lalu membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. Kemudian ia keluar dari kamarnya, meninggalkan pakaiannya akan tetapi membawa uang, batu giok mustika dan pedangnya turun dari loteng. Pelayan yang tadi menyambutnya.

   "Bawa pergi baskom air itu, bersihkan kamar dan panggil pelayan lain agar aku dapat memesan makanan."

   Kata Hui Lan. Ia hanya mengerutkan alis saja melihat betapa semua pria melahapnya dengan pandang mata mereka.

   Iapun sengaja duduk di depan meja dan menghadap ke dinding, membelakangi para tamu. Bagaimanapun juga, akan tidak nyaman makan dipandang banyak mata. Memang ia tidak mengacuhkan mereka, akan tetapi merasa tidak enak juga. Seorang pelayan lain menghampirinya dan Hui Lan memesan nasi dan beberapa macam sayuran. Untuk minumnya ia minta disediakan air teh. Selagi ia menanti datangnya masakan, ia mendengar dengan jelas percakapan yang terjadi di meja belakangnya. Dari percakapan itu ia dapat mengetahui bahwa di meja sebelah belakangnya terdapat empat orang pria yang sedang bercakap-cakap. Semula ia tidak menghiraukan percakapan mereka, akan tetapi ketika percakapan itu menyinggung dirinya, mau tidak mau ia memperhatikan juga.

   "Hati-hati, kawan. Jangan-jangan ia seorang pendekar wanita yang lihai!"

   "Aih, takut apa? Paling-paling ia mengerti satu dua jurus ilmu pedang. Kita berempat takut apa?"

   "Benar, agaknya ia bukan orang sini. Kalau dapat dibujuknya alangkah senangnya."

   "Aku juga sudah muak dengan perempuan-perempuan lacur itu. Kalau yang ini boleh sekali!"

   Merah kedua pipi Hui Lan. Mereka itu membicarakannya secara kurang ajar sekali. Ia melihat di depannya ada beberapa pasang sumpit. Diambilnya dua batang sumpit dengan tangan kanannya dan disambitkan sumpit itu melalui pundak kirinya ke arah belakang.

   "Cap! Cap!"

   Sepasang sumpit itu menancap di atas meja empat orang itu, menancap sampai kegagangnya!

   Meja itu terbuat dari kayu yang tebal dan keras namun sumpit bambu itu dapat menancap setengahnya lebih. Apalagi kalau mengenai tubuh mereka. Kulit tubuh tentu akan dapat ditembusi oleh sumpit-sumpit itu. Dengan mata terbelalak, empat orang itu memandang ke arah sepasang sumpit, lalu menoleh ke arah Hui Lan. Akan tetapi Hui Lan duduk dengan tenang saja seolah tidak mengetahui apa yang telah terjadi di meja belakangnya. Empat orang itu hanyalah pemuda-pemuda berandalan anak orang-orang kaya yang biasanya memaksa orang lain untuk memenuhi kehendak mereka. Mereka juga pernah mempelajari ilmu silat. Akan tetapi apa yang mereka lihat sudah cukup untuk melenyapkan nyali mereka. Mereka berempat lalu meninggalkan meja mereka yang masih kosong karena pesanan mereka adalah makanan-makanan istimewa yang agak lama dibuatnya.

   Akan tetapi baru mereka melangkah beberapa langkah mereka terguling satu demi satu karena kaki mereka ada yang mengganjal. Ketika mereka melihat, ternyata yang memalangkan kakinya itu adalah seorang pemuda yang berpakaian serba putih seperti seorang terpelajar. Wajah pemuda itu tampan sekali dan mulutnya tersenyum sinis, matanya melirik ke arah para pemuda tadi. Karena memang hati mereka sudah gentar setelah ada sepasang sumpit menancap di meja mereka, empat orang pemuda itu tanpa banyak cakap lagi lalu bangkit dan berlari keluar rumah makan. Hui Lan hanya mendengar empat orang yang hendak mengganggunya tadi berpelantingan, akan tetapi tidak tahu apa yang telah terjadi dan iapun tidak ingin menengok. Setelah peristiwa itu ia merasa tidak tenang kalau duduk menghadapi tembok, khawatir kalau-kalau ada orang yang akan menyerangnya.

   Maka Hui Lan lalu pindah duduk di atas bangku yang dekat dinding sehingga ia dapat melihat para tamu. Agaknya tidak ada yang melihat ketika ia menyambitkan sepasang sumpit itu kepada empat orang pemuda karena seluruh mata para tamu tidak ditujukan kepadanya melainkan kepada seorang pemuda yang berpakaian serba putih bersih itu. Ia dapat menduga bahwa tentu empat orang yang berpelantingan itu dihajar oleh pemuda tampan ini. Biarpun pakaiannya seperti seorang terpelajar yang lemah, namun sinar matanya yang mencorong dan sebatang sulingnya yang diletakkan di atas meja bercerita banyak bagi Hui Lan. Ketika pemuda yang tersenyum-senyum itu mengangkat muka memandangnya, dua pasang sinar mata bertemu dan Hui Lan cepat membuang muka ketika pemuda itu menganggukan sedikit kepalanya.

   Hidangan untuknya datang dan Hui Lan merasa tidak enak kalau makan ditonton orang, terutama pemuda berpakaian serba putih itu, maka ia pindah duduk lagi seperti tadi, menghadap dinding. Melihat ini, pemuda berpakaian serba putih itu memperlebar senyumnya. Dia tahu mengapa Hui Lan pindah duduk, maka dia merasa geli. Setelah makan, Hui Lan membayar harga makanan dan iapun keluar dari rumah makan itu. Dilihatnya bahwa pemuda berpakaian putih yang tadi duduk di belakangnya sudah tidak berada disitu lagi. Ia tidak mengacuhkan pandang mata para tamu dan cepat keluar dari situ, membawa payungnya. Buntalan uang berada di pinggang dan pedangnya berada di punggungnya. Ia ingin berjalan-jalan melihat keadaan kota Liok-bun. Baru setelah itu ia akan kembali ke rumah penginapan itu beristirahat.

   Akan tetapi belum jauh ia meninggalkan rumah makan itu, di depannya telah menghadang kurang lebih sepuluh orang laki-laki dan melihat bahwa empat orang diantara mereka menuding-nuding kepadanya, ia dapat menduga bahwa agaknya empat orang itulah yang tadi di rumah makan hendak menggodanya. Hui Lan melangkah terus dengan sikap tenang sekali. Ia dapat menduga bahwa agaknya orang-orang itu hendak membalas kepadanya karena ia telah mengusir empat orang pemuda kurang ajar itu. Orang-orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya. Ayah ibu menasihatkan agar ia tidak mencari permusuhan dalam perjalanannya, akan tetapi kalau ia di ganggu tentu ia tidak akan tinggal diam dan akan memberi hajaran keras kepada orang-orang yang menghadangnya itu. Dari kelompok itu majulah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan kekar, mukanya kehitaman dan wajah itu nampak bengis sekali.

   "Hemm, jadi nona ini yang berani menghina empat orang muridku?"

   Tanyanya kepada para murid itu dan mengertilah Hui Lan bahwa orang ini adalah guru silat dari empat orang yang tadi mengganggunya. Akan tetapi sebelum Hui Lan tiba di depan dekat mereka, tiba-tiba nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu di depan rombongan orang itu telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih sambil tersenyum-senyum. Hui Lan segera mengenalnya sebagai pemuda yang duduk di rumah makan, tidak jauh dari tempat ia duduk. Karena pemuda itu sudah mendahuluinya menghadapi rombongan orang itu, maka iapun berhenti menonton saja. Empat orang pemuda segera menuding kepada pemuda berpakaian putih itu dan berkata,

   "Inilah pemuda yang mengganjal kaki kami sehingga kami terjatuh!"

   Si muka hitam memandang kepada pemuda berpakaian putih itu dengan mata mendelik penuh kemarahan. Tangan kirinya menuding ke arah muka pemuda itu dan tangannya bertolak pinggang ketika dia menghardik,

   "Bocah kurang ajar! Berani engkau main-main dan menjatuhkan empat orang murid kami? Hayo cepat berlutut minta ampun atau nyawamu akan melayang!"

   Pemuda itu tersenyum mengejek.

   "Hemm, kiranya engkaukah guru empat orang berandalan itu? Kebetulan sekali, karena engkau gurunya, engkau sepatutnya mengajarkan sopan santun kepada mereka. Sekarang, engkau dan empat orang muridmu itu harus berlutut minta ampun kepada nona itu."

   Dia menunjuk kepada Hui Lan yang berdiri di belakangnya. Si muka hitam makin melotot. Dia mengancam pemuda itu agar berlutut, sebaliknya pemuda itu minta agar dia dan murid-muridnya berlutut minta ampun!

   "Keparat!"

   Bentaknya.

   "Engkau belum mengenal aku, Si Harimau Bermuka Hitam!"

   Berkata demikian, dia sudah menerjang maju dan memukul ke arah pemuda baju putih itu. Pemuda ini cepat mencondongkan tubuhnya ke kiri sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong dan sebelum si muka hitam dapat bergerak lebih lanjut, kakinya menendang dua kali ke arah lutut guru silat itu. Tak dapat dihindarkan lagi, dua lutut yang tertendang itu kehilangan kekuatannya dan Si Harimau Bermuka Hitam itu jatuh menekuk lututnya di depan pemuda baju putih.

   "He, bukan kepadaku engkau harus berlutut, akan tetapi kepada nona itu!"

   Si Muka Hitam menjadi marah bukan main. Dia telah dihina di depan banyak orang, terutama di depan murid-muridnya. Dia merasa malu bukan main karenanya dia menjadi marah. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya dan dengan suara mengaum seperti seekor harimau, dia lalu menyerang dengan goloknya! Membabi buta dia menyerang, namun pemuda itu gesit bukan main. Selalu mengelak di antara sambaran golok dan kadang malah menangkis dengan kedua tangannya! Tangan telanjang itu berani menangkis golok yang demikian tajam dan berat, maka dapat diketahui bahwa tenaga itu memiliki sinkang yang kuat sekali, yang membuat kedua tangannya kebal terhadap senjata tajam! Diam-diam Hui Lan memperhatikan gerakan pemuda itu. Seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, pikirnya, akan merupakan lawan tangguh baginya kalau sampai pemuda itu dan ia bertanding.

   Tiba-tiba Hui Lan terbelalak kagum. Pemuda itu membuat gerakan memutar tubuhnya seperti angin taufan yang melanda ke arah si muka hitam. Golok itu terpental dan tubuh si muka hitam terlempar ke belakang menimpa para muridnya. sepuluh orang muridnya menjadi penasaran dan marah. Serentak mereka mencabut golok masing-masing dan menyerbu pemuda itu, menyerang dari segala jurusan. Akan tetapi Hui Lan hanya melihat pemuda itu membuat gerakan memutar dengan tubuhnya dan satu demi satu sepuluh orang murid si muka hitam itu terpelanting dan golok mereka terlepas dari tangan mereka! Semua itu terjadi hanya beberapa menit saja. Si muka hitam dan sepuluh orang muridnya merangkak bangkit sambil mengaduh-aduh karena mereka semua menderita luka parah

   "Jahanam busuk! Apakah kalian masih ingin mengganggu wanita lagi?"

   Bentak pemuda baju putih itu. Tanpa menjawab lagi si muka hitam bersama-sama muridnya meninggalkan tempat itu. Mereka seperti sekumpulan anjing ketakutan yang pergi dengan mengempit ekor diantara kedua kaki belakang mereka! Pemuda baju putih itu membalikkan tubuhnya, menghadapi hui lan dan dia mengangkat kedua tangannya depan dada sambil berkata.

   "Nona, menghadapi berandalan macam itu harus menggunakan tangan besi."

   Hui lan membalas penghormatan itu dan berkata,

   "Terima kasih atas bantuanmu."

   "Aih, nona. Perlu apa berterima kasih? Aku dapat menduga bahwa tanpa kau turun tangan sekalipun tentu nona akan dapat mengusir mereka. Akan tetapi bagaimana aku dapat membiarkan seorang gadis seperti nona menghadapi pengeroyokan segerombolan anjing itu? Nona, perkenalkan, nama saya Coa Leng Kun berasal dari pegunungan Lam-san di selatan. Kalau boleh saya mengetahui, siapakah nona dan kemana nona hendak pergi?"

   Sikap dan ucapan pemuda baju putih yang mengaku bernama Coa Leng kun itu demikian sopan dan halus sehingga Hui Lan tidak merasa keberatan untuk melayani bicara.

   "Namaku Tang Hui Lan dan aku tinggal di Cing-ling-pai. Aku ingin pergi ke Pao-ting."

   Coa Leng kun melebarkan matanya dan wajahnya berseri.

   "Dari Cin-ling-pai? Ah, kalau begitu nona tentu murid Cin-ling-pai yang terkenal sekali di dunia persilatan itu. Aku mendengar bahwa ketua Cin-ling-pai seorang wanita sakti yang berilmu tinggi. Apakah nona muridnya?"

   Hui Lan tersenyum, bangga karena ibunya demikian terkenal sehingga pemuda ini pernah mendengar ketenaran ibunya.

   "Ketua Cin-ling-pai adalah ibuku."

   "Ah, maaf... maaf..., nona. Aku telah bersikap kurang hormat karena tidak mengerti!"

   Dia menjura kembali dengan tubuh membungkuk sebagai tanda menghormat.

   "Sudahlah jangan terlalu merendah,"

   Kata Hui Lan sambil membalas penghormatan itu.

   "Aku melihat ilmu silatmu juga hebat bukan main, tentu engkau murid orang sakti."

   "Guruku adalah Ayahku yang sudah meninggal dunia,"

   Kata Coa Leng Kun dengan suara mengandung kedukaan.

   "dan kepandaian silatku tidak ada artinya bila di bandingkan dengan dengan kepandaianmu, nona."

   Hui lan merasa tidak enak untuk bercakap-cakap lebih lama lagi dengan pemuda yang baru saja di jumpainya. Ia lalu berkata dengan tegas .

   "Sudahlah aku hendak melanjutkan perjalanan. Sekali lagi terima kasih atas kebaikanmu."

   Setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya melihat-lihat kota Liok-bun yang ramai. Apa lagi mereka berdua menjadi pusat perhatian orang karena perkelahian tadi. Melihat sikap tegas gadis itu, Leng Kun juga tidak membantah dan dia memberi hormat lagi.

   "Selamat berpisah nona Hui lan."

   Katanya dengan nada suara gembira.

   Hui lan melangkah pergi. Ia merasa tidak enak sekali karena hatinya tertarik kepada pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, kelihatan hanya seperti sasterawan lemah akan tetapi ilmu silatnya tinggi, bicaranya sopan dan lembut, selkalu merendahkan diri. ingin ia menengok kembali, akan tetapi ia mengeraskan hatinya. Tidak baik mudah tertarik kepada seorang pria yang belum di kenalnya sama sekali. Ibunya pernah menasihatinya agar waspada terhadap pria, terutama sekali pria yang kelihatan tampan gagah. Jangan mudah percaya sebelum mengenal benar orang macam apa pemuda itu. Hatinya menjadi tenang kembali dan ia tidak ingin menengok lagi. Ia pernah mendengar dari ibunya bahwa dunia kangouw sedang di gemparkan oleh perebutan sepasang pedang pusaka yang bernama Pek-Lui-Kiam (pedang halilintar).

   "Buka mata dan telingamu"

   Kata Ayahnya pula.

   "Siapa tahu engkau bertemu dengan orang yang menguasai pedang itu. Kalau dia seorang pendekar yang baik. jangan kau ganggu bahkan bela dia, akan tetapi kalau pedang pusaka berada di tangan golongan sesat, engkau boleh mencoba untuk merampasnya."

   "Akan tetapi, pedang pusaka Pek-lui-kiam itu sebenarnya milik siapakah, Ayah dan ibu?"

   "Kabar yang kami peroleh seperti dongeng saja, Hui Lan. Kabar itu mengatakan bahwa pedang itu di buat oleh seorang sakti yang di sebut Pek-sim lo-si-an (dewa tua berhati putih) dan tentu saja menjadi miliknya. Akan tetapi pada suatu hari pedang itu di curi orang sampai puluhan tahun tidak ada beritanya tentang pedang pusaka itu sampai akhir-akhir ini tersiar berita bahwa pedang terjatuh ketangan seorang pendekar bernama Tan Tiong Bu yang tinggal di sia-lin. Akan tetapi belum lama ini Tan Tiong Bu itu terbunuh orang bersama isterinya, dan pedang pusaka itupun lenyap dari rumahnya. Kemungkinan besar di curi oleh pembunuh itu."

   "Dan pembunuh itu siapakah?"

   "Tidak ada seorangpun yang mengetahui. Hanya kabarnya pembunuh itu selalu memakai pakaian serba merah, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berpakaian merah."

   Kata ibunya. Ibunya dapat memperoleh keterangan ini setelah mengutus murid-murid Cin-ling-pai untuk menyelidiki ke Sia-lin.

   "Aku teringat akan seorang datuk yang suka berpakaian merah, akan tetapi entah dia atau bukan yang telah membunuh Tan Tiong Bu dan mencuri pedang pusaka itu,"

   Kata Tang Hay.

   "Dia berjuluk Ang I Sianjin dan menjadi ketua kwi jiauw pang di kwi-liong-san. Kabarnya dia lihai sekali dan menjagoi di dunia barat.

   "Akan tetapi engkau tidak perlu menyelidiki ke kwi-liong-san, Hui Lan,"

   Kata ibunya.

   "Kami tidak permusuhan dengan kwi-jiauw-pang dan jangan sampai ada kesalah pahaman di antara kita dan mereka. Belum tentu berita itu benar adanya. Kalau ternyata bukan dia pencurinya lalu engkau membuat geger di sana, sungguh tidak enak bagi Cin-ling-pai."

   "Baiklah, ibu. Aku akan menaati nasihatmu."

   Demikian Hui Lan berkata.

   Ketika Hui Lan berjalan-jalan di kota liok-bun itu, ia terkenang kembali akan nasihat Ayah ibunya itu. Tidak ia tidak akan mencari gara-gara keributan. Tadipun untung ada pemuda bernama Coa Leng Kun itu turun tangan sendiri memberi hajaran kepada gerombolan orang kasar itu sehingga tidak ada permusuhan antara ia dan orang-orang itu. Hari telah menjadi senja ketika Hui Lan pulang kerumah penginapan. Sampai ia makan malam di rumah makan bagian depan rumah penginapan itu tidak terjadi sesuatu yang menimpa dirinya. Malam hari itu, ketika ia sedang tidur, ia mendengar suara perlahan di jendela kamar itu,. Karena kamarnya gelap, lilin sudah ia padamkan dan di luar terdapat penerangan lampu, ia dapat melihat berkelebatnya bayangan orang di luar kamarnya.

   Hui Lan mengerutkan alisnya. Bayangan itu tentu bukan bayangan pelayan rumah penginapan karena berkelebat cepat. Akan tetapi ia tidak bangkit, terus berbaring sambil mengamati kearah jendela dengan waspada. Kembali ia melihat bayangan itu berkelebat, kini bayangan itu berhenti di depan jendela kamarnya, dan jendela itu terdengar berkeresekan. Agaknya bayangan itu berusaha membuka jendela dari luar. Hui Lan bangkit duduk tanpa mengeluarkan suara dan menanti dengan tenang. Maling ini mencari penyakit, pikirnya. Mendadak terdengar keributan di luar jendelanya dan terlihat bayangan dua orang berkelahi di luar kamarnya. Ia cepat meloncat turun dari pembaringan, meyambar pedangnya dan membuka daun pintu. Benar saja di sebelah kamarnya, di bagian luar jendela terdapat dua orang yang berkelahi.

   Yang seorang adalah seorang laki-laki yang memakai penutup muka dari hidung kebawah, berpakaian serba hitam dan yang seorang lagi bukan lain adalah pemuda berpakaian serba puith yang siang tadi membantunya, Coa Leng Kun! Hui Lan mengerutkan alisnya. Agaknya pemuda itu kembali membantunya dan menyerang maling yang hendak mencokel jendelanya dan sekarang mereka bertanding dengan serunya. Bayangan hitam tadi tentulah orang bertopeng yang berpakaian serba hitam tadi. Dia menggunakan sebatang golok yang besar dan berat, sedangkan Coa Leng Kun menandinginya dengan sebatang suling. Gerakan maling itu cukup cepat dan bertenaga besar, akan tetapi Hui Lan melihat bahwa maling itu bukan lawan yang pemuda yang lihai itu. Leng Kun seolah mempermainkan maling itu.

   Suara gaduh perkelahian itu membuat para tamu di rumah penginapan itu terbangun dan banyak jendela dan pintu di buka dari dalam. Juga para pelayan penjaga hotel berlarian mendatangi tempat itu. Maling yang sudah kewalahan melihat hal ini menjadi semakin jerih. Dia membentak dan menggerakkan tangan kirinya. Sebatang piauw (senjata rahasia runcing) meluncur kearah Leng Kun. Dan sebatang lagi meluncur kearah Hui Lan. Gadis itu dengan tenang menangkap piauw itu dengan tangan kirinya, menjepit antara dua jari tangan, sedangkan Leng kun juga mengelak sehingga senjata rahasia itu jatuh keatas genteng mengeluarkan bunyi berkerontang. Maling itu menggunakan kesempatan ini untuk meloncat dan melarikan diri. Leng Kun tidak mengejar, demikian pula Hui Lan yang kini memandang pemuda itu dengan alis berkerut.

   "Selamat malam, Tang-Siocia,"

   Katanya memberi hormat.

   "Sayang saya tidak dapat menangkap maling itu."

   "Sobat Coa, aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu."

   Kata Hui Lan agak marah karena pemuda ini selalu melindunginya, padahal ia tidak membutuhkan perlindungan dan bantuan itu. Kalau hanya menghadapi para pemuda berandalan yang siang tadi mengganggunya atau maling yang berusaha membuka jendelanya, ia masih sanggup.

   "Maaf, nona. Saya tidak tahu bahwa nona yang tinggal di kamar ini, bahkan tidak tahu bahwa nona menginap di dalam rumah penginapan ini."

   Leng Kun memberi hormat lagi dengan senyum ramah. Hui Lan tidak mengatakan sesuatu dan kembali memasuki kamarnya dan mnenutup pintu kamarnya. Leng Kun di hujani pertanyaan oleh para tamu dan petugas rumah penginapan.

   "Tidak perlu ribut-ribut,"

   Kata Leng Kun dan suaranya cukup nyaring sehingga terdengar oleh Hui Lan.

   "Aku mendengar gerakan orang di luar kamarku, aku keluar dan membayanginya. Ternyata dia berusaha mencokel jendela kamar ini, maka aku menegurnya dan kami berkelahi."

   Setelah berkata demikian Leng Kun juga kembali ke kamarnya. Orang-orang itu bubaran dan para tamu menutupkan jendela dan kamar rapat-rapat karena takut di datangi penjahat. Hui lan sudah rebah kembali keatas pembaringannya. Akan tetapi ia sukar jatuh pulas. Bayangan pemuda pakaian putih itu selalu terbayang di depan matanya. Ia mengerutkan alisnya dan bangkit duduk. Apakah ia tadi tidak bersikap keterlaluan kepada Coa Leng Kun? Pemuda itu tidak tahu bahwa ia bermalam di situ dan bantuannya tadi hanya kebetulan saja. Sebagai seorang pendekar, Leng Kun tentu saja turun tangan melihat ada maling hendak mencongkel jendela kamar. Ia tidak berterima kasih malah mengatakan tidak butuh bantuan! Apakah sikapnya itu sudah benar?

   Ia merasa menyesal, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia mengambil piauw yang tadi di tangkapnya dari maling itu. Sebatang piauw biasa saja, tidak mengandung racun. Ia melemparnya kembali keatas meja. Setidaknya sikapnya itu menunjukkan kepada Coa Leng Kun bahwa ia bukan gadis yang lemah tak berdaya dan membutuhkan bantuannya! Dengan pikiran ini hatinya menjadi lega dan akhirnya ia dapat tidur pulas. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hui Lan sudah
(Lanjut ke Jilid 11)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11
membayar sewa kamar lalu meninggalkan rumah penginapan itu. Ia hendak berangkat pagi-pagi menuju kota Pao-ting di mana pamannya Cia Kui Bu, tinggal. Pamannya itu masih muda, berusia kurang lebih tiga puluh dua tahun. Sebetulnya dia adalah paman tirinya, karena pamannya ituadik tiri ibunya.

   Akan tetapi paman tirinya itu telah dianggap sebagai putera sendiri oleh neneknya, maka hubungan mereka akrab sekali. Bahkan pamannya juga menerima pelajaran silat dari neneknya sehingga dia menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Cia Kui Bu tinggal di Pao-ting dan membuka sebuah perusahaan pengantar dan pengawal barang-barang kiriman yang berharga. Akan tetapi sampai berusia tiga puluh dua tahun, Cia Kui Bu belum juga menikah. Padahal perusahaannya maju pesat. Barang berharga yang di kawal perusahaannya semakin banyak saja. Para pedagang amat mempercayainya karena selama bertahun-tahun membuka piauw-kiok (perusahaan pengawal) belum ada barang yang di ganggu penjahat. Gangguan mula-mula memang ada. Ada perampok-perampok yang berusaha mengganggu dan merampas barang kiriman itu.

   Akan tetapi selalu para perampok itu dapat di pukul mundur oleh Cia Kui Bu sehingga nama piauw-kiok itu terkenal dan di takuti penjahat. Setiap orang penjahat yang melihat bendera dengan gambar naga hijau di atas kereta bermuatkan barang-barang berharga, semua tidak berani mengusiknya.. perusahaan itu memakai nama Ceng-liong Pauw-kiok (Perusahaan pengawal naga Hijau), bahkan Cia Kui Bu yang suka memakai pakaian serba hijau itu di juluki Ceng-liong (Naga Hijau) oleh para perampok. Untuk mempercepat perjalanannya ke pao-ting, Hui Lan membeli seekor kuda dan melanjutakan perjalanannya dengan menunggang kuda. Sejak kecil ia sudah belajar menunggang kuda sehingga perjalanan itu dapat di lakukan dengan cepat. Beberapa hari kemudian ia memasuki kota pau-ting. Kota ini cukup besar dan ramai karena letaknya tidak jauh dari kota raja, di sebelah selatan kota raja.

   Dan mudah sekali baginya untuk mencari Ceng-liong Piauw-kiok. Semua orang di Pao-ting mengetahui di mana adanya piauwkiok itu. Hui Lan belum pernah datang kekota ini. Biasanya Cia kui Bu yang datang berkunjung ke Cin-ling-san. Melihat rumah besar yang menjadi pusat perusahaan pamannya itu, Hui Lan menjadi kagum sekali. Agaknya perusahaan pamannya itu telah maju dengan pesatnya. Di depan pintu gerbang terdapat gambar naga hijau yang besar dan tulisan huruf-huruf besar berbunyi "Ceng Liong Piauwkiok"

   Dan di pintu gerbang duduk beberapa orang laki-laki yang bertubuh kekar dan gagah. Hui Lan melompat turun dari kudanya, menuntun kuda itu menghampiri pintu gerbang. Melihat seorang gadis cantik yang membawa pedang di punggung menghampiri pintu gerbang, lima orang piauwsu (pengawal barang) itu bangkit berdiri dan menghadang di depan pintu.

   "Nona siapakah dan ada keperluan apakah datang ke piauwkiok kami? Apakah nona hendak mengirim barang?"

   Tanya seorang diantara mereka.

   "Aku datang untuk bertemu dengan paman Cia Kui Bu. Dia adalah pamanku."

   Jawab Hui Lan singkat. Akan tetapi kelima orang itu mengerutkan alisnya dan kelihatan tidak percaya. Hal ini tidak aneh. Mereka belum pernah bertemu dengan Hui Lan. Tiba-tiba saja muncul seorang gadis yang mengaku keponakan majikan mereka, tentu saja mereka menjadi curiga.

   "Nona, majikan kami sedang berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan dia menemui nona. Maka, katakan siapa nona dan ada keperluan apa. Kami adalah pembantunya dan kami dapat mewakili majikan kami untuk mewakili keperluan nona."

   Hui Lan mengerutkan alisnya.

   "Sudah ku katakan bahwa dia adalah pamanku, adik ibuku, dan kalian masih belum percaya. Panggil paman Cia Kui Bu keluar agar bertemu dengan aku!"

   "Maaf, nona. Kami belum pernah melihat nona dan kami tidak pernah mendengar bahwa majikan kami mempunyai seorang keponakan seperti nona. Karena itu, beritahukan nama nona dan kami akan melaporkan kedalam."

   "Tidak, panggil saja dia keluar!"

   "Kami tidak dapat memenuhi permintaan nona."

   "Kalau begitu baiklah, aku yang akan masuk ke dalam dan mencarinya sendiri!"

   Hui Lan lalu menambatkan kendali kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh di situ, lalu melangkah lebar hendak memasuki pintu gerbang itu. Akan tetapi lima orang penjaga itu menghadang di pintu gerbang bahkan seorang diantara mereka melintang tombaknya.

   "Minggir, atau terpaksa aku akan menghajar kalian!"

   Bentak Hui Lan. Ketika penjaga yang memegang tomabak itu menghalanginya dengan tombak, Hui Lan dengan gerakan yang cepat merampas tombak itu dan sekali menggerakkan tangan, tombak itu meluncur dan menancap di batang pohon, diatas kudanya. Tombak itu menancap sampai hampir tembus! Lima orang itu terbelalak, akan tetapi mereka tidak menjadi gentar karena mereka mengira bahwa gadis ini sengaja datang untuk membikin kacau. Mereka menyambar golok dan pedang lalu mengepung Hui Lan.

   "Nona tidak boleh melakukan kekerasan di sini!"

   Bentak pemimpin mereka.

   "Begitukah? Kalau kalian ingin kuhajar, majulah!"

   
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tantang Hui Lan. Lima orang itu lalu maju menyerang, akan tetapi tiba-tiba gadis itu hilang dari kepungan mereka dan tahu-tahu ada dua orang diantara mereka yang roboh tertotok dan tidak mampu bergerak kembali. Tiga orang lainnya menjadi terkejut dan cepat menyerang, akan tetapi kembali mereka kehilangan gadis yang tadi berada di depan mereka, dan tahu-tahu mereka bertiga juga terpelanting roboh dan tidak mampu bergerak kembali!

   "Hemm, hendak kulihat apa yang akan di lakukan paman Cia Kui Bu kepada kalian yang berani main kasar terhadap diriku!"

   Setelah berkata demikian, Hui Lan meloncat memasuki rumah gedung itu sambil berteriak.

   "Paman Kui Bu, ini aku Hui Lan yang datang!"

   Seorang pelayan wanita menyambutnya dan mata pelayan itu terbelalak heran.

   "Bibi, aku adalah keponakan paman Cia Ku Bu. Cepat bawa aku kepadanya!"

   "Tapi... tapi... kongcu sedang sakit, nona."

   "Sakit...? Sakit apa? Cepat antarkan aku kepadanya, bibi!"

   Pelayan itu tidak berani membantah dan ia mendahului masuk ke dalam, diikuti oleh Hui Lan. Pelayan itu membuka pintu sebuah kamar yang luas dan di tengah kamar itu Hui Lan melihat Cia Kui Bu sedang rebah telentang dengan muka pucat.

   "Paman Kui Bu...!"

   Aku Hui Lan berteriak dan ia lari menghampiri, dan duduk di tepi pembaringan itu. Cia Kui Bu menggerakkan kepalanya menoleh dan begitu melihat Hui Lan dia menghela napas panjang.

   "Hui Lan, aku... aku sedang menderita luka berat..."

   "Kenapa, paman? Coba kuperiksa!"

   Kui Bu membuka kancing bajunya dan nampaklah oleh Hui Lan betapa di dada pamannya itu ada tapak lima buah jari yang agak menghitam. Pukulan beracun! Untung bahwa pamannya sudah memiliki sinkang yang cukup kuat sehingga pukulan itu tidak menewaskannya, hanya melukainya saja. Akan tetapi kalau di biarkan, luka itu dapat merenggut nyawanya.

   "Engkau terkena pukulan beracun, paman harus cepat di obati! Tenanglah, paman aku akan mengobati paman!"

   Setelah berkata demikian, ia menoleh kepada pelayan wanita tadi.

   "Bibi, cepat ambilkan semangkok air yang telah masak, akan tetapi yang telah panas dan mendidih!"

   Pelayan itu segera pergi untuk memenuhi perintah gadis itu.

   "Mulanya begini, Hui Lan""

   "Nanti saja, paman. Sekarang sebaiknya paman yang santai saja, mengatur pernapasan untuk memasukkan hawa murni, jangan keluarkan tenaga. Batu giok mustika obat ini dapat menghisap semua hawa beracun."

   "Hemm, milik Ayahmu?"

   "Benar, untung bahwa Ayah memberikan ini kepadaku ketika aku hendak berangkat."

   Hui Lan mengeluarkan batu giok mestika itu dan menggosok-gosokannya keatas dada yang kehitaman sambilk mengerahkan tenaga sinkangnya untuk menyedot. Tak lama kemudian pelayan datang membawa sepanci air mendidih dan sebuah mangkok. Hui Lan minta pelayan itu menuangkan air mendidih semangkok.

   Kemudian, setelah menggosok-gosok beberapa lamanya, warna kehitaman di dada makin menipis dan ia mencelupkan batu giok mestika ke dalam sisa air di panci. Air itu seketika berubah warna menjadi kehitaman dan batu giok mestika itu menjadi bersih kembali. Ternyata hawa beracun yang di hisap batu mestika itu larut ke dalam air panas. Hui Lan mengulangi kembali usapan batu mestika itu sampai warna hitam menjadi bersih kembali. Setelah membersihkan batu kemala mestika, Hui Lan lalu memasukkan batu itu kedalam air semangkok dan membiarkan air itu menjadi dingin. Setelah airnya dingin, ia membantu pamannya untuk minum air rendaman batu kemala mestika itu. Begitu habis di minum Kui Bu menjadi sehat kembali. Dia mencoba mengerahkan sinkangnya dan dia tidak merasakan sakit lagi!

   "Ah, terima kasih, Hui Lan. Engkau telah menyelamatkan aku!"

   "Kita harus bersyukur bahwa kita tidak terlambat, paman. Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi."

   Sebelum Kui Bu bercerita, dari luar berlari lima orang anak buahnya yang tadi roboh tertotok oleh Hui Lan. Agaknya totokan mereka telah pudar kembali dan mereka kini memburu kedalam karena mengkhawatirkan majikan mereka kalau-kalau di ganggu gadis yang lihai itu.

   "Kalian mau apa?"

   Bentak Kui Bu. Lima orang itu terheran dan juga terkejut bukan main melihat gadis itu duduk dekat majikan mereka yang kini telah sehat kembali. Mereka lalu menjatuhkan diri mereka berlutut.

   "Maafkan kami, kongcu... kami... kami kira nona itu... akan mengganggu kongcu""

   "Hemm, keponakanku ini mengganggu? Malah ia yang menyembuhkan aku"

   Bukan main kagetnya lima orang penjaga itu. Mereka berlutut sambil berulang-ulang memberi hormat kepada Hui Lan dan pemimpin mereka berkata,

   "Mohon pengampunan dari Lihiap, karena kami tidak mengenal maka kami bersikap kurang hormat""

   "Apa? Kalian berani kurang ajar kepada keponakanku?"

   "Ampun, kongcu. Sungguh mati karena tidak tahu, tadi kami hendak melarang Lihiap ini masuk, akan tetapi kami semua ia robohkan..."

   Kui Bu tertawa.

   "Ha-ha-ha, biar kalian di tambah puluhan orang lagi, jangan harap dapat mencegah Hui lan masuk untuk menemuiku!"

   Setelah tertawa lagi Kui Bu lalu mengusir anak buahnya keluar dari situ.

   "Maafkan mereka, Hui Lan. Mereka tidak pernah mengenalmu, maka berani melarangmu."

   "Tidak mengapa, paman. Mereka tidak kurang ajar, hanya hendak melarang aku masuk karena mereka curiga dan khawatir kalau-kalau aku ini datang sebagai musuhmu. Sekarang ceritakanlah, apa yang telah terjadi, paman?"

   Cia Kui Bu lalu menceritakan pengalamannya. Seminggu lalu seorang wanita cantik datang berkunjung. Wanita itu mengatakan bahwa ia memiliki sepeti emas yang amat berharga dan hendak di kirimnya ke kota raja.

   Ia menghargai isi peti itu seribu tail emas! Tentu saja Kui Bu terkejut sekali. Belum pernah ia menerima kiriman barang sebesar itu harganya. Akan tetapi wanita itu mendesaknya, dan sangup membayar biaya pengiriman berapa saja di minta. Karena wanita itu berani membayar biaya pengiriman yang besar jumlahnya, yang besarnya belum tentu bisa di peroleh Ceng-liong piauw-kiok selama sebulan, Kui Bu menerima tugas itu dan dia sendiri yang mengawal peti berisi emas itu. Dia di bantu oleh lima orang piauw su (pengawal) yang tangguh dan cukup lumayan ilmu silatnya. Peti itu di muat dalam sebuah kereta yang di tarik dua ekor kuda. Kusir yang mengendalikan dua ekor kuda itupun seorang piauwsu yang sudah berpengalaman. Diatas kereta itu berkibar bendera tanda Ceng-liong piauw kiok, yaitu gambar seekor naga hijau.

   Cia Kui Bu juga mengenakan pakaian piauwsu yang serba hijau dan nampak gagah sekali. Perjalanan dari Pao-ting ke kota raja merupakan jarak yang biarpun agak jauh, akan tetapi termasuk dekat bagi para piauwsu yang biasa mengawal barang kiriman sampai lebih jauh lagi. Dan selama ini perjalanan dari Pao-ting ke kota raja aman saja, belum pernah ada yang berani mengganggu. Setelah melakukan perjalanan sehari lamanya tanpa ada gangguan mereka melewatkan malam di dekat bangunan terusan (kanal) yang terkenal itu, di sebuah kuil tua yang sudah tidak di pergunakan lagi. Memang biasanya rombongan Ceng-liong piauwkiok mempergunakan tempat ini untuk bermalam dalam perjalanan mereka dari Pao-ting ke kota raja. Kuil itu berada di dalam sebuah hutan yang tidak terlalu luas, namun menyimpang dari jalan besar.

   "Malam itu terjadinya,"

   Kata Kui Bu melanjutkan ceritanya yang di dengarkan dengan penuh perhatian oleh keponakannya.

   "Seperti biasa kami membuat api unggun dan tidur secara bergiliran. Kami membuat api ungun dekat kereta dan aku lebih dulu tidur melepaskan lelah. Menjelang tengah malam, ketika udara amat dinginnya dan suasana amat sepinya, tiba-tiba terdengar teriakan kusir yang tidur di dalam kereta yang memuat peti emas itu. Kami semua terkejut, akupun bangun dan meloncat untuk melihat apa yang terjadi. Kusir kami telah terlempar keluar kereta dan kereta itu sendiri di seret beberapa orang pergi dari tempat itu!"

   "Hemm, mereka tentu perampok!"

   Kata Hui Lan.

   "Memang benar, akan tetapi sudah bertahun-tahun kami sering lewat di situ, bahkan tanpa aku, tidak pernah ada yang berani mengganggu. Aku lalu melompat dan menghalangi mereka yang menarik kereta, akan tetapi tiba-tiba di depanku berdiri seorang kakek berusia enam puluhan lebih, memegang sebatang tongkat berujung kepala naga dan dia menyerangku dengan ganas. Kakek itu lihai sekali dan terpaksa aku memainkan Siang-bhok-kiamsut (Ilmu pedang kayu harum). Kami berkelahi sampai puluhan jurus dengan keadaan seimbang. Lima orang pembantuku sudah roboh oleh anak buah kakek itu. Akhirnya kakek itu mengeluarkan ilmu pukulan dengan tangan kirinya, cepat tidak terduga-duga datangnya dan mengenai dadaku. Aku roboh dan terluka dalam. Para pembantuku tidak ada yang tewas, hanya luka-luka ringan dan mereka menggotong aku pulang kesini."

   "Apakah kakek itu tidak meninggalkkan nama, paman?"

   "Tidak, setelah aku dan para pembantuku roboh, dia segera melarikan diri. kereta dan peti emas itu telah lenyap di bawa mereka."

   Hui Lan mengerutka alisnya. Ia melihat betapa pamannya kelihatan berduka sekali.

   "Apakah paman tidak dapat menduga siapa adanya kakek bertongkat kepala naga itu, paman?"

   "Aku pernah mendengar bahwa di pantai timur terdapat seorang datuk yang lihai, bersenjata tongkat kepala naga dan juga memiliki Tok-ciang ( tangan beracun). Entah dia atau bukan orang itu. Akan tetapi yang menggelisahkan hatiku adalah wanita cantik itu. Tiga hari yang lalu ia datang dan setelah mendengar bahwa emasnya di rampok penjahat, lalu menuntut agar aku membayar kerugiannya sebanyak seribu tail emas! Dari mana aku dapat memperoleh uang sebanyak itu? Biar kujual habis semua perusahaanku berikut rumah-rumahnya, masih juga belum cukup untuk membayar emas sebanyak itu. Dan besok pagi adalah hari terakhir penentuan pembayaran. Aku khawatir sekali, Hui Lan."

   Hui Lan mengerutkan alisnya, berpikir. Gadis ini selain keras hati dan lincah, juga amat cerdik.

   "Paman Kui Bu, ketika wanita itu mengirim peti berisi emas, apakah paman membuka peti itu dan melihat isinya?"

   "Hemm, tidak. Untuk apa? Wanita itu juga melarang merusak peti itu. Ia sanggup membayar biaya pengiriman yang banyak sekali, dan kami percaya kepadanya. Andaikata peti itu bukan berisi emas, lalu untuk apa ia mengirimnya dengan biaya semahal itu?"

   "Memang nampaknya tidak mungkin akan tetapi ada suatu kemungkinan besar sekali, paman. Ia mengirim peti berisi barang tidak berharga, lalu terjadi perampokan dan ia minta ganti seribu tail emas! Hemm, aku terus terang saja menjadi curiga kepada pengirim barang itu, paman. Mungkin saja ia ia bersekutu dengan perampok dan mereka mengharapkan hasilnya, yaitu penggantian seribu tail emas itu!"

   "Ahhh"!"

   Cia Kui Bu menepuk dahinya dan memandang kepada keponakannya penuh rasa kagum.

   "Tentu saja ada kemungkinan itu! Kenapa aku tidak pernah memikirkan sampai ke sana? Akan tetapi karena aku tidak memeriksa isinya, tidak ada bukti bahwa peti itu bukan berisi emas."

   "Inilah kelicikan mereka. Kalau mereka merampas emas, tentu akan terus di cari sebagai penjahat perampok. Akan tetapi kalau menerima uang pengganti kerugian, pendapatan mereka itu sah dan tidak melanggar hukum."

   "Hemm, aku akan mencari kakek itu kepulau tembaga di lautan timur. Kalau memang benar kakek itu datuk di timur yang berjuluk Tung-hai Liong-ong, aku akan merampasnya kembali!"

   Kata Cia Kui Bu sambil mengepal tinju.

   "Nanti dulu, paman. Kita harus menghadapi mereka satu demi satu. Kita hadapi wanita itu dulu, yang besok pagi akan datang menuntut kerugian. Seperti apakah wanita itu? Apa ciri-cirinya?"

   "Ia seorang wanita cantik yang kelihatan masih muda, akan tetapi kurasa ia sudah berusia hampir empat puluh tahun. Ia pesolek, berpakaian mewah dan memegang sebuah kebutan. Dipunggungnya tergantung sebuah pedang."

   "Pakaiannya?"

   "Pakaiannya mewah dan serba mewah."

   "Hemm, lupakah paman akan seorang tokoh sesat yang berjuluk Ang-bi Mo-li( Iblis Betina Merah Cantik )? Agaknya tokoh itulah pengirim peti emas itu."

   Cia Kui Bu mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk.

   "Akupun pernah mendengar tentang betina itu, akan tetapi ketika ia datang mengirim barang, sikapnya demikian halus dan sopan sehingga aku tidak menyangka buruk kepadanya."

   "Aku sendiripun belum pernah bertemu dengan Ang-bi Mo-li, maka kita tunggu saja kedatangannya besok. Biar aku yang berhadapan dengan dia paman harap diam saja dan melihat gerak-geriknya. Aku akan memancing agar ia mengakui siapa dirinya."

   Setelah di obati Hui Lan dan mendengar pendapat gadis itu, kesehatan Cia Kui Bu pulih kembali. Dia menjadi bersemangat karena mendapat bantuan Hui Lan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat hebat. Dia pernah mendengar dari encinya, Cia Kui Hong, bahwa Hui Lan memiliki bakat yang baik sekali sehingga ia dapat mewarisi ilmu-ilmu andalan dari Ayah ibunya. Bahkan menurut keterangan encinya, gadis ini telah mempelajari ilmu sihir pula dari Ayahnya! malam itu Cia Kui Bu sudah sembuh betul dan dia pun dapat makan minum dengan lahapnya. Dia makan sambil bercakap-cakap dengan Hui Lan, menanyakan kabar keselamatan enci dan ci-hunya (kakak iparnya). Setelah selesai makan dia mengajak Hui Lan duduk di serambi depan sambil mengobrol.

   "Aku merasa heran sekali melihat paman masih juga hidup menyendiri. Kenapa paman tidak menikah dan membentuk sebuah keluarga? Dengan demikian kehidupan paman akan menjadi tenang."

   Cia Kui Bu tersenyum.

   "Banyak orang mengatakan demikian, Hui Lan. Akan tetapi kalau aku belum bertemu dengan calon jodohku yang cocok, bagaimana? Pula, seandainya saat ini aku sudah mempunyai isteri, bukankah aku akan menjadi lebih gelisah lagi memikirkan keselamatan mereka?"

   "Setidaknya ada orang-orang yang membantu paman memecahkan setiap persoalan yang paman hadapi.

   "kata gadis itu.

   "Engkau benar juga, Hui Lan. Akan kupikirkan hal itu dan akan kucari cara jodohku yang cocok denganku."

   Setelah malam makin larut, Hui Lan berpamit kepada pamannya untuk mengaso dalam kamarnya. Ia tidur malam itu, akan tetapi setiap saat ia siap dan waspada, kalau-kalau malam itu ada orang yang akan mengganggu pamannya.

   Ia tahu bahwa pamannya cukup lihai, akan tetapi orang yang mengganggunya lebih lihai lagi. Pagi itu suasana di Ceng-liong piauw-kiok terasa sunyi penuh ketegangan. Semua piauwsu berkumpul di serambi depan rumah besar itu. Jumlah mereka ada enam belas orang. Mereka semua memakai pakaian seragam piauwsu yang ringkas membawa senjata tajam golok atau pedang yang tergantung di pinggang, dan nampaknya seperti pasukan yang siap untuk berperang! Ada yang berdiri dan termenung memandang keluar halaman, ada yang duduk bergerombol sambil bicara berbisik-bisik. Cia Kui Bu sendiri pagi-pagi telah mandi dan mengenakan pakaiannya yang serba hijau sehingga nampak gagah sekali. Tubuhnya telah sehat kembali dan dia merasa tubuhnya segar dan kuat. Hanya Hui Lan seorang yang tenang-tenang saja.

   Pagi-pagi gadis ini mandi, bertukar pakaian, lalu sarapan pagi bersama pamannya dan ia duduk di ruangan dalam, tidak senang berada di luar karena tentu ia akan menjadi sasaran pandang mata para piauwsu. Pukul delapan pagi. Para piauwsu yang berkumpul di serambi depan tiba-tiba terbelalak dan mereka semua berdiri memandang wanita yang tahu-tahu di halaman rumah itu. Seperti hantu saja datangnya wanita itu karena tidak ketahuan. Akan tetapi kalaupun ia hantu, maka hantu yang cantik sekali. Wajahnya di bedaki tipis dan terhias gincu pada bibir dan pipinya. Rambutnya yang hitam panjang di gelung ke atas dan di hias dengan burung emas permata indah. Pakaiannya dari sutera beraneka warna, mewah akan tetapi ringkas dan warna merah yang paling menyolok di antara banyak warna itu. Di punggungnya nampak gagang pedang dan tangan kirinya memegang sebatang kebutan.

   "Cia-piauwsu, keluarlah! Keluarlah untuk mempertanggung-jawabkan tanggunganmu!"

   Terdengar wanita berseru dengan suaranya yang lantang. Para piauwsu yang berada di serambi depan rumah sudah siap untuk berkelahi kalau di suruh majikan mereka. Akan tetapi, Cia Kui Bu tidak keluar, dan yang keluar bahkan gadis cantik yang kemarin datang menjadi tamu majikan mereka, yaitu keponakan Cia Piauwsu. Hui Lan melangkah keluar dengan sikap tenang akan tetapi waspada dan sepasang mata yang tajam itu mencorong memandang kearah wanita cantik itu. Melihat munculnya gadis yang jelita itu, wanita itu mengerutkan alisnya.

   "Siapa engkau? Suruh Cia Piauwsu keluar. Kalau ia tidak membayar ganti rugi barangku yang dibikin hilang, akan kuhancurkan semua yang berada di sini, dan akan kulaporkan kepada yang berwajib!"

   "Apakah engkau yang berjuluk Ang-bi Mo-li?"

   Hui Lan bertanya dengan suaranya yang halus, namun mengandung wibawa besar. Wanita itu nampak kaget.

   "Tidak perlu namaku di sebut dalam urusan ini. Cia Piauwsu telah sanggup mengantar emasku ke kota raja, akan tetapi dia mengatakan bahwa barang itu hilang di bawa perampok! Dia harus mengganti seharga seribu tail emas!"

   "Barang itu memang di rampok, dan sedang di usahakan agar di dapatkan kembali."

   "Omong kosong! Sampai kapan di dapatkan? Aku sudah memberi waktu sampai hari ini dan tidak mau waktunya di ulur lagi."

   "Hemm, benarkah engkau ini Ang-bi Mo-li?"

   "Kalau benar mengapa, kalau tidak kenapa?"

   Tantang wanita itu yang mulai menjadi marah kepada Hui Lan yang tetap bersikap tenang itu.

   "Kalau engkau benar Ang-bi Mo-li, maka aku tidak merasa heran kalau barang itu di bawa lari perampok!"

   Kata pula Hui Lan dan sinar matanya dengan tajam mengamati wanita itu.

   "Apa maksudmu?"

   "Barang itu sama sekali tidak berisi emas, mungkin hanya berisi batu-batu saja."

   "Gila kau!"

   "Tidak, aku hanya berkata sebenarnya. Engkau mengirim barang yang kau katakan emas, kemudian sekutumu mengadakan perampasan di jalan, lalu engkau datang minta uang pengganti. Begitu bukan?"

   "Apa buktinya? Barang itu memang emas seribu tail!"

   "Hemm, siapakah yang melihat bahwa barang itu emas? Engkau hanya membawa sebuah peti yang kau larang untuk di periksa isinya. Hanya engkau yang mengatakan isinya emas, akan tetapi semua piauwsu di sini tidak ada yang melihatnya! Dan siapakah sekutumu itu? Bukankah dia Tung-hai Liong-ong?"

   Kata pula Hui Lan dengan nada suara mengejek. Wajah wanita itu menjadi merah sekali karena marah.

   "Omongan apa yang kau keluarkan ini? Aku pengirim barang yang di bikin hilang oleh Cia-piauwsu dan aku datang minta ganti. Bukankah itu sewajarnya?"

   "Tentu sewajarnya kalau engkau bukan Ang-bi Mo-li yang sudah terkenal kelicikan dan kejahatannya."

   "Keparat! Bicaramu makin kurang ajar saja! Siapakah engkau?"

   "Namaku Tang Hui Lan, keponakan dari Cia-piauwsu."

   Para piauwsu yang sudah mendengarkan semua itu, menjadi marah kepada Ang-bi Mo-li.

   "Siocia, biarkan kami yang menghajar penjahat dan penipu ini!"

   Hui Lan tidak keburu mencegah karena belasan orang piauwsu itu telah menyerang dengan senjata mereka. Akan tetapi, nampak wanita itu menggerakkan kebutannya dan tubuhnya berloncatan dengan gesit sekali dan para piauwsu itupun roboh berpelantingan, golok dan pedang terlempar lepas dari tangan mereka. Dalam beberapa menit saja, belasan orang piauwsu itu telah roboh semua dengan tubuh terluka seperti di iris senjata tajam!

   "Kalian mundur semua!"

   Bentak Hui Lan dan iapun melompat kedepan wanita cantik itu sambil mencabut sepasang pedangnya. Itulah Hok-mo Siang-kiam (Sepasang pedang penakluk iblis), pemberian ibunya. Melihat ini, Ang-bi Mo-li memandang tajam.

   "Apakah engkau ini puteri Tang Hay dan Cia Kui Hong? Dan kakek nenekmu bernama Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin?"

   Diam-diam Hui Lan terkejut. Wanita ini telah mengenal semua keluarganya. Sebuah pikiran menyelinap di hatinya. Kalau begitu, wanita ini membikin susah pamannya memang di sengaja karena pamannya adalah adik dari ibunya!

   "Kalau benar mengapa? Kalau tidak kenapa?"

   Hui Lan membalas seperti jawaban Ang-bi Mo-li ketika di tanya tadi. Sepasang mata wanita itu seperti menyinarkan api.

   "Bagus! Jadi engkau ini anak ketua Cin-ling-pai? Kalau begitu, hari ini engkau akan mampus di tanganku!"

   Mendadak Ang-bi Mo-li mencabut pedang dari punggungnya dengan tangan kanan sehingga kini dia memegang dua senjata, pedang dan kebutan.

   "Aku atau engkau yang akan mampus?"

   Hui Lan membalas menggertak. Ang-bi Mo-li sudah demikian marahnya sehingga ia tidak mengeluarkan suara lagi, langsung menyerang dengan pedang dan kebutannya. Akan tetapi Hui Lan sama sekali tidak menjadi gentar dan ia pun menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis.

   "Trang... Cringg...!"

   Keduanya melompat ke belakang untuk memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan empat buah senjata itu membuat tangan mereka tergetar. Ang-bi Mo-li terkejut bukan main. Tak di sangkanya bahwa gadis muda itu demikian lihainya, maka ia pun menyerang lagi dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu silatnya.

   Namun, sepasang pedang di tangan Hui Lan telah berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata dan sama sekali tidak dapat di tembus oleh pedang dan kebutan Ang-bi Mo-li . Sebaliknya, setiap kali gadis itu menyerang, sinar kilat mencuat dari gulungan sinar pedang, Ang-bi Mo-li menjadi terkejut dan nyaris terkena tusukan pedang. Mulailah ia terdesak ke belakang. Cia Kui Bu yang sudah keluar sejak tadi, menonton pertandingan itu dengan hati kagum bukan main. Ang-bi Mo-li mungkin tidak selihai kakek bertongkat kepala naga, akan tetapi harus di akui bahwa gerakan wanita baju merah itu amat gesit. Akan tetapi, segera dia melihat betapa keponakannya mendesak terus. Tiba-tiba Hui Lan mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan dua sinar pedang mencuat dari dua gulungan sinar itu, dua batang pedangnya menyerang lawan dari dua jurusan.

   "Heiiittt... kena...!"

   Ang-bi Mo-li mencoba untuk memutar dua senjatanya dan mengelak, namun tetap saja ada sinar pedang menyambar pundak kirinya sehingga bajunya robek dan kulitnya terluka berdarah. Tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangan membanting sesuatu.

   "Darrr...!"

   Nampak asap hitam mengepul tebal. Hui lan yang tidak mau terkena asap itu segera meloncat ke belakang dan kesempatan itu di pergunakan Ang-bi Mo-li untuk melarikan diri. Cia Kui Bu menghampiri keponakannya.

   Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Engkau hebat, Hui Lan. Ang-bi Mo-li itu lihai sekali dan engkau dengan mudah telah mengusirnya!"

   "Sayang aku tidak dapat menangkapnya, paman. Ia menggunakan bahan peledak untuk melarikan diri. Sekarang aku sudah tahu pasti, paman. Peti itu tentu bukan berisi emas, melainkan batu-batu biasa saja. Dengan cara ini ia hendak membikin nama baik Ceng-liong Piauwsu menjadi tercemar. Ini semua memang sudah di atur. Agaknya wanita iblis itu menaruh dendam kepada keluarga Cin-ling-pai, maka ia membalasnya kepadamu."

   Cia Kui Bu mengangguk-angguk.

   "Agaknya Ang-bi Mo-li itu bersekutu dengan Tung-hai Liong-ong. Ini berarti bahwa Tung-hai Liong-ong juga ingin membalas dendam kepada keluarga Cin-ling-pai."

   "Boleh jadi, paman. Tidak mengherankan kalau begitu karena sejak dulu orang-orang tua yang menurunkan kita selalu menegakkan kebenaran dan keadilan dan menentang semua penjahat. Bahkan aku belum sempat mengabarimu, paman. Kakek buyut Ceng Thian Sin juga sudah meninggal dunia."

   "Ahhh...!"

   Kui Bu memandang Hui Lan dengan kaget. Rasanya sukar di percaya bahwa kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu dapat mati! "Mari kita bicara di dalam, Hui Lan."

   Para piauwsu mengobati luka-luka ringan mereka dan mereka tidak habis-habis memuji kehebatan Hui Lan yang mampu mengalahkan wanita iblis itu! Setelah berada di dalam, Kui Bu bertanya,

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 16 Kumbang Penghisap Kembang Eps 14 Kumbang Penghisap Kembang Eps 14

Cari Blog Ini