Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti 8


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



"Binatang yang begitu lucu mengapa harus dibunuh?"

   Terdengar suara nyaring menegur dan tiba-tiba melompatlah bayangan seorang anak kecil keluar dari balik sebatang pohon besar. Ketika Kwan Cu memandang, ternyata bahwa anak itu adalah The Kun Beng, murid kedua dari Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai! Kun Beng keluar sambil tersenyum-senyum ramah dan wajahnya yang tampan tampak menarik sekali. Kwan Cu tidak menjadi marah kehilangan kelincinya.

   "Maksudku bukan untuk membunuh, akan tetapi makan dagingnya,"

   Bantahnya sambil tersenyum juga. Kun Beng membelalakkan kedua matanya.

   "Apa bedanya? Bukankah makan dagingnya berarti membunuh juga?"

   Dengan wajah sungguh-sungguh, Kwan Cu menggeleng kepalanya.

   "Jauh sekali bedanya! Membunuh karena marah dan mata gelap, itu bodoh namanya. Membunuh untuk memuaskan hati dan memperlihatkan keunggulan, itu kejam namanya. Akan tetapi membunuh untuk mengisi perut karena lapar, itu lain lagi, bukan membunuh lagi namanya!"

   Kun Beng tertegun.

   "Ah, lidahmu lemas sekali, Kawan. Ucapanmu itu benar-benar aku tidak mengerti maksudnya. Cara kau bicara seperti Suhu saja, membingungkan. Bukan bicara anak-anak dan aku tidak suka. Lebih baik kita main gundu, lebih menggembirakan."

   "Main gundu?"

   Kini Kwan Cu yang terheran-heran. Anak aneh, datang-datang dan bertemu di tengah hutan mengajak main gundu! Pula, dia tidak bisa main gundu. Kun Beng mengeluarkan kelereng yang dipegangnya. Semua ada tujuh butir, terbuat daripada batu-batu hitam yang keras.

   "Sebetulnya harus delapan butir, akan tetapi yang sebutir tadi kupakai menolong nyawa kelinci,"

   Kata Kun Beng sambil tertawa.

   "Akan tetapi tidak apa, pakai tujuh butir pun sudah cukup."

   "Bagaimana cara memainkannya?"

   Tanya Kwan Cu yang ikut pula berjongkok seperti Kun Beng.

   "Kau lihatlah baik-baik! Yang enam butir kulemparkan di atas tanah dan berpencaran, kemudian dengan sebutir ini aku membidik sehingga berganti-ganti dapat mengenai enam butir kelereng itu."

   Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu membidikkan sebutir kelereng dari jarak lima kaki. Kelereng itu meluncur dari tangannya dan menggelinding, dengan jitu sekali mengenai pertama, terus mental kepada kelereng kedua, ketiga dan seterusnya sampai enam butir kelereng itu terkena benturan semua!

   "Bagus!"

   Kata Kwan Cu memuji.

   "Kau pandai sekali!"

   "Nah, yang berhasil membenturkan kelereng jagonya sampai mengenai enam yang lain, boleh main terus. Kalau tidak kena, baru kau boleh dapat giliran."

   Demikianlah, dua orang anak-anak ini sambil berjongkok bermain gundu di tengah hutan! Akan tetapi karena tidak terlatih, tentu saja Kwan Cu kalah selalu.

   "Kau benar-benar pandai. Siapa sih namamu?"

   "Namaku The Kun Beng. Aku sudah tahu namamu, Lu Kwan Cu, bukan?"

   Kwan Cu mengangguk.

   "Suhumu itu amat lihai dan terkenal. Suhuku sering kali memuji namanya. Dan Suhengmu yang galak itu, siapa namanya?"

   "Suheng bernama Gouw Swi Kiat, biarpun galak akan tetapi hatinya baik dan dia lihai mainkan sepasang kipas."

   "Kau pun tentu lihai main kipas."

   Kun Beng menggeleng kepalanya.

   "Aku lebih suka mainkan tombak dan Pedang, terutama sekali tombak. Kau sendiri belajar apakah dari Suhumu?"

   Kwan Cu menggelengkan kepalanya yang gundul.

   "Tidak belajar apa-apa, hanya belajar gerakan kaki saja. Eh, Kun Beng, kau mengapa bisa berada di tempat ini? Mana Suhengmu dan Suhumu?"

   "Mereka masih di belakang. Aku mendahului mereka masuk ke dalam hutan. Aku paling senang berada di dalam hutan, dikelilingi pohon-pohon besar dan daun-daun. Nah, itu dia Suhengku datang."

   Benar saja, Swi Kiat muncul dan datang-datang ia menegur Sutenya.

   "Sute, kau terlalu sekali. Suhu menyuruh aku mencarimu di mana-mana hingga kucari sampai berputaran di dalam hutan ini. Eh, bukankah ini Lu Kwan Cu, bocah yang mengacaukan urusan kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng itu?"

   Tanyanya sambil memandang tajam kepada Kwan Cu.

   "Suheng, Kwan Cu kalah main kelereng denganku!"

   Kata Kun Beng.

   "Main kelereng? Ah, kau seperti anak kecil saja. Mengapa tidak mengalahkan dalam dia main silat?"

   "Kwan Cu belum belajar silat, Suheng. Bagaimana bisa minta dia pibu (mengadu kepandaian silat)?"

   "Dia bohong! Mana bisa murid Ang-Bin Sin-Kai tidak mengerti ilmu silat? Hm, orang yang suka menyembunyikan kepandaiannya, dia mempunyai hati curang dan licik. Eh, Lu Kwan Cu, beranikah kau mengadu kepandaian dengan aku?"

   Gouw Swi Kiat menantang dengan sikap sombong.

   "Berani sih tentu saja berani. Takut atau tidak berani hanya bersarang dalam hati seorang bersalah, sedangkan aku tidak bersalah sesuatu terhadapmu. Akan tetapi, tentang mengadu kepandaian denganmu, apanya yang harus diadu? Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa,"

   Jawab Kwan Cu sejujurnya. Memang, semenjak Suhunya mengeluarkan semua tenaga yang dipelajarinya, dari kitab palsu, kini dia tidak mempunyai kepandaian silat sama sekali, kecuali ginkang dan Lweekang yang masih dimiliki tanpa disadarinya.

   "Mulutmu lemas sekali seperti perempuan! Kau hanya mempergunakan lidahmu untuk mencari alasan, padahal sesungguhnya kau takut padaku. Hayo bilang saja kau takut!"

   Swi Kiat membentak sambil mengejek.

   "Aku tidak takut!"

   Jawab Kwan Cu menggelengkan kepala.

   "Bagus, kalau begitu mari kita mengukur kepandaian!"

   Sebelum Kwan Cu sempat menjawab, Swi Kiat sudah menyerang dengan pukulan tangan kiri ke arah dada!

   Biarpun belum menerima latihan ilmu pukulan dari Suhunya, namun Kwan Cu sudah mempelajari cara pergerakan kaki dan kedudukan tubuh, maka dia memiliki kegesitan dan gerakan otomatis dari seorang ahli silat tinggi. Menghadapi pukulan ini, dia miringkan tubuh dan menarik kaki yang berada di depan sehingga pukulan itu mengenai angin! Swi Kiat menjadi penasaran dan menyerang bertubi-tubi! Swi Kiat adalah murid pertama yang berbakat dari Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai. Tentu saja ilmu silatnya sudah baik dan tinggi. Seorang laki-laki dewasa saja, dalam satu dua gebrakan tentu akan roboh olehnya. Usianya sebaya dengan Kwan Cu dan dalam hal ilmu silat, dia masih menang jauh. Maka, setelah dapat mengelak beberapa jurus, akhirnya kepala Kwan Cu yang gundul itu terkena pukulan tangan kiri Swi Kiat.

   "Buk!"

   Tubuh Kwan Cu berputaran saking kerasnya pukulan itu. Untuk sejenak kepalanya terasa pening dan seakan-akan kepalanya terasa bengkak membesar. Akan tetapi, hanya sebentar saja karena di dalam darah Kwan Cu telah mengalir darah ular dan buah Coa-Ko, ditambah pula latihannya Lweekang tanpa disadarinya telah mencapai tingkat tinggi juga.

   "Kita tidak berkelahi, bagaimana aku bisa mengaku kalah?"

   Kwan Cu berkata sambil menggelengkan kepalanya.

   "Eh, gilakah kau? Bukankah baru saja kau kuserang dan kepalamu terpukul?"

   "Memang kau menyerangku, akan tetapi tidak berkelahi!"

   "Suheng, jangan pukul dia! Dia benar-benar tidak mempunyai kepandaian silat!"

   Kwan Cu mendengar suara Kun Beng mencegah Suhengnya. Akan tetapi Swi Kiat sambil bertolak pinggang, berkata kepada Kwan Cu,

   "Hayo kau mengaku kalah padaku!"

   "Suheng, dia benar! Dia sama sekali tidak membalas seranganmu, bagaimana disebut berkelahi?"

   "Kalau begitu, sekarang aku akan memaksa dia berkelahi dengan aku!"

   Seru Swi Kiat yang menyerang pula. Akan tetapi, tiba-tiba Kun Beng melompat menangkis serangan Suhengnya itu.

   "Eh, Kun Beng. Apa kau sudah gila?"

   "Tidak segila engkau, Suheng! Seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak mau membalas!"

   Jawab Kun Beng. Swi Kiat ragu-ragu. Ia harus akui bahwa tingkat kepandaian Sutenya tidak kalah olehnya, kalau tidak mau dibilang lebih tinggi dan lebih maju. Pula, dia sayang kepada Sutenya ini dan tentu saja tidak mau cekcok dengan Sutenya hanya karena Kwan Cu, bocah gundul itu.

   "Kau pergilah!"

   Bentaknya kepada Kwan Cu, yang memandang semua itu dengan matanya yang bersinar-sinar. Mendengar bentakan ini, sebetulnya kalau menurut wataknya yang keras dan tidak mau tunduk, Kwan Cu tidak mau mengambil perhatian. Akan tetapi Kun Beng berkata halus,

   "Kwan Cu, lebih baik kau tinggalkan kami saja. Untuk apa mencari keributan?"

   Kwan Cu mengangguk dan berjalanlah dia untuk kembali kepada Suhunya. Di tengah jalan, dia berhasil menimpuk mati seekor kelinci dan dengan girang dibawanya kelinci itu kepada Suhunya. Ia mendapatkan Gurunya telah bangun dari tidurnya dan kini Gurunya itu duduk bersandar pada pohon dan memandangnya.

   "Suhu, Teecu mendapatkan seekor kelinci!"

   Kata anak itu girang. Akan tetapi Gurunya tidak ikut bergembira, bahkan menegurnya.

   "Kwan Cu, kau membikin malu padaku! Kau hanya berani menyerang seekor kelinci, akan tetapi tidak berani membalas serangan seorang lawan yang menghinamu! Kau membiarkan kepalamu yang gundul itu menjadi permainan pukulan murid Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai. Bukankah itu amat memalukan dan merendahkan nama Guru?"

   Kwan Cu tertegun. Gurunya tadi tidur pulas di bawah pohon, bagaimana Suhunya ini tahu akan peristiwa yang terjadi antara dia dan Swi Kiat?

   "Suhu, Teecu tidak berniat berkelahi. Untuk apakah berkelahi dengan orang? Tidak ada alasannya bagi Teecu untuk membalas serangannya. Dan pula, bagaimana Teecu bisa membalas? Dia lihai sekali."

   Merah muka Ang-Bin Sin-Kai yang memang sudah merah itu.

   "Murid goblok! Kalau tiada hujan tiada angin kau mengamuk dan memukul orang, itu memang tidak baik dan tidak beralasan. Akan tetapi kau dihina dan dipukul. Itu sudah merupakan alasan kuat sekali bagimu untuk membalas memukulnya!"

   "Akan tetapi, Suhu..."

   "Tidak ada tapi! Lekas kau kembali dan membalas pukulannya!"

   "Dia lihai, Suhu..."

   "Eh, kau takut?"

   Mata bocah gundul itu bersinar penasaran,

   "Takut?? Siapa takut, Suhu? Biar kepada iblis sekalipun Teecu tidak takut!"

   "Kalau begitu, kau lekas kembali kepadanya. Tanya apakah dia masih mau memukulmu, kalau dia menyerang, balas!"

   "Teecu belum pernah Suhu ajari ilmu pukulan."

   "Untuk apa kedua tangan dan kakimu? Belajar atau tidak, memukul dan menendang tak bisa lain harus menggunakan kaki tangan. Dan kaki tanganmu masih ada, bukan?"

   Kwan Cu mengaku kalah dan segera dia kembali mencari Swi Kiat! Di dalam hutan, dia melihat Swi Kiat dan Kun Beng duduk di bawah pohon bersama Gurunya, yakni Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai! Keder juga hati Kwan Cu melihat orang tua yang bertubuh pendek kecil itu, akan tetapi memang dia memang seorang anak yang tidak mengenal arti takut. Pendiriannya sungguh teguh, seteguh batu karang di pinggir laut, bahwa kalau tidak bersalah dia tidak boleh takut kepada siapapun juga!

   "Eh, Swi Kiat. Apakah kau masih juga mau memukulku seperti tadi?"

   Tanyanya sambil menghampiri Swi Kiat yang memandangnya dengan mata terheran. Juga Kun Beng heran sekali sehingga tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Adapun Siangkoan Hai memandang dengan mata penuh perhatian, lalu berkata,

   "Ah, bukankah bocah gundul itu murid Gui Tin?"

   "Teecu sekarang murid Ang-Bin Sin-Kai, Locianpwe."

   Jawab Kwan Cu dengan suara tenang. Siangkoan Hai tertawa bergelak.

   "Bersemangat juga anak ini. Eh, Swi Kiat, dia datang menegurmu hendak apakah?"

   "Tadinya Teecu telah menghajar dia, agaknya dia masih kurang dan minta tambah lagi,"

   Kata Swi Kiat sambil bangun berdiri.

   "Kwan Cu, apakah kau datang hendak minta di gebuk kepalamu yang gundul itu lagi? Jangan kurang ajar, lekaslah pergi dari sini!"

   "Aku datang hendak menyatakan bahwa kalau kau menyerangku, sekarang aku akan membalasmu!"

   Swi Kiat tertawa geli, bahkan Kun Beng juga tertawa, akan tetapi murid kedua dari Siangkoan Hai ini berkata,

   "Kwan Cu, jangan berlaku bodoh. Kau bukan tandingan Suheng, untuk apa mencari penyakit?"

   "Aku tidak ingin menyerangnya. Akan tetapi kalau dia berani memukulku, pasti kali ini akan membalasnya,"

   Kata Kwan Cu masih tetap tenang.

   "Kalau begitu aku akan memukulmu!"

   Kata Swi Kiat sambil bersiap-siap menyerang Kwan Cu. Bocah gundul ini tidak seperti tadi, sekarang diapun bersiap-siap dan memasang kuda-kuda. Melihat sikap Kwan Cu, Pak-Lo-Sian tertawa bergelak.

   "Eh, bocah gundul, benar-benarkah kau murid Ang-Bin Sin-Kai? Kalau benar kau murid Ang-Bin Sin-Kai, kau biasa mempelajari ilmu senjata apa sajakah?"

   Kini Kwan Cu mengerti bahwa tinggi rendahnya nama Suhunya tergantung dari sikap dan sepak terjangnya, maka dia hendak menebus kesalahannya yang tadi membuat malu nama Gurunya. Ia melihat sebatang ranting pohon di depan kakinya, maka dipungutnya ranting itu dan dia menjawab,

   "Apapun juga yang berada di tangan Suhu, menjadi senjatanya yang ampuh. Kalau Lociapwe bertanya tentang senjata, pada waktu ini Teecu memegang ranting dan inilah pula senjataku!"

   "Bagus! Eh, Kun Beng kau lawan bocah gundul ini. Kau pun boleh menggunakan ranting pohon!"

   Kun Beng tertegun, akan tetapi dia pikir lebih baik melawan dia daripada menghadapi Suhengnya bagi Kwan Cu,

   "Kwan Cu, sekarang kita mengukur kepandaian, kalau kau roboh berarti kau kalah!"

   "Sesukamulah!"

   Kata Kwan Cu karena baginya, bertanding dengan siapapun sama juga, asal dia telah dapat menebus nama Suhunya dengan melawan.

   "Siapa saja yang memukul dan menyerangku, tentu kubalas."

   Kun Beng menggerakkan rantingnya seperti kalau dia bermain tombak. Memang semenjak kecilnya, Kun Beng lebih suka mempelajari ilmu tombak dan berbeda dengan Suhengnya, dia mewarisi ilmu tombak dari Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai.

   "Awas senjata!"

   Serunya dan Kwan Cu bingung sekali melihat betapa setelah ranting itu digerakkan oleh tangan Kun Beng, ujung ranting seakan-akan berubah menjadi banyak sekali yang kesemuanya menyerang tubuhnya dengan hebat! Ia lalu menggerakkan rantingnya menangkis sejadi-jadinya, namun karena tenaga Lweekangnya memang sudah boleh juga, dia berhasil menyampok ranting di tangan Kun Beng. Akan tetapi, ilmu tombak yang dipelajari oleh Kun Beng termasuk ilmu silat tinggi yang jarang bandingannya, maka begitu terkena tangkisan, ranting itu meluncur turun dan tanpa dapat dicegah lagi, kaki Kwan Cu kena dikait dan terjungkallah bocah gundul itu!

   "Ha, ha, ha! Pukul kepalanya yang gundul, Sute, biar dia tahu rasa!"

   Kata Swi Kiat tertawa gembira. Sebaliknya, Siangkoan Hai menjadi melongo. Bagaimana Ang-Bin Sin-Kai dapat mengambil seorang murid yang begini tolol? Ia akui bahwa memang si gundul ini bertulang baik, akan tetapi agaknya otaknya tidak genap! Kwan Cu memang bandel dan juga tubuhnya sudah kuat sekali. Begitu terjungkal dia bangun lagi dan siap sedia bertempur lagi.

   "Eh, Kwan Cu. Kau sudah kalah, mengakulah,"

   Kata Kun Beng. Murid kedua Siangkoan Hai ini memang mempunyai perasaan yang halus dan dia tidak tega untuk melawan Kwan Cu lagi yang terang-terangan tidak mempunyai kepandaian silat.

   "Menyerah kalah tak mungkin. Kalau kau menyerang lagi, aku tetap akan melawan!"

   Kwan Cu membandel. Kun Beng tidak mau menyerang lagi, bahkan melempar rantingnya ke atas tanah.

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Pendekar Sakti/Bu Pun Su Lu Kwan Cu (Seri ke 01 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Suhu, dia tidak bisa ilmu silat, bagaimana Teecu dapat melawannya?"

   Tiba-tiba Swi Kiat melompat maju.

   "Anak ini memang bandel dan dia tidak akan tahu kelihaian ilmu Suhu kalau tidak diberi hajaran. Eh, Kwan Cu, apakah kau berani menghadapiku?"

   "Mengapa tidak berani?"

   Jawab Kwan Cu tenang.

   "Kau boleh menggunakan rantingmu, biar aku menyerangmu dengan tangan kosong!"

   Kata Swi Kiat.

   "Aku bukan pengecut yang menghadapi orang bertangan kosong dengan senjata,"

   Kwan Cu juga membuang rantingnya. Diam-diam Siangkoan Hai memuji.

   "Hm, anak gundul ini benar-benar memiliki sifat gagah, sayang sekali otaknya miring. Mana bisa dia belajar silat? Sungguh kali ini Ang-Bin Sin-Kai menggelikan sekali."

   Swi Kiat sudah maju menyerang. Kwan Cu mengelak dan menangkis. Dalam hal mempertahankan diri, dia boleh juga dan beberapa jurus lewat tanpa ada pukulan dan tendangan Swi Kiat yang mengenai tubuh Kwan Cu. Akan tetapi, Kwan Cu hanya membalas dengan pukulan-pukulan ngawur saja, asal pukul dan asal menendang. Ketika dia menendang Swi Kiat menangkap tumitnya dan sekali mendorong ke depan, tubuh Kwan Cu terlempar ke belakang dan dengan suara keras tubuhnya mengukur tanah! Namun dia bangkit kembali dan sebelum dia dapat memperbaiki kedudukannya kembali Swi Kiat menyerbu dengan pukulannya yang membuat Kwan Cu untuk kedua kalinya jatuh tersungkur.

   "Kau masih belum mengaku kalah?"

   Bentak Swi Kiat. Kekerasan hati Kwan Cu memang luar biasa sekali. Ia menggeleng kepala dan mencoba untuk merayap bangun pula, akan tetapi sebuah tendangan membuatnya terguling-guling. Sampai lima kali dia mencoba bangun dan terpaksa harus mencium tanah lagi, bahkan pukulan yang kelima kalinya membuat bibirnya pecah dan berdarah. Namun pukulan itu seperti tidak terasa olehnya karena sedikit pun dia tidak mengeluh dan begitu roboh, dia merayap bangun kembali.

   "Cukup, Suheng!"

   Kata Kun Beng.

   "Diam kau, Sute. Di dalam pibu, yang kalah harus mengaku kalah!"

   Jawab Swi Kiat yang mengejar Kwan Cu lagi. Sementara itu, Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai hanya tertawa-tawa saja. Kakek ini merasa bangga sekali dan diam-diam dia pun mengakui kekuatan Kwan Cu. Jangankan seorang anak-anak, biarpun orang dewasa menghadapi pukulan bertubi-tubi dari Swi Kiat yang sudah memiliki tenaga Lweekang lumayan itu, pasti akan terluka hebat. Bagaimana bocah gundul ini tubuhnya seakan-akan terbuat daripada baja dan tidak pernah merasa sakit? Kalau saja dia melihat bocah gundul itu terluka, tentu dia akan mencegah Swi Kiat melanjutkan serangannya, akan tetapi karena dia tahu betul bahwa Kwan Cu tidak terluka di dalam tubuhnya, maka dia hanya menonton saja. Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa, disusul oleh kata-kata,

   "Bagus sekali!! Memang seorang yang kalah dalam pibu harus mengakui kebodohannya. Hayo Kwan Cu, kau harus mengakui kekalahan dan kelemahanmu!". Muncullah Ang-Bin Sin-Kai sambil tertawa-tawa. Melihat Kakek ini, Swi Kiat melompat ke belakang dan tidak melanjutkan serangannya. Adapun Kwan Cu setelah mendengar kata-kata Suhunya ini, merahlah mukanya. Ingin dia menangis keras, akan tetapi semangat dan kekerasan hatinya melarang air matanya mengucur keluar. Ia amat taat kepada Suhunya, maka sambil menghadapi Swi Kiat yang berdiri dengan dada terangkat, dia berkata,

   "Swi Kiat, aku mengaku kalah."

   Ang-Bin Sin-Kai tertawa bergelak dan berkata keras-keras.

   "Kwan Cu, dengan pengakuanmu ini, kau berarti menang! Seorang yang menangkan orang lain, belum boleh disebut gagah. Hanya orang yang sudah bisa mengalahkan kesombongan dan nafsunya sendirilah yang patut disebut gagah!. Orang menangkan orang lain tidak akan kekal, akan datang masanya dia dikalahkan oleh orang lain. Akan tetapi, kau telah dapat mengakui kelemahan, kebodohan dan kekalahanmu, inilah yang penting sekali. Kelak kau akan berlaku berhati-hati dan tidak akan terkalahkan untuk kedua kalinya. Ha, ha, ha!."

   "Bagus, bagus!"

   Siangkoan Hai bertepuk tangan memuji dengan kagum.

   "Tak kusangka bahwa jembel tua ini bener-benar pandai menjadi Guru. Eh, Swi Kiat dan Kun Beng, kau perhatikan baik-baik ajaran tadi. Memang bagus dan tepat sekali!". Sambil tersenyum Ang-Bin Sin-Kai menghampiri Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai dan bertanya,

   "Eh, jago tua Utara! Kenapa kau bisa tersesat sampai disini?"

   "Kau kira aku akan membiarkan Hek-I Hui-Mo berlaku kurang ajar begitu saja? Biarpun kitab itu palsu, aku harus mengejarnya dan memberi hajaran kepadanya!"

   Kata Siangkoan Hai.

   "Hm, kau sudah tua akan tetapi masih berkepala batu. Kau hendak menyusulnya ke Tibet?"

   "Ke neraka sekalipun pasti akan kususul! Mana bisa orang merampas sesuatu dari depan hidungku begitu saja?"

   Kembali Ang-Bin Sin-Kai tertawa.

   "Kau benar-benar orang tua sombong sekali. Pantas muridmu juga memiliki sifat tidak baik itu."

   "Bukan muridku yang sombong, melainkan muridmu yang terlalu bodoh. Eh, Ang-Bin Sin-Kai, mengapa kau memilih murid seorang bocah gendeng yang pikirannya miring?"

   Siangkoan Hai memandang ke arah Kwan Cu yang diam saja mendengarkan percakapan antara dua orang tokoh besar ini, sama sekali tidak bergerak, hanya hatinya saja terasa panas sekali. Ia tidak berdarah lagi pada bibirnya, karena luka di bibir itu telah rapat kembali.

   "Biarlah dia bodoh, dan biarlah kau menganggap miring otaknya. Akan tetapi coba saja Kau lihat lima tahun lagi. Kukira dua orang muridmu ini takkan mampu mempermainkannya seperti tadi."

   "Begitukah? Berani kau bertaruh, Ang-Bin Sin-Kai?"

   Tantang Siangkoan Hai.

   "Lima tahun lagi kita adukan mereka, yang kalah Gurunya harus memberi hadiah semacam ilmu pukulan kepada murid yang menang! Setujukah?"

   Berseri muka Ang-Bin Sin-Kai. Ia tahu bahwa di antara para tokoh besar, Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai ini termasuk seorang yang baik hatinya, akan tetapi dia sombong sekali.

   "Jadi kalau muridku kalah, aku harus memberi hadiah ilmu pukulan kepada murid-muridmu, sebaliknya kalau muridku menang, kau akan memberi padanya semacam ilmu pukulan?"

   Tanya Ang-Bin Sin-Kai Lu Sin kepadanya.

   "Benar, benar begitu. Bukankah adil sekali namanya?"

   "Baik. Kelak, lima tahun kemudian, aku kan membawa muridku mencarimu!"

   Siangkoan Hai lalu memberi tanda kepada murid-muridnya.

   "Hayo kita pergi, Hek-I Hui-Mo takkan jauh dari tempat ini!"

   Tanpa berpamit dan tanpa menoleh lagi, Siangkoan Hai dan murid-muridnya lalu pergi dari dalam hutan itu. Ang-Bin Sin-Kai menoleh kepada Kwan Cu yang menundukkan mukanya.

   "Suhu, apakah kekalahanku tadi membikin malu nama Suhu?"

   Tanyanya perlahan.

   "Bukan memalukan aku, melainkan kuharap akan dapat membuka kedua matamu bahwa ilmu silat itu bukan tidak perlu sama sekali seperti yang kau kira. Coba kau dahulu tidak membenci ilmu silat, bukankah kau sudah dapat membela diri dan belum tentu dipermainkan orang."

   "Mulai sekarang, Teecu akan belajar ilmu pukulan dengan baik-baik, Suhu."

   "Hm, tidak mudah. Kau mempunyai watak tidak mau mempersakiti orang lain. Ini sukar sekali. Kalau kau belum mempunyai kekerasan hati dan ketegaan untuk memukul dan merobohkan orang, bagaimana kau dapat mempelajari ilmu pukulan? Kau harus berlatih ketabahan lebih dulu, baru ilmu pukulan ada gunanya. Hayo kau ikut aku!"

   Ang-Bin Sin-Kai melompat dan berlari pergi. Kwan Cu cepat mengejar Suhunya sampai malam tiba, Ang-Bin Sin-Kai masih terus berlari, tanpa berhenti untuk makan, sedikitpun tidak pernah bicara. Diam-diam Kwan Cu mengerti bahwa Gurunya ini marah dan kecewa kepadanya, karena kalau dia pikir-pikir, peristiwa dengan murid-murid Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai tadi, tentu saja amat memalukan Gurunya!

   "Aku harus belajar ilmu silat, aku harus dapat mengalahkan mereka,"

   Demikian Kwan Cu berpikir sambil berlari di belakang Suhunya. Setelah memasuki sebuah hutan besar, hari telah malam dan Ang-Bin Sin-Kai berhenti lalu mengaso di bawah pohon.

   "Kau lihat ini baik-baik!"

   Kata Kakek jembel itu dan setelah memasang kuda-kuda, dia lalu menggerakkan kedua kakinya. Terdengar suara keras dan tahu-tahu dua batang pohon yang besarnya setubuh orang menjadi tumbang! Semenjak tadi Kwan Cu memasang mata baik-baik dan dia mencatat dalam otaknya bagaimana tadi Suhunya menggerakkan kedua tangan, bagaimana menggeser kaki dan cara memukul ke depan dan kanan kiri!

   "Nah, kau latih gerakan pukulan Sam-Hoan-Ciang (Pukulan Tiga Lingkaran) tadi!"

   "Teecu sudah melihat Suhu."

   "Coba kau tiru gerakan Sam-Hoan-Ciang."

   Kwan Cu memasang kuda-kuda seperti Gurunya tadi, dan sambil mengerjakan otak mengingat bagaimana tadi Suhunya bergerak, dia lalu memukul dengan kedua tangan dan menggeserkan kakinya, lalu mainkan tiga jurus Sam-Hoan-Ciang seperti yang dimainkan oleh Ang-Bin Sin-Kai tadi. Dari sepasang kepalan tangannya yang kecil, menyambar angin yang membuat daun-daun pohon kecil bergoyang-goyang! Ang-Bin Sin-Kai mengangguk setelah Kwan Cu menyelesaikan gerakan tadi.

   "Gerakan tangamu sudah baik, hanya tenaga pukulan jangan kau buyarkan. Tenaga dalam pukulan Sam-Hoan-Ciang harus dikumpulkan, ditujukan kepada bagian tubuh yang lemah dan jalan darah yang penting, jika tangan kanan memukul, mulut harus mengeluarkan suara "Hah!"

   Dan jika tangan kiri memukul harus berbunyi "Heh!"

   Ingat, Sam-Hoan-Ciang dilakukan tiga jurus, jurus pertama pukulan tangan kanan, jurus kedua pukulan tangan kiri, dan jurus ke tiga pukulan kedua tangan dibarengkan, mendorong ke depan, agak jongkok dan tenaga dari pusar disalurkan kepada kedua lengan. Mengertikah?"

   Kwan Cu mengangguk.

   "Mengerti, Suhu."

   "Coba lagi! Sekarang anggap aku sebagai lawanmu dan tiga macam pukulan itu lakukanlah terhadap tubuhku! Mulai!"

   Demikianlah, dalam keadaan yang remang-remang di dalam hutan itu, dengan perut kosong. Ang-Bin Sin-Kai mulai melatih muridnya. Kwan Cu memasang kuda-kuda, lalu mulai menggerakkan dua kakinya, dan melihat Suhunya berdiri di depannya, ia lalu mulai menyerang dengan jurus pertama. Ia menyalurkan semua tenaganya, di ujung tangan kanannya, menyerang ke arah ulu hati Gurunya sambil membentak.

   "Hah!"

   Ang-Bin Sin-Kai dengan gerakan sedikit saja dapat mengelak dari pukulan muridnya. Kwan Cu menyusul dengan jurus serangan kedua.

   Tangan kirinya yang telah diisi dengan tenaga Lweekang yang dipindahkan dari tangan kanan, menyambar dengan pukulan dahsyat kearah lambung Suhunya dan mulutnya berbunyi.

   "Heh!"

   Kembali Ang-Bin Sin-Kai mengelak, lalu Kakek jembel ini sengaja berdiri tegak untuk menanti datangnya pukulan ketiga dari muridnya. Kwan Cu lalu menyerangnya dengan jurus ketiga dari ilmu Sam-Hoan-Ciang. Anak ini sekarang memukul dengan kedua tangannya, mengerahkan tenaga dan mendorong ke arah tubuh Suhunya bagian bawah. Kali ini Ang-Bin Sin-Kai tidak mengelak, melainkan mengulur kedua tangan pula menyambut dorongan muridnya. Dua pasang tangan bertemu dan Kwan Cu terlempar ke belakang, bergulingan sampai beberapa kaki jauhnya! Ia menjadi agak nanar, akan tetapi cepat bangkit kembali dan menjatuhkan diri berlutut di depan Gurunya.

   "Mohon Suhu memberi petunjuk tentang bagian yang salah dari gerakan Teecu,"

   Katanya.

   "Kakimu yang salah, kalau tidak masa kau akan jatuh berguling-guling? Kau menghabiskan seluruh tenagamu pada lengan, sama sekali tidak mempedulikan kedudukan kaki. Kalau kau bertemu dengan lawan yang tenaganya kecil, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau kau menyerang orang yang tenaganya lebih besar, tentu kedua kakimu tidak kuasa menahan pertemuan tenaga dan kau akan terpelanting seperti tadi! Lupakah kau mengapa aku selama ini mengajarmu dengan gerakan kaki dan pemasangan kuda-kuda? Karena ilmu silat, pokok dasarnya terletak pada keteguhan pemasangan kuda-kuda, seperti bangunan berdasar kepada tiang-tiang yang kuat. Nah, berlatihlah lagi, dan kini perhatikan gerakan kaki, aku hanya akan memberi contoh sekali lagi."

   Ang-Bin Sin-Kai kembali melakukan gerakan Sam-Hoan-Ciang. Kwan Cu memperhatikan dengan mata tak pernah berkedip. Setelah Kakek jembel ini melakukan gerakannya, kembali dua batang pohon besar menjadi tumbang! Kwan Cu merasa kagum bukan main. Setelah memberi contoh untuk kedua kalinya, Ang-Bin Sin-Kai lalu duduk menyandar pohon dan sebentar saja dia telah tidur pulas! Sudah dua malam Kakek ini tidak makan, namun dia dapat tidur begitu mudah, sungguh membuktikan adatnya aneh. Akan tetapi, Kwan Cu lebih aneh lagi dan kekerasan hatinya serta ketekunan hatinya boleh dipuji.

   Sebetulnya dia merasa lapar sekali, akan tetapi pelajaran baru ini membuat dia lupa akan keperihan perutnya. Ia terus berlatih ilmu pukulan Sam-Hoan-Ciang. Ia ulangi dan ulangi lagi dan mempergunakan batang pohon sebagai lawan! Makin lama, tenaganya bukan makin lemah, bahkan karena menghadapi kekuatan pohon, dia makin dapat mengatur tenaganya sedemikain rupa sehingga lambat-laun dapatlah dia mengerahkan tenaga sampai pada titik yang tepat! Kalau tadinya pukulannya pada pohon membuat kulit kepalan tangannya merah-merah sampai akhirnya lecet-lecet, menjelang fajar, dia telah dapat memukul pohon itu sampai menjadi doyong! Ketika Ang-Bin Sin-Kai pada keesokan harinya membuka matanya Kakek ini girang dan kagum melihat muridnya masih berlatih diri dan melihat betapa gerakan Kwan Cu kini tidak kaku lagi!

   "Cukup! Jangan menghabiskan tenagamu!"

   Serunya. Kwan Cu berhenti bersilat dan barulah dia merasa letih bukan main sehingga untuk berdiri saja kedua kakinya gemetar dan terpaksa dia menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Akan tetapi kepalanya yang gundul dan mukanya yang berkilau karena peluh itu berseri-seri ketika Suhunya memujinya.

   "Bagus, Kwan Cu, kau telah maju banyak sekali."

   "Masih jauh, Suhu. Suhu tanpa menyentuh pohon, sudah dapat merobohkan pohon-pohon dalam jarak lima kaki lebih. Sedangkan Teecu, sampai rusak kulit tangan, tetap saja tidak dapat merobohkan sebatang pohon juga."

   Ang-Bin Sin-Kai tertawa bergelak.

   "Bocah bodoh. Kau lihat pohon ini, bukankah biarpun luarnya lecet kulitnya, akan tetapi dalamnya telah menderita pukulanmu yang bertubi-tubi itu? Kau lihat!"

   Sehabis berkata demikian, Kakek ini mendorong pohon tadi dan sambil mengeluarkan suara keras, pohon itu tumbang. Ternyata bahwa di bagian dalamnya telah banyak yang remuk menjadi bubuk seperti dimakan kutu. Kwan Cu meleletkan lidahnya melihat kehebatan akibat pukulan-pukulannya yang telah membuat tangan-tanganynya lecet-lecet malam tadi!

   "Harus kau ketahui bahwa ilmu pukulan Sam-Hoan-Ciang (Pukulan Tiga Lingkaran) mengandalkan tenaga Lweekang. Kalau malam tadi memukul dengan tenaga Gwakang dan mengandalkan kekerasan kulit tangan, kulitmu tidak akan lecet dan pohon ini pun hanya akan rusak luarnya saja. Akan tetapi karena kau menggunakan tenaga Lweekang, kulit tanganmu yang tak terjaga oleh tenaga Gwakang menjadi rusak, sebaliknya pohon ini terluka di bagian dalamnya! Oleh Karena itu, penggunaan tenaga Lweekang tidak boleh dilakukan secara membabi buta, harus sekali pukul dengan tepat seperti contoh ini. Lihat!"

   Ang-Bin Sin-Kai melakukan pukulan jurus kedua dari Sam-Hoan-Ciang dengan tangan kirinya, diarahkan kepada pohon yang terpisah beberapa kaki dari tempat dia berdiri dan "krakkk...!!"

   Pohon itu roboh! Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut.

   "Terima kasih atas petunjuk yang amat berharga dari Suhu."

   "Bangunlah,"

   Kata Ang-Bin Sin-Kai sambil tertawa.

   "Kau seperti anak kecil yang mendapatkan permainan baru. Ketahuilah, ilmu pukulan Sam-Hoan-Ciang ini hanya merupakan pukulan pertama saja, dan kalau sudah mempelajari ilmu-ilmu silat dari aku, maka pukulan Sam-Hoan-Ciang ini belum ada seperseratusnya! Apa artinya mempunyai ilmu menyerang jika tidak mempertahankan diri? Di dalam ilmu silat, kepandaian harus dibagi dua. Mempertahankan diri dan menyerang, dan seorang ahli silat yang baik, mengisi dirinya dengan enam puluh bagian ilmu menjaga diri dan hanya empat puluh bagian ilmu menyerang lawan. Di dalam setiap gerakan menjaga diri, tersembunyi gerakan menyerang, sebaliknya kalau kau menyerang, berarti kau membuka kesempatan bagi lawan untuk membobolkan pertahananmu. Maka berlatihlah yang giat, karena ilmu silat bukanlah ilmu yang semudah orang kira!"

   Demikianlah, Ang-Bin Sin-Kai mulai membuka rahasia ilmu silat kepada muridnya dan semua kata-kata Suhunya itu masuk kedalam kepala yang gundul itu.

   "Apa kau tidak merasa lapar?"

   Tiba-tiba Ang-Bin Sin-Kai bertanya. Mendengar ini, berkeruyuklah perut Kwan Cu, mendahului mulutnya menjawab pertanyaan Suhunya. Merahlah wajah Kwan Cu mengharap mudah-mudahan suara perutnya itu tidak terdengar oleh Suhunya. Akan tetapi, Ang-Bin Sin-Kai memiliki pendengaran yang amat tajam, jangankan suara perut, berkeruyuk, biar sehelai daun yang jatuh ke tanah saja dia akan mendengarnya. Maka tertawalah Kakek itu.

   "Setelah latihan yang menggunakan banyak tenaga Lweekang, tidak ada daging yang lebih baik melebihi daging ular besar. Hayo kita mencari daging ular. Di hutan depan banyak ular-ular besar!"

   Kakek ini lalu berlari ke hutan yang nampak kehijau-hijauan, dan Kwan Cu cepat menyusul Gurunya. Ang-Bin Sin-Kai memasuki sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar sekali sehingga Kwan Cu yang berjalan di belakang Gurunya itu merasa betapa dirinya amat kecil tak berarti di bawah pohon-pohon Raksasa itu. Ketika mereka sudah tiba di tengah hutan, Ang-Bin Sin-Kai menunjuk ke depan dan berkata,

   "Nah, itu dia calon daging untuk perut kita. Kau tangkap yang paling gemuk!"

   Setelah berkata demikian, Ang-Bin Sin-Kai lalu duduk bersandar pada sebatang pohon. Kwan Cu berdiri terpaku untuk beberapa lama. Di tempat itu, dia melihat beberapa ekor ular yang besar sekali. Yang paling kecil saja ukuran perutnya sama dengan pahanya dan panjangnya ada tujuh atau delapan kaki! Tubuh ular itu kekuning-kuningan, lidahnya panjang berwarna merah, demikianpun matanya, adapun mulutnya lebar sekali.

   Berdebar juga hati Kwan Cu saking ngerinya sungguhpun dia tidak merasa takut sama sekali. Untuk menangkap yang paling kecil saja, agaknya amat sukar dan mengerikan, apalagi Suhunya minta dia menangkap yang paling gemuk yang berarti ular yang paling besar! Namun Kwan Cu tidak merasa jerih. Apalagi ada Gurunya di situ, apakah yang perlu di takutkan lagi? Ular-ular itu sebagian besar membelitkan tubuh mereka pada cabang-cabang pohon, dengan kepala bergantung, atau kepala mereka tersembunyi dalam lilitan tubuh. Ketika Kwan Cu mencari-cari dengan matanya untuk memilih, dia melihat seekor di antara ular-ular itu yang melingkar di bawah pohon. Ular ini besar sekali lagi gemuk. Agaknya lebih mudah menangkap yang melingkar di bawah ini sedang tidur, sedikit pun tidak bergerak, seakan-akan ular mati yang tidak bernapas sama sekali.

   "Suhu, Teecu akan menangkap yang itu!"

   Katanya sambil menunjuk ke arah ular terbesar yang melingkar di bawah pohon.

   "Bagus, tangkaplah, hitung-hitung latihan bagimu. Jangan takut, ular itu tidak berbisa. Makin besar, makin tidak berbahaya. Hanya dia kuat sekali, dan kalau sampai tergigit, sukar untuk melepaskan diri dari gigi-giginya yang doyong ke sebelah dalam itu,"

   Kata Ang-Bin Sin-Kai dengan suara tenang. Suara Suhunya ini mendatangkan semangat dan keberanian dalam hati Kwan Cu, maka anak ini dengan hati-hati lalu mendekati ular besar itu. Biarpun tadinya kelihatan seperti mati atau tidur, namun ketika Kwan Cu sudah sangat dekat, ular itu mulai hidup.

   Ia mengangkat kepalanya dan sepasang matanya yang merah itu ditujukan kepada Kwan Cu dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis. Mengebullah uap putih dari mulutnya yang terbuka lebar-lebar. Kini kelihatan betapa lebar mulutnya dan betapa mengerikan gigi-gigi yang runcing dan doyong ke dalam itu. Lidahnya yang panjang menjulur keluar dan bergerak-gerak keluar masuk cepat sekali. Kwan Cu tidak mau membuang waktu lagi. Melihat ular itu sudah mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, dia lalu melangkah maju dan melakukan serangan dengan ilmu pukulan Sam-Hoan-Ciang, karena untuk bergerak dengan ilmu silat lain dia tidak bisa. Ia melakukan jurus kedua, yakni tangan kiri bergerak maju, hanya mengubah sedikit. Kalau biasanya gerakan ini dilakukan dengan tangan terkepal untuk memukul,

   Dia membuka jari tangannya dan kini menggunakan tangan kirinya untuk menerkam leher ular! Ular itu gesit sekali. Melihat tangan bocah gundul ini bergerak ke arah leher, dia cepat mengelak ke kiri. Namun Kwan Cu adalah anak yang amat cerdik. Biarpun dia baru mempelajari Sam-Hoan-Ciang, namun kecerdikannya membuat dia dapat memecah gerakan-gerakan ini sehingga jurus ke dua yang dia pergunakan tadi sebenarnya adalah semacam pancingan belaka! Ia tidak melanjutkan serangan bahkan cepat menarik kembali serangannya dan kini disusul cepat dengan jurus ketiga, yakni kedua tangannya maju bareng an tubuhnya agak berjongkok. Dan gerakannya ini berhasil. Ia berhasil menangkap leher ular itu dengan kedua tangannya dan mencekiknya sekuat tenaganya. Ular itu marah sekali.

   Beberapa kali ia menggerakkan kepala dan menggoyangkan lehernya, meronta-ronta untuk melepaskan diri. Akan tetapi Kwan Cu mencengkeram makin keras karena merasa betapa ular itu licin sekali. Tiba-tiba ular itu berganti siasat dam seluruh tubuhnya bergerak, terus melilit tubuh Kwan Cu dengan ekornya. Sebentar saja tubuh bocah gundul ini telah dililit sedemikian rupa sehingga dari paha sampai dada tidak kelihatan lagi. Kwan Cu terkejut sekali dan sedapat mungkin dia mempertahankan kedua kakinya. Namun aneh sekali, tenaga ular itu makin lama makin hebat dan lilitannya makin lama makin erat. Ketika ular itu menggoyang-goyang tubuhnya, dia tidak dapat bertahan lebih lama dan tergulunglah Kwan Cu! Betapapun juga, dia masih dapat mengatur jatuhnya dan dia hanya jatuh duduk dengan tubuh masih dibelit-belit ular yang licin, dingin dan kuat.

   Ia memperkuat cekikannya, mengerahkan seluruh tenaga yang disalurkan kepada lengan tangannya. Akan tetapi, tiba-tiba Kwan Cu merasa betapa perut dan dadanya terhimpit keras sekali sehingga dia sukar untuk bernapas! Dengan menekan napas ke arah perut, dia membuat perut dan dadanya mengembung dan dapat menahan himpitan ular, akan tetapi oleh karena itu, tenaga pada dua lengannya berkurang. Sementara itu, ular tadi makin penasaran dan marah. Biasanya, kalau ia sudah mengerahkan tenaga dalam lilitannya, seekor kijang pun akan remuk-remuk tulangnya! Mengapa bocah gundul ini dari perut dan dadanya keluar hawa panas sekali? Apalagi, cekikan pada lehernya itu pun mendatangkan rasa sakit. Sambil mendesis hebat, ular itu membuka lebar-lebar mulutnya yang bergerak di depan muka Kwan Cu dan bergerak hendak menggigit kepala gundul itu.

   Kalau gigitannya ini berhasil, agaknya kepala Kwan Cu yang gundul itu akan masuk ke dalam mulutnya! Kwan Cu terkejut dan menahan dengan kedua tanganya, akan tetapi tiba-tiba dia merasa kepalanya yang gundul itu gatal-gatal. Ia mengerti bahwa ini tentulah akibat daripada semburan uap yang keluar dari mulut ular itu. Tadi ketika ular itu menyemburkan uap putih yang mengarah ke mukanya, dia menundukkan kepala untuk melindungi mukanya, maka kepalanya yang gundul itulah yang terkena uap putih dan kini gatal-gatal. Rasa gatalnya tidak tertahankan lagi, maka terpaksa dia melepaskan tangan kanan yang mencekik leher ular untuk dipergunakan menggaruk kepala gundulnya yang gatal setengah mati itu! Ular tadi setelah kini merasa bahwa yang mencekik lehernya hanya satu tangan saja, cepat memberontak dan cekikan tangan kiri Kwan Cu terlepas!

   Ular itu lalu menggerakkan lehernya dan mulutnya yang lebar itu menyerang kepala Kwan Cu dengan kecepatan luar biasa sekali. Akan tetapi Kwan Cu tidak berkurang waspada. Bocah gundul ini cepat mengelak ke kiri dan mulut itu meluncur lewat di samping telinga kanannya. Cepat Kwan Cu menggerakkan kedua tangan mencekik lagi dan pergulatan mati-matian terjadi. Kwan Cu mencekik sekuatnya, dan ular itu melilit perut dan dada Kwan Cu sambil meronta-ronta hendak melepaskan diri dari cekikan. Jari-jari tangan Kwan Cu tidak cukup panjang untuk mencengkeram leher ular yang besarnya seperti betis kakinya sendiri itu, maka beberapa kali, terpaksa dia melepaskan cekikannya dari kulit leher yang amat licinnya dan beberapa kali ular itu menyerang kepalanya yang dapat dihindarkan dengan elakan-elakan cepat.

   Tak dapat terus-terusan begini, pikir Kwan Cu. Dadanya terasa sesak dan tenaga kedua tangannya makin lama makin lemah. Ia memutar otak di dalam kepalanya yang gundul itu, mencari-cari akal. Akhirnya ia mendapat akal dan sambil mencekik leher ular dengan kedua tangan, dia menggelundung ke kiri di mana dia melihat beberapa potong batu karang. Setelah mengambil sepotong batu karang yang besarnya seperti kepalanya dan yang tajam runcing pinggirnya, dia lalu melepaskan cekikannya. Ular itu menyerang lagi dengan mulut terbuka dan Kwan Cu secepat kilat memasukkan batu itu ke dalam mulut ular! Karena dia memasukkan dengan tenaga kuat dan gigi-gigi ular itu mendoyong ke dalam, maka setelah batu karang ini memasuki mulut sampai di belakang gigi-gigi ular, batu itu tak dapat keluar kembali, terganjal oleh gigi atas dan bawah!

   "Bagus, Kwan Cu!"

   Ang-Bin Sin-Kai tertawa-tawa memuji. Mendengar pujian Guru ini, besarlah hati Kwan Cu. Ia tidak takut akan gigitan ular itu lagi, dan ular itu pun kini menjadi bingung sekali, menggerak-gerakkan kepalanya hendak melepaskan benda aneh yang mengganjal mulutnya. Saking bingungnya, lilitan pada tubuh Kwan Cu yang untuk sesaat luar biasa eratnya, makin lama makin kendor dan akhirnya dia melepaskan tubuh yang dililitnya. Ia menggeliat-geliat, memukul-mukulkan kepalanya pada tanah dan Kwan Cu segera bertindak. Ia mengambil sepotong batu lagi dan sekali pukul saja pecahlah kepala ular itu!

   "Hm, bagus! Lekas bikin api dan panggang sebelum darahnya kering. Jangan terlalu lama, biar setengah matang saja!"

   Kata Ang-Bin Sin-Kai dengan air liur memenuhi mulutnya dan beberapa kali menelan ludah. Setelah daging ular matang dan merasai daging itu, Kwan Cu harus mengakui kebenaran kata-kata Suhunya. Daging itu terasa manis dan gurih sekali biarpun dipanggang tanpa di beri bumbu dan garam, hanya setelah memasuki tubuh, membuat perut dan dada terasa panas dan darah mengalir lebih cepat dari biasanya. Setelah makan kenyang. Ang-Bin Sin-Kai berkata kepada Kwan Cu.

   "Perkelahianmu dengan ular tadi merupakan pengalaman baik sekali. Kau sekarang tahu bahwa ular itu memiliki tenaga lemas. Kelihatannya saja ia lambat dan lemah, namun lilitannya makin lama makin kuat karena ia mempergunakan tenaga dalam yang mengalir di dalam tubuhnya. Menghadapi lawan yang memiliki tenaga Lweekang (tenaga dalam), memang kita harus melayani dengan kelicikan pula. Kalau kau mempergunakan tenaga kasar, kau akan kalah. Maka baik sekali kau tadi mengerahkan ambekan (pernapasan) untuk menghadapi lilitan tubuh ular. Kalau kau mempergunakan kekerasan, tentu ada tulangmu yang patah dan uratmu tergelincir dari tempatnya. Lain kali biar kau melatih diri menghadapi binatang yang selalu mempergunakan tenaga kasar, yakni Harimau. Terbelalak sepasang mata Kwan Cu memandang Suhunya.

   "Waaah, Suhu. Bagaimana Teecu menghadapi seekor Harimau? Binatang itu galak sekali dan terkenal sebagai Raja hutan. Apakah Teecu kiranya akan sanggup mengalahkan Harimau?"

   "Kau baru saja mempunyai kepandaian ilmu pukulan Sam-Hoan-Ciang, tentu saja masih berat. Biar sekarang aku melatihmu dengan ilmu mempertahankan diri yang di sebut Ilmu Silat Pai-Bun-Tui-Pek-To (Mengatur Pintu Menghadapi Ratusan Golok). Kalau kau sudah bisa mainkan ilmu silat ini, agaknya takkan mudah kau diserang lawan."

   Dengan girang Kwan Cu lalu mulai mempelajari Pai-Bun-Tui-Pek-To, yang dilakukan mengandalkan ginkang yang tinggi. Isinya hanya ilmu-ilmu untuk mengelak dan menangkis serangan lawan dan melindungi diri mempergunakan kecepatan tubuh dan mengatur pada saat bagaimana mempergunakan tenaga Lweekang dan saat bagaimana pula mempergunakan Gwakang.

   Terlalu panjang untuk dituturkan sejelasnya, pendeknya ilmu silat Pai-Bun-Tui-Pek-To ini amat baik untuk seorang ahli silat tangan kosong kalau menghadapi lawan-lawan yang bersenjata. Beberapa bulan lewat tak terasa dan Kwan Cu sudah memperoleh kemajuan pesat. Belum boleh di kata bahwa dia telah menyempurnakan ilmu Pai-Bun-Tui-Pek-To, karena tidak seperti Sam-Hoan-Ciang yang mempunyai tiga jurus, ilmu mempertahankan diri ini biarpun hanya mempunyai delapan belas macam jurus, namun setiap jurus dapat dipecah-pecah menjadi puluhan bagian. Semua tergantung daripada kedudukan lawan menyerang. Kini Ang-Bin Sin-Kai menurut kehendak muridnya lagi, yakni mencari Bukit Liang-San yang masih amat jauh.

   Ketika mereka tiba di kota Thiat-ang-bun, kota kecil yang berpintu gerbang besi berwarna merah, mereka berhenti selama tiga hari. Di dalam kota kecil itu banyak terdapat pemandangan indah, bahkan di sebelah Selatan kota terdapat telaga kecil yang airnya biru dan dikelilingi pohon-pohon dan kembang-kembang. Ang-Bin Sin-Kai suka sekali pelesir di daerah ini, maka dia bermalas-malasan untuk meninggalkannya. Pada hari ketiga, ketika Kwan Cu dan Gurunya tengah berjalan di dekat telaga itu, mereka melihat berkelebatnya seorang Tartar yang tampan dan berpakaian Perwira. Ang-Bin Sin-Kai tidak mengenal orang ini, akan tetapi Kwan Cu mengenalnya baik-baik. Apalagi, semenjak mereka memasuki kota Thiat-ang-bun, Kwan Cu yang selalu mengambil perhatian pada apa yang berada di sekitarnya,

   Melihat orang ini beberapa kali sehingga timbul pikirannya bahwa orang ini tentu sedang menyelidiki keadaan dia dan Gurunya. Dan orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari Panglima An Lu Shan. Akan tetapi An Lu Kui seperti yang tidak mengenal lagi kepada Kwan Cu dan anak ini pun tidak mempedulikannya. Ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan Perwira ini, tidak ada sangkut-pautnya lagi. Kwan Cu tidak tahu sebetulnya, setelah bertemu dengan dia dan Gurunya, An Lu Kui diam-diam melakukan penyelidikan dan selalu mengikutinya. Siapa tahu kalau-kalau anak aneh ini hendak mengambil kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng yang aseli? Adapun Kakek jembel yang bersama dengan bocah itu, Lu Kui tidak mengenalnya sama sekali. Kalau saja dia tahu bahwa Kakek itu adalah Ang-Bin Sin-Kai, agaknya siang-siang dia sudah angkat kaki dan kabur.

   "Suhu, ada orang mengikuti kita,"

   Kata Kwan Cu perlahan kepada Suhunya.

   "Mana dia?"

   "Entah, dia sudah pergi lagi, Suhu. Akan tetapi, beberapa kali Teecu melihatnya dan agaknya dia memperhatikan kita."

   "Siapa sih orangnya?"

   "Dia adalah penculik yang dahulu membawa Teecu dan Gui-Siucai ke markas Panglima An Lu Shan, yaitu adik dari Panglima itu sendiri yang bernama An Lu Kui."

   Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hm, dia mau apa?"

   "Entahlah, Suhu. Akan tetapi, lebih baik kalau Suhu mengetahuinya, karena dia lihai. Dulu pernah Teecu melihat dia mendorong roboh sebatang pohon besar, sungguhpun dia tidak berdaya menghadang Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai dan dua orang muridnya."

   Kwan Cu lalu menuturkan pengalamannya ketika diculik oleh An Lu Kui dahulu. Gurunya tersenyum dan berkata gembira,

   "Bagus, kalu begitu, biarlah dia menjadi pengujimu."

   "Penguji bagaimana, Suhu?"

   "Kau sudah mempelajari ilmu mempertahankan diri Pai-Bun-Tui-Pek-To, coba kau menghadapi dia, hitung-hitung untuk berlatih. Kalau dia muncul lagi, kau pancing dia ke luar kota, ke tempat sunyi."

   Kwan Cu mengangguk, dan hatinya berdebar. Ia tahu bahwa An Lu Kui murid mendiang Li Kong Hoat-Ong itu tidak boleh dibuat main-main.

   Ia adalah seorang Perwira yang pandai dan gagah perkasa, bagaimana dia yang baru melatih ilmu silat beberapa bulan saja sanggup menghadapinya? Akan tetapi karena dia bersama Suhunya perlawanannya adalah atas perintah Suhunya, hatinya menjadi besar. Tak lama kemudian, benar saja dia melihat An Lu Kui muncul lagi, berjalan di sebelah belakang. Kwan Cu menengok dan sengaja memperlihatkan muka ketakutan, lalu menggandeng tangan Suhunya dibawa berjalan menuju ke pegunungan kecil yang tidak jauh dari situ letaknya. Pancingannya berhasil karena An Lu Kui melihat wajah Kwan Cu nampak ketakutan dan bergesa-gesa ke bukit kecil, lalu mengejar! Setelah berada di tempat yang sunyi di bukit kecil itu, Kwan Cu berhenti dan bersama Suhunya menengok ke belakang. An Lu Kui cepat berlari menghampiri mereka dan setelah berhadapan, dia menegur.

   "Eh, tidak tahunya kau Kwan Cu bocah itu! Kau hendak pergi kemanakah?"

   Kwan Cu memang sudah mendapat perintah dari Gurunya untuk mencoba kepandaiannya dengan Perwira ini, maka dia memancing keributan dengan meniru jawaban Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu ketika dahulu bertemu dengan dia di pintu gerbang Kota Raja, maka dia menjawab,

   "Aku datang dari belakang dan menuju ke depan. Ada urusan apakah kau menyusulku, An-Sianseng?"

   Tentu saja An Lu Kui mendelikkan matanya mendengar jawaban yang kurang ajar ini.

   "Bocah gundul! Ketika dulu mejadi murid Gui-Siucai, kau masih mengerti aturan dan bersikap sopan, sekarang kau telah menjadi seorang berandalan. Jawab yang betul, kau hendak pergi kemana?"

   "Kemana pun aku pergi, tiada sangkut-pautnya dengan kau!"

   Kata Kwan Cu dengan sengaja agar Perwira ini marah dan menyerangnya sehingga dia dapat mempraktekkan ilmu silatnya Pai-Bun-Tui-Pek-To.

   "Setan cilik! Bukankah kau pergi ke tempat disembunyikan Kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng? Hayo jawab yang betul, kalau tidak, akan kukemplang kepalamu yang gundul itu sampai pecah!"

   Tiba-tiba terdengar suara meledak dari Ang-Bin Sin-Kai.

   "Ha, ha, ha! Agaknya semua orang sudah tergila-gila kepada kitab tiada guna itu! Eh, Kwan Cu, kenapa kau meladeni badut ini? Kait saja kakinya, biar dia menggelundung ke bawah!"

   Bukan main marahnya An Lu Kui mendengar ejekan ini.

   "Bangsat tua bangka! Apakah matamu buta dan tidak mengenal orang? Kau berhadapan dengan An Lu Kui, adik dari Panglima besar An Lu Shan! Berlutut kau!"

   Kwan Cu melangkah maju.

   "Orang she An, jangan kau menghina Guruku!"

   "Kau setan gundul mau apa?"

   Bentak An Lu Kui yang cepat menampar dengan tangan kanannya ke arah kepala Kwan Cu yang gundul. Akan tetapi dengan sedikit menundukkan kepala saja, Kwan Cu sudah dapat mengelak dari pukulan ini. An Lu Kui penasaran dan marah sekali. Sambil menggereng seperti seekor Harimau buas, dia menubruk maju dan mengirim pukulan bertubi-tubi, diselingi dengan tendangan kakinya! Akan tetapi, sebentar saja dia menjadi tertegun ketika melihat betapa dengan gerakan amat lincah,

   Kwan Cu dapat mengelak dari semua pukulan dan tendangannya itu. Bukan main! Baru beberapa bulan berselang, bocah gundul ini masih belum memiliki gerakan demikian lincah. Ah, jangan-jangan Gurunya yang seperti Pengemis jembel itu berkepandaian tinggi pula, pikirnya. Maka dia mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan ilmu silatnya disertai pengerahan tenaga Lweekang! Kwan Cu baru saja belajar beberapa bulan. Adapun An Lu Kui telah memiliki kepandaian tinggi, maka tentu saja menghadapi serangan-serangan hebat ini, Kwan Cu menjadi repot sekali. Memang betul bahwa dengan Ilmu Silat Pai-Bun-Tui-Pek-To, dia masih dapat mengelak dan menangkis, akan tetapi dia tidak dapat membalas sama sekali dan seakan-akan untuk bernapas pun tiada kesempatan!

   "Kau menyia-nyiakan banyak kesempatan baik!"

   Kata Ang-Bin Sin-Kai mencela muridnya.

   "Campur Pai-Bun-Tui-Pek-To dengan Sam-Hoan-Ciang!"

   Kwan Cu maklum akan maksud Suhunya namun karena kurang pengalaman tetap saja dia tidak dapat membalas serangan-serangan An Lu Kui yang mengamuk makin hebat itu. An Lu Kui kali ini benar-benar penasaran dan marah sekali. Sudah dua puluh jurus lebih dia menyerang, namun tetap saja belum pernah dia dapat menempiling kepala lawannya si bocah gundul ini. Kini mendengar ucapan Kakek itu, mengertilah dia bahwa Kakek ini memang benar-benar lihai dan terang bahwa si bocah gundul mendapat latihan dari dia. Celaka, keluh An Lu Kui, kalau aku tidak lekas-lekas mengalahkan setan cilik ini, aku bisa di permainkan oleh setan besar itu. Maka dia lalu mencabut sepasang Siang-Kek (senjata tombak bercagak) dari punggungnya dan memutar dua senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.

   "Kwan Cu kau melompatlah ke punggungku dan lihat baik-baik aku mainkan Pai-Bun-Tui-Pek-To dan Sam-Hoan-Ciang!"

   Kata Ang-binSin-kai. Kwan Cu tertawa girang dan sekali dia mengenjotkan kedua kakinya, bagaikan seekor monyet dia telah melompat ke atas punggung Suhunya. An Lu Kui merasa kepalang dan dia sudah merasa malu dan marah dipermainkan oleh Kwan Cu, maka kini dia menyerang Kakek jembel itu dengan ilmu silatnya yang lihai dan berbahaya. Kwan Cu melihat gerakan tubuh Suhunya dengan penuh perhatian.

   Dengan digendong di punggung Suhunya, dia merasa seakan-akan dia sendiri yang menghadapi An Lu Kui dan dia mengintai dari balik punggung Gurunya itu kepada semua gerakan An Lu Kui dan gerakan Suhunya. Benar saja, Gurunya menghadapi sepasang tombak cagak An Lu Kui dengan ilmu mempertahankan diri Pai-Bun-Tui-Pek-To! Melihat betapa gerakan Gurunya amat sederhana, namun dapat dengan tepat dan tenang menghindarkan semua serangan sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui. Kwan Cu menjadi kagum sekali. Kini terbukalah matanya dan tahulah dia bahwa tadi di waktu menghadapi serangan An Lu Kui dia terlalu gugup dan terlalu membuang gerakan sendiri. Sebetulnya kalau dia bisa tenang seperti Suhunya, tak usah terlalu banyak bergerak dan hanya bergerak seperlunya saja, Ilmu Silat Pai-Bun-Tui-Pek-To sudah dapat menyelamatkan diri dari serangan lawan.

   "Kau lihat lowongan-lowongan itu?"

   Kata Ang-Bin Sin-Kai kepada muridnya.

   "Buka matamu baik-baik, tiap kali dia melakukan serangan, tentu terbuka sebuah pintu! Mengertikah kau? Coba sekarang kau mencari dan menemukan pintu yang terbuka dan kau gunakan tanganmu menyerang pintu terbuka itu!"

   Kwan Cu mengerti.

   Yang dimaksud oleh Gurunya tentang pintu terbuka adalah bagian-bagian tubuh yang terbuka atau tidak terlindung dari lawan dan kini setelah berada di punggung Suhunya dan tidak gugup karena dia sendiri tidak menghadapi serangan, memang matanya terbuka dan dia dapat melihat betapa setiap kali menyerang, An Lu Kui membuka sebagian tubuhnya yang tidak terlindung sama sekali. Mendengar perintah Suhunya, mulailah Kwan Cu menyerang dengan pukulan Sam-Hoan-Ciang! Tiap kali An Lu Kui menyerang, tentu terbuka sebuah pintu di dadanya, lambungnya, pundaknya, lehernya, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Kwan Cu tidak menyia-nyiakan waktu baik ini dan tiap kali serangan datang,

   Suhunya mengelak dan dia menghantam dengan tangannya. Sebentar kemudian terdengar suara "Bak! bik! buk!"

   

Jodoh Si Mata Keranjang Eps 10 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 11 Kumbang Penghisap Kembang Eps 27

Cari Blog Ini